Anda di halaman 1dari 62

1.

1 Latar Belakang Masalah

Keunggulan daya saing perusahaan untuk memenangkan persaingan bisnis salah satunya
melalui pencapaian kualitas produk / jasa yang memiliki kualitas unggulan dan mampu
memuaskan pelanggan dengan segala atribut yang di-inginkan pelanggan. Kesuksesan
kinerja organisasi tidak lagi semata-mata dilihat dari perspektif / indikator finansial,
namun juga melalui perspektif kepuasan pelanggan, kinerja operasional maupun
kapabilitas organisasi. Salah satu strategi bisnis yang banyak digunakan sebagai standar
praktek global saat ini adalah implementasi inisiatif TQM (Total Quality Management)
melalui berbagai bentuk variannya.

Saat ini TQM dan alat manajemen serupa yang lain, misalnya Six Sigma, Lean
Management System, diyakini merupakan alat peningkatan kinerja bisnis yang paling
banyak digunakan oleh perusahaan-perusahaan kelas dunia, dan menjadi alat utama di
dalam manajemen perubahan untuk menciptakan budaya perusahaan unggulan. Menurut
Hansson (2003), TQM telah menjadi filosofi manajemen dan menjadi kunci dalam
persaingan global, sebagai alat untuk mencapai keunggulan kompetitif jangka panjang.
Namun demikian hingga saat ini belum ada penelitian yang mengembangkan model
terpadu bagaimana pengaruh strategis praktek MSDM, budaya perusahaan dalam
menunjang kinerja organisasi yang berbasis TQM, padahal secara operasional terdapat
keterkaitan erat ketiga praktek manajemen tersebut, khususnya di dalam sebuah
organisasi perusahaan yang berorientasi pada world class company.

Clinton dkk (1994), menyatakan globalisasi saat ini mempersyaratkan mutu sebagai alat
untuk memenangkan persaingan internasional. Filosofi TQM dalam perspektif korporasi
adalah upaya mencapai kepuasan pelanggan melalui ”zero defects” produk dan jasa yang
dihasilkan. Menurut Clinton dkk (1994) peran dominan quality engineer, product
designers dan process engineers sangat dominan dalam upaya pencapaian ”zero defects”,
namun pada sisi yang lain untuk keberhasilan jangka pendek maupun jangka panjang
diperlukan peran MSDM dalam mengubah budaya organisasi sesuai kebutuhan TQM.
Oleh karena itu dibutuhkan kerangka terpadu, baik teoritik dan praktis untuk memetakan
upaya MSDM yang sejalan dengan pengembangan budaya perusahaan yang berorientasi
TQM (Wilkinson dkk, 1996). Menurut Wilkinson dkk, masih sedikit penelitian yang
menguji secara empirik dimensi SDM yang terkait dengan TQM, hampir sebagian besar
riset yang dilakukan berfokus pada aspek ”hard” yang meliputi produksi dan operasi dan
kurang menyentuh pada dimensi MSDM dan budaya perusahaan. Secara spesifik di
dalam penelitian ini akan ditelaah praktek MSDM serta pengembangan budaya yang
mendukung suksesnya implementasi TQM dan kinerja organisasi.

Pada dekade terakhir semakin banyak akademisi dan praktisi yang berupaya meneliti
hubungan SDM dan kinerja organisasi, dimana SDM perusahaan ternyata mampu
memberikan pengaruh terhadap nilai pasar perusahaan (firm’s market valuation),
meskipun hal tersebut tidak terlihat secara langsung dalam laporan keuangan perusahaan
(Lev, 2001). Porter (1985) menyatakan bahwa perusahaan akan memperoleh suatu
keunggulan kompetitif bila mampu mendapatkan sumber daya yang sukar ditiru oleh
kompetitornya, sehingga akan mengantarkan organisasi meraih kinerja unggulan dan
menang dalam persaingan pasar. Pada kenyataannya aset-aset tradisional perusahaan
seperti sumber daya alam, teknologi, skala ekonomis justru semakin menurun nilai
kompetitifnya, dan SDM mampu menggantikannya sebagai sumber keunggulan
kompetitif yang tidak habis dieksplorasi, tentu dalam kaitan ini adalah SDM yang tepat
sesuai dengan kebutuhan perusahaan (Wright, McMahan, & Mc Williams, 1994). SDM
yang bermutu akan menggerakan organisasi berkompetisi dalam kecepatan merespon
pasar (market responsiveness), mutu produk dan jasa yang dihasilkan, diferensiasi produk
serta inovasi teknologi (Ulrich, 1987). Oleh karena itu, praktek manajemen sumber daya
manusia (MSDM) yang efektif akan membantu pengembangan tenaga kerja menjadi
SDM yang berkualitas unggul, dan sudah pasti praktek MSDM yang demikian akan
mendorong organisasi mencapai keunggulan kompetitif melalui SDM yang dimilikinya
tersebut. Sebaliknya tenaga kerja yang tidak efisien akan berimplikasi pada peningkatan
biaya (labor cost) dan menurunkan produktivitas perusahaan.

Penelitian-penelitian yang ada saat ini banyak menjelaskan adanya praktek MSDM yang
berpengaruh positip pada kinerja organisasi, sejumlah studi telah membuktikannya secara
empiris, misal penelitian yang dilakukan Becker & Huselid (1998), Huselid (1985),
Terpstra & Rozell (1983). Lebih lanjut, para akademisi bahkan telah memunculkan
argumentasi baru bahwa MSDM tradisional (traditional HRM) yang lebih bertumpu pada
peran fungsionalnya tidak akan mampu mendukung secara optimal terhadap kesuksesan
bisnis jangka panjang. Sebagai gantinya, perusahaan harus mampu melakukan
transformasi MSDM kedalam praktek yang lebih stratejik. Beberapa penelitian bahkan
telah menyimpulkan adanya lingkungan bisnis yang berubah cepat membutuhkan strategi
perubahan MSDM yang semula berfokus pada fungsi, bergeser sebagai business partner
dan menyelaraskannya dengan kepentingan organisasi bisnis (Lawler & Mohrman, 2003;
Ulrich, 1997).

Riset yang berfokus pada MSDM telah mengungkapkan banyak bukti empiris adanya
pengaruh positip praktek MSDM terhadap kinerja perusahaan, namun demikian terdapat
alasan utama yang menjadi salah satu titik tolak penelitian ini adalah adanya
inkonsistensi terkait cara pengukuran praktek MSDM yang efektif selaras dengan budaya
perusahaan yang mendukung suksesnya implementasi TQM. Selain itu, sebagian besar
penelitian yang dilakukan mempergunakan seperangkat alat ukur praktek MSDM dan
indikator kinerja organisasi yang berbeda-beda (Cho & Mayer, 2003). Sehingga perlu
telaah lebih lanjut terkait kesenjangan alat evaluasi praktek MSDM (Bamberger &
Meshoulam, 2000; Huselid, 1995).

Salah satu keunggulan kompetitif perusahaan yang diyakini memiliki kontribusi secara
organisasi dan sukar ditiru oleh kompetitor adalah budaya organisasi yang dibangun dan
dikembangkan selaras dengan produktivitas. Terkait dengan hal tersebut, secara teoritis
sesungguhnya praktek MSDM memiliki pengaruh secara langsung terhadap budaya
perusahaan yang terbentuk, hal ini karena obyek MSDM adalah individu-individu
organisasi. Semenjak awal proses staffing ataupun recruitment hingga orientasi karyawan
baru terjadi proses adaptasi dan indoktrinasi budaya organisasi. Inilah yang disebut oleh
Schein (1999) sebagai upaya pemahaman asumsi dan konsep budaya organisasi untuk
mengantisipasi tindakan masa mendatang yang didasarkan pada aturan formal, norma,
nilai dan keyakinan yang dimiliki individu organisasi. Salah satu alasan utama mengkaji
budaya perusahaan sebagai bagian dari model utama praktek MSDM adalah adanya
keterkaitan budaya perusahaan dengan kinerja organisasi (Berrio, 2003).

Di dalam konteks keunggulan kompetifif, budaya perusahaan dibangun melalui praktek


MSDM yang sistematis dan terukur, selaras dengan sasaran strategis perusahaan.
Schneider (1994) menjelaskan pentingnya budaya organisasi dengan menyatakan bahwa
budaya organisasi meberikan konsistensi bagi anggota organisasi dan pemimpinnya
berupa “internally reliable system” yang didasarkan pada kesuksesan-kesuksesan yang
dicapai sebelumnya. Sathe (1983) mengungkapkan bahwa budaya merupakan ‘sesuatu
yang sulit dipisahkan dan meresap di dalam kehidupan organisasi’, melalui pemahaman
budaya organisasi yang utuh maka pemimpin organisasi dapat lebih efektif menjalankan
roda organisasi sesuai budaya perusahaan yang ada, bahkan jika perlu mengubahnya
mengikuti tuntutan bisnis organisasi. Cameron & Quinn (1999) setuju dengan pemikiran
ini, dan menurut mereka, para pakar organisasi sudah menyadari budaya perusahaan
memiliki efek kuat terhadap kinerja dan efektivitas jangka panjang suatu organisasi.
Keunikan budaya organisasi ini pada akhirnya merupakan bagian dari sebuah keunggulan
organisasi yang sulit ditiru oleh pesaing. Namun demikian, muncul sebuah pertanyaan
mendasar, yaitu budaya organisasi seperti apa yang relevan dengan kinerja unggulan
TQM dan menyokong pada kinerja perusahaan ? Inilah pertanyaan esensial yang harus
dijawab melalui dukungan empiris untuk mendefinisikan budaya organisasi unggulan
yang mampu mengantarkan perusahaan menjadi terbaik di kelasnya (best in class) dan
kompetitif.

1.2. Fenomena Implementasi TQM di Industri Manufaktur

Laporan evaluasi pelaksanaan RPJM-N 2004-2009 di Provinsi Jawa Tengah yang di


lakukan oleh Tim Independen Universitas Diponegoro (UNDIP) tahun 2008 bekerjasama
dengan Bappenas menyimpulkan perlunya sasaran berkelanjutan untuk meningkatkan
daya saing manufaktur di Provinsi Jawa Tengah. Tim Independen UNDIP melakukan
penelitian terhadap 764 industri besar dan sebanyak 644.134 industri kecil, permasalahan
utama hingga saat ini adalah lemahnya daya saing industri dimana sebagian besar industri
belum memiliki kapabilitas kualitas proses yang menyangkut teknologi, SDM dan
standard produksi. Sehingga permasalahan seputar daya saing industri pada gilirannya
sangat berpengaruh terhadap rendahnya tingkat investasi maupun ekspor/impor non
migas di Provinsi Jawa Tengah. Salah satu rekomendasi dari Tim Independen adalah
perlunya fokus pengembangan SDM pelaku usaha manufaktur baik sistem maupun
standar industri. Inisiatif yang dapat dilakukan misalnya melalu pusat layanan bisnis
bisa berupa dukungan konsultansi SDM maupun konsultansi kualitas melalui penerapan
sistem kualitas (ISO). Fokus pada praktek SDM dan penerapan standard mutu melalui
TQM sesungguhnya dapat meningkatkan daya saing industri baik jangka pendek,
menengah maupun jangka panjang seperti yang disampaikan Hanson (2004). Penelitian
disertasi ini akan menggali praktek TQM di industri manufaktur di Jawa Tengah dan
melakukan identifikasi faktor-faktor yang mendorong suksesnya implementasi TQM
yang dapat meningkatkan kinerja organisasi.
Penting bagi industri untuk memahami fenomena bisnis global yang terjadi pada saat
dimana situasi bisnis tengah memasuki fase turbulen dan kondisi lingkungan bisnis yang
semakin sukar diramalkan. Praktek bisnis yang dinilai sukses tidak menjadi jaminan
untuk dapat digunakan seterusnya dan memberikan kesuksesan lebih lama (Hal, 1997).
Organisasi korporasi bisnis Amerika selain sudah fokus pada strategic human capital,
mereka sudah mempertimbangkan budaya organisasi sebagai faktor yang menentukan
kesuksesan bisnis, meniru kesuksesan perusahaan-perusahaan Jepang (Dill, 1982; Hall,
1997), tanpa mengabaikan perencanaan stratejik dan kontrol pemasaran. Budaya
organisasi perusahaan Jepang yang menekankan pada faktor budaya, membantu manajer
dalam memprediksi dan mengontrol organisasi untuk mencapai kesuksesan bisnis.

Orientasi perusahaan budaya perusahaan sebagai salah satu faktor yang menentukan
dalam kesuksesan organisasi jangka panjang, juga perlu diteliti dalam aspek khusus
pengaruhnya terhadap implementasi TQM. Ada sebagian perusahaan yang memasukan
sebagai agenda utama bersamaan dengan implementasi TQM, ada yang menempatkannya
secara terpisah atau bahkan tidak dimasukan di dalam agenda manajemen. Fenomena
persamaan dan perbedaan ini menarik perhatian peneliti untuk mencoba mengembangkan
konsep yang dapat mengintegrasikan praktek MSDM, budaya perusahaan dan TQM
kedalam sebuah model strategi bisnis terpadu sekaligus mengujinya dalam sebuah model
penelitian empirik. Salah satu target penelitian ini untuk menemukan model generic dan
repostioning praktek MSDM yang dapat memberikan kontribusi secara signifikan pada
level organisasional, hal ini juga menjawab pertanyaan Ulrich (1987) agar peran MSDM
berfokus pada mitra stratejik perusahaan.

Legge (1995) menegaskan peran penting top management dalam mengelola budaya
perusahaan melalui praktek MSDM dan pembuatan policy yang harus dijalankan
organisasi secara konsisten dan terintegrasi, meliputi rekruitmen, seleksi karyawan,
pelatihan, pengembangan, sistem imbalan maupun komunikasi internal dan eksternal
organisasi. Diperlukan praktek-praktek MSDM yang mampu mendukung terciptanya
individu pekerja dan organisasi yang kompeten melalui serangkaian upaya sistematis
yang selaras dengan sasaran bisnis perusahaan. Melalui model normatif MSDM tersebut
maka nilai-nilai inti organisasi yang di-inginkan dapat ditanamkan ke seluruh SDM
perusahaan. Cameron & Quin (1999) menyampaikan bahwa budaya organisasi
merupakan idiologi, dimana setiap anggota organisasi “akan menanamkan doktrin
idiologi tersebut pada kepalanya”. Sehingga secara otomatis budaya perusahaan akan
menjadi identitas dan semacam ‘pola pikir, pola sikap dan pola tindak’ yang tidak
disadari dan mampu menjadi pemelihara sistem sosial yang stabil di dalam lingkungan
organisasi. Apabila budaya perusahaan yang berfokus pada TQM dan kapabilitas
organisasi dapat diadopsi oleh perusahaan maka daya saing organisasi secara bertahap
akan dapat ditingkatkan.

1.3. Research Gap

Penelitian ini dilandasi oleh beberapa perbedaan hasil kajian teoritis dan empiris dari
berbagai studi di bidang praktek MSDM, budaya perusahaan dan TQM. Perbedaan yang
ada menunjukan adanya kesenjangan penelitian yang dikelompokkan sebagai berikut :
Research Gap 1 : Seputar keberagaman pengukuran praktek MSDM

Terdapat perbedaan dikalangan peneliti terkait dengan domain praktek MSDM yang
digunakan dalam penelitian untuk mengukur pengaruh MSDM terhadap kinerja
organisasi. Pentingnya identifikasi praktek MSDM yang dapat dijadikan ukuran standar
untuk melihat kontribusinya dalam mendukung pencapaian target bisnis yang lebih cepat,
mendukung kelangsungan hidup jangka panjang perusahaan dalam lingkungan yang
sukar diprediksi (Cho, 2004). Lebih lanjut banyak akademisi dan profesional tidak
sepakat “apa dan bagaimana mengukur praktek MSDM” yang efektif (Cho & Mayer,
2003). Ulrich (1997), Ulrich & Lake (1990) mengajukan beberapa domain praktek
MSDM yang dapat berpengaruh positip bagi kinerja organisasi. Untuk menjawab
kesenjangan masalah domain pengukuran praktek MSDM yang berkontribusi bagi
kinerja organisasi, maka di dalam riset ini akan dikembangkan model dan pengukuran
domain generic MSDM yang merupakan ‘best practices’, sehingga dapat dijadikan
referensi bagi para akademisi. Selain itu secara spesifik belum ada riset terpublikasi yang
menggagas penelitian secara spesifik praktek MSDM yang dapat mendukung manajemen
perubahan dalam implementasi TQM, dengan demikian riset ini juga menjawab
permasalahan tersebut.

Research Gap 2 : Perbedaan pendekatan riset budaya organisasi

Terdapat perbedaan pendekatan penelitian dalam budaya organisasi, dimana secara


konseptual terdapat perbedaan antara perspektif fungsionalis dan perspektif semiotik
(Burrel & Morgan, 1979; Smircich, 1983; Schein, 1985; Cameron & Ettington, 1988;
Cameron & Quinn, 1999; Martin, 2002, Pierce 2004). Menurut perspektif fungsionalis,
budaya organisasi menupakan komponen sistem sosial yang termanifestasi dalam
perilaku organisasi (Cameron & Ettington, 1988), dimana melalui pendekatan ini dapat
dikaji dari perspektif peneliti pada level organisasional. Perspektif semiotik melihat
budaya sebagai sesuatu yang ‘mengendap’ dan menempel pada level individual yang
hanya dapat di evaluasi pada “native’s perspective” dan pada level individual (Cameron
& Ettington 1988; Cameron & Quinn, 1999). Selain itu dalam pendekatan fungsionalis
lebih kearah studi kausalitas dimana menghubungkan dengan kontrol organisasi,
manajemen, dan faktor-faktor lainnya yang dapat meningkatkan kinerja organisasi
9Schein, 1996; Martin, 2002). Riset yang dilakukan pada disertasi ini untuk memperkuat
justifikasi pada level praktis, dimana pendekatan fungsionalis dengan menggunakan
instumen penelitian akan lebih memudahkan dalam identifikasi dan intervensi budaya
pada level organisasi dibandingkan menggunakan pendekatan semiotik. Pengujian
kuantitatif dan pemodelan kausalitas budaya perusahaan baik sebagai variabel dependen
& independen menggunakan structural equation model merupakan kontribusi nyata
dalam riset budaya perusahaan dan akan memperkaya studi budaya perusahaan dengan
menggunakan pendekatan fungsionalis.

Research Gap 3 : Kontradiksi manfaat kinerja unggulan TQM

Terdapat perbedaan hasil penelitian mengenai manfaat implementasi TQM dan kaitanya
dengan kinerja organisasi. Meskipun implementasi TQM sudah banyak dilakukan
industri sejak tahun 1990-an, namun diskusi di banyak literatur masih memperdebatkan
hubungan implementasi TQM dan kinerja organisasi, khususnya kinerja finansial (Lawler
dkk, 1995). Hasil publikasi sebagian besar menyatakan argumentasi bahwa investasi
TQM akan menghasilkan kinerja keuangan bagi organisasi, misalnya Shetty (1993),
Hendricks & Singhal (1997), Samson dan Terziovski (1999), Reed dkk (2000), Allen dan
Kilmann (2001, Tena dkk (2001), Wrolstad dan Krueger (2001), Hansson (2004).
Sedangkan sebaliknya menurut Bergquist dan Ramsing (1999) sangat sukar untuk
menemukan hubungan antara TQM dan kinerja organisasi. Hasil publikasi penelitian
lainnya mengemukakan gambaran lebih negatif yang diperoleh dari implementasi TQM,
Eskildson (1994) menyatakan berdasarkan hasil survei yang dilakukannya ternyata
banyak organisasi telah gagal dengan upaya-upaya TQM. Alasan utama kegagalan ini
terkait kesalahan pemahaman TQM maupun implementasi yang tidak tepat. Sedangkan
penelitian Harari (2003) menunjukan hanya 30% program TQM yang dapat memberikan
peningkatan kinerja yang signifikan. Dengan demikian berdasarkan perbedaan hasil
penelitian tersebut diperlukan investigasi lebih lanjut terkait kinerja unggulan TQM. Agar
lebih memperjelas research gap dalam penelitian ini maka ditampilkan dalam Tabel 1.1
berikut:

Tabel 1.1 Rangkuman Research Gap dan Penelitian Terdahulu

Metodologi
Penelitian,
Permasalahan Judul &
No Research Gap Variabel dan Hasil
Penelitian Peneliti
Instrumen
Penelitian
1. Terdapat Inkonsistensi dalam Measuring the Survai 489 Sebagian besar
perbedaan pengukuran Impact of Staf dan studi
pandangan variabel praktek HRM Manajer mempergunakan
teoritis dan MSDM yang dapat Practices on Hotel, perangkat
hasil penelitian berkontribusi pada Organisational menggunakan pengukuran
terkait dengan kinerja organisasi diPerfromance, analisis faktor domain MSDM
cara temukan dalam Cho & Mayer dan dan uji dan namun
pengukuran berbagai penelitian (2003) ANOVA. menggunakan
praktek- MSDM. Seperti indikator kinerja
praktek yang dilakukan oleh Pengukuran yang berbeda-
MSDM yang Cho & Mayer 27 praktek beda. Ada
dapat (2003), Cho (2004). MSDM, 5 variabel TQM
memberikan variabel (Quality Circle)
pengaruh Sedangkan kinerja yang
terhadap sebagian penelitian organisasi dikembangkan
pencapaian lainnya memandang sebagai praktek
kinerja perlunya baru MSDM.
organisasi, pemahaman yang
termasuk sama dalam
praktek penelitian praktek
MSDM MSDM dengan
spesifik terkait
dengan strategi mempertimbangkan
bisnis, manajemen
misalnya strategis, Ulrich
TQM. (1997), Chadwick,
C., dan Cappelli, P.
(1999), Capelli &
Singh (1992).
Examining Fokus pada Ada praktek
the impact of exploratory, MSDM yang
human Survai 824 memiliki pengaruh
resources Certified Hotel positif terhadap
management: Administrators kinerja perusahaan,
a dan Certified ada sebagian
performance- HR Manager praktek MSDM
based Professional di yang berpengaruh
analytical North negatif terhadap
model, Cho America, kinerja organisasi.
(2004) menggunakan Terdapat perbedaan
SEM. efektivitas praktek
MSDM pada level
Domain Staf dan Non-Staf.
Praktek
MSDM,
Kinerja SDM,
Kinerja
Organisasi dan
Kinerja
Finansial.
Instrumen
dikembangkan
sendiri oleh
peneliti.

Lanjutan Tabel 1.2. …….

