Anda di halaman 1dari 40

JOURNAL READING

Somatoform disorders: severe psychiatric


illnesses neglected by psychiatrists

Disusun untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik Madya

Oleh:
Muhamad Mahir 21404101062
Wahyu Kurniawan 21404101063
Fiddien Indera Sakti 21404101064
Ivan Choirul Wiza 21504101004

Pembimbing:
dr. Anna Purnamasari. Sp.KJ.

KEPANITERAAN KLINIK MADYA


SMF JIWA RSJ Dr. RADJIMAN WIDIODININGRAT LAWANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM MALANG
2016
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah, serta inayah-
Nya kepada penyusun sehingga Journal Reading yang berjudul Somatoform disorders:
severe psychiatric illnesses neglected by psychiatrics ini dapat terselesaikan sesuai rencana
yang diharapkan.
Tujuan penyusunan makalah journal reading ini adalah untuk memenuhi tugas
Kepaniteraan Klinik Madya serta guna menambah ilmu pengetahuan mengenai permasalahan
penyakit pada bidang ilmu jiwa. Penyusun menyampaikan terima kasih kepada pembimbing
kami, dr. Anna Purnamasari, Sp.KJ. atas segenap waktu, tenaga dan pikiran yang telah
diberikan kepada kami selama proses pembuatan journal reading ini.
Penyusun menyadari bahwa laporan journal reading ini belumlah sempurna. Untuk itu,
saran dan kritik dari para dosen dan pembaca sangat diharapkan demi perbaikan laporan ini.
Atas saran dan kritik dosen dan pembaca, penyusun ucapkan terima kasih.
Semoga journal reading ini bermanfaat bagi dosen, penyusun, pembaca serta rekan-rekan
lain yang membutuhkan demi kemajuan ilmu pengetahuan di bidang kedokteran.

Lawang, Desember 2016

Team Penyusun

1
DAFTAR ISI

2
BAB I
ISI JURNAL
Gangguan Somatoform: Penyakit Kejiwaan Berat diabaikan dokter
Christopher Bass, Robert Peveler and Allan House

1.1. Judul
Gangguan somatoform:penyakit kejiwaan diabaikan pasien
1.2. Abstrak
Latar belakang: Gangguan somatoform memiliki sedikit bagian dalam hal
morbiditas pribadi dan biaya yang diperlukan untuk layanan kesehatan. Tapi
kebanyakan psikiater melatih tanpa pengalaman semuanya.

Tujuan : Untuk meninjau prevalensi, keterbatasan dan beban ekonomi dari


gangguan somatoform, dan untuk mengeksplorasi alasan mengapa mereka diabaikan
oleh psikiater.

Metode: Suatu tinjauan selektif pada literatur kunci

Hasil: psikiatri saat ini terlalu fokus dengan apa yang disebut' penyakit mental
serius yang 'memberikan gangguan somatoform prioritas rendah. Beberapa perencana
kesehatan telah keliru menyamakan beratnya dengan diagnosis daripada tingkat
kebutuhan dan keterbatasan. Sebagai akibatnya pengembangan layanan psikiatri telah
diabaikan.

Kesimpulan: pengakuan lebih besar tentang pentingnya gangguan somatoform


hanya akan terjadi jika penelitian terpercaya dan pengajaran mendapat prioritas, dan jika
Royal Colleges terus menekan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat pentingnya
mereka. Jasa harus didorong oleh kebutuhan klinis daripada diagnosis.

1.3 Pendahuluan
Banyak pasien yang dirujuk ke dokter dan ahli bedah memiliki keluhan fisik kronis
yang tidak dapat dipahami atau dijelaskan dalam hal patologi organik yang mendasari.
Misalnya, sebanyak setengah dari pasien menghadiri kabupaten layanan
gastroenterologi umum tidak memiliki penyakit organik yang relevan untuk
menjelaskan keluhan mereka ( Hamilton et al , 1996 ). Seringkali, pasien habis kembali

3
ke dokter umum mereka dengan harapan bahwa gejala akan berkurang, namun bukti
dari tindak lanjut penelitian menunjukkan bahwa, lebih sering daripada tidak, mereka
akan terus melaporkan gejala fisik dan cacat terkait ( Mayou et al , 1994 ). Setelah
pasien tersebut mengembangkan keluhan yang bertahan lebih lama dari 6 bulan mereka
menjadi sulit untuk membantu, dan jika kemampuan mereka untuk bekerja terganggu
mereka mungkin menjadi tergantung pada manfaat negara ( Sharpe et al , 1994 ).
Kebanyakan akan memenuhi kriteria diagnostik untuk gangguan somatoform. Karena
gangguan somatoform yang umum dan parah, mereka seharusnya lebih sering
diperlakukan oleh psikiater atau psikolog klinis. Kami membahas alasan mengapa
mereka tidak, dan mempertimbangkan cara-cara di mana kelalaian ini dapat diperbaiki.

1.4 Prevalensi Gangguan Somatoform

Studi epidemiologis dari kronis meluas rasa sakit dan kelelahan kronis dilakukan
dalam pengaturan perawatan primer telah mengungkapkan skala yang luar biasa dari
masalah. Sebagai contoh, dalam sebuah studi Organisasi Kesehatan Dunia Gureje et al (
1998 ) menemukan bahwa 22% dari pasien perawatan primer melaporkan nyeri
persisten dan bahwa penderita sakit lebih mungkin dibandingkan mereka yang tanpa
rasa sakit untuk memiliki kecemasan atau gangguan depresi dan mengalami
keterbatasan aktivitas yang signifikan . Tingkat prevalensi tinggi serupa telah dilaporkan
untuk sindrom kelelahan kronis, dengan penelitian di Inggris baru-baru ini menemukan
prevalensi titik dalam populasi umum menjadi 2,6% ( Wessely et al , 1997 ). Temuan ini
menunjukkan bahwa sindrom kelelahan kronis hampir yang biasa seperti diabetes dan
secara signifikan lebih umum daripada anoreksia nervosa.

Gangguan lain yang penting, terlihat hampir secara eksklusif di rumah sakit umum
dan pengaturan perawatan primer, adalah gangguan somatisasi. Meskipun tingkat
prevalensi telah diperkirakan 0,5% tingkat yang benar mungkin lebih tinggi, lebih dekat
ke 1%, yaitu sekitar biasa seperti skizofrenia ( Bhui & Hotopf 1997 ). Bahkan bentuk
dilemahkan dari somatisasi ditandai dengan tiga atau lebih medis dijelaskan namun saat
gejala mengganggu ditambah sejarah 2 tahun somatisasi memiliki prevalensi 8,2%
dalam perawatan primer ( Kroenke et al , 1997 ).

4
Konversi histeria dianggap oleh banyak psikiater hampir telah menghilang sebagai
entitas klinis sejak zaman Freud ( Anonymous, 1976 ). Keyakinan ini, didorong oleh
publikasi hampir 40 tahun yang lalu dari sebuah kertas yang berpengaruh tetapi
menyesatkan oleh Slater ( 1965 ), telah menyebabkan kelangkaan penelitian dalam
subjek ini sampai saat ini ( Crimlisk et al , 1998 ). Studi prevalensi dilakukan pada
populasi umum yang langka, dan angka terendah menunjukkan laju sekitar 50 per 100
000, dengan mungkin dua kali jumlah yang terkena dampak selama periode 1-2 tahun (
Akagi & Rumah 2001 )

1.5 Keterbatasan dan beban ekonomi pada gangguan somatoform

Pasien dengan beberapa keluhan somatik tidak hanya menimbulkan masalah


manajemen yang kuat tetapi juga sering memiliki gangguan fungsional berat yang
mungkin lebih besar daripada orang-orang dari pasien dengan apa yang disebut penyakit
mental yang berat seperti skizofrenia ( Hiller et al , 1997 ).

Beberapa gangguan somatoform, terutama yang berkaitan dengan nyeri kronis yang
meluas (fibromyalgia) dan kelelahan persisten, telah terbukti berhubungan dengan
ditandai gangguan fungsional ( Buchwald et al , 1996 ). Dampak dari gangguan
somatoform pada fungsi kerja membutuhkan perhatian lebih dekat, terutama pada saat
pembayaran cacat yang spiral ( The Economist , 22 Mei 1999). Telah ditetapkan bahwa
mayoritas pasien dengan nyeri kronis menghadiri sebuah klinik daerah kronis cacat dan
bergantung ( Benjamin et al , 1988 ), namun beberapa pasien ini kemungkinan akan
dinilai oleh psikolog klinis atau psikiater, seperti yang direkomendasikan dalam terbaru
editorial menganjurkan kerja bersama antara psikiater penghubung dan dokter nyeri
(Dolin & Stevens, 1998).

Salah satu yang paling parah dari gangguan somatoform (gangguan somatisasi)
dikaitkan dengan gangguan fungsional kotor. Dalam sampel UK 10% yang terbatas
untuk kursi roda ( Bass & Murphy, 1991 ) dan fungsi fisik diri dinilai dari pasien ini
dalam sebuah survei di Amerika bahkan lebih buruk dibandingkan pada mereka yang
menderita penyakit organik kronis ( Smith et al , 1986 ) : pasien menghabiskan rata-rata
7 hari di tempat tidur setiap bulan.

5
Pasien dengan gangguan konversi juga sering terlalu cacat, terutama ketika gejala
telah menjadi kronis. Penelitian terbaru menunjukkan beban kecacatan yang terkait
dengan histeria kronis yang jauh lebih tinggi daripada berlatih psikiater khas mungkin
menduga, atau dari tercermin dalam buku teks standar psikiatri atau psikologi klinis (
Akagi & Rumah 2001 ). Hal ini tidak jarang menemukan pasien yang telah menjadi
terbatas untuk kursi roda ( Davison et al , 1999 ).

