Anda di halaman 1dari 5

Nama : Mely Amalia Yasmin

Jurusan/ kelas : Komunikasi dan Penyiaran / 2B

NIM : 1174020083

Mata Kuliah : Tafsir

1. Penafsiran Iman Al-Ghazali ( Misykatul Anwar)

Karya al-Ghazali di atas, yaitu Misykat al-Anwar. Kitab ini berisi tafsiran al-
Ghazali terhadap QS. Al-Nuur : 35, yang sering disebut-sebut sebagai “Ayat Cahaya”
(ayat yang membahas tentang Allah sebagai cahaya langit dan bumi), sehingga kitab
ini sering disebut “Tafsir Ayat Cahaya”. Misykat al-Anwar diyakini sebagai satu-
satunya karya al-Ghazali yang memaparkan pengangan beliau. Kitab ini membahas
secara komprehensif dimensi-dimensi alam malakut (alam atas), sebuah kajian yang
memungkinkan kita mengenal lebih dekat hakikat Allah, Pencipta dan Pengatur
Seluruh Semesta. Al-Ghazali membahas alam malakut melalui simbolisme cahaya.
Cahaya ini hanya dapat tersingkap oleh para pemilik bashirah (mata hati). Cahaya-
cahaya malakut ini memiliki tata urutan, yang sambung-menyambung dan berakhir
pada Sumber Pertama, Cahaya yang tidak bersandar pada cahaya lain, Cahaya yang
Zat-Nya Sendiri menyinari seluruh cahaya, Cahaya di atas cahaya, itulah Allah SWT.
B. Penafsiran Al-Ghazali dalam Misykat al-Anwar.

Dalam menafsirkan ayat tersebut di atas, pada pasal pertama kitab Misykat al-
Anwar ini al-Ghazali memberikan penjelasan bahwa cahaya yang hakiki adalah Allah
dan nama cahaya bagi selain-Nya adalah kiasan (majazi) belaka dan tidak hakiki.
Sebelum menjelaskan hakikat cahaya ini, al-Ghazali pertama-tama membezakan
makna cahaya menurut pemahaman awwam (umum), kalangan khawas (khusus), dan
kalangan khawas al-khawas (khusus dari yang khusus). Karena menurutnya, cahaya
itu memiliki tingkatan-tingkatan sesuai dengan pemahaman orangnya. Dengan
mengetahui tingkatan itulah, menurutnya, akan terbuka dengan jelas bahwa Allah
adalah cahaya yang Maha Tinggi dan paling jauh. Dan akan mengerti pula bahwa Dia
adalah Hakikat Cahaya Kebenaran, dan itu satu-satunya cahaya, tidak ada sekutu
bagi-Nya.

Cahaya menurut orang awam bagi mereka, cahaya adalah cahaya yang nampak
dan yang terlihat oleh pandangan kasat mata (indera). Bagi mereka panca indera
memiliki peranan yang sangat penting dan yang berlaku hanyalah daya tangkap indera
manusiawi. Benda yang dapat ditangkap oleh indera mata dibagi menjadi tiga : (1).
Benda yang tidak tampak dengan sendirinya, seperti benda-benda gelap. (2). Benda
yang tampak dengan sendirinya, tetapi tidak membuat benda lain kelihatan, seperti
bintang-bintang dan zat api apabila tidak menyala, dan (3). Benda yang tampak
dengan sendirinya dan dapat membuat benda lain terlihat, seperti matahari, bulan
yang sedang memantulkan cahaya, dan api atau pelita yang menyala. Dari ketiga poin
di atas, yang dimaksud dengan cahaya adalah yang nombor ketiga. Dan secara global,
cahaya adalah sesuatu yang dapat menjadikan benda lainnya tampak, seperti matahari.
b. Cahaya menurut kaum Khusus Bagi mereka, cahaya adalah bukan saja apa yang
dapat dilihat oleh mata, karena tangkapan penglihatan bergantung kepada cahaya,
disamping ia harus dalam keadaan melihat. Walaupun ada cahaya, tapi kalau tidak
dapat melihat seperti orang buta, maka tidak akan dapat melihat cahaya itu. Bagi
kaum khusus ini, panca indera (mata) memiliki banyak kekurangan dan menurut
mereka, ruh yang melihat sama (ruh bashirah) dengan cahaya yang nampak. Bahkan
dikatakan ruh memiliki posisi yang lebih tinggi dari pada cahaya. Sebab ia memiliki
daya melihat, dan dengannya sesuatu boleh tampak, sementara cahaya sendiri tidak
memiliki “daya tangkap penglihatan” dan juga tidak dapat menciptakannya. c. Cahaya
menurut Khawas al-khawas Bagi golongan ini, istilah cahaya lebih tepat kalau dipakai
untuk cahaya yang dapat memberikan daya penglihatan, bukan untuk sembarang
cahaya. Maka ruh yang melihat (ruh bashirah) itulah yang disebut “cahaya”, karena ia
memang lebih pantas menyandang istilah tersebut. Dalam diri manusia terdapat mata
yang memiliki sifat sempurna, yang tidak memiliki kekurangan seperti mata inderawi,
yaitu yang disebut dengan “akal, ruh, atau jiwa” manusia.