Metodologi
Penelitian,
Permasalahan Judul &
No Research Gap Variabel dan Hasil
Penelitian Peneliti
Instrumen
Penelitian
Terdapat hasil Measuring Exploratory & Rekomendasi
penelitian yang Human case study, bagi peneliti
inkonsistensi, Resource: telaah jurnal dan MSDM untuk
dimana terdapat An pemikiran baru mendefinisikan
praktek MSDM Overview of domain MSDM. kembali
yang memiliki Practice Domain Praktek domain
pengaruh positif and a MSDM, MSDM
terhadap kinerja Prescription mengembangkan sebagai
perusahaan, namun for Results, instrumen variabel
ada sebagian Ulrich penelitian. independen
praktek MSDM (1997) penelitian
yang berpengaruh sehingga
negatif terhadap diperoleh
kinerja organisasi, konsistensi
Cho (2004). dalam
Praktek MSDM penelitian
yang memiliki MSDM
keterkaitan erat berikutnya.
dengan strategi
utama bisnis yang
memberikan
pengaruh positip
terhadap kinerja
organisasi,
sedangkan,
Chadwick, C., &
Cappelli, P. (1999),
Capelli & Singh
(1992).
Alternatives Exploratory, Praktek MSDM
to strategic telaah jurnal dan perlu
generic - pemikiran baru mempertimbangkan
strategy domain MSDM. strategi bisnis
typologies in Memetakan secara keseluruhan,
strategic praktek MSDM tidak bersifat
human sesuai dengan generalisasi.
resource strategi generic
management, dan strategi
Chadwick, tipologi
C., & perusahaan
Cappelli, P.
(1999)
Integrating Exploratory, Perlu peran MSDM
strategic menggabungkan yang terintegrasi
human praktek MSDM dengan fungsi
resources dengan manajemen
and strategic manajemen stratejik, sesuai
management stratejik. Telaah dengan inisiatif
Capelli & pemikiran perusahan
Singh mendefinisikan (konfigurasional)
(1992). ulang praktek
MSDM Stratejik
dalam ranah
manajemen
stratejik

Lanjutan Tabel 1.2. …….

Metodologi
Penelitian,
Permasalahan Judul &
No Research Gap Variabel dan Hasil
Penelitian Peneliti
Instrumen
Penelitian
2. Terdapat Terdapat The Theory of Exploratoy, Terdapat perbedaan
perbedaan perbedaan survai 395 pendekatan
pandangan pendekatan Culture- industri servis penelitian budaya,
teoritis maupun penelitian specific Total dan ada yang
hasil penelitian budaya, ada manufaktur, menggunakan
empirik terkait yang Quality juga dilengkapi kuatitatif dan juga
cara yang menggunakan Management: dengan case dilakukan
paling tepat kuatitatif dan Quality study. pendekatan
untuk juga dilakukan management kualitatif dan studi
melakukan pendekatan in Chinese Memetakan kasus mendalam.
penelitian kualitatif, regions, variabel Direkomendasikan
budaya disarankan Noronha, budaya untuk melakukan
organisasi untuk Carlos (2002) menurut penelitian
perusahaan melakukan Hofstede menggunakan
maupun sub – kedua typology di- kedua metode
budaya pendekatan adaptasikan tersebut.
organisasi tersebut untuk dalam
perusahaan saling penelitian
pada level melengkapi, faktor budaya
mikro, dimana Noronha dalam
sampai saat ini (2002). implementasi
masih terdapat TQM di China.
dua mainstream Sebagian besar
pendekatan penelitian
penelitian kuantitatif
pendekatan menggunakan
budaya secara adaptasi
kualitatif variabel budaya
maupun yang
kuantitatif, dikembangkan
demikian pula oleh Hofstede
pada pemilihan
instrumen (1980), namun
penelitian. demikian
Lebih lanjut terdapat
secara spesifik pendekatan lain
diperlukan dalam
penelitian memahami
identifikasi culture dalam
budaya kerangka
organisasi yang organisasi
dapat dibandingkan
menunjang global culture,
pencapaian yaitu
kinerja TQM. menggunakan
OCAI-MSAI,
Cameron &
Quin (1990,
1999, 2006)

Lanjutan Tabel 1.2. …….

Metodologi
Penelitian,
Permasalahan Judul &
No Research Gap Variabel dan Hasil
Penelitian Peneliti
Instrumen
Penelitian
Rekomendasi Diagnosing and Exploratory, Validitas dan
penelitian Changing longitudinal study, reliabilitas
menunjukan survai berbagai instrument
adanya Organizational organisasi dan penelitian
keterkaitan Culture industri di kuantitatif
budaya Amerika sejak variabel
organisasi Based on the tahun 1990. Survai budaya yang
(nilai-nilai Competing di perusahaan cukup baik.
organisasi) forestry and Instrumen
sangat Values fishing, N=72; penelitian ini
menentukan Framework, dapat
sukses atau Cameron & finance, insurance, dipergunakan
kegagalan Quin (1990, real estate, untuk
implementasi 1999, 2006) N=172; melakukan
TQM, manufacturing, assessment
diperlukan N=388; mining, budaya
penelitian lebih perusahaan
lanjut untuk N=21; dengan lebih
memahami baik sehingga
fenomena ini construction, N=9; dapat
dengan public dipergunakan
menggunakan administration, untuk
model N=43; service, mengelola
penelitian yang N=127; retail and manajemen
lebih reliabel, perubahan dan
Corbett dan wholesale, N=44; pemetaan
Rastrick dan budaya
(2000). Hal ini transportation, organisasi yang
dapat dilakukan communications, lebih efektif.
dengan electric, gas and
menggunakan sanitary
instrument
CVF, Cameron utilities, N=127).
& Quin (1990, Mengembangkan
1999, 2006). konstruk
pengukuran
budaya organisasi,
instumen yang
disebut sebagai
OCAI – MSAI,
alternative yang
lebih baik dalam
memahami culture
dlm kerangka
organisasi
dibandingkan
global culture
(Hofstede, 1980)

Lanjutan Tabel 1.2. …….

Metodologi
Penelitian,
Permasalahan Research
No Judul & Peneliti Variabel dan Hasil
Penelitian Gap
Instrumen
Penelitian
Organizational Survai, terhadap Riset kuantitatif
Culture and 952 perwira budaya
Professionalism: angkatan darat (US organisasi lebih
An ARMY). memudahkan
Menggunakan dari sisi praktis
Assessment of the variabel dalam dibandingkan
Professional OCAI dan MSAI penelitian
Culture of the U. yang kualitatif.
S. dikembangkan oleh
Cameron & Quinn Penelitian ini
Army Senior (1999, 2006). telah
Level Officer Diperlukan studi menemukan
Corps, Pierce kasus untuk hubungan yang
(2004) mengkompensasi erat antara
pendekatan budaya
kualitatif. organisasi dan
pengembangan
profesional di
dalam
organisasi.
Kinerja
organisasi dapat
meningkat bila
budaya
mendukung
pengembangan
profesional staf.

Lanjutan Tabel 1.2. …….

Metodologi
Penelitian,
Permasalahan
No Research Gap Judul & Peneliti Variabel dan Hasil
Penelitian
Instrumen
Penelitian
Applying the Survai terhadap Terdapat
CVF to Study 68 responden, perbedaan
Organizational sekaligus studi pendekatan
Subcultures and kasus yang dalam
System-Wide dilakukan secara pengukuran
Planning Effort kualitatif. sub-budaya
in A Military Menggunakan organisasi.
University, variabel dalam Implementasi
Paparone (2003) OCAI yang Budaya
dikembangkan organisasi
oleh Cameron & dapat masuk
Quinn (1999, dalam
2006) kerangka
strategi
Balanced
Scorecard.
Quality Survai, Pengukuran
performance dilakukan uji kuantitatif lebih
and korelasi anatara mudah
konstruk budaya dilakukan dalam
organizational dalam OCI penelitian bila
culture dengan praktek dikaitkan
implementasi dengan variabel
A New Zealand TQM, Sampel penelitian yang
study, Corbett 63 Senior lain. Diperlukan
dan Rastrick Manager di 21 studi kasus agar
(2000) manufaktur. hasil lebih valid.
Mengukur
budaya
organisasi
menggunakan
variabel dalam
OCI (Org.
Culture
Inventory)
dikembangkan
oleh Cooke and
Lafferty (1983)

Lanjutan Tabel 1.2. …….

Metodologi
Penelitian,
Permasalahan Judul &
No Research Gap Variabel dan Hasil
Penelitian Peneliti
Instrumen
Penelitian
3. Inkonsistensi Sebagian The quest for Survai dan TQM
manfaat peneliti quality Analisis Regresi. memberikan
(benefits) menunjukan excellence: Sampel ‘benefit’ baik
implementasi adanya manfaat Lessons from penelitian para yang tangible
TQM, dan (benefit) dari the Malcolm penerima maupun
tantangan dalam implementasi Baldrige sejak intangible.
proses TQM, Shetty Baldrige 1987. Data
implementasi (1993). Namun Quality menggunakan Banyaknya
(barriers) demikian selain Award. GAO (General tingkat
maupun faktor- manfaat yang Shetty (1993) Accounting kegagalan
faktor yang dapat dicapai Office). implementasi
mendukung melalui TQM,
suksesnya namun dalam Variabel utama TQM yang
implementasi beberapa hal, Adalah Praktek memberikan
TQM. juga terdapat TQM dan Kinerjaefek negatif
korelasi yang Organisasi, bagi organisasi.
tidak signifikan menggunakan
antara kriteria Baldrige.
kesuksesan
implementasi
TQM dengan
kesuksesa
kontrol biaya,
Hendricks &
Singhal (1997).
Sedangkan
Terziovski dan
Samson (1999)
menyebut
beberapa
perusahaan yang
sukses tanpa
TQM, meskipun
dalam beberapa
hal TQM
membantu
dalam
pencapaian
kinerja
perusahaan.

Lanjutan Tabel 1.2. …….

Metodologi
Penelitian,
Permasalahan Research Judul &
No Variabel dan Hasil
Penelitian Gap Peneliti
Instrumen
Penelitian
Does Studi Terdapat bukti
Implementing an Longitudinal, signfikan para
Effective TQM dilakukan penerima
Program perbandingan MBQNA
Actually selama 3, 6 dan Awards
Improve 10 tahun sejak memiliki
Operating MBQNA kinerja
Performance?, Awards diadakan operasional
Hendricks & di Amerika, (sales, operating
Singhal (1997) sampel adalah income) yang
para penerima lebih baik
MBNQA. dibandingkan
sampel kontrol.
Variabel TQM Akan tetapi
Program dan terkait dengan
Operational kontrol biaya
Performance terdapat bukti
yang lemah
bahwa
perusahaan
yang sukses
implementasi
TQM memiliki
kinerja kontrol
biaya yang
lebih baik
dibanding
sampel kontrol.

Lanjutan Tabel 1.2. …….

Metodologi
Penelitian,
Permasalahan Research Judul &
No Variabel dan Hasil
Penelitian Gap Peneliti
Instrumen
Penelitian
The Link Penelitian semua Terdapat pengaruh
between Total industri (mix) di positip TQM pada
Quality Australia dan New kinerja
Management Zealand, operasional,
practice and menggunakan employee
organizational analisis relations
performance, multivariat.
Terziovski dan Sampel yang dan customer
Samson (1999) diteliti sekitar satisfaction.
1300 perusahaan
yang terdapat Akan tetapi
dalam AMC list, praktek TQM
umumnya sudah berdasarkan
mengaplikasikan penelitian ini
QMS ISO 9001 belum dapat
dan sebagian tidak
mengapilkasikan menggaransi
TQM. kinerja biaya,
inovasi
40 Variabel pengembangan
Praktek TQM dan produk baru
14 variabel Kinerja maupun superior
Organisasi di profitability.
identifikasi dan Terdapat sebagian
dijadikan variabel perusahaan yang
penelitian tidak
berdasarkan riset mengaplikasikan
yang dilakukan TQM juga ada
AMC (Australian yang memiliki
Manufacturing kinerja finansial
Center) yang cukup baik.

Lanjutan Tabel 1.2. …….

Metodologi
Penelitian,
Permasalahan Judul &
No Research Gap Variabel dan Hasil
Penelitian Peneliti
Instrumen
Penelitian
Pentingnya Total Quality Survai dan Hasil studi
change Management- studi kasus menunjukan
management Aspects of (multiple perusahaan
dalam Implementation case study), yang sukses
mendorong and obyek implementasi
suksesnya Performance: penelitian TQM memiliki
pencapaian Investigations pertama 3 kinerja yang
kinerja TQM with Focus on perusahaan jauh lebih baik
disertai Small pemenang dibandingkan
struktur Organisations, quality rata-rata
budaya Hansson (2004) award (1997, perusahaan
organik yang 1998, 2001) yang belum
lebih pas untuk di Swedia implementasi
implementasi dan obyek TQM pada
TQM, Hanson penelitian masa tersebut
(2004), kedua adalah Pada SMEs
Mosadegh 2 perusahaan yang berhasil
(2006). Namun SMEs di implementasi,
demikian Swedia yang secara spesifik
praktek TQM berhasil juga
berdasarkan implementasi ditunjukan
penelitian TQM. pentingnya
Terziovski dan Digunakan change
Samson Time series management
(1999), analysis. untuk
menghindari
belum dapat Terdapat dua kegagalan.
menggaransi proyek
kinerja biaya, penelitian,
inovasi fokus pada
pengembangan Variabel
produk baru Implementasi
maupun TQM,
superior Kinerja
profitability Finansial .
Sedangkan
proyek
penelitian
kedua fokus
pada SMEs ,
dimana
variabel
Manajemen
Perubahan
merupakan
bagian yang
dieliti
sebagai salah
satu
pendukung
suksesnya
TQM di
SMEs
The impact of Survai dan Hasil
organizational studi kasus penelitian
menggunakan menunjukan
culture on the sampel seluruh berbagai level
successful rumah sakit di implementasi
Isfahan, Iran. TQM yang
implementation Melakukan berpengaruh
of total quality pemetaan terhadap
tingkat kinerja
management, implementasi organisasi.
Mosadegh TQM dan Demikian pula
(2006) kekuatan terdapat
budaya kecenderungan
organisasi. organisasi
yang memiliki
Variabel yang tingkat
diteliti implementasi
meliputi yang tinggi
budaya dengan disertai
perusahaan, struktur
kinerja budaya yang
organisasi dan organik kuat
kesuksesan akan
implementasi mendukung
TQM. Faktor kinerja
budaya organisasi.
berforkus pada
organisasi
organik vs
mekanistik.

Lanjutan Tabel 1.2. …….

Metodologi
Penelitian,
Permasalahan Judul &
No Research Gap Variabel dan Hasil
Penelitian Peneliti
Instrumen
Penelitian
Studi sebagian What makes Survai, Penelitian meng-
peneliti TQM work: sebanyak 848 identifikasi 5
merekomendasikan A Study of ASQ members faktor
pentingnya change obstacles dari distrik penghambat
management agar and Raleigh, NC, suksesnya
implementasi TQM Outcomes, menggunakan implementasi
dapat berjalan Hill (2008) Web-based TQM, dari
dengan baik. survey. analisis faktor 21
yang
Analisis dikembangkan.
menggunakan Termasuk
analisis diantaranya tidak
multivariat. adanya change
management dan
Variabel peran HRD yang
independen maksimal
penelitian Penelitian
obstacles dan berikutnya
variabel disarankan untuk
fokus pada
dependen desain panduan
dan arah
potential implementasi
outcomes. TQM yang
berfokus pada
penghilangan
hambatan.

Sumber: berbagai penelitian yang menjadi rujukan disertasi ini

Berdasarkan latar belakang penelitian, maka ruang lingkup kajian penelitian ini akan
berfokus pada penyederhanaan kompleksitas lingkungan sebuah organisasi. Domain
utama yang diteliti adalah praktek MSDM, budaya perusahaan dan kinerja organisasi
unggulan TQM, seperti yang ditunjukan pada Gambar 1.1.

Gambar 1.1 Ruang Lingkup Kajian Penelitian

Budaya Perusahaan
Kinerja Organisasi
TQM
Praktek MSDM

Sumber : dikembangkan untuk disertasi ini

Berdasarkan telaah pustaka, penelitian ini sekaligus merangkum 4 (empat) masalah


utama yang disampaikan oleh para pemikir utama di area TQM, MSDM dan budaya
perusahaan, sehinga menjadi salah satu alasan pentingnya riset yang akan dilakukan,
yaitu :

1. Hansson (2003) : Kompetisi industri secara nasional maupun internasional telah


menjadikan perusahaan mengadopsi berbagai ”improvement system”, dan TQM telah
menjadi salah satu filosofi manajemen utama di berbagai perusahaan. Salah satu
keuntungan nyata TQM adalah mampu meningkatkan daya saing organisasi dan
mendukung pencapaian kinerja perusahaan. Apakah hal ini nyata-nyata terbukti ? dan
bagaimana proses dalam implementasinya ?

2. Ulrich (1987) : Manajemen SDM yang maju dan profesional mampu membawa
perusahaan memenangkan kompetisi, baik mutu dan kualitas produk, diferensiasi,
maupun inovasi. Bagaimana ini bisa terjadi ? Praktek-praktek SDM apa saja yang disebut
”maju dan profesional” ? Bagaimana MSDM mampu mengembangkan budaya
perusahaan unggul dan sejalan dengan inisiatif-inisiatif perubahan organisasi seperti
halnya TQM ?
3. Berrio (2003) : Studi tentang budaya perusahaan (organisational culture) umumnya
terkait dengan kinerja organisasi (organisational performance). Bagaimana konsep
tersebut dapat dijelaskan ? Bagaimana aplikasi konsep ini dari tataran strategis ke praktis
dalam mendukung pencapaian kinerja TQM ?

4. Bagaimanakah model pengembangan praktek MSDM yang efektif untuk


menunjang terbentuknya budaya perusahaan unggulan yang selaras dengan
inisiatif peningkatan kinerja bisnis berbasis TQM ? Bagaimana dengan praktek
yang terjadi di perusahaan-perusahaan di Indonesia khususnya di Provinsi Jawa
Tengah ?

1.4. Pernyataan Masalah (Problem Statement)

Dari berbagai studi empiris yang dilakukan oleh para peneliti, diungkapkan bahwa
praktek MSDM dapat berpengaruh positif bagi kinerja organisasi (Becker & Huselid,
1998; Huselid, 1995; Terpstra & Rozell, 1993). Namun demikian, sesuai dengan research
gap dalam penelitian ini, perlu dilakukan pengkajian yang lebih luas tentang variabel atau
domain praktek MSDM yang dapat mendukung kinerja organisasi. Kaitan antara praktek
MSDM dan budaya perusahaan terhadap kinerja unggulan TQM akan diujikan dalam
penelitian ini.

Dahlgaard dkk (1995) menyampaikan bahwa TQM adalah budaya organisasi yang
berfokus pada pelanggan (customer) dan peningkatan kinerja yang berkelanjutan. Untuk
memahami budaya perusahaan sebagai variabel yang berpengaruh pada kinerja
diperlukan pendekatan riset kausalitas dan kuantitatif. Namun demikian, studi lainnya
mengedepankan pendekatan kualitatif yang juga telah menjadi model penelitian budaya
organisasi dan banyak digunakan pada level persepsi individual. Model intervensi
manajemen perubahan yang umumnya dilakukan untuk melakukan perubahan budaya
organisasi dan implementasi TQM menjadi titik tolak pentingnya kajian yang mampu
menjelaskan seberapa jauh manajemen perubahan mampu menjadi katalisator suksesnya
implementasi TQM. Secara empirik riset ini menggali lebih lanjut konsep Hellsten dan
Klefsjo (2000) yang menyatakan TQM sebagai sistem manajemen perubahan terus
menerus yang menyatukan nilai-nilai, teknik dan seperangkat ‘tools’ yang bertujuan
untuk meningkatkan kepuasan pelanggan dan memperkecil pemanfaatan sumber daya.
Melalui pendekatan fungsionalis, dalam penelitian ini akan dilakukan identifikasi nilai-
nilai budaya perusahaan yang ‘fit’ dengan kinerja unggulan TQM.

Dalam penelitian ini akan dikembangkan sebuah model yang diharapkan mampu
memberikan pemahaman yang lebih komprehensif terhadap keterkaitan praktek MSDM,
pemetaan budaya organisasi dan pencapaian kinerja unggulan TQM. Berdasarkan
research gap yang disampaikan maka pernyataan masalah dalam penelitian ini adalah :

Bagaimana praktek MSDM dan bentuk budaya organisasi yang dapat mendukung
tercapainya kinerja unggulan TQM yang bermuara pada kinerja organisasional ?
Sehingga fokus masalah dalam penelitian ini seperti yang telah dirangkum dalam Tabel
1.2 adalah :

1. Pertama, terdapat perbedaan pandangan teoritis dan hasil pernelitian terkait dengan
domain pengukuran praktek-praktek MSDM yang dapat memberikan pengaruh terhadap
pencapaian kinerja organisasi. Selain itu diperlukan penjelasan lebih lanjut praktek-
praktek MSDM spesifik yang dapat mendukung terciptanya budaya organisasi yang tepat
sesuai dengan kebutuhan kinerja organisasi yang berfokus pada TQM.

2. Kedua, terdapat perbedaan pandangan teoritis maupun hasil penelitian empirik terkait
cara yang paling tepat untuk melakukan penelitian budaya organisasi perusahaan maupun
sub –budaya organisasi perusahaan pada level mikro dimana sampai saat ini masih
terdapat dua mainstream pendekatan penelitian pendekatan budaya secara kualitatif
maupun kuantitatif, ataupun pemilihan instrumen penelitian. Lebih lanjut secara spesifik
diperlukan penelitian identifikasi budaya organisasi yang dapat menunjang pencapaian
kinerja TQM.

3. Ketiga, beberapa peneliti MSDM maupun TQM merekomendasikan pentingnya


melakukan studi lebih mendetail terkait manfaat implementasi TQM, baik tantangan
dalam proses implementasi (barriers) maupun faktor-faktor yang mendukung suksesnya
implementasi TQM berupa keberhasilan kinerja unggulan TQM. Studi ini juga akan
mengungkap ‘black box’ yang mempengaruhi suksesnya organisasi yang berfokus pada
TQM, salah satunya adalah praktek manajemen perubahan (change management) yang
ditangani secara serius.

Penggunaan structural equation modeling (SEM) pada penelitian ini untuk menguji direct
& indirect relationship antara variable yang diteliti pada sebuah model kausalitas yang
telah dikembangkan. Penggunaan SEM sangat tepat jika dilakukan untuk menguji
hubungan multiple exogenous and endogenous variables (Guthrie dkk, 2004; Shook,
Ketchen, Hult & Kacmar, 2004). Penelitian yang dilakukan Guthrie dkk (2004) yang
menguji model kausalitas MSDM stratejik dan kinerja organisasi menggunakan SEM
menunjukan keunggulan dalam analisis model terintegrasi secara simultan. Hal ini
konsisten dengan Becker dan Gerhart (1996) yang merekomendasikan bidang penelitian
MSDM stratejik harus menguji ”more complete structural models” yang menjelaskan
keterkaitan praktek sistem MSDM dan kinerja perusahaan.

