Anda di halaman 1dari 41

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar

1. Pengertian TB Paru

Tuberkulosis paru-paru merupakan penyakit infeksi yang menyerang

parenkim paru-paru yang disebabkan oleh mycrobacterium tuberculosis.

Penyakit ini dapat juga menyebar ke bagian tubuh lain seperti ginjal, tulang,

dan nodus limfe (Somantri, 2008:59).

Tuberculosis adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan

mycrobacterium tuberculosis yang menyerang paru-paru dan hampir seluruh

organ tubuh lainnya bakteri ini dapat masuk melalui saluran pernapasan,

saluran pencernaan dan luka terbuka pada kulit. Tetapi, paling banyak melalui

inhalasi droplet yang berasal dari orang yang terinfeksi bakteri tersebut (Price,

2015:209).

Tuberculosis paru adalah suatu penyakit infeksi yang menyerang paru-paru

yang secara khas ditandai oleh pembentukan granuloma dan menimbulkan

nekrosis jaringan. Penyakit ini bersifat menahun dan dapat menular kepada

orang lain (Manurung, dkk, 2013:105).

Berdasarkan ketiga definisi di atas dapat disimpulkan bahwa penyakit TB

Paru merupakan penyakit infeksi yang menyerang parenkim paru-paru dan

hampir seluruh organ tubuh lainnya seperti ginjal, tulang, dan nodus limfe.

12
Penyakit ini disebabkan oleh mycrobacterium tuberculosis dan bersifat

menahun serta dapat menular kepada orang lain.

2. Etiologi

Mycrobacterium tuberculosis merupakan jenis kuman berbentuk batang

berukuran panjang 1-4 mm dengan tebal 0,3-0,6 mm. Sebagian besar

komponen mycrobacterium tuberculosis adalah berupa lemak/lipid sehingga

kuman mampu tahan terhadap asam serta sangat tahan terhadap zat kimia dan

faktor fisik. Mikroorganisme ini adalah bersifat aerob yakni menyukai daerah

yang banyak oksigen. Oleh karena itu, mycrobacterium tuberculosis senang

tinggal di daerah apeks paru-paru yang kandungan oksigennya tinggi. Daerah

tersebut menjadi tempat yang kondusif untuk penyakit tuberkulosis (Somantri,

2008:59).

3. Anatomi Fisiologi saluran pernapasan

Berikut ini merupakan bagian – bagian dari saluran pernapasan yang sesuai

dengan buku anatomi fisisologi (Muttaqin, 2008:4). Anatomi saluran

pernapasan terdiri atas saluran pernapasan bagian atas (rongga hidung, sinus

paranasal, dan faring),saluran pernapasan bagian bawah (laring, trakhea,

bronkus, dan alveoli), sirkulasi pulmonal (ventrikel kanan, arteri pulmonar,

arteriola pulmonar, kaplier pulmonar, venula pulmonar, vena pulmonar, dan

atrium kiri), paru (paru kanan 3 lobus dan paru kiri 2 lobus), rongga pleura,

dan otot-otot pernapasan. Seperti yang terlihat pada gambar dibawah ini :

13
Gambar 2.1
Organ sistem pernapasan
(sumber: somantri, 2008:4)

a. Saluran pernapasan bagian atas

1) Rongga Hidung

Hidung terdiri atas dua nostril yang merupakan pintu masuk menuju

rongga hidung. Rongga hidung adalah dua kanal sempit yang satu sama

lainnya dipisahkan oleh septum. Dinding rongga hidung dilapisi oleh

mukosa respirasi serta sel epitel batang, bersilia, dan berlapis semu.

Mukosa tersebut menyaring, menghangatkan, dan melembapkan udara

yang masuk melalui hidung. Vestibulum merupakan bagian dari rongga

hidung yang berambut dan berfungsi menyaring partikel-partikel asing

berukuran besar agar tidak masuk ke saluran pernapasan bagian bawah.

