Anda di halaman 1dari 35

ANALISIS KONDISI STRUKTUR GEOLOGI PADA DAERAH

KABUPATEN BANYUWANGI

MAKALAH

diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Geologi Teknik oleh
Muhammad Riza.,S.T,.M.T.

disusun oleh:
DAFA RAMADHAN TRIS PRATAMA PUTRA (1900554)

PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL


DEPARTEMEN PENDIDIKAN TEKNIK SIPIL
FAKULTAS PENDIDIKAN TEKNOLOGI DAN KEJURUAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2019
KATA PENGANTAR

Puji serta syukur kami panjatkan pada Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta
hidayah-Nya. Tidak lupa shalawat serta salam kami curhahkan pada nabi Muhammad SAW
pada keluarganya, sahabatnya hingga umatnya sampai akhir zaman. Berkat limpahan serta
rahmat-Nya kami mampu menyelesaikan tugas makalah ini, untuk memenuhi tugas mata kuliah
Kajian Teknologi dan Vokasi.

Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah membantu kami,
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.

1. Yth. Bapak Muhammad Riza,.ST,.MT., selaku dosen Geologi Teknik


2. Yth.Bapak Cepi, selaku asisten dosen, dan
3. Rekan-rekan kelas Teknik Sipil A

Kami menyadari dalam penyusunan makalah ini masih terdapat kekurangan. Maka dari itu
kami mengharapkan kritik serta saran guna membangun dalam penyusunan makalah berikutnya
dapat lebih baik lagi.

Bandung, November 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………………….i
DAFTAR ISI…………………………………………………………………...ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang………………………………………………………………1
1.2 Pembatasan Masalah………………………………………………………...1
1.3 Rumusan Masalah…………………………………………………………...1
1.4 Tujuan……………………………………………………………………….2
1.5 Sistematika…………………………………………………………………..2
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Geologi Regional Cekungan Jawa Timur…………………………………..3
2.2 Geologi Regional Cekungan Jawa Timur Utara……………………………4
2.3 Kerangka Tektonik Cekungan Jawa Timur………………………………...7
2.4 Kerangka Tektonik Cekungan Jawa Timur Utara………………………….9
2.5 Sratigafi Regional………………………………………………………….11
2.6 Sistem Minyak Bumi Cekungan Jawa Timur Utara……………………….18
2.7 Batuan Karbonat……………………………………………………………19
BAB III
3.1 Keadaan Geologi…………………………………………………………..27
3.2 Keadaan Jenis Tanah di Kabupaten Banyuwangi…………………………27
3.3 Keadaan Topografi………………………………………………………..27
3.4 Keadaan Hidrologi………………………………………………………..28
3.5 Keadaan Krimatologi……………………………………………………..29
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan……………………………………………………………….31
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Struktur Geologi Jawa Timur di dominasi oleh Alluvium dan bentukan hasil gunung api kwarter
muda, keduanya meliputi 44,5 % dari luas wilayah darat, sedangkan bantuan yang relatif juga
agak luas persebarannya adalah miosen sekitar 12,33 % dan hasil gunung api kwarter tua sekitar
9,78 % dari luas total wilayah daratan. Sementara itu batuan lain hanya mempunyai proporsi
antara 0 - 7% saja.

Batuan sedimen Alluvium tersebar disepanjang sungai Brantas dan Bengawan Solo yang
merupakan daerah subur. Batuan hasil gunung api kwater muda tersebar dibagian tengah wilayah
Jawa Timur membujur kearah timur yang merupakan daerah relatif subur. Batuan Miosen
tersebar disebelah selatan dan utara Jawa Timur membujur kearah Timur yang merupakan daerah
kurang subur Bagi kepulauan Madura batuan ini sangat dominan dan utamanya merupakan
batuan gamping.

Dari beragamnya jenis batuan yang ada, memberikan banyak kemungkinan mengenai
ketersediaan bahan tambang di Jawa Timur. Atas dasar struktur, sifat dan persebaran jenis tanah
diidentifikasi karakteristik wilayah Jawa Timur menurut kesuburan tanah :

1. Jawa Timur bagian Tengah, Merupakan daerah subur, mulai dari daerah kabupaten
Banyuwangi. Wilayah ini dilalui sungai - sungai Madiun, Brantas, Konto, Sampean.
2. Jawa Timur bagian Utara, Merupakan daerah Relatif tandus dan merupakan daerah yang
persebarannya mengikuti alur pegunungan kapur utara mulai dari daerah Bojonegoro ,
Tuban kearah Timur sampai dengan pulau Madura.

1.2 Pembatasan Masalah


Karena bahasan ini terlalu luas, maka penulis membatasi makalah ini hanya mencakup
kondisi geologi wilayah Jawa Timur yaitu Banyuwangi

1.3 Rumusan Masalah


Bagaimana kondisi geologis Kawasan Jawa Timur khususnya Banyuwangi?
Bagaimana kondisi topografi Kawasan Jawa Timur khususnya Banyuwangi?
Bagiaman kondisi tanah Kawasan Jawa Timur khususnya Banyuwangi?

1
1.4 Tujuan 4
Mengetahui kondisi geologis Kawasan Jawa Timur khususnya Banyuwangi
Mengetahui kondisi topografi Kawasan Jawa Timur khusunya Banyuwangi
Mengetahui kondisi tanah Kawasan Jawa Timur khususnya Banyuwangi

1.5 Sistematika
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Pembatasan Masalah
1.3 Rumusan Masalah
1.4 Tujuan
1.5 Sistematika
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Geologi Regional Cekungan Jawa Timur
2.2 Geologi Regional Cekungan Jawa Timur Utara
2.3 Kerangka Tektonik Cekungan Jawa Timur
2.4 Kerangka Tektonik Cekungan Jawa Timur Utara
2.5 Stratigafi Regional
BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Keadaan Geologi
3.2 Keadaan jenis Tanah di Kabupaten
3.3 Keadaan Topografi
3.4 Keadaan Hidrologi
3.5 Keadaan Krimatologi

2
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Geologi Regional Cekungan Jawa Timur

Secara geologi Cekungan Jawa Timur terbentuk karena proses pengangkatan dan

ketidakselarasan serta proses-proses lain, seperti penurunan muka air laut dan

pergerakan lempeng tektonik. Tahap awal pembentukan cekungan tersebut ditandai

dengan adanya half graben yang dipengaruhi oleh struktur yang terbentuk

sebelumnya. Tatanan tektonik yang paling muda dipengaruhi oleh pergerakan

Lempeng Australia dan Sunda. Secara regional perbedaan bentuk struktural sejalan

dengan perubahan waktu (PHE WMO, 2009).

Daerah
Penelitian

Gambar 1. Peta daerah Cekungan Jawa Timur (ESDM op.cit, Sirait 2007)

3
5

Aktifitas tektonik utama yang berlangsung pada umur Plio Pleistosen,

menyebabkan terjadinya pengangkatan daerah regional Cekungan Jawa Timur dan

menghasilkan bentuk morfologi seperti sekarang ini. Struktur geologi daerah

Cekungan Jawa Timur umumnya berupa sesar naik, sesar turun, sesar geser, dan

pelipatan yang mengarah Barat - Timur akibat pengaruh gaya kompresi dari arah

Utara – Selatan (Satyana, 2005).

