Anda di halaman 1dari 20

JOURNAL READING

*Kepanitraan Klinik Senior


**Pembimbing

SEBUAH UJI COBA PENGOBATAN UNTUK OTORE AKUT PADA


ANAK DENGAN PEMASANGAN TYMPANOSTOMI TUBE

Agustina Dewi S, S.Ked* Ardilla Rukmana K, S.Ked*


dr. Ismelia Fadlan, Sp.THT-KL; M.Kes**

KEPANITRAAN KLINIK SENIOR BAGIAN THT-KL


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH RADEN MATTAHER PROVINSI JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2014
LEMBAR PENGESAHAN

Journal Reading
*Kepanitraan Klinik Senior
**Pembimbing

SEBUAH UJI COBA PENGOBATAN UNTUK OTORE AKUT PADA


ANAK DENGAN PEMASANGAN TYMPANOSTOMI TUBE

Agustina Dewi S, S.Ked* Ardilla Rukmana K, S.Ked*


dr. Ismelia Fadlan, Sp.THT-KL; M.Kes**

KEPANITRAAN KLINIK SENIOR BAGIAN THT-KL


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH RADEN MATTAHER PROVINSI JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2014

Jambi, April 2014


Pembimbing,

dr. Ismelia Fadlan, Sp.THT-KL


ABSTRAK
Latar Belakang
Panduan terkini untuk penanganan otore akut pada anak dengan pemasangan tympanostomi
tube berdasarkan bukti yang ada dari uji coba klinis dan perbandingan antara pemberian
antibiotik oral dan topikal.
Metode
Penelitian ini dilakukan dengan open-label, uji pragmatik, dimana peneliti memasukkan 230
anak, dengan usia 1-10 tahun yang mengalami otore akut dengan pemasangan tabung
tympanostomi untuk menerima pengobatan tetes telinga hydrocortisone-bacitracin colistin
(pada 76 anak) atau suspensi amoksilin-clavulanate oral (77 pasien), atau untuk mendapatkan
observasi awal saja (77). Hasil (outcome) primernya adalah adanya otore yang dinilai dengan
otoskop, dalam 2 minggu terakhir setelah dimasukkan dalam penelitian. Outcome sekunder
adalah durasi dari episode awal otore, jumlah hari mengalami otore, dan jumlah otore
berulang dalam 6 bulan terakhir pemantauan, kualitas hidup, adanya komplikasi, dan efek
samping akibat pengobatan.
Hasil
Tetes telinga antibiotik glukokortikoid lebih efektif dibandingkan dengan pemberian
antibiotik oral dan observasi awal dilakukan untuk semua outcome yang ada. Dalam 2
minggu, 5% anak yang diobati dengan tetes telinga antibiotik glukokortikoid mengalami
otore, dibandingkan dengan 44% pasien yang diobati dengan antibiotik oral (perbedaan
resiko -39 persentase poin; 95% confidence interval [CI], -51 hingga -26) dan 55% dari
pasien yang diobati dengan pemantauan awal (perbedaan resiko, -49 persentase poin; 95%
CI, -61 hingga -37). Nilai median dari durasi episode awal otore adalah 4 hari untuk anak
yang diobati dengan tetes telinga antibiotik glukokortikoid dan 5 hari pada anak yang diobati
dengan antibiotik oral (P < 0.001). Efek samping terkait pengobatan tergolong ringan, dan
tidak ada komplikasi dari otitis media, termasuk selulitis, perichondritis, mastoiditis, dan
komplikasi intrakranial yang dilaporkan dalam 2 minggu setelah pengobatan.
Kesimpulan
Tetes telinga antibiotik glukokortikoid lebih efektif dibandingkan antibiotik oral dan
observasi awal pada anak dengan pemasangan tympanostomi tube yang mengalami otore
akut tanpa komplikasi.
Pemasangan tympanostomi tube merupakan salah satu prosedur bedah yang sering dilakukan
pada anak-anak. Indikasi utama pada prosedur ini adalah untuk pemulihan fungsi
pendengaran pada anak yang mengalami otitis media persisten dengan efusi serta pencegahan
rekurensi pada anak yang sering mengalami otitis media akut berulang. Otore akut
merupakan sekuel yang sering terjadi pada anak dengan pemasangan tympanostomi tube, dan
tingkat kejadian yang dilaporkan mencapai 26% berdasarkan meta analisis terutama pada
penelitian observasional (termasuk laporan kasus dari otore klinis) hingga 75% berdasarkan
uji acak (termasuk kasus asimptomatik dan subklinik). Otore akibat pemasangan
tympanostomi tube dapat disertai gejala telinga berbau busuk, nyeri, dan demam, serta dapat
mengurangi kualitas hidup pada anak.
Otore akut akibat pemasangan tympanostomi tube kemungkinan terjadi akibat otitis media
akut, terjadi karena drainase pada bagian telinga tengah yang melalui tube. Infeksi bakteri
atau superinfeksi pada telinga tengah dapat dipertimbangkan sebagai penyebab utama dari
otitis media serta otore akut akibat pemasangan tympanostomi tube. Pengobatan ini bertujuan
untuk eradikasi infeksi bakteri, dengan pilihan terapi berupa pemberian antibiotik oral
spektrum luas dan tetes telinga antibiotik dengan atau tanpa kandungan glukokortikoid.
Beberapa penelitian yang membandingkan pemberian antibiotik oral dan topikal pada anak
dengan kondisi penyakit yang sama seperti penelitian ini baik dengan sampel yang berjumlah
sedikit atau dengan beberapa keterbatasan penelitian. Hasil penelitian ditujukan pada
efektifitas antibiotik apakah tetes telinga antibiotik glukokortikoid, sama efektif atau lebih
efektif dari antiobtik oral. Selain itu, pengobatan topikal jarang menimbulkan efek samping
sistemik dan jarang menyebabkan resistensi mikroba dari otopatogen dibandingkan dengan
pengobatan oral.
Karena otore akut akibat pemasangan tympanostomi tube bersifat self-limiting (bisa sembuh
sendiri), observasi awal dapat menjadi pilihan penanganan yang tepat. Pada penelitian ini,
peneliti membandingkan efektifitas dari tiga strategi untuk penangan otore akut akibat
pemasangan tympanostomi tube pada anak, yaitu pengobatan dengan tetes telinga antibiotik
glukokortikoid, pemberian antiobtik oral, dan observasi awal.

