Materi Kerangka Berfikir Ilmiah
Materi Kerangka Berfikir Ilmiah
Definisi.
Pertama yang harus didefinisikan adalah kata definisi
itu sendiri. Mengapa demikian? Tanpa kita sadari secara penuh,
sebenarnya “Definisi” adalah unsur pengetahuan yang kita
butuhkan. Baik dalam kehidupan Ilmiah maupun dalam kehidupan
sehari-hari kita sering berurusan dengan “Definisi”[2].
Lalu apa defenisi dari “Defenisi”? Secara
sedrhana defenisi adalah Batasan /Membatasi sesuatu sehingga
kita dapat memiliki pengertian terhadap
sesuatu atau memberikan pengertian/penjelasan tentang sesuatu
hal dan disertai dengan batasan-batasan sehingga hal tersebut
menjadi jelas. Karena teori ini mengharuskan adanya “Batas”
dalam sebuah objek yang hendak didefinisikan, secara langsung
juga membutuhkan sesuatu yang menjadi karakteristiknya.[3] Apa
karakteristik itu? Secara singkat dapat kita sebut
sebagai Genera (Jenis) dan Difffferentia (Sifat
pembeda). Dapat disimpulkan bahwa inti dari definisi yang
pertama ini adalah menjelaskan sesuatu yang terbatas.
Konsekwesinya, jika sesuatu tidak terbatas maka tidak dapat
didefinisikan.
Jika kita mencoba mendefinisikan judul diatas (kerangka
berpikir ilmiah) maka kurang lebih seperti berikut:
Kerangka adalah sesuatu yang menyusun atau menopang yang
lain, sehingga sesuatu yang lain dapat berdiri,
dan Berpikir merupakan gerak akal dari satu titik ke titik
yang lain. Atau bisa juga gerak akal dari pengetahuan yang
satu ke pengetahuan yang lain. Pengetahuan pertama kita adalah
ketidaktahuan (kita tahu bahwa kita sekarang tidak mengetahui
sesuatu), pengetahuan yang kedua adalah tahu (kemudian kita
mengetahui apa yang sebelumnya tidak kita tahu). Wajar
kemudian ada juga yang mendefinisikan berpikir sebagai gerak
akal dari tidak tahu menjadi tahu. Tapi yang penting (inti
pembahasannya) adalah adanya gerak akal.
Ilmiah adalah sesuatu hal/penyataan yang bersifat
keilmuan yang sesuai dengan hukum-hukum ilmu pengetahuan. Atau
sesuatu yang dapat dipertanggung jawabkan, dengan menggunakan
metode Ilmiah (Prosedur atau langkah-langkah sistematis yang
perlu diambil guna memperoleh pengetahuan yang didasarkan atas
uji coba hipotesis serta teori secara terkendali). Satu hal
yang menjadi garis bawah adalah “kebenaran ilmiah tidak
mutlak, melainkan bersifat sementara, relatif, metodologis,
pragmatis, dan fungsionalis, dan pasti Epistemologis”[4].
Dengan demikian dalam kacamata dunia Ilmiah berdasarkan metode
ilmiah, ilmu pengetahuan sebagai hasil fikir manusia akan
terus bertambah tanpa mengenal batas
akhir.Permasalahan Berfikir Ilmiah sudah tentu tidak terlepas
dari kajian filsafat ilmu, karena ia merupakan bagian dari
pengetahuan ilmiah. Sebelum memasuki pembahasan mendalam
penting kiranya saya jelaskan secara singkat apa itu filsafat?
(Mengingat kajian kita nantinya akan banyak bersinggungan
dengan keilmuan ini).
Filsafat atau Falsafah (Arab) Pilosopia (Latin) bada
dasarnya berasal dari bahasa Yunani “Philo” yang berarti cinta
dan “Sophia” yang berarti arif, bijaksana / pandai. Secara
bahasa semula Filsafat lazim diterjemahkan sebagai cinta
kearifan, kepandaian[5]. Namun, cakupan pengertian “Sophia”
yang semula itu ternyata luas sekali. Dahulu “Sophia” tidak
hanya berarti kearifan saja, melainkan meliputi pula kebenaran
pertama, pengetahuan luas, kebajikan intelektual, pertimbangan
sehat dll.
Pembahasan.
