Anda di halaman 1dari 24

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN OKTOBER 2021


UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

ASPEK BIOLOGIS GANGGUAN DEPRESI

OLEH :
MUHAMMAD AFIEF BATARA PUTRA
111 2021 1025

Dokter Pendidik Klinik :


dr. Joko Maharto, Sp.KJ

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
2021

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas Rahmat dan
Karunia-Nya serta salam dan shalawat kepada Rasulullah Muhammad SAW
beserta sahabat dan keluarganya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
referat ini dengan judul “Aspek Biologis Gangguan Depresi” sebagai salah
satu syarat dalam menyelesaikan Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu
Kedokteran Jiwa.

Selama persiapan dan penyusunan referat ini rampung, penulis


mengalami kesulitan dalam mencari referensi. Namun berkat bantuan, saran,
dan kritik dari berbagai pihak akhirnya refarat ini dapat terselesaikan serta tak
lupa penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-
tingginya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian
tulisan ini.

Semoga amal dan budi baik dari semua pihak mendapatkan pahala dan
rahmat yang melimpah dari Allah SWT. Penulis menyadari bahwa dalam
penulisan refarat ini terdapat banyak kekurangan dan masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran untuk
menyempurnakan refarat ini. Saya berharap sekiranya refarat ini dapat
bermanfaat untuk kita semua. Aamiin.

Makassar, 29 Oktober 2021


Hormat Saya,

Penulis

ii
iii
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI

iv
KATA PENGANTAR.......................................................................................ii

LEMBAR PENGESAHAN..............................................................................iii

DAFTAR ISI....................................................................................................iv

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................. 1

1.1 Latar Belakang....................................................................................... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................2

2.1 Definisi....................................................................................................2

2.2 Aspek Biologis Gangguan Depresi.........................................................2

2.3 Gejala Klinis............................................................................................6

2.4 Terapi................................................................................................... 11

BAB III KESIMPULAN.................................................................................. 17

Daftar Pustaka..............................................................................................19

v
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Depresi merupakan salah satu gangguan mood yang ditandai oleh

hilangnya perasaan kendali dan pengalaman subjektif adanya penderitaan

berat. Manifestasi gejala depresi muncul dalam keluhan yang berkaitan

dengan mood, seperti sedih, murung, putus asa memudahkan penegakan

diagnosis depresi. Namun, keluhan psikomotor dan somatik, seperti malas

bekerja, lamban, lesu, nyeri ulu hati, sakit kepala terus-menerus terkadang

menyulitkan penegakan diagnosis. 1

Depresi dapat menyebabkan penurunan status kesehatan, motivasi,

kemampuan kognitif, dan emosi seseorang. Hal ini menyebabkan seseorang

dengan depresi tidak dapat berfungsi secara efektif sehingga terdapat

ketergantungan, kehilangan percaya diri, termasuk penurunan kemampuan

berkomunikasi hingga terjadi gangguan sosial yang dapat memperburuk

kondisi kesehatannya serta kualitas hidup dan produktivitas kerja penderita.

Hal yang paling berbahaya adalah meningkatnya angka kejadian bunuh diri.

Hal-hal di atas menunjukkan bahwa gangguan depresi cukup umum dan

perlu untuk ditanggulangi dan dicegah sedini mungkin. Oleh karena itu,

sebagai dokter layanan primer penting untuk mendiagnosis dan memberikan

terapi yang tepat pada pasien dengan gangguan depresi.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Depresi adalah gangguan jiwa umum dengan manifestasi klinis berupa

mood depresif, penurunan minat atau kesenangan, penurunan energi,

merasa bersalah atau kurang percaya diri, gangguan tidur atau nafsu makan,

dan penurunan konsentrasi. Biasanya, depresi muncul bersamaan dengan


2
gejala kecemasan. Efek paling buruk dari depresi adalah ide bunuh diri.

Penurunan kognitif, afek, dan psikomotor pada depresi dapat mempengaruhi

pemikiran, perilaku, perasaan, dan fungsi sosial seseorang. 3

Maslim berpendapat bahwa depresi adalah suatu kondisi yang dapat

disebabkan oleh defisiensi relatif salah satu atau beberapa aminergik

neurotransmiter (noradrenalin, serotonin, dopamin) pada sinaps neuron di

SSP (terutama pada sistem limbik).