Metode
Uji dan Pemantauan
Peneliti melakukan penelitian open-label, pragmatik, randomisasi, dan uji terkontrol. Semua
penulis berperan dalam pelengkapan, akurasi data dan analisis yang dilakukan untuk
viabilitas dari penelitian dan protokol penelitian. Untuk rincian dari rancangan penelitian dan
rencana analisis statistik, dapat dilihat dalam protokol penelitian yang tersedia dalam artikel
lengkapp di NEJM.org. Penelitian ini disetujui oleh komite etik di Universitas Medical
Center Utrecht. Tidak ada keterlibatan komersial dari uji ini.

Pasien
Anak yang berusia 1-10 tahun dengan gejala otore akibat pemasangan tympanostomi tube
hingga 7 hari pada saat screening dimasukkan dan diminta persetujuan dalam partisipasinya
Peneliti mengeklusikan anak dengan suhu tubuh lebih dari 38.5oC, yang sudah menerima
pengobatan antibiotik dalam 2 minggu terakhir, pasien yang mengalami pemasangan
tympanostomi tube dalam 2 minggu terakhir, dan pasien yang mempunyai episode otore pada
4 minggu terakhir, tiga atau lebih episode otore dalam 6 bulan terakhir, atau 4x atau lebih
episode otore dalam 1 tahun terakhir. Peneliti juga mengekslusikan anak dengna Down
Syndrome, Anomali Craniofacial, immunodefisiensi, atau alergi terhadap obat yang
digunakan dalam penelitian.

Perekrutan Pasien
Mulai Juni 2009-Mei 2012, ahli bedah THT dan dokter keluarga memulai pendekatan pada
orang tua dengan anak yang dilakukan pemasangan tympanostomi tube untuk meminta
persetujuan untuk mengikuti penelitian. Tim Penelitian ini menghubungi orang tua via telefon
yang berminat untuk mengikuti penelitian. Peneliti menginformasikan pada orangtua tentang
penelitian dan kriteria inklusi serta ekslusi. Jika anak mengalami otore pada saat dihubungi
via telefon dapat mengikuti penelitian, dan kunjungan rumah mulai direncanakan untuk
pasien tersebut. Jika tidak ada gejala otore, orangtua anak diminta untuk menghubungi pusat
penelitian setelah gejala otore terjadi, sehingga kunjungan rumah (home visit) oleh dokter
penelitian dapat direncanakan.

