Anda di halaman 1dari 22

JOURNAL READING

Chloramphenicol Treatment for Acute Infective Conjunctivitis in


Children in Primary Care :
a randomised double-blind placebo-controlled trial)
(Terapi Kloramfenikol untuk Konjungtivitis Infektif Akut pada Anak di Layanan
Kesehatan Primer : randomised double-blind placebo-controlled trial)
(Oleh Peter W Rose, Anthony Harnden, Angela Brueggemann, Rafael Perera, Aziz Sheikh,
Derrick Crook, David Mant)

Diajukan untuk melengkapi syarat kepaniteraan senior


Bagian Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

Disusun oleh:
Fenita Putri Saetikho 22010116220244
Esya Adetia Tanderi 22010116220239
Dwi Fatimah Sari 22010116220240
Ade Pratama Agung 22010116220288
Nadia Delima Andini 22010116220410
Kevin Andersen 22010116220383
Pingkan Permata Putri 22010116220393
Okki Aurillia 22010116220385
Lantip Meliana Pancarani 22010116220387
Rizky Haryantari 22010116220390

Pembimbing:
dr. Riski Prihatningtias, Sp.M

BAGIAN ILMU PENYAKIT GIGI DAN MULUT


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2017
Terapi Kloramfenikol untuk Konjungtivitis Infektif Akut
pada Anak di Layanan Kesehatan Primer : randomised
double-blind placebo-controlled trial
Peter W Rose, Anthony Harnden, Angela Brueggemann, Rafael Perera, Aziz Sheikh, Derrick
Crook, David Mant

Rangkuman
Latar belakang Satu dari delapan anak sekolah memiliki satu episod
konjungtivitis infektif akut tiap tahunnya. Standar praktek kliniknya adalah
dengan meresepkan sebuah antibiotik topikal, meskipun bukti yang mendukung
praktek ini masih langka. Kami melakukan sebuah randomised double-blind trial
untuk membandingkan keefektifan tetes mata kloramfenikol dengan placebo pada
anak dengan konjungtivitis infektif akut di layanan kesehatan primer.

Metode Studi kami melibatkan 326 anak usia 6 bulan sampai 12 tahun dengan
diagnosa klinis konjungtivitis yang kami ambil dari 12 klinik praktek umum di
Inggris. Kami menetapkan sebanyak 163 anak mendapatkan tetes mata
kloramfenikol dan 163 anak mendapat tets mata placebo. Swab mata diambil
untuk analisis bakteri dan virus. Outcome primer adalah penyembuhan klinis pada
hari ke 7, yang didata dari catatan orang tua. Semua anak di follow-up selama 6
minggu untuk mengidentifikasi kekambuhan. Survival statistics digunakan untuk
perbanding, dan analisis digunakan dengan tujuan untuk terapi.

Temuan Sembilan anak hilang dari follow-up (satu dari kelompok


kloramfenikol; delapan dari kelompok placebo). Penyembuhan klinis pada hari ke
7 terjadi pada 128 dari 155 anak (83%) kelompok placebo, dibanding 140 dari 162
anak (86%) kelompok kloramfenikol (dengan risk difference 3.8%, 95% CI -4.1%
sampai 11.8%). Tujuh anak (4%) pada kelompok kloramfenikol dan lima anak
(3%) pada kelompok placebo mengalami episode konjungtivitis yang lebih lama
selama 6 minggu (1.2% -2.9% sampai 5.3%). Kejadian yang merugikan jarang
terjadi dan merata pada kedua kelompok.

Interpretasi Kebanyakan anak yang mengalami konjungtivitis infektif akut di


layanan kesehatan primer anak sembuh dengan sendirinya dan tidak memerlukan
terapi antibiotik.
Pendahuluan
Konjungtivitis infektif akut memiliki efek substansial pada beban kerja pelayanan
kesehatan, meskipun dengan morbiditas yang rendah. Perhitungan penyakit
mencapai 1% dari konsultasi di layanan primer.1,2 Satu dari delapan anak sekolah
memiliki satu episod konjungtivitis infektif akut tiap tahunnya3, dengan lebih dari
1 juta episod di Inggris dan lebih dari 5 juta di Amerika. Meskipun diagnosa
konjungtivitis infektif akut biasanya mudah, banyak dokter keluarga yang
menemukan kesulitan untuk membedakan virus dari bakteri. Standar praktek
kliniknya adalah dengan meresepkan sebuah antibiotik topikal4, yang memperkuat
kebutuhan untuk konsultasi, dan skala peresepan antibiotik mata tergolong besar –
di Inggris, 2.3 juta tiap tahun di layanan kesehatan primer untuk individu segala
usia5.
Resistensi antibiotik merupakan masalah global yang sedang tumbuh.
Dengan penelitian menunjukkan sedikit manfaat dari penggunaan antibiotik pada
anak dengan sakit tenggorokan dan otitis media6,7, ada pengurangan peresepan
antibiotik di Inggris untuk infeksi virus pada saluran pernafasan anak yang sering
terjadi. Konjungtivitis infektif akut sering disebabkan oleh bakteri, maka
peresepan antibiotik terkesan rasional. Selebihnya, faktor sosial dan kebijakan
kesehatan publik sering mendikte agar anak mendapat perawatan sebelum kembali
ke rumah atau sekolah (Rose PW, Ziebland S, Harnden A, et al, unpublished).
Sebuah review sistematis Cochrane menunjukkan bahwa antibiotik topikal tidak
hanya menghasilkan remisi yang signifikan, secara klinis maupun mikrobiologis,
dibandingkan dengan placebo, tetapi juga menunjukkan resolusi yang baik dengan
palcebo8. Bagaimanapun juga, percobaan yang disertakan semua berdasarkan
populasi secondary-care, yang secara eksklusif infeksi bakteri dan keparahan
penyakit mungkin meningkat. Kebanyakan pasien di layanan kesehatan primer
datang dengan penyakit keparahan ringan, sehingga ekstrapolasi dari hasil
Cochrate untuk seting demikian sulit diterapkan. Kami mendesain sebuah
randomised trial untuk menginvestigasi keefektivan kloramfenikol topikal untuk
anak dengan konjungtivitis infektif akut di layanan kesehatan primer.