Dalam hidung juga terdapat saluran-saluran yang menghubungkan

antara rongga hidung dengan kelenjar air mata, bagian ini dikenal

dengan kantung nasolakrimalis. Kantung nasolakrimalis ini berfungsi

14
mengalirkan air melalui hidung yang berasal dari kelenjar air mata jika

seseorang menangis.

Gambar 2.2
Anatomi hidung dan sinus
(sumber: Somantri, 2008:5)

2) Sinus Paranasal

Sinus paranasal berperan dalam menyekresi mukus, membantu

pengaliran air mata melalui saluran nasolakrimalis, dan membantu

dalam menjaga permukaan rongga hidung tetap bersih dan lembap.

Sinus paranasal juga termasuk dalam wilayah pembau dibagian

posterior rongga hidung. Wilayah pembau tersebut terdiri atas

permukaan inferior palatum kribriform, bagian superior septum nasal,

dan bagian superior konka hidung. Reseptor di dalam epitel pembau ini

akan merasakan sensasi bau (Muttaqin, 2008:5).

15
3) Faring

Faring (tekak) adalah pipa berotot yang bermula dari dasar

tengkorak dan berakhir sampai persambungannya dengan esofagus dan

batas tulang rawan krikoid. Faring terdiri atas tiga bagian yang dinamai

berdasarkan letaknya, yakni nasofaring (di belakang hidung), orofaring

(di belakang mulut), dan laringofaring (di belakang laring) (Muttaqin,

2008:5).

b. Saluran pernapasan bagian bawah

1) Laring

Laring (tenggorok) terletak di antara faring dan trakhea.

Berdasarkan letak vertebra servikalis, laring berada di ruas ke-4 atau

ke-5 dan berakhir di vertebra servikalis ruas ke-6. Laring disusun oleh

9 kartilago yang disatukan oleh ligamen dan otot rangka pada tulang

hioid di bagian atas dan trakhea di bawahnya.

Kartilago yang terbesar adalah kartilago tiroid, dan di depannya

terdapat benjolan subkutaneus atau jakun yang terlihat nyata pada pria.

Kartilago tiroid dibangun oleh dua lempeng besar yang bersatu

dibagian anterior membentuk sebuah sudut seperti huruif V yang

disebut tonjolan laringeal.

16
Kartilago krikoid adalah kartilago berbentuk cincin yang terletak di

bawah kartilago tiroid (ini adalah satu-satunya kartilago yang

berbentuk lingkaran lengkap). Kartilago aritenoid adalah sepasang

kartilago yang menjulang dibelakang krikoid, dan diatasnya terdapat

kartilago kuneiform dan kornukulata yang sangat kecil. Diatas kartilago

tiroid terdapat epiglotis, yang berupa katup dan berfungsi membantu

menutup laring saat menelan makanan (Muttaqin, 2008:6).

Gambar 2.3
Struktur anatomi laring. (a) pandangan anterior, (b) pandangan
posterior, (c) pandangan melintang
(sumber: Simon dan Schuster, (2003) seperti dikutip oleh Muttaqin
(2008:13) )

a) Pita suara

Pita suara terletak di dalam laring dapat dilihat pada gambar

2.3. ujung posterior pita suara melekat pada kartilago aritenoid.

Pergerakan kartilago dilakukan otot laringeal yang membuat pita

17
suara dapat menegang dan mengendur sehingga menimbulkan

beragam tekanan (Muttaqin, 2008:6).

b) Produksi suara

Udara yang melintasi glotis akan menggetarkan dan

memvibrasi pita suara sehingga menghasilkan gelombang bunyi.

Ada tiga faktor yang mempengaruhi nada suara yang dihasilkan

yakni diameter, panjang, dan tekanan di dalam pita suara. Diameter

dan panjang pita suara ditentukan langsung oleh ukuran laring,

sedangkan tekanan pita suara diatur melalui kontraksi oto-otot

rangka yang mengubah posisi kartilago aritenoid secara relatif

terhadap kartilago tiroid. Ketika jaraknya menjauh, maka pita suara

meregang dan nada suara menjadi naik. Saat jaraknya mendekat,

maka pita suara mengendur sehingga nada suara menurun.