Penilaian Dasar
Pada kunjungan rumah, peneliti meminta persetujuan medis dari orangtua, memastikan
adanya gejala otore dengan otoskop, mengambil sampel otore untuk kultur bakteri, dan
mengumpukan data demografis dan data spesifik terkait penyakit. Orangtua melengkapi
Child Health Questionare (CHQ), yang mengukur kualitas hidup secara umum, dan kuesioner
Otitis Media- (OM-6), yang mengukur spesifisitas penyakit terkait kualitas hidup pasien.
Skor dari CHQ berkisar antara 1-35 dan dibagi menjadi 4 bagian, dimana skor yang lebih
tinggi menunjukkan tingkat kualitas hidup yang lebih baik. Skor dari OM-6 berksiar antara 6-
42, dimana skor yang lebih rendah menunjukkan kualitas hidup yang lebih baik.

Penilaian Kelompok Penelitian


Sebuah manajer data independen menghasilkan urutan pengacakan ( dengan ukuran blok dari
enam) dengan stratifikasi menurut usia ( < 4 tahun dan ≥ 4 tahun). Peneliti mengakses
website uji randomisasi pada kesimpulan akhir kunjungan rumah untuk mendapat tugas
kelompok studi. Tugas berimbang 1 : 1 : 1 pada ketiga kelompok : tetes telinga
hydrocortison-bacitracin-colistin (diberikan 5 tetes, 3x sehari, pada discharge satu atau kedua
telinga selama 7 hari), suspensi amoxicillin-clavulanate oral ( mengandung 30 mg amoxicillin
dan 7,5 mg/kgBB/hari clavulanate, 3x sehari sehari selama 7 hari ), atau observasi awal
selama 2 minggu (tanpa pengobatan).
Peneliti tidak membersihkan liang telinga, baik pada awal kunjungan rumah ataupun saat
pemantauan selama percobaan. Orang tua yang memberikan pengobatan dengan antibiotik
topikal diminta untuk membersihkan telinga luar dari kotoran yang keluar dengan
menggunakan tissue sebelum meneteskan obat. Selain itu, mereka diinstruksikan untuk
memiringkan kepala anak pada satu sisi (sekitar 90 derajat) ketika meneteskan obat dan
menahannya selama beberapa menit agar obat masuk ke liang telinga. Tidak ada instruksi
untuk menekan tragus. Setelah pemantauan pertama, selama dua minggu, manajemen lebih
lanjut dari otore diserahkan pada kebijakan dokter bedah THT anak atau dokter keluarga.

Pemantauan
Orangtua tetap mencatat pengobatan, efek samping, dan komplikasi yang terjadi dalam 2
minggu setiap harinya, dan gejala terkait gangguan telinga hingga 6 bulan. Dalam 2 minggu
awal dan 6 bulan akhir, dokter mengunjungi anak di rumah dan melakukan pemeriksaan
otoskopi dan memeriksa catatan orangtua serta mengumpulkan data berdasarkan catatan
tersebut dan kuesioner terkait keadaan umum dan spesifisitas penyakit pada anak.

Outcome Primer dan Sekunder


Outcome primer, kegagalan pengobatan, didefinisikan sebagai adanya gejala otore pada satu
atau kedua telinga, yang dipantau dengan menggunakan otoskop oleh peneliti setelah 2
minggu penilaian kelompok penelitian. Outcome sekunder diambil berdasarkan catatan orang
tua dan memasukkan durasi dari episode otore awal (dari penilaian kelompok penelitian pada
hari pertama otore yang dipantau selama 7 hari lebih tanpa otore), total jumlah hari gejala
otore, dan jumlah episode rekuren otore (≥ 1 hari dengan otore setelah ≥ 7 hari tanpa otore)
selama 6 bulan pemantauan, komplikasi dan efek samping pengobatan juga diamati selama 2
minggu. Selain itu, kualitas hidup berdasarkan keadaan umum dan speisifitas penyakit juga
dinilai dalam 2 minggu pemantauan.