1.6. Mengapa gangguan somatoform diabaikan oleh psikiater?


Pertama, adalah sifat dari praktek diagnostik psikiatri. klasifikasi kejiwaan
'compartmentalise' memasukkan gangguan somatoform ke dalam kelompok yang relatif
sejenis dengan prevalensi rendah seperti hypochondriasis dan gangguan konversi.
Presentasi jauh lebih umum dari distres somatik- sindrom yang ditandai dengan
kelelahan berkepanjangan, nyeri muskuloskeletal dan nyeri dan gejala gastrointestinal-
kemudian diturunkan ke kategori kurang divalidasi dari 'berdiferensiasi gangguan
somatoform'. Akibatnya mereka tidak hanya terpinggirkan dari pertimbangan klinis atau
penelitian lebih lanjut tetapi prevalensi somatofron dianggap remeh.
Kedua, psikiatri saat ini terlalu fokus dengan 'penyakit mental serius', yang biasanya
disamakan dengan skizofrenia atau penyakit bipolar. Gangguan non-psikotik yang
kemudian diberi prioritas rendah oleh dokter dan perencana pelayanan kesehatan.
Alasan ketiga adalah: kebanyakan psikiater tidak bekerja di rumah sakit umum dan
karena itu para psikiater memiliki pengalaman terbatas terhadap pasien dengan gejala
medis somatrofon. ( Katon et al , 1984 ).
Alasan terakhir pasien ini tidak berkonsultasi dengan psikiater adalah konsekuensi
dari stigma. Karena mereka memiliki keluhan fisik yang mereka umumnya sudah
mengangap dirinya sembuh dan tidak melihat kesehatan jiwa, hanya melihat secara
fisik, penilaian secara psikologis tidak masuk daftar prioritas pasien.( Crisp, 1999 ).
1.7 Langkah Langkah Untuk Menambah Kepedulian Terhadap Gangguan
Somatoform
Latihan
Karena gangguan somatoform adalah gangguan kejiwaan yang paling umum
untuk hadir dalam pengaturan non-jiwa, adalah penting bahwa pelatihan tentang mereka
dimulai di tingkat sarjana. Hal ini juga harus dimasukkan dalam pelatihan berbagai
spesialis non-jiwa, baik medis dan non-medis.

6
mahasiswa medis
mengajar mahasiswa “ pengobatan psikologi” yang akan mempersiapkan mereka
lebih memadai untuk karier medis medis masa depan mereka. Sharpe et al ( 1996 a)
Pelatihan psikiatrik.
Mendirikan pos pelatihan yang lebih dalam hubungan psikiatri akan menjadi salah
satu cara untuk memastikan bahwa psikiater memperoleh keterampilan dan pengetahuan
yang tepat untuk mengelola berbagai kelompok gejala.
Pelatihan non-psikiater.
Memberikan pelatihan kepada perawat untuk memperoleh ketrampilan terapi yang
tepat dan bekerja dirawat klinik bersama ( Mayou et al , 1999 ).
Memberi ruang Psikologi klinis, terutama mereka dengan pengalaman kognitif
terapi -behavioural (CBT), untuk menyediakan layanan dan keahlian dalam pengelolaan
pasien ini.
PENELITIAN
Penelitian yang terpercaya telah dilakukan dibidang ini. Yang paling penting
adalah penelitian menunjukkan kemanjuran pengobatan psikologis berbasis pada pasien
dengan somatoform relatif sejenis seperti sindrom kelelahan kronis. Sebuah tinjauan
sistematis terbaru dari 31 percobaan terkontrol (29 acak) telah membandingkan
efektivitas CBT dengan terapi kontrol untuk gejala yang tidak jelas dan sindrom gejala
dalam total 1.689 pasien dengan gejala yang berlangsung sesuatu 3-17 tahun ( Kroenke
& Swindle, 2000 ). Dalam 71% dari studi, gejala fisik ditingkatkan untuk tingkat yang
lebih besar pada pasien yang diobati dengan CBT dibandingkan mereka dalam
kelompok kontrol. Selanjutnya, tekanan psikologis menurun dengan CBT di 38% dari
studi dan status fungsional membaik pada 47%.
Meskipun pasien dengan gejala kronis dan keras dan gangguan telah terbukti
manfaat dari pengobatan psikologis berdasarkan ( Guthrie et al , 1999 ), intervensi awal
yang diinginkan. Putaran berikutnya uji klinis perlu menyertakan analisis ekonomi yang
baik, mencari manfaat biaya serta efikasi klinis. Hal ini akan sangat memudahkan
pengembangan layanan, terutama di mana offset biaya yang pasti dapat dibuktikan (
Feldman, 2000 ). Setelah pembeli perawatan kesehatan dan kelompok perawatan primer
menjadi lebih sadar akan implikasi keuangan ini gangguan kronis dan keras, mereka
mungkin lebih bersedia untuk menyediakan dana untuk layanan pengobatan.

7
LAYANAN DAN KEBIJAKAN KESEHATAN
Pelayanan psikiatri perlu dikembangkan untuk penyediaan pengobatan untuk
pasien. Tapi sebelum hal ini dapat terjadi diperlukan kerja antara dokter dan psikiater
untuk kepentingan klinis, diusahakan keduanya bekerja ditempat yang sama.
Ketersediaan adanya ruang rawat inap di rumah sakit diperlukan: pasien dengan
ganguan somatroform memerlukan perawatan multidisiplin khusus baik di rumah sakit
jiwa atau umum. ( Protheroe & Rumah, 1999 ).

BAB II
TELAAH JURNAL

8
1. JUDUL

Syarat-syarat judul yang baik :

a) Spesifik

b) Efektif, judul tidak boleh lebih dari 12 kata untuk Bahasa Indonesia dan 10 kata
untuk Bahasa Inggris.

c) Singkat, Menurut Day (1993), judul yang baik adalah yang menggunakan kata-
kata sesedikit mungkin tetapi cukup menjelaskan isi paper. Namun, judul tidak
boleh terlalu pendek sehingga menimbulkan cakupan penelitian yang terlalu luas
yang menyebabkan pembaca bingung.

d) Menarik

e) Pembaca dapat langsung menangkap makna yang disampaikan dalam jurnal


dalam sekali baca.

Judul jurnal ini adalah :

Somatoform disorders: severe psychiatric illnesses neglected by psychiatrists

Kritik terhadap judul jurnal tersebut :

1) Spesifik, singkat, dan menarik, karena pembaca dapat langsung menangkap


makna yang disampaikan dalam jurnal dalam sekali baca.

2) Keefektifan juduldilihat dari kelugasan penulisannya menunjukkan jenis


karya ilmiah secara jelas yakni review artikel,judul memilikitidaklebih dari
10 kata

3) Judul tidak terlalu pendek sehingga cakupan penelitian tidak terlalu luas dan
tidak menyebabkan pembaca bingung.

2. NAMA PENULIS

Syarat-syarat penulisan nama penulis jurnal :

a. Tanpa gelar akademik/ professional

9
b. Jika > 3 orang yang dicantumkan boleh hanya penulis utama, dilengkapi dengan
dkk; nama penulis lain dimuat di catatan kaki atau catatan akhir

c. Ditulis alamat dari penulis berupa email dari peneliti

d. Tercantum nama lembaga tempat peneliti bekerja

e. Jika penulisan paper dalam tim, penulisan nama diurutkan sesuai kontibusi
penulis. Penulis utama: penggagas, pencetus ide, perencana dan penanggung
jawab utama kegiatan. Penuli skedua: kontributor kedua, dst.

Penulis jurnal ini adalah :

CHRISTOPHER BASS, ROBERT PEVELER, ALLAN HOUSE

Kritik terhadap penulisan penulis jurnal :

1) Tepat karena penulis tidak mencantumkan gelar peneliti, dan nama semua
penulis dicantumkan (ada 3 penulis)

2) Tidak ditulis alamat dari penulis berupa email dari peneliti

3) Tidak tercantum nama lembaga tempat peneliti bekerja

4) Penulisan nama diurutkan sesuai kontibusi penulis.

3. ABSTRAK

Abstrak merupakan ringkasan suatu paper yang mengandung semua informasi


yang diperlukan pembaca untuk menyimpulkan apa tujuan dari penelitian yang
dilakukan, bagaimana metode/pelaksanaan penelitian yang dilakukan, apa hasil-
hasil yang diperoleh dan apa signifikansi/nilai manfaat serta kesimpulan dari
penelitian tersebut.

Abstrak yang baik harus mencakup tentang permasalahan, objek penelitian,


tujuan dan lingkup penelitian, pemecahan masalah, metode penelitian, hasil utama,
serta kesimpulan yang dicapai. Selain judul, umumnya pembaca jurnal-jurnal ilmiah
hanya membaca abstrak saja dari paper-paper yang dipublikasi dan hanya membaca
secara utuh paper-paper yang paling menarik bagi mereka. Berdasarkan penelitian
abstrak dibaca 10 sampai 500 kali lebih sering dari pada papernya sendiri.

10
Cara penulisannya :

 Tersusun tidak lebih dari 200 – 250 kata. Namun ada pula yang membatasi
abstraknya tidak boleh lebih dari 300 kata. Karena itu untuk penulisan abstrak
cermati ketentuan yang diminta redaksi.

 Ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris.Diawali bahasa Inggris jika


penulisan keseluruhan tubuh paper dalam bahasa Inggris, diawali bahasa
Indonesia jika penulisan keseluruhan tubuh paper dalam bahasa Indonesia.

