Anda di halaman 1dari 27

Referat

Gangguan Psikosomatis Pada NERD

Oleh:

Pembimbing:

BAGIAN / DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Telaah Ilmiah

Gangguan Psikosomatik dan NERD

Oleh:

Telah diterima sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik di
Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya-Rumah
Sakit Dr. Mohammad Hoesin Palembang Periode

Palembang,
Pembimbing

dr.

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul
“Gangguan Psikosomatik dan NERD”.
Referat ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk
mengikuti Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam di RSMH Palembang. Pada
kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih dr atas bimbingan yang
telah diberikan.
Dalam menyelesaikan penulisan ini, penulis tidak luput dari kesalahan dan
kekurangan baik dari segi materi dan bahasa yang disajikan. Untuk itu penulis
memohon maaf atas segala kesalahan dan kekurangan, serta mengharapkan kritik
dan saran demi kesempurnaan tulisan ini.
Akhirnya, penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi
penulis pada khususnya, serta semua pihak yang membutuhkan.

Palembang,

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................... ii
KATA PENGANTAR...................................................................................... iii
DAFTAR ISI.................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN................................................................................. 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................... 7
BAB III KESIMPULAN.................................................................................. 24
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 25

iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Gangguan psikosomatis adalah faktor psikologis yang merugikan,


mempengaruhi kondisi medis pasien. Faktor psikologis tersebut dapat
berupa gangguan mental, gejala psikologis, sifat kepribadian atau gaya
mengatasi masalah, dan prilaku kesehatan yang maladaptif. Kurang lebih
400 tahun SM ahli filsafat Hipocrates sudah mengutarakan pentingnya
peran faktor psikis pada penyakit. Pada abad pertengahan Paracelcus
seorang ahli kimia menyatakan bahwa kekuatan batin memiliki pengaruh
terhadap kekuatan seseorang.
Menurut The National Academy Science tahun 1978 definisi
psikosomatis adalah bidang inter disiplin yang memperhatikan per-
kembangan dan integrasi ilmu pengetahuan prilaku, biomedis dan
teknik yang relevan dengan kesehatan dan penyakit serta penerapan
pengetahuan, dan teknik-teknik tersebut untuk mencegah, mendiagnosis
dan rehabilitasi. Gangguan psikosomatis sendiri memiliki berbagai
manifestasi di berbagai organ mulai dari sistem, referat ini akan membahas
gangguan psikosomatik pada sistem pencernaan dan khususnya NERD
atau Non-erosive reflux Disease. NERD adalah kelompok dari
Gastroesophageal reflux disease tetapi pada NERD gejala refluks yang
mengganggu tetap ada tapi tanpa adanya kerusakan mukosa esophagus
pada pemeriksaan endoskopi. Data yang ada menunjukkan bahwa geja
yang dialami oleh pasien NERD juga disebabkan oleh asam, berdasarkan
pemantauan pH, respons terhadap penekanan asam dan tes Bernstein yang
positif. Selain hal-hal yang sudah disebutkan, salah konsep patofsiologi

5
NERD melibatkan faktor sentral seperti psikologi, stress, tidur dan lain-
lain.

1.1 TUJUAN PENULISAN


Pembuatan tinjauan pustaka ini bertujuan untuk mengkaji terutama
mengenai pengaruh keadaan psikis pasien yang dapat memicu terjadinya
NERD

1.2 MANFAAT PENULISAN


- Diharapkan tinjauan pustaka ini dapat menambah wawasan tentang
gangguan psikosomatik pada NERD
- Sebagai referensi untuk dapat memberikan informasi tentang gangguan
psikosomatik pada NERD.

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Gangguan Psikosomatik

Gangguan psikosomatik ialah gangguan atau penyakit dengan gejala-


gejala yang menyerupai penyakit fisik dan diyakini adanya hubungan yang
erat antara suatu peristiwa psikososial tertentu dengan timbulnya gejala-
gejala tersebut. Ada juga yang memberikan batasan bahwa gangguan
psikosomatik merupakan suatu kelainan fungsional suatu alat atau sistem
organ yang dapat dinyatakan secara obyektif, misalnya adanya spasme,
hipo atau hipersekresi, perubahan konduksi saraf dan lain-lain. Keadaan
ini dapat disertai adanya organik/struktural sebagai akibat gangguan
fungsional yang sudah berlangsung lama.
Menurut JC. Heinroth yang dimaksud dengan gangguan
psikosomatik ialah adanya gangguan psikis dan somatik yang menonjol
dan tumpang tindih. Berdasarkan pengertian dan kenyataan diatas dapat
disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan gangguan psikosomatik adalah
gangguan atau penyakit yang ditandai oleh keluhan-keluhan psikis dan
somatik yang dapat merupakan kelainan fungsional suatu organ dengan
ataupun tanpa gejala objektif dan dapat pula bersamaan dengan kelainan
organik/struktural yang berkaitan dengan stressor atau peristiwa
psikososial tertentu.
Gangguan fungsional yang ditemukan bersamaan dengan gangguan
struktural organis dapat berhubungan sebagai berikut:
 Gangguan fungsional yang lama dapat menyebabkan atau
mempengaruhi timbulnya gangguan struktural seperti asma
bronchial, hipertensi, penyakit jantung koroner, arthritis
rheumatoid dan lain-lain
 Gangguan atau kelainan struktural dapat menyebabkan gangguan
psikis dan menimbulkan gejala-gejala gangguan fungsional seperti