Analisis Statistik
Analisis dilakukan dengan menggunakan software SPSS, versi 20, dan Software Episheet,
versi Oktober 2012. Peneliti melakukan semua analisis berdasarkan prinsip dalam
penanganan dan mengecualikan efek samping dari pengobatan, analisa ini tidak diberitahu
kepada kelompok penelitian. Peneliti memasukkan data dasar dengan menggunakan median
yang ada.
Perbandingan utama pada penelitian ini adalah penggunaan tetes telinga antibiotik
glukokortikoid vs pemantauan awal. Untuk perbandingan ini, peneliti menghitung resiko
perbedaan dengan 95% convidence interval dan jumlah yang dibutuhkan untuk mengobati
pasien dengan tujuan mencegah satu kasus otore yang terjadi dalam 2 minggu terkahir dan
dinilai dengan menggunakan otoskop. Untuk mengontrol uji multipel, pengobatan topikal
harus lebih baik dibandingkan yang lainnya. Dengan memperkirakan efek konservatif sekitar
60%, dengan ambang batas dua sisi berkisar 5%, yang menunjukkan adanya perbedaan
statistik dan kekuatan nilai statistik mencapai 90%, peneliti memperkirakan bahwa 105 anak
harus dimasukkan ke dalam setiap kelompok untuk penelitian dalam rangka menunjukkan
perbedaan klinis absolut dengan perbedaan persentase 20% antara kelompok dalam penilaian
outcome primer.
Peneliti juga menghitung perbedaan resiko dan 95% confidence interval untuk perbandingan
antara pemberian antibiotik oral dan observasi awal untuk outome primer, serta resiko relatif
95% confidence interval untuk semua perbandingan pengobatan. Dengan menggunakan
analisa regresi log-binominal, peneliti menghitung resiko relatif untuk kemungkinan adanya
hubungan klinis dan perbedan stastik berdasarkan karakteristik dasar.
Untuk outome sekunder, peneliti melakukan penialai Kurva Kaplan-Meir untuk menentukan
durasi dari episode otore awal pada ketiga kelompok, dan menggunakan uji log-rank untuk
menilai perbedaan pada ketiga kelmpok penelitian. Peneliti menghitung nilai median untuk
jumlah hari keseluruhan dari gejala otore dan jumlah episode otore rekuren dalam 6 bulan
pemantauan serta perubahan dari skor kualitas hidup dalam 2 minggu pemantauan. Perubahan
dari skor OM-6 berkisar antara 1.0-1.4 dipertimbangkan mengalami perubahan sedang, dan
1,5 atau lebih dipertimbangkan mengalami perbaikan yang lebih. Peneliti mengevaluasi
perbedaan antara ketiga kelompok dengan menggunakan Mann-Whitney U test.

Analisis Interim
Setelah 2 tahun perekrutan, 150 anak dengan otore akut akibat pemasangan tabung
tympanostomi diacak. Jumlah ini lebih rendah dari pada target yang diharapkan yaitu 315
anak. Setelah konsultasi dengan pemberi dana, Netherland Organization for Health Research
and Development, peneliti melakukan analisis interim untuk menilai data independet dari
review comitte. Anggota komite tidak diberitahu tentang penilaian kelompok penelitian saat
analisis dan intepretasi data.
Nilai akhir penelitian ini dinilai berdasarkan perbedaan resiko melebihi 20%. Nilai akhir
penelitian dinilai dengan menggunakan Hay bittle-Peto (dimana nilai P < 0.01
dipertimbangkan adanya perbedaan resiko). Karena tingkat keamanaan (resiko efek samping)
bukanlah alasan untuk dilakukannya analisis interim, pasien tetap dimasukkan dalam
penelitian ini. Analisis interim menunjukkan adanya perbedaan resiko yang kecil pada
outcome primer antara pengobatan yang lebih superior dan pengobatan lainnya dengan nilai
persentase -32 (95% Confidence Interval [CI], -48 sampai -17; P<0.001). Pada 21 Mei 2012,
komite menyarankan perekrutan pasien dihentikan, dimana pemantauan 230 anak yang
dimasukkan dalam penelitian telah selesai, dan menyamarkan analisis data, serta hasil yang
dilaporkan sesuai dengan standar yang diharapkan.

Hasil
Pendataan
Total 1133 pasien anak dengan pemasangan tympanostomi tube yang dimasukkan dalam
penelitian, orangtua harus menyetujui keikutsertaan anak yang mengalami otore akut akibat
pemasangan tympanostomi tube dalam penelitian. Orangtua dari 886 anak tidak
menghubungi peneliti atau melaporkan bahwa anaknya mengalami otore, sehingga tidak
memenuhi kriteria inklusi (misal, gejala terjadi selama >7 hari dan otore terjadi dalam 2
minggu setelah pemasangan tympanostomi tube).
Kunjungan rumah dijadwalkan pada 247 anak dengan otore akut akibat pemasangan
tympanostomi tube. Diantara anak ini, 17 anak mempunyai suhu tubuh 38.5◦C atau lebih atau
pemasangan tympanostomi tube yang lebih lama (Gambar 1). Total 230 anak dengan otore
akut akibat pemasangan tympanostomi tube yang dimasukkan secara acak untuk menerima
tetes telinga antibiotik glukokortikoid (76 pasien) atau antibiotik oral (77) atau hanya
menjalani pemantauan awal (77). Pada 2 minggu pertama, 71 anak (93%), 68 (88%), dan 61
(79%) pada ketiga kelompok sudah selesai menjalani manajemen pengobatan dalam
penelitian.