Tatanan geologi Pulau Jawa secara umum dibagi berdasarkan posisi tektoniknya.

Secara struktural Blok Tuban dikontrol oleh half graben yang berumur Pre– Tersier.

Secara geologi Pulau Jawa merupakan suatu komplek sejarah penurunan cekungan,

pensesaran, perlipatan dan vulkanisme di bawah pengaruh stress regime yang

berbeda-beda dari waktu ke waktu. Secara umum, ada tiga arah pola umum struktur

yaitu arah Timur Laut – Barat Daya (NE-SW) yang disebut pola Meratus, arah

Utara – Selatan (N-S) atau pola Sunda dan arah Timur – Barat (E- W). Perubahan

jalur penunjaman berumur kapur yang berarah Timur Laut - Barat Daya (NE-SW)

menjadi relatif Timur - Barat (E-W) sejak Oligosen sampai sekarang telah

menghasilkan tatanan geologi Tersier di Pulau Jawa, (Sribudiyani, dkk., 2003).

2.2 Geologi Regional Cekungan Jawa Timur Utara

Cekungan Jawa Timur Utara sebelah barat dibatasi oleh Busur Karimunjawa

dimana memisahkannya dengan Cekungan Jawa Barat Utara, di sebelah selatan

dibatasi oleh busur vulkanik, sebelah timur dibatasi oleh Cekungan Lombok dan

sebelah utara dibatasi oleh Tinggian Paternoster, dimana memisahkannya dengan

Selat Makasar. Berdasarkan posisinya, Cekungan Jawa Timur Utara dapat

4
6

dikelompokkan sebagai cekungan belakang busur dan berada pada batas tenggara

dari Lempeng Eurasia (Mudjiono dan Pireno, 2002).

Tren struktur dan sejarah pengendapan dari sedimentasi Tersier di Blok West

Madura Offshore sebagian besar dikendalikan oleh konfigurasi batuan dasar yang

dibentuk oleh peristiwa tektonik pada masa Kapur Akhir sampai dengan Tersier

Awal. Fitur utama pada batuan dasar adalah hinge lines pada kedua sisi dari

cekungan. Bagian tepi cekungan terkesan kasar yang mungkin dihasilkan oleh gaya

tensional akibat wrench fault dan atau sebagai akibat dari mekanisme patahan

jaman Pra-Tersier yang berarah berbeda dari struktur utama yang ada sekarang.

Akibatnya, tensional dan wrench faulting mengakibatkan terjadinya pembentukan

blok graben dan horst yang mulai membentuk konfigurasi cekungan pada waktu

Kapur Akhir dan Tersier Awal.

Tektonik pada jaman Kapur Akhir sampai Tersier Awal mengakibatkan adanya

kombinasi dari tensional dan wrech faulting yang menghasilkan seri fitur horst dan

graben berarah Timur Laut - Barat Daya yang mengontrol konfigurasi awal

pembentukan cekungan. Patahan-patahan awal yang kemudian teraktifkan kembali

beberapa kali selama masa Tersier dan sesar normal yang tumbuh, yang merupakan

fitur yang menonjol pada bagian utara blok, juga berpengaruh kuat terhadap pola

sedimentasi. Bagaimanapun juga, pada bagian selatan dari blok West Madura

Offshore, sesar normal yang tumbuh berakhir pada saat Formasi "OK" diendapkan.

Pada Formasi “GL-MT” yang lebih muda, sesar anjakan lebih mendominasi, yang

mengakibatkan terjadinya proses diapir serpih dan struktur yang berhubungan yang

terbentuk selama Pliosen Akhir. Struktur yang jelas dan

5
7

berarah Timur Laut - Barat Daya yang terdapat banyak pada bagian utara blok West

Madura Offshore berakhir secara tiba-tiba, berdekatan dengan garis pantai utara

Pulau Madura. Pada Bagian selatan dari daerah ini, di Cekungan Jawa Timur,

bagian-bagian struktural relatif berarah Timur - Barat sejalan dengan respon untuk

untuk mengakhiri pengaruh dominan zona subduksi Banda-Jawa.

Blok West Madura Offshore dikontrol oleh dua buah sesar rift margin besar berarah

Timur Laut- Barat Laut dengan penimpaan wrench faults sesudahnya. Kehadiran

batuan induk yang menghasilkan hidrokarbon dan daerah dapur hidrokarbon yang

terletak pada cekungan yang berdekatan pada bagian timur, barat dan selatan dari

blok memberikan jarak yang relatif pendek untuk jalur migrasi hidrokarbon ke arah

up-dip melalui ketidakselarasan batuan dasar yang terangkat miring dan melalui

berbagai sesar dan kekar yang ada.

Gambar 2. Sesar yang terjadi di Lapangan “RUSMALA” (PHE WMO, 2009)

6
8

2.3 Kerangka Tektonik Cekungan Jawa Timur

Cekungan Jawa Timur dipisahkan menjadi tiga mandala struktur (structural

provinces) (Satyana, 2005) dari Utara ke Selatan, yaitu :

1. Paparan Utara yang terdiri dari Busur Bawean, Paparan Madura Utara dan

Paparan Kangean Utara.

2. Bagian tengah yaitu Tinggian Sentral yang terdiri dari Jawa Utara Laut

(Kujung) – Madura – Kangean – Tinggian Lombok.

3. Bagian Selatan dikenal sebagai Cekungan Selatan yang terdiri dari Zona

Rembang – Selat Madura – Sub-Cekungan Lombok.

Konfigurasi basement Cekungan Jawa Timur dikontrol oleh dua trend struktur

utama, yaitu trend NE – SW yang umumnya hanya dijumpai di Mandala Paparan

Utara dan trend W – E yang terdapat di Mandala Tinggian Sentral dan Cekungan

Selatan. Akibat tumbukan lempeng selama Tersier Awal, Cekungan Jawa Timur

terangkat dan mengalami erosi. Deretan perbukitan berarah NE – SW terbentuk di

sepanjang tepi Tenggara Paparan Sunda akibat pemekaran busur belakang. Dari

Utara ke Timur, kenampakan struktur utama dalam wilayah tarikan ini adalah Busur

Karimunjawa, Palung Muria, Busur Bawean, dan Tinggian Tuban - Madura Utara.

Pengangkatan pada waktu Oligosen Awal menghentikan proses - proses

pengendapan dan menyebabkan erosi yang luas. Periode selanjutnya adalah periode

tektonik tenang dan akumulasi endapan karbonat hingga Miosen Awal. Periode

terakhir adalah periode tektonik kompresi mulai dari Miosen Akhir hingga

sekarang. Sesar-sesar normal yang membentuk horst dan graben

7
9

teraktifkan kembali, sehingga menghasilkan struktur-struktur terbalik (inverted

relief) (Hamilton, 1979).

Gambar 3. Tiga struktur utama Cekungan Jawa Timur (Satyana dan


Purwaningsih, 2003).