7
pada pasien penyakit jantung, penyakit kanker, gagal ginjal dan
lain-lain.
 gangguan fungsional dan struktural organik berada bersamaan oleh
sebab yang berbeda.
Dalam kenyataannya, di klinik jarang sekali faktor psikis/emosi
seperti frustasi, konflik, ketegangan dan sebagainya dikemukakan sebagai
keluhan utama oleh pasien. Justru keluhan –keluhan fisis yang beraneka
ragam yang selalu ditonjolkan oleh pasien. Keluhan-keluhan yang
dirasakan pasien umumnya terletak di bidang penyakit dalam seperti
keluhan sitem kardiovaskuler, sistem pernapasan, saluran cerna, saluran
urogenital, dan sebagainya.
Keluhan-keluhan tersebut adalah manifestasi adanya
ketidakseimbangan sistem saraf otonom vegetatif, seperti sakit kepala,
pusing, serasa mabuk, cenderung untuk pingsan, banyak keringat, jantung
berdebar-debar, sesak napas, gangguan pada lambung, dan usus, diare,
anoreksia, kaki dan tangan dingin, kesemutan, merasa panas atau dingin
seluruh tubuh dan banyak lagi gejala lainnya.1

2.1.1 Patomekanisme
Patofisiologi timbulnya kelainan fisis yang berhubungan dengan
gangguan psikis/emosi belum seluruhnya dapat diterangkan namun sudah
terdapat banyak bukti dari hasil penelitian para ahli yang dapat dijadikan
pegangan. Gangguan psikis/konflik emosi yang menimbulkan gangguan
psikosomatik ternyata diikuti oleh perubahan-perubahan fisiologis dan
biokimia pada tubuh seseorang. Perubahan fisiologi ini berkaitan erat
dengan adanya gangguan pada sistem saraf autonom vegetatif, sistem
endokrin dan sistem imun.1
Patofisiologi gangguan psikosomatik dapat diterangkan melalui
beberapa teori sebagai berikut:
a. Gangguan Keseimbangan Saraf Autonom Vegetatif

8
Pada keadaan ini konflik emosi yang timbul diteruskan melalui
korteks serebri ke sistem limbik kemudian hipotalamus dan akhirnya
ke sistem saraf autonom vegetatif. Gejala klinis yang timbul dapat
berupa hipertoni parasimpatik, ataksi vegetatif yaitu bila koordinasi
antara simpatik dan parasimpatik sudah tidak ada lagi dan amfotoni
bila gejala hipertoni simpatik dan parasimpatik terjadi silih berganti.1
b. Gangguan Konduksi Impuls Melalui Neurotransmitter
Gangguan konduksi ini disebabkan adanya kelebihan atau kekurangan
neurotransmitter di presinaps atau adanya gangguan sensitivitas pada
reseptor-reseptor postsinaps. Beberapa neurotransmitter yang telah
diketahui berupa amin biogenik antara lain noradrenalin, dopamine,
dan serotonin.1

c. Hiperalgesia Alat Viseral


Meyer dan Gebhart (1994) mengemukakan konsep dasar terjadinya
gangguan fungsional pada organ visceral yaitu adanya visceral
hyperalgesia. Keadaan ini mengakibatkan respon reflex yang
berlebihan pada beberapa bagian alat visceral tadi. Konsep ini telah
dibuktikan pada kasus-kasus non-cardiac chest pain, non-ulcer
dyspepsia dan irritable bowel syndrome.1
d. Gangguan Sistem Endokrin/Hormonal
Perubahan-perubahan fisiologi tubuh yang disebabkan adanya
stress dapat terjadi akibat gangguan sistem hormonal. Perubahan
tersebut terjadi melalui hypothalamic-pitutary-adrenal axis (jalur
hipotalamus-pituitari-adrenal). Hormone yang berperan pada jalur ini
antara lain: hormon pertumbuhan (growth hormone), prolactin, ACTH,
katekolamin.1
e. Perubahan dalam Sistem Imun
Perubahan tingkah laku dan stress selain dapat mengaktifkan
sistem endokrin melalui hypothalamus-pituitary axis (HPA) juga dapat
mempengaruhi imunitas seseorang sehingga mempermudah timbulnya

9
nfeksi dan penyakit neoplastik. Fungsi imun menjadi terganggu karena
sel-sel imunitas merupakan immunotransmitter mengalami berbagai
perubahan. 1
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi imunitas adalah sebagai
berikut:
 Kualitas dan kuantitas stress yang timbul
 Kamampuan individu dalam mengatasi suatu stress secara efektif
 Kualitas dan kuantitas rangsang imunitas
 Lamanya stress
 Latar belakang lingkungan sosio-kultural pasien
 Faktor pasien sendiri (umur, jenis kelamin, status gizi)1