 Berdirisendirisatualinea (ada yang menentukanlebihdarisatualinea).

 Untuk jenis paper hasil penelitian: Penulisan abtraknya tanpa tabel, tanpa rumus,
tanpa gambar, dan tanpa acuan pustaka. Jadi tidak boleh mengutip pendapat
orang lain, harus menggunakan data-data dan hasil penelitian serta argumen
yang didapat dari penelitian sendiri.

 Untuk jenis paper hasil review: Penulisan abstrak boleh mengutip hasil
penelitian orang lain dari acuan pustaka atau sumber yang diacu.

 Di bawah abstrak ditulis kata kunci, paling sedikit terdiri dari tiga kata yang
relevan dan paling mewakili isi karya tulis. Demikian juga di bawah abstract
ditulis paling sedikittigakey words yang sesuai dengan kata kunci pada abstrak
(Bahasa Indonesia). Kata kunci, tidak selalu terdiri 3 kata, ada juga yang
menentukan kata kunci ditulis dalam 4-6 kata (tergantung redaksi, jadi
perhatikan ketentuan yang diminta).

Pada jurnal ini abstraknya adalah :

Background Somatoform disorders have few peers in terms of


personal morbidity and cost to the health service, yet many psychiatrists
train without any experience of them.
Aims To review the prevalence, disability and economic burden of
somatoform disorders, and to explore the reasons why they are neglected
by psychiatrists.
Method A selective review of the key literature.

11
Results Psychiatrists' current preoccupation with so-called ‘
serious mental illness’ gives somatoform disorders low priority. Some
health planners have erroneously equated severity with diagnosis rather
than level of need and disability. As a consequence the development of
psychiatric services has been neglected.
Conclusions Greater recognition of the importance of somatoform
disorders will only occur if high quality research and teaching receive
priority, and if the Royal Colleges continue to press for increasing public
awareness of their importance. Services should be driven by clinical need
rather than diagnosis.

Kritik terhadap penulisan abstrak jurnal :

Cara penulisan dan isi abstrak:

Kritik terhadap penulisan abstrak jurnal :


Cara penulisan dan isi abstrak:
a. Jumlah kata pada abstrak sesuai, tersusun dari 143 kata tidak lebih
dari 300 kata.
b. Abstrak hanya ditulis dalam bahasa inggris, padahal seharusnya ditulis
dalam bahasa indonesia dan bahasa inggris.
c. Penulisan abstrak sesuai dengan naskah hasil penelitian, tanpa tabel,
tanpa rumus, tanpa gambar, dan tanpa acuan pustaka.
d. Tidak Mencantumkan keyword (kata kunci) dibawah abstrak.
4. INTRODUKSI

Bagian ini mengandung isi sebagai pengantar yang berisi justifikasi penelitian,
hipotesis dan tujuan penelitian. Jika artikel berupa tinjauan pustaka, maka
pendahuluan berisi latar belakang yang memuat tentang pentingnya “permasalahan”
tersebut diangkat, hipotesis (jika ada) dan tujuan penulisan artikel. Pada bagian ini
pustaka hanya dibatasi pada hal-hal yang paling penting. Perlu diperhatikan metode
penulisan pustaka rujukan sesuai dengan contoh artikel atau ketentuan dalam
Instruction for authors. Jumlah kata dalam bagian ini juga kadang dibatasi jumlah
katanya. Ada juga jurnal yang membatasi jumlah referensi yang dapat disitir pada

12
pendahuluan, tidak lebih dari tiga pustaka. Tidak dibenarkan membahas secara luas
pustaka yang relevan pada pendahuluan.

Kritik terhadap introduksi pada jurnal ini :

 Pendahuluan berisi latar belakang yang memuat tentang pentingnya


“permasalahan” tersebut diangkat, hipotesis dan tujuan penulisan artikel.

 Pustaka hanya dibatasi pada hal-hal yang paling pentingdan metode penulisan
pustaka rujukan sesuai dengan contoh ketentuan yakni menggunakan rujukan.

 Jumlah referensi pada pendahuluanterdapat 3 pustaka tetapi tidak membahas


secara luas mengenai pustaka yang digunakan.

5. DISCUSSION (ISI JURNAL : Penilaian Klinis dan Diagnostik, Overview


Penelitian Terbaru)

Pada jurnal ini tidak disertakan diskusi

6. SUMMARY/CONCLUSION

Pada jurnal ini, kesimpulannya adalah :

Clinical Implications and Limitations


CLINICAL IMPLICATIONS
 Every trust should have access to a service for patients with somatoform disorders.
 The training of psychiatrists should include experience of somatoform disorders supervised
by a specialist in their assessment and management.
 Mental health planners should equate severity with level of need and disability rather than
psychiatric diagnosis.
LIMITATIONS
 We have not addressed somatoform disorders in children.
 We are liaison psychiatrists and do not represent the views of clinical psychologists.
 Physicians and primary care doctors find it difficult to discuss referral of these patients to
psychiatrists. This topic deserves more attention.
Kritik terhadap diskusi pada jurnal ini :
 Kesimpulan jurnal ini sudah mencangkup tujuan dan target penelitian.

13
7. REFERENCES
Kritik terhadap daftar pustakapada jurnal ini :
 Literatur yang digunakan sudah tepat.
Semua bahan acuan dalam bentuk jurnal atau pun naskah ilmiah yang
digunakan sebagai referensi atau acuan ditulis pada bagian ini.Referensi yang
dirujuk haruslah yang benar-benar mempunyai kontribusi nyata dalam penelitian
tersebut.

14
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 GANGGUAN SOMATISASI


Gangguan somatisasi ditandai oleh banyak gejala somatik yang tidak dapat
dijelaskan secara adekuat berdasarkan pemeriksaan fisik dan laoratorium. Gangguan ini
biasanya dimulai sebelum usia 30 tahun, dapat berlanjut hingga tahunan, dan dikenali
menurut DSM-IV-TR sebagai “kombinasigejala nyeri, gastrointestinal, seksual, serta
pseudoneurologis”. Gangguan somatisasi berbeda dengan gangguan somatoform
lainnya karena banyak keluhan dan banyaknya sistem organ yang terlibat (contohnya
gastrointestinal dan neurologis). 1

2.1.1 EPIDEMIOLOGI
Somatisasi adalah gangguan yang kerap ditemukan. Prevalensi seumur hidup
gangguan somatisasi dalam populasi umum lebih banyak ditemukan pada wanita
daripada pria, yaitu diperkirakan sebanyak 0,2 sampai 2 persen pada wanita, dan <0,2
persen pada pria, dengan perbandingan 5:1.Prevalensi somatisasi subklinis mencapai
100 kali lebih besar. 2

2.1.2 ETIOLOGI
Faktor etiologi dari gangguan somatisasi masih belum diketahui. Tidak terdapat
penyebab tunggal dari gangguan somatisasi, sebagaimana sebagian besar kasus psikiatri
lainnya, gangguan ini merupakan hasil akhir dari interaksi faktor genetik dengan
berbagai peristiwa di kehidupan individu. Teori terkini mengenai etiologi gangguan
somatisasi dibagi 3, yaitu psikososial, organic, dan genetik.3
1. Faktor Psikososial
Gejala somatik merupakan bentuk pertahanan psikologi terhadap instabilitas
mental. Pada somatisasi, serangan terhadap mental seseorang menghasilkan kecemasan
yang memobilisasi pertahanan somatik, di mana terdapat perubahan dari “sakit

15
psikologis” menjadi “sakit fisik”.4 Gejala somatik yang timbul merupakan komunikasi
sosial seseorang untuk menghindari kewajiban (cnt : melakukan pekerjaan yang tidak
disukai), mengekspresikan emosi (cnt: kemarahan terhadap saudara), atau untuk
simbolisasi perasaan atau kepercayaan (cnt : nyeri perut).1
Pengalaman “sakit” merupakan faktor penting dari somatisasi. Anak yang
menjumpai orang tua atau saudara yang sakit (terutama penyakit kronis atau berat)
dapat mengalami gangguan somatoform ketika dewasa. Etnik, pendidikan, dan gender
juga merupakan faktor sosial yang relevan terhadap somatisasi. Terdapat korelasi tinggi
antara somatisasi dan etnik, kelas sosial rendah dengan tingkat edukasi minimal, dan
jenis kelamin wanita.Selain itu, jenis kepribadian juga diduga mempengaruhi gangguan
somatisasi. Pasien gangguan somatisasi yang memiliki ciri kepribadian kelompok B
(dependen, histrionic, agresif-sensitif) tampak sejumlah 2 kali lipat dari pasien dengan
anxietas atau depresi. 3
2. Faktor Organik
Beberapa penelitian menunjukkan dasar neuropsikologi pada gangguan
somatisasi. Beberapa studi mengaitkan antara gangguan somatisasi dengan patologi
otak, seperti epilepsy dan multiple sclerosis, namun asosiasi ini ditemukan hanya pada
3% pasien.6 Diduga juga bahwa disfungsi atensi dan kognitif yang berhubungan dengan
inhibisi stimulasi aferen terdapat pada pasien (terutama pada lobus frontalis dan
hemisphere yang tidak dominan), menghasilkan persepsi yang tidak tepat dan kesalahan
penilaian input somatosensoris .1 Ditemukan hubungan antara somatisasi dan
peningkatan level kortisol 24 jam (rangsangan psikologis),sebagaimana juga ditemukan
terdapat asosiasi antara tekanan darah sistolik dengan somatisasi. 3
3. Faktor Genetik.
Terdapat pola keturunan yaitu sebesar 10-20% insidens terjadi pada saudara
2
perempuan derajat pertama dari penderita gangguan somatisasi. Ditemukan bahwa
saudara lelaki pasien gangguan somatisai memiliki peningkatan prevalensi alkoholisme
dan kepribadian antisosial.7 Beberapa penelitian pada populasi kembar menemukan
bukti komponen genetik, namun lainnya menghasilkan kesimpulan sebaliknya. Mai
(2004) menyimpulkan bahwa terdapat peran faktor genetik dalam gangguan somatisasi,
namun efeknya terbatas. 3

16
2.1.3 DIAGNOSIS dan GEJALA KLINIS
Untuk diagnosis gangguan somatisasi, DSM-IV-TR mengharuskan permulaan
gejala terjadi sebelum usia pasien 30 tahun, dan berlangsung selama beberapa tahun.
Selama perjalanan gangguan, pasien harus memiliki keluhan sedikitnya empat gejala
nyeri, dua gejala gastrointestinal, satu gejala seksual, dan satu gejala pseudoneurologis,
yang seluruhnya tidak dapat dijelaskan dengan pemeriksaan fisik atau laboratorium.
Kriteria DSM-IV mengenai gangguan somatisasi terdapat pada halaman berikut.