Kelengkapan Data
Outcome primer dinilai dari 228 anak (99%). Catatan orang tua tersedia untuk 221 anak
(96%). Pada catatan ini, informasi dari gejala otore tersedia pada 94% pasien dalam hari-hari
pemantauan.

Populasi Penelitian
Karakteristik demografis dan klinis dari peseta tersedia di Tabel 1 dan Tabel S1 pada
Supplementary Appendix, terdapat pada NEJM.org. Tidak ada perbedaan bermakna antara
karakteristik dasar diantara ketiga kelompok penelitian yang diamati. Indikasi dari
pemasangan tympanostomi tube (otitis media akut rekuren vs ototis media persisten dengan
efusi) dan kultur bakteri dari otore menunjukkan nilai berbeda diantara ketiga kelompok
(Tabel 1) Nilai rata-rata dari usia anak adalah 4.5 tahun, dan nilai rata-rata durasi dari gejala
otore yang muncul sebelum penelitian ada 3 hari, serta 38 anak (17%) mengalami otore pada
kedua telinga.

Analisis primer
Pada 2 minggu awal, 5% anak diobati dengan tetes telinga mengalami otore, dibandingkan
pada 44% anak yang menerima antibiotik oral (perbedaan resiko, -39%; 95% CI, -51 hingga
-2, jumlah yang dibutuhkan untuk pengobatan adalah 3), dan 55% pada pasien yang
dimasukkan dalam observasi awal (perbedaan resiko -49 persen, 95% CI, -62 hingga -37,
jumlah yang dibutuhkan untuk diobati adalah 2) (Tabel 2)

Analisis Sekunder
Dalam 2 minggu, anak yang diobati dengan antibiotik oral lebih sering mengalami otore
dibandingkan pasien yang diobervasi saja, namun perbedaan ini tidak bermakna (resiko
perbedaan, -11 persen, 95% CI, -27 hingga 5). Resiko elatif yang dilihat berdasarkan
perbedaan data dasar tidak terlalu menunjukkan perbedaan dari resiko relatif dasar, dan
secara konsisten lebih bermakna pada pemberian tetes telinga antibiotik glukokortikoid
(Tabel 2).
Durasi rata-rata dari episode awal otore adalah 4 hari untuk anak yang diobati dengan tetes
telinga dibandingkan 5 hari untuk anak yang diobati dengan antibiotik oral (P < 0.001) dan
12 hari pada pasien yang dimasukkan dalam observasi awal (P < 0.001) (Tabel 2 dan gambar
2). Nilai total rata-rata dari waktu otore terjadi adalah 6 bulan selama pemantauan 5 hari
untuk anak yang menerima tetes telinga dibandingkan 13.5 hari untuk anak yang menerima
antibiotik oral (P < 0.001) dan 18 hari untuk anak yang dimasukkan dalam observasi saja
(P<0.001). Nilai rata-rata dari episode rekurensi dari otore saat 6 bulan pemantauan adalah 0
pada anak yang diobati dengan tetes telinga antibiotik, 1 pada anak yang diobati dengan
antibiotik oral (P = 0.03) dan 1 pada anak yang dimasukkan dalam kelompok observasi (P =
0.26).
Pada dasarnya, nilai kualitas hidup secara umum dan berkaitan dengan spesifisitas penyakit
menunjukkan kualitas hidup yang baik dan serupa pada semua kelompok penelitian. Pada
pemantauan selama 2 minggu, adanya perubahan skor terkait kesehatan umum tidak
menunjukkan adanya perbedaan bermakna diantara kelompok penelitian. Perubahan dari skor
kualitas hidup dalam 2 minggu tergolong kecil namun konsisten terhadap pemakaian tetes
telinga.

Komplikasi dan Efek samping


Tidak ada komplikasi dari otitis media termasuk selulitis, perikondritis, mastoiditis, dan
komplikasi intrakranial yang dilaporkan dalam 2 minggu pemantauan (Tabel 3). Total 16
(21%) anak yang menerima tetes telinga mengalami rasa nyeri dan rasa tidak nyaman ketika
tetes telinga diberikan, dan 2 (3%) mengalami ruam lokal. Gejala gastrointestinal terjadi pada
18 anak (23%) yang menerima antibiotik oral, dan ruam terjadi pada 3 anak (4%). Saat
pemantauan 6 bulan, anak yang diobati dengan tetes telinga lebih jarang mengalami episode
otore yang bertahan selama 4 minggu atau lebih, dibandingkan pada anak yang diobati
dengan antibiotik oral dan dimasukkan dalam observasi saja.