1.5.Pertanyaan Penelitian (Research Question)

Untuk dapat menjawab permasalahan penelitian di atas, maka penelitian ini diarahkan
pada pertanyaan-pertanyaan, sebagai berikut:

1. Bagaimanakah praktek-praktek MSDM yang mampu mendukung suksesnya organisasi


perusahaan dalam implementasi TQM dan pencapaian kinerja unggulan TQM ?

2. Bagaimanakah praktek-praktek MSDM yang dapat mendorong terciptanya budaya


organisasi spesifik yang mendukung organisasi dalam implementasi TQM ?
3. Apakah manfaat secara spesifik yang dicapai oleh perusahaan-perusahaan yang sukses
dalam implementasi TQM ?

1.6.Definisi-Definisi Utama

Beberapa definisi utama dalam penelitian ini akan dijelaskan sebagai berikut:

Staffing (STF) didefinisikan sebagai praktek MSDM meliputi perencanaan, forecasting


dan seleksi karyawan.

Training & Development (TND) didefinisikan sebagai proses sitematis dalam upaya
meningkatkan kompetensi pekerja yang bertujuan untuk peningkatan kinerja.

Performance Appraisal (PAP) didefinisikan sebagai proses evaluasi kinerja karyawan


dibandingkan pada target atau standar kinerja yang diharapkan.

Rewards (RWD) didefinisikan sebagai sistem imbalan bagi pekerja yang terdiri dari
imbalan finansial dan non finansial yang bertujuan untuk meningkatkan motivasi, moral,
komitmen, produktivitas dan teamwork.

Employee Relations (ERL) didefinisikan sebagai sistem yang menyediakan perlakuan


fair dan adil secara konsisten bagi seluruh pekerja yang bertujuan untuk meningkatkan
komitemen organisasi. Termasuk di dalamnya penyelesaian konflik, partisipasi, survai
sikap dan perilaku karyawan.

Internal Communication (ICM) didefinisikan sebagai sistem komunikasi dua arah untuk
menjelaskan visi, misi perusahaan, inisiatif-inisiatif manajemen, pengembangan produk
baru maupun kondisi kinerja perusahaan.

Adhocracy Culture (ADC) didefinisikan sebagai budaya organisasi yang berorientasi


pada kemampuan beradaptasi, fleksibilitas dan kreativitas (inovasi).

Market Culture (MKC) didefinisikan sebagai budaya perusahaan yang berorientasi pada
output, kompetisi, sasaran, dan tuntutan memenangkan persaingan.

TQM Standard of Performance Excellence (Baldrige, BLD) didefinisikan sebagai


standar keunggulan kinerja organisasi yang meliputi 7 standar kriteria utama Baldrige
National Quality Award, yang terdisi dari aspek : (1) Leadership (LDS); (2) Information
Analysis (IAN); (3) Strategic Planning (SPN); (4) Human Resources Focus (HRF); (5)
Process Management (PMT); (6) Operating Results (OPR); and (7) Customer (CST).

1.7.Orisinalitas Penelitian (Originality of the Study)

Penelitian ini akan menggunakan Grand Theory Strategic Perspective dan berdasarkan
Teori RBV (Resource-based View of the firm), dimana dijelaskan bahwa sebuah entitas
bisnis digambarkan memiliki sejumlah sumber daya dan kapabilitas yang gilirannya akan
menjadi sumber yang sangat penting bagi keunggulan kompetitif (Barney, 1991; Grant,
1996; Wernfelt, 1994). Potensi keunggulan kompetitif diturunkan dari kemampuan
perusahaan dalam mengeksploitasi keunikan dari sumber daya dan kapabilitas yang
dimilikinya. Keunikan yang sukar ditiru berupa sistem, orang dan budaya perusahaan
merupakan “organisational binder” dan diyakini mampu berkontribusi pada kinerja
perusahaan, ini sudah dibuktikan dalam riset terdahulu misalnya Arthur (1994), Batt
(2002), Delery & Doty (1996), Guthrie (2001) dan masih banyak lagi. Namun demikian
domain utama praktek MSDM yang mampu memberikan kontribusi bagai kinerja
organidasi masih menjadi pertanyaan dan menjadi research gap utama dalam penelitian
ini. Studi komprehensif soal ini sangat direkomendasikan oleh Becker dan Gerhart (1996)
dan hasilnya akan mampu memberikan dukungan empiris terhadap variabel-variabel
utama praktek MSDM yang memiliki kontribusi pada kinerja organisasi.

Grant (1996) membedakan 3 (tiga) bentuk sumber daya organisasi, yaitu : (1). Tangible
atau nampak; (2). Intangible atau tidak nampak dan (3). Sumber Daya Manusia (SDM).
Dalam konteks ini dapat dikatakan bahwa praktek & sistem MSDM, budaya organisasi
maupun keunggulan kinerja TQM merupakan bagian dari intangible resources. Inilah
yang akan digali dan akan menjadi kajian yang orisinil dalam menguak karakteristik
MSDM, budaya organisasi dan kinerja unggulan TQM kedalam sebuah model teoritis
yang akan digali lebih detil pada Bab 2.

Kanji (2001) menyatakan bahwa pembentukan budaya yang selaras dengan TQM
merupakan kunci sukses implementasi TQM dalam sebuah organisasi. Setiap organisasi
memiliki kekhususan budaya perusahaan yang dimilikinya dan melekat pada individu
sebagai sebuah kesatuan interaksi yang secara unik hanya ada didalamnya (Flanagan &
Finger, 1998). Pengelolaan SDM yang berupaya menciptakan iklim sepsifik yang
berujung pada budaya perusahaan TQM akan mendorong implementasi strategi
manajemen dan pemahaman filosofi baru (Claver dkk, 2001). Wilton & Reavill (1995),
menjelaskan bahwa budaya organisasi banyak dipengaruhi berbagai faktor, baik ukuran
organisasi, lokasi geografis, jenis industri, maupun aspek-aspek psikologi industri,
misalnya : kepemimpinan, pelatihan, penghargaan, komitmen dan sikap perilaku SDM
organisasi. Apabila standar minimal budaya organisasi yang ‘selaras’ dengan TQM tidak
terpenuhi (tidak ada), hal tersebut akan menjadi penyebab utama kegagalan transformasi
TQM.

Menurut Martins (1989), menciptakan budaya TQM pada sebuah organisasi berarti
melakukan ‘perubahan’ pada pola pikir dan perilaku orang. Perilaku orang ataupun
pengambilan keputusan untuk bertindak dipengaruhi oleh 3 (tiga) dimensi utama
(McAdam, 1995), yaitu : pengetahuan (berdasarkan rasionalitas), estetika (berdasarkan
emosi), dan budaya / etika (berdasarkan nilai). TQM terkait dengan ketiga aspek tersebut
yang menghasilkan tindakan, perilaku, nilai-nilai dan pandangan menyeluruh SDM
perusahaan yang disebut sebagai budaya TQM. Sehingga dapat disimpulkan bahwa TQM
mempersyaratkan perubahan budaya (cultural change) yang harus di ikuti perubahan
perilaku (behaviour). Sampai saat ini riset untuk melihat sampai sejauh mana praktek
MSDM yang terkait dengan pembentukan budaya TQM dan selaras dengan pencapaian
kinerja unggulan TQM masih menjadi “black box” dan ini perlu dikaji lebih mendalam
mengingat fenomena implementasi TQM di banyak organisasi, khususnya di Indonesia
baik lokal maupun multi national company (MNC) telah berkembang dengan sangat
pesat. Kecepatan, efektivitas dan efisiensi menjadi kunci keunggulan industri, dan
implementasi TQM dengan berbagai tools yang dimiliki serta perkembangan system
pendukungnya telah banyak dipilih dan dijadikan model binis yang saling berkaitan dan
menyatu, sehingga banyak organisasi saat ini telah menggabungkan TQM dengan
business tools lainnya semisal Balanced Scorecard (BSC), Six Sigma (SS), Lean
Manufacturing, Total Productive Management (TPM) dan masih banyak lagi. Salah satu
keunggulan dalam riset ini adalah pendekatan riset budaya secara kuantitatif untuk
memudahkan eksplorasi, pemetaan dan generalisasi model pada perusahaan-perusahaan
di Indonesia, namun demikian riset ini juga mengakomodasi hal-hal yang bersifat
kualitatif mengingat keterlibatan penuh peneliti pada sebuah proses transformasi
organisasi TQM akan menjadi nilai tambah dalam penelitian ini. Dengan demikian
perdebatan validitas riset budaya terkait pilihan metode kualitatif maupun kuantitatif
dapat dijembatani oleh peneliti sendiri, seperti halnya yang direkomendasikan Pierce
(2004).

Teori keunggulan berbasis sumber daya atau lebih dikenal sebagai Resource-Based View
(RBV) of the firm menempatkan MSDM atau “human capital” sebagai sumber daya
organisasi yang dapat berkontribusi pada kesuksesan keunggulan bersaing yang
berkelanjutan. Banyak studi empirik telah mendokumentasikan hubungan sistem dan
praktek MSDM terhadap kinerja perusahaan. Misalnya Wright & McMahan (1992)
meneliti aktivitas MSDM terkait dengan strategi organisasi, yang selanjutnya diperdalam
oleh Chadwick & Cappelli (1999) dan Boxal (1993). Demikian pula Guest (1997), Dyer
& Reeves (1995, Becker & Gerhard (1996) juga meneliti dan mengembangkan
keterkaitan praktek dan sistem MSDM pada kinerja SDM, kinerja organisasional maupun
kinerja finansial. Sementara itu penelitian-penelitian MSDM yang mengkaji keterkaitan
praktek MSDM, budaya perusahaan dan kinerja unggulan TQM masih langka dan sampai
saat ini di dialam literatur internasional maupun lokal masih sangat terbatas. Penelitian
topik tersebut baik dalam kerangka pengembangan konsep maupun penelitian empirik
sangat dibutuhkan di dalam mengembangkan praktek MSDM yang berkontribusi pada
kinerja organisasional jangka panjang (source of competitive advangate). Selain itu, pada
studi kali ini secara spesifik digunakan structural equation modelling untuk menguji
model yang dikembangkan yang akan menunjukan hubungan kausalitas antar variabel-
variabel yang diteliti dan dikembangkan secara terpadu sehingga akan memberikan
gambaran strategis validitas model yang dikembangkan baik secara kajian teoritis
maupun secara praktis. Lebih lanjut Tabel 1.2 merangkum matriks orisinalitas penelitian
yang dilakukan.

Tabel 1.2 Matriks Orisinalitas Penelitian

Budaya
Kinerja Kinerja Kinerja Perusahaan
TQM
MSDM Organisasi Finansial (Adhocracy &
Market)
Penelitian Sudah Terbatas, Sudah Terbatas, Belum ada,
banyak,

Arthur’s banyak,
(1994),
Huselid Huselid
Huselid and
(1995) &
Becker
(1995),
(1995),
MacDuffie Pfeffer
Hanson Becker &
(1995), (1994),
Praktek (2003) Gerhardt,
Guest (Arthur, 1994; Pierce (2004)
MSDM — (1996),
(1997), Ichniowski
MacDuffie
Dyer & dkk., 1994),
(1995), Guest
Reeves Wright &
(1997),
(1995, McMahan
Becker & (1992)
Gerhard
(1996)
Penggunaan
Analisa Terbatas, Terbatas,
Statitistik SEM Guthrie,
Belum ada Belum ada Belum ada
: Penelitian Ehrnrooth Datta, Wright
Praktek (2002) (2004)
MSDM —

Sumber: berbagai penelitian yang menjadi rujukan disertasi ini

1.8.Tujuan Penelitian (Purpose of the Research)

a. Tujuan Umum

1. Untuk membangun model hubungan praktek MSDM, budaya perusahaan dan kinerja
unggulan TQM.

2. Untuk mendapatkan bukti-bukti empiris model hubungan praktek MSDM, budaya


perusahaan dan kinerja unggulan TQM.

b. Tujuan Khusus

1. Untuk menemukan bukti empiris bahwa praktek staffing (rekruitmen dan penempatan
tenaga kerja), program pelatihan dan pengembangan SDM, performance appraisal
(penilaian kinerja), rewards (sistem imbalan), employee relations (hubungan
kekaryawanan), internal communication (komunikasi internal) berpengaruh secara
signifikan terhadap implementasi dan pencapaian kinerja unggulan TQM.

2. Untuk menemukan bukti empiris bahwa praktek staffing (rekruitmen dan penempatan
tenaga kerja), program pelatihan dan pengembangan SDM, performance appraisal
(penilaian kinerja), rewards (sistem imbalan), employee relations (hubungan
kekaryawanan), internal communication (komunikasi internal) berpengaruh pada
terbentuknya budaya adhocracy dan market.

3. Untuk menemukan bukti empiris bahwa budaya adhocracy dan market berpengaruh
secara signifikan terhadap pencapaian kinerja unggulan TQM.

1.9.Manfaat penelitian (Benefit of the Study)

a. Manfaat Teoritis

Bagi dunia akademik diharapkan dapat mengambil manfaat sebagai literatur baru bagi
penelitian yang berhubungan dengan praktek MSDM, budaya perusahaan dan analisis
kinerja TQM. Diharapkan saran-saran, kesimpulan dan rekomendasi penelitian ini akan
dapat mendorong penelitian lebih lanjut dan memperkaya riset dibidang MSDM Stratejik
dan Total Quality Management.

b. Manfaat Praktis

Secara praktis hasil penelitian ini dapat dijadikan salah satu referensi bagi Manajemen
Perusahaan dalam meningkatkan kinerja organisasi melalui standar “Best Practices”
praktek MSDM, budaya perusahaan dan implementasi TQM.

c. Manfaat bagi Kebijakan Pemerintah

Produktivitas regional maupun nasional secara keseluruhan sangat dipengaruhi oleh


kesuksesan organisasi perusahaan di dalam membangun keunggulan kompetitifnya
melalui praktek MSDM yang baik, pengembangan budaya perusahaan yang mendukung
suksesnya implementasi TQM. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
masukan bagi pemerintah dalam mendukung industri manufaktur di provinsi Jawa
Tengah, untuk semakin progresif di dalam meningkatkan daya saing industri melalui
cara-cara yang sistematis dan berfokus jangka panjang. Organisasi yang memiliki
praktek-praktek MSDM yang baik, berfokus pada pengembangan budaya perusahaan dan
pencapaian kinerja TQM pada akhirnya akan dapat memberikan manfaat signifikan bagi
para stakeholders.

1.10. Justifikasi Penelitian (Justification of the Study)

Justifikasi pertama penelitian ini berdasarkan adanya gap dalam penelitian-penelitian


terdahulu maupun hasil olah intelektual peneliti yang meliputi gagasan-gagasan baru
dalam domain praktek MSDM, pemetaan budaya perusahaan dan pemahaman terhadap
manfaat implementasi TQM.

Justifikasi kedua adalah bangunan model teoritikal yang dikembangkan para peneliti
terdahulu tidak memberikan pemahaman yang komprehensif tentang keselarasan praktek
MSDM, pembentukan buaya perusahaan dan kinerja ungggulan TQM. Kebanyakan
peneliti terdahulu hanya menguji beberapa salah satu aspek saja, sementara ketiga aspek
tersebut sangatlah erat dan saling berkaitan, sehingga masih terbuka peluang untuk
memberi kajian yang lebih luas tentang hubungan antara variabel-variabel MSDM,
budaya perusahaan dan analisis kinerja unggulan TQM.

Justifikasi ketiga dalam penelitian ini juga merupakan tindak lanjut dari sisi akademik
untuk lebih spesifik melakukan pemetaan praktek MSDM, budaya organisasi dan kinerja
unggulan TQM industri manufaktur di Jawa Tengah yang berorientasi pada kinerja
unggulan kelas dunia dan mengaplikasikan filosofi TQM dalam berbagai aktivitas
improvement-nya. Dengan demikian penelitian ini akan berguna dalam memberikan
gambaran “best practices” implementasi sistem TQM dalam perusahaan-perusahaan yang
telah maju dan akan dapat memberikan referensi bagi perusahaan-perusahaan yang akan
ataupun sedang menjalankan inisiatif TQM di Indonesia.

2.1. Pendahuluan

Pada Bab 2 akan dikaji bangunan teori yang dijadikan pijakan dalam pengembangan
model penelitian disertasi, selanjutnya akan dibahas penelitian-penelitian terdahulu baik
berupa konsep eksploratif maupun hasil penelitian empirik yang terdapat di dalam
berbagai jurnal dan penelitian ilmiah. Kristalisasi gagasan berupa kerangka pemikiran
teoritis, keterkaitan (asosiasi) antar konsep akan diwujudkan dalam proposisi penelitian.

Model teoritikal dasar yang dihasilkan dari kajian teori, sintesis antara konsep (proposisi)
dan hasil penelitian empirik sebelumnya akan digunakan dalam menurunkan model
penelitian utama sekaligus hipotesis-hipotesis penelitian untuk disertasi ini. Pada telaah
pustaka akan difokuskan pada upaya penggalian 3 (tiga) konsep utama yang meliputi
studi praktek MSDM, teori budaya organisasi, dan inisiatif aplikasi TQM untuk
meningkatkan kinerja organisasi, serta 1 (satu) sintesis model penelitian terpadu
penelitian.

Lingkup bahasan Bab 2 diorganisasikan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.1.
Pembahasan secara terperinci atas teori-teori dan konstruk-konstruk yang digunakan
untuk penelitian ini diuraikan pada bagian-bagian berikut.

Gambar 2.1. Outline Telaah Pustaka

Sumber: dikembangkan untuk disertasi ini


2.2. Perspektif Teori MSDM

Pada sub-bab ini akan dijelaskan perspektif teori yang akan menguraikan “black box”,
fenomena yang menjelaskan kontribusi MSDM terhadap kinerja perusahaan. Pendekatan
Perspektif Stratejik (Strategic Perspective), MSDM berkontribusi terhadap kinerja
melalui keselarasan MSDM dengan strategi bisnis. Selain itu akan dijelaskan pendekatan
RBV (Resource Based View of the firm) yang berfokus pada keunikan, inimitable dan
sumber daya internal perusahaan yang berkontribusi pada kinerja organisasi.

2.2.1. Perspektif Stratejik : Desain Sistem MSDM

Ide utama yang mendasari Perspektif Stratejik adalah teori manajemen stratejik yang
menekankan bahwa keberhasilan strategi perusahaan mempersyaratkan “kejelasan”
strategi yang digunakan, Porter (1980, 1987, 1990) dan Miles & Snow (1984). Pemikiran
MSDM Stratejik mengarah pada konsep dimana setiap strategi bisnis yang bersifat
“generic” memberikan implikasi keselarasan pilihan sistem MSDM yang dapat
menunjang pencapaian kinerja bisnis (Schuler & Jackson). Berkaitan dengan “black box”,
konsep MSDM stratejik menekankan aspek ‘transformasi’ input MSDM yang
menghasilkan desain spesifik praktek MSDM sesuai dengan pendekatan strategi bisnis
yang ditetapkan. Dua alasan utama yang terkait dengan Perspektif Stratejik, pertama,
bahwa MSDM dan strategi organisasional harus diselaraskan untuk meningkatkan
efektifitas MSDM, kedua, bahwa MSDM harus diaplikasikan secara spesifik kepada
kelompok-kelompok kerja / karyawan untuk mencapai sasaran organisasi.

Meski pentingnya integrasi stratejik MSDM dan strategi organisasional banyak


ditekankan oleh literatur-literatur MSDM, akan tetapi masih terdapat ketidaksepakatan
bagaimana proses interaksi MSDM dan strategi organisasi yang diterapkan. Torrington &
Hall (1998) menggambarkan berbagai tingkat interaksi tersebut, dari hal yang terpisah
sama sekali yang disebut sebagai “unstrategic personnel management” hingga
keterkaitan yang sangat erat antara konsepsi MSDM yang berpengaruh pada strategi
bisnis (Butler 1988, 1991). Dua konsep strategi bisnis akan dibahas dalam sub-bab
selanjutnya, yaitu tipologi Miles & Snow (1984) dan Schuler & Jackson (1997), sebagai
salah satu referensi utama dari bangunan teori yang akan dikembangkan. Prinsip kedua
tipologi tersebut adalah setiap strategi bisnis hanya memiliki sejumlah pilihan terbatas
praktek MSDM yang sesuai dengan karakteristik strategi yang dipilihnya (Mabey &
Salaman 1995).

Lebih lanjut, sebelum membahas secara mendetail interaksi MSDM dan strategi bisnis,
diperlukan pemahaman yang sama dan definisi yang sama tentang konsep strategi.
Strategi, menurut Purcell & Ahlstrand (1994) : “strategy is associated with the long-term
decision taken at the top of enterprise and distinguished from operational activities”. Hal
ini sangat berbeda dengan Hill & Jones (1992) yang lebih mengarah ke pendekatan
“tradisional” dalam mendefinisikan strategi, disebutnya sebagai pendekatan ‘hierarchy-
& planning-based’. Menurut Purcell & Ahlstrand (1994), pendekatan tradisional terkesan
terlalu sederhana, mengingat dengan model tradisional pimpinan di tingkat korporasi
masih dapat dilibatkan pada aktivitas operasional seperti halnya staf bisnis di level unit
yang diberikan otonomi untuk menyusun formula strategi bisnisnya ataupun kontribusi
pada strategi korporat-nya. Dengan demikian, lebih tepat apabila strategi didefinisikan
dengan melihat sebagai bentuk karakteristik pengambilan keputusan manajerial yang
bersifat stratejik. Johnson (1987) menekankan bahawa keputusan manajerial harus fokus
pada arah jangka panjang organisasi, ruang lingkup aktivitas organisasi, kesesuaian
aktivitas organisasi dengan lingkungan bisnisnya, kesesuaian aktivitas organisasi dengan
kapabilitas sumber daya yang dimilikinya.

Pemahaman konsep strategi dapat dilakukan dengan melihat tingkatan (level) strategi
yang berbeda-beda (Hendry 1995). Quinn (1991) mengidentifikasi 5 (lima) tingkatan
dalam level stratejik, yaitu : Sasaran (goals) sesuai dengan ruang lingkup dan spesifik,
kebijakan (policies) yang merupakan aturan dan pedoman sebagai kerangka pelaksanaan /
implementasi, rencana stratejik (strategic plans) berupa pola dan rencana yang
mengintegrasikan sasaran dan kebijakan sebagai satu kesatuan yang konsisten, keputusan
stratejik (strategic decisions) lebih kepada arah keseluruhan alokasi sumber daya
organisasi dalam mencapai sasaran bisnis, program (programmes) yang disebutkan
sebagai rangkaian ‘step-by-step’ implementasi untuk mencapai sasaran utama bisnis
dengan memastikan alat ukur / indikator yang digunakan untuk menilai tingkat
pencapaian sasaran. Keputusan stratejik (strategic decisions) berbeda dengan keputusan
operasional ‘day-to-day’ karena dalam keputusan stratejik melibatkan tingkat
ketidakpastian maupun resiko yang jauh lebih tinggi, membutuhkan integrasi manajemen
lintas fungsional, melibatkan masalah perubahan seperti halnya mobilisasi sumber daya
dan kekuatan dalam menghadapi ketidakpastian di masa depan.