Bagian Utara Cekungan Jawa Timur terdiri dari struktur tinggian dan rendahan

dengan trend NE – SW, terlihat pada konfigurasi alasnya seperti Busur

Karimunjawa, Palung Muria, Busur Bawean, Palung Tuban - Camar, Bukit JS-1,

Depresi Masalembo - Doang, dan Paparan Madura Utara. Ke arah Selatan, Paparan

Jawa NE, Zona Rembang Madura Kendeng, Zona Madura Selatan, dan Zona

Depresi Solo.

Bagian tengah Cekungan Jawa Timur didominasi oleh pola struktur berarah Utara

- Timur seperti yang berkembang di Paparan Madura Utara, Tinggian Madura, dan

Sub Cekungan Selat Madura. Ke Timur, pola Utara – Timur lebih berkembang,

diperlihatkan oleh Sub-Cekungan Sakala, Kangean, Sub-Cekungan Lombok.

Umumnya, mandala Paparan Utara, merupakan sisa struktur yang

8
10

berkembang pada zaman Kapur (sutura Meratus). Selama Eosen hingga Miosen

daerah ini berubah menjadi tempat perkembangan terumbu. Pada zaman Tersier

Akhir daerah ini menjadi lingkungan yang baik bagi perkembangan fasies karbonat

paparan.

1. Mandala Tinggian Sentral, merupakan daerah terangkat hasil penyesaran

ekstensional Eosen – Oligosen Akhir dan pembalikan struktur Miosen -Resen.

Tinggian Sentral berbentuk kemenerusan Tinggian Kujung dan Tinggian

Madura - Kangean ke arah Timur. Di Utara, Tinggian Sentral dibatasi oleh sesar-

sesar Sepanjang dan Sakala, dan di Selatan oleh Tinggian Madura – Kangean -

Sepanjang. Mandala, tegasan tensional Eosen Akhir menyebabkan penurunan

regional di daerah ini. Bagian tingginya menjadi tempat perkembangan fasies

reefal.

2. Mandala Cekungan Selatan, terbentuk oleh sesar ekstensional Eosen – Oligosen

Akhir yang dilanjutkan oleh periode struktur terbalik produk kompresi Miosen

Awal – Resen. Zona Rembang yang menerus sampai lepas pantai sebagai sesar

mendatar (wrench fault) berasosiasi dengan pengangkatan Kujung, Madura,

Kangean, dan Sepanjang ke arah Utara. Pembalikan struktur mengangkat bagian

Utara, sedangkan bagian Selatan tetap pada lingkungan batial dalam.

2.4 Kerangka Tektonik Cekungan Jawa Timur Utara

Graben, half-graben, dan sesar-sesar hasil dari proses rifting telah dihasilkan pada

periode ekstensional, yaitu pada Paleogen. Selanjutnya periode kompresi dimulai

pada Miosen Awal yang mengakibatkan reaktivasi sesar-sesar yang telah

9
11

terbentuk sebelumnya pada periode ekstensional. Reaktivasi tersebut

mengakibatkan pengangkatan dari graben-graben yang sebelumnya terbentuk

menjadi tinggian yang sekarang disebut Central High (Ponto, et al., 1995).

Pada saat sekarang, Cekungan Jawa Timur Utara dikelompokkan ke dalam tiga

kelompok struktur utama dari arah utara ke selatan, yaitu North Platform, Central

High dan South Basin. Perubahan struktur juga terjadi pada konfigurasi basement

dari arah barat ke timur. Bagian barat pada Platform Utara dapat dikelompokkan

menjadi Muria Trough, Bawean Arc, JS-1 Ridge, Norhteast Java Platform, Central-

Masalembo Depression, North Madura Platform dan JS 19-1 Depression.

Sedangkan pada South Basin, dari barat ke timur dapat dikelompokkan menjadi

North East Java Madura Sub-Basin(Rembang-Madura Strait-Lombok Zone), South

Madura Shelf (kelanjutan dari Zona Kendeng) dan Solo Depression Zone. Pada

Central High tidak ada perubahan struktur yang berarti dari arah barat ke timur

(Ponto, et al., 1995). Penjelasan diatas dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Paleogene Geography of the East Java Basin (Satyana, 2005)

10
12

2.5 Stratigrafi Regional

Wilayah konsesi West Madura Offshore PSC terletak di Cekungan Jawa Timur

Utara yang didominasi oleh suksesi dari endapan sedimen berumur Tersier dan yang

lebih muda. Reservoar utama pada daerah ini ditemukan pada fasies reefal

carbonate buildup yang berkembang sepanjang highstands utama yang berasosiasi

dengan dua interval stratigrafi berumur Oligosen Awal (umur Strontium 31 - 34

Ma) dan Miosen Awal (umur Strontium 20 - 21.5 Ma), dimana semua

pertumbuhannya dihentikan oleh adanya sequence boundary yang dapat dikenali

dengan baik dan merepresentasikan suatu keadaan hiatus yang berasosiasi dengan

eksposisi karbonat dengan udara yang menyebabkan pembentukan porositas secara

signifikan. Sedikit sekali jumlah sumur yang menembus umur Pra-Tersier yang

sebagian besar terdiri dari batuan beku dan batuan metamorf. Secara umum

stratigrafi dapat disimpulkan sebagai berikut (Gambar 5) :

2.5.1 Batuan dasar secara ekonomi yang berumur Pra-Tersier

Batuan dasar terdiri dari berbagai macam intrusi dan ekstrusi dari batuan beku,

termasuk diantaranya gabro, basal andesitik, dan tufa metamorfik dan beberapa

sedimen Pra-Tersier yang belum termalihkan. Litologi dari batuan dasar

diperkirakan berumur Kapur dan telah dikonfirmasi dengan menggunakan

penanggalan usia dengan sampel basal yang menghasilkan usia 64.58 juta tahun

yang lalu.

2.5.2 Formasi Ngimbang

Formasi Ngimbang dapat dibagi menjadi 4 (empat) anggota (terurut dari tua ke

muda) sebagai berikut :

11
13

 Anggota Pra ”CD”

 Anggota ”CD”

 Anggota Ngimbang Clastic / NGC

 Anggota Ngimbang Limestone / Lower Limestone / LL-NG

2.5.2.1 Anggota Pra “CD”

Anggota Pra “CD” terdiri dari batugamping, serpih, batupasir, batulempung,

batulanau, dan konglomerat dengan sedikit lapisan tipis batubara. Ketebalan

anggota ini pada umumnya tipis dan menebal kearah daerah rendahan dan pada

umumnya menghilang pada daerah paleo-high. Umur dari sedimen Anggota Pra

“CD” sedimen diasumsikan berumur Ta-b (Eosen).