Metode
Partisipan
Studi berupa placebo-controlled, double-blind, randomised controlled trial terdiri
dari 326 anak dengan diagnosa klinis konjungtivitis. Anak secara acak ditetapkan
untuk mendapat tetes mata kloramfenikol (n=163) atau tetes mata placebo
(n=163). Kloramfenikol dipilih karena paling sering digunakan oleh dokter
keluarga4 dan tingkat resistensi yang rendah pada beberapa organisme9,10.
Kekhawatiran tentang keamanan obat tidak terbukti12. Studi dibuktikan oleh
komite etik penelitian klinik Oxfordshire (C01.204).
Duabelas tempat praktik di Oxfordshire, Inggris, dilibatkan untuk
berpartisipasi pada Oxford Childhood Infection Study (OXCIS). Dokter keluarga
pada praktik ini melibatkan anak berusia antara 6 bulan dan 12 tahun yang datang
ke klinik selama jam kerja dengan diagnosis kerja konjungtivitis infektif akut.
Sampel dieksklusikan bila mereka diketahui alergi terhadap kloramfenikol,
mengkonsumsi antibiotik saat ini atau dalam 48 jam sebelumnya,
immunocompromised, atau memiliki bukti infeksi berat (misalnya, selulitis
periorbital). Beberapa anak siap untuk dinilai dan ditindaklanjuti tapi ternyata
tidak siap untuk diberikan tugas secara acak, biasanya karena orang tua mereka
menginginkan antibiotik. Anak-anak ini mengikuti protokol tanpa menjalani
randomisasi - untuk memungkinkan perbandingan karakteristik baseline dengan
mereka yang masuk dalam penelitian-tapi dieksklusikan dari analisis percobaan
utama.

Prosedur
Pengambilan sampel terjadi antara bulan Oktober dan April pada tahun
2001-02, 2002-03, dan 2003-04, karena kejadian konjungtivitis infektif
(Diagnosis banding klinis utama pada anak-anak) lebih banyak daripada
konjungtivitis alergi pada bulan-bulan tersebut. Para dokter keluarga yang
merekrut memberi orang tua selembar informasi standar, dengan informasi tertulis
yang dirancang untuk anak-anak. Biasanya dalam 4 jam dari perekrutan, anak-
anak dikunjungi oleh perawat penelitian, saat dioperasi oleh dokter keluarga atau
di rumah. Kemudian studi ini dijelaskan kepada orang tua dan anak-anak, dan
mereka yang setuju untuk ikut, menandatangani formulir persetujuan.
Kami melakukan audit rekam medis pada semua anak-anak yang
berkonsultasi dengan dokter keluarga dalam proses pengambilan sampel
penelitian. Periode audit selama 1 minggu setiap bulan selama rekrutmen. Audit
tersebut mencatat semua anak pada setiap kelompok usia yang menderita
konjungtivitis infektif akut, termasuk yang diluar jam kerja, untuk memperkirakan
proporsi semua anak yang direkrut dalam penelitian kami.
Untuk penilaian awal, perawat penelitian menilai derajat keparahan klinis,
termasuk tingkat kemerahan mata, dibandingkan dengan foto yang divalidasi.13
Dua swab konjungtiva diambil dari mata yang terkena dampak paling parah
dengan menggunakan kapas untuk kultur bakteri dan Dacron swab (Technical
Services Ltd, Heywood, Inggris) untuk tes PCR virus. Jarum Dacron segera
ditempatkan ke dalam buffer stabilisasi (buffer lisis NucliSens, bioMerieux,
Inggris, Basingstoke, Inggris). Semua perawat penelitian dilatih teknik sampling
konjungtiva yang tepat oleh seorang perawat spesialis dari Oxford Eye Hospital,
Oxford, Inggris.
Botol identik yang disiapkan mengandung 0 · 5% kloramfenikol
(Preservative Free Eye Drops BP) atau air suling dengan eksipien asam borat (1 ·
5%) dan boraks (0 · 3%). Tetes aktif dan plasebo disiapkan secara eksternal dan
diberi label A dan B oleh pemasok; satu orang lokal mengetahui kodenya tapi
tidak berpartisipasi dalam penelitian. Botolnya diacak secara terpusat dengan
menggunakan tabel nomor acak di blok sepuluh.
Orangtua diberi sebotol obat tetes mata oleh perawat dengan instruksi
untuk memasukkan satu tetes obat pada masing-masing mata yang sakit setiap 2
jam untuk 24 jam pertama saat anak mereka tidak tidur dan kemudian empat kali
setiap hari sampai 48 jam setelah infeksi teratasi. Orangtua diminta untuk mengisi
lembar gejala tentang kondisi anak mereka, setelah setiap tetes diberikan dan juga
mencatat saat mereka menganggap penyakit anaknya sembuh.
Pada follow up 7 hari, anak tersebut akan dikunjungi lagi oleh perawat
penelitian setelah rekrutmen ketika penilaian klinis sudah dilakukan dan dua swab
telah diambil dari mata yang sama seperti swab pertama. Orangtua akan ditelepon
selama 6 minggu setelah selesai mengikuti penelitian untuk mengidentifikasi
masalah mata lebih lanjut. Kontak tambahan yang dilaporkan dengan dokter
keluarga atau rumah sakit selama periode ini sudah dikonfirmasi dengan mengacu
pada catatan medis anak tersebut.
Penilaian outcome utama adalah berdasarkan kecepatan penyembuhan
klinis selama 7 hari, seperti yang dinyatakan oleh orang tua. Lamanya waktu dari
perekrutan sampai penyembuhan ditentukan dari buku harian; Waktu
penyembuhan adalah waktu rekaman pertama dalam buku harian setelah tidak
ditemukan adanya tiga gejala (rasa sakit, kemerahan, atau discharge). Setiap
ketidakcocokan antara pencatatan waktu penyembuhan dengan isi buku harian
selanjutnya didiskusikan antar peneliti. Dalam satu kasus bila tidak adanya
informasi dari buku harian, maka outcome 7 hari tersebut dinilai dari catatan
penelitian perawat.
Untuk ukuran hasil mikrobiologis, swab konjungtiva segera dibawa ke
laboratorium setelah pengambilan sampel untuk diproses langsung. Cawan agar
darah dan agar coklat diinokulasi dengan kapas dan tabung buffer stabilisasi
disimpan pada suhu -80ºC sampai pengujian molekuler selesai. Cawan agar
diinkubasi pada suhu 37ºC dalam 5% CO2 paling sedikit 48 jam, dan semua jenis
bakteri dengan morfologi yang berbeda diidentifikasi dengan teknik mikrobiologi
klinis standar. Kita menggunakan tes molekuler untuk mendeteksi ada tidaknya
adenovirus, picornavirus, virus herpes simpleks, dan Chlamydia trachomatis
(Brueggemann AB, Rose PW, Perera R, dkk, tidak dipublikasikan).
Masih ada perdebatan tentang bakteri apa yang bersifat patogen pada
konjungtivitis anak, disamping Haemophilus influenzae dan Streptococcus
pneumoniae. Karena kita perlu menentukan pengukuran keberhasilan
mikrobiologis terkait dengan bakteri penyebab, kita melakukan Meta-analisis
untuk membandingkan bakteri yang dikultur dari konjungtiva 518 anak dengan
konjungtivitis dan 283 anak kontrol yang sehat, kemudian data dari dua penelitian
sebelumnya14,15 digabungkan dengan data kami yang tidak dipublikasikan
(gambar 1). Organisme yang paling umum terjadi pada sampel konjungtivitis
dibandingkan dengan kontrol adalah H influenzae, S pneumoniae, dan Moraxella
catarrhalis. Bukti menunjukkan bahwa terdapat heterogenitas substansial dalam
penelitian rasio risiko untuk bakter Staphylococcus spp koagulase-negatif. Hasil
ini mungkin disebabkan karena jenis stafilokokus yang berbeda-beda, dan karena
itu setiap penelitian mungkin memiliki isolasi tingkat spesies individu yang
bervariasi untuk Staphylococcus. Sebuah analisis khusus untuk spesies tertentu
tidak memungkinkan, dan oleh karena itu perkiraan rasio risiko gabungan untuk
spesies staphylococcus koagulase-negatif harus diinterpretasikan dengan hati-hati.
Dengan demikian, kami menilai hasil mikrobiologis dengan