Dari segi anatomis, anak- anak mempunyai pita suara lebih

pendek sehingga nada suaranya cenderung lebih melenting. Pada

masa pubertas, laring laki-laki menjadi lebih besar dari wanita. Pita

suara pada pria dewasa lebih panjang dan lebar sehingga

menghasilkan nada yang lebih rendah dan berat dibandingkan

dengan wanita dewasa.

Fonasi adalah salah satu komponen cara berbicara, dan cara

berbicara yang jelas memerlukan artikulasi. Artikulasi dapat

18
memodifikasi berbagai bunyi-bunyian yang dihasilkan oleh struktur

penunjang. Pada alat musik bersenar seperti gitar, kualitas bunyinya

tidak semata-mata dihasilkan oleh denting senarnya saja, melainkan

juga didukung oleh keseluruhan tubuh gitarnya. Hal serupa juga

terjadi dalam laring, karena amplikasi dan resonansi juga terjadi di

dalam faring, rongga mulut, rongga hidung, dan sinus pranasal.

Kombinasi itulah yang menyebabkan suara setiap orang berbeda-

beda, dan hasil akhir bunyi kata-kata yang diucapkan bergantung

pada pergerakan irama lidah, dan pipi (Muttaqin, 2008:6).

2) Trakhea

Trakhea adalah sebuah tabung yang berdiameter 2,5 cm dengan

panjang 11 cm. Trakhea terletak setelah laring dan memanjang ke

bawah setara dengan vertebra torakalis ke-5. Ujung trakhea bagian

bawah bercabang menjadi dua bronkhus (bronkhi) kanan dan kiri.

Percabangan bronkhus kanan dan kiri dikenal sebagai karina (carina).

Trakhea tersusun atas 16-20 kartilago hialin berbentuk huruf C yang

melekat pada dinding trakhea dan berfungsi untuk melindungi jalan

udara. Kartilago ini juga berfungsi untuk mencegah terjadinya kolaps

atau ekspansi berlebihan akibat perubahan tekanan udara yang terjadi

dalam sistem pernapasan.bagian terbuka dari bentuk C kartilago

trakhea ini saling berhadapan secara posterior ke arah esofagus dan

disatukan oleh ligamen elastis dan otot polos (Muttaqin, 2008:7).

19
Gambar 2.4
(a) Ilustrasi trakhea (b) gambar melintang trakhea
(sumber: Simon dan Schuster, 2003 seperti dikutip oleh
Muttaqin (2008:13))

4) Bronkhus

Bronkhus mempunyai struktur dengan trakhea. Bronkhus kiri dan

kanan tidak simetris. Bronkhus kanan lebih pendek, lebih lebar, dan

arahnya hampir vertikal dengan trakhea. Sebaliknya, bronkus kiri lebih

panjang, lebih sempit, dan sudutnya pun lebih runcing. Bentuk anatomi

yang khusus ini memliki implikasi klinis tersendiri seperti jika ada

benda asing yang terinhalasi, maka benda itu lebih memungkinkan

berada di bronkhus kanan dibandingkan dengan bronkhus kiri karena

arah dan lebarnya (Muttaqin, 2008:7).

20
a) Bronkhus pulmonaris

Bronkhus pulmonaris bercabang dan beranting sangat banyak.

Cabang utama bronkhus memiliki struktur serupa trakhea. Dinding

bronkhus dan cabang-cabangnya dilapisi epitelium batang, bersilia,

dan berlapis semu. Saluran yang semakin kecil menyebabkan jenis

epitelium bronkhus mengalami penyesuaian sesuai dengan

fungsinya.

Bronkhiolus terminalis disebut saluran penghantar udara karena

fungsi utamanya adalah mengantarkan udara ke tempat pertukaran

gas di paru. Selain bronkhiolus terminalis terdapat pula asinus yang

merupakan unit fungsional paru sebagai tempat pertukaran gas.

