Hubungan Istimewa
a. Pasal 18 ayat (4) UU Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Undang-undang nomor 28 Tahun 2007.
Hubungan istimewa dianggap ada apabila:
1. Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling
rendah 25% (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain; hubungan antara Wajib
Pajak dengan penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada dua
Wajib Pajak atau lebih; atau hubungan di antara dua Wajib Pajak atau lebih yang
disebut terakhir
2. Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak berada
di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung
3. Terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan
lurus dan/atau ke samping satu derajat.
b. Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 8 tahun 1984 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-
undang Nomor 42 Tahun 2010
Hubungan istimewa dianggap ada apabila:
1. Pengusaha mempunyai penyertaan langsung atau tidak langsung sebesar 25% (dua
puluh lima persen) atau lebih pada Pengusaha lain, atau hubungan antara Pengusaha
dengan penyertaan 25% (dua puluh lima persen) atau lebih pada dua pengusaha atau
lebih, demikian pula hubungan antara dua Pengusaha atau lebih yang disebut
terakhir
2. Pengusaha menguasai Pengusaha lainnya atau dua atau lebih Pengusaha berada di
bawah penguasaan. Penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung
3. Terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan
lurus satu derajat dan/atau ke samping satu derajat.
c. Pasal 9 ayat (1) Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda Indonesia dengan mitra
perjanjian Perusahaan-perusahaan yang memiliki hubungan istimewa, apabila:
1. Suatu perusahaan dari suatu Negara Pihak pada Persetujuan turut berpartisipasi
secara langsung maupun tidak langsung dalam manajemen, pengawasan atau modal
suatu perusahaan dari Negara Pihak lainnya pada Persetujuan
2. Terdapat orang/badan yang sama yang turut berpartisipasi secara langsung maupun
tidak langsung dalam manajemen, pengawasan, atau modal suatu perusahaan dari
Negara Pihak pada Persetujuan dan suatu perusahaan dari Negara Pihak lainnya
pada Persetujuan, dan dalam tiap kasus di atas, terdapat kondisi-kondisi yang dibuat
atau diberlakukan diantara kedua perusahaan dimaksud dalam hubungan dagang
atau hubungan keuangannya yang berbeda dengan kondisi-kondisi yang dibuat oleh
perusahaan-perusahaan yang mempunyai kedudukan bebas, maka atas laba yang
karena kondisi- kondisi tadi, tidak diakui, dapat ditambahkan pada laba perusahaan
tersebut dan dikenakan pajak.
Suatu individu atau entitas dapat diklasifikasikan sebagai pihak berelasi atau pihak yang
memiliki hubungan istimewa jika memenuhi hal-hal yang ditentukan definisi pihak-pihak
berelasi dalam PSAK 7 yaitu :
Perusahaan yang memiliki transaksi hubungan istimewa merupakan aktivitas yang normal
dalam dunia bisnis. Namun apabila dilihat dari segi perpajakan, transaksi hubungan istimewa
menjadi perhatian karena dicurigai sebagai salah satu bentuk penghindaran pajak yang
dilakukan dengan melaporkan penghasilan yang tidak wajar yang disebabkan oleh penentuan
harga yang tidak wajar. Oleh karena itu berdasarkan ketentuan perpajakan terhadap wajib
pajak, beberapa hal yang harus dilakukan oleh perusahaan yang memiliki transaksi hubungan
istimewa adalah :
a. Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam melakukan transaksi dengan
pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa
b. Mengungkapkan transaksi-transaksi yang dilakukannya dalam lampiran Surat
Pemberitahuan Tahunan PPh
c. Wewenang Direktur Jenderal Pajak untuk melakukan perhitungan kembali apabila
Transaksi hubungan istimewa tidak menerapkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha
secara benar.