Anda di halaman 1dari 6

Teori Koherensi

Teori kebenaran koherensi adalah teori kebenaran yang didasarkan pada kriteria
koheren atau konsistensi. Pernyataan-pernyataan ini mengikuti atau membawa kepada
pernyataan yang lain. Berdasarkan teori ini suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan
itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap
benar (Jujun, 1990:55) artinya pertimbangan adalah benar jika pertimbangan itu bersifat
konsisten dengan pertimbangan lain yang telah diterima kebenarannya, yaitu yang koheren
menurut logika.
Suatu kebenaran tidak hanya terbentuk karena adanya koherensi antara pernyataan
dan realitas saja, akan tetapi juga karena adanya pernyataan yang konsisten dengan
pernyataan sebelumnya. Dengan kata lain suatu proposisi dilahirkan untuk menyikapi dan
menanggapi proposisi sebelumnya secara konsisten serta adanya interkoneksi dan tidak
adanya kontradiksi antara keduanya.
Misalnya bila kita menganggap bahwa maksiat adalah perbuatan yang dilarang oleh
Tuhan. Adalah sesuatu pernyataan yang benar, maka pernyataan bahwa mencuri adalah
perbuatan maksiat, maka pencuri dilarang oleh Tuhan adalah benar pula. Sebab pernyataan
kedua adalah konsisten dengan pernyataan yang pertama.
Kelompok idealis seperti Plato juga filosof-filosof modern seperti Hegel, Bradley dan
Royce memperluas prinsip-prinsip koherensi sehingga meliputi dunia. Dengan begitu maka
tiap-tiap sistem kebenaran yang parsial bersifat terus-menerus dengan keseluruhan realitas
dan memperoleh arti dari keseluruhan tersebut.
Teori koherensi
Kebenaran atau keadaan benar apabila ada persesuaian antara pernyataan dengan pernyataan
yang lain yang sudah lebih dulu diketahui, diterima dan diakui sebagai hal yang benar dan
berdasarkan pada penyaksian/justifikasi tentang kebenaran, karena putusan dianggap benar
apabila mendapatkan persaksian oleh putusan yang lainnya yang sudah di ketahui/tahan uji.

Koherentisme
Koherentisme berasal dari bahasa Latin yaitu cohaerere yang berarti melekat, tetep
menyatu, dan bersatu. Menurut teori ini, ukuran kebenaran adalah hamorni internal proposisiproposisi dalam suatu sistem tertentu. Suatu proposisi dikatakan benar kalau proposisi itu
konsisten dengan proposisi lain yang sudah diterima atau diketahui kebenarannya. Dengan
kata lain, proposisi baru dikatakan benar kalau proposisi itu dapat dimasukkan ke dalam suatu
sistem tanpa mengacaukan keharmonisan internal sistem tersebut. Menjadi benar berarti
menjadi unsur dari suatu sistem yang tidak berkontradiksi. Koherentisme merupakan semua
kepercayaan yang mempunyai kedudukan epistemik yang sama, sehingga tidak perlu ada
pembedaan antara kepercayaan dasar dan kepercayaan simpulan.
Kendati koherentisme tidak didasarkan atas suatu fondasi yang sudah jelas dengan
sendirinya dan kebenarannya tak dapat diragukan lagi, suatu kepercayaan sudah bisa
dipertanggungjawabkan kebenarannya kalau kepercayaan itu koheren atau konsisten dengan
keseluruhan sistem kepercayaan yang selama ini diterima kebenarannya.
Gambaran dasar bagi teori pembenaran koherentisme adalah sebuah sistem jaringan
yang terbuat dan memperoleh kekuatannya dari berbagai kepercayaan yang saling
mendukung. Sasaran pengujian atau pertanggungjawaban rasional atas klaim kebenarannya
bukan kepercayaan masing-masing secara individu, tetapi seluruh sistem jaringan
kepercayaan.
Dengan demikian, pembenaran epistemik merupakan suatu pengertian holistik.
Pengertian holistik dalam arti sebagai sesuatu yang saling berkaitan, atau suatu bentuk
lingkaran yang berjalan terus-menerus. Teori pembenaran koherentisme erat terkait dengan
teori kebenaran koheren atau padangan tentang kenyataan yang disebut idealisme.
Filsuf idealis abad ke-19 seperti Hegel dan Bradley adalah penganut teori pembenaran
koherentisme. Mereka termasuk penganut koherentisme garis keras. Keduanya berpandangan
bahwa suatu sistem jaringan kepercayaan disebut koheren kalau secara logis saling
mengimplikasikan. Sedangkan filsuf Barat kontemper yang menganut koherentisme misalnya
Wilfrid Sellar, W.V. Quine dan Laurence Bonjour. Mereka termasuk penganut koherentisme
lunak. Mereka berpandangan bahwa suatu sistem jaringan kepercayaan disebut koheren
apabila komponen kepercayaan yang membentuk sistem jaringan kepercayaan itu konsisten
satu sama lain, namun tidak perlu harus sampai secara logis saling mengimplikasikan.
Semakin banyak kepercayaan yang menjadi komponen sistem jaringan kepercayaan itu dapat
saling mengandiakan, semakin tinggi tingkat koherensi sistem tersebut. Dan semakin banyak