Gambar 1. Meta-analisis dari tiga set data melaporkan adanya organisme bakteri pada
konjungtiva anak dengan konjungtivitis dan kontrol sehat
Demikian, kami menilai outcome mikrobiologi dengan membandingkan jumlah
unit pembentukan koloni saat rekuitmen dan pada hari ke 7 untuk tiga organisme
ini.
Jumlah koloni dikelompokkan sebagai berikut : 100 atau lebih koloni = 3,
11-99 = 2, 1-10 = 1, dan tidak ada pertumbuhan = 0. Outcome berupa perbedaan
antara klasifikasi jumlah koloni saat rekuitmen dan swab pada hari ke 7 untuk H
influenzae, S pneumoniae, dan M catarrhalis yang teridentifikasi di setiap kasus.
Jumlah koloni 0 pada swab kedua dikatakan sembuh, penurunan jumlah koloni
dikatakan perbaikan, jumlah kolomi sama dikatakan tidak ada perubahan, dan
peningkatan jumlah koloni dikatakan perburukan. Jika H influenzae, S
pneumoniae, dan M catarrhalis terdeteksi secara bersamaan, outcome akhir
dikatakan sebagai outcome terburuk di antara bakteri multipel. Untuk menilai efek
dari intervensi, anak yang sembuh atau perbaikan dibandingkan dengan anak yang
tidak ada perubahan atau buruk dalam dua kelompok.

Analisis Statistik

Untuk semua hasil pembagian dalam dua bagian, perbedaan risiko antara
kloramfenikol dan kelompok placebo dengan (%% Cis dapat dihitung. Untuk
hasil dari penyembuhan klinis pada hari ketujuh, perkiraan jumlah angka yang
diperoleh butuh diobati (NNT=1/perbedaan risiko). Uji Mann-Whitney digunakan
untuk membandingkan waktu pengobatan klinis (kontinu), karena ini sangat
condong. Tingkat kesembuhan klinis pada kedua kelompok tersebut dibandingkan
dengan uji Log-Rank dan Kaplan-Meier. Kelangsungan individu yang tidak
sembuh pada akhir hari ketujuh (yaitu, analisis intention-to-treat). Kami
menyiapkan subkelompok analisis yang berhubungan dengan penyebab
mikrobiologis. Data ganda dimasukkan ke Microsoft Access dan dianalisis dengan
menggunakan SPSS version 12.0 untuk Windows. Analisis utama dilakukan
sebelum kode randomisasi rusak. Meta analisis dari kode acak digunakan untuk
menentukan organisme bakteri yang sangat terkait dengan konjungitvitis, dengan
risiko relative sebagai rangkuman statistiknya, sedangkan heterogenitas dinilai
dengan menggunakan statististik X2 dan I2.16

Perbedaan 19% dalam tingkat kesembuhan pada tujuh hari telah terjadi
sebelumnya sudah dilaporkan17 dan dinilai oleh semua penyelidik menjadi
perbedaan penting secara klinis.

Ukuran sampel yang direncanakan (n=500) dikutip dalam protocol asli


cukup untuk mendeteksi perbedaan ini dengan nilai 80%,  = 0.05 menggunakan
uji two-tailed berdasarkan tingkat kesembuhan placebo sebesar 72%, dan
prevalensi dari kejadian bakteri sebesar 60% (dengan asumsi kejadian virus tidak
terpengaruh oleh antibiotik). Namun, ukuran sampel dihitung ulang (tanpa
merusak kode randomisasi) bila asumsi selanjutnya ini jelas tidak berlaku—
hampir 80% dari kejadian bakteri dan tingkat kesembuhan dalam tujuh hari lebih
dari 80%. Setelah rekruitmen yang ketiga kalinya, kami memperkirakan ulang
bahwa kami mencapai 80% untuk mendeteksi 12-14% perbedaan dan jika kami
melanjutkan memulihkan sampel aslinya, pencapaian tidak akan meningkat secara
substansial: karena itu percobaan berhenti.