Seorang filosof pada dasarnya bukan sosok yang menakutkan
/ kafir / tidak familier, karena tujuan awal dari filsafat
sendiri adalah Love of Wisdom sehingga orang yang berfikir
filsafat hakekatnya adalah pencari kebijaksanaan &
mencintainya. Istilah ini konon pertama di perkenalkan oleh
pytagoras.[6]
Jika diatas kita sudah membahas makna Filsafat secara
bahasa, sekarang bagaimana pemaknaan filsafat itu menurut para
filosof besar? Plato; Filsafat adalah pengetahuan yang
berminat mencapai pengetahuan kebenaran
asli. Aristoteles; Filsafat adalah ilmu (Pengetahuan) yang
meliputi kebenaran yang terkandung didalam ilmu-ilmu
metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik dan
estetika. Al-Farbi; Filsafat adalah ilmu pengetahuan ttg alam
wujud, bagaimana hakekat yang sebenarnya. Hasbullah
Bakry; Ilmu filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala
sesuatu dengan mendalam.[7]
Disini penulis akan menitik beratkan pada tradisinya,
bukan sekedar pengertiannya.Dari sekian filosof yang kita
kenal baik didunia barat maupun timur, ada satu tradisi yang
hampir-hampir menjadi benang merah ketika menyelesaikan
sesuatu sdengan jalan filosofis, yaitu tradisi
berfikir. Filsafat yang mempunyai arti sebagai berpikir secara
radikal, menyeluruh dan sistematis. Maksudnya, dengan berpikir
radikal (bhs Yunani radix=akar) atau sampai ke akar-
akarnyabukan cuman dlohirnya, sehingga melihat sesuatu secara
menyeluruh dan tersusun sehinggadiharapkan kita dapat
lebih arif dalam melihat persoalan. Ketika dilekatkan dengan
kata ilmu maka berarti secara radikal, menyeluruh,
komperhensif, diskriptif dan sistematis[8] terhadap ilmu.
Menurut Jujun S. Suriasumantri filsafat ilmu merupakan
bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secara
spesifik mengkaji hakikat ilmu (pengetahuan ilmiah). Lebih
lanjut Jujun mengatakan bahwa semua sistem kefilsafatan selalu
berkisar pada masalah Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi
karena, ketiga sub sistem tersebut selalu berkaitan satu sama
lain. Ontologi ilmu terkait dengan Epistemologi ilmu, dan
Epistemologi ilmu terkait dengan Aksiologi ilmu.
Atau secara sederhana dapat kita katakan
bahwa: Epistemologi adalah ilmu yang membahas tentang sumber
pengetahuan berikut kevalidan sebuah sumber. Kedua Ontologi,
membahas tentang hakikat sesuatu dalam hal eksistensi dan
esensi. Atau dengan kata lain keberadaan dan keapaan sesuatu.
Ketiga aksiologi, membahas tentang kegunaan sesuatu. Dalam
materi ini saya akan lebih banyak membahas aspek Epistemologi,
yang lainnya hanya untuk memperjelas saja.
Menurut William S. Sahakian; Epistemologi merupakan
“pembahasan mengenai bagaimana kita mendapatkan pengetahuan :
Apakah sumber pengetahuan? Apakah hakikat, jangkauan dan ruang
lingkup pengetahuan? Apakah manusia dimungkinkan untuk
mendapatkan pengetahuan? Sampai tahap mana pengetahuan yang
mungkin untuk ditangkap manusia.
Secara Bahasa / Lughowi, Epistemologi berasal dari
bahasa Yunani, episteme, yang berarti pengetahuan. Istilah
yang sama dalam bahasa yunani adalah Genosis, sehingga dalam
sejarahnya istilah Epistemologi ini pernah juga disebut
“Genoseologi”.[9] Pengetahuan dalam hal ini ada beberapa
persoalan pokok yang secara garis besar terbagi dua. Pertama,
persoalan tentang apa yang kelihatan (phenomena/appearance)
versus hakikat (noumena/essence): Apakah sumber pengetahuan?
Dari mana sumber pengetahuan yang benar itu datang? Bagaimana
cara diketahuinya? Benarkah ada realita di luar pikiran kita?
Apakah kita mengetahuinya?. Kedua, tentang mengkaji kebenaran
atau verifikasi: Apakah pengetahuan kita itu benar (valid)?
