Anda di halaman 1dari 25

ASUHAN KEPERAWATAN PADA NY.

S DENGAN IMPLANT
FAILURE POST ORIF ANKLE

Disusun Oleh:

Wiresti Desta Eliyana, AMd.Kep


Rahmad Kurniawan, AMd.Kep

BASIC SKILL COURSE OPERATING ROOM NURSES


2019

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena berkat rahmat, hidayah dan karunia-
Nya maka penulis dapat menyelesaikan tugas soca dengan judul “asuhan keperawatan pada
ny. s dengan implant failure post orif ankle” pada kegiatan pelatihan basic skill course
operating room nurses. Penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih banyak
terdapat kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan, hal ini dikarenakan keterbatasan
kemampuan yang penulis miliki.

Atas segala kekurangan dan ketidaksempurnaan makalah ini, penulis sangat mengharapkan
saran yang bersifat membangun kearah perbaikan dan penyempurnaan makalah ini. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi rekan-rekan peserta pelatihan basic skill course operating
room nurses.

Jember, Oktober 2019


Penulis

2
DAFTAR ISI

ASUHAN KEPERAWATAN PADA NY. S DENGAN IMPLANT FAILURE POST ORIF ANKLE.......1
KATA PENGANTAR.............................................................................................................................2
DAFTAR ISI..........................................................................................................................................3
BAB 1. PENDAHULUAN....................................................................................................................4
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA............................................................................................................6
A. Anatomi Ankle...........................................................................................................................6

B. Konsep Fraktur...........................................................................................................................8

C. Implant Failure.........................................................................................................................12

BAB 3. ASUHAN KEPERAWATAN..................................................................................................16


A. Pengkajian................................................................................................................................16

B. Diagnosa Keperawatan.............................................................................................................18

C. Dampak Implant Failure Post Orif Ankle terhadap Kebutuhan Dasar Manusia.......................22

D. Rencana Tindakan....................................................................................................................22

BAB 4. KESIMPULAN SARAN........................................................................................................25


DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................................26

3
BAB 1. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ankle dan kaki merupakan struktur komplek yang terdiri dari 28 tulang dan 55 artikulasi
yang dihubungkan dengan ligamen dan otot. Ankle merupakan sendi yang menopang
beban tubuh terbesar pada permukaannya. Sendi dan ligamen berperan sebagai
stabilitator untuk melawan gaya dan menyesuaikan ketika aktifitas menahan beban agar
tetap stabil. Ketika ankle mengali fraktur akibat benturan atau kondisi lain yang
menyebabkan cidera ankle, maka akan mempengaruhi kemampuan dalam menopang
beban tubuh seseorang.

Penanganan fraktur tulang umumnya dilakukan dengan metode konservatif atau operasi.
Keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan satu sama lain. Metode konservatif
memiliki kelemahan kekakuan sendi, persatuan non-union, malunion, tekanan,
osteopenia regional dan atrofi yang tidak digunakan pada ekstremitas. Di sisi lain
pengurangan dan fiksasi internal memberikan stabilitas segera dan mobilitas pasca
operasi atau setidaknya latihan aktif dan pasif dari anggota badan yang dioperasikan dan
menghindari semua komplikasi pengobatan konservatif. Metode operatif memiliki
kekurangan kehilangan darah, cedera neurovaskular, infeksi, kegagalan non-union dan
implan.

Penggunaan implan dibedah orthopaedi secara umum digunakan untuk fiksasi fraktur,
rekonstruksi patah tulang yang tidak menyambung (non union), pergantian persendian.
Tujuan utama dari pengunaan implan adalah stabilisasi secara mekanik sehingga fungsi
tulang dan persendian yang optimal dapat tercapai. Implantasi biomaterial umumnya
dengan mengunakan prosedur pembedahan. Biomaterial yang saat ini banyak digunakan
di bidang bedah orthopaedi adalah stainless steel, titanium murni dan titanium alloy.
Implan yang digunakan untuk osteosintesis harus mempunyai sifat-sifat inert atau
sesuatu yang sangat kecil efek sampingnya sehingga respon tubuh minimal. Idealnya,
implan tersebut harus mempunyai properti biomekanik yang sesuai tanpa adanya suatu
efek samping. Untuk bahan-bahan yang dipergunakan sebagai implan mempunyai prinsip
prinsip yang harus diperhatikan seperti sifat corrosion resistance, biocompatibility,

4
biofunctionality, osseointegration. Implantasi implan pada tulang dapat menyebabkan
respon biologi lokal dan sistemik (Korkusuz et al., 2004).

Implan yang digunakanakan terkadang memberikan respon berupa inflamasi yang


dihubungkan dengan reaktivasi makrofag. Pemahaman tentang reaksi benda asing sangat
penting, karena reaksi benda asing dapat berdampak pada biokompatibilitas dari
perangkat medis, yang ditanamkan dan secara signifikan dapat mempengaruhi respon
jaringan dalam waktu yang pendek dan jangka panjang. Sebagaimana telah diuraikan
sebelumnya, pemasangan implant dapat memberikan dampak atau efek samping lain
yang tidak diinginkan. Respon dari implan orthopaedi akan mempengaruhi fungsi dari
tulang atau sendi. Atas dasar uraian diatas penulis ingin menguraikan asuhan
keperawatan pada klien dengan implan failure ankle post orif.