Peran sumber

Sponsor dari penelitian tidak memiliki peran dalam bentuk penelitian,


pengumpulan data, analisis data, interpretasi data atau penulisan laporan. Penulis
memiliki akses data penuh dalam penelitian dan tanggung jawab penuh dalam
keputusan untuk dipublikasikan
Hasil

Gambar 2 menunjukkan profil percobaan. Dari audit tersebut, diperkirakan 29%


anak dalam penelitian periode ini dipulihkan. Tidak ada perbedaan klinis yang
terlihat antara karakteristik anak-anak dengan klorampenikol dan kelompok
placebo (tabel 1).

Lebih banyak anak mengeluhkan sakit atau nyeri pada kelompok yang tidak
diacak. (n=30, p=0.01), tetapi tidak ada perbedaan lain yang tercatat antara
karakteristik kelompok yang diacak dengan yang tidak diacak.

Tabel 2 menunjukkan tidak ada perbedaan yang berarti antara klorampenikol dan
kelompok placebo dan angka kejadian bakteri dan virus yang terdeteksi. Bakteri
pathogen dikultur dari sekitar 250 anak-anak: 60% H. influenza, 20% S
pnemoniae, dan 10% M catarrhalis. Adenovirus atau picorna virus (atau
keduanya) terdeteksi dari lebih dari 10% anak-anak.
Secara keseluruhan, patogen diidentifikasi pada 261 (80%) anak, dimana
pada 217 (67%) tumbuh satu atau lebih bakteri patogen, sembilan (3%)
menujukkan hanya virus saja, dan 34 (10%) positif untuk kedua virus dan bakteri.
C trachomatis dan virus herpes simpleks tidak terdeteksi pada semua anak.
Pada hari ketujuh, 86% anak sembuh secara klinis dengan kelompok
antibiotik dibandingkan dengan 79% pada kelompok plasebo (tabel 3). Analisis
dengan tujuan-untuk-terapi termasuk anak yang gagal follow up dan dianggap
terapi tidak berhasil – Jika anak-anak yang gagal follow up diekslusikan, 86%
anak sembuh secara klinis pada kelompok antibiotik dibadingkan dengan 83%
dari anak-anak di kelompok plasebo (tabel 3). NNT untuk mencapai satu atau
lebih kesembuhan klinis pada hari ke 7 karena itu diperkirakan sekitar 14–25.
Tidak ada perbedaan signifikan yang tampak pada tingkat kesembuhan
klinis, perbaikan mikrobiologis atau kesembuhan, atau waktu median kesembuhan
pada hari ke-7. Bahkan pada subkelompok yang hanya tumbuh bakteri patogen,
tingkat kesembuhan klinis tidak berbeda secara signifikan antara kelompok
antibiotik (85%) dan plasebo (80%) – estimasi NNT 22. Namun, jumlah anak-
anak yang diterapi dengan kloramfenikol yang menunjukkan eradikasi bakteri
(40%) berbeda seccara signifikan dibandingkan anak-anak yang diterapi dengan
plasebo (23%, NNT 6; tabel 3).
Gambar 3 menunjukkan proporsi anak-anak yang dilaporkan sembuh
setiap harinya pada saat uji coba. Kurva menyimpang pada hari 2 (26% sembuh
pada kelompok kloramfenikol dan 16% pada kelompok plasebo) dan tetap
dipisahkan sampai hari ke-7 (tes log-rank p=0.025). Perbedaan rata-rata waktu
penyembuhan adalah 0,3 hari, dimana tidak ada perubahan besar dari hari ke-2
sampai ke-7. Sembilan anak gagal untuk menyelesaikan uji coba (karena mereka
tidak menjawab panggilan telfon untuk membuat janji); delapan dari anak-anak
ini berada dalam kelompok plasebo. Beberapa anak diresepkan antibiotik tetes
mata oleh dokter keluarga selama uji coba karena kekhawatiran orang tua akibat
tidak adanya kemajuan terapi; akan tetapi, jumlahnya hanya sedikit (12 kejadian)
dan setara di setiap kelompok.
Pemeriksaan data 6 minggu tersedia pada 307 (94%) anak. Efek samping
jarang dan terdistribusi secara merata di antara masing-masing kelompok. Hanya
satu kejadian yang kemungkinan berhubungan dengan kloramfenikol; seorang
anak dengan kelopak mata dan wajah bengkak. Konjungtivitis kambuhan atau
episode baru terjadi jarang (<5%) dalam 5 minggu setelah uji coba dan
terdistribusi secara merata di antara masing-masing kelompok (tabel 3). Sebagai
tambahan terdapat konsultasi untuk konjungtivitis, 19 (6%) anak di kelompok
antibiotik dan 19 (6%) di kelompok plasebo konsultasi ke dokter keluarga untuk
masalah-masalah minor lainnya di antara hari ke-8 dan 6 minggu setelah uji coba.
Tabel 3: Keluaran utama pada anak-anak yang diterapi dengan tetes mata
kloramfenikol dan plasebo
Kloramfenikol Plasebo Perbedaan (95% CI)
(n=163)* (n=163)*

Waktu penyembuhan (hari)