Porter (1987) membedakan antara strategi di tingkat ‘unit bisnis’ dan strategi di tingkat
‘korporasi’, sedangkan Wheelen & Hunger (1990) menambahkan bahwa dalam
penerapannya, strategi dibedakan menjadi level ‘fungsional’ atau ‘departemental’.
Strategi korporat (corpoarete strategy) menurut Porter fokus pada jenis aktivitas bisnis
dimana organisasi bersaing dan bagaimana ‘corporate office’ mengelola seluruh unit
bisnis agar unit bisnis fokus pada ‘competitive strategy’ dengan tujuan untuk
menghasilkan ‘competitive advantage’ di dalam satu unit bisnisnya. Secara nyata harus
dipahami bahwa persaingan / kompetisi justru terjadi pada level unit bisnisnya, Porter
(1980, 1990) menyatakan bahwa unit bisnis untuk memenangkan persaingannya harus
berkonsentrasi pada : cost leadership yang bertujuan untuk menciptakan keunggulan
pasar melalui harga lebih rendah dibandingkan pesaing, differentiation (peningkatan
kualitas) dimana upaya unit bisnis dalam meraih keunggulan kompetitif melalui kualitas
produk yang ditawarkan, focus sebagai strategi yang dapat melibatkan cost leadership
atau differentiation dan berfokus pada market dan pelanggan yang spesifik, artinya
kompetisi langsung dengan pesaing lain dapat dihindari dengan target pada pasar khusus /
ceruk pasar (niche market) yang ada. Inovasi menurut Porter merupakan satu langkah
kedepan dalam meraih keunggulan kompetitif dipasar. Sedangkan Schuler & Jackson
(1987) menterjemahkan inovasi sebagai ‘a distinct strategy’, sesuai dengan Porter,
menurutnya kerja dapat dipahami bukan sekedar mengikuti proses yang ada dan belajar
untuk mencari cara baru berkompetisi, akan tetapi memanfaatkan kesempatan yang
muncul dari dis-kontinyuitas struktur industrinya (Hendry 1995).
Pendekatan lain yang dikembangkan oleh Miles & Snow (1984) memunculkan 3 (tiga)
strategi organisasi fundamental, yaitu :

• Defenders : tipe organisasi ini beroperasi pada situasi pasar yang dapat diprediksi
dengan jenis pasar dan produk tertentu, sasaran utama strateginya pertumbuhan
melalui penetrasi pasar. Penelitian dan pengembangan (research and
development, R & D) dikonsentrasikan pada pengembangan produk, produksi
dengan volume cukup besar serta berorientasi pada penekanan biaya melalui
efisiensi dan perbaikan rekayasa proses.
• Prospectors : tidak seperti halnya defenders, tipe organisasi ini berorientasi pada
perubahan pasar dengan diversifikasi produk dan memiliki sasaran pertumbuhan
melalui pengembangan produk serta aktif mempengaruhi pasar dengan mencoba
peluang-peluang baru. Perusahaan yang tergolong prospectors memiliki target
utama pada R & D untuk selalu meluncurkan produk barunya. Orientasi produksi
bersifat ‘customized’ dan ‘prototypical’, menekankan pada efektivitas dan desain
produknya.
• Analysers : tipe organisasi ini merupakan kecenderungan dari tipe defenders &
prospectors, bertujuan pada efisiensi produksi dengan jenis produk tertentu serta
mengadopsi trend pasar baru yang cukup menjanjikan dengan kemampuan
inovasinya. R & D memiliki fokus trend spesifik yang muncul dan berpeluang
dipasar yang dilihat dari prospectors–nya, menekankan pada strategi ‘second-to-
market’. Produksi tergantung pada jenis produknya, berorientasi pada volume dan
penekanan harga (low cost), selain itu tipe analysers juga berfokus pada rekayasa
proses (process engineering) termasuk pada product / brand management-nya.

Secara singkat Miles & Snow juga megemukakan tipe keempat yang disebutnya sebagai
‘reactor’ yang bercirikan dengan strategy-environment inconsistency ataupun poor
strategy-structure-process, tipe reactor menurut Miles & Snow lebih sulit berkembang
dibandingkan dengan tipe lainnya. Tipologi organisasi menurut Miles & Snow (1984) ini
secara umum konsisten dengan pendekatan Porter.

Mabey & Salaman (1995) menggunakan ‘open’ & ‘closed’ dalam pendekatan strategi
SDM. Strategi ini dikarakterisasikan dengan mendefinisikan terlebih dahulu sasaran atau
praktek-praktek yang mendukung tipe strategi bisnisnya, jelasnya sangat tergantung
dengan strategi bisnisnya. Kesesuian diantara kebijakan-kebijakan SDM yang berbeda
merujuk pada kesesuaian ‘internal’ dan ‘vertikal’, dan kesesuaian antara kebijakan SDM
dan strategi organisasional yang juga sering disebut sebagai kesesuaian ‘eksternal’
ataupun ‘horizontal’ (Delery & Doty 1996, Huselid 1995). Pengelompokan pendekatan
teoritis yang umum digunakan untuk mempelajari desain SDM stratejik banyak mengacu
pada konsep yang dikembangkan oleh Delery & Doty (1996). Pertama, pendekatan
universalistic atau ‘best practice’, didasarkan pada anggapan praktek terbaik SDM
semisal HPWS (High Performance Work Sistem) akan selalu lebih baik dibandingkan
yang lain (Pfeffer 1994, Huselid 1995). Kedua, contingency perspective, didasarkan pada
ide bahwa kebutuhan efektivitas organisasi sangat dipengaruhi konsistensi antara elemen-
elemen MSDM dengan aspek organisasional yang lain, khususnya dengan strategi
bisnisnya (Schuler & Jackson 1987, Lengnick-Hall & Lengnick-Hall 1988). Secara
umum pendekatan kontijensi ini dipahami sebagai ‘external fit’. Ketiga, configurational
approach, didasarkan pada bentuk yang ideal berdasarkan prinsip equifinality, yaitu tiap
bentuk organisasi yang berbeda dapat memiliki tingkat efektivitas yang berbeda pula
(Doty dkk 1983, Doty & Glick 1994, Delery & Doty 1996). Pendekatan konfigurasional
menyatukan praktek MSDM yang konsisten dengan alternatif strategi konfigurasi,
misalnya kombinasi antara kesesuaian internal dan eksternal (Delery & Doty 1996).

Bentuk-bentuk pendekatan MSDM stratejik yang sama polanya juga disampaikan oleh
Guest (1997) yang membedakannya menjadi internal fit, external fit dan configurational
fit. Guest mendefinisikan kesesuaian eksternal dan internal serupa dengan deskripsi
sebelumnya diatas, namun Guest mengajukan bahwa ‘internal fit’ sangat identik dengan
‘HRM as an ideal set of practices’. Ilustrasi yang disampaikan oleh Guest ini kurang
mampu menjelaskan konsep internal fit. Delery & Doty mengelompokan internal fit
sebagai salah satu bagian dari pendekatan konfigurasional. Guest (1997)
menginterpretasikan kesamaan dari internal fit dengan perspektif universalistic. Jadi
perspektif universalistik memberikan implikasi dalam memperkaya pemahaman HPWP
(High Performance Work Place), yang dinyatakan oleh Guest (1997) sebagai “the more
of high performance HRM practices that are used, the better the performance”,
pernyataan tersebut tidak menjelaskan ‘internal relationship’ diantara praktek MSDM
yang ada. Pemahaman Guest sebenarnya didasarkan pada asumsi implisit bahwa praktek
MSDM saling melengkapi satu sama lain. Dalam tataran konseptual, akan lebih berguna
dengan memastikan perbedaan-perbedaan teoritis diantara konsep-konsep yang ada.
Hoque (1999a) melengkapi tipologi Guest dengan mengusulkan konsep universal
relevance. Tergantung pada situasi pasarnya, adopsi sebuah strategi bisnis yang pasti
akan diperlukan jika kebutuhan organisasinya juga spesifik yang akan diikuti dengan
pendekatan MSDM yang relevan secara universal (universally relevant HRM approach).

Menyimpulkan pendekatan desain MSDM yang telah dibahas sebelumnya, terlihat


pandangan universalistik mempengaruhi praktek MSDM dan memiliki efek positip
secara universal dalam berbagai situasi yang ada ; pandangan kontijensi yang
mengajukan ‘fitting’ MSDM dengan strategi binis akan menghasilkan kinerja yang lebih
baik ; pendekatan konfigurasional mampu memberikan prediksi kinerja yang lebih baik
bila sistem SDM yang dipilih lebih ‘pas’ dengan tipe ideal organisasinya ; pandangan
relevansi universal mengajukan bahwa sebuah koteks situasi dapat berimplikasi pada
kepastian strategi yang harus didukung pilihan-pilihan praktek MSDM yang ada. Model-
model yang diusulkan oleh Schuler & Jackson (1987) dan Miles & Snow (1984) banyak
digunakan, salah satunya Boxall (1992) menyebut sebagai “matching model” untuk
mendeskripsikan ‘external fit’ seperti yang telah disebutkan diatas. Didasarkan pada
strategi Porter (1980, 1990), Schuler & Jackson (1987) mendefinisikan praktek MSDM
dan perilaku SDM yang muncul didorong melalui prektek MSDM yang ‘matching’
dengan strategi generic yang diadopsi. Miles & Snow (1984) memasukan dalam
kategorisasi kebijakan MSDM yang seharusnya mendukung strateginya. Berikut
beberapa contoh yang ada :

Quality-enhancement – membutuhkan kebijakan SDM yang terdiri atas pelaksanaan job


description yang ‘fixed & explicit’, partisipasi karyawan dalam pengambilan keputusan
sesuai dengan kondisi dan pekerjaannya, sistem penilaian kinerja individual dan
kelompok yang berorientasi pada hasil dan bersifat jangka pendek, jaminan ‘job security’
dan pelatihan-pelatihan berjenjang.

Innovation strategies – membutuhkan praktek MSDM : interaksi pekerjaan dan


koordinasi antar grup individu, sistem penilaian kinerja berdasarkan grup dan bersifat
jangka panjang, orientasi kerja yang memberikan peningkatan skills buat pekerjaan /
posisi yang lain, sistem kompensasi yang berfokus pada ‘internal-equity’, sistem upah
dengan upah pokok yang lebih kecil namun diberikan alternatif ‘stock options’ dan sistem
kompensasi yang fleksibel lainnya, sistem karir yang lebih luas.

Cost-reduction strategies – difasilitasi dengan praktek MSDM yang bercirikan uraian


kerja relatif ‘fixed’, eksplisit dan jelas, sistem karir dan job yang lebih sempit dan
mendorong pada keahlian dan spesialisasi tertentu, sistem penilaian kinerja berorientasi
hasil dan bersifat jangka pendek, sistem kompensasi yang selalu dipertimbangkan dengan
memonitor pasar, minimal pelatihan dan pengembangan SDM.

Meski secara logika praktek-praktek MSDM dan ‘role behaviours’ dibutuhkan, Lee &
Miller (1999) berpendapat bahwa sebuah proposal strategi yang akan diterapkan sangat
tergantung dari organisasi yang akan menjalankannya. Strategi yang berbeda memerlukan
program-program yang berbeda, misalnya target pada manajemen inventori, reduksi
biaya operasi, keduanya akan berimplikasi pada pentingnya komitmen organisasi
perusahaan terhadap eksistensi karyawan untuk mendapatkan komitmen dan dukungan
karyawan demi kesuksesan pelaksanaan program.

Miles & Snow (1984) memasukan tipologi strategi bisnis serta orientasi SDM yang
dibutuhkan secara jelas, tidak seperti halnya Porter yang tidak menjelaskan secara
langsung. Defenders, akan berimplikasi penerapan strategi utama ‘building’ & ‘making’
SDM, misalnya berkurangnya strategi untuk melakukan rekruitmen pada level
manajemen atas dan kecenderungan untuk melakukan pengembangan kompetensi
karyawan melalui program pelatihan formal. Penilaian kinerja dilaksanakan dengan
berorientasi pada proses, terintegrasi dengan identifikasi kebutuhan training dengan target
pada individu dan kelompok karyawan serta mempergunakan time-series comparisons.
Kompensasi karyawan berorientasi pada jabatan / pangkat / posisi individu karyawan, ada
konsistesi pada situasi internal organisasi perusahaan serta bersifat ‘cash compensation’.

Prospectors, tidak seperti halnya defender, memiliki strategi ‘buy’ or ‘acquire’ SDM
perusahaan. Strategi ini membutuhkan ‘spohisticated recruitment sistems’ dimana setiap
level melibatkan penggunaan alat tes psikomterik. Sebagai konsekuensi kebutuhan
training lebih terbatas, penilaian kinerja berorientasi pada hasil, lebih cenderung
mengidentifikasi kebutuhan staf dibandingkan kebutuhan pelatihan, serta melakukan
evaluasi kinerja divisional / koprorat dengan cross-sectional comparisons (misalnya
dengan benchmarking perusahaan lain). Sistem kompensasi berorientasi pada kinerja
dengan fokus pada insetif dan upah eksternal yang kompetitif.
Analysers, orientasi SDM melalui kontribusi dalam mengalokasikan orang dan proses
manajemen sesuai dengan kebutuhan aktivitas bisnis yang berbeda. Jadi strategi “make”
& “buy” dikombinasikan, sehingga proses seleksi & rekruitmen merupakan pendekatan
dari kedua strategi tersebut. Pengembangan skills karyawan merupakan prioritas,
performance appraisals berorientasi pada proses yang menekankan pada identifikasi
staffing dan analisis kebutuhan training. Performance assessment dilaksanakan pada
semua level, dengan menerapkan model time-series & cross-sectional. Sistem
kompensasi cenderung hierarchy-oriented, dengan memasukan pertimbangan-
pertimbangan kinerja. Selain itu konsistensi internal dan persaingan pasar tenaga kerja
juga jadi dasar menentukan sistem kompensasinya, sehingga akan terdapat pula sistem
pembayaran cash maupun insentif-nya.

Pendekatan ‘matching model’ yang diajukan oleh Boxall (1992) seperti pada beberapa
contoh diatas belum mengalami perubahan. Menurutnya, “it is the firm’s chosen path in
the product market that is seen to determine HR strategy. Other aspects of the
organizational context are more or less ignored”. Hal mendasar yang dibuat oleh Boxall
adalah tidak ada satupun strategi SDM yang bersifat tunggal untuk semua karyawan
dalam sebuah organisasi, hal ini sudah dikonfirmasikan secara empirik oleh Jackson dkk
(1989) yang juga telah menemukan bahwa praktek SDM beraneka ragam tergantung dari
teknologi produksi, sektor industri, struktur organisasi, ukuran maupun keberadaan
serikat pekerja. Problem lain tentang ‘matching model’ adalah strategi bisnis seperti
halnya Porter atau Miles & Snows merupakan hal yang kontroversial (Boxall 1992).
Sebaliknya, Murray (1998), Hill (1988), Miller & Friesen (1986) dan Parnell (1997)
mendapatkan bahwa strategi bisnis bersifat “mutually exclusive”.

Merujuk pada pemikiran Becker & Gerhart (1996), “HR sistems only have a sistematic
impact on the bottom line when they are imbedded in a firm’s management infrastructure
and help it solve real business problems such as product development cycle times,
customer service, and so forth.” Menjadi sangat jelas bahwa pendekatan kontijensi dan
perspektif universalistik juga bersifat “mutually exclusive”. Becker & Gerhart mencatat
adanya tingkat kesulitan pada level analisisnya, mereka membedakan 3 (tiga) level sistem
SDM, misalnya architecture (prinsip-prinsip utama secara menyeluruh), policies
(kebijakan), dan practices (praktek SDM yang spesifik, misalnya sistem kompensasi,
insentif, performance appraisal, dst). Sehingga hal utama adalah menentukan pengaruh
praktek SDM yang paling tepat yang dapat dicapai pada level arsitektural, misalnya
penentuan prinsip-prinsip utama penghargaan pada kinerja karyawan yang secara internal
dan eksternal sesuai pada level kebijakan dan praktek SDM organisasinya.

Gambar 2.2 merangkum pendekatan teori Perspektif Stratejik, secara garis besar dapat
dijelaskan bahwa strategic management sebagai dasar bagi sebuah organisasi di dalam
mengambil keputusan strategi bisnis organisasi akan di-ikuti dengan pilihan strategi SDM
(HR Strategy) yang akan diambil. Implikasi yang terjadi adalah praktek MSDM (HRM
Practices) yang akan dilakukan pada level arsitektur, kebijakan dan praktek keseharian
organisasi (day to day operations).
Gambar 2.2 Pendekatan Teori Strategic
Perspective

Sumber : dikembangkan untuk disertasi ini (2009)

2.2.2 Pendekatan Resource-Based View (RBV)

Patut diketahui, karena sifat terapan dari MSDM Stratejik (Strategic Human Resources
Management), maka bidang ini mengembangkan atau menggunakan model-model teori
yang memungkinkan prediksi dan pemahaman pengaruh dari praktek praktek HR pada
fungsi organisasi. Namun, sampai sekarang, salah satu dari kekurangan yang paling nyata
dari MSDM Stratejik adalah kurangnya basis teori yang kuat untuk pengkajian fungsi
MSDM (Mahoney & Deckop, 1986) didalam organisasi yang lebih besar. Referensi
terkini dalam pembahasan teori manajemen sumber daya manusia stratejik berasal dari
literatur manajemen stratejik dan ekonomi organisasi dan telah menghasilkan konsep
Resource-Based View of the Firm yang sering disebut sebagai RBV (Barney 1991;
Conner 1991; Penrose 1959; Wernerfelt, 1984). Sejak kemunculan “strategi” sebagai
bidang yang penting dalam ilmu manajemen, para ahli strategi organisasi industri
bergantung pada sebuah kerangka tunggal (SWOT Analysis) dalam melakukan penelitian
mereka (Barney 1991). Kontribusi utama bagi literatur sangat terfokus dari model
keunggulan kompetitif, misalnya yang digunakan oleh Porter (1980; 1985).

Grant (1991) menyatakan bahwa karena ketidakpuasan dengan model keseimbangan


statis dari ekonomi organisasi industri yang mendominasi bidang strategi, maka para
peneliti mengkaji kembali teori-teori lama tentang laba dan kompetisi yang berkaitan
dengan tulisan Ricardo (1817), Schumpter (1934) dan Penrose (1959). RBV ini berbeda
dari paradigma strategi tradisional dalam hal penekanan pada keunggulan kompetitif
dalam konteks antara strategi dan sumber daya internal perusahaan. RBV berfokus pada
internal perusahaan sedangkan paradigma analisa stratejik tradisional lebih berfokus pada
industri-lingkungan.

Pandangan RBV didasarkan pada keunggulan kompetitif dan keunggulan kompetitif yang
berkelanjutan. Barney (1991) menggambarkan keunggulan kompetitif sebagai “when a
firm is implementing a value creating strategy not simultaneously being implemented by
any current or potential competitor”. Sebuah keunggulan kompetitif yang berkelanjutan
hanya ada apabila upaya pihak lain gagal untuk meniru keunggulan tersebut (Barney,
1991). Menurut RBV, keunggulan kompetitif hanya dapat muncul dalam situasi
heterogenitas sumber daya perusahaan dan immobilitas sumber daya perusahaan, dan
asumsi inilah yang berfungsi untuk membedakan model berbasis sumber daya dari model
manajemen stratejik tradisional. Heterogenitas sumber daya perusahaan mengacu pada
sumber daya yang dimiliki sebuah perusahaan (modal fisik, modal manusia, dan modal
organisasi) dan seberapa besar perbedaan sumber daya ini diantara perusahaan-
perusahaan. Dalam model strategi tradisional, sumber daya perusahaan dipandang
sebagai sesuatu yang bersifat homogen di semua perusahaan dalam industri. Immobilitas
sumber perusahaan mengacu pada ketidakmampuan dari perusahaan perusahaan yang
bersaing untuk memperoleh sumber dari perusahaan lain. Dalam model strategi
tradisional, sumber dianggap mobile dalam hal perusahaan dapat membeli atau membuat
sumber yang dimiliki oleh perusahaan pesaing. Agar sumber daya sebuah perusahaan
memberikan keunggulan kompetitif yang berkelanjutan, empat kriteria harus dapat
dikaitkan dengan sumber daya tersebut: (a) sumber daya harus menambah nilai positif
bagi perusahaan, (b) sumber daya harus bersifat unik atau langka diantara calon pesaing
dan pesaing yang ada sekarang ini, (c) sumber daya harus sukar ditiru, dan (d) sumber
daya tidak dapat digantikan dengan sumber lainnya oleh perusahaan pesaing.

Maka dengan heterogenitas sumber daya dan immobilitas sumber daya serta pemenuhan
prasyarat nilai, kelangkaan, ketidakmampuan meniru secara sempurna, dan tidak adanya
daya substitusi, maka sumber daya dari sebuah perusahaan dapat menjadi sumber
keunggulan kompetitif yang awet. Barney (1991) menyatakan bahwa dalam RBV –
perusahaan tidak dapat berharap untuk membeli atau mengambil keunggulan kompetitif
berkelanjutan yang dimiliki oleh suatu organisasi lain, karena keunggulan tersebut
merupakan sumber daya yang langka, sukar ditiru, dan tidak tergantikan. Pemikiran
bahwa sumber daya manusia dapat berfungsi sebagai keunggulan kompetitif bukanlah hal
baru. Schuler dan MacMillan (1984) membahas potensi human capital yang dimiliki
manajemen sumber daya manusia yang unggul sebagai sarana pencapaian dan
pemeliharaan keunggulan kompetitif. Schuler dan MacMillan menyajikan matriks
target/pendorong untuk menunjukan bagaimana MSDM dapat memberikan keunggulan
kompetitif. Target dari praktek HR mengarah pada aktivitas semua level termasuk
internal perusahaan itu sendiri, konsumennya, distributornya dan penyedia layanannya
(servicer) bahkan para supliernya.