Kriteria Diagnostik DSM IV-TR : GANGGUAN SOMATISASI

A. Riwayat banyak keluhan fisik dimulai sebelum usia 30 tahun yang terjadi selama suatu periode
beberapa tahun dan menyebabkan pencarian terapi atau hendaya fungsi sosial, pekerjaan, atau area
fungsi penting lain yang signifikan.
B. Masing-masing criteria berikut ini harus dipenuhi, dengan setiap gejala terjadi pada waktu kapanpun
selama perjalanan gangguan :
(1) empat gejala nyeri : riwayat nyeri yang berkaitan dengan sedikitnya empat tempat atau fungsi
yag berbeda (cnt : kepala, abdomen, punggung, sendi, ekstremitas, dada, rectum, selama
menstruasi, selama hubungan sekdual, atau selama berkemih)
(2) dua gejala gastrointestinal : riwayat sedikitnya dua gejala gastrointestinal selain nyeri (cnt: mual,
kembung, muntah selain selama hamil, diare, atau intoleransi terhadap beberapa makanan yang
berbeda)
(3) satu gejala seksual : riwayat sedikitnya satu gejala seksual atau reproduksi selain nyeri(cnt:
ketidakpedulian terhadap seks, disfungsiereksi atau ejakulasi, menstruasi tidak teratur,
perdarahan menstruasi berlebihan, muntah sepanjang hamil)
(4) satu gejala pseudoneurologis : riwayat sedikitnya satu gejala atau deficit yang mengesankan
keadaan neurologis tidak terbatas pada nyeri (gejala konversi seperti gangguan koordinasi atau
keseimbangan, paralisis, atau kelemahan lokal, kesulitan menela, atau benjolan di tenggorok,
afonia, retensi urin, halusinasi, hilangnya sensasi raba atau nyeri, penglihatan ganda, buta, tuli,
kejang, gejala disosiatif seperti amnesia, atau hilang kesadaran selain pingsan)
C. Baik (1) atau (2) :
(1) Setelah penelitian yang sesuai, setiap gejala Kriteria B tidak dapat dijelaskan secara utuh
dengan keadaan medis umum yang diketahui atau efek langsung suatu zat (cnt :
penyalahgunaan obat, pengobatan)
(2) Jika terdapat keadaan medis umum, keluhan fisik, atau hendaya sosial atau pekerjaan yang
diakibatkan jauh melebihi yang diperkirakan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, atau temuan
laboratorium
D. Gejala dihasilkan tanpa disengaja atau dibuat-buat seperti pada gangguan buatan atau malingering

17
Pasien dengan gangguan somatisasi umumnya telah mengunjungi banyak
praktik dokter, mlakukan banyak tes imaging dan laboratorium, yang seluruhnya tidak
memberikan hasil yang bermakna mengenai penyakit yang ia rasakan. Sebagai contoh,
seorang pasien mungkin memiliki keluhan abdominal kronis (nyeri perut, diare) yang
telah dievaluasi secara tuntas namun tidak ditemukan penyebabnya. Hal ini biasanya
didahului dengan riwayat gejala lain yang tidak dapat dijelaskan, seperti anorgasmia,
tinnitus telinga, dan nyeri kronis pada bahu, leher, punggung, dan kaki.5

2.1.4 DIAGNOSIS BANDING


Diagnosis banding somatisasi antara lain adalah gangguan somatoform lain,yaitu reaksi
konversi, hipokondriasis, dan nyeri dismorfik. Gangguan somatoform sendiri juga harus
dibedakan dengan gangguan psikiatri lain, seperti facticious disorders dan malingering,
sebagaimana ditunjukkan oleh tabel berikut.4

Gambar 1. Diagnosis Banding Gangguan Somatoform

2.1.5 PENATALAKSANAAN
Secara umum, penatalaksanaan pasien dengan gangguan somatisasi meliputi 2
hal, yaitu Cognitive and Behavioral Therapy (CBT) dan Farmakoterapi.
Langkah pertama terapi adalah untuk memberi feedback diagnostik pada pasien.
Penjelasan dikategorikan menjadi 3 bagian : rejection, conclusion, dan empowerment.
Dengan rejection, dokter menyangkal kenyataan terdapat gejala atau mengimplikasikan
bahwa pasien memiliki sumber rasa sakit yang imajiner. Pendekatan ini dapat diawali
dengan kalimat “Tenang, tidak ada yang salah dengan Anda.” Conclusion terjadi ketika
dokter secara eksplisit atau implicit menyetujui penjelasan pasien. Pada akhirnya,
dengan empowerment, dokter memberikan penjelasan yang nyatadan rasional untuk
gejala somatik, bersamaan dengan peluang untuk memanajemen diri. Dokter

18
mengetahui penderitaan pasien, tanpa rasa menuduh, dan membuat kesepakatan
terapeutik. Dengan demikian gejala dan emosi dapat dihubungkan dengan baik.
Manajemen gangguan somatoform dapat diringkas pada gambar berikut. 3

Gambar 2. Langkah-langkah Manajemen Gangguan Somatisasi

3.2 HIPOKONDRIASIS
3.2.1 DEFINISI
Hipokondriasis adalah gangguan mental dimana pasien meyakini bahwa dirinya
sedang mengalami penyakit yang serius, mungkin suatu penyakit yang mengancam
jiwanya. Kriteria diagnosisnya ialah sekurang-kurangnya 6 bulan pasien mengalami
preokupasi pikiran berupa ketakutan akan memiliki penyakit akibat dari interpretasi
yang salah terhadap gejala penyakit yang dialaminya. Istilah hipokondriasis mengacu
pada hipokondrium, dimana kebanyakan pasien mengeluh nyeri pada daerah
hipokondrium. 7

3.2.2 ETIOLOGI

19
Menurut Klein, perkembangan di masa-masa awal kehidupan diyakini
merupakan salah satu faktor pencetus terjadinya hipokondriasis atau jenis somatoform
lain di kemudian hari. Kegagalan proses splitting atau kemampuan untuk membedakan
objek baik dan buruk menyebabkan ketidakmampuan otak untuk merepresi kecemasan
yang dirasakan, sehingga kelak timbul abnormal splitting mechanism yang membantu
anak untuk mengatasi confusional anxiety.7
Menurut Schilder, terjadi fiksasi hypochondriacal state pada fase narsistik pada
perkembangan anak, dimana pada masa itu terjadi perkembangan awal pemikiran
tentang tubuh. Fase oral, sadistic, dan sadomasokistik juga turut mempengaruhi
terjadinya hipokondriasis di kemudian hari karena seluruh proses ini melibatkan sensasi
nyeri dalam perkembangannya.10
Proteksi yang berlebihan dari orang tua pada masa anak-anak juga menjadi
pencetus hipokondriasis. Di samping itu, penyakit yang pernah diderita juga
memunculkan kecemasan yang berlebihan terhadap kekambuhan sehingga
memunculkan gejala hipokondriasis.8

3.2.3 KLASIFIKASI
DSM-V mengkategorikan hipokondriasis sebagai bagian dari kelainan
somatoform. Hipokondriasis, kelainan somatisasi (somatization disorder), kelainan
somatoform tak terdiferensiasi (undifferentiated somatoform), dan kelainan nyeri (pain
disorder) adalah termasuk ke dalam Somplex Somatic Symptom Disorder/ CSSD.
Sedangkan reaksi konversi diklasifikasikan menjadi kelainan somatoform lain, BDD
dklasifikasikan menjadi new anxiety and obsessive-compulsive spectrum disorders.9

3.2.4 GEJALA KLINIS


Pasien hipokondriasis meyakini bahwa mereka memiliki penyakitserius yang
masih belum terdeteksi meskipun telah dilakukan hasil lab dengan hasil yang negatif.
Pada permulaan mungkin diawali dengan satu penyakit, namun seiring berjalannya
waktu, kayakinan ini dapat ditransfer ke penyakit yang lain. Namun demikian,
keyakinan mereka tidak seperti pada waham. Pada umumnya ditemukan pula gangguan
kecemasan dan depresi.9
Meskipun kriteria diagnosis hipokondriasis menurut DSM-IV adalah sekurang-
kurangnya 6 bulan, namun “hypochondriacal-states” juga dapat terjadi setelah terjadi