Median (IQR) 5 (3 s.d. 6) 5 (4 s.d. 7) 0
Rata-rata (SD) † 5,0 (1,9) 5,4 (1,9) –0,33 (–0,75 s.d. 0,09)
Kesembuhan klinis di
hari ke-3
Perbandingan dengan- 64 (39%) 54 (33%) 6,2% (–4,3% s.d. 16,5%)
tujuan-terapi
Kesembuhan klinis di
hari ke-7 ‡
Perbandingan dengan- 140 (86%) 128 (79%) 7,4% (–0,9% s.d. 15,6%)
tujuan-terapi
Ekslusi dari anak yang 140/162 (86%) 128/155(83% 3,8% (–4,1% s.d. 11,8%)
gagal follow up
Anak-anak dengan hanya 101/119 (85%) 94/117 (80%) 4,6% (–5,1% s.d. 14,2%)
bakteri patogen
Kesembuhan
mikrobiologis di hari ke-7
Kesembuhan mikrobiologis 50/125 (40%) 29/125 (23%) 16,8% (5,5% s.d. 28,1%)
Perbaikan mikrobiologis 31/125 (25%) 40/125 (32%) –7·2% (–18,3% s.d.3,9%)
Kesembuhan mikrobiologis 81/125 (65%) 69/125 (55%) 9·6% (–2,5% s.d. 21,7%)
atau perbaikan
Tingkat kekambuhan
Episode konjungtivitis 7 (4%) 5 (3%) 1,2% (–2,9% s.d. 5,3%)
lebih lanjut dalam 6
minggu
Kejadian efek samping
klinis
Hari 1-7 § 3 (2%) 3 (2%) 0% (–2,9% s.d. 2,9%)
Data berupa angka (%) kecuali dinyatakan sebaliknya. *Prosentase dibulatkan ke angka
terdekat. †Disensor dari hari ke-8. ‡Termasuk satu anak yang catatan hariannya tidak
lengkap tetapi perawat melaporkan kesembuhan klinis. §Kelompok klormafenikol: satu
anak mengalami edema kelopak mata dan wajah, satu anak dirawat karena bronkiolitis, dan
satu anak setelahnya didiagnosis dengan keratitis Thyfeson's. Kelompok plasebo: dua anak
mengalami ruam keseluruhan dan satu anak menderita otitis media
Gambar 3: Proporsi kumulatif dari anak-anak yang terlapor sudah sembuh
saat minggu pertama terapi, berdasarkan catatan harian orang tua
Data merupakan laporan analisis dengan-tujuan-terapi dan anak-anak yang gagal
follow up dimasukan dalam penyebut saat kalkulasi prosentase. Anak-anak yang
sembuh secara klinis setelah 7 hari telah disensor dari penelitian. Dengan ekslusi
anak-anak yang gagal follow up, tingkat kesembuhan kumulatif pada hari ke-7
adalah 86% pada kelompok kloramfenikol dan 83% pada kelompok plasebo. Hari
0= hari penerimaan (direkrut).

Pembahasan

Kami telah menunjukkan bahwa gejala menghilang tanpa antibiotik pada sebagian
besar anak dengan infeksi konjungtivitis akut. Pada analis dengan-tujuan-terapi,
kami mencatat sedikit perbaikan resolusi gejala pada hari ke-7 di kelompok yang
mendapatkan kloramfenikol. Perbaikan ini selanjutnya berkurang jika anak-anak
yang hilang saat follow-up diekslusi. Kami tidak memiliki alasan untuk percaya
bahwa anak-anak yang diekslusi ini akan bersikap berbeda terhadap mereka yang
menyelesaikan percobaan. Sekitar setengah hari diperoleh pada waktunya terjadi
resolusi antara anak-anak yang diobati dengan antibiotik dan yang diberi plasebo,
namun pencapaian ini harus dipertimbangkan terhadap biaya perawatan pribadi
dan kesehatan dari suatu kondisi yang membaik tanpa perawatan. Hasil
mikrobiologi kami memastikan bahwa kloramfenikol mengurangi jumlah bakteri
patogen di mata, namun eradikasi tidak penting untuk penyembuhan klinis.
Follow-up selama 6 minggu setelah diagnosis menunjukkan bahwa komplikasi
dan kekambuhan jarang terjadi, meskipun tanpa pengobatan.

Kualitas percobaan secara keseluruhan bersifat baik. Metode


randomisasinya kuat, dan masking dipertahankan. Angka dropout rendah–hampir
95% anak di-follow-up selama 6 minggu setelah perekrutan. Audit rujukan
menunjukkan bahwa sepertiga dari semua anak yang pergi pada dokter keluarga
dengan konjungtivitis akut selama masa perekrutan dirujuk ke percobaan.
Proporsi ini dapat diterima untuk percobaan kelainan akut pada unit pelayanan
primer yang tidak melakukan rekrutmen di luar jam kerja. Namun, walaupun
individu yang tidak ditugaskan secara acak serupa dengan mereka yang ada dalam
percobaan, kami tidak dapat mengekslusi total bias seleksi: dokter keluarga dapat
merekrut pasien dengan gejala yang kurang parah ke percobaan, percaya bahwa
mereka yang memiliki gejala lebih parah memerlukan antibiotik; dan pasien yang
yang pergi berobat di luar jam kerja dapat memiliki gejala yang lebih parah dan
memiliki flora konjungtiva patogen yang lebih melimpah.

Kualitas mikrobiologis penelitian ini juga membandingkan dengan baik


dengan penelitian sebelumnya. Dengan menggunakan kombinasi kultur dan PCR,
kita dapat mengidentifikasi penyebab mikrobiologis pada 80% anak-anak.
Tingginya hasil patogen menunjukkan bahwa pelatihan dalam teknik pengambilan
sampel berhasil dan dokter layanan primer baik dalam mengidentifikasi
konjungtivitis infektif akut dan membedakan penyakit ini dengan penyebab mata
merah lainnya. Kami mencatat jumlah koloni yang lebih rendah untuk M
catarrhalis daripada H influenza dan S pneumoniae, namun ekslusi M catarrhalis
sebagai patogen dalam analisis kami tidak memberikan perbedaan yang
substansial pada hasil.

Oxfordshire memiliki struktur kelas sosial yang lebih tidak kekurangan


daripada beberapa bagian lain di Inggris, namun kelas sosial lebih cenderung
mempengaruhi penularan daripada penyebab penyakit mikrobiologis. Kami tidak
memiliki alasan untuk meyakini bahwa anak-anak yang termasuk dalam
percobaan merupakan atipikal dalam satu dan lain hal. Dengan demikian, hasil
kami mungkin dapat digeneralisasikan pada sebagian besar kondisi layanan
primer di negara maju.