Ulrich (1991) secara parsial juga bergantung pada perspektif teori RBV dalam
penggambaran sumber daya manusia sebagai keunggulan kompetitif. Dia memperluas
model keunggulan kompetitif Porter (1985) untuk memasukkan budaya organisasi,
kompetensi yang berbeda, dan kesatuan stratejik sebagai “mediator” dalam hubungan
keunggulan kompetitif-strategi. Ulrich kemudian membahas bagaimana praktek sumber
daya manusia dapat digunakan oleh perusahaan untuk mengembangkan strategi-strategi
yang akan menghasilkan keunggulan kompetitif yang terus menerus, yang menegaskan
bahwa harus ada fokus pada hubungan antara sumber daya manusia, strategi dan
keunggulan kompetitif. Baik Chule & MacMillan (1984) maupun Ulrich (1991)
memberikan perspektif berorientasi praktek, yang menunjukkan bahwa HRM dapat
berfungsi sebagai keunggulan kompetitif yang berkelanjutan. Namun, tak satupun dari
analisa mereka didasarkan pada resource-based view of the firm secara utuh. Mengingat
fakta bahwa Barney (1991) tampak menyiratkan bahwa keunggulan kompetitif yang
berkelanjutan sebenarnya lebih cenderung ditemukan bukan dikembangkan, maka
terlebih dahulu perlu untuk mengkaji kondisi dimana sumber daya manusia dapat
menjadi sumber keunggulan kompetitif yang berkelanjutan dalam konteks resource-
based view of the firm. Masalah tersebut telah dibahas oleh Wright, McMahan dan
McWilliams (1992).

Wright dkk (1992) mendasarkan asumsinya pada empat kriteria untuk keunggulan
kompetitif yang berkelanjutan dan berupaya untuk mengevaluasi kondisi dimana sumber
daya manusia memenuhi kriteria tersebut. Pemahaman tersebut melahirkan kosep :

· Pertama, agar sumber daya manusia ada sebagai keunggulan kompetitif yang
berkelanjutan, mereka harus memberikan nilai bagi perusahaan. Kondisi ini
mensyaratkan bahwa ada kebutuhan heterogen akan tenaga kerja (bahwa perusahaan
memiliki pekerjaan yang memerlukan bermacam tipe ketrampilan) dan suplai tenaga
kerja yang heterogen (individu individu berbeda dalam ketrampilan dan tingkat
ketrampilan mereka). Dalam kondisi ini, sumber daya manusia dapat menambah nilai
bagi perusahaan.

· Kedua, sebuah sumber daya harus bersifat langka bila sumber daya itu akan menjadi
sebuah keunggulan kompetitif yang berkelanjutan. Wright dkk (1992) mencatat bahwa
karena distribusi kemampuan yang normal, sumber daya manusia dengan tingkat
kemampuan tinggi, secara definisi tentu akan menjadikannya langka. Tujuan dari semua
program seleksi jelas untuk memastikan bahwa organisasi hanya akan mempekerjakan
individu dengan kemampuan tertinggi. Masalahnya kemudian, adalah validasi dari sistem
seleksi dan apakah organisasi mampu atau tidak untuk menarik dan mempertahankan
para pelamar tersebut yang dinggap memiliki kemampuan tertinggi. Maka, sebuah
perusahaan dapat secara teori memperoleh karyawan dengan kemampuan unggul melalui
kombinasi dari program seleksi yang valid dan sistem penghargaan yang menarik.

· Ketiga, agar sebuah sumber daya dianggap sebagai keunggulan kompetitif yang
berkelanjutan, sumber daya manusia harus tidak dapat ditiru. Dalam pembahasan ini,
Wright dkk (1992) menggunakan konsep kondisi historis yang unik, ketidakjelasan sebab
akibat, dan kompleksitas sosial untuk menunjukkan ketidakmampuan untuk meniru dari
keunggulan kompetitif yang berasal dari sumber daya manusia. Kondisi historis yang
unik mengacu pada kejadian historis tertentu yang telah membentuk praktek, kebijakan
dan budaya perusahaan. Ketidakjelasan sebab akibat menggambarkan situasi dimana
sumber sebab akibat dari keunggulan kompetitif tidak mudah diidentifikasi.
Kompleksitas sosial menunjukkan bahwa dalam banyak situasi (misal tim produksi)
keunggulan kompetitif berasal dari hubungan sosial yang unik yang tidak dapat ditiru.
Maka, Wright dkk menyatakan bahwa karena fakta bahwa banyak keunggulan kompetitif
yang mungkin didasarkan dalam sumber daya manusia dari sebuah perusahaan dicirikan
oleh kondisi historis yang unik, ketidakjelasan sebab akibat, dan kompleksitas sosial,
sangat tidak mungkin bahwa sumber daya manusia yang dikembangkan dengan baik
dapat dengan mudah ditiru.

· Keempat, sebuah sumber daya harus tidak dapat digantikan (substitusi) bila sumber daya
tersebut dianggap sebagai sebuah keunggulan kompetitif yang berkelanjutan. Menurut
Wright dkk (1992), seseorang dapat dengan mudah menggambarkan sebuah perusahaan
tertentu memiliki individu-individu berkemampuan tertinggi yang menghasilkan
keunggulan kompetitif. Namun, apa yang terjadi bila pesaing mengembangkan teknologi
baru yang memberikan peningkatan produktivitas yang lebih besar dibandingkan
perbedaan produktivitas dalam perusahaan karena kemampuan ? Bila teknologi dapat
ditiru (yang memang demikian karena sebuah perusahaan dapat membeli teknologi di
pasar), maka setelah perusahaan itu membeli teknologi baru tersebut, sumber daya
manusia akan sekali lagi menjadi ada sebagai keunggulan kompetitif.

Teori resource-based view telah mendapatkan sejumlah perhatian yang signifikan dalam
literatur manajemen stratejik (mis Barney 1991; Castanias & Helfat, 1991’ Conner 1991;
Fiol 1991). Potensi besar untuk menggunakan teori tersebut menjadi sangat penting bagi
para peneliti di bidang MSDM Stratejik, untuk mengkaji ‘cara perusahaan’ dalam
mengembangkan sumber daya manusia sebagai sebuah keunggulan kompetitif. Saat ini
kebutuhan untuk menyatukan praktek sumber daya manusia dalam tahap perumusan dari
strategi sebuah perusahaan menjadi hal yang utama dalam kajian berkelanjutan MSDM
stratejik. Pendekatan resource-based view memberikan kerangka dalam pengkajian
fungsi sumber daya manusia yang berperan stratejik selama fase perumusan perencanaan
strategi manajemen. Dengan demikian pendekatan resource-based view akan
menunjukkan fakta bahwa strategi tidak secara universal dapat diterapkan, tetapi bersifat
kontingen pada kepemilikan basis sumber daya manusia (karyawan) yang perlu untuk
menerapkannya.

Sementara itu para ahli dari berbagai disiplin ilmu juga telah memberikan berbagai
kerangka kerja konseptual sebagai penjelasan terhadap hubungan antara praktek
manajemen SDM dan kinerja pada tingkat perusahaan. Jackson dan Schuler (1995)
memberikan literatur tentang hal ini dan menjelaskan bahwa pendekatan-pendekatan
yang berbeda seperti teori sistem umum, teori perilaku peran (Behavioral Approach),
teori institusional (Institutional/Political Forces), teori ketergantungan sumber daya
(Resource Dependence), teori modal manusia (Human Capital), ilmu ekonomi biaya
transaksi (Transaction Costs), teori agensi (Agency) dan teori resource-based view,
digunakan untuk meneliti peran-peran potensial SDM (praktek SDM) dalam menentukan
kinerja perusahaan. Hasilnya secara umum menunjukan adanya hubungan yang positif
antara berbagai praktek SDM yang berkualitas dan keunggulan organisasi, yaitu kinerja
perusahaan. Gambar 2.2 menjelaskan kerangka konseptual teoritik yang menjelaskan
pemikiran Jackson dan Schuler (1995) tersebut. Konsep tersebut juga mengambil dari
kerangka konseptual yang telah dikembangkan oleh Wright dkk (1992).

Gambar 2.3 Perspektif MSDM berbasis Sumber Daya (RBV)


Sumber : dikembangkan untuk disertasi ini (2009)

2.2.3 Strategi Organisasi dan Perilaku SDM

Banyak tipologi telah dikembangkan untuk menggambarkan bagaimana perusahaan


membahas masalah dasar ini (tipologi strategi bisnis dan manajemen sumber daya
manusia), tetapi tipologi yang dikembangkan oleh Porter (1980, 1985) tidak diragukan
lagi merupakan yang paling umum dan digunakan secara luas oleh para peneliti industri
dan kebijakan bisnis (Hambrick, 1983; Sorge & Streeck, 1988). Seperti yang dijelaskan
dalam pembahasan sebelumnya, Porter menyatakan bahwa ada dua strategi bisnis generik
yang berhasil yang sebuah perusahaan mungkin gunakan untuk mencapai keunggulan
kompetitif yang bertahan lama atas perusahaan lain dalam industri. Strategi itu adalah
Cost Leadership Strategy (yaitu dengan menjadi produsen berbiaya terendah) dan
Differentiation Strategy (yaitu dengan mendiferensiasi dirinya dari kompetitor pada
beberapa basis selain biaya rendah misalnya kualitas produk atau jasa). Logika untuk
hubungan antara strategi ini dan strategi manajemen SDM berakar dari perbedaan dalam
ketidakpastian tugas produksi yang terlibat dalam implementasi strategi bisnis Cost
Leadership dan Differentiation. Pemfokusan pada tujuan manajemen, praktek dan
kebijakan SDM digunakan untuk membentuk karakteristik karyawan, sikap, dan perilaku
untuk pelaksanaan efektif dari bermacam tipe tugas pekerjaan (Jackson, Schuler, &
Rivero, 1989; Galbriath, 1977; Drazin & Van deVen, 1985; Govindarajab, 1988).
Karakteristik strategi pengurangan biaya adalah kontrol ketat, minimalisasi biaya tak
langsung / overhead, dan pencapaian skala ekonomis. Fokus utama pengukuran ini
adalah peningkatan produktivitas, yaitu, biaya output per orang. Profil perilaku peran
karyawan yang diperlukan untuk perusahaan yang berupaya untuk meraih keunggulan
kompetitif dengan pencapaian pengurangan biaya adalah sebagai berikut :

(1) perilaku yang relatif berulang dan dapat diprediksikan,

(2) fokus agak jangka pendek,

(3) aktivitas individual atau bersifat otonom,

(4) cukup perhatian terhadap kualitas,

(5) perhatian tinggi terhadap kuantitas output (barang atau jasa),


(6) perhatian utama terhadap hasil,

(7) aktivitas beresiko rendah, dan

(8) tingkat kesesuaian yang relatif tinggi dengan stabilitas (Porter 1980, 1985).

Strategi diferensiasi menurut Piore dan Sable (1984) lebih dikaitkan dengan “spesialisasi
fleksibel” melalui penggunaan teknologi yang lebih fleksibel untuk menghasilkan
cakupan yang lebih luas dari produk yang relatif khusus dalam jumlah yang lebih kecil.
Implikasi pengaturan sumber daya manusia yang mengupayakan strategi ini adalah
bahwa diperlukannya pemilihan individu yang sangat terampil, yang memberikan
karyawan lebih banyak peluang, penggunaan kontrol minimal, pembuatan investasi yang
lebih besar dalam sumber daya manusia, penyediaan lebih banyak sumber untuk ber-
eksprimen, pemberian kemudahan dan bahkan penghargaan terhadap “kegagalan
tertentu”, dan penilaian kinerja untuk implikasi jangka panjang. Sehingga pencapaian
strategi ini akan berimplikasi pada rasa kontrol pribadi yang meningkat dan moral yang
lebih baik, sehingga meningkatkan komitmen yang lebih besar untuk diri sendiri dan
profesi. Dengan demikian, profil tipe perilaku peran karyawan ini termasuk :

(1) tingkat perilaku kreatif yang tinggi,

(2) fokus jangka panjang,

(3) tingkat kerja sama yang relatif tinggi, perilaku saling ketergantungan,

(4) tingkat perhatian terhadap kualitas yang tinggi,

(5) perhatian yang cukup terhadap kuantitas,

(6) tingkat perhatian setara untuk proses dan hasil,

(7) tingkat pegambilan resiko yang lebih tinggi, dan

(8) toleransi ketidakjelasan dan ketidakmampuan prediksi yang tinggi (DePree, 1986).

Teori manajemen SDM stratejik sering digunakan sebagai kerangka kerja dasar untuk
investigasi strategi SDM dan kinerja perusahaan. Menurut Wan dkk (2000), seperti yang
telah dibahas sebelumnya, saat ini terdapat tiga perbedaan utama dalam pendekatan
teoritis untuk memahami teori SDM stratejik yang terdapat pada literatur manajemen
SDM, antara lain pendekatan perspektif universalistic, contingency dan configurational.
Ketiga pendekatan tersebut merupakan salah satu perspektif terintegrasi yang banyak
digunakan untuk memahami praktek SDM, strategi organisasi dan kinerja perusahaan
seperti yang di gunakan sebagai dasar peneltian yang dilakukan pula oleh Erras (2002).
Praktek dan sistem SDM di desain berdasarkan permasalahan yang relevan, misalnya di
dasarkan pada asumsi efektivitas pendekatan universalistic, contingency, configurational,
maupun idiosyncratic. Namun demikian terdapat pula pendekatan obyek, dimana
tergantung dari bagian karyawan yang dipilih dalam penerapan praktek SDM tersebut, di
dalam istilah SDM sering disebut sebagai generalism (diberlakukan menyeluruh bagi
seluruh individu organisasi) dan segmentation (diaplikasikan pada satu bagian atau
beberapa bagian kelompok individu organisasi). Desain sistem SDM yang dirancang dan
dilaksanakan umumnya dipengaruhi oleh strategi organisasi yang dipilih (pendekatan
kontijensi). Dalam model yang dijelaskan pada gambar 2.3. pemahaman akan teori RBV
(resource-based view of the firm) di adaptasikan untuk melihat sisi stratejik SDM dalam
membangun keunggulan kompetitif maupun korelasi pengaruh strategi organisasi dan
praktek SDM yang akan dipilih. Erras (2002) melihat adanya “HR Outcomes” dan
“Organizational Performance” di dalam model ini sebagai konsekuensi logis yang saling
berkaitan, dimana dari sisi perilaku SDM yang dihasilkan merupakan indikator kinerja
organisasi yang menghasilkan indikator-indikator finansial.

Perspektif universalistik adalah bentuk paling sederhana dari model teoritis dalam
literatur manajemen SDM strategik. Perspektif universalistik mengupayakan “praktek
terbaik” manajemen SDM. Sehingga melalui pendekatan ini para peneliti ini yakin bahwa
beberapa praktek manajemen SDM selalu lebih baik daripada praktek lainnya. Selain itu,
perusahaan yang menerapkan praktek-praktek ini akan menghasilkan kinerja perusahaan
yang lebih baik. Dalam kelompok pemikiran ini, ada konsensus yang berkembang
tentang praktek manajemen mana yang dianggap sebagai strategik. Tujuan praktek secara
konsisten di identifikasi sebagai praktek SDM strategik (Osterman, 1987, Sonnerfeld dan
Perperl 1988). Praktek pertama, peluang karir internal, mengacu pada penggunaan pasar
internal. Organisasi dapat memilih untuk mempekerjakan karyawan secara dominan dari
dalam atau dari luar. Praktek kedua, sistem pelatihan, mengacu pada jumlah pelatihan
formal yang diberikan untuk karyawan. Hal ini dapat dilakukan melalui pemilihan dan
sosialisasi. Ketiga, penghargaan dapat didasarkan pada hasil atau perilaku. Penghargaan
berdasarkan perilaku terfokus pada perilaku individu yang diperlu kan untuk
melaksanakan pekerjaan secara efektif, sedangkan penghargaan berorientasi hasil
terfokus hanya pada konsekuensi perilaku tersebut. Keempat, rencana pembagian
keuntungan, yang menghubungkan gaji dengan kinerja organisasi. Praktek kelima,
berkaitan dengan sejauh manajemen karyawan diberi jaminan keamanan oleh perusahaan
serta implikasinya. Keenam, mekanisme opini (voice mechanism), baik sistem keluhan
formal dan partisipasi dalam pembuatan keputusan, telah muncul sebagai faktor utama.
Ketujuh, sekaligus sebagai elemen terakhir adalah sejauh mana pekerjaan secara ketat
atau secara sempit didefinisikan. Pekerjaan yang didefinisikan secara ketat adalah
pekerjaan dimana karyawan tahu dengan sangat baik isi pekerjaan itu. Banyak penelitian
telah mendukung prediksi universalistik. Leonard (1990) mendapati bahwa organisasi
yang memiliki rencana insentif jangka panjang untuk para eksekutifnya memiliki
peningkatan yang lebih besar dalam ROE selama periode empat tahun daripada
organisasi lainnya. Abowd (1990) membuktikan bahwa sejauh mana kompensasi
manajerial dikaitkan dengan kinerja finansial sebuah organisasi secara signifikan
dikaitkan dengan kinerja finansial mendatang. Gerhart dan Milkovich (1990) menemukan
bahwa pay mix berkaitan dengan kinerja finansial. Terpstra dan Rozell (1993)
mengemukakan lima praktek staffing terbaik dan menyimpulkan bahwa penggunaan
praktek praktek ini memiliki hubungan positif dengan hasil tingkat organisasi. Secara
keseluruhan, tingkat dukungan yang diberikan untuk prediksi universalistik
mengindikasikan bahwa perspektif universalistik adalah perspektif teoritis yang valid
untuk manajemen SDM strategik.

Penerapan teoritik perspektif universal juga mendapat banyak kritikan dari praktisi dan
peneliti. Kritikan-kritikan tersebut antara lain : pertama, organisasi yang tidak
menerapkan praktek SDM terbaik ternyata juga menghasilkan return yang lebih besar.
Huselid (1995) menunjukkan bahwa organisasi mungkin tidak dapat mempertahankan
keunggulan kompetitif melalui penerapan apa yang disebut praktek terbaik karena
praktek ini mudah ditiru. Maka, bahkan bila sebuah organisasi menerapkan praktek
‘terbaik’ ini, organisasi itu hanya mungkin meraih keunggulan kompetitif jangka pendek
dan menikmati kinerja superior sementara waktu. Kedua, sebuah penelitian yang
dilakukan oleh Delery dan Doty (1996) menunjukkan bahwa ada hubungan yang lebih
kompleks antara manajemen strategik SDM dan kinerja organisasi. Beberapa praktek
SDM lebih sesuai dalam kondisi strategik tertentu dan kurang sesuai dalam kondisi
strategik lainnya. Misalnya, hanya praktek pembagian keuntungan, penghargaan
berorientasi hasil, dan keamanan karyawan yang memiliki hubungan universal yang
relatif kuat dengan pengukuran kinerja akuntansi.

Teori teori kontingensi mengemukakan bahwa sebuah organisasi perlu menerapkan


praktek/kebijakan SDM tertentu untuk bermacam strategi perusahaan. Maka, untuk
menjadi efektif, kebijakan SDM dari sebuah perusahaan harus sesuai dengan aspek aspek
organisasi lainnya. Strategi sebuah organisasi memerlukan prasyarat perilaku tertentu
agar berhasil, dan penggunaan praktek SDM dalam organisasi dapat menghargai atau
mengkontrol perilaku karyawan. Ada banyak cara dimana kebijakan dan praktek SDM
dapat digunakan untuk mendapatkan perilaku karyawan yang sesuai dengan strategi
organisasi. Karena perilaku merupakan fungsi kemampuan dan motivasi, sebuah
organisasi dapat membentuk sistem dan praktek SDM yang memastikan bahwa individu
individu dengan kemampuan yang diperlukan dipekerjakan dan dipertahankan. Mereka
dapat menggunakan praktek praktek SDM untuk memastikan bahwa karyawan
termotivasi untuk berperilaku sesuai dengan strategi bisnis (Kerr & Jakosfy, 1989; Fama
& Jensen, 1983).

Namun, menurut Delery dan (1996), perspektif ini juga mendapatkan kritik. Mereka
menemukan hanya tiga praktek SDM (partisipasi, penghargaan berorientasi hasil, dan
peluang karir internal) yang sesuai dengan perspektif kontingensi. Lebih banyak
penelitian empiris dan teoritis diperlukan untuk mengkaji perspektif ini secara
menyeluruh. Perspektif konfigurasional dalam manajemen SDM strategik dikaitkan
dengan bagaimana pola aktivitas dan pengelompokan SDM yang terencana dan majemuk
mencapai tujuan organisasi. Dengan sistim tersebut, sebuah organisasi harus
mengembangkan sebuah sistem SDM yang mencapai kesesuaian horisontal dan vertikal
(Becker & Gerhart, 1996). Kesesuaian horisontal mengacu pada konsistensi internal
praktek atau kebijakan SDM organisasi, dan kesesuaian vertikal mengacu pada
kongruensi sistem SDM dengan karakteristik organisasi lainnya, seperti strategi
perusahaan.
Ada tiga prinsip utama yang mengarahkan perspektif konfigurasional ini. Pertama,
perspektif ini berasumsi pada prinsip holistik investigasi untuk mengidentifikasi
konfigurasi, atau pola unik faktor-faktor, yang diperkirakan secara maksimal akan efektif.
Konfigurasi ini menunjukkan pengaruh sinergis nonlinier dan interaksi urutan yang lebih
tinggi yang secara tidak normal ditunjukkan oleh teori-teori kontingensi bivarian
tradisional (traditional bivariate contingency theories). Kedua, teori konfigurasional
menyatukan asumsi ekuifinalitas (equifinality) dengan perkiraan bahwa banyak
konfigurasi unik dari faktor faktor yang relevan dapat menghasilkan kinerja maksimal.
Ketiga, konfigurasi ini diasumsikan menjadi tipe ideal yang merupakan elemen teoritis
bukan fenomena yang secara empiris dapat diamati (Venkatraman & Prescott, 1990; Doty
& Glick, 1994; Meyer, Tsui dan Hining, 1993).

Sejumlah penulis telah berupaya untuk mengembangkan tipologi sebelumnya dari sistem
SDM yang efektif dan menghubungkan kinerja sistem SDM dengan strategi perusahaan.
Miles dan Snow (1984) mengembangkan banyak kombinasi praktek manajemen SDM
yang sama efektifnya dan menyatakan bahwa praktek SDM yang berbeda disesuaikan
untuk strategi perusahaan yang berbeda pula. Arthur (1992) juga menyatakan bahwa
semakin dekat praktek SDM sebuah organisasi mencerminkan sistem kepegawaian
prototipe yang tepat (untuk strategi bisnisnya), semakin besar kinerjanya bagi
perusahaan. Demikian juga, MacDuffie (1995) telah menurunkan konfigurasi khusus,
berupa bundel praktek SDM untuk meningkatkan kinerja perusahaan. Salah satu
keterbatasan utama dari perspektif konfigurasional adalah bahwa meskipun konfigurasi
ideal dapat menunjukkan pengaruh sinergis nonlinier dari dimensi yang digunakan untuk
membentuk konfigurasi, akan tetapi secara empiris tidak dapat dibuat argumen kuat
bahwa sinergi diantara praktek SDM yang sedang dikaji akan meningkatkan kinerja
organisasi (Delery & Doty 1996). Kedua, meskipun sebagian besar ahli teori konfigurasi
mengemukakan bahwa multiple konfigurasi efektif sesuai parameter yang relevan, namun
penelitian yang dilakukan oleh Delery dan Doty (1996) hanya mengidentifikasi
konfigurasi SDM tunggal yang menghasilkan kinerja yang lebih baik.Dengan kata lain,
perspektif konfigurasi masih merupakan kerangka kerja yang sangat spekulatif tanpa
banyak dukungan empiris. Maka pengembangan teori tambahan dan pengujian
diperlukan untuk validasi efektivitas perspektif ini, Gambar 2.4 menjelaskan keterkaitan
strategi bisnis dan perilaku SDM.