Bagaimana kita dapat membedakan yang benar dan yang
salah?. (Ringkasnya; Bagaimana kita mengetahui atau memperoleh
pengetahuan dan bagaimana menguji kebenaran pengetahuan tsb /
Evaluatif dan Kritis)[10].
Lantas apa itu pengetahuan? Ada yang mengatakan
pengetahuan adalah informasi atau ide, yang telah diterima
sebagai fakta yang benar, bisa jadi itu diperoleh dengan
pengindraan atau kegiatan empirik secara langsung maupun
melalui proses penalaran rasional terhadap ide-ide yang telah
ada dalam alam pikir manusia.[11] Dikemudian hari orang yang
lebih menekankan kegiatan empirik untuk memperoleh pengetahuan
dikatagorikan dalam penganut faham Empirisme sedangkan yang
mengandalkan pada rasionalitas disebut sebagai penganut faham
Rasionalisme sebagaimana sejarah Filsafat Barat mencatat; Ada
dua aliran pokok dalam epistemologi. Pertama, idealism atau
rasionalism (Plato), yaitu suatu aliran pemikiran yang
menekankan pentingnya peran “akal”, “idea”, “category”,
“form”, sebagai sumber ilmu pengetahuan, dan mengesampingkan
peran “indera”. Kedua,
adalah realism atauempiricism (Aristoteles), yaitu aliran
pemikiran yang lebih menekankan peran “indera” sebagai sumber
sekaligus alat memperoleh pengetahuan, serta menomorduakan
akal. Kedua aliran tersebut lahir pada zaman Yunani antara
tahun 423 sampai dengan tahun 322 sebelum Masehi.
Selanjutnya dalam sejarah filsafat Islam tercatat aliran
epistemologi yang menekankan pentingnya integrasi
metode rasionalism dan empiricsm yang melahirkan metode
eksperimen. Dalam metode ini pertentangan antara penalaran
rasio dan empiri seperti yang dianut Barat dihilangkan. Metode
ini dikembangkan oleh sarjana-sarjana Muslim pada abad
keemasan Islam, yaitu ketika ilmu dan pengetahuan lainnya
mencapai titik kulminasi antara abad IX dan XII Masehi.
Kemudian diperkenalkan di dunia Barat oleh filsuf Roger Bacon
(1214-1294) serta dimantapkan sebagai paradigma ilmiah atas
usaha Francis Bacon (1561-1626). Fakta ini diperkuat oleh H.G.
Wells yang menyatakan bahwa “jika orang Yunani adalah bapak
metode ilmiah, maka orang Muslim adalah bapak angkatnya”.
Dalam perjalanan sejarah maka lewat orang Muslimlah dunia
modern sekarang ini mendapatkan kekuatan dan cahayanya, dan
diakui telah memberi sumbangan besar bagi lahirnya renaissans
dalam peradaban Barat (Insya Allah akan dibahas nanti, jika
memungkinkan, jika tidak ya tetap bisa dipelajari & bisa
dibaca).
Setelah mengetahui pokok dasar dari
epistemologi adalah “Bagaimana kita mendapat pengetahuan”
perlu kiranya kita mengetahui sumber-sumber
pengetahuan. Secara umum ada beberapa mazhab pemikiran
yang berusaha menawarkan sumber-sumber
pengetahuansebagai mana berikut:
1. Skriptualisme
Skriptualisme adalah sebuah sistem berpikir yang dalam
menilai kebenaran digunakan teks kitab. Asumsi dasar yang
terbangun adalah teks dalam kitab mutlak adanya, oleh
karenanya dalam penilain kebenaran harus sesuai dengan teks
kitab. Mempertanyakan teks kitab sama saja dengan
mempertanyakan kemutlakan. Biasanya kaum skriptual adalah
orang yang beragama secara sederhana. Maksudnya, peran akal
dalam wilayah keagamaan sangat sempit bahkan hampir tidak ada.