B. Tujuan penulisan makalah


Makalah ini disusun untuk menjelaskan asuhan keperawatan pada pasien dengan implant
failure ankle post orif

5
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Ankle
Ankle tersusun oleh tulang, ligamen, tendon, dan jaringan penghubung. Susunan sendi
ankle terdiri atas distal tibia,fibula, dan superior talus. Ligamen anterior talofibular
sebagai stabilizer utama untuk bagian lateral mengungkapkan bahwa sendi ankle disusun
oleh tiga ligamen ankle yakni ligamen anterior talofibular ligamen, ligamen calcaneal
fibular dan ligamen posterior talofibular. Susunan sendi ankle dapat dilihat pada gambar
dibawah ini.

Gambar 2.1 Anatomi Ankle (Colbenson and McMahon, 2016).

Anterior talofibular ligament menahan inversi ketika plantar fleksi dan calcaneofibular
ligament ketika dorsifleksi (Pada saat dorsifleksi anterior talofibular ligament tegang
dancalcaneofibular ligament renggang, sedangkan plantarfleksi terjadi sebaliknya).
Calcaneofibular ligament lebih tebal secara struktur, lebih kuat dibandingkan anterior
talofibular ligament, dan berfungsi pula untuk mencegah adduksi pada posisi netral
dan posisi dorsifleksi. Selain itu, karena calcaneofibular ligament terbentang dari
lateral ankle joint sampai subtalar joint, ligamen ini berkontribusi terhadap stabilitas
untuk sendi ankle dan subtalar. Posterior talofibular ligament merupakan ligamen yang

6
paling kuat diantara ketiga ligamen di lateral.Ligamen ini mengalami tekanan paling
kuat ketika dorsifleksi dan berfungsi membatasi posterior talar displacement dalam
mortise dan rotasi eksterna dari talus. Apabila terdapat disrupsi pada anterior talofibular
ligament dan calcaneofibular ligament, posterior talofibular ligament berfungsi
membatasi rotasi interna dan aduksi pergelangan kaki ketika dorsifleksi.

1. Innervasi, Otot dan Pergerakan Sendi Pergelangan Kaki


Persarafan pergelangan kaki berasal dari plexus lumbalis dan plexus sacralis.
Persarafan otot yang berfungsi mengontrol pergerakan pergelangan kaki berasal dari
n. tibialis, n. fibularis profundus dan n. fibularis superficialis. Sedangkan saraf
sensorisnya berasal dari n. suralis dan n. saphenus. Selain ligamentum, otot juga
memiliki peranan dalam menjaga stabilitas sendi.

Pada pergelangan kaki, m. fibularis longus dan m. fibularis brevis berfungsi


mengontrol gerakan supinasi dan menjaga dari timbulnya sprain pada
pergelangan kaki. Selain kedua otot tersebut, otot pada bagian anterior tungkai bawah
seperti m. tibialis anterior, m. extensor digitorum longus, m. extensor digitorum
brevis dan m. fibularis tertius juga berperan mencegah terjadinya sprain dengan
berkontraksi saat terjadi gerakan supinasi, sehingga otot dapat memperlambat gerakan
plantar- fleksi pada gerakan supinasi dan cedera dapat dihindari. Berikut ini beberapa
dari penjabaran otot yang fungsinya berkaitan dengan pergerakan sendi pergelangan
kaki:

a. m. tibialis anterior

Terletak sepanjang permukaan anterior tibia dari condylus lateralis hingga


bagian medial dari bagian tarsometatarsal. Setelah sampai duapertiganya otot ini
merupakan tendo. Origonya berada pada tibia dan membrana interossea,
sedangkan insersionya berada pada os.metatarsal I. Otot ini dipersarafi oleh n.
fibularis profundus dan berfungsi melakukan dorsofleksi dan supinasi kaki.

b. m. extensor digitorum longus

Terletak disebelah lateral m. tibialis anterior pada bagian proximalnya dan m.


extensor hallucis longus di bagian distal. Origonya pada tibia dan membrana
interossea, berinsersio pada phalanx medial dan distal digitorum II-V, dipersarafi
oleh n. fibularis profundus. Fungsinya untuk dorsofleksi dan abduksi.

7
c. m. extensor hallucis longus

Bagian proximalnya terletak dibawah m. tibialis anterior dan m. extensor


digitorum longus, lalu pada bagian tengahnya berada di antara kedua otot tersebut
hingga akhirnya pada bagian distal terletak di superfisial. Berorigo pada
fibula dan membrana interossea, berinsersio pada phalanx distalis digiti I.
Dipersarafi oleh n. fibularis posterior dan berfungsi untuk dorsofleksi.