20
stress mayor, misalnya kematian orang terdekat pasien akibat penyakit tertentu. Pada
umumnya kondisi ini akan sembuh dengan sendirinya, namun dapat pula menjadi
kronis. 8
3.2.5 DIAGNOSIS
Kriteria diagnosis hipokondriasis menurut DSM-IV adalah sebagai berikut

A. Preokupasi pikiran ketakutan akan memiliki, atau munculnya ide bahwa dirinya
memiliki penyakit yang serius akibat dari kesalahan interpretasi gejala tubuhnya.
B. Keluhan tidak kunjung membaik meskipun sudah mendapatkan pertolongan
medis.
C. Keyakinan pada kriteria A adalah bukan merupakan suatu waham seperti yang
ditemukan pada gangguan waham, atau masalah dengan penampilan seperti
yang ditemukan pada BDD/ Body Dysmorphic Disorder.
D. Preokupasi pikiran akan penyakitnya membuat pasien mengalami gangguan
dalam kehidupan sehari-hari, pekerjaan, dan perilaku bermasyarakat.
E. Gangguan berdurasi sekurang-kurangnya selama 6 bulan.
F. Preokupasi pikiran ini tidak ditemukan pada gangguan kecemasan, kelainan
obsesif-kompulsif, gangguan panic, episode depresif mayor, kecemasan akibat
perpisahan, atau kelainan somatoform yang lain.
Spesifik bila:
Dengan daya tilik buruk: apabila dalam tiap episodenya, pasien tidak menyadari
bahwa penyakit serius yang diyakini dia miliki adalah suatu ketakutan yang tidak
beralasan.
(From American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders. 4th ed. Text rev. Washington, DC: American Psychiatric
Association; copyright 2000, with permission.)

3.2.6 DIAGNOSIS BANDING


1. Penyakit-penyakit non-psikiatri yang menunjukkan gejala yang tidak
spesifik sehingga sulit terdiagnosis (misalnya pada penyakit AIDS,
endokrinopathy, myasthenia gravis, sklerosis multiple, penyakit saraf
degenerative, SLE, dan lain-lain.)
2. Somatization disorder (somatization disorder lebih menekankan pada
banyaknya gejala yang dikeluhkan pasien jika dibandingkan dengan

21
hipokondriasis, somatization terjadi mayoritas pada wanita sedangkan
hipokondriasis seimbang antara pria dan wanita, onset hipokondriasis
umumnya <30 tahun).
3. Reaksi konversi (akut, sementara, lebih menekankan pada gejala daripada
penyakitnya).
4. Pain disorder (gejala terbatas pada keluhan nyeri).
5. Body Dismorphic Disorder/BDD (pasien ingin terlihat normal namun
merasa orang di sekitarnya berpikir buruk).
6. Episode depresi dan gangguan kecemasan (pada depresi dengan gejala
hypochondriacal umumnya tidak dapat diredam perasaannya meskipun
sudah dibantu untuk menenangkan).
7. Skizofrenia (pada waham somatik lebih kacau, idiosinkratik jika
dibandingkan dengan hipokondriasis).
8. Factitious illness dan malingering (perlu dilakukan tes untuk membedakan
pasien sebenarnya, malingering, dan hipokondriasis, umumnya penawaran
untuk dilakukan intervensi medis dihadapi oleh pasien hipokondriasis
dengan kecemasan, sedangkan pada pasien yang benar-benar sakit akan
menghadapinya dengan perhatian terhadap kondisinya. Malingering
umumnya dilakukan untuk kepentingan financial atau meninggalkan
tanggung jawab tertentu).

3.2.7 PENATALAKSANAAN
1. Pemeriksaan fisik secara komprehensif
Perlu dilakukan pemeriksaan fisik berkala untuk mengetahui diagnosis lain
yang menjadi perancu hipokondriasis. Informasi kesehatan yang normal
dapat digunakan untuk konfirmasi diagnosis hipokondriasis.9
2. Pendekatan fungsional:
Bertujuan untuk mengumpulkan data-data tentang penyakit yang menjadi
sumber kecemasan dan untuk mengetahui respon pasien terhadap
penyakitnya. Melalui cara ini, dokter dapat mengetahui apa yang membuat
pasien menganggap penyakitnya sangat serius. Karena belum adanya skala
khusus untuk pengukuran derajat keparahan penyakit yang dirasakan, pasien
dapat menggunakan skala 0 (rendah) sampai 10 (ekstrim) untuk
menggambarkannya.8
3. Terapi farmakologis :

22
a. Anti-depresan (trisiklik, SSRI): dapat menstabilkan mood, mengatasi
kecemasan pada hipokondriasis
b. Plasebo: beberapa penelitian membandingkan efek placebo dan
pemberian obat-obatan anti-depresan dimana perbedaan respon pasien
terhadap kedua obat tidak signifikan. Hal ini menunjukkan keberhasilan
penggunaan placebo.8
4. Psikoterapi:
a. Cognitive-Behavioral Therapy/CBT menggunakan model terapi
tertentu untuk membantu pasien mengenali dan merubah kepercayaan
yang salah pada kesehatan dirinya.
b. Formulation of an Idiosyncratic Model patient-spesific “blue-print”
ialah suatu bentuk diagram yang dikerjakan bersama-sama dengan pasien
berkaitan dengan mekanisme penyakit dan kecemasan yang timbul.
Dengan metode ini, pasien merasa dokter memahami perasaan sehingga
meningkatkan penerimaan pasien terhadap pengobatan.
c. Psikoedukasimemberikan pemahaman pasien terhadap mekanisme
fisiologis tubuh manusia yaitu fight or flight dan ansietas. Pasien juga
diberikan pemahaman tentang sensasi tubuh sekaligus dengan
mekanisme fisiologisnya jika memungkinkan.
d. Modifying erroneous belief  membantu pasien untuk mengadopsi
kepercayaan yang rasional berdasarkan mekanisme fisiologis tubuh.8

3.2.8 PROGNOSIS
Hipokondriasis cenderung menjadi suatu penyakit kronis yang berlangsung
mungkin sepanjang hidup dengan gejala yang hilang timbul selama berbulan-bulan
bahkan bertahun-tahun. Pasien mungkin akan mengalami remisi parsial namun
demikian masih membuat pasien mencari bantuan dokter. Remisi total sangat jarang
terjadi. Faktor sosial-ekonomi, tidak adanya kelainan perilaku lain, dan tidak adanya
kondisi medis lain yang menyertai dapat memungkinkan hipokondriasis remisi total.7

3.2.9 KOMPLIKASI
Hipokondriasis seringkali menyebabkan pasien enggan melakukan aktivitas atau
bepergian jauh. Dokter yang tidak mengenali gejala hipokondriasis sejak awal akan

23
menyarankan apsien untuk melakukan berbagai macam tes laboratorium untuk
membantu penegakan diagnosis.10

3.3 REAKSI KONVERSI


Gangguan konversi ditandai dengan perubahan bermakna atau hilangnya fungsi
fisiologis, meskipun tidak ada temuan secara medis yang menyebabkan gejala atau
defisit.

3.3.1 EPIDEMIOLOGI
Insiden gangguan konversi mencapai 11-48 setiap 100.000 jiwa. Gangguan
konversi tidak berkaitan denga usia, ras, etnis, atau latar belakang sosial. Akan tetapi,
beberapa penelitian melaporkan adanya angka kejadian yang lebih tinggi pada wanita
dibandingkan dengan laki-laki. Ada kecenderungan insiden yang lebih tinggi pada
pasien yang memiliki first-degree relative dengan gangguan psikiatri. Telah ditemukan
juga asosiasi antara gangguan konversi dengan riwayat sexual abuse dan physical
abuse.

3.3.2 ETIOLOGI
Etologi dari reaksi konversi melibatkan faktor-faktor psikologis, biologis dan
neurologis. Patofisiologi gejala dari gangguan konversi dimulai dengan adanya
gangguan psikiatri—paling sering diseabkan oleh depresi—yang menyebabkan ketidak
stabilan dari fungsi mental. Pertahanan somatic, kepercayaan menetap bahwa “Saya
sakit secara fisik” terbentuk secara tidak sadar dan muncul sebagai adanya malfungsi
neurologis tertentu. Kepercayaan ini secara sadar mengatur tingkah laku,
mengakibatkan temuan nonorganic yang aneh dan tidak lazim pada pemeriksaan
neurologis.
Menurut pandangan psikodinamika, gangguan konversi merepresentasikan
konversi dari energy seksual atau agresi yang terrepresi menjadi gejala fisik. Secara
klasik, gejala tersebut dianggap sebagai akibat dari konflik tak sadar antara keinginan
terlarang dari seseorang dengan hati nuraninya. Gejala konversi secara simbolis
merepresen pemenuhan keinginan secara parsial tanpa kesadaran penuh individu
terhadap hasrat yang tidak dapat diterima.