komponen kepercayaan yang tak bisa dijelaskan berdasarkan komponen lain dalam sistem,
semakin rendah pula tingkat koherensi sistem tersebut.
Koherentisme Linear
Koherentisme dapat dibedakan menjadi dua, linear dan holistik. Yang pertama
merupakan suatu kepercayaan yang membentuk lingkaran pembenaran yang penarikannya
mundur terus-menerus. Misalnya kepercayaan A1 mendapat pembenaran dari A2, dan A2 dari
A3 Dan An sendiri mendapat pembenaran dari A1. Maka koherentisme linear membentuk
suatu lingkaran pembenaran yang tampaknya tidak bisa menghindari kesulitan penarikan
mundur terus menerus, karena tidak dapat menjelaskan, bagaimana hanya dengan bergerak
dalam lingkaran pengandaian dapat memberi pembenaran sama sekali. Kalau A1 tidak
memiliki jaminan epistemik pada dirinya sendiri, bagaimana keseluruhannya dapat
memperoleh pembenaran epistemik? Inilah yang juga merupakan kelemahan dari
koherentisme linear.
Koherensisme Holistik
Dijelaskan bahwa suatu kepercayaan tidak memperoleh pembenaran epistemik melulu
dari kepercayaan lain, tetapi dengan memainkan peran penting dalam keseluruhan sistem
kepercayaan. Koherentisme holistik ini tidak sama dengan fondasionalisme yang selalu
melihat perlunya pembenaran sesuai dengan kepercayaan dasar, sehingga bersifat asimetris.
Oleh karena itu, para penganut koherentisme umumnya (misalnya: Hegel dan Bradley;
Wilfrid Sellar, W.V. Quine dan Laurence Bonjour) menolak koherentisme linear dan
memeluk koherentisme holistik. Nah, dalam koherensisme holistik, kepercayaan yang
dipersoalkan dasar pertanggungjawabannya ditempatkan dalam keseluruhan sistem
kepercayaan yang berlaku dan dilihat apakah koheren dengannya atau tidak.
Dalam pandangan koherentisme, kepercayaan yang memerlukan pembenaran
berhubungan secara simetris dan timbal balik dengan kepercayaan-kepercayaan yang lain
dalam keseluruhan sistem. Kepercayaan A dapat saja mendukung B, dan kepercayaan B
secara kompleks juga dapat mendukung A. Sebagai ilustrasi adalah apa yang terdapat dalam
teka-teki silang.

Tanggapan
Setidaknya ada beberapa kritik klasik terhadap koherentisme. Pertama, argumen isolasi
atau keberatan berdasarkan sistem tandingan. Artinya, teori koherentisme mengisolasi diri
dari realitas yang sebenarnya. Suatu kepercayaan bisa koheren dengan kepercayaan yang lain
tetapi belum tentu kompatibel dengan kenyataan yang sesungguhnya. Teori ini juga tidak
memadai karena pada dirinya sendiri tidak bisa menjelaskan bagaimana membedakan antara
2 sistem atau kepercayaan yang secara internal saling koheren tetapi inkompatibel satu sama
lain. Keberatan kedua adalah karena tidak adanya masukan dari dunia luar. Koherentisme
sendiri terdiri dari serangkaian kepercayaan yang saling berhubungan dan mendukung. Akan
tetapi tidak ada satu ukuran yang pasti untuk menilai sejauh mana kepercayaan itu merujuk
ke kenyataan yang sebenarnya di dunia luar.
Keberatan yang ketiga berdasarkan argumen pemunduran yang tak terbatas.
Koherentisme menolak kepercayaan dasar. Bagi kaum koherentisme holistik, keseluruhan
sistem kepercayaan seseorang adalah sumber pembenaran empiris baginya. Karena
kepercayaan inilah mereka akan jatuh pada kelemahan yang berupa terus menerus mundur
tanpa batas. Dan argumen yang keempat mempertanyakan keniscayaan perlunya koherensi
dan konsistensi sebagai dasar pembenaran. Hal itu karena dalam situasi tertentu suatu
kepercayaan itu dpat dibenarkan tanpa harus koheren dengan kepercayaan yang sebelumnya
kita anggap sudah benar. Sedangkan terhadap keniscayaan konsistensi, Richard Foley
menentang dengan mengatakan bahwa paradoks lotry menunjukkan bahwa seseorang dapat
saja tidak konsisten karena memiliki dua kepercayaan yang berbeda satu sama lain dalam
satu hal yang sama.
Namun, kaum kohenrentisme menjawab balik kritik yang dilontarkan kepadanya.
Terhadap keberatan pertama, mereka menjawab bahwa koherentisme tidak mengisolasi diri
dari dunia luar. Koherentisme tidaklah berbeda dengan fondasionalisme. Hanya saja bagi
yang terakhir ini, kepercayaan yang berdasar pengamatan indrawi dipandang sebagai
kepercayaan

