Anda di halaman 1dari 18

Sejarah Pemikiran Ekonomi

Aliran Institusional

Dosen Pengampu : Wargianto, S.E., M.M


Disusun oleh kelompok 6
Desy Yunita 16030074
Lisa Natalia 16030105
Septya Dwiko Cahyani 16030091
Ayu Nadia 16030086
DobY Tirtarisman 16030088
Yoki Afandi 16030098

SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI PERTIBA


TAHUN AJARAN 2016/2017
Kata Pengantar

Puji dan syukur kami panjatkan kepada tuhan yang maha esa,karena berkat
kemurahan-nya makalah ini dapat kami selesaikan, makalah ini membahas tentang
”ALIRAN INSTITUSIONAL” suatu bahasan yang sudah banyak
diperbincangkaan di masyaraakat, namun terkadang masih banyak yang belum
memahami secara mendaasar apakah aliran institusional itu sendiri ? maakalah ini
dibuat dalam rangka memperdalam pemahaman tentang aliran institusional dan
sekaligus menjadi tugass mahasiswa mataakuliah sejarah pemikiran ekonomi.

Semoga makalah yang kami buat dapat bermanfaat bagi kita semua yang
membacanya. Mohon maaf bila makalah yang kami buat masih banyak kekurangan.
Maka dari itu ,dengan segala kerendahan hati kami mengharapkan saran-saran serta
kritik yang konstruktif dari para pembaca guna peningkatan pembuatan maakalah
pada tugas yang lain pada waktu mendatang.

Pangkalpinang, Mei 2017

Penyusun
Daftar Isi
Pendahuluan

A. Latar Belakang
Manusia hidup sarat dengan persoalan, dan salah satu persoalan yang tidak
henti-hentinya dihadapi adalah persoalan ekonomi, ketika sebagian persoalan
ekonomi dapat diatasi maka akan muncul lagi persoalan yang lain. Ekonomi
merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan, karena pada dasarnya
manusia tidak bisa jauh dari kegiatan ekonomi seperti produksi dan konsumsi.
Banyaknya persoalan ekonomi yang muncul, hendaknya mampu dipecahkan
dan diselesaikan melalui ilmu ekonomi itu sendiri. Tapi pada kenyataannya
walaupun ilmu ekonomi yang dikembangkan oleh para pakar ekonomi telah
makin maju dan canggih seiring dengan perubahan zaman bukan berarti semua
persoalan manusia berhasil diatasi. Dalam kenyataan kehidupan sehari-hari
kita masih melihat selalu ada masalah yang dihadapi, secara umum masalah
yang paling besar menyangkut persoalan ekonomi.
Melihat banyaknya persoalan yang terjadi membuat para pakar ekonomi
berpikir dengan keras untuk mencari solusi atas permasalahan yang terjadi.
Sehingga banyak teori-teori bermunculan dari para pemikir ekonomi, tapi
sayangnya teori yang diterapkan juga belum mampu menyelaikan masalah
yang terjadi. Sehingga menyebabkan timbulnya kritikan terhadap teori yang
dikembangkan oleh pemikir sebelumnya.
Akan tetapi, tidak banyak yang tahu bahwa kegagalan tersebut disebabkan oleh
hambatan dan rintangan Instistusional, hambatan itu berkisar pada sikap kaku
dalam perilaku pada golongan masyarakat konglomerat, organisasi serikat
buruh dan birokrasi pemerintah.
Berdasarkan permasalahan di atas maka dalam makalah ini akan dibahas
mengenai pemikiran ekonomi Institusional, di mana di dalamnya akan dibahas
bagaimana perilaku konsumen dan produsen dalam kegiatan ekonomi.
B. Rumusan Masalah
1. Corak Pemikiran Aliran Ekonomi Institusional
2. Biografi Thorstein Bunde Veblen (1857-1929)
3. Pemikiran Thorstein Bunde Veblen