2. Persendian Pada Ankle Dan Foot


Trochlea tali terjepit diantara kedua malleoli, tetapi sendi ini merupakan sendi yang
flexible. Menurut bentuk facies articularis sendi ini merupakan articulatio
trochlearis. Axis gerak adalah axis transversal yang melewati kedua malleoli.
Gerakan yang terjadi adalah fleksi (dorsofleksi) dan ekstensi (plantarfleksi).
Trochlea tali pada bagian distal (anterior) lebih lebar, sehingga pada waktu
ekstensi malleolus lateralis agak terpisah dari tibia, dan ligamentum antara kedua
tulang menjadi tegang. Capsula articularis pada sendi ini di sebelah depan dan
belakang longgar sehingga memungkinkan fleksi dan ekstensi. Capsula articularis
diperkuat oleh ligamentum yang berfungsi sebagai ligamentum collaterale. Saat
berjalan gaya berat menarik tungkai bawah ke depan, untuk mencegahnya
articulatio talocruralis mempunyai susunan khusus. Penampang lintang trochlea
tali lebih besar pada bagian depan, kedua malleoli tidak terletak tepat disamping
trochlea tetapi sedikit dibelakang. Sehingga trochlea tali yang merupakan ossa
sesamoidea ini tidak bergeser ke belakang. Gerakan lain yaitu bergesernya kaki
terhadap tungkai bawah dihalangi oleh oleh susunan ligamentum dari tibia atau
fibula yang berjalan ke arah belakang melekat pada talus atau calcaneus. Susunan
lain yang juga menjaga gerakan sendi ini adalah ujung distal tibia yang mempunyai
perluasan ke bawah pada bagian posteriornya serta ligamentum tibiofibularis
posterior yang terletak pada lekuk sendi di posterior trochlea tali kedua susunan ini
mencegah bergesernya tungkai bawah ke depan.

B. Konsep Fraktur
1. Definisi Fraktur
Fraktur adalah rusaknya kontinuitas dari struktur tulang, tulang rawan dan lempeng
pertumbuhan yang disebabkan oleh trauma dan non trauma. Tidak hanya keretakan

8
atau terpisahnya korteks, kejadian fraktur lebih sering mengakibatkan kerusakan
yang komplit dan fragmen tulang terpisah. Tulang relatif rapuh, namun memiliki
kekuatan dan kelenturan untuk menahan tekanan. Fraktur dapat diakibatkan oleh
cedera stress yang berulang, kelemahan tulang yang abnormal atau disebut juga
fraktur patologis.

2. Klasifikasi Fraktur
Secara klinis, fraktur dibagi menurut ada tidaknya hubungan patahan tulang dengan
dunia luar, yaitu fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Fraktur tulang terbuka dibagi
menjadi tiga derajat yang ditentukan oleh berat ringannya luka dan fraktur yang
terjadi, seperti yang dijelaskan pada tabel dibawah ini.

Tabel 1. Derajat fraktur terbuka menurut Gustillo


Derajat Luka Fraktur
I Laserasi <1 cm kerusakan Sederhana, dislokasi
jaringan tidak berarti relatif fragen minimal
bersih
I Laserasi >1cm tidak ada Dislokasi fragmen jelas
I kerusakan jaringan yang
hebat atau avulsi, ada
kontaminasi
II Luka lebar dan rusak hebat Kominutif, segmental,
I atau hilangnya jaringan fragmen tulang ada
disekitarnya. Kontaminasi yang hilang
hebat

Fraktur sangat bervariasi dari segi klinis, namun untuk alasan praktis, fraktur
dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu :

a. Complete fractures
Tulang terbagi menjadi dua atau lebih fragmen. Patahan fraktur yang dilihat
secara radiologi dapat membantu untuk memprediksi tindakan yang harus
dilakukan setelah melakukan reduksi. Pada fraktur transversal (gambar 1a),
fragmen tetap pada tempatnya setelah reduksi, sedangkan pada oblik atau
spiral (gambar 1c) lebih cenderung memendek dan terjadi pergeseran
meskipun tulang telah dibidai. Fraktur segmental (gambar 1b) membagi
tulang menjadi 3 bagian. Pada fraktur impaksi fragmen menumpuk saling
tumpang tindih dan garis fraktur tidak jelas. Pada raktur kominutif
terdapat lebih dari dua fragmen, karena kurang menyatunya permukaan
fraktur yang membuat tidak stabil.

9
b. Incomplete fractures
Pada fraktur ini, tulang tidak terbagi seutuhnya dan terdapat kontinuitas
periosteum. Pada fraktur buckle, bagian yang mengalami fraktur hampir
tidak terlihat (gambar 1d). Pada fraktur greenstick (gambar 1e dan 1f), tulang
melengkung atau bengkok seperti ranting yang retak. Hal ini dapat terlihat
pada anak‒anak, yang tulangnya lebih elastis daripada orang dewasa. Pada
fraktur kompresi terlihat tulang spongiosa tertekan kedalam.

(a) (b) (c) (d) (e) (f)

Gambar 1. Variasi fraktur. Keterangan : Complete fractures: (a) transversal;


(b) segmental; (c) spiral. Incomplete fractures: (d) fraktur buckle; (e, f)
fraktur greenstick.

3. Proses Penyembuhan Fraktur


Penyembuhan fraktur umumnya dilakukan dengan cara imobilisasi. Akan tetapi,
penyembuhan fraktur alamiah dengan kalus dan pembentukan kalus berespon
terhadap pergerakan bukan terhadap pembidaian. Pada umumnya fraktur dilakukan
pembidaian hal ini dilakukan tidak untuk menjamin penyatuan tulang namun untuk
meringankan nyeri dan menjamin penyatuan tulas pada posisi yang benar dan
mempercepat pergerakan tubuh dan pengembalian fungsi.