24
Menurut Freud, pengalaman yang tidak dapat diterima direpresikan kedalam
unconscious, akan tetapi represi tersebut menyebabkan adanya konversi kepada gejala
fisik. Meskipun represi tersebut dilakukan dengan sengaja untuk menghilangkan distress
(disebut juga ‘primary gain’), konversi tersebut tidak dilakukan secara sengaja. Gejala
fisik tersebut dapat juga bertujuan menghindarkan pasien dari konflik atau hasil akhir
yang tidak diinginkan (secondary gain). Misalnya seseorang yang tiba-tiba mengalami
parese pada tangannya karena adanya keinginan unconscious untuk memukul istrinya.
Kondisi tersebut mencegah dirinya bertindak sesuai keinginannya.
Pada gangguan konversi, tidak selalu ditemukan adanya stressor spesifik tidak
lama sebelum munculnya gejala. Penelitian menunjukkan adanya stressor tertentu pada
sebagian kasus, seperti masalah pekerjaan dan relasi, yang berkorelasi dengan beratnya
keluhan.
Penelitian menggunakan imaging menunjukkan adanya peran dari conscious
active inhibition pada defisit psikogenik. Contohnya, jika pasien yang mengalami parese
ekstremitas bawah kiri mencoba menggerakkan ekstremitas tersebut, hasil imaging
menunjukkan adanya bagian tertentu dari otak yang aktif dan menyebabkan inhibisi dari
korteks motorik sehingga pasien mengalami parese. Sedangkan pada saat istirahat ,
aktivitas pada kedua sisi korteks motorik tidak berbeda secara signifikan. Temuan ini
menjelaskan mengapa defisit neurologis psikogenik lebih ringan jika pasien mengalami
distraksi dan memberat jika pasien memikirkan masalah yang mereka alami.
Temuan dari pemeriksaan neurologis juga konsisten dengan adanya inhibisi
kortikal dan subkortikal yang dikontrol oleh higher-order brain centres. Misalnya,
defisit neurologis yang disebabkan gangguan dari korteks menyebabkan pola tipikal,
seperti distribusi pyramidal pada pasien dengan parese. Akan tetapi, temuan fisiknya
tidak mengikuti pola organik tipikal tersebut. Sebaliknya, secara psikologis dan
anatomically naive beliefs yang diaplikasikan secara sadar dan dimediasi oleh higher-
order brain centres menginhibisi jalur kortikal dan subkortikal, yang menyebabkan pola
neurologis nonorganic yang atipikal.

3.3.3 GAMBARAN KLINIS


Defisit yang paling sering muncul adalah kelumpuhan, kebutaan, dan mutisme.
Gejala lainnya antara lain anesthesia, paresthesia (terutama pada ekstremitas), tuli,

25
abnormalitas motoris, gangguan gait, tremor, dan kejang (disebut juga pseudoseizures).
Presentation dan hasil pemeriksaan fisik tidak konsisten dengan patologi neurologis,
anatomis, maupun fisiologis yang diketahui. Hal ini menunjukkan bahwa manifestasi
neurologis bersifat idiopatik dan berasal dari kepercayaan pasien bagaimana gejala
neurologis seharusnya terjadi. Dapat ditemukan adanya La belle indifference (pasien
tidak peduli meskipun defisit yang muncul tampak sangat berat).
Pada umumnya, tanda yang muncul—seperti hemiparese ataupun kebutaan-
menjadi jauh lebih buruk jika dievaluasi secara formal atau ketika pasien berada dalam
keadaan tertentu yang menyebabkan pasien memperhatikan defisit tersebut. Akan tetapi,
meskipun sedang diobservasi maupun tidak, gejala neurologis tetap ada dan
mengganggu fungsi pasien: gejala tersebut konsisten dengan kepercayaan pasien.
Berikut beberapa gejala dan hasil pemeriksaan fisik yang ditemukan pada penderita:
Gejala Pemeriksaan Fisik Hasil
Anesthesia Pemeriksaan dermatome Gangguan sensoris tidak
sesuai dermatom
Afonia Minta pasien untuk batuk Suara batuk normal
(menunjukkan tidak adanya
parese korda vokalis)

Koma Pemeriksa mencoba Ditemukan tahanan


membuka mata pasien tahanan
Tunnel vision Visual fields Perubahan hasil
pemeriksaan pada
pemeriksaan multiple
Kebutaan monookular Margus Gunn pupil Tidak ditemukan defek
aferen
Kebutaan bilateral berat Sudden flash of bright light Pasien berkedip
Perintahkan pasien Pasien tidak bisa
menyentuh jari telunjuknya menyentuh jari telunjuknya.
Parese atau plegi Jatuhkan tangan yang Tangan jatuh di sebelah
lumpuh ke ke wajah pasien wajah, tidak jatuh pada
wajah

3.3.4 DIAGNOSIS
Penelitian menunjukkan bahwa 25-50 persen pasien dengan gangguan konversi
pada akhirnya ditemukan memiliki kondisi medis yang menyebabkan gejala tersebut.
Oleh karena itu pemeriksaan medis dan neurologis menyeluruh harus dilakukan.

26
Kondisi patologis yang menyerupai konversi antara lain tumor otak, multiple sclerosis,
myasthenia gravis, basal ganglia disease, optic neuritis, Guillain-Barre, dan AIDS.
Bedakan juga gangguan konversi dengan factitious disorder dan malingering.
Pada factitious disorder, seseorang secara sadar membuat penyakit yang bertujuan untuk
berperan sebagai orang sakit. Malingerers secara sadar berpura-pura untuk mencapai
secondary gain (misalnya untuk menghindari kerja , penjara, wajib militer, atau
mendapat kompensasi).
Kriteria Diagnosis menurut DSM IV:
A. Satu atau lebih gejala atau defisit yang mempengaruhi sistem motorik volunter atau
fungsi sensorik yang merujuk pada kondisi neurologis atau medis umum lainnya .
B. Faktor psikologis dinilai terkait dengan gejala atau defisit karena konflik atau stres
lainnya mendahului inisiasi atau eksaserbasi dari gejala atau defisit.
C. Pasien tidak pura-pura atau sengaja memproduksi gejala atau defisitnya.
D. Gejala atau defisit tidak dapat, setelah penyelidikan yang tepat, sepenuhnya
dijelaskan oleh kondisi medis umum, dengan efek langsung dari zat, atau sebagai
perilaku atau pengalaman yang dilarang oleh budaya.
E. Gejala atau defisit menyebabkan distress atau gangguan yang signifikan secara klinis
pada fungsi social atau okupasional, atau area penting lainnya atau yang memerlukan
evaluasi medis.
F. Gejala ini tidak terbatas pada rasa sakit atau adanya gangguan pada fungsi seksual
dan tidak dapat dijelaskan dengan lebih baik oleh gangguan mental lain.

3.3.5 PENATALAKSANAAN
Pada dasarnya, tatalaksana dari gangguan konversi adalah menggunakan
penjelasan dan sugesti. Setelah dilakukan diagnosis, dokter sebaiknya
menginformasikan kepada pasien, secara lembut dan tidak menghakimi, tetapi cukup
tegas, bahwa pemeriksaan atau tes diagnostic tidak menunjukkan adanya kelainan. Lalu
dokter dapat menjelaskan bahwa meskipun ilmu medis tidak dapat menjelaskan
penyebab gejala tersebut, biasanya pasien akan pulih dalam beberapa minggu. Dengan
dukungan dan keyakinan tersebut, mayoritas pasien akan mengalami remisi selama
berada di rumah sakit, dan remisi ini lebih mungkin terjadi jika onset gejala bersifat
akut dan durasinya singkat, diikuti oleh pencetus yang jelas.

27
Pada berapa kasus, beberapa sesi bersama terapis fisik dapat membantu
perbaikan gejala. Terapis harus menghindari pernyataan seperti “Tidak ada yang salah
dengan diri anda”, karena dapat merusak hubungan dokter-pasien. Jika langkah-langkah
tersebut gagal, teknik alternatif dapat digunakan. Hipnosis dapat menyebabkan remisi,
akan tetapi cenderung terjadi relaps.
Dapat juga dilakukan cognitive-behavioral therapy untuk meningkatkan cara
adaptif pasien untuk menghadapi stress dan kecemasan. Dapat juga dilakukan terapi
psikodinamik untuk mendapatkan insight dari konflik unconscious yang mendasari
keluhannya.

3.4 GANGGUAN DISMORFIK TUBUH


Body Dysmorphic Disorder (BDD) awalnya dikategorikan sebagai
dysmorphophobia. Istilah tersebut untuk pertama kalinya dimunculkan oleh seorang
doktor Italia yang bernama Morselli pada tahun 1886. Dysmorphophobia berasal dari
bahasa Yunani, “dysmorph” yang berarti misshapen dalam bahasa Inggris. Kemudian
namanya diresmikan oleh American Psychiatric Classification menjadi Body
Dysmorphic Disorder (BDD). Sebenarnya, sejak Freud praktek sudah disinyalir
mengenai gejala ini yang oleh Freud sendiri dinamakan sebagai ‘wolf man’. Karena
gejala Body Dysmorphic Disorder (BDD) tersebut terjadi pada seorang pria bernama
Sergei Pankejeff yang mempunyai masalah dengan kecemasan terhadap bentuk
hidungnya.
Pasien dengan gangguan dismorfik tubuh memiliki perasan subjektif yang
pervasif mengenai keburukan beberapa aspek penampilan walaupun penamilan mereka
normal atau hampir normal. Inti gangguan ini adalah keyakinan atau ketakutan
seseorang yang kuat bahwa ia tidak menarik atau bahkan menjijikan. Rasa takut ini
jarang bisa dikurangi dengan pujian atau penentraman meskipun pasien yang khas
dengan gangguan ini cukup normal penampilannya.