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui bagaimana pemikiran aliran institusional itu.
2. Untuk mengetahui beografi thorstein bunde vablen.
3. Untuk mengetahui pemikiran yang ada dari pemikiran thoristen bunde
veblen tentang motivasi konsumen dan prilaku usaha,
Pembahasan
A. Corak Pemikiran Aliran Ekonomi Institusional
Pada tahun 20-an di daratan Amerika Serikat muncul aliran pemikiran ekonomi
lain yang disebut aliran ekonomi “institusional”. Ekonomi kelembagaan atau
ekonomi institusional pada hakekatnya adalah cabang ilmu ekonomi yang
menekankan pada pentingnya aspek kelembagaan dalam menentukan
bagaimana sistem ekonomi dan sosial bekerja.
Ada sedikit persamaan antara aliran Institusional dengan aliran Sejarah,
keduanya sama-sama menolak metode Klasik. Akan tetapi, dasar falsafah dan
kesimpulan-kesimpulan politik kedua aliran tersebut berbeda. Aliran
Institusional menolak ide eksperimentasi sebagaimana yang dianut oleh aliran
Sejarah. Begitu juga, pusat perhatian aliran institusional terhadap masalah-
masalah ekonomi dalam kehidupan masyarakat berbeda.
Aspek metodologi ekonomi yang dikandung dalam ekonomi Institusional
sering dimasukkan ke dalam ekonomi ortodoks. Ekonomi ortodoks
maksudnya pemikiran-pemikiran ekonomi yang menggunakan dan
melanjutkan pandangan-pandangan ekonomi Klasik, seperti persaingan bebas,
persaingan sempurna, kepuasan konsumen

Orang yang paling berpengaruh dan mempunyai peran dominan


terhadap keberadaan aliran Instistusional adalah Thorstein Bunde Veblen. Dia
mengkritik teori ekonomi Klasik dan Neo-klasik yang mengabaikan aspek-
aspek non-ekonomi seperti kelembagaan dan lingkungan. Padahal Veblen
menilai pengaruh keadaan dan lingkungan sangat besar terhadap tingkah laku
ekonomi masyarakat. Struktur politik dan sosial yang tidak mendukung dapat
menimbulkan distorsi proses ekonomi. Bagi Veblen mayarakat merupakan
fenomena evolusi, segala sesuatunya terus mengalami perubahan. Pola
perilaku seseorang dalam masyarakat disesuaikan dengan kondisi sosial
sekarang. Jika perilaku tersebut cocok dan diterima, maka perilaku akan
diteruskan. Sebaliknya, jika suatu perilaku dianggap tidak cocok maka
perilaku akan disesuaikan dengan lingkungan.
Keadaan dan lingkungan inilah yang disebut Veblen “institusi”. Dalam
hal ini dijelaskan bahwa yang dimaksud Veblen dengan institusi adalah hal-hal
yang terkait dengan norma-norma, nilai-nilai, kebiasaan, serta budaya.
Selanjutnya semuanya direfleksikan kedalam kegiatan ekonomi, baik dalam
berproduksi maupun mengkonsumsi.

B. Biografi Thorstein Bunde Veblen (1857-1929)


Thorstein Bunde Veblen adalah anak keenam dari imigran Norwegia
generasi pertama, dia dibesarkan di daerah pertanian Wisconsin yang hanya
menggunakan bahasa Norwegia
Veblen adalah anak dari seorang petani miskin yang melakukan imigrasi
dari Norwegia ke Amerika. Dalam keluarga petani miskin ini, termasuk di
dalamnya Veblen, ada sembilan orang bersaudara. Agaknya latar belakang
kehidupan yang serba kekurangan inilah yang menjadi pangkal tolak mengapa
di dalam kehidupannya ia sering bersikap getir, skeptis, dan bahkan ada yang
menilainya sebagai seorang fasis

Gelar yang diberikan kepada Veblen sangat banyak. Selain gelar-gelar di atas
ia juga sering digelari sebagai seorang maverick, yang kira-kira bisa di artikan
dengan orang yang suka “lain dari yang lain”. Gelar ini biasa diberikan pada
orang yang selalu berpijak pada pemikiran sendiri tanpa peduli dengan
pemikiran-pemikiran umum yang dianggap lumrah [ maverick = person who
dissent from the ideas of an organized group ].