Fraktur disembuhkan dengan proses perkembangan yang melibatkan pembentukan


fibrokartilago dan aktivitas osteogenik dari sel tulang utama. Fraktur merusak
pembuluh darah yang menyebabkan sel tulang terdekat mati. Pembekuan darah
dibuang bersamaan dengan debris jaringan oleh makrofag dan matriks yang rusak,
tulang yang bebas dari sel di resorpsi oleh osteoklas.

a. Penyembuhan dengan kalus


10
Proses ini adalah bentuk alamiah dari penyembuhan fraktur pada tulang tubular
tanpa fiksasi, proses ini terdiri dari lima fase, yaitu destruksi jaringan dan
pembentukan hematom, inflamasi dan proliferasi selular, pembentukan kalus,
konsolidasi, remodeling.

1) Destruksi jaringan dan pembentukan hematom


Pembuluh darah robek dan terjadi pembentukan hematom disekitar
fraktur. Tulang pada permukaan yang patah, kehilangan asupan darah, dan
mati.

2) Inflamasi dan proliferasi selular


Dalam 8 jam, fraktur mengalami reaksi inflamasi akut dengan migrasi sel
inflamatorik dan inisiasi proliferasi dan diferensiasi dari stem sel
mesenkimal dari periosteum menembus kanal medular dan sekitar otot.
Sejumlah besar mediator inflamasi seperti sitokin dan beberapa faktor
pertumbuhan dilibatkan. Selanjutnya bekuan darah hematom diabsorbsi
perlahan dan membentuk kapiler baru pada area tersebut.

3) Pembentukan kalus
Diferensiasi stem sel menyediakan sejumlah sel kondrogenik dan
osteogenik. Pada kondisi yang tepat mereka akan mulai membentuk tulang
dan pada beberapa kasus, juga membentuk kartilago. Di sejumlah sel ini
terdapat osteoklas yang siap membersihkan tulang yang mati. Massa
seluler yang tebal bersama pulau‒pulau tulang imatur dan kartilago,
membentuk kalus atau rangka pada permukaan periosteum dan
endosteum. Saat anyaman tulang yang imatur termineralisasi menjadi
lebih keras, pergerakan pada lokasi fraktur menurunkan progresivitas dan
fraktur menyatu dalam 4 minggu setelah cidera.

4) Konsolidasi
Tulang anyaman terbentuk menjadi tulang lamelar dengan aktivitas
osteoklas dan osteoblas yang kontinyu. Osteoklas pada proses ini melakukan
pelubangan melalui debris pada garis fraktur, dan menutup kembali jaringan
tersebut. Osteoblas mengisi ruang yang tersisa antara fragmen dan tulang
baru. Proses ini berjalan lambat sebelum tulang cukup kuat untuk menopang
beban dengan normal.

11
5) Remodeling
Fraktur telah dijembatani dengan lapisan tulang yang solid. Pada beberapa
bulan atau bahkan tahun, dilakukan pembentukkan ulang atau reshaped
dengan proses yang kontinu dari resorpsi dan pembentukan tulang.

Gambar 2. Proses penyembuhan fraktur

C. Implant Failure
Insidensi fraktur ankle terutama pada lansia seringkali menimbulkan beberapa
komplikasi. Saat ini, fraktur ankle biasanya dirawat secara operatif. Seiring dengan
adanya fraktur ankle yang semakin kompleks, jumlah komplikasi cenderung meningkat
secara proporsional. Salah satu komplikasi tersebut adalah kegagalan implan (implant
failure). Penilaian obyektif mengenai keadaan yang tepat yang menyebabkan kegagalan
implan diperlukan untuk mencegah komplikasi pada salah satu tulang yang menjadi
bantalan utama tubuh.

Beberapa penyebab kegagalan implan (implant failure) berkaitan dengan kualitas implan,
pengalaman ahli bedah ortopedi dan kepatuhan terhadap prinsip AO, pemilihan jenis
implan yang tepat untuk tipe fraktur dan perawatan pasca operasi khusus pada weight
bearing pada operasi tungkai bawah dan adanya penyakit penyerta yang mempengaruhi
proses penyembuhan luka operasi, seperti penyakit DM . Kegagalan implan (implant
failure) juga seringkali disebabkan oleh kombinasi dari beberapa penyebab seperti
perawatan pasca operasi yang kurang tepat, komplikasi terhadap penyakit penyerta serta
pemilihan implant kurang tepat.

Pasien dengan kegagalan implan (implant failure) biasanya datang dengan rasa sakit dan
kelainan pada anggota badan yang telah dioperasi, atau mungkin tidak terkait dengan
trauma terakhir. Peran dari bagian bedah ortopedi sangat penting dalam identifikasi

12
kegagalan implan, penggunaan sumber daya yang tepat untuk mengatasi masalah medis
terkait kegagalannya, dan dalam mendidik pasien mengenai risiko dan manfaat perangkat
implan dan operasi revisi.