Gambar 2.4. Strategi Bisnis dan Perilaku SDM

Sumber : dikembangkan untuk disertasi ini

2.2.4 Kerangka Analisis Hubungan MSDM dan Kinerja


Konsep manajemen sumber daya manusia (MSDM) memiliki sejarah panjang dan
kompleks yang berkaitan dengan praktek-praktek ketenagakerjaan. Dalam era 1980-an
ketertarikan yang luar biasa para akademisi semakin bertambah dengan kemunculan
istilah dan model –model pengembangan MSDM (Purcell & Ahlstrand 1994). Model
awal MSDM seperti yang dimunculkan oleh Beer dkk (1984), Fombrun dkk (1984),
Guest (1989) masih merupakan gambaran konsep-konsep yang luas dan masih belum
berdasarkan bukti-bukti empiris yang mendukung validitas model-model tersebut.
Perluasan dari kosep MSDM menuju konsep MSDM Stratejik bahkan telah menjadi
bidang khusus MSDM (Boxall 1992, Delery & Doty 1996, Huang 2000), sementara bagi
pakar lainnya, MSDM Stratejik sudah menjadi disiplin ilmu manajemen baru (Wright &
McMahan 1992). Topik-topik yang berkaitan dengan MSDM Stratejik umumnya
berkaitan antara strategi organisasi dan MSDM, maupun hubungan MSDM dengan
kinerja organisasi (Khatri 2000). Penelitian-penelitian empiris pada tahun 1990 dalam
bidang MSDM sudah banyak yang meneliti topik-topik MSDM stratejik tersebut.
Penelitian seperti yang dilakukan oleh Becker & Gerhart (1996) hingga Bae & Lawler
(2000) merupakan salah satu dari sekian penelitian yang mengambil topik seperti yang
ditegaskan oleh Khatri.

enurut Paauwee & Richardson (2001), fokus penelitian empirik yang menguji hubungan
MSDM dan kinerja saat ini sudah berada pada tahap puncaknya. Sebagian besar dari
penelitian yang dilakukan pada dasawarsa 1990-an mampu membuktikan secara statistik
hubungan yang sangat kompleks antara MSDM dan kinerja organisasi (Misalnya : Arthur
1994, Huselid 1995, Ichniowski dkk., 1997). Meskipun penemuan-penemuan tersebut
sangat “merangsang” bagi para peneliti untuk melakukan studi lebih lanjut seputar topik
MSDM dan kinerja organisasi, akan tetapi masih menyisakan “kurangnya”–nya
penelitian yang menekankan pada proses – proses yang terlibat di dalam keterkaitan
hubungan sebab akibat – atau hipotesis hubungan MSDM terhdap kinerja orgaisasi,
misalnya melalui kinerja karyawaan (employee outcomes) berupa sikap perilaku
(attitudes) dan komitmen yang ada. Sebagian besar di dalam riset yang dilakukan
sebelumnya masih berupa pendekatan perilaku yang cenderung sebagai asumsi daripada
diuji secara empirik (Purcell 1999). Sebagai konsekuensinya, penelitian-penelitian
selanjutnya direkomendasikan untuk melakukan studi lebih lanjut yang berfokus pada
“proses yang terlibat”, proses dimana MSDM dapat berkontribusi secara langsung bagi
kinerja organisasi (Becker & Gerhart 1996, Becker dkk 1997, Purcell 1999, Erras 2002).
Proses-proses yang terlibat dalam hubungan antara MSDM dan kinerja organisasi
tersebut masih sangat banyak. Proses-proses tersebut oleh sebagian besar peneliti MSDM
disebut sebagai “black box” yang harus diungkap dan dikuak secara empiris, termasuk
didalamnya keselarasan dengan budaya organisasi yang berorientasi pada kinerja TQM,
yang saat ini banyak diaplikasikan organisasi perusahaan. Meskipun terdapat kemajuan
dalam riset-riset terbaru yang ada, baik dalam desain penelitian (research design),
metodologi dan pengujian kausalitas secara langsung, akan tetapi hal tersebut masih
menyisakan kesenjangan penelitian (research gaps) yang dapat diuji secara empirik
menyangkut “proses” yang mendukung hubungan positip MSDM dan kinerja
organisasional.
Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM) adalah sebuah konsep disiplin ilmu yang
memiliki akar tersendiri. Banyak akademisi yang tertarik pada konsep tersebut, yaitu
apakah MSDM berbeda secara substansi dengan ’manajemen personalia’ ataukah hanya
berbeda secara istilah, hal tersebut telah menjadi perdebatan dalam banyak literatur
MSDM. Sehingga tidak mengherankan bila MSDM dijelaskan dengan bermacam-macam
definisi, dan untuk menghindari perbedaan pemahaman, maka di dalam riset ini akan
menggunakan definisi yang dikembangkan oleh Storey (1995) yang menjelaskan “HRM
is a distinctive approach to employment management which seeks to achieve competitive
advantage through the strategic deployment of a highly committed and capable
workforce, using an integrated array cultural, structural and personnel techniques.”

Definisi dari Storey diatas memiliki keunggulan, yaitu : pertama, karakterisasi MSDM
sebagai sebuah pendekatan khusus dalam mengelola orang, kedua, hasil yang dicapai
berupa tenaga kerja yang memiliki komitmen dan kompeten, ketiga, adanya pengaruh
positif sebagai keunggulan kompetitif organisasi ataupun pengaruh pada kinerja
organisasi. Tiga muatan definisi yang disampaikan oleh Storey akan dijadikan
karakterisasi pembahasan konseptual dan pengujian empiris MSDM. Definisi tersebut
akan senantiasa muncul melalui pengulangan-pengulangan pada penjelasan model dan
dan bangunan teori yang dikembangkan dalam riset ini.

Saat ini, telaah literatur penelitian SDM umumnya terbagi di dalam 2 (dua) area utama,
yaitu :

1. Pengembangan alat ukur praktek MSDM yang efektif.

2. Penerapan pengukuran kinerja organisasi terkait dengan praktek MSDM yang efektif.

Becker & Gerhart (1996) menemukan bahwa dari telaah 5 literatur penelitian yang
mereka lakukan hanya menemukan praktek “problem-solving groups” dan “self-directed
team” yang digunakan sebagai indikator praktek MSDM pada 4 riset yang dilakukan
sebelumnya. Begitupula yang dilakukan oleh Dyer & Reeves (1995) yang mencatat dari 4
riset yang mereka review, hanya satu praktek MSDM yang menjadi indikator bersama,
sementara 22 dari total 28 indikator praktek MSDM hanya muncul sekali dalam masing-
masing riset-nya. Terlihat ada berbagai macam opini yang berkaitan dengan praktek
MSDM, akan tetapi dalam riset yang dilakukan para peneliti cenderung dibatasi pada
praktek-praktek tertentu. Misalnya Kalleberg & Moody (1994) menggunakan praktek
MSDM berupa rekruitmen, Patterson dkk (2000) menguji efek interaksi sistem
manufaktur terpadu (integrated manufacturing) dengan program “pemberdayaan”
karyawan yang meliputi praktek seleksi karyawan, pembentukan teamwork, praktek
penilaian kinerja – namun tidak memunculkan indikator praktek komunikasi maupun
sistem kompensasi. Namun demikian terdapat peneliti lainnya seperti Huselid (1995),
Ramsay dkk (2000) ataupun Khatri (2000) memberikan gambaran praktek MSDM secara
lebih detail yang memberikan gambaran 24 praktek MSDM di dalam perusahaan.

Terkait dengan ruang lingkup penelitian ini untuk menggali domain praktek MSDM yang
memberikan kontribusi bagi kinerja organisasional, maka telaah literatur penelitian
terdahulu diperlukan untuk mengembangkan konsep praktek MSDM yang dapat diakui
sebagai praktek signifikan yang secara umum telah berhasil diaplikasikan oleh sebagai
besar perusahaan modern dan maju. Dari kajian literatur yang dilakukan, meskipun
terdapat inkonsistensi terhadap konsep pendekatan studi yang dilakukan oleh para
peneliti, akan tetapi terdapat kesepakatan dalam beberapa praktek MSDM yang ada di
dalam perusahaan. Praktek MSDM tersebut misalnya : kerja tim, self-managed & self-
directed teams, fleksibilitas dalam job design, program seleksi & rekruitmen, program
pelatihan formal, problem-solving teams, program formal peningkatan partisipasi &
keterlibatan karyawan, otonomi dalam pengambilan keputusan, penilaian kinerja secara
formal (formal performance appraisals), kesempatan promosi internal, sistem insentif
yang terkait dengan kinerja, upah yang lebih baik, sistem profit sharing & share options,
komunikasi formal secara berkala antara manajemen & karyawan hingga survei perilaku
karyawan dan jaminan keamanan dalam bekerja merupakan bukti empiris yang banyak
digunakan. Dengan demikian dapat disimpulkan meski terdapat ketidaksepakatan praktek
MSDM yang ada tetapi terdapat persamaan dalam banyak studi seperti halnya arah riset
& prinsip-prinsip praktek MSDM lainnya yang dapat dijadikan sebagai rujukan
pengembangan domain praktek MSDM di dalam penelitian ini. Penggalian domain dan
praktek MSDM menjadi sangat signifikan, mengingat di daalam penelitian in bertujuan
untuk mengembangkan model konseptual yang dapat digunakan sebagai referensi
organisasi di dalam mengembangkan dan melaksanakan strategi bisnisnya. Praktek
MSDM mencakup banyak aspek dari hal yang bersifat peran administratif, legal
compliance hingga peran stratejik dalam manajemen perubahan, penciptaan nilai, TQM
dan keunggulan kompetitif. Terdapat keterkaitan yang erat antara peran SDM terhadap
penciptaan budaya, misalnya melalui penciptaan desain organisasi, pengembangan SDM
yang kompeten, fleksibel dan inovatif bagi perusahaan maupun peran sentral dalam
inisiatif implementasi improvement tools di dalam perusahaan.

Beer dkk (1984) telah mencoba mengembangkan model praktek SDM di dalam sebuah
kerangka kerja yang mendeskripsikan peta MSDM yang dikaitkan dengan kinerja
organisasi, Gambar 2.5. Model ini sering disebut sebagai ‘Harvard framework’ dan
dijadikan rujukan dasar setiap pengembangan model konseptual penelitian MSDM.
Meskipun demikian kritik atas model ini muncul karena ketidak jelasan antara praktek
SDM dan kinerja organisasi yang mampu menghasilkan model yang dapat di uji secara
langsung (testable) model. Guest (1987; 1997) menyempurnakan framework yang
dikembangkan oleh Beer dkk (1984) dengan sebuah hubungan yang lebih jelas untuk
pengujian setiap model penelitian praktek MSDM dan kinerja organisasi. Berikutnya
setiap pengembangan model dalam penelitian SDM senantiasa menggunakan krangka
Beer dan atau dari Guest. Guest (1987; 1997) merangkum sebuah model yang mudah
dipahami terkait dengan variabel-variabel empririk yang mudah diuji dalam sebuah
penelitian dan banyak peneliti yang mempergunakannya.
Gambar 2.5 Model Praktek MSDM Beer dkk
(1984)

Sumber : Beer dkk (1984)

Namun demikian kritik senantiasa bekembang seiring dengan pesatnya penelitian


dibidang SDM, yaitu perlunya kejelasan orientasi strategi pada tataran organisasi
sebelum mendefinisikan model strategi SDM yang akan dikembangkan, Boxall (1992).
Masih banyak aspek stratejik yang belum tersentuh pada banyak model penelitian yang
sudah dikembangkan. Misalnya saja keterkaitan praktek MSDM, budaya perusahaan dan
kinerja organisasi yang berfokus pada standar kinerja organisasi yang semakin banyak
digunakan organisasi perusahaan saat ini, yaitu kriteria Baldrige. Tabel 2.1 menunjukan
keterkaitan strategi MSDM, praktek MSDM dan kinerja organisasi.

Tabel 2.1 Keterkaitan MSDM dan Kinerja

HRM Strategy HRM HRM Behaviour Performances Financial


Practices Outcomes Outcomes Outcomes Outcomes
Differentiation Selection Commitment Effort/Motivation HIGH: PROFITS

(Innovation) Training Quality Cooperation · Productivity ROI

Focus Appraisal Flexibility Involvement · Quality

(Quality) Rewards Organizational · Innovation


Citizenship
Cost Job Design LOW:

(Cost Involvement · Absence


Reduction)
Status and · Turnover
Security
· Conflict

· Customer
complaint
Sumber : Guest (1987; 1997)

Praktek-praktek SDM dikatakan merupakan seperangkat terpadu (bundles), jika praktek


tersebut muncul dalam jumlah yang cukup lengkap, secara mutual saling menekankan
atau sinergis (Dyer & Holder, 1988). Dua faktor penting ditekankan, yaitu kesesuaian
internal dan kesesuaian eksternal. Kesesuaian internal memerlukan koordinasi atau
kongurensi diantara bermacam praktek manajemen SDM dalam sebuah organisasi
(Schuler & Jackson, 1987; Wright & McMahan, 1992; Wright & Snell, 1991).
Kesesuaian eksternal berarti bahwa praktek manajemen SDM dikaitkan dengan tujuan
organisasi atau strategi bisnis (Lengnick-Hall & Lengnick-Hall, 1988; Wright &
Mchahan, 1992). Berdasarkan konsep-konsep dasar yang telah dibahas sebelumnya serta
penelitian-penelitian yang lain, diajukan Proposisi Satu berikut ini :

Proposisi Satu (1) Praktek manajemen sumberd daya manusia


perusahaan sangat dipengaruhi oleh strategi
Strategi Binis, Strategi SDM manajemen sumberdaya manusia yang dipilih.
dan praktek MSDM Selanjutnya setiap strategi bisnis yang diambil sangat
berpengaruh pada pilihan-pilihan strategi SDM yang
akan diterapkan. Dengan demikian strategi MSDM
dan praktek MSDM yang dijalankan harus konsisten
dengan strategi bisnis yang diaplikasikan. Ketidak-
sesuaian antara strategi binis, strategi MSDM dan
praktek MSDM akan dapat berakibat pada kurang
efektifnya roda organisasi.

Proposisi Satu ini disajikan secara piktografis disajikan dalam Gambar 2.6 berikut ini.

Gambar 2.6 Proposisi Satu

Sumber : dikembangkan untuk disertasi ini

Untuk melengkapi telaah teoritis dan memperjelas praktel-praktek MSDM, pada sub-bab
berikutnya akan dijelaskan domain MSDM dalam sisi praktis dan keterkaitannya di
dalam implementasi TQM (Total Quality Management).

2.3 Domain MSDM


Para peneliti telah menekankan adanya pengaruh signifikan MSDM bagi kinerja
organisasi, MSDM memiliki peran utama dalam pencapaian sasaran, memenangkan
kompetisi dan mendukung kesuksesan jangka panjang dalam lingkungan bisnis yang
sukar di prediksi. Lebih lanjut sejumlah peneliti bahkan telah berupaya untuk mengukur
pengaruh praktek MSDM terhadap kinerja perusahaan, baik dari sisi kepuasan karyawan
hingga ‘market value’ perusahaan (Beckel & Huselid, 1998; Kalleberg & Moody, 1994).
Namun demikian ternyata banyak peneliti dan praktisi kurang sepakat seputar aspek-
aspek dalam praktek MSDM yang harus diukur. Beberapa peneliti SDM
merekomendasikan beberapa domain praktek MSDM yang dapat berpengaruh bagi
kinerja organisasi (Ulrich 1997; Ulrich & Lake 1990; Watson Wyatt, 2001).

Ulrich dan Lake (1990) menyebutkan 6 domain praktek MSDM yang efektif, yaitu:
penempatan tenaga kerja (staffing), pelatihan dan pengembangan (training &
development), penilaian kinerja (performance appraisal), sistem imbalan kinerja
(employee performance rewards), desain organisasi (organization design) dan
komunikasi (internal communication). Menurut mereka staffing merupakan domain yang
penting bila dibandingkan praktek manajemen lainnya mengingat kualitas SDM
organisasi memiliki peran yang sangat signifikan pada kesuksesan jangka panjang
organisasi. Pelatihan dan pengembangan karyawan memiliki peran penting ketika sebuah
organisasi memutuskan untuk membangun kompetensi SDM organisasi. Upaya untuk
meningkatkan sikap dan perilaku pekerja secara konsisten dengan kompetensi yang
dikembangkan dilakukan melalui serangkaian aktivitas, mulai dari penilaian kinerja
hingga pelaksanaan sistem imbalan (Ulrich & Lake, 1990). Ulrich dan Lake (1990)
menyatakan bahwa desain organisasi dan komunikasi dibutuhkan dalam praktek MSDM
untuk memastikan kompetensi organisasi tumbuh dan terpelihara selaras dengan praktek
MSDM yang telah diaplikasikan, misalnya staffing, pelatihan dan pengembangan,
penilaian kinerja dan praktek sistem imbalan.

Menurut Ulrich dan Lake (1990) untuk menganalisis praktek MSDM secara lebih rinci,
sebuah organisasi perusahaan harus memulainya dengan menjawab pertanyaan-
pertanyaan yang terkait dengan domain praktek MSDM yang ada, seperti dalam Tabel
2.2 dibawah.

Tabel 2.2. Pertanyaan Domain Praktek MSDM

No Domain Pertanyaan-Pertanyaan
1 Penempatan (Staffing) · Siapa yang direkruit ke dalam organisasi ?

· Siapa yang dipromosikan di dalam organisasi ?

· Siapa yang di “keluarkan” dari organisasi ?


2 Pelatihan dan Pengembangan · Bagaimanakah pelatihan mampu meningkatkan
(Training & Development) kompetensi karyawan ?

· Bagaimanakah kegiatan-kegiatan pengembangan


lainnya dapat meningkatkan kompetensi karyawan ?
3 Penilaian Kinerja · Apa standar kinerja individu, kelompok dan
(Performance Appraisal) departemen di dalam organisasi ?

· Bagaimanakah mekanisme umpan balik bagi


karyawan terkait “seberapa jauh” kinerjanya
memenuhi target yang telah ditetapkan ?
4 Sistem Imbalan · Apa kriteria yang digunakan untuk memilih sistem
imbalan yang digunakan ?
(Reward Sistem)
· Apa saja bentuk imbalan finansial/non finansial
yang diaplikasikan untuk meningkatkan perilaku
positip karyawan ?
5 Desain Organisasi · Apa bentuk organisasi yang dipilih, berapa level
(Organizational Design) (layer), bagaimana peran dan tanggung jawab,
akuntabilitas karyawan ?

· Bagaimana sistem tata kelola ditetapkan di dalam


organisasi untuk mengalokasikan tanggung jawab
dan menjamin akuntabilitas ?

· Apa proses yang dilakukan untuk melakukan


penilaian ulang desain organisasi secara berkala ?
6 Komunikasi (Internal · Apa saja informasi yang disampaikan kepada
Communicstion) karyawan ?

· Siapa saja yang terlibat dalam penyampaian


informasi dan penerima informasi ?

· Bagaimanakah informasi dapat disampaikan secara


efektif ?

Sumber: diadaptasikan dari Ulrich dan Lake (1990)

Watson Wyat (2001) mengembangkan indek SDM (human capital index) untuk meneliti
hubungan antara SDM dan kinerja finansial perusahaan. Indeks SDM yang
dikembangkan oleh Watson Wyat meliputi 6 praktek MSDM: sistem imbalan dan
akuntabilitas, fleksibilitas kerja, rekruitmen, komunikasi, teknologi yang terkait MSDM
dan penggunaan sumber daya secara efektif dan bijaksana (prudent). Sistem imbalan dan
akuntabilitas merujukan pada keselarasan compensation & benefit dan sistem reward
berbasis kinerja. Fleksibilitas di tempat kerja meliputi kepemimpinan manajemen,
kepuasan kerja dan kerja tim. Rekruitmen terkait dengan praktek-praktek penerimaan
pekerja, strategi penerimaan pekerja dan orientasi karyawan. Komunikasi menekankan
pada saluran komunikasi dan sistem yang ada. Sedangkan teknologi yang terkait MSDM
memiliki sasaran pada peningkatan akurasi, layanan dan efektivitas biaya operasional
SDM. Efektifitas penggunaan sumber daya termasuk di dalamnya praktek manajemen
kinerja, penilaian karyawan menggunakan sistem 360-feedback dan evaluasi karyawan.
Menurut Watson Wyat, kelima praktek MSDM tersebut, terkecuali prudent, memiliki
pengaruh positip terhadap nilai pasar organisasi (organizational market value). Prudent
memiliki hubungan negatif terhadap nilai pasar.

Sebuah studi “best practices” yang dilakukan oleh Cornell University (1999)
menyebutkan ada 6 (enam) praktek terbaik MSDM, yaitu : pengukuran dan peningkatan
kepuasan dan loyalitas karyawan, desain sistem seleksi dan retension, peningkatan
pelatihan dan pengembangan karyawan, desain sistem remunerasi dan imbalan, desain
strategi penilaian karyawan dan standar kinerja, serta praktek manajemen keberagaman
(diversity management).

Berdasarkan telaah literatur, ukuran-ukuran praktek MSDM dalam penelitian ini akan
digolongkan menjadi 6 (enam) domain, yaitu: (1). Penempatan SDM (Staffing), (2).
Pelatihan dan Pengembangan (Training & Development), (3). Penilaian Kinerja
(Performance Appraisal), (4). Sistem Imbalan Kinerja (Performance Rewards), (5).
Hubungan Karyawan (Employee Relations) dan (6). Sistem Komunikasi Internal
(Internal Communication). Keenam domain tersebut selaras dengan kebutuhan dan peran
MSDM di dalam membantu pencapaian bisnis perusahaan, juga memiliki kontribusi
nyata dalam pengembangan ”soft factors” di dalam implementasi TQM perusahaan
(Wilkinson dkk, 1996). MSDM sangat berperan dalam perubahan budaya organisasi
menuju budaya TQM melalui praktek-praktek penempatan tenaga kerja, rekruitmen,
appraisal, pengembangan sistem imbalan, pelatihan dan orientasi pekerja (Clinton dkk,
2001).