Pembahasan
Pada penelitian pragmatik, randomisasi, terkontrol ini, peneliti menemukan bahwa tetes
telinga antibiotik glukortikoid lebih baik dibandingkan antibiotik oral dan observasi awal
dimana outcome primer dari otore berkisar 2 minggu, dan dinilai dengan menggunakan
otoskop pada anak yang mengalami otore akut akibat pemasangan tympanostomi tube.
Analisis sekunder peneliti mendukung temuan ini. Sekitar 1 dari 2 anak yang dimasukkan
dalam observasi tidak mengalami otore pada 2 minggu, dan observasi awal menyebabkan
otore yang lebih lama dibandingkan pada anak yang mendapatkan antibiotik oral atau topikal.
Hal ini menunjukkan bahwa observasi saja tidak menjadi pilihan penanganan adekuat untuk
anak dalam kondisi ini.
Salah satu penelitian sebelumnya yang membandingkan strategi manajemen yang sama,
pemberian tetes telinga antibiotik glukokortikoid, antibiotik oral, dan observasi, namun
penelitian ini hanya terbatas pada pemberian obat profilaksis setelah pemasangan
tympanostomi tube. Tiga penelitian lainnya yang membandingkan pemberian tetes telinga
dengan antibiotik oral untuk pengobatan anak dengan otore akibat pemasangan tympanostomi
tube. Pada kedua penelitian yang dijelaskan diatas, tidak seperti penelitian ini, anak
mengalami otore yang bertahan lebih dari 3 minggu (durasi pasti dari otore tidak dilaporkan)
dengan menerima pengobatan sebelum pasien dimasukkan dalam penelitian. Kedua
penelitian mengeklusikan anak dengan kultur positif terhadap Group A Streptococus atau
Peudomonas Aeruginosa dari analisis, yang mempengaruhi aplikasi hasil penelitian terhadap
praktik sehari-hari. Pada penelitian ketiga, dimana populasi penelitian dapat dibandingkan
dengan penelitian ini, 68 anak dengan otore akut akibat pemasangan tympanostomi tube
secara acak diberikan amoksilin oral, tetes telinga ciprofloxacin, atau pembasuhan dengan
salin dari liang telinga pasien. Peneliti juga menyatakan bahwa pemberian tetes telinga lebih
baik dibandingkan pengobatan lainnya, namun tingkat kegagalan terapi lebih tinggi pada
pilihan pengobatan ini. Tingkat kegagalan terapi yang lebih rendah untuk pengobatan topikal
dalam penelitian ini mungkin terjadi akibat penggunaan tetes telinga yang mengandung
antibiotik serta glukokortikoid dan penelitian ini dinilai setelah 2 minggu, bukan 1 minggu
saja.
Uji Finnish yang membandingkan efektifitas dari antibiotik oral dengan placebo pada anak
dengan otore akut akibat pemasangan tympanostomi tube menunjukkan adanya durasi yang
lebih pendek terhadap otore pada anak yang diobati dengan antibiotik oral. Saat penelitian
ini, saluran telinga pada pasien dibersihkan dengan suction setiap harinya.Terkait
ketidakpastian dari keuntungan intervensi terapi ini, hasil penelitian tidak bisa dipakai dalam
praktik sehari hari, karena kesulitan dalam penggunaan suction setiap harinya. Peneliti tidak
menemukan bahwa pemberian antibiotik oral menunjukkan keuntungan yang lebih
dibandingkan observasi terkait adanya pemantauan gejala otore dalam 2 minggu, dan dinilai
dengan otoskop, namun peneliti menemukan bahwa durasi otore lebih pendek pada anak
yang diobati dengan antiobtik oral dibandingkan dengan anak yang hanya diobservasi.
Beberapa aspek dari penelitian ini membutuhkan perhatian lebih. Pertama, tetes telinga
antibiotik yang digunakan tidak selalu tersedia di luar Belanda dan Prancis. Peneliti memilih
tetes telinga hydrocortisone-bacitracin-colistin karena lebih banyak tersedia secara umum,
dan merupakan tetes telinga yang tidak mengandung aminoglikosida yang bersifat ototoksik.
Tetes telinga ini sangat aktif untuk kebanyakan bakteri yang dapat menyebabkan otore akut
akibat pemasangan tympanostomi tube (contoh Streptococcus pneumoniae, Haemophilus