Sebagai seorang maverick yang selalu ingin tampil beda, ia tidak pernah
menghargai pendapat orang lain. Selalu teguh pada pendapat sendiri, walau
pendapat tersebut mungkin bertentangan dengan pendapat yang dianggap
“lumrah” atau “benar” waktu itu
Gelar lain yang diberikan pada Veblen adalah iconoclast, yaitu orang yang
suka menyerang dan ingin menjatuhkan ide-ide atau gagasan-gagasan orang-
orang atau institutradisional yang diterima secara umum [ iconoclast = one
who attacks and seeks to overthrow traditional or popular ideas or institutions]
Sebagai seorang iconoclast ia tak pernah segan dan tak pernah ragu menentang
pendapat para establishment
Gelar “radikal” juga cocok untuk Veblen, sebab ia sering atau bahkan terus
menerus mempermasalahkan inti kebenaran dari kata susunan masyarakat.
Sebagaimana akan dijelaskan nanti, salah satu hal yang sering
dipermasalahkannya ialah kebenaran tesis Neo-Klasik tentang konsep utilitas
marjinal [marginal utility ] dan asumsi tingkah laku konsumen rasional.
Dengan gelar-gelar sebagaimana disebutkan di atas Veblen sering
diperbandingkan dengan Karl Mark, tokoh sosialis/marxis yang juga
mempunyai kemampuan intelektual yang luar biasa dan sama-sama sering
melawan arus serta revolusioner. Bahkan latar belakang pendidikan di antara
keduanya mempunyai kemiripan, yaitu sama-sama mempunyai latar belakang
pendidikan yang luas di bidang sosiologi, politik, falsafah, dan antropologi di
samping ekonomi.
Pendidikan awal yang di tempuh Veblen adalah bidang filsafat, yang di
ambilnya di Johns Hopskins University dan Yale University. Kemudian ia
memperdalam ekonomi di Cornel University. Walaupun ia seorang yang
brilian, tetapi anehnya jabatannya sebagai dosen tidak pernah lebih tinggi dari
pembantu profesor, baik waktu ia mengajar di Chicago, Stanford, maupun
Missouri. Ada yang menganggap hal itu karena ia tidak terlalu tertarik untuk
mengajar, dan ada pula yang menghubungkannya dengan pribadinya yang
termasuk tipe orang yang sulit bergaul.
Bagaimana gambaran dari seorang Veblen yang mempunyai pribadi yang sulit
ini dapat kita lihat sebagai berikut: karena namanya sangat terkenal pada waktu
pendaftaran mahasiswa, mahasisiwa berbondong-bondong mengambil mata
kuliah yang diajarkanya. Tetapi yang ditemui mahasiswa adalah seorang
eksentrik yang selalu menggerutu. Pada hari pertama kuliah, ia menghabiskan
seluruh papan tulis membuat daftar bacaan yang harus dikuasai mahasiswa,
dan akan diuji minggu depannya. Tentu saja ini membuat mahasiswa ngeri.
Sebagai akibatnya, ruang kuliahnya makin lama makin sepi, dan pada akhir
semester hanya tinggal beberapa mahasiswa saja. Sebagai dosen killer ia tidak
pernah memberi nilai di atas C, yang membuat ruang kuliahnya makin dijauhi
mahasiswa.
Dari buku-buku yang ditulisnya telah membuat Veblen telah menjadi sangat
terkenal. Karya tulisannya yang tajam, dengan analisis yang langsung menukik
pada persoalan, membuat dihargai oleh rekan-rekan seprofesi. Beberapa buku
yang ditulisnya seperti: the theory of lesure class[1899], the theory of business
enterprise [1904], the instinct of workmanship and the state of the industrial
art: [terbit tahun 1914, dan tahun 1920 dipublikasikan kembali dengan judul:
the vested interest and the common man ]; the enggineer and the price system
[1921]; absentee ownership and business enterprise in recent times the case of
America. Selain buku-buku yang disebutkan di atas masih banyak buku-buku
yang lain yang ditulisnya menyangkut masalah sosial, politik, bahkan juga
tentang pertahanan keamanan, dunia pendidikan, dan sebagainya.