2.2 Aspek Biologis Gangguan Depresi

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat kelainan pada amin

biogenik, seperti: 5 HIAA (5-Hidroksi indol asetic acid), HVA (Homovanilic

acid), MPGH (5 methoxy-0-hydroksi phenil glikol), di dalam darah, urin dan

cairan serebrospinal pada pasien gangguan mood. Neurotransmiter yang

2
terkait dengan patologi depresi adalah serotonin dan epineprin. Penurunan

serotonin dapat mencetuskan depresi, dan pada pasien bunuh diri, beberapa

pasien memiliki serotonin yang rendah. Pada terapi despiran mendukung

teori bahwa norepineprin berperan dalam patofisiologi depresi Selain itu

aktivitas dopamin pada depresi adalah menurun.

Penelitian awal mengenai dasar penyebab biologis dari depresi berfokus

pada berkurangnya tingkat neurotransmiter dalam otak, pada tahun 1950-an.

Penemuan yang dilaporkan pada masa itu adalah pasien hipertensi (tekanan

darah tinggi) yang meminum obat reserpine sering menjadi depresi.

Reserpine menurunkan suplai dari berbagai neurotransmiter di dalam otak,

termasuk norepinephrine dan serotonin. Kemudian muncul penemuan bahwa

obat-obatan yang menaikkan tingkat neurotransmiter seperti norepinephrine

dan serotonin di otak dapat mengurangi depresi. Obat yang meningkatkan

konsentrasi dopamin, seperti tyrosin, amphetamine, dan bupropion,

menurunkan gejala depresi. 4,5

Disregulasi neuroendokrin. Hipotalamus merupakan pusat pengaturan

aksis neuroendokrin, menerima input neuron yang mengandung

neurotransmiter amin biogenik. Pada pasien depresi ditemukan adanya

disregulasi neuroendokrin. Disregulasi ini terjadi akibat kelainan fungsi

neuron yang mengandung amin biogenik. Sebaliknya, stres kronik yang

mengaktivasi aksis Hypothalamic-Pituitary-Adrenal (HPA) dapat

3
menimbulkan perubahan pada amin biogenik sentral. Aksis neuroendokrin

yang paling sering terganggu yaitu adrenal, tiroid, dan aksis hormon

pertumbuhan. Aksis HPA merupakan aksis yang paling banyak diteliti,

hipersekresi CRH merupakan gangguan aksis HPA yang sangat fundamental

pada pasien depresi. Hipersekresi yang terjadi diduga akibat adanya defek

pada sistem umpan balik kortisol di sistem limpik atau adanya kelainan pada

sistem monoaminogenik dan neuromodulator yang mengatur CRH, Sekresi

CRH dipengaruhi oleh emosi. Emosi seperti perasaan takut dan marah

berhubungan dengan Paraventriculer nucleus (PVN), yang merupakan organ

utama pada sistem endokrin dan fungsinya diatur oleh sistem limbik. Emosi

mempengaruhi CRH di PVN, yang menyebabka n peningkatan sekresi CRH.

Pada orang lanjut usia terjadi penurunan produksi hormon estrogen.

Estrogen berfungsi melindungi sistem dopaminergik negrostriatal terhadap

neurotoksin seperti MPTP, 6 OHDA dan methamphetamin. Estrogen

bersama dengan antioksidan juga merusak monoamine oxidase. 5

Analisis dari sistem anterotemporal paralimbic dan orbitofrontal yang

melibatkan depresi primer atau depresi dapatan. Pencitraan pada pasien

dengan riwayat depresi pada keluarga menunjukkan peningkatan aliran

darah otak dan metabolism amigdala, korteks orbital, thalamus medial dan

penurunan aliran darah otak, dan metabolisme dari dorsomedial atau

dorsoanterolateral prefrontal cortex dan kortex cingulate anterior. Kerusakan

4
dari korteks preforontal akibat tumor atau stroke atau striatum akibat penyakit

degenerative seperti hipertensi dan Parkinson dihubungkan dengan depresi.

