R. Kunjana Rahardi
Universitas Sanata Dharma
ABSTRACT
ABSTRAK
58
Reinterpretasi Ketidaksantunan Pragmatik (R. Kunjana Rahardi)
butkan di depan itu. Fakta ini dipertegas de- Dalam skala yang lebih lebar, penulis sen-
ngan kenyataan bahwa pada hampir semua diri juga berusaha mengembangkan studi feno-
buku pragmatik yang beredar di lapangan, mena baru dalam pragmatik ini lewat penelitian
entah yang terbitan asing entah yang terbitan hibah kompetensi (HIKOM) yang dibiayai oleh
di dalam negeri, ihwal ketidaksantunan DP2M DIKTI dalam skema waktu sepanjang
berbahasa itu sama sekali tidak pernah tiga tahun. Fakta-fakta yang disampaikan di
dimunculkan sebagai salah satu pokok bahasan. depan itu sesungguhnya menunjukkan bahwa
Maka sepertinya wajar jika hingga sekarang ini masih harus dibangkitkan semangat dari para
terdapat kenyataan ketidakseimbangan atau linguis Indonesia, khususnya yang bergerak di
ketimpangan studi yang besar sekali (enormous dalam bidang pragmatik, untuk merespons se-
imbalance of study) antara studi kesantunan cara aktif dan proaktif fenomena pragmatik
berbahasa dan studi ketidaksantunan berbahasa yang masih tergolong sangat baru ini.
dalam wahana pragmatik. Maka sesungguhnya dapat dinyatakan di
Dalam pengamatan penulis, ihwal keti- sini, bahwa artikel ilmiah ini pun dimaksudkan
daksantunan dalam berbahasa itu baru mulai untuk menggelorakan minat terhadap studi
muncul setelah diterbitkannya buku yang dapat fenomena pragmatik yang baru ini, supaya ke
dianggap sebagai batu pijakan dalam studi ke- depan ketidakseimbangan atau ketimpangan
tidaksantunan berbahasa yang berjudul Impo- yang besar antara studi kesantunan dan keti-
liteness in Language yang ditulis oleh Bous- daksantunan berbahasa itu tidak akan terjadi
field et al. (Eds.) pada tahun 2008. Fakta di lagi, yang semula oleh Miriam A Locher (2008)
dalam negeri tentu lebih memprihatinkan dalam disebut sebagai ‘enormous imbalance exists
kaitan dengan studi fenomena ketidaksantunan between academic interest in politeness phe-
berbahasa ini. Penelitian atau studi yang relevan nomena as opposed to impoliteness phe-
dengan studi ketidaksantunan berhahasa juga nomena.
hampir tidak dapat ditemukan di dalam negeri. Berkaitan dengan ketidaksantunan ber-
Referensi yang berkategori memadai un- bahasa ini, selanjutnya Locher (2008) juga
tuk kepentingan penulisan artikel semacam ini dengan tegas mencatat bahwa studi ketidak-
pun masih sangat sulit untuk ditemukan. Fakta santunan berbahasa baru dilakukan oleh
internal di dalam kampus tempat penulis meng- Culpeper (1996, 1998), Bousfield (2008),
ajar sendiri, studi ketidaksantunan dalam ber- Terkourafi (2008), dan Locher and Watts
bahasa itu ternyata baru dirintis dengan model (2008).