C. Pemikiran Thorstein Bunde Veblen


1. Motivasi konsumen
Dalam The Theory of the Leisure Class, Veblen menjelaskan hal-hal yang
berhubungan dengan dorongan dan pola perilaku konsumsi masyarakat.
Sebagai seorang pemikir, Veblen merasa tidak puas dengan kondisi
masyarakat yang ada di sekitarnya, dia sering melihat situasi-situasi masa
lalu yang dinilainya lebih baik dari pada situasi-situasi dan keadaan
sekarang, terutama dalam masyarakat Amerika yang diamatinya.

Menurut Veblen, dulu perilaku orang terikat dengan masyarakat sekeliling,


tingkah laku dari masyarakat itu dapat memberikan pengaruh terhadap
perkembangan masyarakat. Kalau dulu orang berusaha untuk menghindari
dan tidak melakukan perbuatan yang dapat merugikan orang banyak, tapi
sekarang menurut Veblen dalam masyarakat kapitalis finansial di Amerika
justru orang- orang hanya mementingkan diri sendiri dan tidak perduli
terhadap orang lain.
Yang diperhatikan oleh masyarakat sekarang adalah uang, segala sesuatu
dinilai dengan uang. Sekarang orang tidak peduli apakah perilaku
ekonominya merugikan orang lain atau tidak, orang berlomba-lomba untuk
mencari dan memperebutkan harta tanpa peduli akan cara yang
dilakukannya apakah benar atau salah, yang penting apa yang mereka
inginkan tercapai. Mereka menganggap harta adalah segala-galanya dalam
hidup. Hal itu terjadi karena mereka berpandangan bahwa hanya harta yang
mampu menaikkan status dan harga diri seseorang dalam masyarakat.
Ketika harta mereka telah banyak terkumpul, mereka memiliki banyak
waktu untuk bersenang-senang (leisure). Dengan demikian, pada masa
sekarang kemampuan untuk hidup bersenang-senang juga dijadikan
sebagai alat untuk memperlihatkan derajat atau status seseorang di
masyarakat. Sehingga bisa dikatakan semakin banyak waktunya untuk
bersenang-senang maka semakin tinggi derajatnya di masyarakat.
Penyakit seperti ini banyak menghinggapi kaum wanita. Sebagai contoh
misalnya si A memakai gaun mode mutakhir dalam kesehariannya. Apa
yang dia lakukan hanya sekedar untuk memberitahukan kepada orang-
orang bahwa dia sudah tidak bekerja lagi melainkan sekarang dia
menikmati apa yang telah dia miliki.
Karena aktivitas bersenang-senang (leisure) dijadikan sebagai indikator
kesuksesan seseorang, maka keluarga kaya yang ingin dianggap hebat,
sebagai seorang suami dia tidak pernah mengizinkan istri dan anak-
anaknya mengerjakan pekerjaan rumah, semua pekerjaan diserahkan
kepada pembantu. Sementara pembantu bekerja istri dan anak-anak sibuk
mencari kesenangan masing-masing.
Penyakit suka pamer ini menurut Veblen cepat berjangkit ke dalam
masyarakat. Sebagai contoh, Misalnya Jesika baru pulang dari Singapura,
dia memamerkan barang-barang yang dibelinya dari Singapura tersebut,
kerena temannya yang bernama Ayu juga baru pulang dari Amerika ,
supaya tidak kalah bersaing si Ayu ini juga memamerkan barang-barang
yang telah dibelinya di Amerika.
Dengan harta berlimpah orang berlomba-lomba membeli barang-barang
yang digunakan untuk pamer. Kecenderungan perilaku konsumsi seperti ini
disebut Veblen dengan istilah conspcuous comsumption yaitu konsumsi
barang-barang dan jasa yang bersifat ostentatious ( pamer ). Hal itu
dimaksudkan untuk membuat orang kagum, yang menjadi konsumsi utama
bagi masyarakat leisure adalah barang-barang mahal. Mereka tidak perduli
apakah barang yang mereka beli itu berguna atau tidak dalam kehidupan
sehari-hari, semakin mahal harga barang yang dibeli maka mereka semakin
yakin kalau barang tersebut indah dan hebat.
Manfaat yang diperoleh dari pengonsumsian barang-barang mahal tersebut