Pencitraan fungsional dari subcortical termasuk korteks anterotemporal dan

cingulate anterior dimana terdapat korelasi dengan depresi pada pasien.

Depresi pada pada Parkinson, hipertensi dan epilepsy terdapat korelasi

denagn penurunan metabolisme pada korteks orbitofrontal dan nucleus

caudatus. Metode lain dari penelitian berfokus pada kemungkinan

abnormalitas dalam korteks prafrontal (preforontal cortex), area dari lobus

frontal yang terletak di depan area motorik. Peneliti menemukan bukti dari

aktivitas metabolism yang lebih rendah dan ukuran korteks prefrontal yang

lebih kecil pada diri orang yang secara klinis mengidap depresi bila

dibandingkan dengan kelompok kontrol yang sehat. Korteks prefrontal terlibat

dalam pengaturan neurotransmiter yang dipercaya terlibat dalam gangguan

mood, termasuk serotonin dan norepinephrine, sehingga tidak mengagetkan


5
bila bukti menunjukkan ketidakteraturan pada bagian otak ini.

Kehilangan saraf atau penurunan neurotransmiter. Sistem saraf pusat

mengalami kehilangan secara selektif pada sel – sel saraf selama proses

menua. Walaupun ada kehilangan sel saraf yang konstan pada seluruh otak

selama rentang hidup, degenerasi neuronal korteks dan kehilangan yang

lebih besar pada sel-sel di dalam lokus seroleus, substansia nigra, serebelum

dan bulbus olfaktorius Bukti menunjukkan bahwa ada ketergantungan

5
dengan umur tentang penurunan aktivitas dari noradrenergik, serotonergik,

dan dopaminergik di dalam otak. Khususnya untuk fungsi aktivitas menurun

menjadi setengah pada umur 80-an tahun dibandingkan dengan umur 60-an

tahun. 4

Hubungan antara ekspresi gen dengan penyakit Depresi Mayor tidak

terdapat bukti yang kuat, perilaku genetic sedang diteliti pada polimorfisme

genetic terhadap factor predisposisi kejadian depresi dan bentuk stressor

terhadap lingkungannya. 5

2.3 Gejala Klinis

Untuk menegakkan diagnosa depresi seseorang, maka yang dipakai

pedoman adalah ada tidaknya gejala utama dan gejala penyerta lainnya,

lama gejaa yang muncul, dan ada tidaknya episode depresi ulang.

Sebagaimana tersebut berikut ini : 6

1. Gejala utama pada derajat ringan, sedang dan berat:

 Afek depresi

 Kehilangan minat dan kegembiraan

 Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan yang

mudah lelah (rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja) dan

menurunnya aktivitas.

2. Gejala penyerta lainnya:

6
 Konsentrasi dan perhatian berkurang

 Harga diri dan kepercayaan diri berkurang

 Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna

 Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis

 Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri

 Tidur terganggu

 Nafsu makan berkurang

Untuk episode depresi dan ketiga tingkat keparahan tersebut diperlukan

masa sekurang-kurangnya 2 minggu untuk penegakkan diagnosis, akan

tetapi periode lebih pendek dapat dibenarkan jika gejala luar biasa beratnya

dan berlangsung cepat.

Kategori diagnosis depresi ringan (F.32.0), sedang (F.32.1) dan berat

(F.32.2) hanya digunakan untuk episode depresi tunggal (yang pertama).

Episode depresi berikutnya harus diklasifikasikan di bawah salah satu

diagnosis gangguan depresi berulang (F.33).

Pedoman Diagnostik Episode Depresi Ringan

1. Sekurang-kurangnya harus ada 2 dan 3 gejala utama depresi

seperti tersebut di atas

2. Ditambah sekurang-kurangnya 2 dari gejala lainnya

7
3. Tidak boleh ada gejala yang berat diantaranya lamanya seluruh

episode berlangsung sekurang-kurangnya sekitar 2 minggu

4. Hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial yang

biasa dilakukannya.