2.1.2 Diagnosis

Menegakkan diagnosis pasien dengan gangguan psikosomatik tidak


berbeda dengan menegakkan diagnosis penyakit lain pada umumnya yaitu
dengan cara anamnesis, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan laboratorium
atau pemeriksaan penunjang lain yang diperlukan. Pada umumnya pasien
dengan gangguan psikosomatik datang ke dokter dengan keluhan
somatiknya. Jarang sekali keluhan psikis atau konfliknya dikeluhkan
secara spontan. Keluhan psikis yang menjadi stressornya baru akan
muncul setelah dilakukan anamnesis yang baik dan mendalam. Keluhan
somatisnya sangat beraneka ragam dan sering berpindah-pindah dari satu
sistem organ ke organ lain.1
Gangguan psikosomatik pada orang yang tidak stabil, dapat
disebabkan bukan saja oleh stress yang luar biasa, tetapi juga oleh
kejadian-kejadian dan keadaan sehari-hari, umpamanya rumah tangga
yang sibuk, terlalu banyak orang di dalam satu rumah, suami atau isteri
yang tidak dapat menyesuaikan diri atau tidak mengindahkan keinginan
satu sama lain.2

10
Untuk itu, penting ditanyakan beberapa pertanyaan berikut dalam
proses anamnesis:
- Faktor sosial dan ekonomi: kepuasan dalam pekerjaan; kesukaran
ekonomi; pekerjaan yang tidak tentu; hubungan dengan keluarga dan
orang lain; minatnya; pekerjaan yang terburu-buru; kurang terbiasa
- Faktor perkawinan: perselisihan, perceraian, dan kekecewaan dalam
hubungan sexual; anak-anak yang nakal dan menyusahkan.
- Faktor kesehatan: penyakit-penyakit yang menahun; pernah masuk
rumah sakit; pernah dioperasi; adiksi terhadap obat-obatan, tembakau,
dan lain-lain
- Faktor psikologik: stress psikologik; keadaan jiwa waktu operasi;
status dalam keluarga.2
Untuk menentukan gangguan fungsional, maka anmnesa penting
sekali. Bila kita sudah menentukan bahwa penderita itu mempunyai
gangguan fungsional, maka selanjutnya kita harus menetapkan apakah
sebabnya itu gangguan psikogenik atau non-psikogenik. Apabila kita
sudah menduga bahwa hal itu merupakan gangguan psikogenik, sebaiknya
harus dicari juga korelasi antara gejala-gejala dan stress psikologik.2
Lewis memberikan beberapa kriteria untuk diagnosa gangguan
psikomatik:
1. Gejala-gejala yang didapat mempunyai permulaan, akibat, manifestasi
dan jalannya yang sangat mencurigakan akan adanya gangguan
psikosomatik
2. Dengan pemeriksaan fisis dan laboratorium tidak didapati penyakit
organik yang dapat menyebabkan gejala-gejala (atau sebagian gejal-
gejala)
3. Adanya suatu stress atau konflik yang menyukarkan penderita
4. Reaksi penderita terhadap stress ini banyak hubungannya dengan
gejala-gejala yang dikeluhkannya, yaitubahwa gejala-gejala itu secara
psikosomatik merupakan manifestasi badaniah dari konflik atau
penyelesaian masalah yang tidak memuaskan

11
5. Terjadinya stress itu harus mempunyai korelasi antara waktu dan
timbulnya keluhan, bertambah beratnya atau/dan menahunnya
penyakit yang ada.2
Tidak semua kriteria harus ada, tetapi apabila terdapat beberapa
kriteria yang sesuai sudah merupakan indikasi kea rah gangguan
psikosomatik.1

2.1.3. Jenis Gangguan Psikosomatik


Untuk klasifikasi jenis gangguan psikosomatik, maka jenis gangguan
dibagi menurut organ yang paling sering terkena, yaitu gangguan
gastrointestinal, gangguan kardiovaskular, gangguan pernapasan,
gangguan endokrin, gangguan kulit, gangguan muskuloskeletal, psiko-
onkologi.

Gangguan Gastrointestinal
1. Dispepsia Fungsional
Merupakan perasaan tidak enak dan sakit pada daerah
epigastrium, sering disebabkan karena kelainan fungsi lambung:
sekresi asam lambung yang berlebihan, motilitas dan tonus yang
meninggi pada otot-otot dinding lambung.2 Legarde dan Spiro
(1984) mengatakan bahwa keluhan tidak enak pada perut bagian
atas yang bersifat intermitten sedangkan pada pemeriksaan tidak
didapatkan kelainan organis. Gejala-gejala yang sering dikeluhkan
pasien berupa rasa penuh pada ulu hati sesudah makan, kembung,
sering bersendawa, cepat kenyang, anoreksia, nausea, vomitus, rasa
terbakar pada daerah ulu hati dan regurgitasi.3
Peran faktor psikososial pada dispepsia fungsional sangat
penting karena dapat menyebabkan hal-hal di bawah ini:
- Menimbulkan perubahan fisiologi saluran cerna
- Perubahan penyesuaian terhadap gejala-gejala yang timbul
- Mempengaruhi karakter dan perjalanan penyakitnya