memang tidak diperoleh dari barang itu sendiri, tetapi mereka merasakan
ada manfaat ketika barang yang mereka beli itu mendapat perhatian dan
pujian dari orang-orang sekitar, semakin kagum orang pada apa yang
dibelinya semakin tinggi tingkat kepuasan mereka. Tetapi jika barang yang
mereka beli tidak mendapat respon dan pujian dari orang sekitar maka
mereka akan kecewa dan merasa pusing tujuh keliling.
Apa yang dikatakan Veblen tentang perilaku konsumsi bermewah-
mewahan di atas adalah faidah atau manfaatnya tidak diperoleh langsung
dari barang yang ia konsumsi melainkan dari dampaknya terhadap orang
lain. Bagi Veblen, gambaran di atas sangat bertolak belakang dengan
pandangan dari aliran kaum Klasik dan Neo-Klasik.
Menurut Neo-Klasik orang akan selalu memilih alternatif konsumsi terbaik
untuk memperoleh kepuasan sebesar-besarnya, kemudian pandangan dari
Neo-klasik ini juga bertentangan dengan pendapat kaum Klasik yang
mengatakan bahwa setiap keputusan konsumen didasarkan pada rasio,
bukan emosi.
Menurut pandangan Veblen, orang yang membeli suatu barang yang
melebihi proporsi yang wajar, jelas tidak rasional. Namun, lebih bersifat
emosional. Dan yang lebih parah lagi, kadang-kadang tingkah laku mereka
seperti orang norak. Hal seperti ini sering terjadi pada golongan nouve
riche, atau di Indonesia dikenal dengan istilah orang kaya baru (OKB).
Golongan ini umumnya berasal dari orang miskin yang kemudian berhasil
meningkatkan status finansialnya. Karena kurang terbiasa dengan pola
hidup orang-orang kaya, perilaku konsumsinya sepeti menjadi tidak wajar.
Veblen melihat bahwa perilaku conspicuous consumption semakin
menggejala dalam masyarakat kapitalis finansil liberal Amerika. Perilaku
seperti ini sangat dibenci dan ditentang oleh Veblen. Karena dari hasil
pengamatannya ia menyaksikan bahwa orang Amerika cenderung semakin
manja. Banyak di antara mereka yang kerjanya hanya menghambur-
hamburkan waktu, tenaga, dan sumber daya. Jika kecenderungan seperti
ini tidak dicegah, menurut Veblen bangsa Amerika suatu saat akan
tertinggal dari bangsa-bangsa lain yang lebih perhitungan dalam
membelanjakan pendapatan mereka.
2. Perilaku pengusaha
Dalam bukunya yang lain The Theory of Business Enterprise, Veblen lebih
jauh menjelaskan kemiripan perilaku pengusaha Amerika dengan perilaku
konsumsi yang diceritakan di atas. Veblen dalam hal ini juga melihat
bahwa perilaku para pengusaha Amerika di masanya telah banyak
mengalami perubahan. Dahulu para pengusaha pada umumnya
menghasilkan barang-barang dan jasa untuk memperoleh keuntungan
dengan kerja keras. Akan tetapi, pada masa sekarang laba atau keuntungan
sebagian tidak lagi diperoleh melalui kerja keras dengan menciptakan
barang-barang yang disukai konsumen, tetapi untuk mencari keuntungan
mereka melakukannya melaui trik-trik bisnis. Produksi seperti ini
disebutnya production for profit.
Veblen melihat bahwa pada masa sekarang semakin banyak dijumpai
jenis pengusaha pemangsa (predator). Pengusaha ini adalah para
pengusaha yang memperoleh keuntungan melalui berbagai cara tanpa
mempedulikan nasib orang lain, termasuk para pegawai dan karyawan
yang bekerja di perusahaan yang dimilikinya. Apalagi terhadap nasib para
konsumen yang membeli produk-produknya, tidak ada perhatian mereka
sama sekali.
Veblen melihat dalam masyarakat Amerika yang tumbuh begitu pesat
telah melahirkan suatu golongan yang disebutnya absentee ownership,
yang dimaksudnya dengan golongan absentee ownership adalah para
pengusaha yang memiliki modal besar dan menguasai sejumlah