Pedoman Diagnostik Episode Depresi Sedang

1. Sekurang-kurangnya harus ada 2 dan 3 gejala utama

2. Ditambah sekurang-kurangnya 3 atau 4 dari gejala lainnya

3. Lamanya seluruh episode berlangsung minimum 2 minggu

4. Menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial,

pekerjaan, dan urusan rumah tangga.

Pedoman Diagnostik Episode Depresi Berat Tanpa Gejala Psikotik

1. Semua 3 gejala utama depresi harus ada

2. Ditambah sekurang-kurangnya 4 dari gejala lainnya dan beberapa

diantaranya harus berintensitas berat

3. Bila ada gejala penting (misal retardasi psikomotor) yang menyolok, maka

pasien mungkin tidak mau atau tidak mampu untuk melaporkan banyak

gejalanya secara rinci. Dalam hal demikian, penilaian secara menyeluruh

terhadap episode depresi berat masih dapat dibenarkan.

8
4. Sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan kegiatan sosial,

pekerjaan atau urusan rumah tangga, kecuali pada taraf yang sangat

terbatas.

Pedoman Diagnostik Episode Depresi Berat dengan Gejala Psikotik

Episode depresi berat yang memenuhi kriteria menurut No. 3 di atas

(F.32.2) tersebut di atas, disertai waham, halusinasi atau stupor depresi.

Waham biasanya melibatkan ide tentang dosa, kemiskinan atau malapetaka

yang mengancam dan pasien merasa bertanggung jawab atas hal itu.

Halusinasi auditorik atau alfatorik biasanya berupa suara yang menghina

atau menuduh, atau bau kotoran. Retardasi psikomotor yang berat dapat

menuju pada stupor.

7
Berdasarkan DSM IV-TR gejala depresi adalah sebagai berikut :

A. Lima (atau lebih) gejala berikut diteruskan selama periode 2 minggu yang

sama dan menunjukkan suatu perubahan dari fungsi sebelumnya; paling

kurang satu gejala dari salah satu mood depresi atau dua kehilangan minat

atau kesenangan. Jangan masukkan gejala yang jelas disebabkan oleh suatu

kondisi medis umum atau waham atau halusinasi yang sesuai mood. 8

1. Mood depresi hampir sepanjang hari, hampir setiap hari seperti

yang ditunjukkan baik oleh laporan subjektif (misalnya, perasaan

9
sedih atau kosong) maupun pengamatan yang dilakukan oleh

orang lain (misalnya, tampak sedih). Pada anak-anak dan remaja

dapat berupa mood yang iritabel (mudah kesal).

2. Kehilangan minat atau kesenangan yang nyata pada semua atau

hampir semua, aktivitas hampir sepanjang hari, hampir setiap hari

(seperti yang ditunjukkan baik oleh laporan subjektif maupun

pengamatan yang dilakukan oleh orang lain).

3. Penurunan berat badan yang bermakna jika tidak melakukan diet

atau penambahan berat badan (misalnya, perubahan berat badan

lebih dari 5% sebulan), atau penurunan atau peningkatan nafsu

makan hampir setiap hari.

4. Catatan : Pada anak-anak, pertimbangkan kegagalan untuk

mencapai peningkatan berat badan yang diharapkan.

5. Insomnia atau hipersomnia hampir setiap hari.

6. Agitasi atau retardasi psikomotor hampir setiap hari (dapat diamati

oleh orang lain, bukan hanya perasaan subjektif tentang adanya

kegelisahan atau menjadi lamban). 7

7. Kelelahan atau kehilangan tenaga hampir setiap hari.

8. Perasaan tidak berharga atau perasaan bersalah yang berlebihan

yang tidak sesuai (yang dapat berupa waham) hampir setiap hari

(bukan hanya menyalahkan diri sendiri atau bersalah karena sakit).

10
9. Penurunan kemampuan untuk berpikir atau berkonsentrasi, atau

keragu-raguan, hampir setiap hari (baik oleh laporan subjektif

maupun yang diamati oleh orang lain).

10. Pikiran tentang kematian yang berulang (tidak hanya ketakutan

akan kematian), ide bunuh diri berulang tanpa suatu rencana yang

spesifik, atau percobaan bunuh diri atau rencana khusus untuk

melakukan bunuh diri.