penelitian payung yang dilakukan oleh penulis Dalam wahana yang lain, perlu disam-
sendiri dengan sejumlah mahasiswa yang paikan juga di sini bahwa studi kesantunan ber-
sedang menyusun skripsi. Dengan membagi diri bahasa sendiri--sebagai imbangan dari studi
ke dalam sejumlah ranah, para mahasiswa pe- ketidaksantunan berbahasa—baru mulai
nyusun skripsi itu meneliti ihwal ketidaksan- menghebat dan berjalan sangat cepat sejak
tunan dalam berbahasa ini dengan susah payah, tahun 1994, yakni setelah Fraser mengenalkan
tetapi tentu dengan harapan hasil yang meng- 4 pendekatan studi di dalam kesantunan berba-
gembirakan dengan nilai-nilai kebaruan yang hasa. Keempat pendekatan itu dapat
tidak tersangkalkan. Dikatakan demikian kare- disampaikan berikut ini: (1) the social norm
na pada saat penulisan artikel ilmiah untuk jur- view, (2) the face-saving view, (3) the con-
nal ini dilakukan, sudah terdapat 4 orang maha- versational maxim view, dan (4) the conver-
siswa yang siap mengikuti ujian skripsi tentang sational contract view (Rahardi, 2006, 2009;
topik ketidaksantunan berbahasa dalam ranah- periksa Mey, 1998; periksa pula Bousfiled et
ranah tertentu itu. al., 2008).
59
Kajian Linguistik dan Sastra, Vol. 25, No. 1, Juni 2013: 58-70
Penulis beranggapan bahwa studi keti- konteks sosial-kultural. Jadi jelas, bahwa ke-
daksantunan dalam berbahasa yang lambat rangka berpikir studi yang berancangan prag-
dan langka itu diperparah oleh fakta simplifikasi matik tidak sama dengan kerangka berpikir
pemahaman dari sementara kalangan bahwa studi yang berancangan sosiolinguistik.
studi ketidaksantunan berbahasa akan dengan Kedua, teori yang diperankan sebagai
serta-merta dapat diketahui apabila orang alat untuk menganalisis atau yang disebut seba-
belajar kesantunan berbahasa dengan segala gai pisau analisis. Dalam fungsi yang kedua ini,
seluk-beluknya. Jika dikaitkan dengan skala teori digunakan untuk alat membedah data, alat
kesantunan atau derajad kesantunan, maka untuk menganalisis dan menginterpretasi data.
skala dan derajad yang rendah ihwal kesan- Nah, dalam studi ketidaksantunan berbahasa,
tunan berbahasa itulah yang secara sederhana yang disebut sebagai teori sebagai pisau analisis
dan tersimplifikasi banyak dianggap sebagai itu adalah teori mengenai ketidaksantunan itu
ketidaksantunan dalam berbahasa. sendiri. Tulisan ini menyebut lima teori
ketidaksantunan berbahasa. Penulis berusaha
untuk memaparkannya satu demi satu dengan
2. Ketidaksantunan
harapan akan terpapar teori yang cukup jelas
Di depan sudah sekilas dikatakan bahwa
dan komprehensif, sehingga mudah untuk dipa-
lambannya studi ketidaksantuna dalam berba-
hami, dan mudah pula digunakan sebagai ke-
hasa di antaranya disebabkan oleh langkanya
rangka referensi maupun sebagai pisau analisis
referensi tentang ketidaksantunan itu sendiri.
dalam mengkaji data tentang ketidfaksantunan
Hal demikian dapat dipahami mengingat bahwa
berbahasa.
dalam sebuah studi, peran teori atau referensi
Locher (2008) berpandangan bahwa
sangatlah besar. Setidaknya dapat disebut dua
ketidaksantunan dalam berbahasa dapat dipa-
hal berkenaan dengan keberadaan teori dalam
hami sebagai berikut, …behaviour that is
sebuah kajian atau studi.
face-aggravating in a particular context.