2.5.2.2 Anggota “CD”

Anggota "CD" sebagian besar terdiri dari batugamping dengan perselingan

serpih dan batupasir dan pada beberapa tempat dengan sedimen tufaan yang

teramati dengan baik. Pengendapan dari sedimen Anggota “CD” sebagian besar

dikontrol oleh konfigurasi dari topografi batuan dasar. Di bagian utara dari

Lapangan “RUSMALA”, Anggota “CD” tak ditemukan, sedangkan pada sumur

yang telah di bor, anggota ini umumnya terdiri dari sedimen konglomeratik

dengan sisipan batubara yang dinterpretasikan telah diendapkan di lingkungan

continental-paludal. Ketebalan dari Anggota “CD” bervariasi mulai dari 140

kaki hingga lebih dari 3000 kaki.

2.5.2.3 Anggota Ngimbang Clastic / NGC

Di beberapa tempat, anggota ini diendapkan secara tidak selaras diatas Anggota

“CD” dari Formasi Ngimbang atau diatas batuan dasar. Anggota Pre- Kujung

terdiri dari serpih, batugamping, batupasir dan batulempung. Serpih

12
14

biasanya terdapat pada bagian paleo-lows sedangkan pada bagian paleo-highs

menjadi tempat sedimentasi dari platform karbonat, termasuk di antaranya

beberapa tubuh patch reef. Secara umum, pengendapan terjadi selama fase

regresif. Ketebalan bervariasi dari 270 kaki sampai dengan 995 kaki dan pada

umumnya memperlihatkan tren menebal ke arah cekungan.

2.5.2.4 Anggota Ngimbang Limestone/Lower Limestone/LL-NG

Anggota Lower Limestone / LL terdiri dari batugamping dan perselingan dengan

batuserpih. Secara regional, anggota ini diendapkan sebagai bagian sekuen

pengisi cekungan awal transgresi-regresi yang berumur Oligosen Awal hingga

Oligosen Tengah (Tc-d).

2.5.3 Formasi Kujung

Formasi Kujung dapat dibagi menjadi dua unit (terurut dari tua ke muda) sebagai

berikut :

 Kujung II

 Kujung I

2.5.3.1 Kujung II

Kujung II secara selaras diendapkan diatas Formasi Ngimbang dan pada

umumnya dapat dibedakan dari unit yang lebih muda dan tua berdasarkan

fasiesnya yang didominasi oleh serpih. Litologi dan ketebalan dari unit ini

bervariasi dari satu tempat ke tempat lainnya, tergantung dari konfigurasi paleo-

basement. Batugamping dan batuserpih mendominasi unit ini dengan sedikit

kehadiran batupasir dan batulanau.

13
15

Patch reefs menjadi fitur yang umum terjadi pada waktu pengendapan Kujung

II dan disekitar paleo-highs diindikasikan dari kehadiran yang lebih besar atas

fragmen batugamping yang terdiri dari fragmen koral yang melimpah, alga, dan

sedimen longsoran dari bioklastik dekat terumbu yang terdapat di dalam matriks

mikritik. Sikuen ini diendapkan pada waktu kondisi transgresi yang besar, pada

umumnya menebal ke arah cekungan, dan bervariasi antara 764 kaki hingga

2735 kaki.

2.5.3.2 Kujung I

Sekuen batugamping yang masif dan menerus ini hadir secara selaras diatas unit

Kujung II yang lebih tua. Variasi ketebalan sangat dimungkinkan sebagai akibat

adanya pembentukan terumbu secara lokal. Pertumbuhan terumbu biasanya

berkembang dengan baik pada daerah tinggian paleo-basement. Meskipun

demikian, karbonat tersebut cenderung berubah secara cepat dan ter- onlap-kan

oleh fasies yang lebih serpih yang terdiri dari beberapa lapisan tipis batugamping

berenergi rendah pada daerah paleo-low. Platform karbonat yang terpapar dan

kemudian tenggelam menjadikan suatu ketidakselarasan yang tampak dengan

jelas dan permukaan onlap dan transisi ke bagian yang lebih muda serta lebih

didominasi oleh sekuen klastik.

Batugamping pada umumnya berwarna putih sampai agak putih, mengandung

banyak fosil, chalky di beberapa bagian. Kadangkala dolomitik dan dapat

mengandung sisipan rijang di beberapa tempat pada bagian dasar. Unit karbonat

yang berumur Miosen Awal ini secara lateral melampar secara luas dan dapat

dikenali di seluruh kepulauan Indonesia. Di blok West Madura Offshore PSC,

ketebalannya bervariasi antara 313 kaki hingga 1255 kaki.

14
16

Kearah cekungan, Kujung I menjadi menipis di daerah Cekungan Jawa Timur

Utara akan tetapi pada bagian selatan dari tepi Pulau Madura, penebalan kearah

cekungan lebih umum ditemukan.

2.5.4 Formasi “OK”

Formasi “OK” dapat dibagi menjadi dua anggota (terurut dari tua ke muda)

sebagai berikut:

 Anggota Lower “OK”

 Anggota Upper “OK”

2.5.4.1 Anggota Lower “OK”

Anggota Lower “OK” dapat dibagi menjadi dua unit yaitu, unit karbonan bagian

bawah, Rancak, dan unit klastik bagian atas. Unit Rancak terdiri dari

batugamping, serpih, dengan beberapa batupasir, batulanau dan perselingan

batulempung. Batugamping pada unit Rancak lebih lanjut dapat dibedakan

menjadi 2 fasies utama, yaitu fasies energi tinggi dan fasies energi rendah.

Karbonat dengan energi tinggi sepanjang daerah paparan Madura, biasanya

didominasi oleh kumpulan fasies reefal. Di sebelah utara, fasies ini digantikan

oleh fasies yang lebih lempungan dan lapisan tipis karbonat berenergi yang

rendah, yang setara waktu pengendapannya dengan Unit Rancak.

Unit klastik bagian atas terdiri dari batupasir, batulanau, batulempung, dengan

sisipan batubara dan sedikit batugamping. Secara keseluruhan, Anggota Lower

"OK" menebal dan menghalus kearah cekungan, walaupun pada daerah paleo-

high basement, penipisan sangat mungkin terjadi. Secara regional, anggota ini

diendapkan selama fase regresif

15.
17

2.5.4.2 Anggota Upper “OK”

Anggota Upper “OK” dicirikan oleh sekuen batugamping yang tebal dan masif

dimana terdapat beberapa sisipan batupasir dan batulempung. Kearah cekungan,

terdapat perubahan menjadi perlapisan yang lebih tipis, fasies karbonat berenergi

rendah, diselingi dengan sedimen klastik yang halus. Batugamping pada

umumnya berpori dan menunjukkan asosiasi fasies terumbu yang kuat. Sebagian

besar sumur yang dibor dalam blok ini telah menembus sekuen karbonat ini.

Secara regional, anggota ini merepresentasikan pengendapan dalam siklus

transgresif-regresif.

2.5.5 Formasi “GL-MT”

Formasi “GL-MT” merupakan formasi yang berumur Miosen Akhir - Pliosen dan

dapat dibagi menjadi dua anggota (terurut dari tua ke muda) sebagai berikut :

 Anggota “GL”

 Anggota “MT”

2.5.5.1 Anggota “GL”

Anggota "GL" terdiri dari batugamping, batulempung, batupasir, dan batulanau,

sementara ke arah selatan sekuennya sebagian besar berupa batulempung dengan

perselingan kecil dengan batupasir, batulanau dan napal. Batugamping pada

umumnya merupakan terumbu yang tumbuh, terutama pada paleo-high tetapi

berubah fasies menjadi lapisan tipis, fasies karbonat energi yang rendah dan

sedimen klastik yang halus pada bagian paleo-low.