perusahaan, tetapi tidak ikut terjun langsung dalam kegiatan operasional
perusahaan. Kegiatan operasional perusahaan diserahkan kepada para
professional dan karyawan kepercayaannya. Walaupun golongan ini tidak
ikut langsung dalam kegiatan operasional perusahaan, pada kenyataannya
ia malah memperoleh keuntungan paling besar.
Sebagai contoh, misalnya tentang pengusaha yang bergerak dalam bidang
perkeretaapian. Ketika Amerika melakukan pembukaan kawasan dari
pantai Timur hingga pantai Barat, yang merancang dan melaksanakan
pembuatan jaringan kereta api adalah tenaga-tenaga professional yang
diupah. Sementara itu sang pengusaha sebagai pemilik modal hanya
“ongkang-ongkang kaki” saja. Mereka tidak mengarahkan pikiran dan
energi dalam kegiatan operasional, tetapi memperoleh bagian keuntungan
paling besar.
Menurut Veblen para pengusaha yang hanya mementingkan laba tanpa
memperhatikan cara ini biasanya melakukan kongkalingkong dengan
penguasa. Dengan begitu, mereka mendapat berbagai kemudaahan dan
hak-hak istimewa, misalnya dalam menguasai bahan-bahan mentah dan
menguasai daerah-daerah pemasaran. Ia juga biasanya mampu mengatur
pejabat kehakiman untuk tidak mempersoalkan kedudukan monopolinya
atau agar tidak menggubris manipulasi pajak dan keuangan yang
dilakukannya.
Di beberapa negara berkembang yang masih belum mempunyai aturan
permainan atau rule of law yang jelas, sering dijumpai adanya kerja sama
antara pengusaha dengan militer demi mengamankan bisnis monopolinya.
Artinya, kalau ada pengusaha lain yang ikut dalam bisnis yang
dimonopolinya, ia akan berurusan dengan militer. Pihak berwajib biasanya
diberi hadiah atau promosi naik pangkat. Hal ini mudah diatur, sebab sang
pengusaha biasanya dekat atau memang ada hubungan keluarga dengan
pihak berwajib tersebut.
Dengan monopoly power yang ada di tangan, mereka juga sering
mengurangi penawaran (supply) barang-barang, sehingga harga dapat
melambung tinggi, dengan begitu pengusaha dapat memperoleh
keuntungan yang lebih besar lagi. Dengan demikian, uang atau modal di
tangan pengusaha, pemangsa lebih sebagai alat pengeksploitasi
keuntungan sebesar-besarnya daripada sebagai asset yang dikelola dengan
efisien untuk memuaskan kebutuhan konsumen sebagaimana yang terjadi
dalam perusahaan sungguhan.
Untuk memperoleh laba yang sebesar-besarnya ada pengusaha absentee
ownership yang tidak segan-segan mematikan usaha pengusaha
sungguhan yang memperoleh keuntungan dengan kerja keras. Salah satu
cara untuk itu ialah dengan melakukan akuisisi. Cara lain untuk
mematikan pesaing lain adalah dengan membanting harga, sehingga
produk-produk dari perusahaan-perusahaan pesaing tersebut tidak laku.
Setelah pesaing mati dan keluar dari pasar, biasanya mereka kembali
menaikkan harga dan memperoleh laba sangat besar (excessive profit).
Veblen menilai bahwa para pengusaha absentee ownership yang bisa
memperoleh keuntungan besar dengan cara kongkalingkong tersebut
sangat berpotensi melahirkan golongan leisure class. Secara psikologis
orang yang bisa memperoleh sesuatu tanpa kerja keras biasanya
cenderung tidak menghargai sesuatu yang diperolehnya. Oleh karena itu,
tidak mengherankan kalau perilaku konsumsinya akan bersifat
conspicuous consumption. Perilaku mereka yang suka pamer tersebut
kadangkala sangat norak, sebab suka membeli sesuatu yang tidak
dimanfaatkan dengan sewajarnya. Hal ini berbeda dengan perilaku
konsumsi pengusaha murni yang serius dan bekerja keras dalam berusaha.
Karena keberhasilan diperoleh melalui kerja keras mereka akan lebih
perhitungan dalam mengonsumsi barang-barang dan jasa untuk memenuhi