influenza, Moraxella catarrhalis, Staphylococus aureus, dan P.aeruginosa). Walaupun bukti
klinis masih terbatas, peneliti yakin bahwa pemberian kombinasi tetes telinga antibitoik dan
glukokortikoid dapat menunjukkan aktifitas antimikroba yang sesuai, seperti pada pemberian
deksametason dan ciprofloxacin.
Kedua, dosis dari suspensi amoxicillin clavulanate yang digunakan dalam penelitian ini (30
mg amoxicilin dan 7.5 mg clavulanate/kgBB/hari) merupakan dosis rekomendasi dasar di
Belanda dan negara Eropa lainnya, dimana tingkat resistensi antimikroba obat ini tergolong
rendah. Ketiga, peneliti menggunakan penelitian pragmatic, dengan rancangan blinded (buta)
untuk memperkuat aplikasinya dalam praktik sehari-hari. Selain itu, penilaian hasil penelitian
dilakukan oleh dokter yang meneliti dan sesuai dengan laporan yang diberikan berdasarkan
catatan orang tua. Keempat, peneliti yakin bahwa data catatan orangtua pasien tergolong
akurat. Peneliti mengumpulkan catatan termasuk informasi dari adanya otore pada
pemantauan setiap harinya, pada seluruh anak. Pada penelitian yang serupa, peneliti
menemukan tingkat kerjasama yang tinggi antara orang tua dan dokter dalam penilaian
discharge telinga pada anak setelah penangaan otore.
Kelima, dalam rancangan penelitian ini, peneliti menyatakan adanya pengurangan absolut
hingga 20 persen dari angka kejadian otore setelah 2 minggu untuk salah satu strategi
pengobatan dibandingkan dengan data klinis lainnya. Perbedaan resiko yang diamati lebih
tinggi 2x lipat, dan menunjukkan pentingnya penelitian ini untuk praktik klinis sehari-hari.
Akhirnya, perbandingan antara anak yang dimasukkan dalam penelitian dan tidak, peneliti
menemukan kesamaan terkait usia, jenis kelamin, dan jumlah dari pemasangan tabung
tympanostomi. Karena rancangan dari penelitian ini dapat memasukkan anak yang diobati di
seluruh tempat kesehatan, peneliti mempercayai bahwa hasil penelitian ini dapat
diaplikasikan pada anak yang mengalami otore akut akibat pemasangan tympanostomi tube
baik di pusat kesehatan primer maupun sekunder.
Referensi
1. Cullen K, Hall M, Golosinskiy A. Ambulatory surgery in the United States, 2006. National
health statistics reports, no. 11, revised. Hyattsville, MD: National Center for Health
Statistics, 2009.
2. Rosenfeld RM, Bluestone CD. Clinical efficacy of surgical therapy. In: Rosenfeld RM,
Bluestone CD, eds. Evidence-based otitis media. 2nd ed. Hamilton, ON, Canada: B.C.
Decker, 2003:227-40.
3. Kay DJ, Nelson M, Rosenfeld RM. Meta-analysis of tympanostomy tube sequelae.
Otolaryngol Head Neck Surg 2001; 124:374-80.
4. van Dongen TM, van der Heijden GJ,Freling HG, Venekamp RP, Schilder AG. Parent-
reported otorrhea in children with tympanostomy tubes: incidence and predictors. PLoS One
2013;8(7):e69062.
5. Ah-Tye C, Paradise JL, Colborn DK. Otorrhea in young children after tympanostomy-
tube placement for persistent middle-ear effusion: prevalence, incidence, and duration.
Pediatrics 2001;107:1251-8.
6. Rosenfeld RM, Bhaya MH, Bower CM, et al. Impact of tympanostomy tubes on child
quality of life. Arch Otolaryngol Head Neck Surg 2000;126:585-92.
7. Peters BM, Jabra-Rizk MA, O’May GA, Costerton JW, Shirtliff ME. Polymicrobial
interactions: impact on pathogenesis and human disease. Clin Microbiol Rev 2012; 25:193-
213.
8. Vaile L, Williamson T, Waddell A, Taylor G. Interventions for ear discharge associated
with grommets (ventilation tubes). Cochrane Database Syst Rev 2006; 2:CD001933.
9. Dohar J, Giles W, Roland P, et al. Topical ciprofloxacin/dexamethasone superior to oral
amoxicillin/clavulanic acid in acute otitis media with otorrhea through tympanostomy
tubes. Pediatrics 2006;118(3): e561-e569.
10. Heslop A, Lildholdt T, Gammelgaard N, Ovesen T. Topical ciprofloxacin is superior to