12
- Mempengaruhi prognosis
Rangsangan psikis/emosi sendiri secara fisiologi dapat
mempengaruhi lambung dengan dua cara:
- Jalur Neurogen: rangsangan konflik emosi pada korteks serebri
mempengaruhi kerja hipotalamus anterior dan selanjutnya ke
nucleus vagus, dan kemudian ke lambung
- Jalur Neurohormonal: rangsangan pada korteks serebri
diteruskan ke hipotalamus anterior selanjutnya ke hipofisis
anterior yang mengeluarkan kortikotropin. Hormon ini
merangsang korteks adrenal dan kemudian menghasilkan
hormon adrenal yang selanjutnya merangsang produksi asam
lambung.3
Pengobatan melalui pendekatan psikosomatis yaitu dengan
memperhatikan aspek-aspek fisik, psikososial, dan lingkungan.
Terhadap keluhan-keluhan dispepsia dapat diberikan pengobatan
simptomatis seperti antasida, obat-obat H2 antagonis seperti
Cimetidin, ranitidine. Obat inhibitor pompa proton seperti
omeprazole, lansoprazole. Yang tidak kalah pentingnya ialah
melakukan psikoterapi dengan beberapa edukasi dan saran agar
dapat mengatasi atau mengurangi stress dan konflik psikososial.3

2. Konstipasi Psikogenik
Buang air besar biasanya terjadi setelah timbul rangsangan di
hipotalamus yang diteruskan ke kolon dan sfingter ani melalui
susunan saraf autonom. Pada waktu tertentu kemungkinan
rangsangan tersebut tidak timbul. Hal ini dapat terjadi pada
seseorang yang sedang murung, kecewa, putus asa, dan gangguan
jiwa lain. Pasien sering mempunyai keluhan tidak dapat atau
mengalami kesulitan buang air besar. Akibat kelainan tersebut,
rangsangan di hipotalamus ikut menurun sampai tidak ada,
sehingga rangsangan di usus besar pun sangat berkurang. Bila

13
berlangsung terus-menerus akan terjadi atoni kolon dan konstipasi
kronik yang selanjutnya disebut konstipasi psikogenik. 4
Pengelolaan pasien konstipasi psikogenik lebih
menitikberatkan pada psikoterapi. Perlu pendekatan psikomatik
dengan memperdulikan faktor-faktor psikis sebagai penyebabnya. 4

3. Diare Psikogenik
Seseorang yang sedang mengalami ketegangan jiwa, sedang
emosi, atau sedang dalam keadaan stress , hidupnya tidak teratur.
Keadaan demikian akan menyebabkan terangsangnya hipotalamus
terus-menerus secara tidak teratur. Rangsangan di hipotalamus ini
akan diteruskan ke susunan saraf autonom. Susunan saraf yang
berulang kali terangsang ini akan menyebabkan timbulnya
hiperperistaltik kolon, sehingga bolus makanan terlalu cepat
dikeluarkan karena hiperperistaltik tersebut, reabsorpsi air di kolon
terganggu, dan timbullah diare. Bila terjadi berulang kali, timbul
diare kronik. Keadaan demikian disebut diare psikogenik kronik. 4
Sifat diare psikogenik pada umumnya memperlihatkan sering
buang air besar yang bersifat lembek, hampir tidak pernah bersifat
cair, jarang disertai lender dan darah, dan tidak pernah disertai
demam. Diare yang timbul biasanya berlangsung beberapa hari,
selama masih ada gangguan psikis. 4

4. Obesitas
Pada obesitas yang hebat sering didapati faktor psikologik.
Tidak dapat diterangkan secara memuaskan dengan teori: efisiensi
otot-otot yang tinggi, “respiratory quotient” yang rendah, “specific
dynamic action” dari makanan atau penyimpanan yang abnormal
oleh orang gemuk itu. 2
Faktor psikologik, mulai dari ketegangan yang ringan smapai
dengan suatu nerosa yang hebat dapat menyebabkan makan

14
berlebihan. Kadang-kadang orang yang merasa tidak bahagia
mencari kesenangan dalam makanan. Mungkin bila ia mengalami
banyak kekecewaan dalam pekerjaan atau kehidupan seksual,
makanan bukan saja daoat merupakan pembelaan atau hiburan,
tetapi juga dapat merupakan substitusi. 2
Pengobatan ialah meyakinkan penderita bahwa berat badan itu
perlu diturunkan, mengatur tabiat makanan, diet yang pantas, dan
psikoterapi bila terdapat konflik; dapat juga diberikan obat-obat
untuk menekan nafsu makan beserta vitamin supaya tidak
kekurangan bila makan berkurang. 2

2.1.4. Tatalaksana

A. FARMAKOTERAPI
Di Amerika Serikat 1/3 penderita yang datang berobat pada dokter
umum tidak mempunyai gangguan organik, 1/3 yang lain mempunyai
gangguan organik tetapi keluhannya berlebihan.2
Dengan kesabaran dan simpati banyak penderita dengan gangguan
psikosomatik dapat ditolong. Kita dapat menerangkan kepada penderita
tidak dapat sesuatu dalam tubuhnya yang rusak atau yang kurang, tidak
terdapat infeksi dan kanker, hanya anggota tubuhnya bekerja tidak teratur.
Untuk menerangkan bagaimana emosi dapat mengganggu tubuh dapat
diambil contoh sehari-hari seperti orang yang malu mukanya akan menjadi
merah, orang yang takut menjadi
bergemetar dan pucat. Dapat dipakai perumpamaan menurut pendidikan dan
pengetahuan penderita.2
Setelah dibuat diagnosis gangguan psikosomatis, terdapat 3 fase terapi
yaitu: 2
Fase 1 : ialah fase pemeriksaan dan pemberian ketenangan, penderita dan
dokter bersama-sama berusaha dan saling membantu melalui anamnesis
yang baik, pemeriksaan fisik yang teliti dan tes laboratorium bila perlu.