Pertama, teori memiliki peran sebagai ke-
Jadi, ketidaksantunan berbahasa itu merupa-
rangka referensi (frame of reference). Mak-
kan perilaku berbahasa yang melecehkan mu-
sudnya, teori digunakan untuk mengerangkai
ka (face-aggravate). Perilaku berbahasa yang
sebuah kajian atau studi. Teori tidak digunakan
demikian ini lebih dari sekadar perilaku yang
sebagai alat analisis, atau ada yang menyebut
mengancam muka (face-threatened). Akibat
sebagai pisau analisis, tetapi sekadar sebagai
yang ditimbulkan oleh perilaku yang meleceh-
kerangka berpikir, yang akan menuntun kerja
kan muka juga sangat berbeda daripada perila-
penulis atau peneliti dalam melaksanakan tugas
ku yang mengancam muka.
menelitinya. Sumber tertentu menyebut fungsi
Alasannya, akibat itu lebih bersifat intens
teori yang disebut pertama ini sebagai ancangan
dan lebih berdampak nyata daripada sekadar
analisis. Studi berancangan pragmatik, mi-
orang yang terancam mukanya. Intinya hendak
salnya, akan menggunakan kerangka referensi
dinyatakan bahwa muka yang telah terlecehkan
yang berbeda dengan studi dengan ancangan
pastilah berbeda dampaknya daripada muka
sosiolinguistik. Alasannya, ancangan yang satu
yang sekadar terancam. Di dalam pelecehan
lebih berfokus pada keberadaan konteks situ-
muka, aktivitas melecehkan dan mencoreng
asi, atau yang sering disebut sebagai konteks
muka itu telah terjadi atau dilakukan, dan dam-
situasi tutur. Adapun ancangan yang satunya
pak konkretnya juga sudah dirasakan. Semen-
berfokus pada keberadaan konteks sosial, atau
tara itu di dalam perilaku mengancam muka,
yang secara lebih ekstensif disebut sebagai
60
Reinterpretasi Ketidaksantunan Pragmatik (R. Kunjana Rahardi)
aktivitas yang mengancam itu belum tentu Selanjutnya dalam pandangan Bousfield,
mengenai muka mitra tuturnya. ketidaksantunan dalam praktik berbahasa da-
Dengan demikian dapat dengan tegas di- pat dipahami sebagai berikut: ‘The issuing of
nyatakan, bahwa perilaku yang tidak santun intentionally gratuitous and conflictive fa-
di dalam pandangan Miriam A Locher ini, di- ce-threatening acts (FTAs) that are purpose-
tunjukkan dengan perilaku yang telah secara fully perfomed.’ Artinya, ketidaksantunan ber-
nyata mencoreng muka mitra tuturnya. Perilaku bahasa adalah kegiatan menyampaikan tinda-
yang melecehkan muka itu sesungguhnya bu- kan mengancam muka yang dilakukan secara
kan saja tertuju pada pencorengan muka sang sembrono, dan kesembronoan itu dapat memi-
mitra tutur, tetapi bisa juga tertuju pada muka cu pertentangan atau konflik. Mungkin di da-
penuturnya. Dalam tuturan keseharian, peris- lam bahasa Jawa ada istilah yang lebih tepat
tiwa yang semacam ini sangat mungkin dan untuk menerjemahkan istilah gratuitous itu,
sangat sering terjadi. yaitu ‘kurang ajar’.
Kata kunci lain yang juga dinyatakan oleh Jadi, kekurangajaran itulah yang kemu-
Locher dalam mendefinisikan ketidaksantunan dian menghasilkan sebuah konflik atau perten-
adalah ihwal konteks tertentu (particular con- tangan, bahkan bisa jadi lebih dari sekadar per-
text). Ketidaksantunan oleh para pakar prag- tentangan, yakni pertengkaran. Kata kunci lain
matik Barat boleh saja dipandang sebagai se- dari teori ketidaksantunan dalam pandangan
suatu yang sifatnya universal.Artinya, rampatan Bousfield adalah bahwa tindakan yang meng-
para ahli pragmatik Barat yang didasarkan pa- ancam muka itu dilakukan dengan secara ber-
da data kebahasaan bahasa-bahasa Eropa dan maksud atau dengan secara sengaja (purpose-
Amerika boleh jadi dianggap berlaku pula fully performed). Dengan demikian dapat
dikenakan pada bahasa-bahasa Timur, terma- dikatakan bahwa perilaku serupa yang tidak
suk pula bahasa Indonesia. Akan tetapi, penulis dilakukan dengan sengaja (unpurposefully
menegaskan, bahwa fakta yang terjadi tidaklah performed) adalah perilaku yang tidak dapat
selalu demikian. Artinya, dalam konteks terten- dikatakan sebagai tindakan yang tidak santun.