kebutuhannya.
Dari uraian di atas, tidak mengherankan jika Veblen menolak keras
teorinya kaum Klasik, teori yang ditentangnya menganggap bahwa usaha
setiap orang untuk mengejar kepentingan masing-masing pada akhirnya
akan melahirkan suatu harmoni dan keseimbangan dalam masyarakat
secara keseluruhan. Hal itu karena dari gejala-gejala yang diamatinya, ia
melihat bahwa perilaku pengusaha yang hanya mengejar kepentingan
pribadi sangat bertolak belakang dengan tujuan masyarakat secara
keseluruhan. Sebaliknya, demi mengejar kepentingan pribadi ada
pengusaha yang tidak segan-segan menghambat dan mematikan
kepentingan orang banyak.
Penutup
A. Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa dalam pemikiran
ekonomi Institusional Veblen mengatakan bahwa pola perilaku masyarakat
mengalami perubahan baik itu dalam berproduksi maupun mengkonsumsi, di
mana dalam mengkonsumsi mereka memprioritaskan kesenangan dan poya-
poya dalam konsumsi sehingga menyebabkan munculnya kelompok leisure
class.
Kemudian dalam berproduksi menurut Veblen pengusaha cenderung bersifat
absentee ownership, di mana dalam mengembangkan usahanya mereka hanya
berdiam diri sedangkan yang menjalankan usahanya tenaga professional yang
digaji.
Pola perilaku seperti di atas terjadi pada masyarakat Amerika, tetapi tidak
menutup kemungkinan pola perilaku seperti itu juga terjadi pada masyarakat
Indonesia sekarang ini. Dengan adanya teori dari Veblen itu, sehingga kita tahu
bahwa sebenarnya pola perilaku masyarakat juga perlu diatur baik itu dalam
berproduksi maupun dalam mengkonsumsi.
Sedangkan menurut pendapat Imam asy-Syatibi maqashid al syariah
(kemaslahatan) akan terealisasi apabila lima unsur pokok kehidupan manusia
dapat terwujud dan terpelihara, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Kemaslahatan mempunyai relevansi yang begitu erat dengan konsep motivasi.
Di mana konsep motivasi itu lahir seiring dengan munculnya persoalan
“mengapa” seseorang berperilaku. Motivasi itu didefinisikan sebagai seluruh
kondisi usaha keras yang timbul dari dalam diri manusia yang digambarkan
dengan keinginan, hasrat, dan dorongan. Bila dikaitkan dengan konsep
maqashid al- syariah, jelas bahwa, dalam pandangan Islam motivasi dalam
melakukan aktivitas ekonomi adalah untuk memenuhi kebutuhannya dalam arti
memperoleh kemaslahatan hidu p di dunia dan akhirat.
Kebutuhan yang belum terpenuhi merupakan kunci utama dalam suatu proses
motivasi. Seorang individu akan terdorong untuk berperilaku bila terdapat
suatu kekurangan dalam dirinya, baik secara psikis maupun psikologis.
Motivasi itu sendiri meliputi usaha, ketekunan dan tujuan. Apabila manusia
termotivasi untuk selalu berkreasi dan bekerja keras, maka hal itu akan mampu
meningkatkan produktivitas kerja dan pertumbuhan ekonomi secara
keseluruhan.
Jadi, terdapat perbedaan pandangan antara Veblen dengan Imam asy- Syatibi
mengenai perilaku konsumen dan perilaku produsen. Kalau menurut Veblen
tujuan hidup manusia untuk kesenangan dan kesejahteraan dunia belaka,
sedangkan menurut Imam asy-Syatibi dalam Islam kita tidak hanya
memikirkan kesejahteraan dunia semata, tetapi kita juga memikirkan
kesejahteraan untuk akhirat
Daftar Pustaka
Deliarnov, Perkembangan Pemikiran Ekonomi, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010
Mark Skoeusen, Sang Maestro “Teori-Teori Ekonomi Modern”, Sejarah Pemikiran
Ekonomi, Jakarta: Pranada, 2006
Azwar Karim, Adiwarman, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada,2008
http://nanxsu.blog.com/2012/03/25/ekonomi-institusional

Anda mungkin juga menyukai