H. Adam Malik dilahirkan di Pematang Siantar pada tanggal 22 Juli
1917, beliau merupakan anak dari pasangan H. Abdul Malik Batubara dan Salamah Lubis. Karir perjuangan Adam Malik dimulai dari masuknya beliau sebagai anggota Kepanduan Hisbul Wathan, milik organisasi Muhammadiyah di Pematang Siantar (Sumatera Utara) sebagai Ketua PARTINDO cabang Pematang Siantar dengan basis massa yang dominan berasal sopir-sopir . Pada tahun yang sama (1934), Adam Malik hijrah ke Batavia dan bergabung dengan Yahya Nasution, seorang mantan anggota PARTINDO yang kemudian menjadi eksponen Organisasi PARI ( Partai Republik Indonesia). Kedekatannya dengan Yahya Nasution, mengakibatkan Adam Malik dipenjara oleh pemerintah Hindia Belanda di Struiswijk tahun 1935. Adam Malik banyak belajar politik dari tokoh golongan kiri (bukan komunis) dan berlatarbelakang sadar akan perlunya perbaikan nasib rakyat, membawanya menjadi anggota PARI yang merupakan organisasi gerakan bawah tanah dalam rangka membentuk kader gerakan proletar untuk melawan pemerintah colonial Hindia Belanda. Pada masa pemerintah pendudukan Tentara Jepang, Adam Malik bersama tokoh pemuda lain yang masuk dalam kelompok / golongan kiri bekerja pada SENDENBU, namun tetap melibatkan diri dalam organisasi gerakan bawah tanah. Hubungannya dengan kelompok pemuda radikal dan beraliran kiri ini mencuat ke permukaan ketika bersama kelompoknya menculik Soekarno – Hatta dan membawa mereka ke Rengasdengklok untuk dipaksa memproklamirkan Kemerdekaan Republik Indonesia. Pada tahun 1962, Adam Malik juga berperan menonjol dalam proses perundingan Indonesia – Belanda mengenai Irian Barat, yang saat itu dipercaya sebagai Ketua Delegasi Republik Indonesia dalam perudingan tersebut, Sikap keberpihakannya kepada rakyat yang jelas berseberangan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), tercermin dalam tindakannya ketika pada tahun 1964 membentuk Badan Pendukung Soekarnoisme (BPS), bersama Roeslan Abdulgani dan A.H. Nasution yang tujuan intinya adalah mencegah Soekarno agar tidak terbawa ke dalam gagasan politik PKI . Semangat kebebasan bersikap dalam pergaulan internasional juga tercermin dalam Deklarasi Bangkok yang dirumuskannya bersama wakil empat negara Asia Tenggara, yang kemudian dikenal dengan prinsip dasar ASEAN pada tahun 1967. Semangat yang sama juga tercermin dalam pidato pengukuhannya sebagai Ketua Sidang Umum PBB ke 26 Tahun 1971-1972, yang dalam hal meneruskan dan melebarkan jalan politik sebagaimana digariskan oleh Bung Karno di tahun 1960-an, mengenai “Tata Dunia Baru. Ketika menjadi Menteri Luar Negeri Adam Malik mempunyai sikap yang jelas dalam membawakan politik luar negeri “bebas aktif”, sikap bebas diartikan sebagai Indonesia memiliki jalan dan pendirian sendiri dalam menghadapi pergaulan dunia dan aktif berusaha memelihara perdamaian meredakan pertentangan antara bangsa bersama bangsa lain. Dengan dasar tersebut membawanya pada keyakinannya bahwa pembangunan nasional hanya dapat dilaksanakan dalam suasana aman dan damai . Puncak karirnya ketika menjabat sebagai Wakil Presiden 1978-1983 . Karena penyakit yang dideritanya, Adam Malik wafat di Bandung pada tanggal 5 September 1981 dan jenazahnya dimakamkan di TMPN Utama Kalibata Jakarta. Atas jasa-jasanya Pemerintah RI menganugerahkan gelar pahlawan Nasional melalui SK Presiden No. 107/TK/1998, tanggal 6 November 1998