16
18

Batupasir cenderung mudah pecah, berbutir halus - kasar, sortasi buruk - baik dan

sedikit karbonatan, dimana plankton foraminifera (diidentifikasi sebagai

Globigerina Sp.) umum ditemui.

Zona target

Gambar 5. Stratigrafi regional blok West Madura Offshore (PHE WMO, 2009)

2.5.5.2 Anggota The “MT”

Anggota MT" tidak ditemukan pada bagian utara dari blok West Madura

Offshore dan sangat kontras ditandai dengan kumpulan batu gamping tebal

berupa terumbu yang menempati sebagian sub-cekungan Jawa Timur bagian

17
19

Timur Laut. Pada bagian selatan dari blok West Madura Offshore, anggota ini

didominasi oleh sekuen batulempung dengan batupasir yang tipis, batu lanau,

dan napal. Diasumsikan bahwa Formasi "GL-MT" diendapkan secara tidak

selaras di atas Anggota Upper "OK" yang lebih tua.

2.6 Sistem Minyak Bumi Cekungan Jawa Timur Utara

Faktor utama sistem petroleum adalah batuan induk, lapisan reservoar pembawa

(carrier beds), jalur migrasi, dan mekanisme pemerangkapan. Faktor-faktor

tersebut harus ada dan bekerja secara sinergis dalam ruang dan waktu untuk

mengakumulasikan hidrokarbon.

Di Cekungan Jawa Timur terdapat beberapa dalaman dan tinggian yang membentuk

suatu sistem horst – graben, dan pada tinggian-tinggian tersebut yang akhirnya

terumbu Rancak tumbuh setempat membentuk reservoar berumur Miosen Awal.

Berdasarkan perbandingan kasus Resevoar Lapangan Mudi di Desa Rahayu,

Kecamatan Soko, Tuban yang juga berada di Cekungan Jawa Timur

memperlihatkan suatu Carbonate Bank relief rendah yang disusun secara dominan

oleh red algae dan foraminifera yang berumur Miosen Awal. Litologi umumnya

disusun oleh clean wackestones sampai dengan packstones dengan sedikit

kandungan rudstones dan perkembangan grainstone. Sedangkan sebagai batuan 11

penyekatnya secara onlapping dan overlying adalah batuan serpih Formasi Tuban

dan Ngrayong. Sebagai carbonate build-up, penyebaran porositas reservoar sangat

heterogen baik secara lateral maupun vertikal. Porositas sekunder terutama

18
20

dibentuk oleh tahap akhir disolusi dari semen dan butiran yang membentuk rongga-

rongga (vugs) dan beberapa rekahan akibat pelarutan atau caverns.

Dua potensi batuan induk yang dikenali di Cekungan Jawa Timur adalah Ngimbang

Bawah (Lower Ngimbang) dan Serpih Tawun (Tawun Shales). Potensi batuan

reservoar telah teramati pada beberapa interval seperti antara lain batupasir

Ngimbang bagian Bawah, karbonat Ngimbang bagian Atas, karbonat Formasi

Kujung, Tawun, Ngrayong, Kawengan dan Lidah. Formasi-formasi tersebut secara

umum juga memiliki potensi sebagai batuan penutup (seal) karena memiliki

interval batulempung atau batuserpih yang cukup tebal. Perangkap (trap) stratigrafi

umumnya berhubungan dengan tubuh batuan karbonat reefal berumur Oligosen

sampai Miosen, sedangkan perangkap struktur banyak berhubungan dengan inversi

di Akhir Tersier. Generasi hidrokarbon telah terjadi dalam 2 (dua) periode yaitu di

Akhir Oligosen untuk batuan induk Ngimbang bagian Bawah dan di Miosen

Tengah untuk batuan induk Tawun.

2.7 Batuan Karbonat

Batuan karbonat merupakan salah satu batuan sedimen siliklastik. Menurut

Pettijohn (1975), batuan karbonat adalah batuan yang fraksi karbonatnya lebih

besar dari fraksi non karbonat atau dengan kata lain fraksi karbonatnya >50%.

Apabila fraksi karbonatnya <50%, maka tidak bisa lagi disebut sebagai batuan

karbonat.

Batuan karbonat umumnya tersusun oleh mineral argonit, kalsit, dan juga dolomit,

komponen penyusun batuan karbonat dibagi menjadi tiga macam, yaitu :

19
21

1. Butiran Karbonat (carbonate grain)

Butiran karbonat berukuran sama atau lebih besar daripada lanau, dibagi menjadi

dua macam, yaitu skeletal grain dan non skeletal grain.

Skeletal grain merupakan salah satu penyusun batuan karbonat yang berasal dari

sisa cangkang atau tubuh suatu organisme yang dapat berupa fosil, mikrofosil,

dan pecahan – pecahan fosil.

Non skeletal grain merupakan salah satu penyususn batuan karbonat yang

umumnya terbentuk akibat proses presipitasi kimiawi seperti dolomitisasi,

maupun proses rekristalisasi , replacement, dan pengisisan rongga batuan oleh

material karbonat. Berikut adalah contoh dari non skeletal grain ooid, pisoid,

peloid, pellet, intraklast, dan ekstraklast.

2. Microcristaline calsite (micrite)

Micrite tersusun oleh kristal-kristal kalsit atau aragonite yang sangat halus,

dapat berperan sebagai matriks diantara butiran karbonat atau sebagai penyusun

utama batuan karbonat berbutir halus, butirnya berukuran <1/256 mm atau

ukuran lempung (Tucker, 1982).

3. Sparry calcite (sparite) : semen karbonat

Sparite adalah kristal-kristal kalsit yang berbentuk equant, berukuran 0,02-0,1

mm dan berkenampakan transpor dan jernih di bawah mikroskop polarisasi

(Buggs, 1987). Sparite dibedakan dengan micrite, karena mempunyai ukuran

kristal yang lebih besar dan kenampakannya lebih jernih, sedang perbedaannya

dengan butiran atau allochem adalah pada bentuk kristalnya dan tidak adanya

tekstur eksternal.

20
22

Gambar 6. Ilustrasi butiran karbonat (Carbonate Grain) (Flugel, 2010)

2.7.1 Klasifikasi Batuan Karbonat

Batuan karbonat adalah batuan dengan komposisi material karbonat lebih dari 50%

yang tersusun atas partikel karbonat klastik yang tersemenkan atau karbonat

kristalin hasil presitipasi. Batuan karbonat adalah batuan yang komponen utamanya

berupa mineral karbonat lebih dari 50% sedangkan batugamping merupakan batuan

dengan komposisi mineral karbonat hingga 95%.