Pasien dengan atau tanpa gejala langsung dan temuan fisik kegagalan implan akan
meminta saran dari bagian bedah ortopedi mengenai penggantian implan. Tenaga
kesehatan, teruma yang ada di bagian bedah ortopedi harus melakukan diskusi dengan
pasien/keluarga tentang risiko rasa sakit, cacat tubuh, morbiditas, dan mortalitas yang
terkait dengan implan dan dengan operasi revisi/ulang. Operasi ulang terbukti sebagai
pilihan terbaik bagi pasien yang mengalami implant failure, terutama yang disertai nyeri
kronis akibat kegagalan implan, atau gangguan fungsi secara negatif oleh kegagalan
implan tersebut. Keselamatan pasien menjadi prioritas tertinggi dalam kasus implant
failure sehingga perawatan harus dilakukan untuk memastikan kegagalan perangkat saat
mempertimbangkan operasi revisi sebagai pilihan pengobatan. Risiko operasi ulang
adalah penting dan harus dinilai dengan hati-hati dan didiskusikan dengan pasien
sebelum perawatan diberikan.

Implantasi alat dalam tubuh dapat menyebabkan infeksi yang mungkin terjadi selama
proses perawat pasca operasi. Kegagalan implan (implant failure) karena adanya infeksi
menyebabkan operasi tambahan dan pengangkatan implan. Operasi revisi/ulang menjadi
tantangan karena perbaikan jaringan yang rusak dan pengambilan implan merupakan
pekerjaan yang cukup rumit.

1. Kegagalan Pasca Pemasangan Implan

Penyebab-penyebabnya implant failure pasca pemasangan implan:


a. Kegagalan karena faktor sistemik
Beberapa faktor sistemik yang dapat menyebabkan implant failure adalah:
1) Jika pasien menderita penyakit sistemik (seperti Diabetes Melitus)
2) Penyakit sistemik lain yang sudah ada sebelum pemasangan implant

3) Adanya resorpsi tulang alveolar yang progresif.

Bagaimana jika pasien memiliki resiko terjadinya implant failure, terutama pada
pasien dengan penyakit penyerta berupa gangguan sistemik, diantaranya :
1) Penyakit sistemik harus di kontrol dan diobati
2) Memilih implant system yang ideal untuk jaringan tersebut.

b. Kegagalan karena komplikasi akibat pembedahan

13
Implant surgery adalah prosedur invasif dan tindakan pencegahan untuk menjaga
kondisi aseptik harus dipertahankan. Faktor-faktor yang mempengaruhi
penyembuhan dapat mengakibatkan kegagalan dari implant tersebut dan akan
menyebabkan tulang pada surgical site tersebut menjadi berkurang.
c. Kegagalan karena komponen dari implan
1) Inadequate torque application: Torque adalah banyaknya gaya yang dibutuhkan
untuk mengencangkan implant tersebut. Jika tidak terdapat gaya yang cukup,
penanggulangannya adalah dengan melepas protesisnya, kemudian screw yang
sudah longgar tersebut di ambil dan diganti
2) Bentuk lengkung rahang: Bentuk lengkung rahang harus dipertahankan karena
memberikan splinting pada daerah yang berlawanan dan juga memberikan
keseimbangan pada protesa dalam hal melawan gaya mastikasi. Jika tidak dijaga,
dapat mengakibatkan screw attachment menjadi longgar dan fraktur dari struktur
tersebut.
Jika terjadi hal seperti ini, screw attachment yang sudah longgar harus diganti dan
kemudian protesa di sementasi ulang
3) Implant loss
4) Implant fracture: Didalam implant, abutment dan protesa menyambung dalam
implant dengan screws. Sistem ini didesain dengan screw bertindak sebagai stress
breaker sehingga melindungi implant tersebut. Penyebab dari fraktur adalah
kurangnya inter-maxilarry space dan besarnya beban pada implant. Dapat
ditanggulangi dengan menggunakan screw yang lebih besar.
5) Inaccurate framework-abutment interface: komponen protesa biasanya didesain
sehingga pertemuan antara abutment surface dan framework tepat. Jika tidak tepat
dapat menyebabkan screw menjadi longgar atau fraktur karena adanya tekanan
yang konstan pada komponen tersebut. Managements: removal, indexing, dan re-
soldering dari framework sampai benar-benar pas.
6) Framework fracture: Area fraktur yang umum terdapat pada solder joint dan
bagian distal dari implant yang paling distal (berfungsi sebagai cantilever dimana
gaya yang lebih cenderung terpusat).
Penanggulangannya adalah dengan re-indexed solder joint yang fraktur dan
kemudian di solder kembali.
d. Kegagalan karena kurangnya koordinasi dari pasien
Kerjasama dengan pasien berkaitan dengan proses perawatan pasca operasi sangat
penting, termasuk harus menjaga kebersihan diarea luka operasi. Motivasi dan follow
up juga diberikan kepada pasien.

14
BAB 3. ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Identitas Pasien
a. Nama Pasien : Ny. Sringatun
b. Tgl lahir/ Umur : 16-02-1952 / 67thn
c. Agama : Islam
d. Pendidikan : SD
e. Alamat : Kesilir, Wuluhan

