Anda di halaman 1dari 3

Suatu hari, tiba-tiba saya teringat sebuah iklan TV di masa saya masih duduk di bangku SMP.

Kalau
nggak salah ingat, iklan ini muncul di bulan Ramadan. Iklannya sederhana, singkat, tapi bagi saya
pesannya mendalam.

Sayang, saya nggak berhasil sama sekali mengingat tentang apa iklan ini. Walhasil, pencarian saya
di mesin pencari Google pun berbuah nihil.

Dengan kesan gloomy, karena diiringi nuansa hujan turun, flow adegan yang lambat, dan alunan
musik latar yang mendayu-dayu, iklan layanan masyarakat ini berusaha menggelitik kita, tentang
sesuatu yang hilang dari diri kita.

Tepo seliro. Hal inilah, yang menurut iklan TV tersebut, yang sudah hilang dari diri kita. Seperti yang
saya lampirkan di awal posting ini, tepo seliro, atau dalam bahasa Indonesia menjadi 'tepa selira',
adalah kemampuan merasakan apa yang orang lain rasakan. Lebih tepatnya lagi, kemampuan
memperkirakan apa yang kira-kira orang lain pikir/ rasakan.

Dalam bahasa modernnya yang lebih mudah kita pahami, tepo seliro dikenal dengan istilah empati.

Kenapa saya sebut kemampuan 'memperkirakan'? Karena memang sebetulnya nggak ada manusia
di dunia ini yang bisa menjadi mind reader. Nggak ada itu yang namanya kemampuan macam yang
dimiliki Prof Charles Xavier di X-Men. Yang ada hanyalah, tebak-tebakan kita atas apa yang orang
lain pikir/ rasakan dengan menganalisa tanda-tanda yang orang lain tunjukkan. Seperti mimik,
gestur, dan bahasa verbal yang digunakan.
Saya setuju dengan pesan moral di iklan TV yang saya lihat di masa saya SMP dulu. Rasa atau
kemampuan tepo seliro kita sudah - sedikit demi sedikit - memudar. Sebabnya banyak, yang -
menurut saya - didominasi oleh hidup yang semakin materialistis. Kita terlalu sibuk mengejar
kebendaan, larut dalam aktivitas ini, dan lupa mengasah keahlian yang sudah diturunkan oleh
leluhur kita.

Kita lupa ber-tepo seliro di jalan. Pengendara motor slonong boy semaunya menarik gas dan
meliuk-liuk di antara barisan mobil. Terobos lampu merah atau perempatan tanpa mengindahkan
penghuni jalan raya lainnya. Pun begitu juga pengemudi mobil. Berpindah jalur seenaknya hingga
menyalip tanpa aba-aba lampu sein terlebih dahulu.

Kita juga lupa ber-tepo seliro dalam beragama. Yang mayoritas mengganggap semua lahan adalah
miliknya, mau berbuat apapun harus izin dirinya, dan perbuatan apapun yang dilakukan minoritas
dicurigai sebagai ancaman pada kaumnya. Yang minoritas pun nggak mau kalah. Main kucing-
kucingan lewat belakang hingga nekat melakukan hal-hal yang sudah dilarang.

Kita juga ogah ber-tepo seliro pada perbedaan kita. Kita lebih sering minta hak kita tapi lupa hak kita
sejatinya juga berkaitan dengan hak orang lain. Kita lebih sering berteriak keras, lengkap dengan
makian, dan merasa yang berhak jadi korban, saat kesialan menimpa kita. Dan, saat terdesak,
nama toleransi yang kita kibarkan.

Yang paling perih, para pemimpin kita pun nampak jengah ber-tepo seliro. Mereka lebih sering
mengedepankan kepentingan pribadi atau golongannya ketimbang memikirkan rakyatnya.
Belakangan, rakyat yang mulai melek politik melalui terpaan social media pun mereka buat gamang,
soal siapa yang benar dan mana yang salah, atau siapa yang harus diikuti dan mana yang harus
dibenci.

Yah, kasus teranyar dari pemimpin kita yang nggak ber-tepo seliro jelas, kok. Seorang Fadli
Zon yang lebih memilih memanjakan anaknya saat berkunjung ke Amrik, ketimbang memikirkan
perasaan rakyatnya.

Alih-alih ber-tepo seliro, kita sekarang lebih suka melatih kemampuan saling curiga. Ada
motor ngebut, kita curiga motor tersebut mau menghadang kita. Ada mobil berbaris nggak rata di
perempatan lampu merah, kita curiga pengemudinya bejat. Dan, sejuta kecurigaan lainnya.

Sebenarnya, kita nggak perlu mengumandangkan dalih agama tertentu untuk berbuat baik. Warisan
leluhur kita ini sudah cukup untuk membuat Indonesia terbukti sebagai negara yang penuh ramah-
tamah dan bagai mutiara, seperti yang didengung-dengungkan para sastrawan hingga seniman.

Coba, seandainya pemotor mau ber-tepo seliro pada penghuni jalan raya lainnya, mereka pasti
akan memikirkan kaget dan paniknya pengendara mobil saat tiba-tiba ada motor memotong
jalannya. Begitu pula pengemudi mobil. Mereka pasti akan memikirkan kesalnya pemotor saat mobil
nggak berbaris rapi di kemacetan dan membuat jalan mereka terhambat.

Begitu pula soal kehidupan beragama. Seandainya setiap pemeluk agama saling ber-tepo seliro,
niscaya yang muncul adalah rasa saling menghormati. Kita ambil contoh soal kasus Warung Bu Eni
yang dirazia karena beroperasi di tengah hari di bulan Ramadan. (tulisan saya lainnya tentang Bu
Eni)

Seandainya Bu Eni memiliki rasa tepo seliro, dia akan semaksimal mungkin melakukan filterisasi
konsumennya. Mulai dari menutupi setengah jendela warungnya dengan kain, menutup pintu
warungnya, bahkan kalau perlu dia menanyakan dulu ke calon pembeli perihal status puasanya.

Yang beli pun harus ber-tepo seliro. Pertama, tepo seliro ke Bu Eni dengan paham kalau Bu Eni
pasti kesulitan berjualan kala Ramadan. Maka, tak mengapa kalau mereka harus makan dalam
kondisi temaram, tertutup, bahkan ditanya-tanya perihal status puasanya. Mereka juga harus tepo
seliro pada orang yang berpuasa dengan nggak mengumbar makanan atau minuman yang mereka
makan di depan yang berpuasa.

Yang puasa pun harus ikut ber-tepo seliro. Paham bahwa Bu Eni butuh uang, paham kalau ada
orang yang nggak berpuasa dan kelaparan, paham bahwa puasa itu bukan hal yang bisa
dipaksakan.

Terakhir, pemilik media juga harus ber-tepo seliro pada pembacanya. Paham bahwa nggak semua
pembaca itu pintar dan bisa bijak menyikapi masalah. Bahkan, pemilik media abal-abal juga harus
paham tentang efek berita sumir yang mereka tulis bisa mengakibatkan perpecahan di masyarakat
Indonesia.

Ah, membaca uraian saya di atas, kok, saya sendiri ikut merasa pesimis kondisi ber-tepo seliro ini
bisa terwujud yah. Bagai jauh panggang dari api. Nggak heran, deh, kalau iklan TV yang saya
tonton saat saya masih SMP dulu nuansanya gloomy. Saya yakin, pembuatnya pun dilingkupi rasa
pesimis bahwa bangsa yang penuh nilai-nilai luhur ini kembali bisa menjadi mutiara mutu manikam
di khatulistiwa.

Kalau Anda, bagaimana?

Anda mungkin juga menyukai