15
Diusahakan membuktikan bahwa tidak terdapat penyakit organik dan
dijelaskan kepada penderita tentang mekanisme fisiologik serta keterangan
tentang gejala-gejala. Berikan kesempatan kepada penderita untuk bertanya.
Fase 2 : merupakan fase pendidikan, fase ini dokter lebih banyak bicara.
Untuk memberi keterangan tentang keluhan, meyakinkan serta
menenangkan pasien, dapat dikatakan antara lain :
· Bahwa gejala-gejalanya benar ada, dapat dimengerti kalau ia mengeluh dan
menderita
· Bahwa gejala-gejalanya sering terdapat juga pada orang lain yang sudah kita
obati

· Bahwa tidak ada kanker atau penyakit berbahaya lain


· Bahwa gejala-gejala itu timbul karena ketegangan sehari-hari dan
gangguan emosional
· Bahwa gejala itu tidak akan segera hilang, diperlukan beberapa waktu,
tetapi akan hilang atau berkurang bila diobati dengan baik
· Bahwa kita semua mengalami ketegangan, kekecewaan, godaan dan
kecemasan
· Bahwa kelelahan fisik atau jiwa dapat mengurangi daya tahan tubuh
sehingga timbul gejala
· Bahwa kita apabila terlalu terburu-buru akan timbul ketegangan jiwa
· Bahwa tubuh kita bereaksi terhadap ketegangan yang terlalu berat. Sering
gejala merupakan pekerjaan alat tubuh yang bekerja berlebihan
· Bahwa ini akan lebih baik bila pasien mengerti akan penyebab gejala.

Fase 3 : ialah fase keinsafan intelektual dan emosional. Pada fase ini
pasien yang lebih banyak bicara. Terjadi pengakuan, katarsis dan
wawancara psikiatrik. Hal ini harus berjalan sangat pribadi, rahasia, tanpa
sering terganggu dan dalam suasana penuh kepercayaaan dan pengertian.

16
Dokter menjelaskan saja agar pembicaraan berjalan dengan baik, tidak
terlalu menyimpang dari pokok pembicaraan. Terdapat 3 golongan
senyawa psikofarmaka2
1. Obat tidur (hipnotik)
Diberikan dalam jangka waktu pendek 2-4 minggu. Obat yang dianjurkan
adalah senyawa benzodiazepine berkhasiat pendek seperti nitrazepam,
flurazepam, dan triazolam. Pada insomnia dengan kegelisahan dapat
diberikan senyawa fenotiazin seperti tioridazin, prometazin.2,12
2. Obat penenang minor dan mayor
 Obat penenang minor
Diazepam merupakan obat yang efektif yang dapat digunakan pada
anxietas,agitasi, spasme otot, delirium, epilepsi. Benzodiazepine hanya
diberikan pada anxietas hebat maksimal 2 bulan sebelum dicoba
dihentikan secara perlahan (tapering off) untuk menghindari toleransi
dan adiksi.2,12
 Obat penenang mayor
Yang paling sering digunakan adalah senyawa fenotiazin dan
butirofenon seperti clorpromazin, tioridazin dan haloperidol. Diberikan
hanya pada kasus gejala agitasi , kegelisahan yang berlebihan, agresi
dan kegaduhan.2,12
3. Antidepresan
Yang biasa digunakan adalah senyawa trisiklik dan tetrasiklik seperti
amitriptilin, imipramin, mianserin dan maprotilin yang dimulai dengan
dosis kecil yang kemudian ditingkatkan. Saat ini, golongan trisiklik
sudah jarang digunakan karena efek samping yang banyak akibat kerja
anti kolinergiknya. Antidepresan baru dengan efek samping yang
minimal adalah golongan:
- SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitor): sertalin, paroksetin,
fluoksetin, fluvoksamin
- SSRE (Selective Serotonin Reuptake Enhancer): Tianeptin
- SNRI (Serotonin Nor Epinephrin Reuptake Inhibitor): Venlafaksin

17
- RIMA (Reversible Inhibitory Monoamine Oxidose type A):
Moklobemid
- NaSSA (Nor-adrenalin ang Serotonin Anti Depressant): Mitrazapin
- Atipik: Trazodon, Nefazodon12