Al-Qur’an adalah Pelita yang Menyinari Akal Selanjutnya al-Ghazali,


menjelaskan bahwa meskipun akal memiliki daya lihat, tetapi tidak berarti apa yang
dilihatnya memiliki derajat yang sama. Sebagiannya ada yang terlihat layaknya suatu
kebenaran sebagaimana ilmu-ilmu yang telah terbukti berdasarkan uji kaji. Dan ada
juga yang tidak terjangkau oleh akal atau tidak sesuai dengan pengalaman akal.
Sehingga akal perlu digerakkan, dirangsang, dan diberi perhatian seperti dalam
masalah teori-teori. Pada titik ini, yang mampu memberikan hanyalah para hukama’,
yaitu orang-orang yang memperoleh pancaran cahaya hikmah. Ketika seseorang
mendapat pancaran cahaya hikmah, dia akan dapat melihat sesuatu secara langsung
karena kehendak-Nya. Dan hikmah terbesar di sini adalah Kalam Allah. Di antara
kalam-Nya adalah al-Qur’an. Karenanya, posisi ayat-ayat al-Qur’an di mata akal
seperti sinar matahari bagi kasat mata.

Al-Qur’an adalah cahaya bagi akal, dan akal adalah cahaya bagi mata. Dengan
kerangka inilah dipahami makna Firman Allah SWT: ‫فآمنوا باهلل ورسوله والنور الذي أنزلنا‬
‫ وهللا بما تعملون خبير‬Artinya : “Dan berimanlah kalian kepada Allah dan Rasul-Nya, dan
kepada Nur (Cahaya) yang Kami turunkan.” (QS. Al-Taghabun, 64: 8). Dan Firman-
Nya : ‫ يا أيها الناس قد جاءكم برهان من ربكم وأنزلنا إليكم نورا مبينا‬Artinya : “Hai manusia, telah
datang kepadamu bukti dari Tuhanmu dan Kami turunkan kepadamu cahaya yang
terang.”(QS. Al-Nisa, 4: 174). Alam Syahadah dan Alam Malakut

Kemudian al-Ghazali membezakan dua macam mata, mata inderawi dan mata
batin. Mata inderawi ini adalah mata zahir yang jangkauannya adalah alam yang dapat
dirasa dan kasat mata, sementara mata batin adalan mata yang menjangkau alam
malakut (alam malaikat). Kedua mata ini memiliki cahaya, yang dengannya kedua
mata ini menjadi sempurna. Cahaya mata zahir adalah matahari dan cahaya mata batin
adalah al-Qur’an dan kitab-kitab Allah lainnya yang telah diturunkan. Al-Ghazali
membandingkan kedua alam ini (alam syahadah dan alam malakut) bagaikan kulit
buah dengan isinya, seperti bentuk dengan ruhnya (esensinya), kegelapan dengan
cahaya, atau yang rendah disandingkan dengan yang tinggi. Alam malakut juga sering
disebut alam al-ulwi (atas), alam al-ruhani (alam ruhani), dan alam al-nuri (alam
cahaya). Sementara alam syahadah sering disebut alam al-sufli (alam rendah), alam
al-jismani (alam jasmani), dan alam al-zulmani (alam kegelapan). Pada dasarnya,
manusia tergolong makhluk yang berada di alam rendah, akan tetapi ia dapat naik ke
alam yang tinggi. Sedangkan malaikat adalah bagian dari alam malakut, mereka
bergantung pada hadirat al-quds (hadirat kesucian Allah SWT), dan dari sana mereka
menyinari alam rendah.