dasar, sedangkan

bagi

koherentisme

masih

harus

disesuaikan

atau

dikoherensikan dengan kepercayaan yang lain. Dan terhadap kritik dari adanya sistem
tandingan, mereka menjawab bahwa koherentisme tidak berpendapat bahwa masing-masing
sistem itu sebagai benar. Secara ideal hanya ada satu sistem yang benar, hanya saja kita tidak
tahu mana dari sistem-sistem itu yang benar. Karena itulah butuh pemeriksaan a la
koherentisme.
Terhadap kritik tentang tidak adanya masukan dari duania luar, mereka menjawab
bahwa koherentisme tidak menyangkal dunia fisik di luar subjek. Akan tetapi, sebagaimana

diketahui, masukan dari dunia luar itu tetap masuk ke dalam diri subjek sesuai dengan cara
pandang dan kerangka pikir yang telah ia punyai. Karena itu harus dibandingkan juga dengan
kepercayaan-kepercayaan yang lain. Dan terhadap kritik penarikan argumen mundur terusmenerus, mereka memang tidak menyangkalnya. Dan manusia sebagai makhluk terbatas
memang membutuhkan pendasaran yang jelas baginya. Akan tetapi, pendasaran itu sendiri
akhirnya juga ditentukan oleh koheren tidaknya ia dengan kepercayaan yang lain dan sistem
yang ada. Untuk keberatan yang keempat, penganut teori ini memandangnya hanya sebagai
pengecualian. Karena teori ini, bagi mereka, sampai sekarang tetap dapat menjamin
kebenaran.

B.

Teori Koherensi (consistency theory)

Menurut teori ini, manusia tidak pasti akan mencapai persesuaian antara
pengetahuannya dengan objek atau kenyataan[10]. Kita sering kali mempunyai pendapat atau
kesan ataupun reaksi-reaksi yang berbeda terhadap sesuatu itu. Jika bersifat temporal.
Demikian pula seringkali pendapat atau kesan-kesan kita tentang sesuatu kenyataan tidak
sesuai dengan kesan-kesan orang lain (bersifat subjektif). Belum tentu apakah pendapat kita
lebih benar atau pendapat orang lain itu yang lebih benar. Karena itu menurut teori ini
haruslah dicari kebenarannya itu dengan menggunakan kriteria yaitu ada tidaknya ketetapan
(consistency) antara pendapat-pendapat atau kesan-kesan kita tentang suatu kenyataan itu.
Jadi pendapat-pendapat itu haruslah reliable dan objective. Artinya kalau kita lakukan
sesuatu eksperimen berkali-kali maka hasilnya akan tetap sama (konsisten). Dan kalau
dilakukan eksperimen itu oleh beberapa orang dalam kondisi yang sama pula dan objektif.
Jadi ada konsistensi mengenai pendapat tentang sesuatu.
Teori pertama dan kedua tidak bertentangan, tetapi saling melengkapi. Teori pertama
menitik beratkan kepada arti kebenaran itu, sedangkan teori kedua menyatakan mengenai
pengujian terhadap kebenaran yang transenden, artinya kebenaran itu terletak di luar jiwa
kita, yang melampaui batas-batas jiwa kita. Segala sesuatu tersusun menurut susunan yang
berdiri sendiri dan terletak di luar diri kita. Terlepas dari subjek (manusia) yang mengetahui.
Jadi kebenaran itu dijangkau secara langsung (menghadapi kenyataan atau subjek).
Pendukung teori ini adalah kaum empiris atau realis. Immanen, yaitu kebenaran yang terjadi
dalam jiwa kita. Jadi kebenaran terhadap sesuatu kenyataan (objek) itu dijangkau secara tidak
langsung. Pendukung teori ini adalah kaum rationalis atau idealis.[11]
Teori koherensi dibangun oleh para pemikir rasionalis seperti Leibniz, Spinoza, Hegel,
dan Bradley. Menurut Kattsoff (1986) dalam bukunya Elements of Philosophy, teori
koherensi dijelaskan .suatu proposisi cenderung benar jika proposisi tersebut dalam
keadaan saling berhubungan dengan proposisi-proposisi lain yang benar, atau jika makna
yang dikandungnya dalam keadaan saling berhubungan dengan pengalaman kita.
Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa berdasarkan teori koherensi, suatu
pernyataan dianggap benar jika pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan
pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Bila kita menganggap bahwa
semua manusia pasti mati adalah suatu pernyataan yang benar, maka pernyataan, si polan
adalah manusia dan si polan pasti mati adalah benar, sebab pernyataan kedua adalah
konsisten dengan pernyataan yang pertama.

Anda mungkin juga menyukai