Argumen ekonomi kesehatan terhadap resep antibiotik untuk


konjungtivitis akut sangat penting. Biaya konsultasi 1 juta pada konsultasi dokter
umum dan resep antibiotik setiap tahunnya cukup besar. Namun, kekhawatiran
orang tua dan kebijakan eksklusi pada banyak sekolah dan tempat perawatan
untuk anak-anak dengan konjungtivitis dapat membuat implementasi perubahan
dalam kebijakan resep menjadi sulit. Program pendidikan dan perubahan
kebijakan sekolah untuk merefleksikan nasihat badan kesehatan masyarakat
nasional mungkin diperlukan sebelum dokter keluarga secara realistis dapat
mencapai pengurangan peresepan antibiotik. Desain penelitian kami tidak dapat
menilai efek non-resep pada kecepatan transmisi. Konjungtivitis infektif akut
dianggap berpotensi menular, terutama pada anak-anak di bawah 5 tahun.
Terlepas dari hasil kami, pengobatan antibiotik mungkin masih mengurangi
jumlah absolut, dan oleh karenanya juga penularan patogen, dan penelitian lebih
lanjut mungkin diperlukan jika antibiotik tidak lagi diresepkan untuk gangguan
ini.

Kami mencatat tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa penyelidikan


mikrobiologi, misalnya pengujian di dekat pasien, untuk membedakan virus dari
penyebab bakteri dengan segera, akan sangat membantu. Manfaat kecil
pengobatan yang kita lihat muncul bahkan pada anak-anak dengan infeksi bakteri
yang telah terbukti. Eradikasi bakteri tidaklah penting–penyembuhan klinis
dilaporkan oleh orang tua meskipun bakteri masih dapat dipulihkan pada hari ke
7. Tingkat kambuhan setelah pengobatan antibiotik dihentikan adalah rendah dan
tidak bergantung dengan kelompok randomisasi. Kami tidak mengidentifikasi
anak-anak dengan infeksi C trachomatis dalam kohort kami; tingkat infeksi yang
substansial dengan C trachomatis mungkin menjadi alasan untuk mendapatkan
rekomendasi pengobatan antibiotik di negara-negara yang kurang berkembang
secara ekonomi.

Kami memilih untuk menilai efektivitas kloramfenikol karena obat ini


merupakan antibiotik topikal yang paling umum digunakan untuk konjungtivitis
di Inggris, di mana resistensi antibiotik terhadap kloramfenikol jarang terjadi–
tidak ada isolat resisten yang terdeteksi dalam penelitian ini. Tidak ada bukti yang
menunjukkan bahwa antibiotik lain akan lebih efektif. Antibiotik lain yang biasa
digunakan di Inggris adalah asam fusidat, dan kebanyakan percobaan yang
membandingkan senyawa ini dengan kloramfenikol tidak menunjukkan perbedaan
dalam efektivitas.18 Percobaan kami tidak dapat mengeksklusi kemungkinan
pelumas yang mempercepat resolusi gejala. Karena itu, orang tua harus didorong
untuk membersihkan mata anak mereka jika antibiotik tidak diresepkan.

Kami menyimpulkan bahwa hasil penelitian kami menunjukkan anak yang


sehat dengan konjungtivitis akut tidak memerlukan antibiotik okular pada
kunjungan pertama pada layanan primer. Orang tua harus didorong untuk
merawat anak mereka sendiri tanpa konsultasi medis, kecuali jika anak mereka
mengalami perkembangan gejala yang tidak biasa atau gejalanya bertahan lebih
dari seminggu.
Kontributor

Semua penulis berpartisipasi dalam konsepsi dan penyusunan penelitian dan


mengomentari rancangan makalah. P W Rose, sebagai penyidik utama,
bertanggung jawab untuk mengawasi percobaan, analisis statistik, dan penulisan
laporan harian dari hari ke hari, A Harnden bertindak sebagai penyidik utama
selama P W Rose sedang cuti sabat selama 6 bulan, A B Brueggemann
bertanggung jawab untuk analisis laboratorium sampel dan A B Brueggemann dan
D Crook memberikan dukungan pada semua aspek mikrobiologi dari percobaan,
R Perera bertanggung jawab untuk pembersihan data dan analisis statistik.

Pernyataan konflik kepentingan


Kami menyatakan tidak ada konflik kepentingan.

Ucapan Terima Kasih


Dana penelitian ini berasal dari Medial Research Council sebagai bagian dari
program infeksi pada anak di layanan primer (G0000340). Kami berterima kasih
kepada para perawat yang terlibat pada penelitian ini: Susan Bates, Sarah Bryson,
Sarah Burton, Susan Elsom, Fiona Goddard, Geraldine Jewell, Helen Lambourne,
Diane McLeod, Angela Roome, Susan Rous, Judy White, and Wendy Willmore;
David Griffiths untuk bantuan di laboratorium; Susan Smith untuk bantuan
administrasi; semua dokter dan perawat di jaringan bedah OXCIS untuk merekrut
anak-anak untuk mengikuti penelitian ini; dan para anak dan orang tua yang sudah
berpartisipasi.

Referensi:
1. Dart JK. Eye disease at a community health centre. BMJ 1986; 293: 1477–
80.
2. McDonnell PJ. How do general practitioners manage eye disease in the
community? Br J Ophthalmol 1988; 72: 733–36.
3. McCormick M, Fleming D, Charlton J. Morbidity statistics from general
practice: fourth national survey 1991–1992. London: HMSO, 1995.
4. Everitt H, Little P. How do GPs diagnose and manage acute infective
conjunctivitis? A GP survey. Fam Pract 2002; 19: 658–60.
5. Department of Health. Prescription cost analysis: England. London:
Department of Health, 2004.
http://www.doh.gov.uk/PublicationAndStatistics (accessed June 15, 2005).
6. Del Mar CB, Glasziou PP, Spinks AB. Antibiotics for sore throat.
Cochrane Database Syst Rev 2004; 2: CD000023.
7. Glasziou PP, Del Mar CB, Sanders SL, Hayem M. Antibiotics for acute
otitis media in children. Cochrane Database Syst Rev 2004; 1: CD000219.
www.thelancet.com Vol 366 July 2, 2005 43
8. Sheikh A, Hurwitz B, Cave J. Antibiotics for acute bacterial conjunctivitis.
Cochrane Database Syst Rev 1999; 4: CD001936.
9. Kettenmeyer A, Jauch A. A double-blind double-dummy multicenter
equivalence study comparing topical lomefloxacin 0·3% twice daily with
norfloxacin 0·3% four times daily in the treatment of acute bacterial
conjunctivitis. J Clin Res 1998; 1: 75–86.
10. Montero J, Casado A, Perea E, et al. A double-blind double-dummy
comparison of topical lomefloxacin 0·3% twice daily with topical
gentamicin 0·3% four times daily in the treatment of acute bacterial
conjunctivitis. J Clin Res 1998; 1: 29–39.
11. Doona M, Walsh JB. Use of chloramphenicol as topical eye medication:
time to cry halt? BMJ 1995; 310: 1217–18.
12. Lancaster T, Swart AM, Jick H. Risk of serious haematological toxicity
with use of chloramphenicol eye drops in a British general practice
database. BMJ 1998; 316: 667.
13. Papas EB. Key factors in the subjective and objective assessment of
conjunctival erythema. Invest Ophthalmol Vis Sci 2000; 41: 687–91.
14. Gigliotti F, Williams WT, Hayden FG, et al. Etiology of acute
conjunctivitis in children. J Pediatr 1981; 98: 531–36.
15. Weiss A, Brinser JH, Nazar-Stewart V. Acute conjunctivitis in childhood.
J Pediatr 1993; 122: 10–14.
16. Higgins JPT, Thompson SG, Deeks JJ, Altman DG. Measuring
inconsistency in meta-analyses. BMJ 2003; 327: 557–60.
17. Gigliotti F, Hendley JO, Morgan J, Michaels R, Dickens M, Lohr J.
Efficacy of topical antibiotic therapy in acute conjunctivitis in children. J
Pediatr 1984; 104: 623–26.
18. Normann EK, Bakken O, Peltola J, et al. Treatment of acute neonatal
bacterial conjunctivitis: a comparison of fucidic acid to chloramphenicol
eye drops. Acta Ophthalmol Scand 2002; 80:183–87.
Critical Appraisal