Rasulullah SAW bersabda : ‫ ان هللا خلق الخلق فى ظلمة ث ّم افاض عليهم من نوره‬Artinya :
“Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk-Nya dalam kegelapan, kemudian dia
melimpahkan cahaya-Nya atas mereka.” Juga dalam sabdanya yang lain : ‫هلل مالئكة هم‬
‫ اعلم باعمال النّاس منهم‬Artinya : “Sesungguhnya Allah SWT mempunyai malaikat, dimana
para malaikat ini lebih mengetahui perbuatan manusia, daripada perbuatan mereka
sendiri.” Para Nabi, apabila telah naik dan mencapai alam malakut, berarti telah
mencapai tingkat yang paling tinggi dan disana mereka dapat menyaksikan beberapa
alam ghaib, sebab dia telah berada di sisi Allah, yang di tangan-Nya terletak semua
kunci keghaiban. Al-Ghazali menjelaskan bahwa alam syahadah adalah model dari
alam malakut, ia adalah percikan bekas dari penciptaan alam malakut, seperti halnya
bayangan dari fisik seseorang. Sehingga sesuatu yang bersumber dari yang lain,
mestinya mempunyai kemiripan dengan aslinya, sedikit ataupun banyak. Barang siapa
yang dapat menyingkap hakikat, niscaya dengan mudah akan mampu menyingkap
perumpamaan yang ada dalam al-Qur’an.

Para Nabi dan Ulama adalah Pelita Allah Seperti telah disebutkan semula bahwa
sesuatu yang dapat menerangi dirinya, bahkan dapat menerangi yang lainnya,
layaklah baginya disebut ‘cahaya’. Atau bahkan lebih tepat kalau ia disebut lentera
yang menyinari (siraj al-munir), karena pancaran sinarnya pada yang lainnya. Dan
keistimewaan ini terdapat pada al-ruh al-quds al-nabawi (ruh suci kenabian), yang
melalui pancarannya terlimpah cahaya pengetahuan pada makhluk. Dengan demikian,
dapat dimengerti kenapa Allah SWT menamakan Nabi Muhammad SAW sebagai
siraj al-munir (lentera yang menyinari), yang juga diberikan kepada seluruh nabi dan
para ulama (walaupun di antara mereka terdapat perbezaan).

2. Penafsiran pada tafsir Al-Jailani

Belieu menafsirkan lebih awal tentang kalimat “Allah” yang membedakannya


dengan yang lainnya, artiinya tidak ada kesamaan dengan-Nya karena Allah sendiri
mempunyai asma atau nama-nama yang bai. Pada kalimat “annur” beliau mengatakan
layaknya cahaya yang ada dibumi dan dilangit juga termasuk cahaya yang ada
diantaranya, namun cahayanya itu lebih awal dari penciptaan makhluk. Artinya
cahaya yang ada itu tidak dijadikan sebagai sesuatu yang baru dan tidak pula
dijadikan sebagai contoh.

Pada kalimat “misykat” beliau menjelaskan bahwa misykat adalah suatu ceruk,
yaitu cekungan pada dinding yang menjorok kedalam tapi tidak tembus. Dan
didalamnya itu ada “mishbah” yaitu perwujudan cahaya ketuhanan yang ada dengan
sendirinya. Yang mana cahayanya itu sepeti cahaya matahari yang terbit dan seperti
matahari yang terbenam, tentunya fenomena ini akan menjadikan orang-orang
melihatnya terus menerus menikmatinya karena mencuri perhatian, dan saat itu hilang
maka yang melihatnya akan merasa kecewa.
Lafadz “azjujah” menjelaskannya dengan suatu sifat yang sama kadarnya dan
sama kesetaraanya sehingga ada keterkaitan, seperti halnya nama dan sifat yang salng
berkaitan yang mencangkup alam semesta.

Kalimat “kaannaha kaukabun durriyyu” seperti cahaya bintang yang menyala


nyala, geerlap dan berkilau seperti mutiara, mksdnya adalah cahaya yang tadi ada
pada misykat itu akan terancar pada azjujah dan akan bersinar seperti halnya mutiara.

Kalimat”yuqodu” dinyalakan “minsyajarotin mubarokah” oleh minyak yang


berasal dari pohon yang penuh dengan berkah atau pohon yang manfaat. Pada kalimat
“zaitunati” adalah jelasnya pohon itu adalah pohon zaitun yang dengan minyaknya
saja apabila dioleskan akan bersinar karena kemurnianya dan pohon zaitun ini tidak
ada di timur maupun dibarat mksdnya hanya ada ditempat tertentu saja.

Anda mungkin juga menyukai