B. Gejala tidak memenuhi kriteria Episode Campuran.

C. Gejala menyebabkan penderitaan secara klinis yang bermakna atau

gangguan pada fungsi sosial, pekerjaan atau fungsi bidang penting lainnya.

D. Gejala bukan karena efek fisiologis langsung dari zat (misalnya,

penyalahgunaan zat pengobatan) atau suatu kondisi medis umum (misalnya,

hipotirodisme).

E. Gejala tidak lebih baik dijelaskan oleh berduka yaitu setelah kehilangan

orang yang dicintai, gejala menetap lebih lama dari 2 bulan atau ditandai oleh

gangguan fungsional yang nyata, preokupasi morbid dengan perasaan tidak

berharga, ide bunuh diri, gejala psikotik atau retardasi psikomotor

2.4 Terapi

Depresi dapat diobati dan disembuhkan, banyak orang merasa baik

kembali dalam beberapa minggu setelah menjalani pengobatan serius

11
dengan treatmen yang ditentukan. Ada bebarapa treatmen yang biasanya

dilakukan kepada penderita depresi antara lain : 4,8

Terapi Psikofarmakologi, yang dimaksud dengan terapi psikofarmakologi

adalah penangan masalah psychiatry dengan memakai obat – obatan.. Obat

yang diberikan berupa : antidepressant (untuk memperbaiki kekurangan zat

kimia tertentu di otak), minor transquilizers (untuk mengurangi rasa takut,

cemas dan gangguan perasaan yang lain) dan stimulan (untuk membantu

memperbaiki ketidakseimbangan zat kimia di otak). Obat yang tersedia dalam

penanganan depresi antara lain adalah golongan Tricyclic Compound

(Amitriptiline, Imipramine, Clomipramine, Opipramol), Golongan Tetracyclic

Compund (Maprotilin, Mianserin, Amoxapine), Golongan Mono-Amine-

Oxydase Inhibitor Reversible, Selective Serotonin Re-Uptake Inhibitor, dan

Atypical Antidepresants.

Hipotesis Amin didasarkan pada studi mekanisme kerja berbagai jenis

antidepressant. Trisikilik menyekat transorter amin (yang dikenal sebagai

transporter norepinephrine, atau serotonin, masing – masing NET dan SERT.

NET dan SERT berfungsi menghetikan neurotransmitter amins ehinga

blockade transporter-transporter ini akan memungkinkan neurotransmitter

berada lebih lama di ruang intrasinaptik pada situs reseptor. Penghambat

MAO menutup jalur degradasi interneuronal utama untuk neurotransmitter

amin sehingga amin dapat lebih banyak menumpuk pada sistem pada

12
simpanan prasinaptik dan dilepaskan, beberapa antidepresan generasi kedua

memiliki pengaruh yang sama kuatnya pada transporter amin, sementara

antidepressant lainnya hanya memiliki efek sedang atau minimal pada

reuptake atau metabolisme. Untuk merespon peningkatan aktivitas sinaptik,

dilaporkan terjadi regulasi prasinaptik pada pembebasan neurotransmitter.