15
f. No CM : 263940
g. Diagnosa Medis : Implant Failure Post Orif Ankle

2. Pre Operasi
a. Keluhan utama : Nyeri
b. Riwayat penyakit : √ DM Asma √ Jantung HIV Tidak
ada
c. Riwayat operasi : √ ada, orif ankle dextra tidak ada
d. Riwayat alergi : ada, sebutkan …………….. √ tidak ada
e. Jenis operasi : sedang
f. TTV : Suhu 36,2 0C, Nadi 72x/mnt, Respirasi 19x/mnt,
TD 132/83 mmHg.
g. ASA :2

h. Riwayat operasi : ORIF (Plate&Screw) hari ke 90hari (3bulan) tanggal

29/07-2019

Riwayat Psikososial/Spiritual
i. Status emosional :
√ Tenang □ Bingung □ Kooperatif □ Tidak kooperatif □ Menangis
j. Tingkat kecemasan :
□ Tidak cemas √ Cemas
k. Skala kecemasan
□ 0 = Tidak cemas
√ 1 = Mengungkapkan kerisauan .
□ 2 = tingkat perhatian tinggi
□ 3 = kerisauan tidak berfokus
□ 4 = respon simpati-adrenal
□ 5 = panik

l. Skala nyeri menurut VAS (visual analog scale) : Nyeri sedang 4-5

16
Tidak nyeri nyeri ringan nyeri sedang nyeri berat sangat nyeri tak tertahan
0.1 2-3 4-5 6-7 8-9 10
m. Pemeriksaan head to toe secara prioritas
Normal
Bagian Jika tidak, jelaskan
Ya Tidak
Kepala √
Leher √

Dada √

Abdomen √

Genitalia √

Integument √ Terdapat pus pada luka post op (pertama)

Ekstremitas √ Open implant ankle dextra

3. Intra Operasi
a. Anestesi dimulai jam : 11.45 wib
b. Pembedahan dimulai jam : 12.00 wib
c. Jenis anestesi : Spinal anestesi
d. Posisi operasi : Supine
e. Catatan anestesi : Pasien ASA 2, karena geriatric dan DM
f. Pemasangan alat-alat : EKG, Oksimetri, Oksigen
g. TTV : Suhu 35,8 0C, Nadi 68 x/mnt teraba kuat, RR 18 x/mnt
spontan, TD 128/78 mmHg, saturasi O2 99%.

4. Post Operasi
a. Pasien pindah ke : RR, Jam 13.00 WIB

b. Keluhan saat di RR : Menggigil

c. Keadaan umum : Sedang

d. TTV : Suhu 36 0C , Nadi 76 x/mnt, TD 127/81 mmHg, RR 18

x/mnt

e. Kesadaran : CM

17
B. Diagnosa Keperawatan

No Data Diagnosa Keperawatan


Pre Operasi
1 DS: Pasien mengatakan “kaki Nyeri b.d luka terbuka (Post Op pertama)
sebelah kanan saya terasa sakit”
“rentang nyeri yang saya rasakan
5”
DO: - ekspresi wajah pasien
terlihat meringis
- Dibagian post orif ankle
pasien terlihat implant
yang keluar
- Di sekitar Luka post op
pasien terdapat kemerahan
- Luas luka pasien kurang
lebih 10cm x 5cm
- Keluaran dari luka terdapat
pus , darah dan serosa
2 DS: pasien mengatakan “kaki saya Resiko infeksi b.d luka terbuka (post op
bengkak da nada nanahnya” pertama)

DO: - Terdapat pus dibagian luka


post op pasien
- Leukosit pasien 6,9 tgl 30-
10-2019
- Implant dibagian ankle
terbuka
3 DS: pasien mengatakan “saya Cemas b.d kurangnya pengetahuan
takut karrna akan dilakukan mengenai tindakan perioperatif
operasi lagi”

DO: - Ekspresi wajah pasien


tegang
- Pasien tidak berfokus pada
pertanyaan perawat
- Pasien terus menanyakan
apakah operasi akan
berhasil dan akan sembuh
- Verbalisasi pasien
meningkat

Intra Operasi
1 DS: pasien mengatakan “ saya Resiko hipotermi b.d tindakan perioperatif
kedinginan saat sedang operasi”

18
DO: - kulit pasien teraba dingin
- Kondisi suhu dikamar
operasi 190c
- Pasien menggunakan
selimut untuk menutupi
bagian ekstremitas atas
pasien
2 DS: - Resiko cidera positioning b.d tindakan
DO: -pasien sudah geriatric 67 perioperatif
tahun
- Posisi supine selama
kurang lebih 1.5 jam
- Saat melakukan antisepsis
bagian ekstremitas pasien
di posisikan ke atas.

Alur Perjalanan Operasi


1. Pasien datang dari ruangan Nusa Indah RSD dr.Soebandi ke ruang pre operasi.
2. Pasien diterima di ruang pre operasi dan akan dipindahkan ke ruang operasi.
3. Pasien diantar dari ruang pre operasi ke ruang operasi menggunakan brankart
4. Setibanya pasien di ruang operasi pasien di pindahkan dari brankart ke meja operasi
5. Di meja operasi pasien di pasang alat EKG, Oksimetri,Tensi,dan Oksigen.
6. Setelah pemasangan pasien siap untuk di induksi spinal
7. Setelah induksi selesai pasien di posisika dalam posisi supine
8. Sebelum di lakukan drapping dan proses antisepsis ekstremitas bawah kanan pasien di
bersihkan menggunakan Chlorhexidin Gluconat 4% untuk membersihkan pus di luka
post op pasien.
9. Setelah sudah bersih , makan perawat asisten 1 melakukan antisepsis dengan Povidone
Iodine 10%
10. Setelah di berikan antisepsis dilakukan drapping oleh perawat asisten 1 dan instrumen
1.
11. Pasien sudah dalam kondisi steril karena sudah dilakukan drapping dan antisepsis.
12. Sayatan Luka pertama
 Luka dibuka dengan mess pertama (handmess dengan ukuran mess 20)
 ambil large screw (baut besar) dengan menggunakan screwdriver
13. Sayatan Luka kedua
 Perawat instrumen memberikan mess pertama (handmess dengan ukuran mess
20) dan pinset cirrugis pada operator untuk dilakukan insisi