3.4.1 EPIDEMIOLOGI
Gangguan dismorfik tubuh adalah keadaan yang sediki dipelajari sebagian
karena pasien lebih cenderung pegi ke dermatologis, interni, atau ahli bedah plastik
daripada pergi ke psikiater. Satu studi pada satu kelompok mahasiswa perguruan tinggi

28
menemukan bahwa lebih dari 50% mahasiswa sedikitnya memiliki beberapa preokupasi
terhadap aspek tertentu penampilan mereka dan pada 25% mahasiswa, permasalahan
tersebut memiliki sekurangnya mempengaruhi secara bermakna pada perasaan dan
fungsi mereka. Walaupun 25% jelas merupakan suatu perkiraan yang berlebihan
(overestimate), gangguan dismorfik tubuh atau suatu varian subsindromal mungkin
sering ditemukan. Penelitian lain pada pasien yang datang ke klinik bedah plastik
menemukan bahwa hanya 2% pasien tersebut memenuhi kriteria diagnostik, jadi yang
menyatakan bahwa pasien dengan kriteria diagnostik lengkap mungkin sangat jarang
ditemukan.
Data yang ada menyatakan bahwa usia yangpaling sering untuk onset terjadinya
gangguan dismorfik tubuh adalah antara 15 dan 20 tahun, dan wanita agak lebih sering
terkena dibandingkan laki-laki. Pasien yang terkena juga kemungkinan tidak menikah.
Gangguan dismorfik tubuh sering kali ditemukan bersama-sama dengan gangguan
mental lainnya. Satu penelitian menemukan bahwa lebih dari 90% pasien dengan
gangguan dismorfik tubuh pernah mengalami depresif berat didalam hidupnya; kira-kira
70% pernah mengalami suatu gangguan kecemasan dan kira-kira 30% pernah menderita
suatu gangguan psikotik.
3.4.2 ETIOLOGI
Penyebab gangguan dismorfik tubuh saat ini masih tidak diketahui. Komoriditas
yang tinggi dengan gangguan depresif, riwayat keluarga adanya gangguan mood dan
gangguan obsesif-komplusif yang lebih tinggi daripada yang diharapkan, dan
responsivitas gangguan yang dilaporkan terhadap obat spesifik serotonin menyatakan
bahwa, sekurangnya pada beberapa pasien, patofisiologi gangguan yang terjadi
mungkin melibatkan serotonin dan mungkin berhbungan dengan gangguan mental
lainnya. Mungkin juga dapat terpengaruh kultural atau sosial yang bermakna pada
pasien dengan gangguan dismorfik tubuh karena penekanan konsep tentang kecantikan
yang sterotipik yang mungkin ditekankan pada keluarga tertentu dan didalam sebagian
besar kultur. Didalam odel psikodinamika, gangguan dismorfik tubuh dipandang
sebagai pengalihan konflik seksual atau emosional ke dalam bagian tubuh yang tidak
berhubungan. Asosiasi tersebut terjai melalui mekanisme pertahanan represi, disosiasi,
distorsi, simbolisasi dan proyeksi.

29
3.4.3 DIAGNOSIS
Kriteria diagnostik DSM-IV untuk gangguan dismorfik tubuh mengharuskan
suatu preokupasi dengan kecacatan dalam penampilan yang tidak nyata (dikhayalkan)
atau penekanan yang berlebihan (overemphasis) terhadap kecacatan ringan. Preokupasi
menyebabkan penderitaan emosional pada pasien atau jelas mengganggu kemampuan
pasien untuk berfungsi dalam bidang yang penting.

30
Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Dismorfik Tubuh

1 Preokupasi dengan bayangan cacat dalam penampilan. Jika ditemukan sedikit


anomali tubuh, kekhawatiran orang tersebut adalah berlebihan dengan nyat.
2 Preokupasi menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan
dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.
3 Preokupasi tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan mental lain (misalnya,
ketidakpuasan dengan bentuk dan ukuran tubuh pada anorexia nervosa).
*Tabel dari DSM IV. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders ed 4. Hak
Cipta
American Psychiatric Association, Washington 1994

3.4.4 GAMBARAN KLINIS


Permasalahan yang paling sering melibatkan kerusakan tubuh, khususnya yang
berhubungan dengan bagian spesifik (sebagai contoh hidung). Suatu penelitian
menemukan bahwa pada umumnya, pasien memiliki permasalahan tentang empat
bagian tubuh selama perjalanan gangguan. Bagian tubuh yang menjadi permasalahan
spesifik dapat berubah-ubah selama pasien terkena gangguan.

Lokasi Defek yang Dibayangkan pada 30 Pasien dengan Gangguan Dismorfik Tubuh
Lokasi N %
Rambut 19 63
Hidung 15 50
Kulit 15 50
Mata 8 27
Kepala,wajah 6 20
Seluruh bentuk tubuh, struktur 6 20
tulang
Bibir 5 17
Dagu 5 17
Lambung, pinggang 5 17
Gigi 4 13
Tungkai, Lutut 4 13
Payudara, Otot pektoralis 3 10
Wajah buruk (umum) 3 10
Telinga 2 7
Pipi 2 7
Bokong 2 7
Penis 2 7
Lengan,pergelangan tangan 2 7
Leher 1 3
Dahi 1 3
Otot-otot wajah 1 3
Bahu 1 3

31
Pinggul 1 3
*aTotal adalah lebih dari 100%karena sebagaian pasien memiliki "defek" pada lebih dari
satu tempat
*bTermasuk rambut kepala pada 15 kasus, pertumbuhan jenggot pada dua kasus, dan
rambut tubuh laim pada tiga kasus
*cTermasuk Jerawat pada tujuh kasus, garis wajah pada tiga kasus, dan termasuk
masalah kulit lain pada tujuh kasus
* dTermasuk masalah bentuk pada lima kasus dan ukursn pada satu kasus
(K.A. Phillips,S.L. McElroy,P.E.Keck Jr., H.G.Pope, J.I. Hudson : Body Dysmorphic
Disorder:30 Cases of Imagined Ugliness. Am J Psychiatry 150:303,1993)

Adapun bentuk-bentuk perilaku yang mengindikasikan Body Dysmorphic


Disorder (BDD) (menurut Watkins, 2006; Thompson, 2002; Wikipedia, 2006;
Weinshenker, 2001; dan David Veale) adalah sebagai berikut:
 Secara berkala mengamati bentuk penampilan lebih dari satu jam per hari atau
menghindari sesuatu yang dapat memperlihatkan penampilan, seperti melalui
cermin atau kamera.
 Mengukur atau menyentuh kekurangan yang dirasakannya secara berulang-ulang.
 Meminta pendapat yang dapat mengukuhkan penampilan setiap saat.
 Mengkamuflasekan kekurangan fisik yang dirasakannya.
 Menghindari situasi dan hubungan sosial.
 Mempunyai sikap obsesi terhadap selebritis atau model yang mempengaruhi
idealitas penampilan fisiknya.
 Berpikir untuk melakukan operasi plastik.
 Selalu tidak puas dengan diagnosis dermatologist atau ahli bedah plastik.
 Mengubah-ubah gaya dan model rambut untuk menutupi kekurangan yang
dirasakannya.
 Mengubah warna kulit yang diharapkan memberi kepuasan pada penampilan.
 Berdiet secara ketat dengan kepuasan tanpa akhir.
Weinshenker (2001) menyatakan bahwa diagnosis gangguan kecemasan, rasa
malu dan juga depresi seringkali merupakan suatu konsekuensi dari gangguan ini dan
pasien mungkin juga memiliki sifat gangguan kepribadian obsesif-komplusif, skizoid
dan narsistik

3.4.5 PERJALANAN PENYAKIT DAN PROGNOSIS

32
Onset gangguan dismorfik tubuh biasanya bertahap. Orang yang terkena
mungkin akan mengalami peningkatan permasalahan tentang bagian tubuh tertentu
sampai orang mengetahui bahawa fungsinya terpengaruh oleh permesalahan. Pada saat
itu orang mungkin akan mencari bantuan medis atau bedah plastik untuk memecahkan
masalah yang dihadapinya. Tingkat keprihatinan tentang masalah mungkin hilang dan
timbul dengan berjalannya waktu, walaupun gangguan dismorfik tubuh biasanya
merupakan suatu gangguan kronis jika dibiarkan tidak diobati.

3.4.6 PENATALAKSANAAN
Pengobatan pasien gangguan dismorfik tubuh dengan prosedur bedah,
dermatologis, dental dan prosedur medis lainnya untuk menyelesaikan defek yang
dideritanya hampir selalu tidak mendapatkan hasil. Adapun obat tetrasiklik, inhibitor
monamin oksidase, dan pimozide telah dilaporkan berguna pada kasus individual, dan
semakin banyak data yang menyatakan bahwa obat spesifik serotonin sebagai contoh :
clomipramine (Anafranil) dan fluoxetine (Prozac) dapat efektif dalam menurunkan
gejala sekurang-kurangnya 50% pasien. Pada tiap pasien dengan gangguan mental
penyerta, seperti gangguan depresif atau ganggauan kecemasan, maka gangguan
penyerta harus diobati dengan farmakoterapi dan psikoterapi yang sesuai. Berapa
lamanya pengobatan harus dilanjutkan jika gejala gangguan dismorfik tubuh telah
menghilang masih belum diketahui.

33
Gambar 3. Algoritma Penatalaksanaan Gangguan Dismorfik Tubuh

3.5 GANGGUAN NYERI


Pada gangguan nyeri, penderita mengalami rasa sakit yang mengakibatkan
ketidakmampuan secara signifikan, faktor psikologis diduga memainkan peranan
penting pada kemunculan, bertahannya dan tingkat sakit yang dirasakan. Pasien
kemungkinan tidak mampu untuk bekerja dan menjadi tergantung dengan obat pereda
rasa sakit. Rasa nyeri yang timbul dapat berhubungan dengan konflik atau stress atau
dapat pula terjadi agar individu dapat terhindar dari kegiatan yang tidak menyenangkan
dan untuk mendapatkan perhatian dan simpati yang sebelumnya tidak didapat.
Diagnosis akurat mengenai gangguan nyeri terbilang sulit karena pengalaman
subjektif dari rasa nyeri selalu merupakan fenomena yang dipengaruhi secara
psikologis, dimana rasa nyeri itu sendiri bukanlah pengalaman sensoris yang sederhana,
seperti penglihatan dan pendengaran. Untuk itu, memutuskan apakah rasa nyeri yang
dirasakan merupakan gangguan nyeri yang tergolong gangguan somatoform, amatlah

34
sulit. Akan tetapi dalam beberapa kasus dapat dibedakan dengan jelas bagaimana rasa
nyeri yang dialami oleh individu dengan gangguan somatoform dengan rasa nyeri dari
individu yang mengalami nyeri akibat masalah fisik. Individu yang merasakan nyeri
akibat gangguan fisik, menunjukkan lokasi rasa nyeri yang dialaminya dengan lebih
spesifik, lebih detail dalam memberikan gambaran sensoris dari rasa nyeri yang
dialaminya, dan menjelaskan situasi dimana rasa nyeri yang dirasakan menjadi lebih
sakit atau lebih berkurang (Adler et al., dalam Davidson, Neale, Kring, 2004).