Methodology Checklist 2: Controlled


SIGN Trials
Study identification (Include author, title, year of publication, journal title,
pages)

Guideline topic: Key Question No: Reviewer:

Before completing this checklist, consider:


1. Is the paper a randomised controlled trial or a controlled clinical
trial? If in doubt, check the study design algorithm available from
SIGN and make sure you have the correct checklist. If it is a
controlled clinical trial questions 1.2, 1.3, and 1.4 are not relevant,
and the study cannot be rated higher than 1+
2. Is the paper relevant to key question? Analyse using PICO (Patient or
Population Intervention Comparison Outcome). IF NO REJECT (give
reason below). IF YES complete the checklist.

Reason for rejection: 1. Paper not relevant to key question  2. Other


reason  (please specify):

SECTION 1: INTERNAL VALIDITY

In a well conducted RCT study… Does this study do it?

1.1 The study addresses an Yes  No 


appropriate and clearly
Can’t say 
focused question.

1.2 The assignment of subjects to Yes  No 


treatment groups is
randomised. Can’t say 
1.3 An adequate concealment Yes  No 
method is used.
Can’t say 

1.4 The design keeps subjects Yes  No 


and investigators ‘blind’ about
Can’t say 
treatment allocation.
1.5 The treatment and control Yes  No 
groups are similar at the start
Can’t say □
of the trial.

1.6 The only difference between Yes  No 


groups is the treatment under
Can’t say 
investigation.

1.7 All relevant outcomes are Yes  No 


measured in a standard, valid
Can’t say 
and reliable way.

1.8 What percentage of the 0,6% dropped out in trial group and
individuals or clusters recruited 4,9% dropped out in placebo group
into each treatment arm of the
study dropped out before the
study was completed?
1.9 All the subjects are analysed in Yes  No 
the groups to which they were
Can’t say  Does not apply
randomly allocated (often

referred to as intention to treat
analysis).
1.10 Where the study is carried out Yes  No 
at more than one site, results Can’t say  Does not apply
are comparable for all sites. 

SECTION 2: OVERALL ASSESSMENT OF THE STUDY

2.1 How well was the study done High quality (++)
to minimise bias?
Code as follows: Acceptable (+)
Low quality (-)
Unacceptable – reject 0 
2.2 Taking into account clinical Ya, karena peneliti telah melakukan
considerations, your evaluation randomisasi dan sistem blind setelah
of the methodology used, and pasien memenuhi kriteria inklusi dan
the statistical power of the tidak termasuk ke dalam kriteria
study, are you certain that the eksklusi. Pasien juga diberikan
overall effect is due to the instruksi pemakaian obat yang sama
study intervention? pada kedua group.
Pada hari ketujuh, 86% anak
sembuh secara klinis dengan
kelompok antibiotik dibandingkan
dengan 79% pada kelompok
plasebo. Jika anak-anak yang gagal
follow up diekslusikan, 86% anak
sembuh secara klinis pada kelompok
antibiotik dibadingkan dengan 83%
dari anak-anak di kelompok plasebo.
Tidak ada perbedaan signifikan yang
tampak pada tingkat kesembuhan
klinis, perbaikan mikrobiologis atau
kesembuhan, atau waktu median
kesembuhan pada hari ke-7. Tingkat
kesembuhan klinis tidak berbeda
secara signifikan antara kelompok
antibiotik (85%) dan plasebo (80%)
meskipun eradikasi bakteri (40%)
berbeda seccara signifikan
dibandingkan anak-anak yang
diterapi dengan plasebo (23%).
Konjungtivitis kambuhan atau
episode baru terjadi jarang (<5%)
dalam 5 minggu setelah uji coba dan
terdistribusi secara merata di antara
masing-masing kelompok (tabel 3).
Sebagai tambahan terdapat
konsultasi untuk konjungtivitis, 19
(6%) anak di kelompok antibiotik dan
19 (6%) di kelompok plasebo
konsultasi ke dokter keluarga untuk
masalah-masalah minor lainnya di
antara hari ke-8 dan 6 minggu
setelah uji coba.
2.3 Are the results of this study Ya
directly applicable to the
patient group targeted by this
guideline?