Akal dianggap terbatas dan tidak mampu menilai, olehnya
kembali lagi ke teks kitab. Namun dalam wilayah epistemologi,
skriptualisme memiliki beberapa kekurangan, antara lain:
· Tidak memiliki alasan yang jelas, mengapa kita harus
mempercayai kitab tersebut. Kalau yang mutlak adalah teks
kitab, maka pertanyaannya “Bagaimana caranya diantara banyak
kitab menilai bahwa kitab inilah yang benar”. Kalau kita
langsung percaya, maka kitab lain juga harus kita langsung
percaya. Nah, kalau kontradisi, kitab yang mana benar?
Artinnya, kelemahan pertamanya adalah butuh sesuatu dalam
membuktikan kebenaran sebuah kitab.
· Dari kelemahan pertama dapat kita turunkan kelemahan
berikutnya, yakni: terjebak pada subjektifitas. Artinya,
kebenaran sebuah kitab sangat tergantung pada umatnya.
Kebenaran Al Qur’an, walau berbicara universal, hanya
dibenarkan oleh umat Islam. Umat Nasrani, Budha dan sebagainya
meyakini kitab mereka masing-masing. Sementara kita tidak
dapat memaksakan kitab kita pada umat lain sebagaimana kita
pun pasti tidak akan menerima teks kitab umat lain
· Kelemahan ketiga adalah teks adalah “tanda” atau simbol
yang membutuhkan penafsiran. Kitab tidak bisa berinteraksi
langsung, tetapi melewati proses penafsiran. Sementara dalam
penafsiran sangat tergantung kualitas intelektual dan
spiritual seseorang. Makanya kemudian, adalah wajar jika
sebuah teks dapat dimaknai berbeda. Sebagai contoh, surah 80:1
2. Idealisme Platonian
Pemikiran Plato dapat digambarkan kurang lebih seperti
ini. Sebelum manusia lahir dan masih berada di alam ide, semua
kejadian telah terjadi. Olehnya, manusia telah memiliki
pengetahuan. Ketika terlahir di alam materi ini, pengetahaun
itu hilang. Untuk itu yang harus manusia lakukan kemudian
adalah bagaimana mengingat kembali. Pengetahuan yang kita
miliki hari ini kemarin dan akan datang sebetulnya (dalam
perspektif teori ini) tidak lebih dari pengingatan kembali.
Teori ini juga sering disebut sebagai teori pengingatan
kembal. Namun sebagai alat penilaian, teori ini memiliki
beberapa kekurangan.
· Tidak ada landasan yang memutlakkan bahwa dahulu kita
pernah di alam ide
· Turunan dari yang pertama, kalaupun (jadi diasumsikan
teori ini benar) ternyata sebelum lahir kita telah memiliki
pengetahuan, maka persoalannya adalah apakah pengetahuan kita
saat ini selaran dengan pengetahuan kita sewaktu di alam ide.
Kalau dikatakan selaras, apa yang dapat dijadikan bukti.
· Ketiga, tidak diterangkan dimanakah ide dan material
itu menyatu (saat manusia belum dilahirkan), dan mengapa
disaat kita lahir, tiba-tiba pengetahuan itu hilang. Kalau
dikatakan material kita terlalu kotor untuk menampung ide,
maka mengapa saat ini kita bukan saja memiliki ide, tapi
bahkan mampu mengembangkan ide disaat material kita justru
semakin kotor.
3. Empirisme
Doktrin empirisme berlandaskan pada pengalaman dan
persepsi inderawi. Oleh karena itu, kebenaran dalam doktrin
ini adalah sesuatu yang dapat ditangkap oleh indra manusia.
Bangunan sains kita pada hari ini sangat kental nuansa
empirisnya. Tetapi empirisme memiliki kekurangan sebagai
berikut:
· Indera terbatas mata misalnya memiliki daya jangkau
penglihatan yang berbeda. Begitupun telinga dan indera
lainnya. Olehnya indera hanya bisa menangkap hal-hal yang
bersifat terbatas atau material pula. Makanya fenomena
penyembahan dan jatuh cinta misalnya, tidak dapat dijawab
dengan tepat oleh kaum empiris.
· Indera dapat mengalami distorsi. Sebagai contoh
terjadinya fatamorgana atau pembiasan benda pada dua zat
dengan kerapatan molekul berbesa. Ketika kita masukkan pensil
ke dalam gelas berisi air kita akan melihatnya bengkok karena
kerapatan molekul air, gelas dan udara sebagai medium berbeda.
Padahal jika kita periksa ternyata pensil tetap lurus.