Anda di halaman 1dari 3

BUDAYA ANTRI INDONESIA

Orang Indonesia tidak terbiasa dengan budaya antri. Entah mengapa,


masyarakat yang kerap disebut sebagai bangsa yang santun ini seolah
tidak mengerti apa yang dirasakan orang lain. Tidak ada empati. Orang
Indonesia

hanya

akan

antri,

kalau

sudah

dipaksa

dalam

sistem.

Contohnya, antrian di Bank dengan sistem karcis. Hal-hal sederhana


seperti berjalan di sebelah kiri, terutama jika berjalan dalam rombongan.
Seringkali kita terhenti di gang atau trotoar ketika berpapasan dengan
satu grup remaja atau orang dewasa. Mereka tidak merasa bersalah telah
menghabiskan jatah orang lain.
Antri adalah kebudayaan. Kebudayaan diwariskan dari satu generasi ke
generasi berikutnya melalui perilaku sehari-hari generasi yang lebih tua.
Jadi generasi berikutnya (anak-anak) hanya meniru. Dalam kebudayaan
asli kita hampir tidak ada antri. Yang didahulukan itu adalah yang lebih
tua, yang lebih terhormat atau yang lebih kuat. Bukan yang datang
duluan. Yang lebih muda, tidak punya pangkat, lebih lemah dan lebih
miskin, harus mengalah. Ini ciri kebudayaan feodal, di mana ada juragan
(pamong, bangsawan, hartawan, bos dan tentara) di satu pihak dan ada
wong cilik (kawula, buruh, abdi, kuli, hamba dan budak) di pihak yang lain.
Nih bayangin, kalo Anda lagi ngantri karcis di bioskop. Tau-tau datang SBY
dan isterinya mau beli karcis di tempat yang sama. Saya pastikan, semua
orang akan ngasih tempat sama mereka. Dan SBY pasti mau aja nyerobot
giliran orang lain. Bagaimana dengan Anda? Mengalahkah Anda? Mereka
semua itu berjiwa feodal. Kalau kuat nginjek, kalau lemah ngejilat.
Antri itu adalah tindakan yang mulia. Dengan mengantri berarti kita
menghargai manusia lain setara dengan diri kita sendiri. Antri adalah
persoalan

menghargai

keadilan.

Dengan

menyerobot

berarti

kita

menganggap kepentingan orang lain lebih rendah daripada kepentingan


kita. Sifat ini adalah pangkal dari ketidakadilan yang lebih luas termasukn
berbagai

bentuk

korupsi.

Hal ini mungkin sudah jadi ciri bangsa ini yang tidak mau tertib & teratur
dan juga tidak tahu malu. Budaya Antri sudah tidak dikenal lagi di

Indonesia , hanya orang - orang yang tahu etika dan beradab yang masih
memakanya. Kenyataan yang jelek bahwa orang Indonesia masih sering
mau menang sendiri dan tidak peduli dengan orang lain apalagi di kotakota besar yang sangat padat dan sudah semakin individualis. Apakah
sebab orang kita dikenal tidak dapat berdisiplin untuk antri? Pertama
tentu karena kesadaran bermasyarakatnya kurang. Kedua, karena rasa
ego yang berlebihan dan ingin cepat dan enak sendiri. Ketiga, karena
bangsa Indonesia terkenal luwes. Padahal syarat mutlak antrian dapat
tertib adalah rasa lugas itu. Yang dulu dilayani duluan, yang kemudian
menyusul. Istilah kerennya First In First Out (FIFO). Biar atasan harus
dilayani belakangan bila sang bawahan datang lebih awal. Antrian yang
lancar memang tak kenal tua-muda, pria-wanita atau kaya-miskin. Anti
diskriminasi. Yang terakhir, lebih aman kalau kita salahkan penjajah
Belanda yang tidak mendidik untuk membiasakan bangsa Indonesia
berantri.
Jalan keluar satu-satunya adalah pendidikan bangsa. Masyarakat harus
dipameri bahwa dengan tertib berantri, segala urusan akan lebih cepat
beres. Kebiasaan untuk berdisiplin antri harus dicanangkan dan sarana
untuk antri harus disediakan di setiap tempat umum. Lengkap dengan
segala sangsinya. Di sekolah-sekolah sejak Taman Kanak-kanak hingga
Perguruan Tinggi perlu ditanamkan bahwa antri adalah suatu kebiasaan
yang harus keluar secara spontan. Cara berebut dan main sodok dianggap
tabu. Dan yang penting rasa paling-kuasa, paling-penting, paling-kuat
atau paling-layak diprioritaskan mesti sedikit demi sedikit dikikis habis.
Kalau perlu dengan menempel stiker-stiker I Love Antri seperti model
anak gaul mengagungkan grup band favoritnya. Antri bukan untuk
mempersulit atau memperlama pelayanan tetapi justru memperlancar.
Solusinya? Banyak cara, tapi yg paling efektif menurut saya harus
dibuatkan jalur untuk orang antri sehingga dia tahu bahwa dia seharusnya
antri dikala sudah semakin banyak orang menunggu. Solusinya: Selama
10 tahun ke depan, setiap hari di setiap kelas, di semua jenis sekolah dan
universitas, juga di semua gereja dan mesjid pada setiap kesempatan
khotbah, harus diajarkan apa itu ngantri. Para kepala kantor pemerintah

dan

swasta,

jenderal,

menteri

dan

kepala

mengingatkan ini pada setiap kesempatan upacara.

daerah/desa

harus

Anda mungkin juga menyukai