tu, yang sifatnya kultur-khas (culture-specific), Kata kunci lain yang disampaikan oleh
konsep ketidaksantunan berbahasa itu akan Bousfield berkaitan dengan ketidaksantunan
berlaku berbeda atau tidak sama. berbahasa ini adalah bahwa penyampaikan
Locher menggarisbawahi perihal itu, dan maksud kekurangajaran itu dilakukan dengan
sepertinya pandangannya itu tidak bersebe- secara berkehendak atau intensional (inten-
rangan dengan pandangan penulis. Ketidaksan- tionally issued). Jadi selain dilakukan dengan
tunan berbahasa, seperti juga fenomena kesan- secara sengaja atau secara bermaksud, Bous-
tunan berbahasa, selayaknya dipelajari dalam field menegaskan bahwa tindakan tidak santun
masyarakat dan kultur tertentu, yang sifatnya itu dilakukan secara berkehendak atau inten-
spesifik. Ancangan demikian itulah yang akhir- sional. Sesuatu yang dikehendaki biasanya te-
akhir ini dikenal dengan istilah studi sosio- lah direncanakan dengan baik. Maka dapat di-
pragmatik perihal ketidaksantunan berbahasa. katakan pula, bahwa tindakan yang tidak san-
Secara ilustratif tuturan-tuturan yang tun itu pasti sebelumnya sudah direncanakan
dapat dianggap melecehkan muka, dan oleh dengan sungguh-sungguh terlebih dahulu.
karenanya dianggap sebagai tuturan yang tidak
santun itu dapat disampaikan pada Tabel 1.
61
Kajian Linguistik dan Sastra, Vol. 25, No. 1, Juni 2013: 58-70
Kata kunci lain yang juga dapat ditarik Tuturan-tuturan dalam keseharian yang
dari pengertian ketidaksantunan menurut Bous- dapat dikategorikan sebagai bentuk kebaha-
field ini adalah perihal konflik. Konflik atau per- saan yang tidak santun dengan makna prag-
tentangan, bahkan pertengkaran terjadi, seba- matik kesembronoan ini dapat disampaikan
gai akibat dari tindakan sembrono yang dilaku- sebagai berikut.
kan secara terencana dan secara intensional.
62
Reinterpretasi Ketidaksantunan Pragmatik (R. Kunjana Rahardi)
63
Kajian Linguistik dan Sastra, Vol. 25, No. 1, Juni 2013: 58-70
64
Reinterpretasi Ketidaksantunan Pragmatik (R. Kunjana Rahardi)
INFORMASI INDEKSAL
CUPLIKAN
KODE NO. TUTURAN
KONTEKS (IMPLIKATUR
TAMBAHAN)
D4 4 X: Dia bingung • Tanggal: 27 Maret Tuturan tersebut dituturkan pada
memilih alat musik 2013 saat mitra tutur mengomentari
atau tarian. Padahal, • Pukul : 11.50 WIB hasil praktikkan menjadi guru.
ia mendapatkan tema • Situasi: di dalam Mitra tutur terlihat bingung ketika
tarian. Nah, ini kelas, serius mempraktikkan menjadi guru.
tandanya orang • Suasana: perkuliahan Mitra tutur awalannya mendapat
stress. BIPA tema tentang tarian namun ia
Y: hehehe... • Penutur : dosen (37 bingung memilih tema alat musik.
tahun) Penutur menganggap mitra tutur
• Mitra tutur: mahasiswi stress menjadi guru.