B. NONFARMAKOTERAPI
- Hipnoterapi
Hipnoterapi sendiri dikenal sebagai salah satu cabang ilmu psikologi
yang mempelajari manfaat sugesti untuk mengatasi masalah pikiran,
perasaan, dan perilaku. Hipnoterapi dikatakan sebagai suatu teknik terapi
pikiran dengan cara memberi sugesti atau perintah kepada pikiran bawah
sadar.
Studi-studi tentang hipnoterapi sebagai salah satu bentuk intervensi
dalam dunia kesehatan sudah banyak dilakukan dan hasilnya cukup
signifikan. Di beberapa negara maju telah dilakukan uji coba penggunaan
hipnoterapi untuk mengatasi stress. Jurnal penelitian terdahulu pernah
mengungkapkan bahwa Psikolog klinis Bernie Schallehn (1988)
memperkenalkan sebuah program hipnosis. Klien dibimbing melalui
latihan relaksasi, kemudian diajak membayangkan untuk melepaskan
balon ke langit pada saat musim gugur. Balon tersebut masing-masing
mewakili emosi negative klien. Schallehn (1988) menegaskan bahwa
imagery adegan damai di hutan, sungai, dan langit akan memberikan efek
yang menenangkan kepada klien, khususnya terhadap pengurangan stres.
Pembuktian efek hipnosis terhadap pengurangan tingkat stres tersebut
menjadi bukti atas efektivitas hipnoterapi terhadap stres.
- Psikoterapi
Selama tahun-tahun terakhir ini cara pendekatan psiko-terapeutik
baru untuk gangguan psikosomatik banyak diperkenal-kan yaitu
terapi kelompok (group therapy), terapi famili (family therapy), dan
terapi tingkah laku (behaviour therapy).
Terapi famili merupakan pengobatan terhadap lebih dari satu
anggota famili secara serempak dalam satu pertemuan (session).

18
Terapi ini bisa berbentuk suportif direktif atau interpretasi. Cara
terapi ini dikerjakan berdasarkan dugaan bahwa adanya gangguan
mental pada salah satu anggota keluarga, mungkin merupakan
manifestasi dari gangguan dari salah satu anggota lain dan bisa
saling mempengaruhi hubungan serta fungsi masing-masing anggota
keluarga.
Terapi tingkah laku merupakan salah satu bentuk terapi yang
diarahkan untuk mengubah tingkah laku yang menampak setidak-
tidaknya secara prinsip atau kuantitatif dengan pertolongan
manipulasi lingkungan yang sebenarnya merupakan teori psikologis,
belajar (learning) dan reaksi bersyarat (conditioning). Terapi tingkah
laku ini dibangun dari landasan teori belajar kondisioning klasik dari
Pavlov, kondisioning instrumental dari Thorndike, atau kondisioning
operan dari Skinner yang telah berulang kali didemonstrasikan
dalam eksperimen laboratorium di bawah penelitian ilmiah yang
ketat.

19
2.2. Non Erosive Reflux Disease (NERD)
Sebanyak 44% pasien di Amerika Serikat mengalami GERD. Kebanyakan
pasien GERD dikelompokkan menjadi 2 kelompok yaitu: Non-erosive reflux
disease (NERD) atau esophagitis erosif. Pada pasien NERD respon terhadap
pengobatan proton pump inhibitor (PPI) lebih rendah dan sebagai konsekuensi,
dari kelompok ini adalah bagian dari kelompok refractory heartburn. 14,15

2.2.1. Definisi
NERD didefinisikan sebagai adanya gejala tipikal dari GERD yang
disebabkan oleh refluks intraesofagus (asam atau asam lemah). Baru-baru ini
Montreal International Consensus mendefiniskan NERD sebagai adanya gejala
GERD tanpa adanya kerusaakan mukosa. Komite Rome II untuk Penyakit
Esofagus Fungsional menganggap pasien NERD yang terapapar asam sebagai
“rasa terbakar pada retrosternal dengan tidak adanya refluks gastroesofageal
patologis, penyakit motilitas patologis, atau penjelasan struktural”.15

2.2.2. Epidemiologi
Beberapa penelitian menyebutkan bawah hampir 50% pasien dengan
heartburn memiliki mukosa esophagus yang normal ketika endoskopi. Penelitian
di Eropa tentang NERD menemukan bahwa sebanyak 70% ditemukan lebih
banyak. Secara keseluruhan studi epidemiologi tentang NERD bahwa prevalensi
NERD adalah 50% -70% pada populasi. Karena penggunaan PPI yang sudah
meluas, studi yang meneliti tentang prevalensi NERD telah terkontaminasi oleh
pasien esophagitis yang sembuh dan dianggap sebagai NERD. 15

2.2.3. Etiologi dan Patofisiologi

Gambar. Model dari Fass dan Tougas untuk asal dari gejala
NERD
20
Konsep patofisiologi terkini dari NERD melibatkan faktor peripheral
(luminal, mukosal dan saraf sensoris aferen) dan faktor sentral (faktor psikologis,
stress, tidur, dan lain-lain). Banyak mekanisme sentral yang mempengaruhi sinyal
aferen terhadap otak. Stress secara psikologis dan gangguan psikologis telah
didemonstrasikan memiliki pengaruh terhadap persepsi stimulus intraesofagus.
Fass et al mendomonstrasikan bawhwa stress laboratoris akut meningkatkan
sensitivitas terhadap persepsi asam intraesofagus pada pasien dengan penyakit
refluks erosif maupun non erosif. Peningkatan respon terhadap asam juga
dihubungkan dengan respon emosional terhadap stressor. Kurang tidur juga dapat
memulai hipersensitivitas terhadap perfusi asam. 15