2.4 Notes. Peneliti telah menunjukkan bahwa gejala dapat sembuh tanpa
antibiotik pada kebanyakan anak dengan konjungtivitis infeksi akut.
Dapat disimpulkan bahwa hasil penelitian menunjukkan anak yang
sehat dengan konjungtivitis akut tidak memerlukan antibiotik okular
pada kunjungan pertama pada layanan primer. Orang tua harus
didorong untuk merawat anak mereka sendiri tanpa konsultasi medis,
kecuali jika anak mereka mengalami perkembangan gejala yang tidak
biasa atau gejalanya bertahan lebih dari seminggu.
Population:

Studi ini melibatkan 326 anak usia 6 bulan sampai 12 tahun dengan diagnosa
klinis konjungtivitis yang kami ambil dari 12 klinik praktek umum di Inggris.
Sembilan anak hilang dari follow-up (satu dari kelompok kloramfenikol; delapan
dari kelompok placebo), jadi tersisa 162 anak kelompok kloramfenikol dan 155
anak kelompok placebo.

Intervention:

Studi ini menetapkan sebanyak 163 anak mendapatkan tetes mata


kloramfenikol dan 163 anak mendapat tets mata placebo. Outcome primer adalah
penyembuhan klinis pada hari ke 7, yang didata dari catatan orang tua. Semua
anak di follow-up selama 6 minggu untuk mengidentifikasi kekambuhan. Survival
statistics digunakan untuk perbanding, dan analisis digunakan dengan tujuan
untuk terapi.

Untuk penilaian awal, perawat penelitian menilai derajat keparahan klinis,


termasuk tingkat kemerahan mata, dibandingkan dengan foto yang divalidasi. Dua
swab konjungtiva diambil dari mata yang terkena dampak paling parah dengan
menggunakan kapas untuk kultur bakteri dan Dacron swab untuk tes PCR virus.

Orangtua diberi sebotol obat tetes mata oleh perawat dengan instruksi
untuk memasukkan satu tetes obat pada masing-masing mata yang sakit setiap 2
jam untuk 24 jam pertama saat anak mereka tidak tidur dan kemudian empat kali
setiap hari sampai 48 jam setelah infeksi teratasi. Orangtua diminta untuk mengisi
lembar gejala tentang kondisi anak mereka, setelah setiap tetes diberikan dan juga
mencatat saat mereka menganggap penyakit anaknya sembuh.

Pada follow up 7 hari, anak tersebut akan dikunjungi lagi oleh perawat
penelitian setelah rekrutmen ketika penilaian klinis sudah dilakukan dan dua swab
telah diambil dari mata yang sama seperti swab pertama. Orangtua akan ditelepon
selama 6 minggu setelah selesai mengikuti penelitian untuk mengidentifikasi
masalah mata lebih lanjut.
Ukuran sampel yang direncanakan (n=500) dikutip dalam protocol asli cukup
untuk mendeteksi perbedaan ini dengan nilai 80%,  = 0.05 menggunakan uji
two-tailed berdasarkan tingkat kesembuhan placebo sebesar 72%, dan prevalensi
dari kejadian bakteri sebesar 60% (dengan asumsi kejadian virus tidak
terpengaruh oleh antibiotik). Namun, ukuran sampel dihitung ulang (tanpa
merusak kode randomisasi) bila asumsi selanjutnya ini jelas tidak berlaku—
hampir 80% dari kejadian bakteri dan tingkat kesembuhan dalam tujuh hari lebih
dari 80%. Setelah rekruitmen yang ketiga kalinya, kami memperkirakan ulang
bahwa kami mencapai 80% untuk mendeteksi 12-14% perbedaan dan jika kami
melanjutkan memulihkan sampel aslinya, pencapaian tidak akan meningkat secara
substansial: karena itu percobaan berhenti.

Comparison :

Dalam penelitian ini menampilkan perbandingan antara kelompok kloramfenikol


dan kelompok placebo. Sebanyak 163 anak mendapatkan tetes mata
kloramfenikol dan 163 anak mendapat tetes mata placebo. Swab mata diambil
untuk analisis bakteri dan virus.

Outcome :

Dari 326 responden, tidak ada perbedaan yang berarti antara kelompok
klorampenikol dan kelompok placebo dan angka kejadian bakteri dan virus yang
terdeteksi. Bakteri pathogen dikultur dari sekitar 250 anak-anak: 60% H.
influenza, 20% S pnemoniae, dan 10% M catarrhalis. Adenovirus atau picorna
virus (atau keduanya) terdeteksi dari lebih dari 10% anak-anak.

Penyembuhan klinis pada hari ke 7 terjadi pada 128 dari 155 anak (83%)
kelompok placebo, dibanding 140 dari 162 anak (86%) kelompok kloramfenikol.
Tujuh anak (4%) pada kelompok kloramfenikol dan lima anak (3%) pada
kelompok placebo mengalami episode konjungtivitis yang lebih lama selama 6
minggu (1.2% -2.9% sampai 5.3%). Kejadian yang merugikan jarang terjadi dan
merata pada kedua kelompok.
Secara keseluruhan, patogen diidentifikasi pada 261 (80%) anak, dimana pada 217
(67%) tumbuh satu atau lebih bakteri patogen, sembilan (3%) menujukkan hanya
virus saja, dan 34 (10%) positif untuk kedua virus dan bakteri. C trachomatis dan
virus herpes simpleks tidak terdeteksi pada semua anak.

Pada hari ketujuh, 86% anak sembuh secara klinis dengan kelompok antibiotik
dibandingkan dengan 79% pada kelompok placebo. Jika anak-anak yang gagal
follow up diekslusikan, 86% anak sembuh secara klinis pada kelompok antibiotik
dibadingkan dengan 83% dari anak-anak di kelompok placebo.

Tidak ada perbedaan signifikan yang tampak pada tingkat kesembuhan klinis,
perbaikan mikrobiologis atau kesembuhan, atau waktu median kesembuhan pada
hari ke-7. Bahkan pada subkelompok yang hanya tumbuh bakteri patogen, tingkat
kesembuhan klinis tidak berbeda secara signifikan antara kelompok antibiotik
(85%) dan plasebo (80%).

Pada hasil penelitian menunjukkan proporsi anak-anak yang dilaporkan sembuh


setiap harinya. Kurva menyimpang pada hari 2 (26% sembuh pada kelompok
kloramfenikol dan 16% pada kelompok plasebo) dan tetap dipisahkan sampai hari
ke-7. Perbedaan rata-rata waktu penyembuhan adalah 0,3 hari, dimana tidak ada
perubahan besar dari hari ke-2 sampai ke-7.

Anda mungkin juga menyukai