Autoreseptor prasinaptik berespon terhadap peningkatan transmitter sinaptik

melalui penurunan sinesis dan pembebasan transmitter. Selain itu beberapa

reseptor pengatur mungkin juga ikut berkurang jumlahnya. Perubahan –

perubahan yang digambarkan secara runut ini sebenarnya terjadi sangat

cepat untuk mendapatkan efek klinis. Trazodone, nefazodone, dan

mirtazapine adalah agen – agen antagonis berbagai subtype reseptor

serotonin (5HT2 atau 5HT). Mirtazapine merupakan agen yang unik karena

juga bekerja sebagai antagonis reseptor norepinephrine 2. Pemberian

bupropion jangka panjang mengubah manifestasi norepinephrine pada

manusia melalui mekanisme primer yang belum diketahui serta menempati

25% dopamine uptake transpoter di otak. Peningkatan dopamine sinaptik

sering kali dianggap berperan menimbulkan efektivitas MAOI. 8

Pada berbagai uji seputar efek pascasinaptik terutama efek pascasinaptik,

terutama efek pascasinaptik dari trisiklik, kosentras cAMP selalu menurun

ketimbang meningkat. Selain itu jumlah reseptor neurotransmitter juga dapat

menurun seiring dengan membaiknya klinis pasien. Jadi, peningkatan

13
neurotransmitter di awal terapi yang terlihat pada beberapa antidepresan

tampaknya lama kelamaan menimbulkan penurunan aktivitas reseptor, yaitu

berkurangnya jumlah reseptor prasinaptik dan pascasinaptik tertentu, sebagai

respons kompensasi. 8

Meningkatnya transmisi serotonergic, walaupun dipereantarai oleh

berbagai macam mekanisme mungkin merupakan efek antidepresan yang

umum meskipun tanpa disertai peningkatan serotonin sinaptik. Antagonisme

selektif reseptor norephinephrine atau serotonin terhadap reseptor 5HT

menyebabkan meningkatnya serotonin eksternal melalui cara yang amat

rumit yang melibatkan berbagai neurotransmitter tersebut. Perubahan intrasel

jangka panjang yang melibatkan fosforilasi berbagai elemen pengatur,

termasuk elemen yang berada di nucleus diperkirakan menimbulkan efek

antidepressant. Kemungkinan, efek pada factor neurotrofik tertentu factor

yang penting menjaga kelangsungan hidup dan fungsi neuron dalam sistem

saraf orang dewasa. Pendekatan yang digunakan adalah dengan

menurunkan asam amino precursor serotonin yakni triptofan, dalam diet dan

sebagai akibatnya jumlah serotonin yang tersedia dalam otak, karena

triptofan menentukan pembentukan serotonin. Diet yang sangat rendah kadar

triptofan ini menurunkan kadar triptofan dalam plasma dan secara akut

memulihkan respins terhadap antidepresan SSRI tapi tidak terhadap NET.

Dengan cara yang serupa penurunan kadar asam amino precursor

14
norepinephrine yakni tirosin dapat memulihkan respons terhadap
8
antidepressant penghambat NET yang relative selektif yakni despiramine.

SSRI adalah obat paling luas yang digunakan, karena obat ini merupakan

agen yang paling efektif, dan efek sampinya relative sedikit bahkan pada

dosis yang tinggi, sedangkan MAOI lebih jarang digunakan karena dapat

meyebabkan hipertensi krisis begitu pula dengan obat trisiklin dan tetrasiklik.

Namun, semua antidepresan yang tersedia bersifat toksik bila overdosis serta

memiliki efek samping seperti penglihatan kabur, mulut kering, konstipasi,

kesulitan buang air kecil, mengantuk, berat badan bertambah dan mungkin

disfungsi seksual. dan membutuhkan 3 sampai 4 minggu hingga memberika

pengaruh teraupetik yang berkmana, selain itu sejumlah pasien tidak

memberikan respons terhadap terapi pertama. 4,8

Dengan melakukan pengobatan secara aktif, dapat mengurangi

kemungkinan gangguan depresi berulang. Obat-obatan anti depresan dapat

meningkatkan tingkat (berfungsinya) otak dan mungkin fungsi dari

neurotransmitter, walaupun memiliki efek tunda, biasaya membutuhkan

beberapa minggu (rata-rata 2-8 minggu) penanganan sebelum suatu manfaat

terapeutik dicapai. Berdasarkan analisis rangkuman dari lebih dari 100 studi

(American Psychiatric Association, 2000; Depression Guideline Panel, 1993),

tricyclic (imipramine, amitriptyline, desipramine, dan doxepin) mengurangi

15
depresi pada kira-kira 50% pasien dibanding dengan dengan kira-kira 25%-

30% yang minum pil placebo.