Gambar. Mekanisme heartburn yang dikemukakan oleh Barlow


dan Orlando

Untuk gejala heartburn, telah banyak mekanisme yang diusulkan, menurut


Fass dan Tougas stimulus intraesofagus, patologis maupun fisiologis dapat
memberikan gejala bagi pasien NERD. Mekanisme yang ditekankan dari Fass dan
Tougas melibatkan peran dari sentral (interaksi otak dan saluran cerna) dan perifer
(bukan esophagus) untuk memodulasi persepsi stimulus intraesofagus.
Mekanisme oleh penelitian dari Barlow dan Orlando menjelaskan difusi dari asam
lambung yang telah mengalami refluks ke dalam ruang interseluler, lalu asam

21
sampai dan mengaktivasi nosiseptor kemosensitif yang sinyalnya ditransmisikan
melalui dorsal horn dari korda spinalis ke otak untuk persepsi gejala heartburn.14

2.2.4.Karakteristik Klinis
Dari beberapa studi besar yang dilakukan, karakteristik klinis dari NERD meliputi
heartburn, laki-laki, merokok dan memiliki sindrom metabolik dapat
menyebabkan progresivitas NERD menjadi esofagitis erosif. Pada studi kasus
ditemukan bahwa pasien-pasien NERD memiliki prevalensi yang tinggi untuk
memiliki penyakit dyspepsia fungsional dan irritable bowel syndrome. Pada studi
lainnya menunjukkan gangguan tidur juga terdapat pada pasien NERD sama
seperti penderita esofagitis erosif.15

2.2.5. Diagnosis
Pedoman diagnosis NERD adalah menggunakan kriteria berikut:
- Tidak ditemukannya mucosal break pada pemeriksaan endoskopi saluran
cerna bagian atas (SCBA)
- Pemeriksaan pH esophagus dengan hasil positif
- Terapi empiris dengan PPI sebanyak dua kali sehari memberikan hasil
yang positif
Pemeriksaan histopatologi
Tidak ada bukti yang menunjang diperlukannya pengambilan sampel biopsy pada
kasus NERD. Di masa yang akan datang, diperlukan studi lebih lanjut mengenai
peranan pemeriksaan endoskopi resolusi tinggi (magnifying scope) pada NERD. 14

Pemeriksaan pH-metri 24 jam


Pemeriksaan pH-metri konvensional 24 jam atau kapsul 48 jam (jika tersedia)
dalam diagnosis NERD adalah
- Mengevaluasi pasien-pasien GERD yang tida berespons dengan terapi
PPI.
- Mengevaluasi apakah pasien-pasien dengan gejala ekstra esophageal
sebelum terapi PPI atau setelah dinyatakan gagal dengan terapi PPI

22
- Memastikan diagnosis GERD sebelum operasi anti-reflusk atau untuk
evaluasi gejala NERD berulang setelah operasi anti-refluks.
Pemeriksaan penunjang lain adalah manometri esophagus yang digunakan untuk
evaluasi pengobatan pasien-pasien NERD dan untuk tujuan penelitian. Terdapat
juga tes impedans berguna untuk evaluasi pada pasien NERD yang tidak membaik
dengan terapi PPI, di mana dokumentasi adanya refluks non-asam akan merubah
tatalaksana. 14

Tabel . Klasifikasi GERD berdasarkan Hasil


Pemeriksaan Endoskopi

2.2.6 Tatalaksana
Untuk NERD, pengobatan awal dapat diberikan PPI dosis tunggal selama 4-8
minggu. Setelah gejala-gejala klinis menghilang, terapi dapat dilakukan dengan
PPI on demand. Penggunaan on demand ini disarankan untuk memaksimalkan
supresi asam lambung, diberikkan 30-60 menit sebelum makan pagi.14

2.3. Gangguan Psikosomatik Pada NERD

Dari pemaparan tinjauan pustaka di atas, salah satu gangguan psikosomatik


bermanifestasi sebagai gangguan gastrointestinal. Dispepsia fungsional
merupakan manifestasi yang sering muncul. Tidak hanya terbatas pada dispepsia
fungsional, banyak penelitian mempelajari tentang gangguan psikologis yang
dapat memicu terjadinya NERD. Pada NERD sendiri, faktor yang mempengaruhi
timbulnya NERD adalah faktor sentral (faktor psikologis, stress, tidur, dan lain-
lain). Banyak mekanisme sentral yang mempengaruhi sinyal aferen terhadap otak.
Stress secara psikologis dan gangguan psikologis telah didemonstrasikan memiliki
pengaruh terhadap persepsi stimulus intraesofagus15. Beberapa studi menunjukan
bahwa wanita, memiliki respon yang tidak begitu baik terhadap PPI dan memiliki