Klasifikasi batuan karbonat cukup banyak yang telah dipublikasikan, diantaranya

adalah klasifikasi Dunham (1962; dalam Flugel, 2010), Klasifikasi Folk (1962 ;

dalam Flugel, 2010), dan klasifikasi Embry dan Klovan (1971 ; dalam Flugel,

2010). Ketiga klasifikasi ini membagi batugamping berdasarkan paduan antara

parameter deskriptif dan genetik. Parameter deskriptif artinya mengelompokan

batuan karbonat berdasarkan sifat-sifat fisik, seperti tekstur, struktur dan lain

sebagainya, sedangkan parameter genetik, yaitu mengkelompokan batugamping

berdasarkan asal-usul batuan tersebut. Klasifikasi Embry dan Klovan (1971 ;

21
23

dalam Flugel, 2010) merupakan hasil modifikasi dari klasifikasi Dunham (1962 ;

dalam Flugel, 2010). Hasil dari modifikasi yang dilakukan oleh Embry dan Klovan

menambahkan tekstur deposisi. Penambahan dalam klasifikasi ini, yaitu

menambahkan fabrik batuan menjadi empat, yaitu mud supported, grain supported,

matrix supported, dan other component supported. Dengan pembagian hasil

deposisi menjadi dua bagian, yaitu allochthonous limestone dan autothoctonous

limestones. Allochthonous limestone merupakan batugamping yang komponen

asalnya bukan berasal dari aktivitas organisme dan merupakan hasil transportasi

selama proses deposisi, sedangkan autothoctonous limestones merupakan

batugamping yang komponen asalnya berasal dari aktivitas organisme selama

proses deposisi.

2.7.2 Faktor yang mempengaruhi Sedimen Karbonat

Faktor-faktor yang mempengaruhi sedimen karbonat adalah :

1. Garis lintang dan iklim

Karbonat yang terbentuk pada air hangat neritik (0 – 200 m) terakumulasi pada

garis lintang 300 utara dan selatan equator. Biasanya terbentuk dari pecahan

organisme seperti koral, dengan pertumbuhan terbaik pada kedalaman kurang

dari 30 m. Sedimen planktonik terbentuk pada kedalaman yang lebih dalam

dengan garis lintang 400 utara dan selatan. Endapan pada air dingin neritik

terletak pada garis lintang 200 – 400, terbentuk dari bryozoa, moluska dan

foraminifera. Iklim dapat mengontrol rata-rata evaporasi atau hujan,

mempengaruhi komposisi air laut dekat batas kontinental dan restricted basin.

22
24

2. Penetrasi cahaya

Penetrasi cahaya berkurang seiring dengan bertambahnya kedalaman air,

tingginya garis lintang dan berkurangnya kejernihan air. Karbonat tumbuh pada

zona shallow neritik , diatas 10 – 20 m dari permukaan laut. Batas terendah

penetrasi cahaya berkisar antara 100 – 150 m yang merupakan batas zona

euphotic, zona dimana fotosintetik organisme terjadi.

3. Salinitas

Keanekaragaman dan kelimpahan organisme laut terdapat pada salinitas

normal marine yaitu 30 – 40 ppt (normal air laut sekitar 32 – 36 ppt).

2.7.3 Lingkungan Pengendapan

Lingkungan pengendapan karbonat terdiri dari :

1. Sering merupakan laut yang beragitasi “shoal”, bagian - bagian dangkal dekat

pantai (litoral) terutama jika bertekstur grainstone-packstone dengan partikel -

partikel terabrasi.

2. Bagian teduh dekat suatu reef, dilagoon, difore reef; merupakan lembaran -

lembaran dari reef yang dipecah - pecah gelombang kebagian air tenang,

terutama jika bertekstur packstone ataupun wackstone, dengan butiran yang

terabrasi. Di fore reef biasanya merupakan breksi - talus runtuhan dari reef,

terdiri dari pecahan-pecahan cangkang koral.

3. Neritik; misalnya jika terdiri dari organisme benthos, tanpa adanya abrasi,

misalnya gamping foraminifera besar yang membentuk “bank” atau

“biostrome”.

23
25

2.7.4 Terumbu Karbonat sebagai Batuan Resevoar

Terumbu (reef) dapat menjadi batuan reservoar yang sangat penting. Pada

umumnya terumbu terdiri dari suatu kerangka, coral, ganggang, dan sebagainya

yang tumbuh dalam laut yang bersih, berenergi gelombang tinggi, dan mengalami

banyak pembersihan sehingga rongga - rongga antaranya khususnya menjadi sangat

bersih. Dalam hal ini porositas yang didapatkan terutama dalam kerangka yang

berbentuk rongga - rongga bekas binatang hidup yang tersemenkan dengan sparry

calcite sehingga porositasnya diperkecil.

1. Bentuk reservoar terumbu

Pada umumnya dapat dibedakan menjadi 2 macam reservoar terumbu, yaitu

terumbu yang bersifat fringing atau merupakan suatu bentuk yang memanjang

di lepas pantai, terumbu yang bersifat terisoler di sana - sini, yang sering disebut

sebagai suatu pinnacle atau patch reef atau secara tepat dikatakan sebagai

bioherm, yang muncul di sana - sini sebagai bentuk kecil secara tidak teratur,

dan terumbu yang berbentuk linier atau sebagai penghalang (barrier) biasanya

berbentuk mamanjang sering kali cukup besar serta memperlihatkan suatu

asimetri dan biasanya terdapat pada pinggiran suatu cekungan.

2. Terumbu tiang

Lapangan yang bersifat terumbu tiang (pinnacle) ditemukan di Libya yaitu

lapangan Idris dalam cekungan Sirte yang didapatkan dari suatu terumbu

berumur paleosen. Contoh yang baik untuk terumbu tiang sebagai reservoar ialah

yang didapatkan baru-baru ini di Irian Jaya, yaitu lapangan minyak Kasim dan

Jaya. Lapangan Kasim-Jaya merupakan suatu akumulasi dalam kulminasi

terumbu yang tumbuh di atas suatu kompleks terumbu yang merupakan suatu

24
26

landasan. Bentuk terumbu Kasim-Jaya itu terdiri daripada batuan karbonat

berenergi tinggi yang panjangnya 7 km dan lebarnya 2.5-3.5 km dan mempunyai

ketinggian atau relief vertikal 760 m di atas landasan tempat terumbu itu tumbuh.

3. Gamping klastik

Gamping klastik sering juga merupakan reservoar yang sangat baik, terutama

dalam asosiasinya dengan oolit, dan sering disebut sebagai kalkarenit. Jadi jelas,

bahwa batuan reservoar yang terdapat di dalam oolit itu merupakan pengendapan

berenergi tinggi dan didapatkan dalam jalur sepanjang pantai dengan arus

gelombang kuat. Porositas yang didapatkan biasanya ialah jenis porositas

intergranular, yang kadang-kadang diperbesar oleh adanya pelarutan. Batuan

reservoar oolit terdapat misalnya di cekungan Illinnois (Amerika Serikat),

dimana terdapat oolit dalam gamping yang berumur karbonat. Lapisan oolit ini

disebut McClosky sand. Batuan ini terdiri daripada oolit yang kadang- kadang

bersifat dolomit. Contoh yang paling penting adalah di Saudi Arabia yaitu dari

Formasi Arab berumur jura muda, terutama dari anggota D.