topical saline and systemic antibiotics in the treatment of tympanostomy tube otorrhea in
children: the results of a randomized clinical trial. Laryngoscope 2010; 120:2516-20.
11. Goldblatt EL, Dohar J, Nozza RJ, et al. Topical ofloxacin versus systemic amoxicillin/
clavulanate in purulent otorrhea in children with tympanostomy tubes. Int J Pediatr
Otorhinolaryngol 1998;46:91-101.
12. Weber PC, Roland PS, Hannley M, et al. The development of antibiotic resistant
organisms with the use of ototopical medications. Otolaryngol Head Neck Surg
2004;130:Suppl:S89-S94.
13. Rovers MM, Glasziou P, Appelman CL, et al. Antibiotics for acute otitis media: a meta-
analysis with individual patient data. Lancet 2006;368:1429-35.
14. Isaacson G. Why don’t those ear drops work for my patients? Pediatrics 2006; 118:12523.
15. Raat H, Botterweck AM, Landgraf JM, Hoogeveen WC, Essink-Bot ML. Reliability and
validity of the short form of the Child Health Questionnaire for Parents (CHQ-PF28) in large
random school based and general population samples. J Epidemiol Community Health
2005;59:75-82.
16. Hullmann SE, Ryan JL, Ramsey RR, Chaney JM, Mullins LL. Measures of general
pediatric quality of life: Child Health Questionnaire (CHQ), DISABKIDS Chronic Generic
Measure (DCGM), KINDL-R, Pediatric Quality of Life Inventory (PedsQL)
4.0 Generic Core Scales, and Quality of My Life Questionnaire (QoML). Arthritis Care Res
(Hoboken) 2011;63:Suppl 11: S420-S430.
17. Rosenfeld RM, Goldsmith AJ, Tetlus L, Balzano A. Quality of life for children with otitis
media. Arch Otolaryngol Head Neck Surg 1997;123:1049-54.
18. Episheet. Boston: Brigham and Women’s Hospital and Harvard Medical School, 2012
(http://www.drugepi.org/dope-downloads/-Episheet).
19. Donders AR, van der Heijden GJ, Stijnen T, Moons KG. A gentle introduction to
imputation of missing values. J Clin Epidemiol 2006;59:1087-91.
20. Ruohola A, Heikkinen T, Meurman O, Puhakka T, Lindblad N, Ruuskanen O. Antibiotic
treatment of acute otorrhea through tympanostomy tube: randomized double-blind placebo-
controlled study with daily follow-up. Pediatrics 2003;111:1061-7.
21. Schulz KF, Altman DG, Moher D. CONSORT 2010 statement: updated guidelines
for reporting parallel group randomised trials. J Clin Epidemiol 2010;63:834-40.
22. Moher D, Hopewell S, Schulz KF, et al. CONSORT 2010 explanation and elaboration:
updated guidelines for reporting parallel group randomised trials. J Clin Epidemiol
2010;63(8):e1-e37. [Erratum, J Clin Epidemiol 2012;65:351.]
23. Balkany TJ, Barkin RM, Suzuki BH, Watson WJ. A prospective study of infection
following tympanostomy and tube insertion. Am J Otol 1983;4:288-91.
24. Roland PS, Anon JB, Moe RD, et al. Topical ciprofloxacin/dexamethasone is superior to
ciprofloxacin alone in pediatric patients with acute otitis media and otorrhea through
tympanostomy tubes. Laryngoscope 2003;113:2116-22.
25. U.S. National Library of Medicine. Daily Med (http://dailymed.nlm.nih.gov).
26. Easton J, Noble S, Perry CM. Amoxicillin/ clavulanic acid: a review of its use in the
management of paediatric patients with acute otitis media. Drugs 2003;63: 311-40.
27. T.htinen PA, Laine MK, Huovinen P, Jalava J, Ruuskanen O, Ruohola A. A placebo-
controlled trial of antimicrobial treatment for acute otitis media. N Engl J Med
2011;364:11626.
28. Scott IA, Glasziou PP. Improving the effectiveness of clinical medicine: the need
for better science. Med J Aust 2012;196: 304-8.
29. van Dongen TM, Schilder AG, Manders LA, van der Veen EL, van der Heijden GJ. Good
agreement between parents and physician in the assessment of ear discharge in children.
Pediatr Infect Dis J 2012;31:868-9.

Anda mungkin juga menyukai