19
 Perawat instrumen memberikan canul section dan pinset cirrugis pada asisten
satu
 Lalu mess kedua (handmess dengan ukuran mess 10) untuk insisi kedua
 Kemudian jaringan disisihkan dengan clawhap oleh asisten satu
 Perawat instrumen memberikan gunting metsembung kepada operator untuk
memotong jaringan
 Untuk jaringan yang menempel akan dibersihkan / dilepas dengan
menggunakan rasparatorium sampai terlihat plate (besi) dan screw (baut)
 Berikan pada operator screwdriver untuk melepaskan small screw (baut kecil)
 Setelah luka dibuka dan screw (baut) baik yang large ataupun yang small
sudah terlepas semua, maka untuk jaringan yang kotor (terdapat pus)
dilakukan freshening(dipotong dan dibuang) dengan gunting metsembung
kemudian dikuret
 Setelah dilakukan kuret pada luka, lalu luka dibersihkan dengan cairan iodine
povidone 10% dan H2O2 (hydroxine peroxide 2%)
 Kemudian untuk pembersihan yang selanjutnya dengan menggunakan cairan
NaCl 1.000 ml
 Luka dikeringkan dengan menggunakan kasa steril
 Setelah luka kering dilakukan hecting pada lapisan fasia dengan menggunakan
benang absorble (PGA No. 1 dengan panjang 90 cm)
 Untuk bagian kulit dilakukan hecting dengan benang non absorble
(monofilament 2-0)
 setelah dihecting, luka dan sekitar luka dibersihkan dengan kasa yang diberi
cairan NaCl
 Luka yang sudah dibersihkan lalu diberi sofra-tulle dan tutup dengan kasa
steril
 Setelah ditutup dengan kasa steril luka dibalut dengan softbandage dengan
ketebalan 6 inchi
 Kemudian pasang gif dengan posisi backlap, untuk gif yang digunakan
memiliki ketebalan 6 inchi dengan lapisan 15 lapis
 Selanjutnya tutup luka dengan elastic bandage 6 inci

Set Up Alat yang Digunakan


20
a. Screwdriver
b. Towel klem
c. Pinset cirrugis
d. Clawhap
e. Handmess no.3
f. Handmess no.4
g. Gunting metsembung 2
h. Klem 2
i. Rasparatorium
j. Canul section
k. Alat curet
l. Benang absorble no.1 90 cm
m. Benang non absorble 2-0
n. Kasa 18 lembar

14. Setelah pasien selesai di operasi pasien di lepaskan dari alat alat seperti ekg, tensi,
oksimetri, oksigen
15. Pasien akan di pindahkan ke ruang RR dengan menggunakan brankart.
16. Pasien tiba di ruang RR dan di lakukan timbang terima dengan petugas RR

Post Operasi
DS:- Resiko tidak efektif jalan nafas b.d pengaruh
Fraktur ankle
DO: keadaan umum: sedang anastesi
0
- Suhu 36 C , Nadi 76
Pemasangan Implat
x/mnt, TD 127/81 mmHg,
RR 18 x/mnt Re operasi
pemasangan Kecemasan
DS:- Resiko
Implant Failure
gangguan keseimbangan cairan dan
DO: - Pasien post op revisi elektrolit implat
internal fiksasi

Perubahan Cidera sel Luka terbuka


status kesehatan
C. Pathway Implant Failure Post Orif Ankle terhadap Kebutuhan Dasar Manusia
Degranulasi sel mast Restrictif Port de’ entri
kuman
Kurang
informasi Pelepasan mediator Gangguan
kimia Resiko infeksi
mobilitas fisik
Kurang
pengetahuan Nociceptor

Medulla spinalis
21
Korteks serebri

Nyeri
D. Rencana Tindakan
1. Nyeri b.d luka terbuka (Post Op pertama)
No Rencana tindakan Rasional
1. Pertahankan imobilisasi bagian yang Mengurangi nyeri dan mencegah
sakit dengan tirah baring. malformasi
2. Tinggikan posisi ekstremitas yang Meningkatkan alirasn balik vena,
terkena mengurangi edema/nyeri
3. Lakukan tindakan untuk meningkatkan Meningkatkan sirkulasi,
kenyamanan (massage, perubahan menurunkan area tekanan lokal
posisi
4. Ajarkan penggunaan teknik manajemen Mengalihkan perhatian terhadap
nyeri (latihan nafas dalam, imajinasi nyeri, meningkatkan kontrol
visual, doa) terhadap nyeri
5. Kolaborasi pemberian analgesic sesuai Menurunkan nyeri melalui
indikasi mekanisme penghambatan rangsang
nyeri (sentral/perifer)
6. Evaluasi keluhan nyeri (skala, Menilai perkembangan masalah
perubahan TTV) pasien dan mengetahui tingkat nyeri
pasien