4. Dolomit

Dolomit merupakan batuan reservoar yang jauh lebih penting dari jenis batuan

karbonat lainnya dan bahwa kebanyakan dari batuan karbonat seperti oolit

ataupun terumbu sedikit banyak pula telah ikut didolomitasikan. Cara terjadinya

dolomit ini tidak begitu jelas, tetapi pada umumnya dolomit ini bersifat sekunder

atau sedikit banyak terbentuk setelah proses sedimentasi. Salah satu teori yang

menyebutkan pembentukan porositas pada dolomit yaitu porositas timbul karena

dolomitisasi batuan gamping sehingga molekul kalsit

25
27

diganti dengan molekul dolomit, dan karena molekul dolomit lebih kecil daripada

molekul kalsit maka hasilnya akan merupakan pengecilan volume sehingga tidak

timbulah rongga-rongga. Dolomit biasanya mempunyai porositas yang baik

berbentuk sukrosit yaitu berbentuk menyerupai gula pasir. Rupa-rupanya dolomit

ini terbentuk karena pembentukan kristal dolomit yang bersifat euhedron dan

tumbuh secara tidak teratur diantara kalsit.

2.7.5 Diagenesis Batuan Karbonat

Secara umum batuan sedimen terendapkan pada laut dangkal namun juga ada

bebreapa yang terendapkan pada laut dalam sampai pada batas CCD. Faktor yang

menentukan karakteristik akhir produk diagenesa antara lain komposisi sedimen

mula-mula, sifat alami fluida interstitial dan pergerakannya, dan proses fisika, kimia,

maupun biologi yang bekerja selama diagenesa. Namun secara umum batuan

sedimen karbonat lebih banyak terbentuk akibat proses kimia dan proses biologi atau

biasa disebut dengan proses geokimia dan biogenetik. Proses-proses diagenesis yang

dialami oleh batuan karbonat meliputi Pelarutan (Dissolution), Sementasi

(Cementation), Dolomitisasi (Dolomitization), Aktivitas Mikroba (Microbial

Activity), Kompaksi Mekanik (Mechanical Compaction), dan Kompaksi Kimia

(Chemical Compaction).

26
28

BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Keadaan Geologi


Jenis Tanah di Kabupaten Banyuwangi berdasarkan struktur geologi terdapat berbagai
susunan / struktur geologi sebagai berikut :
Struktur Geologi Luas Ha %
1. Alivium 134.525,00 23,27
2. Hasil G. Api Kwarter Muda 170.310,50 29,43
3. Hasil G. Api Kwarter Tua 59.283,00 10,26
4. Andesit 47.417,75 8,20
5. Miosen Falses Semen 89.177,25 15,43
6. Miosen Falses Batu Gamping 77.536,50 13,41

3.2 Keadaan jenis Tanah di Kabupaten Banyuwangi


Jenis Tanah Luas Ha %
1. Regosol 138.490,87 23,96
2. Lithosol 39.031,88 6.75
3. Lathosol 14.109,30 2,44
4. Podsolik 348.684,75 60,30
5. Gambut 37.433,70 6,55

3.3 Keadaan Topografi


Kabupaten Daerah Banyuwangi terletak di ketinggian 0 – 1000 meter di atas permukaan
laut. Berdasarkan klasifikasi Wilayah Tanah Usaha (WTU) ketinggian tersebut dibedakan
atas :
– Ketinggian 0 – 25 meter di atas permukaan laut meliputi luas wilayah 41.926 Ha.
(12,04%) dari luas tanah. Ketinggian ini didapatkan pada Kecamatan Banyuwangi,
Bangrejo, Giri, Kalipuro, Kabat, Muncar, Pesanggaran, Purwoharjo, Rogojampi, Srono,
Tegaldlimo, dan Wongsorejo.
– Ketinggian 100 – 500 meter diatas permukaan laut meliputi luas wilayah 158.939 Ha.
(45,65%) dari luas daerah. Ketinggian ini didapat pada hampir semua Kecamatan keculai
Kecamatan Banyuwangi, Muncar, Purwoharjo yang tingginya dibawah 100 meter diatas
permukaan laut.
27
29

– Ketinggian 100 – 500 meter diatas permukaan laut meliputi luas wilayah 158.939 Ha.
(45,65%) dari luas daerah. Ketinggian ini didapat pada hampir semua Kecamatan kecuali
Kecamatan Banyuwangi, Muncar, Purwoharjo yang tingginya dibawah 100 meter diatas
permukaan laut.
– Ketinggian 500 – 1000 meter di atas permukaan laut meliputi luas 36.527 Ha. (10,49%)
dari luas daerah. Ketinggian ini meliputi Kecamatan Genteng, Sempu, Giri, Kalipuro,
Glagah, Glenmore, Kabat, Songgon, dan Purwoharjo
– Ketinggian lebih dari 1000 meter di atas permukaan laut meliputi Kecamatan Giri,
Kalipuro, Glagah, Glenmore, Kabat, Songgon, dan Wongsorejo.
– Daerah Kecamatan pantai meliputi Kecamatan Wongsorejo, Giri, Kalipuro,
Banyuwangi, Kabat, Rogojampi, Muncar, Tegaldlimo, Purwoharjo dan Pesanggaran

3.4 Keadaan Hidrologi


Kabupaten Banyuwangi mempunyai lereng dengan kemiringan
lebih dari 40% meliputi lebih kurang 29,25% dari luas daerah yang mempunyai tinggi
tempat lebih dari 500 meter di atas permukaan laut.
Beberapa sungai besar maupun kecil yang melintas Kabupaten Banyuwangi mulai bagian
Utara ke Selatan sehingga merupakan daerah yang cocok untuk pertanian lahan basah,
yaitu meliputi :
– Sungai Bajulmati (20 km), melewati Kecamatan Wongsorejo.
– Sungai Selogiri (6,173 km), melewati Kecamatan Kalipuro.
– Sungai Ketapang (10,26 km), melewati Kecamatan Kalipuro.
– Sungai Sukowidi (15,826 km), melewati Kecamatan Kalipuro.
– Sungai Bendo (15,826 km), melewati Kecamatan Glagah.
– Sungai Sobo (13,818 km), melewati Kecamatan Banyuwangi dan Kecamatan Glagah.
– Sungai Pakis (7,043 km), melewati Kecamatan Banyuwangi.
– Sungai Tambong (24,347 km), melewati Kecamatan Glagah dan Kecamatan Kabat.
– Sungai Binau (21,279 km), melewati Kecamatan Rogojampi.
– Sungai Bomo (7,417 km), melewati Kecamatan Rogojampi. Sungai ini merupakan
perbatasan antara Kecamatan Rogojampi dengan Kecamatan Srono dan Kecamatan
Muncar.
– Sungai Setail (73,35 km), melewati Kecamatan Gambiran, Kecamatan Purwoharjo, dan
Kecamatan Muncar.
– Sungai Porolinggo (30,70 km), melewati Kecamatan Genteng.
– Sungai Kalibarumanis (18 km), melewati Kecamatan Kalibaru dan Kecamatan
Glenmore.