2.3.1. Penempatan Tenaga Kerja (Staffing)

Penempatan tenaga kerja termasuk di dalamnya aktivitas perencanaan (planning &


forecasting), rekruitmen, dan seleksi karyawan. Rekruitmen SDM yang tepat merupakan
fungsi MSDM yang paling penting (Crowley, 1999; Johnson, 2000). Jika perusahaan
merekruit seseorang yang tepat pada saat pertama (first time right), maka perusahaan
dapat memperkecil biaya, waktu dan upaya pengembangan-nya. SDM yang berkualitas
bukan sekedar memenuhi kebutuhan ketika direkruit, tetapi dia harus mampu
meningkatkan kapabilitas dirinya secara terus menerus seiring dengan kebutuhan dan
tantangan perusahaan. Memilihi SDM yang tepat sesuai kebutuhan perusahaan akan
berdampak pada penurunan keluar masuknya tenaga kerja (labor turn over) yang pada
gilirannya akan meningkatkan retensi karyawan yang berkualitas. Lebih lanjut dapat
ditegaskan bahwa praktek-praktek penempatan tenaga kerja akan mampu meningkatkan
kinerja finansial, hasil ini secara otomatis akan meningkatkan kinerja orgnisasi secara
keseluruhan (Tepstra dan Rozell, 1993). Sebagai contoh, Southwest Airlines, perusahaan
penerbangan ini meyakini bahwa penerimaan SDM yang berkualitas adalah kunci sukses
perusahaannya (Czaplewski, Ferguson, & Milliman, 2001), pertanyaannya adalah
seberapa jauh perusahaan dapat mencari dan mengidentifikasi kandidat pelamar benar-
benar tepat dan sesuai dengan kebutuhan perusahaan. Suksesnya penempatan tenaga
kerja dimulai dengan perencanaan tenaga kerja yang akurat. Perencanaan tenaga kerja
mempertimbangkan kebutuhan mendatang terkait penawaran dan pemintaan (supply &
demand). Perencanaan tenaga kerja juga meruapakan kunci utama pengambilan
keputusan untuk menentukan standar SDM (core talents) yang akan direkruit. Standar
SDM inilah yang menjadikan Southwest Airlines menetapkan minimal potensial yang
harus dimiliki seoarang calon karyawan yang akan memberikan kontribusi bagi
kesuksesan organisasi (Czaplewski, Ferguson, & Milliman, 2001).

Penempatan tenaga kerja untuk mengisi posisi kosong di dalam struktur organisasi dapat
dilakukan melalui sumber internal maupun eksternal. Rekruitmen internal memiliki
keuntungan berupa efisiensi biaya dan meningkatkan motivasi serta moral karyawan
berupa apresiasi atas hasil kerja, hal ini dilakukan baik secara mutasi (horisontal) maupun
promosi (vertikal). Teori Hygiene (Herzberg, 1966) menjelaskan bahwa internal
rekruitment merupakan penghargaan atas kinerja yang baik dan sekaligus dapat
memenuhi kebutuhan karyawan untuk kemajuan dan perkembangannya. Herzberg (1966)
menyebutkan bahwa pemenuhan kebutuhan ini merupakan penghargaan bagi karyawan
sehingga dapat menghasilkan kepuasan kerja, hal ini selaras dengan pernyataan “pekerja
yang bahagia akan berkinerja lebih baik dibandingkan pekerja yang kurang bahagia”
(Brayfield & Crockett, 1955; Iaffaldano & Muchinsky, 1985; Judge, Bono, Thoresen, &
Patton, 2001). Namun demikian, rekruitmen internal memiliki beberapa kelemahan
(Gomez-Mejia, Balkin, & Cardy, 2001), diantaranya menghasilkan organisasi yang lebih
“tertutup” dan kecenderungan kandidat internal yang umumnya memiliki perspektif
bisnis dan kemampuan manajemen yang terbatas. Rekruitmen internal juga berimplikasi
pada investasi pelatihan dan pengembangan yang lebih intensif selain itu dapat
berdampak pada problema politis diantara pekerja (political infighting). Menurut
Saratoga Institute Report (2001), disebutkan bahwa kandidat sumber internal
berimplikasi pada ekstra biaya yang lebih besar yang dapat berimplikasi pada penurunan
profit.

Alternatif selain rekruitmen internal adalah melakukan rekruitmen kandidat yang


memiliki potensi dari eksternal. Rekruitmen eksternal memiliki beberapa keunggulan
dibandingkan rekruitmen internal (Gomez Meijia dkk, 2001). Kandidat dari eksternal
lebih sering membawa ide-ide baru dan keunikan tersendiri (talent), memberikan “darah
segar”, dan membantu pemenuhan praktek kesetaraan di tempat kerja (equal employment
opportunity). Hal yang patut dipertimbangkan adalah rekruitmen secara eksternal akan
dapat menyebabkan permasalahan bagi kandidat internal bilamana akhirnya yang terpilih
justru kandidat eksternal, situasi ini mengakibatkan kekecewaan bagi kandidat internal
dan akan menyalahkan manajemen bila terbukti kegagalan dalam pengisian posisi.

Pada saat perusahaan melakukan identifikasi jenis SDM yang dibutuhkan dan melakukan
seleksi kandidat yang memiliki prospek, maka diperlukan metoda untuk memilih seorang
kandidat lebih cocok dibandingkan kandidat pelamar lainnya. Gomez-Meija dkk (2001),
merekomendasikan 11 (sebelas) alat yang dapat digunakan sebagai prediktor kinerja
seorang kandidat, yaitu : surat rekomendasi, formulir aplikasi, tes keterampilan teknis
(ability), tes personality, tes psikologi, wawancara, assessment center, tes kecanduan
narkoba (drug test), tes kejujuran (honesty test), cek referensi, dan tes tulisan tangan
(graphology). Secara umum, sebagian besar yang digunakan oleh perusahaan untuk
melakukan screening adalah wawancara, cek data pribadi, cek referensi dan rekomendasi,
Yancey (2000). Interview terstruktur mampu memberikan prediksi kinerja yang lebih
valid dan paling banyak digunakan di berbagai organisasi perusahaan (Moscoso, 2000;
Salgado, 1999). Namun demikian dalam tes awal biasanya dilakukan tes keterampilan,
tes personality, dan tes psikologi karena dinilai memiliki prediksi kinerja yang cukup
baik. Tes psikologi adalah teknik pengukuran potensi kandidat, kesesuaian antara potensi
kandidat dan pekerjaan yang akan di-isi (Venne, 1987). Setelah perang dunia kedua,
pemakaian alat tes psikologi di berbagai industri dan organisasi menjadi penting dalam
rekruitmen di Amerika hingga tahun 1960-an (Berger & Ghei, 1995). Pemakaian alat tes
ini kemudian berkurang setelah dikeluarkannya Civil Rights Act 1964, pada Bab VII
yang membahas kesetaraan kerja (EEO). Penurunan penggunaan alat tes psikologi
mengingat munculya praktek diskriminasi dan pemakaian alat tes yang tidak digunakan
secara tepat pada waktu itu. Akan tetapi saat ini perkembangan penggunaan alat tes ini
sudah sedemikian pesat, McHenry (1997) dalam penelitiannya menemukan pemakaian
alat tes psikologi tumbuh hingga 65% dari tahun 1980 hingga 1990. Sedangkan menurut
SHRM (Society for HRM), sekitar 22% perusahaan di Amerika mempergunakan tes
psikologi untuk menyeleksi kandidat posisi managerial (Ciarmello, 1998). Sedangkan
Shaffer & Schmidt (1999) mengindikasikan 40% dari Top 100 Companies
mengaplikasikan tes psikologi untuk seleksi karyawan.

Dalam studi yang dilakukan Cho & Woods’ (2000), menunjukan bahwa tes psikologi
sangat efektif sebagai alat seleksi untuk menentukan kandidat yang tepat bagi organisasi.
Tentunya apa yang ditemukan oleh Cho & Woods’ bukannya tanpa alasan, Terpstra dan
Rozell (1993) meneliti hubungan praktek penempatan tenaga kerja terhadap laba tahunan,
pertumbahan laba, pertumbuhan penjualan dan kinerja organisasi keseluruhan. Hasilnya
menujukan hubungan yang sangat signifikan praktek penempatan tenaga kerja terhadap
kinerja organisasi. Implementasi TQM membutuhan penempatan personalia yang
kompeten baik secara individu maupun tim, oleh karena itu sebelum inisiatif-inisiatif di
dalam TQM dilaksanakan – peran MSDM menjadi penting di dalam memetakan potensi
pekerja sesuai dengan kebutuhan tim TQM. Kesalahan dalam penempatan personalia
akan dapat mengakibatkan kegagalan implementasi TQM yang pada gilirannya akan
dapat menyebabkan kegagalan organisasi.

2.3.2. Pelatihan dan Pengembangan (Training and Development)

Swanson (1995) mendefinisikan pelatihan dan pengembangan sebagai “sebuah proses


yang secara sistematis mengembangkan keahlian individual yang bertujuan untuk
meningkatkan kinerja”. Organisasi perusahaan secara stratejik mengimplementasikan
program pelatihan dan pengembangan untuk meningkatkan keterampilan dan
pengetahuan pekerja sesuai kebutuhan saat ini ataupun mempersiapkan SDM perusahaan
untuk menghadapi tuntutan kerja mendatang. Pelatihan dan pengembangan dimulai
dengan identifikasi kebutuhan training dan evaluasi atas hasil pelatihan yang telah
dilakukan.

Analisis kebutuhan pelatihan adalah “proses menentukan kebutuhan pelatihan organisasi


yang bertujuan untuk menjawab apakah kebutuhan organisasi, tujuan organisasi, dan
masalah organisasi dapat diselesaikan melalui pelatihan” (Arthur & Bennett, 2003).
Dengan demikian pengukuran kebutuhan pelatihan (needs assessment) adalah sebuah
proses identifikasi “kesenjangan (gap) antara kinerja optimal dan kinerja aktual” (Breiter
& Woods, 1997).

Pengukuran kebutuhan training merupakan langkah awal yang sangat penting bagi
pelaksanaan pelatihan (Breiter & Woods, 1997) dan dapat mempengaruhi secara
signifikan suksesnya sebuah pelatihan dan pengembangan (Goldstein & Ford, 2002;
Sleerzer, 1993; Zemke, 1994). Disamping hal tersebut, pada kenyataannya masih sedikit
perusahaan yang mengukur kebutuhan pelatihan untuk desain dan pengembangan
program pelatihan (Breiter & Woods, 1997). Masih sedikit penelitian yang menguji
hubungan pengukuran kebutuhan training (needs assessment) terhadap hasil-hasil
pelatihan yang dijalankan.

Apabila profil pekerjaan dan SDM yang akan di training teridentifikasi, selanjutnya
program pelatihan dikembangkan dan dilaksanakan. Berikutnya setelah program
pelatihan dan pengembangan selesai dilakukan maka efektivitas-nya harus di ukur.
Merujuk pada sebuah studi, perusahaan di industri jasa membelanjakan biaya pelatihan
rata-rata USD 837 per karyawan pertahun pada tahun 2002 (“Training expenses”,
2002). Berdasarkan perkiraan ini, belanja pelatihan untuk 100 karyawan diperkirakan
USD 83,700 per tahun. Biaya investasi pelatihan ini belum termasuk hilangnya jam kerja
dan produktivitas. Oleh karena itu sangat dibutuhkan praktek manajemen untuk
menghitung tingkat pengembalian pelatihan dan pengembangan (ROI on Training) bagi
organisasi untuk meningkatkan profitnya.

Kirkpatrick (1956) merekomendasikan 4 (empat) level dalam mengukur efektivitas


pelatihan. Empat level tersebut adalah mengukur reaksinya (reaction), pembelajaran
(learning), perilaku (behavior) dan hasil (result). Pada pengukuran efektivitas pelatihan
level reaksi, yang dikur adalah persepsi peserta pelatihan terkait “like & dislike” dari
program pelatihan pelatihan yang di-ikuti. Pada tahap ini akan diperoleh informasi
sebatas program pelatihan yang dilakukan, sedangkan ROI belum dapat di-ukur, atau
dengan kata lain mengukur reaksi peserta pelatihan tidak mengungkapkan seberapa besar
efektivitas pelatihan berkontribusi pada peningkatan nilai organisasi (organization’s
value). Menurut Arthur dan Bennett (2003), evaluasi pelatihan pada level reaksi tidak
menunjukan hubungan antara pelatihan dan efektivitasnya, namun pada kenyataannya
paling banyak digunakan sebagai metoda evaluasi pelatihan. Pada penelitian yang lain
(Van Buren & Erskine, 2002 dalam Arthur & Benett, 2003) – sebuah riset meta analysis
yang dilakukan Van Buren & Erskine (2002) terkait desain dan evaluasi pelatihan di
perusahaan-perusahaan di Amerika Utara diperoleh data sesuai Tabel 2.3. dibawah.

Tabel 2.3 Evaluasi Pelatihan Model Kirkpatrick

No Tahap Evaluasi Jumlah Perusahaan (%)


1. Reaksi (Reaction) 78
2. Pembelajaran (Learning) 32
3. Perilaku (Behavioral) 9
4. Hasil (Result) 7

Sumber : Van Buren & Erskine, 2002 dalam Arthur & Benett, 2003

Pengukuran efektivitas pelatihan level kedua adalah menilai hasil-hasil pembelajaran dari
pelatihan yang dilakukan. Pada tahap ini di-ukur seberapa besar peningkatan
pengetahuan, keterampilan sebelum dan sesudah pelatihan. Metoda ini dilakukan secara
sederhana dengan melakukan pre-test dan post-test. Hasil-hasil pembelajaran yang
diperoleh sangat dibutuhkan tetapi tidak menjamin “aplikasi pengetahuan yang
diperoleh” (Tannenbaum & Yukl, 1992).

Level ketiga evaluasi pelatihan model Kirkpatrick adalah mengukur perilaku, melihat
efeknya terhadap kinerja (Arthur & Benett, 2003). Pengukuran perilaku dilakukan dengan
cara mengevaluasi perubahan perilaku kerja terkait dengan sebelum dan sesudah
pelatihan. Meskipun pembelajaran dan perubahan perilaku belum secara langsung
memberikan efek finansial, akan tetapi peningkatan pengetahuan, keterampilan, sikap
perilaku akan di-ikuti kinerja individu dan organisasi. Garavan (1997) menemukan
peningkatan yang sangat signifikan dalam kualitas layanan pelanggan setelah pelatihan
dilakukan pada sebuah perusahaan jasa.

Level keempat efektivitas pelatihan model Kirkpatrick adalah mengukur seberapa jauh
pelatihan dan pengembangan berpengaruh bagi pencapaian sasaran organisasi.
Pengukuran level 1-2-3 lebih berfokus pada skala individual sedangkan level ke-empat
lebih menekankan pada level organisasional, misalnya ROTI (Return on Training
Investment). Pada level ini, biaya dan keuntungan yang dihasilkan dari pelatihan dan
pengembangan di-bandingkan, ROTI yang positip bila keuntungan (benefit) lebih besar
dibandingkan biaya yang dikeluarkan.

Teori self-efficacy sudah sering digunakan untuk menjelaskan hubungan positif antara
pelatihan dan pengembangan terhadap kesuksesan organisasi. Self efficacy merujuk pada
“keyakinan pada kapabilitas seseorang dalam menjalankan tugas khusus” (Bandura,
1986; dan Saks, 1996). Para pakar teori pembelajaran sosial (Bandura, 1982, 1989;
Zimmerman, Bandura, & Martinez-Pons, 1992) menyatakan bahwa kepercayaan yang
ada dalam diri manusia mempengaruhi perilaku, aktivitas, usaha, pembelajaran dan
kinerjanya (Omrod, 1999). Di dalam teori self-efficacy menjelaskan seseorang yang
memiliki self-efficacy yang tinggi senaniasa menetapkan target yang realistis, sukar
dicapai namun dia tetap mencoba untuk meraihnya. Sebaliknya seseorang dengan self-
efficacy yang rendah cenderung enggan dalam mendorong dirinya untuk pencapaian hasil
yang maksimal. Penelitian menunjukan bahwa pelatihan dapat meningkatkan self-
efficacy karyawan yang pada akhirnya akan bermuara pada kinerja (Gist, Stevens, &
Bavetta, 1991; Martocchio, 1994). Tannenbaum, Mathieu, Salas, dan Cannon-Bowers
(1991) dalam penenelitiannya menemukan peningkatan kinerja yang signifikan setelah
selesai pelatihan. Tannenbaum dkk (1991) juga menemukan bahwa perilaku peserta
pelatihan (post training attitude) dan kinerjanya memiliki keterkaitan yang sangat
signifikan terhadap kadar self-efficacy peserta pelatihan.
Sejumlah studi menegaskan bahwa pelatihan dan pengembangan memegang peranan
kunci di dalam pegembangan dan mempertahankan keunggulan kompetitif (Barret &
O’Connel, 2001; Cho dkk, 2001; Saks, 1996). Pelatihan dan pengembangan memiliki
peran signifikan secara langsung pada retensi karyawan (Panitz, 1999) dan secara
signikan berpengaruh tidak langsung pada komitmen organisasi (Roel & Swerdlow,
1999). Saks (1996) menemukan keterkaitan pelatihan memiliki keterkaitan yang signikan
bagi sikap perilaku karyawan baru (newcomers), misalnya keinginan untuk keluar
(intention to quit), komitmen dan kepuasan kerja. Bahkan menurut Barret dan O’Connel
(2001) lamanya training days meningkatkan produkstivitas pekerja. Sedangkan menurut
Choe dkk (2001) pelatihan juga berpengaruh signifikan terhadap “turn over”, misalnya
saja perusahaan yang membelanjakan pelatihan 218 USD per karyawan/tahun memiliki
TO 16%, sedangkan perusahaan yang membelanjakan 273 USD memiliki TO kurang dari
7%.

Terkait dengan pengaruh positif pelatihan dan pengembangan terhadap kinerja organisasi,
semakin banyak perusahaan yang menempatkan pentingnya pelatihan dan pengambangan
SDM untuk mempertahankan keunggulan bersaing, melalui peningkatan keterampilan
(skills), pengetahuan (knowledge), dan kemampuan (ability). Pada tahun 2000, menurut
Industry Report (2000), diperkirakan total belanja SDM (Training & Development)
perusahaan-perusahaan Amerika yang memiliki karyawan 100 orang atau lebih sebesar
54 milyar USD per tahun. Sementara itu ASTD (American Society of Training and
Development) menyampaikan rekomendasi anggaran pelatihan dan pengembangan SDM
paling tidak 2,5% dari biaya upah pekerja (Kimmerling, 1993). Alasan sedikitnya belanja
pelatihan dan pengembangan SDM mengingat pengukuran ROTI-nya tidak mudah dan
tidak dirasakan langsung oleh perusahaan. Selain itu banyak studi menunjukan riset di
bidang pelatihan dan pengembangan justru berfokus pada alat dan teknik pelatihan yang
digunakan, kurang meneliti pada pengaruhnya bagi ROTI bagi individu maupun
organisasi (Harris, 1997; Harris & Bonn, 2000; Harris & Cannon, 1994). Di dalam
implementasi TQM, ROTI menjadi faktor utama yang harus diukur – sehingga
pelaksanaan training harus berfokus pada ”losses” yang terkait dengan kompetensi dan
metode kerja. Sehingga kesulitan dan keterbatasn sebagian besar organisasi perusahaan
dalam mengukur ROTI dapat dipecahkan bila kebutuhan raining benar-benar terkait
dengan reduksi ”losses” yang dapat didefinisikan sebagai ”cost”.

2.3.3. Penilaian Kinerja (Performance Appraisal)

Penilaian kinerja memiliki fokus pada upaya identifikasi, pengukuran, evaluasi dan
peningkatan kierja karyawan. Mathis & Jackson (2003, p.342) mendefinisikan penilaian
kinerja sebagai “sebuah proses evaluasi seberapa jauh karyawan mencapai kinerja dengan
dibandingkan standar yang telah ditetapkan dan dikomunikasikan kepada karyawan yang
dinilai”.

Menurut Cleveland, Murphy, dan Williams (1989), penggunaan penilaian kinerja dapat
dikelompokan menjadi 4 hal, yaitu :
1. Antar individu (between individual), misalnya sebagai administrasi pengupahan,
promosi dan identifikasi karyawan yang berkinerja rendah).
2. Dalam individu (within individual), misalnya untuk identifikasi kekuatan dan
kelemahan individu, identifikasi kebutuhan pelatihan individu dan umpan balik
bagi pekerja.
3. Pemeliharaan sistem (system maintenance), misalnya untuk identifikasi kebutuhan
training organisasi, evaluasi pencapaian target dan sasaran organisasi, serta
membantu identifikasi sasaran organisasi.
4. Dokumentasi, misalnya untuk dokumentasi keputusan personalia, penyediaan
aspek legal personalia maupun validasi riset-riset yang terkait karyawan.

Sementara itu, Thomas dan Bretz’s (1994), mengemukakan 3 (tiga) hal penggunaan
penilaian kinerja, yaitu untuk peningkatan kinerja, administrasi kenaikan upah dan umpan
balik bagi pekerja dan perusahaan. Riset yang dilakukan oleh Shah & Murphy (1995),
Smith, Hornsby & Shirmeyer (1996) juga memberikan gambaran praktek penilaian
kinerja mampu meningkatkan kinerja karyawan. Sedangkan Wood, Sciarini dan Breiter
(1998) dalam risetnya menemukan beberapa penggunaan penilaian kinerja oleh
perusahaan, diantaranya untuk keputusan kompensasi (86,4%), penetapan sasaran pekerja
(78%), analisa kebutuhan training (73%) dan promosi (65%). Studi ini juga menemukan
bahwa 95% perusahaan yang diteliti memiliki persepsi bahwa penilaian kinerja sangat
penting bagi suksesnya pencapaian bisnis perusahaan, namun sebaliknya riset yang
dilakukan Shah dan Murphy (1995) justru menemukan 36% organisasi yang
berpartisipasi dan dijadikan responden penelitian menyatakan bahwa mereka tidak
memiliki prosedur standar penilaian kinerja.

Efektivitas sebuah penilaian kinerja harus diukur dan mampu mendorong pencapaian
strategi bisnis perusahaan. Bretz, Milkovich dan Read (1992) menemukan fenomena pada
perusahaan-perusahaan yang sudah maju menghabiskan waktu 7 jam bagi setiap
karyawan eksekutif untuk mengukur kinerja yang telah dicapainya dan 3 jam bagi setiap
karyawan pada level yang dibawahnya. Sementra itu Longenecker (1992 p.21)
menemukan 3 (tiga) alasan mendasar ketidak-efektifan penilaian kinerja dari perspektif
manajemen, yaitu :

1. Kurangnya informasi kinerja aktual /data catatan kinerja karyawan.


2. Umpan balik yang buruk dari pihak karyawan yang menyangkut upaya pembelaan
diri dan terkait tingkah laku negatif (bad attitude).
3. Persiapan waktu yang tidak cukup / minim.