ECT (Electroconvulsif terapi), Indikasi ECT yang paling lazim adalah

gangguan depresif berat, untuk gangguan ini terapi ECT merupakan terapi

tercepat dan paling efektif yang tersedia, ECT harus dipertimbangkan untuk

diberikan dengan pasien yang gagal pengobatan, tidak metoleransi obat,

emiliki gejala yang berat atau gejala psikotik, memiliki kecenderungan akut

untuk bunuh diri atau membunuh atau memeliki gejala agitasi atau stupor

yang nyata. Pada studi control 70% pasien yang gagal bersepon terhadap

antidepressant dam memberikan respon terhadap ECT. Terapi ECT

merupakan terapi antidepressant yang efektif dan secara masuk akal dapat

digunakan sebagai terapi pilihan pada sejumlah pasien terutama pada pasien

depresi usia lanjut. ECT tidak memiliki kontraindikasi absolut, hanya situasi

saat pasien memiliki resiko yang meningkat dan meningkatnya kebutuhan

pemantauan ECT secara ketat. Kehamilan bukanlah kontraindikasi untuk

ECT kecuali pada kehamilan dengan resiko tinggi, Kekhwatiran terbesar

pada ECT adalah hubungan antara ECT dan kehilangan memori. 4

16
BAB III

KESIMPULAN

Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang

berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya,

termasuk perubahan pada pola tidur dan nafsu makan, psikomotor,

konsentrasi, anhedonia, kelelahan, rasa putus asa dan tidak berdaya, serta

bunuh diri.

Depresi menempati peringkat pertama sebagai penyakit yang

menyebabkan kecacatan pada seseorang, dan juga sebagai kontributor

utama beban global penyakit didunia yang menganggu hubungan komunikasi

antar manusia, dan di perkirakan mempengaruhi 350 juta orang.

Neurotransmiter yang terkait dengan patologi depresi adalah serotonin

dan epineprin. Penurunan serotonin dapat mencetuskan depresi, dan pada

pasien bunuh diri, beberapa pasien memiliki serotonin yang rendah. Pada

terapi despiran mendukung teori bahwa norepineprin berperan dalam

patofisiologi depresi Selain itu aktivitas dopamin pada depresi adalah

menurun. Hal tersebut tampak pada pengobatan yang menurunkan

konsentrasi dopamin seperti Respirin, dan penyakit dimana konsentrasi

dopamin menurun seperti parkinson, adalah disertai gejala depresi. Obat

yang meningkatkan konsentrasi dopamin, seperti tyrosin, amphetamine, dan

bupropion, menurunkan gejala depresi. 4

17
Hipersekresi CRH merupakan gangguan aksis HPA yang sangat

fundamental pada pasien depresi. Hipersekresi yang terjadi diduga akibat

adanya defek pada sistem umpan balik kortisol di sistem limpik atau adanya

kelainan pada sistem monoaminogenik dan neuromodulator yang mengatur

CRH, Sekresi CRH dipengaruhi oleh emosi. peningkatan sekresi CRH.

18
Daftar Pustaka

1. Nurmiati, A. 2005. Depresi : Aspek Neurobiologi, Diagnosis, dan

Tatalaksana. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.

2. Marcus, Marina, M. Taghi Yasamy, Mark van Ommeren, Dan Chisholm,

Shekhar Saxena. 2012. Depression: A Global Public Health Concern.

3. Ashwani, Arya & Verma Preeti. 2012. A Review on Pathophysiology,

Classification, and Long Term Course of Depression. International

Jurnal of Pharmacy 3(3): 90-96

4. Sadock, Benjamin James; Sadock, Virginia Alcott. 2007. Depression


anda Biolar Disorder. Kaplan & Sadock's Synopsis of Psychiatry:
Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition. New York.
Aptara. p:189-95
5. Murray D Evan et al. Depression and Psychosis Neurological Practice

at Bradley Neurology Practice. Sixth Edition. New York. Elsevier. 2012.

p:98-9

6. Maslim Rusdi. Diagnosis Gangguan Jiwa. Jakarta. FK Unika Atma

Jaya. 2001.p:58

7. Practice Guideline for the Treatment of Patients With Major Depressive

Disorder (MDD). 2011. Diagnosis of Depression - DSM-IV-TR Criteria

for Major Depressive Episode and Major Depressive Disorder. Third

Edition, Washington. American Psychiatric Association.

8. Katzung G Bertram. Farmakologi Dasar dan Klinis Edisi 10.EGC.

Jakarta. 2007.p 491-92

19

Anda mungkin juga menyukai