23
gangguan psikosomatik16-19 Pada penelitian oleh Lim pada tahun 2014, yang
meneliti tentang karakteristik pasien, gejala yang timbul bersamaan dengan
refluks, dan faktor psikosomatik menggunakan SCL-90-R yang merupakan self
report system yang didesain untuk melihat pola gejala psikologis dari pasien
dengan refluks menemukan bahwa faktor-faktor psikosomatik dapat
mempengaruhi persepsi tentang gejala refluks dan dispepsia fungsional. Skor
ansietas untuk somatisasi, depresi dan ansietas dapat lebih tinggi pada pasien
NERD karena populasi penelitian yang dirujuk ke layanan tersier. 20

BAB III
KESIMPULAN

Gangguan psikosomatik merupakan menyerupai penyakit fisik dan diyakini


adanya hubungan yang erat antara suatu peristiwa psikososial tertentu dengan
timbulnya gejala-gejala tersebut. Hal yang sama terjadi pada patofisiologi yang
terjadi pada NERD, melibatkan faktor sentral yaitu faktor psikologis dalam
timbulnya penyakit. Dan dapat disimpulkan bahwa NERD memiliki faktor
predisposisi psikologis dan psikosomatik untuk dapat terjadi dan bermanifestasi.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Mudjaddid, E. Shatri, Hamzah. Gangguan Psikosomatik: Gambaran Umum


dan Patofisiologinya. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II FK UI.
Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI. 2006. p896-8
2. Maramis, W.F. Gangguan Psikosomatik. Dalam Catatan Ilmu Kedokteran
Jiwa. Surabaya: Airlangga University Press. p339-72
3. Elvira, Sylvia D., Hadisukanto, Gitayanti. Faktor Psikologik Yang
Mempengaruhi Kondisi Medis (d/h Gangguan Psikosomatik). Dalam Buku
Ajar Psikiatri. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.2010.p287-93
4. Mudjaddid, E. Dispepsia Fungsional. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
jilid II FK UI. Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI. 2006. p906

25
5. Hadi, Sujeno. Psikosomatik Pada Saluran Cerna Bagian Bawah. Dalam Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II FK UI. Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI.
2006. p907-9
6. Halim, S. Budi, dkk. Aspek Psikosomatik Hipertensi. Dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam jilid II FK UI. Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI. 2006. p913-4
7. Putranto, Rudi. Mudjaddid, E. shatri, Hamzah. Sindrom Hiperventilasi. Dalam
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II FK UI. Jakarta: Pusat Penerbitan
FKUI. 2006. p920-1
8. Mudjaddid, E. Aspek Psikosomatik pada Asma Brokhial. Dalam Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam jilid II FK UI. Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI. 2006.
p922-3
9. Djokomoeljanto, R. Psikosomatik Pada Kelainan Tirod. Dalam Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam jilid II FK UI. Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI. 2006.
p937-8
10. Mudjaddid, E. Putranto, Rudi. Aspek Pikosomatik Pasien Diabetes Melitus.
Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II FK UI. Jakarta: Pusat
Penerbitan FKUI. 2006. p939-40
11. Sukatman, D. Budihalim, S. Putranto, Rudi. Gangguan Psikosomatik Pada
Penyakit Reumatik dan Sistem Muskuloskeletal. Dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam jilid II FK UI. Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI. 2006. p924-5
12. Budihalim, S. Sukatman, D. Mudjaddid, E. Gangguan Psikosomatik Saluran
Kemih. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II FK UI. Jakarta: Pusat
Penerbitan FKUI. 2006. p953
13. Mudjaddid, E. Budihalim, S. Sukatman, D. Psikofarmaka dan Psikosomatik.
Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II FK UI. Jakarta: Pusat
Penerbitan FKUI. 2006. p901-2
14. Syam, A.F., C. Aulia, K. Renaldi. Revisi Konsensus Nasional
Penatalaksanaan Penyakit Refluks Gastroesofageal (Gastroesophageal Reflux
Disease/GERD) di Indonesia. 2013.
15. Hershcovici T., R. Fass. 2010. Non Erosive Reflux Disease (NERD) – An
Update. J Neurogastroenterol Motil 16(1) 1-14.

26
16. Frazzoni M, De Micheli E, Savarino V. Different patterns of oe- sophageal
acid exposure distinguish complicated reflux disease from either erosive
reflux oesophagitis or non-erosive reflux dis- ease. Aliment Pharmacol Ther
2003;18:1091-1098.
17. Kim N, Lee SW, Cho SI, et al. The prevalence of and risk factors for erosive
oesophagitis and non-erosive reflux disease: a nation- wide multicentre
prospective study in Korea. Aliment Pharmacol Ther 2008;27:173-185
18. Orr WC, Allen ML, Robinson M. The pattern of nocturnal and diurnal
esophageal acid exposure in the pathogenesis of erosive mucosal damage. Am
J Gastroenterol 1994;89:509-512.
19. Wu JC, Cheung CM, Wong VW, Sung JJ. Distinct clinical charac- teristics
between patients with nonerosive reflux disease and those with reflux
esophagitis. Clin Gastroenterol Hepatol 2007;5:690-695.
20. Lim CH, MG Choi. Symptom Characterstics and Psychosomatic Profiles in
Defferent Spectrum of Gastroesophageal Reflux Disease. Gut and Liver. 2014.
8(2) 1-8.

27

Anda mungkin juga menyukai