28
30

– Sungai Wagud (14,60 km), melewati Kecamatan Kalipuro.


– Sungai Karangtambak (25 km), melewati Kecamatan Pesanggaran.
– Sungai Bango (18 km), melewati Kecamatan Bangorejo dan Kecamatan Pesanggaran.
– Sungai Baru (80,70 km), melewati Kecamatan Kalibaru dan Kecamatan Pesanggaran.

3.5 Keadaan Krimatologi


Kabupaten Banyuwangi terletak di selatan equator yang dikelilingi oleh Laut Jawa, Selat
Bali dan Samudra Indonesia dengan iklim tropis yang terbagi menjadi 2 musim yaitu :
– Musim penghujan antara bulan Oktober – April
– Musim kemarau antara bulan April – Oktober
– Diantara kedua musim ini terdapat musim peralihan Pancaroba yaotu sekitar bulan
April/Mei dan Oktober/Nopember
– Rata-rata curah hujan sebesar 7,644 mm perbulan dengan bulan kering yaitu bulan April,
September, dan Oktober.
Denudasi
Denudasi adalah proses pengelupasan batuan induk yang telah mengalami proses
pelapukan atau akibat pengaruh air sungai, panas matahari, angin, hujan , embun beku dan
es yang bergerak ke laut. Pada umumnya denudasi terdapat pada lereng – lereng
pegunungan yang dipengaruhi oleh gaya berat dan erosi sehingga bagian terluar terangkat
dan daerah tersebut akan mengalami ketandusan karena tidak mempunyai lapisan tanah
lagi.
Pada daerah kapur terjadi pelapukan kimiawi (bukan organis) , daerah kapur berupa
daerah
pegunungan dengan perbedaan suhu antara siang dan malam tidak terlalu besar.
Iklim Hujan tropis
yang Iklim hujan tropis terjadi banyak hujan akibatnya tingkat erosi tinggi. Karena tingkat
erosi tinggi mengakibatkan perubahan bintang alam yang ditunjukkan oleh adanya :
1. bukit sisa
2. lahan kritis
3. dataran fluvial
Daerah kars di Indonesia terdapat di setiap pulau besar, baik Sumatera, Jawa, Kalimantan,
Irian, Sulawesi, dan juga di Kepulauan Nusa Tenggara. Balasz (1963) telah
menginventarisir daerah-daerah kars di Kepulauan Indonesia meskipun masih dalam skala
global. Dari tulisan Balasz (1963) disebutkan beberapa daerah kars yang terdapat di Pulau
Jawa bagian timur, yaitu 1). Daerah kars antara Bojongore dan Lasun, 2). Daerah kars
Pulau Madura, 3). Daerah kars Teluk Pacitan, yang merupakan rangkaian dari daerah kars
Gunung Sewu, 4). Daerah kars Gunung Kidul bagian timur, 5).
29
31

Daerah kars Pulau Nusa Barung, 6). Daerah kars Watangan, dan 7). Daerah kars
Tegaldlimo. Daerah kars Tegaldlimo merupakan daerah kars yang masuk dalam wilayah
Kabupaten Banyuwangi.
Persyaratan utama terbentuknya daerah kars adalah kondisi litologi yang oleh batuan yang
mudah larut, yaitu batu gamping kalsit, dolomit, aragonit atau gipsum. Mengacu Peta
Geologi skala 1:100.000 terbitan Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi (P3G),
geologi batuan karbonat penyusun Kabupaten Banyuwangi terdapat 2 (dua) formasi
batuan yang penyusun utamanya adalah batuan gamping, yaitu Formasi Punung (Tmp)
dan batugamping terumbu (Ql). Formasi Punung tersusun oleh batugamping terumbu,
batugamping berlapis dan napal. Batu gamping terumbu berwarna putih kekelabuan,
mengandung fosil ganggang, foraminifera besar dan moluska, umumnya pejal atau
berlapis tebal, hanya sebagian kecil menunjukkan perlapisan yang baik dengan tebal
sekitar 2-4 dm. Struktur lapisan silang-siur dan gelembur gelombang terdapat pada batu
gamping biomikrit, biosparudit dan biosparit. Formasi ini berumur Miosen Awal-Miosen
Tengah. Sedangkan formasi Batugamping terumbu (Ql) yang berumur lebih muda
(Holosen) tersusun oleh batugamping terumbu, tuf dan aglomerat.
Zonasi Kars
Daerah kars di Kabupaten Banyuwangi terbagi dalam tiga daerah, yaitu 1). Kars
Tegaldlimo; 2). Kars Kalipuro; dan 3) Kars Purwoharjo. Masing-masing mempunyai
karakteristik morfologi dan struktur geologi yang berlainan.
Hasil interpretasi kekar juga menunjukkan bahwa pada daerah kars dengan morfologi
humockly banyak dijumpai kekar-kekar dengan pola dan arah yang tidak beraturan.
Lembah kering dan kekar saling beasosiasi (Pola-pola lembah kering sangat tidak
beraturan mengikuti pola-pola kekar). Adanya fenomena bukit-bukit kars, dolin, telaga,
lembah kering dan kekar mengindikasikan bahwa di bawahnya terbentuk sistem gua dan
sungai bawah tanah sehingga daerah kars tersebut dapat dinyatakan sebagai daerah kars
yang berkembang dengan baik.

30
32

BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Geologi struktur adalah studi mengenai distribusi tiga dimensi tubuh batuan dan
permukaannya yang datar ataupun terlipat, beserta susunan internalnya. Beberapa
kalangan berpendapat bahwa geologi struktur lebih ditekankan pada studi
mengenai unsur-unsur struktur geologi, seperti perlipatan (fold), rekahan
(fracture), patahan (fault), dan sebagainya yang merupakan bagian dari satuan
tektonik (tectonic unit), sedangkan tektonik dan geotektonik dianggap sebagai
suatu studi dengan skala yang lebih besar, yang mempelajari obyek -obyek geologi
seperti cekungan sedimentasi, rangkaian pegunungan, lantai samudera, dan
sebagainya.

Geologi struktur mencakup bentuk permukaan yang juga dibahas pada studi
geomorfologi, metamorfisme dan geologi rekayasa. Dengan mempelajari struktur
tiga dimensi batuan dan daerah, dapat dibuat kesimpulan mengenai sejarah
tektonik, lingkungan geologi pada masa lampau dan kejadian deformasinya. Hal
ini dapat dipadukan pada waktu dengan menggunakan kontrol stratigrafi maupun
geokronologi, untuk menentukan waktu pembentukan struktur tersebut.
Secara lebih formal dinyatakan sebagai cabang geologi yang berhubungan dengan
proses geologi dimana suatu gaya telah menyebabkan transformasi bentuk,
susunan, atau struktur internal batuan kedalam bentuk, susunan, atau susunan
intenal yang lain.

31
33

DAFTAR PUSTAKA
1. http://nuranigeo.blogspot.com/2013/03/pengertian-struktur-
geologi5.html

Anda mungkin juga menyukai