Sebaliknya dari perspektif pekerja ditemukan alasan ketidak-efektifan penilaian kinerja


diakibatkan “proses yang dijalankan oleh manajer tidak dilakukan secara serius, standar
ukuran yang tidak jelas dan terlalu subyektif, dan kurangnya informasi kinerja karyawan
secara lengkap”.

Sebagian besar perusahaan meyediakan waktu khusus bagi pelaksanaan review dan
umpan balik kinerja sebagai bagian dari proses penilaian kinerja. Dorfman, Stephan dan
Loveland (1986) menunjukan adanya waktu khusus untuk review dan umpan balik
kinerja mampu meningkatkan kepuasan dan motivasi karyawan secara keseluruhan, lebih
tegas lagi dalam penelitian lainnya ditemukan bukti bahwa umpan balik kinerja karyawan
mampu meningkatkan kinerjanya (Kluger & DeNisi, 1996; London, Larsen & Thisted,
1999). Namun demikian menurut riset yang dilakukan Kluger dan DeNisi (1996),
terdapat 33% literatur yang mereka review yang mengindikasikan adanya umpan balik
justru berakibat pada penunurunan kinerja karyawan yang dinilai. Mereka
merekomendasikan agar umpan balik harus diberikan dengan cara yang konstruktif untuk
meningkatkan kinerja karyawan.

Mathis dan Jackson (2003) menyatakan bahwa penilaian kinerja merupakan proses
manajerial dalam evaluasi kinerja karyawan dibandingkan dengan standar kinerja yang
sudah disepakati sebelumnya antara pekerja dan pimpinannya. Sasaran yang ditetapkan
sebelumnya akan dijadikan sumber motivasi dan “anchor” dalam proses pencapaian
sasaran pada periode yang telah disepakati. Teori penetapan sasaran (goal setting theory)
menjelaskan hal ini sebagai gambaran hubungan positip antara penilaian kinerja dan
kinerja pekerjaan (job performance), dalam teori ini perilaku di pengaruhi oleh sasaran
(goals) yang spesifik, sulit tetapi dapat di raih. Sejumlah studi telah menunjukan sasaran
yang spesifik dan sulit, namun dapat diraih (achievable goals) mampu meningkatkan
produktivitas karyawan secara signifikan (Latham & Saari 1982; Locke & Latham 1994,
2002). Terpstra dan Rozell (1994), melakukan studi antara teori penetapan sasaran dan
profitabilitas organisasi, hasilnya medukung hipotesis perusahaan –perusahaan yang
menetapkan sasaran berdasarkan goal setting theory untuk meningkatkan kinerja
karyawannya ternyata memiliki profitabilitas yang lebih tinggi. Sebaliknya Locke dan
Latham (1990) membantah hal ini dan menyatakan tidak adanya pengaruh terhadap
kinerja bila memang penetapan sasaran tidak dilakukan, justru yang paling penting adalah
umpan balik dari atasan yang konstruktif dan cerdas akan mampu merubah perilaku dan
meningkatkan kinerja karyawan. TQM sangat membantu di dalam pendefinisian target
baik secara individu maupun tim, model manajemen kinerja yang berbasis pada prioritas-
prioritas KPI (Key Performance Indicator). Sistem kontrol dan pelaporan di dalam TQM
akan memudahkan para pimpinan dan bawahan untuk memonitor pencapaian prioritas
KPI.

2.3.4. Penghargaan Kinerja (Performance Reward)

Penghargaan kinerja bertujuan untuk peningkatan kinerja karyawan dan penghargaan atas
kontribusi terbaik yang diberikan individu karyawan. Sistem penghargaan kinerja di
desain untuk memotivasi pekerja, moral, komitmen, produktivitas dan kerja tim.
Penghargaan yang diberikan organisasi atas kontribusi kinerja karyawan dapat diberikan
secara finansial (monetary incentive) maupun non finansial (non-monetary reward).
Sebuah survei yang dilakukan pada tahun 1995 menunjukan bahwa perusahaan yang
tergolong dalam Fortune 1000 menggunakan monetary reward plan (Lawler &
Mohrman, 1995). Penelitian yang dilakukan Luthans & Stajkovic (1999) dengan
menggunakan meta-analytic study mengindikasikan penghargaan finansial dapat
meningkatkan kinerja karyawan sebesar 39% di industri manufaktur dan 14% di industri
jasa. Sementara itu penghargaan non-finansial (social attention & recognition)
berpengaruh 15% pada peningkatan kinerja di industri jasa. Banker, Potter dan Srinivasan
(2000) melakukan studi longitudinal untuk melihat efektivitas incentive plan pada
industri jasa, hasil studi menunjukan incentive plan memiliki pengaruh positif bagi
peningkatan laba (revenue & profitability) dan menurukan biaya (cost). Sebaliknya
penelitian yang dilakukan Medoff dan Abraham (1980) menunjukan insentif finansial
tidak memiliki pengaruh yang kuat bagi kinerja karyawan, tidak sebagaimana sistem
penghargaan yang terkait dengan kenaikan upah.

Program-program pengupahan berbasis kinerja seperti halnya program penyesuaian upah


berdasarkan kinerja di desain untuk memberikan penghargaan bagi karyawan secara
finansial (monetary terms) atas kontribusi yang diberikan kepada perusahaan. Menurut
Lawler (1987, p.255) sistem penghargaan bagi pekerja merupakan topik yang paling
sering dibahas dalam manajemen sumber daya manusia. Sehingga dapat dikatakan sistem
penghargaan (reward system) yang efektif merupakan tulang punggung dari praktek dan
kebijakan SDM (Loery, Petty & Thompson, 1995). Penelitian yang telah dilakukan
menunjukan hasil yang berbeda-beda terkait dengan pengupahan berbasis kinerja.
Lowery, Petty dan Thompson (1995) dalam studinya menemukan bahwa incentive plan
memiliki pengaruh positip bagi peningkatan perilaku kerja karyawan namun tidak
memberikan efek pada produktivitas dan kualitas kerja. Heneman (1992) dalam studinya
menunjukan adanya keterkaitan antara rencana pemberian insentif finansial dengan
kinerja dan motivasi karyawan. Di dalam penelitian lain ditemukan bukti perusahaan
yang berkinerja lebih baik memberikan penghargaan yang lebih dibandingkan dengan
perusahaan berkinerja dibawahnya (Marler, Milkovich dan Yanadori, 2002). Berdasarkan
penelitian tersebut dapat disimpulkan pemberian insentif yang lebih tinggi tidak secara
otomatis dibarengi dengan peningkatan kinerja perusahaan menjadi lebih baik, akan
tetapi di sisi lain perusahaan-perusahaan yang berkinerja lebih baik biasanya memberikan
insentif yang lebih tinggi. Hasil penelitian juga menunjukan perusahaan yang memiliki
kinerja lebih baik justru memberikan insentif yang lebih sedikit bagi pekerjanya, pada
level yang lebih rendah dalam liga pengupahan perusahaan yang dimasukinya.

Pengupahan berbasis kinerja diklasifikan dalam dua kategori, yaitu pada level individu
dan pada level tim. Pada level individual termasuk didalamnya insentip produktivitas,
upah jam kerja, kenaikan upah, bonus maupun komisi yang mengacu pada kinerja
individual. Sedangkan pada level tim misalnya cost-saving plan, profit-sharing plan, dan
kepemilikan saham (stock ownership) yang diberikan berdasarkan kinerja tim. Program
insentip berbasis tim seperti halnya profit sharing dan stock ownership telah menjadi
perhatian utama banyak organisasi disamping karena memang praktek ini dirasakan lebih
fair dan memperkecil budaya individualisme di dalam organisasi (Baker, Jensen, dan
Murphy, 1988). Beberapa riset menyatakan sebagian besar karyawan lebih menyukai
pengupahan berbasis individual dibandingkan tim (Cable & Judge, 1994), namun
demikian studi yang lain justru menyimpulkan adanya pengaruh yang kuat dalam
pengupahan berbasis tim terhadap kinerja perusahaan (Ehrenberg & Milkovich, 1987;
Gerhart & Milkovich, 1990; Welbourne & Andrews, 1996). Penelitian yang dilakukan
Gerhart dan Milkovich (1990) melaporkan perusahaan yang memberikan 80% stock
options kepada manajernya ternyata memiliki ROA (returns on assets) 25% lebih tinggi
dibandingkan perusahaan yang memberikan stock options sebesar 20%. Welbourne dan
Andrews (1996) menemukan adanya fenomena perusahaan-perusahaan baru yang
memiliki tingkat survival yang lebih tinggi ketika semakin banyak karyawan yang
menerima pengupahan berdasarkan kinerja organisasional. Pada tulisan lainnya, Cooke
(1994, p. 598) menegaskan pemikiran logika pengupahan secara tim, dimana jika
karyawan memperoleh pendapatan berdasarkan kinerja tim, mereka akan berusaha lebih
maksimal. Bonus yang diberikan pun didasarkan pada upaya keseluruhan, insentif
diberikan atas kerjasama yang dilakukan. Pola tersebut sering disebut sebagai group
based incentives, dan dengan logika ini fungsi kontrol supervisor dapat berkurang.

Teori perilaku organisasi telah banyak menjelaskan permasalahan efektivitas


penghargaan kinerja. Teori Hirarki Kebutuhan Maslow (1943) dan Teori Dua Faktor
Herzberg (Two Factors Theory, Herzberg, 1966) paling sering dijadikan dasar untuk
menjelaskan pengaruh penghargaan kinerja pada kinerja organisasi. Menurut Teori
Maslow (1943), manusia memiliki lima tingkatan hirarki kebutuhan, yaitu : fisiologi,
keselamatan dan keamanan, kebutuhan sosial, harga diri (self-esteem), dan aktualisasi
diri. Berdasarkan teori ini, kebutuhan yang lebih tinggi tidak akan terpenuhi sebelum
kebutuhan yang lebih rendah terpuaskan. Ketika kebutuhan fisiologi, keselamatan dan
keamanan serta kebutuhan sosial terpenuhi di tempat kerja, setiap karyawan akan
berusaha memenuhi kebutuhan harga dirinya (self-esteem). Kebutuhan harga diri merujuk
pada kepuasan terhadap diri sendiri, perasaan berharga, atau keinginan untuk berprestasi.
Pemenuhan harga diri dapat dicapai jika seseorang merasa puas dengan kemampuan yang
dimiliki, orang lain menghargai atas kemampuan dan prestasi yang dimilikinya.
Penghargaan kinerja merupakan salah satu cara yang efektif untuk memenuhi kebutuhan
self-esteem karyawan. Karyawan akan merasa dihargai melalui praktek promosi,
penerimaan insentip, atau penghargaan non material lainnya seperti penghargaan
karyawan berprestasi dan pemberian liburan ekstra.

Konsep yang disampaikan oleh Herzberg (1966), yaitu two factors menjelaskan perilaku
manusia di tempat kerja yang disebut sebagai faktor hygiene dan motivator. Faktor
hygiene tidak mengakibatkan kepuasan karyawan dengan pekerjaannya secara langsung,
akan tetapi karyawan akan merasa kurang puas bila faktor hygiene berkurang atau tidak
ada, misalnya kebijakan perusahaan tentang struktur pengupahan, hubungan dengan
rekan sekerja, kehidupan pribadi, status pekerjaan (job status), dan keamanan kerja (job
security). Faktor hygiene sering disebut sebagai penghargaan ekstrinsik karena bersumber
dari perusahaan dan lingkungan kerja bukan berasal dari internal pekerja. Faktor kedua
disebut sebagai motivator, faktor yang dapat memuaskan karyawan dengan pekerjaan dan
memacu motivasi untuk berkinerja yang lebih baik. Motivator disebut sebagai faktor
intrinsik dimana perasaan terpuaskan dan motivasi yang kuat ditimbulkan dari internal
pekerja. Faktor hygiene tidak menjamin kepuasaan karyawan dan motivasi, akan tetapi
dibutuhkan secara mutlak untuk memelihara karyawan untuk tetap bekerja dengan baik.
Apabila beberpa faktor hygiene diabaikan maka akan memunculkan ketidakpuasan,
karyawan akan mempertimbangkan untuk keluar dan memungkinkan produktivitasnya
menurun. Di dalam implementasi TQM, faktor motivasi pekerja menjadi sasaran utama
dan prasarat mutlak dan menjadi prioritas awal sebelum, selama proses implementasi.
Pengkondisian organisasi termasuk didalamnya – menghubungkan sistem kompensasi
dan penghargaan kinerja yang mendorong pencapaian kinerja bisnis melalui tools TQM.
2.3.5. Kekaryawanan – Hubungan Industrial (Employee Relations)

Hubungan industrial atau kekaryawanan adalah sebuah sistem yang menyediakan


perlakukan adil dan konsisten bagi karyawan sehingga menjadikannya memiliki
komitmen kepada organisasi (Gomez-Meija dkk, 2001). Para pekerja memiliki cara untuk
menyelesaikan masalah, konflik mapun perlakukan yang kurang adil (unfair treatment) di
tempat kerja melalui serikat pekerja (unions). Peningkatan partisipasi pekerja di dalam
pengelolaan organisasi akan mengakibatkan kepuaan kerja yang lebih tinggi dan juga
motivasi kerja yang lebih baik, sehingga pada gilirannya meningkatkan kualitas produk
serta kinerja karyawan (Gittell, Nordenflycht, dan Kochan 2004; Hammer dan Stern
1986). Di Amerika terjadi kecenderungan menurunnya jumlah serikat pekerja di dalam
perusahaan, hal ini terkait dengan aplikasi undang-undang kesetaraan pekerja (Equal
Employment Opportunity Laws) sehingga semakin banyak perusahaan yang berfokus
pada pengembangan program kekaryawanan misalnya mekanisme penyelesaian
komplain, program peningkatan partisipasi pekerja dan survey perilaku pekerja yang
secara rutin dilakukan untuk meningkatkan dan memelihara kepuasan kerja serta
produktivitas organisasi.

Proses penyelesaian komplain secara formal ataupun sistem penanganan keluhan menjadi
demikian penting untuk meningkatkan kepercayaan pekerja kepada manajemen (Fryxell
& Gordon, 1991). Para pekerja meyakini keadilan di tempat kerja akan memiliki
pengaruh positip bagi kinerja organisasional (Colquitt, Wesson, Porter, Conlon, dan Ng,
1986; Fryxell dan Gordon, 1991). Penelitian yang dilakukan Colquitt dkk (1986)
menemukan keyakinan pekerja terhadap praktek ketenagakerjaan yang adil
mempengaruhi perilaku karyawan seperti halnya komitmen organisasi, loyalitas,
kepuasan kerja dan kinerja karyawan. Fryxell dan Gordon (1989) meneliti pengaruh
keadilan di tempat kerja dan kepuasan kerja dan menemukan pengaruh yang sangat kuat
dimana keadilan di tempat kerja akan mampu meningkatkan kepuasan karyawan terhadap
manajemen perusahaan.

Di dalam implementasi TQM, program partisipasi pekerja seperti halnya tim peningkatan
kualitas (improvement team), tim pemecahan masalah (problem solving team), dan
sistem sumbang saran (suggestion system) mampu meningkatkan kinerja perusahaan.
Hal tersebut di dasarkan pada proposisi bahwa para pekerja lini umumnya memiliki
informasi dan pengetahuan yang akurat tentang pekerjaan dibandingkan manajernya
(Levine & Tyson, 1990; Miller & Monge, 1986). Program partisipasi karyawan juga
mampu memuaskan kebutuhan penghargaan diri (self esteem) melalui pemenuhan
imbalan intrinsik, dimana pekerja memiliki suara dan berpartisipasi terkait tugas dan
kerja serta berkontribusi pada pencapaian kinerja yang optimal (Hammer, 1988; Cooke,
1994). Seperti yang dijelaskan sebelumnya, penghargaan-penghargaan intrinsik yang
lebih besar akan dapat meningkatkan kepuasan kerja dan memotivasi karyawan untuk
mencapai sasaran-sasaran kerja (Miller & Monge, 1986; Hammer, 1988) dan pada
gilirannya mampu menghasilkan produktivitas kerja yang lebih tinggi.

Survei perilaku pekerja dilakukan untuk mengukur aspek-aspek yang disukai maupun
yang tidak disukai oleh pekerja terkait dengan pekerjaannya (Gomez-Mejia, dkk., 2001).
Organisasi perusahaan mengimplementasikan survei perilaku pekerja untuk mendeteksi
secara aktif problem-problem potensial yang mengakibatkan ketidakpuasan kerja dan
menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi di tempat kerja. Kesselman (1994)
berpendapat keuntungan penggunaan survei perilaku karyawan dengan memberikan
contoh secara langsung misalnya survei perilaku mampu memberikan informasi
mendasar bagi perusahaan untuk membangun ulang jenjang karir bagi para pekerja yang
potensial, untuk mempertajam strategi operasional bisnis, untuk mengimplentasikan
program-program peningkatan keselamatan kerja maupun peningkatan kondisi kerja, dan
juga pengembangan manajemen sumber daya manusia yang meliputi uraian kerja, sistem
penilaian kerja dan sistem penggajian. Contoh-contoh tersebut menunjukkan betapa
pentingnya survei perilaku pekerja memiliki pengaruh yang signifikan bagi kinerja
perusahaan. Di dalam TQM, sasaran utama keberhasilan pecapaian target bisnis yang
bersifat jangka panjang adalah suasana hubungan kekaryawanan yang kondusif, iklim
kerja dan sistem organisasi yang memacu produktivitas serta keadilan di tempat kerja
(fairness).

2.3.6. Sistem Komunikasi Internal (Internal Communication Sistem)

Setiap karyawan berusaha untuk meningkatkan diri satu sama lain dan membina
hubungan dengan cara berkomunikasi dan melakukan aktivitasnya (Duncan& Moriarty,
1998). Menurut Thomson, Chernatony, Arganbright dan Khan (1999). Terdapat 3 jenis
saluran komunikasi yaitu : komunikasi eksternal (company-customer), komunikasi
internal (company-emlpoyee), dan komunikasi interaktif (customer-imployee). Para
peneliti telah menekankan pentingnya komunikasi eksternal yang efektif yang secara
umum terlihat secara positip pada ROI (Return On Investment) pemasaran. Pada sisi
lainnya ada beberapa studi yang meneliti dan mengeksplorasi pentingnya komunikasi
internal. Hal yang sangat tidak mungkin menciptakan hubungan antara organisasi dan
karyawan tanpa adanya prose komunikasi yang baik (Duncan & Moriarty, 1998).
Komunikasi internal yang efektif dapat dicapai ketika sebuah organisasi mampu
mengkomunikasikan dengan baik tentang visi, misi, produk, proyek, status kinerja
keuangan perusahaan dan lain-lain dengan baik kepada karyawan. Ada beberapa cara
melakukan komunikasi pada pekerja misalnya berita-berita singkat (newsletter), papan
pengumuman, pertemuan formal, intranet, memo secara formal dan lain lain, Klein
(1994) menyatakan komunikasi secara langsung adalah cara yang paling efektif.
Sedangkan menurut Brewer (1995), pekerja lebih merasakan efektivitas komunikasi
melalui berita-berita singkat (newsletter). Komunikasi internal yang efektif mampu
meningkatkan kepuasan kerja, moral, komitmen dan sebagai konsekwensinya akan
memberikan pengaruh yang lebih besar bagi kinerja organisasi (Lievens, Monenaert,
S’Jegers, 1997; Sprague & Brocco, 2002). Komunikasi sangat berperan dalam
membangun mobilisasi dan komitmen karyawan dalam implementasi TQM, sehingga
dapat dikatakan salah satu faktor keberhasilan pencapaian kinerja TQM organisasi adalah
fondasi komunikasi internal organisasi yang baik.

2.4 TQM dalam Perspektif Stratejik dan RBV


Organisasi biasanya mengatur praktek SDM dalam sistem yang sesuai dengan budaya
mereka dan strategi bisnis mereka (Osterman, 1987; Block, Kleiner, Roomkin &
Salsburg, 1987). Seperangkat terpadu (bundles) praktek SDM adalah kombinasi dari
praktek-praktek strategi bisnis yang dikaitkan dengan SDM dan budaya perusahaan,
sehingga bukan praktek secara terpisah, yang akan membentuk pola interaksi antara dan
diantara manajer dan karyawan (Cutcher-Gershenfeld, 1991). Selain itu, dikatakan bahwa
penelitian yang terfokus pada dampak praktek SDM individual pada kinerja organisasi
mungkin menghasilkan bukti empiris yang kurang tepat, mengingat sebuah praktek
tunggal SDM akan dipengaruhi dari sistem SDM keseluruhan (Ichniowski, Shaw &
Prennushi, 1993).

Pendekatan paling baru saat ini adalah yang dikembangkan oleh Paauwe dan Boselie
(2002). Paauwe dan Boselie mencoba mengembangkan konsep yang lebih sepesifik yang
diturunkan dari RBV (resource-based view), yang disebutnya sebagai Human Resource-
based Theory of the Firm. Wright dkk (1994) dan Paauwe (1994) menyatakan bahwa
sumber daya manusia stratejik memiliki asumsi dan kriteria sesuai dengan teori RBV
(resource-based view), dimana memiliki nilai (value), langka (rare), sukar ditiru
(inimitability) dan tidak tergantikan (non-substitution). Wright dkk (1994) menyatakan
relevansinya penggunaan teori RBV, karena lebih spesifik dalam menjelaskan
manajemen sumber daya manusia stratejik. Paauwe mengajukan sebuah konsep yang
disebutnya sebagai Human Resource-based Theory of the Firm. Model tersebut berusaha
mengakomodasi elemen-elemen pendekatan kontijensi dan konfigurasional (Delery &
Doty, 1996), institutionalism (Dimagio & Powell, 1983) dan juga terinspirasi dengan
model pendekatan Harvard (Beer dkk, 1984).

Di dalam model Pauwee, Total Quality Management (TQM) merupakan kebutuhan


mutlak dan dapat berperan di dalam mendorong pencapaian efisiensi, efektivitas,
fleksibilitas, kualitas, inovasi dan kecepatan yang akan mendorong kinerja organisasi
unggulan. Dimensi MSDM memiliki peranan yang sangat penting dalam pencapaian
kinerja unggulan TQM dengan berfokus pada aspek-aspek yang ”soft” (Wilkinson dkk,
1996). Faktor-faktor yang dominan dan berpengaruh tersebut misalnya: supervisory
styles, sistem kompensasi, keterlibatan karyawan, kerja tim, sumbang saran, interaksi
manajerial dan budaya perusahaan.

Anda mungkin juga menyukai