2. Resiko infeksi b.d luka terbuka (post op pertama)


No Rencana tindakan Rasional
1 Observasi TTV dan tanda peradangan Mengevaluasi keadaan umum
lokal pada luka pasien dan mengetahui kondisi
suhu pasien mengenai tingkat
infeksinya
2 Ajarkan klien untuk mempertahankan Mengurangi tingkat infeksi pasien

22
sterilitas insersi implan dan Meminimalkan kontaminasi
3 Kolaborasi pemberian antibiotic sesuai Antibiotic dapat digunakan untuk
indikasi mencegah atau mengatasi infeksi

3. Cemas b.d tindakan perioperative


No Rencana tindakan Rasional
1 BHSP Sikap terapeutik perawat dan
membuat pasien mengungkapkan
tingkat kecemasannya.
2 Gunakan komunikasi terapeutik Sikap terapeutik perawat dan
membuat pasien nyaman saat
berkomunikasi dengan perawat
3 Tanyakan penyebab cemas Mengetahui penyebab kecemasan
pasien dan menentukan tindakan
keperawatan yang akan dilakukan
oleh perawat
4 Beri kesempatan pasien untuk bertanya Agar mengetahui tingkat
kecemasan pasien dan Bentuk dari
komunikasi terapeutik perawat
5 Kenalkan pasien pada lingkungan Pemahaman tentang lingkungan
kamar operasi kamar operasi akan mengurangi
kecemasan
6 Anjurkan pasien untuk berdoa Mengalihkan perhatian terhadap
kecemasan pasien dan
meningkatkan kenyamanan pasien

4. Resiko hipotermi b.d tindakan perioperative


No Rencana tindakan Rasional
1 Gunakan alat thermoregulator yang Menurunkan risiko hipotermi dan
diperlukan mengetahui suhu tubuh pasien
2 Monitor temperature tubuh pasien Mengevaluasi suhu tubuh pasien
3 Evaluasi respon terhadap Menilai perkembangan suhu tubuh
thermoregulasi pasien

5. Resiko cidera positioning b.d tindakan perioperative


No Rencana tindakan Rasional
1 Gunakan alat pelindung maksimal Mengurangi resiko jatuh pada
untuk mencegah cidera akibat listrik, pasien dan Mencegah cidera
laser, radiasi selama tindakan invasive
2 Catat alat yang tertanam selama Mencegah terjadinya malprosedur
prosedur invasive
3 Evaluasi adanya tanda/gejala cidera Menilai ada/tidaknya cidera pada
laser, listrik, radiasi pasien

6. Resiko tidak efektif jalan nafas b.d pengaruh anastesi


No Rencana tindakan Rasional
1 Monitoring keadaan umum pasien Menilai ada/tidaknya gangguan
23
jalan nafas dan memantau keadaan
pasien
2 Bebaskan jalan nafas pasien, beri O2 Mencegah terjadinya gangguan
jalan nafas dan memberikan
tambahan O2 pada pasien
3 Pantau TTV pasien Mengevaluasi tanda awal gangguan
jalan nafas

7. Resiko gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit b.d prosedur invasive


No Rencana tindakan Rasional
1 Monitoring intake cairan melalui infus Memenuhi kebutuhan cairan
parenteral
2 Pantau tanda-tanda perdarahan Mencegah terjadinya gangguan
cairan elektrolit
3 Pantau output urine Mengevaluasi keseimbangan cairan
elektrolit

BAB 4. KESIMPULAN SARAN

A. Kesimpulan
Setelah dilakukan asuhan keperawatan, baik secara teoritis maupun secara tinjauan kasus
didapatkan kesimpulan sebagai berikut: Diagnosa keperawatan yang berhubungan pada
pasien perioperative dengan implant failure post orif ankle ada tujuh diagnosa
keperawatan, yaitu nyeri b.d luka terbuka (Post Op pertama), resiko infeksi b.d luka
terbuka (post op pertama), cemas b.d tindakan perioperative, resiko hipotermi b.d
tindakan perioperative, resiko cidera positioning b.d tindakan perioperative, resiko tidak
efektif jalan nafas b.d pengaruh anastesi, resiko gangguan keseimbangan cairan dan
elektrolit b.d prosedur invasive.
Intervensi dan implementasi yang diberikan kepada pasien disesuaikan dengan kondisi
pasien saat pre, intra dan post operasi. Adapun evaluasi yang dilakukan selama
pemberian asuhan keperawatan sudah sesuai dengan intervensi yang disusun oleh
penulis.

B. Saran
1. Pasien
Diharapkan pasien dapat mengetahui cara menjaga luka operasi dan selalu
memperhatikan petunjuk dokter/perawat serta dukungan keluarga sangat penting

24
dalam proses penyembuhan pada pasien yang mengalami implant failure post orif
ankle.
2. Perawat
perawat maupun tim medis lainya harus terampil dalam melakukan asuhan
keperawatan perioperative dan harus memperhatikan konsep aspetik untuk mencegah
terjadinya resiko infeksi pada pasien.

DAFTAR PUSTAKA

Donges. E, M. 2008. Rencana Asuhan Keperawatan (Terjemah). Edisi 3. Jaksarta: EGC


Judith M. Wilkinson. Nancy R, Ahern. 2011. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Diagnosis
NANDA, Intervensi NIC, KriteriaHasil NOC.Jakarta : EGC.
Kowalak Jennifer P. 2012. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC

25

Anda mungkin juga menyukai