(22 tahun)
• Tujuan tutur: Pt
memberikan
penjelasan atau
informasi keadaan Mt.
D5 5 X: Pembelajarnya • Tanggal: 3 April 2013 Tuturan tersebut dituturkan pada
yang aktif jangan • Pukul : 12.15 WIB saat penutur melihat mitra tutur
jadi kacang. • Situasi: di dalam yang diam saja ketika mitra tutur
Y: Ya, Bu. kelas, serius menjadi pembelajar BIPA.
• Suasana: perkuliahan Penutur menganggap mitra tutur
BIPA tidak aktif.
• Penutur : dosen (36
tahun)
• Mitra tutur: mahasiswi
(22 tahun)
• Tujuan tutur: Pt
memberikan
penegasan kepada Mt.
Terkourafi (2008) memandang ketidak- turan penutur dan lawan tutur itu, maka dapat
santunan sebagai berikut: impoliteness occurs dikatakan bahwa itulah perulaku yang tidak
when the expression used is not convention- santun.
alized relative to the context of occurrence; Orang yang mengalihkan perbincangan
it threatens the addressee’s face but no face- ketika pertuturan sedang terjadi, dan peng-
threatening intention is attributed to the alihan itu dilakukan dengan secara intensional
speaker by the hearer. atau dengan bermaksud tertentu, maka harus
Dalam kacamata Terkourafi, ketidaksan- dikatakan bahwa tuturan itu adalah tuturan
tunan dalam berbahasa terjadi ketika ekspresi yang tidak santun. Dalam pandangan Terkou-
yang digunakan di dalam bertutur tidak lazim rafi, tuturan yang tidak santun demikian itu
terjadi, atau tuturan itu tidak terjadi secara kon- mengancam muka mitra tutur, sekalipun tidak
vensional, tuturan itu tidak lazim digunakan, ada maksud mengancam muka yang disam-
tetapi suatu saat benar-benar terjadi di dalam paikan kepada mitra tutur oleh seorang penutur.
sebuah pertuturan. Dapat dicontohkan misal- Tuturan-tuturan yang tidak santun karena
nya, ketika sedang bertutur sapa, kemudian berciri mengancam muka seperti berikut ini
dengan sengaja penutur itu bergumam, meng- dapat dicermati untuk memperjelas hal ini.
gumamkan sesuatu yang diluar maksud pertu-
65
Kajian Linguistik dan Sastra, Vol. 25, No. 1, Juni 2013: 58-70
Locher dan Watts berpandangan bahwa masyarakat. Juga mereka menegaskan bahwa
perilaku tidak santun adalah perilaku yang ketidaksantunan merupakan peranti untuk
secara normatif dianggap negatif (negatively menegosiasikan hubungan antarsesama
marked behavior), lantaran melanggar (means to negotiate meaning). Selengkapnya
norma-norma sosial yang berlaku dalam pandangan mereka tentang ketidaksantunan
66
Reinterpretasi Ketidaksantunan Pragmatik (R. Kunjana Rahardi)
adalah sebagai berikut: …impolite behaviour Locher and Watts adalah adanya perilaku me-
and face-aggravating behaviour more gen- main-mainkan muka. Perilaku memain-main-
erally is as much as this negation as polite kan muka seringkali ditandai dengan sesuatu
versions of behavior (cf. Locher and Watts, yang cirinya menjengkelkan. Adakalanya juga,
2008: 5). perilaku yang berciri memain–mainkan muka
Salah satu kata kunci yang penting dicatat itu ditandai dengan tindakan yang membingung-
dalam konsep ketidaksantunan berbahasa versi kan. Tuturan-tuturan berikut dapat dicermati
untuk memperjelas hal ini.