3.5.1 EPIDEMIOLOGI
Nyeri mungkin merupakan keluhan tersering didalam praktik medis dan sndrom
nyeri yang sulit dikendalikan lazim ditemukan. Nyeri punggung bawah menyebabkan 7
juta orang di Amerika serikat mengalami hendaya dan bertanggung jawab untuk lebih
dari 8juta kunjungan ke ruang praktik dokter setiap tahun. Gangguan nyeri didiagnosis
dua kali lebih sering pada perempuan dibandingkan laki-laki. Usia puncak awitan
adalah dekade keemapat dan kelima, mungkin karena toleransi terhadap nyeri berkurang
seiring dengan pertambahan usia. Gangguan nyeri paling lazim ditemukan pada orang
dengan pekerjaan industri, mungkin karena kecenderungan mendapatkan cedera terkait
pekerjaan meningkat. Kerabat derajat pertama pasien dengan gangguan nyeri memiliki
gangguan yang sama; oleh sebab itu, penurunan genetik atau mekanisme perilaku
mungkin terlibat didalam transmisinya. Gangguan depresif, gangguan ansietas, dan
penyalahgunaan zat juga lebih lazim ditemukan didalam keluarga pasien dngan
gangguan nyeri dibandingkan populasi umum.

3.5.2 ETIOLOGI
1. Faktor Psikodinamika.
Pasien yang mengalami sakit dan nyeri pada tubuhnya tanpa penyebab fisik
yang dapat diidentifikasi secara adekuat mungkin merupakan ekspresi simbolik dari
konflik intrapsikis melalui tubuh. Bbeberapa pasien menderita alekstimia, dimana
mereka tidak mampu mengartikulasikan kata-kata, sehingga tubuh mengekspresikan
perasaanny. Pasien lain mungkin secara tidak disadari memangdang nyeri emosional
sebagai kelemahan dan bagaimanapun tidak ada dalam kekuasaan. Dengan mengalihkan
masalah ke tubuh, mereka merasa bahwa mereka memiliki kekuasaan untuk memenuhi

35
kebutuhan ketergantungan mereka. Arti simbolik dari ganggguan tubuh mungkin juga
berhubungan dengan penebusan ata dosa yang dirasakan, penebusan kesalahan, atau
agresi yang ditekan. Banyak pasien mengalami nyeri yang sukar disembuhkan dan tidak
responsif karena mereka berkeyakinan bahwa mereka pantas untuk menderita.
Nyeri dapat berfungsi sebagai cara untuk mendapatkan cinta, suatu hukuman
karena kesalahan, dan cara untuk menebus kesalahn dan baertobat akan keburukan.
Mekanisme pertahanan yang digunakan oleh pasien dengan gangguan nyeri adalah
pengalihan, substitusi, dan represi. Identifikasi memainkan peranan jika pasien
mengambil peranan objek cinta yang ambivalen yang juga mengalami nyeri seperti
orang tua.
2. Faktor Perilaku.
Perilaku sakit adalah didorong jika disenangi dan dihambat jika diabaikan atau
dihukum. Sebagai contoh, gejala nyeri sedang mungkin menjadi kuat jika diikuti oleh
perlakuan cemas dan penuh perhatian dari orang lain, oleh tujuan keuangan, atau oleh
kebehasilan dalam menghindari aktivitas yang tidak disenangi.
3. Faktor Interpersonal
Nyeri yang sukar disembuhkan telah dipandang sebagai cara untuk
memanipulasi dan mendapatkan keuntungan dalam hubungan interpersonal, sebagai
contoh, untuk menjadi kesayangan anggota keluarga atau untuk menstabilkan
perkawinan yang rapuh,. Tujuansekunder tersebut adalah paling penting bagi pasien
dengan gangguan nyeri.

4. Faktor biologis
Korteks serebaral dapat menghampat pemicuan serabut nyeri aferen. Serotonin
kemungkinan merupakan suatu neurotransmiter utama didalam jalur inhibitor desenden,
dan endorfin juga berperan dalam modulasi nyeri oleh sistem saraf pusat.. Defisiensi
endorfin tampaknya berhubungan dengan penguatan stimuli sensorik yang datang.
Beberapa pasien mungkin memiliki gangguan nyeri, bukannya gangguan mental lain,
karena struktural sensorik dan limbik atau kelaian kimiawi yang mepredisposisiskan
mereka mengalami nyeri.

36
3.5.3 DIAGNOSIS
Kriteria diagnostik DSM-IV untuk gangguan nyeri mengahruskan adanya
keluhan nyeri yang bermakna secara klinis. Keluhan nyeri harus diaanggap secar
bermakna dipengaruhi oleh faktor psikologis, dan gejala harus menyebabkan
penderitaan emosional yang bermakna atau gangguan fungsional (sebagai contoh, sosial
atau pekerjaan) bagi pasien. DSM-IV mengahruskan bahwa gangguan nyeri
didefinisikan lebih jauh sebagai berhubungan terutama dengan faktor psikologis atau
sebagai hubungandari faktor psikologis dan suatu kondisi medis umum. DSM-IV lebih
lanjut menyebutkan bahwa gangguan nyeri semata-mata berhubungan dengan kondisi
medis umum didiagnosis sebagai kondisi Aksis III. DSM-IV juga memungkinkan klinisi
menyebutkan apakah gangguan nyeri adalah akut atau kronis, tergantung pada apakah
gejala telah berlangsung enam bulan atau lebih lama.

3.5.4 PENATALAKSANAAN
Pengobatan yang efektif cenderung memiliki hal-hal berikut:
 Memvalidasikan bahwa rasa nyeri itu adalah nyata dan bukan hanya ada dalam
pikiran penderita.
 Relaxation training
 Memberi reward kepada mereka yang berperilaku tidak seperti orang yang
mengalami rasa nyeri
Secara umum disarankan untuk mengubah fokus perhatian dari apa yang tidak dapat
dilakukan oleh penderita akibat rasa nyeri yang dialaminya, tetapi mengajari penderita
bagaimana caranya menghadapi stress, mendorong untuk mengerjakan aktivitas yang
lebih baik, dan meningkatkan kontrol diri, terlepas dari keterbatasan fisik atau
ketidaknyamanan yang penderita rasakan.

37
DAFTAR PUSTAKA

1. Sadock BJ and Sadock VA. 2010. Kaplan & Sadock’s Concise Textbook of Clinical
Psychiatry. New York, Lippincott Williams & Wilkins Inc
2. American Psychiatric Association. 2000. Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders. 4th ed. rev. Washington D.C, American Psychiatric
Association
3. Mai F. 2004. Somatization Disorder : A Practical Review. Canadian Journal of
Psychiatry Vol. 49 (10) : 652 – 662
4. Huwitz T. 2004. Somatization and Conversion Disorder. Canadian Journal of
Psychiatry Vol. 49 (3) : 172 – 178
5. Oyama O, Paltoo C, Greengold J. 2007. American Family Physician Vol. 76 (9) :
1333 – 1338
6. Roy A. Hysteria : A case Note Study. 1979. Canadian Journal of Psychiatry Vol 24 :
157 – 160
7. Abrahamowitz, J., & Braddock, A. E. (2010). Hypochondriasis: Conceptualization,
Treatment, and Relationship due to Obsessive-Compulsive Disorder.
Psychiatrics Clinics of North America .
8. Christogiorgos, S., Stzikas, D., Widershoven-Zervaki, M.-A., Dimitripoulou, P.,
Athanassiadou, E., & Giannakoupulou, G. (2013). Hypochondrial Anxiety in
Adolescence. The Open Mysiology Journal , 3-4.
9. Kupfer, D. J. (2013). Somatic Symptoms Criteria in DSM-V Improve Diagnosis,
Care. American Psychiatric Association .
10. Rosenfelt, H. (2008). Psychotic States. New York: Elsevier.
11. Ness, Debra. 2007. Physical Therapy Management for Conversion Disorder: Case
Series . JNPT • Volume 31, March 2007
12. Blitzstein, Sean. 2008. Recognizing and Treating Conversion Disorder. American
Medical Association Journal of Ethics. March 2008, Volume 10, Number 3:
158-160.
13. Maqsood et al. 20 10. Patients with Conversion Disorder; Psychosocial Stressor and
Life Events. Professional Med J Dec 2010;17(4): 715-720
14. Hurwitz, Trevor. 2003. Somatization and Conversion Disorder. Can J Psychiatry
2003;49:172–178

38
15. Cognitive Behavioral Therapy for Woolfolk, R dan Lesley A. Allen. 2012.
Somatoform Disorders. Standard and Innovative Strategies in Cognitive
Behavior Therapy. 2012.

39

Anda mungkin juga menyukai