67
Kajian Linguistik dan Sastra, Vol. 25, No. 1, Juni 2013: 58-70
68
Reinterpretasi Ketidaksantunan Pragmatik (R. Kunjana Rahardi)
Jenis Contoh
Implikatur
Ketid Lingual Nonlingual Cuplikan
No. Tambahan
aksan Tuturan
tunan Nada Tekanan Intonasi Diksi Situasi Suasana
4. Meng Tuturan Tuturan Intonasi Nonstan Tempat Keadaan 1. tindak verbal A: ech sik
ancam dikataka dikataka berita dar terjadin sekitar ekspresif dan ngoreksi
Muka n n dengan (turun), ya suatu sesuatu/ tindak verbal nggonamu aku
dengan tekanan intonasi tuturan: dalam direktif lhoo
nada keras tanya di mana lingkunga 2. tindak B: hoo po?
tinggi dan (naik), saja n sesuatu: perlokusi: A: hoo laah
(marah, tekanan dan tegang, umumnya B: neg entuk
kecewa) sedang intonasi serius mitra tutur elek tak
dan perintah melakukan tuntut kowe!
sedang (tinggi) sesuatu yang
(sindiran diminta
, sinis) penutur
walaupun
secara
terpaksa
5. Meng Tuturan Tuturan Intonasi Nonstan Tempat Keadaan 1. tindak A: pak gak
hilang dikatakan dikataka berita dar terjadin sekitar verbal keliatan.
kan dengan n dengan (turun), ya suatu sesuatu/ ekspresif B: yang mana?
Muka nada tekanan intonasi tuturan: dalam dan tindak A: pak
tinggi keras tanya di mana lingkunga verbal tulisannya gak
(marah, dan (naik), saja n sesuatu: direktif jelas
kecewa) tekanan dan tegang, 2. tindak B: kalau
dan nada sedang intonasi serius, dan perlokusi: kamu gak
sedang perintah santai umumnya bisa liat jelas
(sindiran) (tinggi) mitra tutur cepat maju
merespon sini! gak tahu
dan segera diri.
melakukan
sesuatu
69
Kajian Linguistik dan Sastra, Vol. 25, No. 1, Juni 2013: 58-70
DAFTAR PUSTAKA
Bousfiled, Derek and Miriam A. Lacher (eds.). 2008. Impoliteness in Language: Studies on
its Interplay with Power in Theory and Practice. New York. Mouton de Gruyter.
Culpeper, Jonathan. 2008. ‘Reflections in impoliteness, relational work and power.’ dalam
Impoliteness in Language: Studies on its Interplay with Power in Theory and Prac-
tice. New York. Mouton de Gruyter.
Huang, Yan. 2007. Pragmatics. New York: Oxford University Press.
Levinson, Stephen C. 1987. Pragmatics. London: Cambridge University Press.
Locher, Miriam A and Derek Bousfield. 2008. ‘Impoliteness and power in language’ dalam
Impoliteness in Language: Studies on its Interplay with Power in Theory and Prac-
tice. New York. Mouton de Gruyter.
Locher, Mirian A and Richard J. Watts. 2008. ‘Relational work and impoliteness: Negotiating
norms of linguistic behavior’ dalam Impoliteness in Language: Studies on its Inter-
play with Power in Theory and Practice. New York. Mouton de Gruyter.
Mey, Jacob L. 1993. Pragmatics: An Introduction. Oxford: Basil Blackwell.
—————. 1998. Concise Encyclopedia of Pragmatics. New York: Pergamon.
Rahardi, Kunjana. 2006. Pragmatik: Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta:
Erlangga
Prayitno, Harun Joko. 2011. Kesantunan Sosiopragmatik. Surakarta: Muhammadiyah Univer-
sity Press.
Terkourafi, Marina. 2008. ‘Toward a unified theory of politeness, impoliteness and rudeness.’
dalam Impoliteness in Language: Studies on its Interplay with Power in Theory
and Practice. New York. Mouton de Gruyter.
Verschueren, Jeff. 2005. Understanding Pragmatics. London: Arnold.
70