Asinus terdiri atas bronkhiolus respiratorius dan duktus alveolaris

(alveolar duct) yang seluruhnya dibatasi dan sakus alveolus

terminalis –yang merupakan struktur akhir paru.

b) Duktus Alveolaris dan Alveoli

Bronkhus respiratorius terbagi dan bercabang menjadi beberapa

duktus alveolaris dan berakhir pada kantung udara berdinding tipis

yang disebut alveoli. Beberapa alveoli bergabung membentuk sakus

alveoris. Setiap paru terdiri atas sekitar 150 juta alveoli (sakus

alveoli). Kepadatan sakus alveolaris inilah yang memberi bentuk

paru tampak seperti spons. Jaringan kapiler darah mengelilingi

alveoli ditahan oleh serat elastis. Jaringan elastis ini menjaga posisi

21
antara alveoli dengan bronkhiolus respiratorius. Adanya daya rekoil

dari serat ini selama ekspirasi akan mengurangi ukuran alveoli dan

membantu mendorong udara agar keluar dari paru-paru.

5) Paru

Paru merupakan organ yang elastis, berbentuk kerucut, dan terletak

dalam rongga thoraks. Kedua paru dipisahkan oleh mediastinum sentral

yang berisi jantung dan beberapa pembuluh darah besar. Dimana paru

kanan itu lebih besar, lebar dan pendek dari paru kiri, mempunyai tiga

lobus dan menangani 55% pertukaran gas. Sedangkan paru kiri

mempunyai dua lobus. Dan Lobus-lobus tersebut dibagi menjadi

beberapa segmen, yaitu 10 segmen pada paru kanan dan 9 segmen pada

paru kiri (Muttaqin, 2008:13).

Gambar 2.5
Paru-paru
(sumber: Somantri, 2008:9)

22
Gambar 2.6
Penampangan lobus-lobus pada paru
(sumber: Simon dan Schuster (2003) seperti dikutip oleh Muttaqin
(2008:13))

4. Patofisiologi

Seorang yang dapat terdiagnosis TB paru karena ia berada di lingkungan

yang terdapat basil mycrobacterium tuberculosis dengan daya tahan tubuh yang

menurun. Bakteri ini menyebar melalui jalan napas menuju alveoli lalu

berkembang biak dan terlihat bertumpuk. Perkembangan mycrobacterium

tuberculosis juga dapat menjangkau sampai ke area lain dari paru-paru (lobus

atas). Basil juga menyebar melalui sistem limfe dan aliran darah ke bagian tubuh

lain (ginjal, tulang, dan korteks serebri) dan area lain dari paru-paru (lobus atas).

Selanjutnya, sistem kekebalan tubuh memberikan respons dengan melakukan

reaksi inflamasi. Neutrofil dan makrofag melakukan aksi fagositosis (menelan

bakteri), sementara limfosit spesifik-tuberkulosis menghancurkan (melisiskan)

basil dan jaringan normal. Reaksi jaringan ini mengakibatkan terakumulasinya

eksudat dalam alveoli yang menyebabkan bronkopneumoni. Infeksi awal

biasanya timbul dalam waktu 2-10 minggu setelah terpapar bakteri.

23
Interaksi antara mycrobacterium tuberculosis dan sistem kekebalan tubuh

pada masa awal infeksi membentuk sebuah massa jaringan baru yang disebut

granuloma. Granuloma terdiri atas gumpalan basil hidup dan mati yang

dikelilingi oleh makrofag seperti dinding. Granuloma selanjutnya berubah bentuk

menjadi massa jaringan fibrosa. Bagian tengah dari massa tersebut disebut ghon

tubercle. Materi yang terdiri atas makrofag dan bakteri menjadi nekrotik yang

selanjutnya membentuk materi yang penampakannya seperti keju (necrotizing

caseosa). Hal ini akan menjadi klasifikasi dan akhirnya membentuk jaringan

kolagen, kemudian bakteri menjadi nonaktif.

Setelah infeksi awal, jika respons sistem imun tidak adekuat maka penyakit

akan menjadi lebih parah. Penyakit yang kian parah dapat timbul akibat infeksi

ulang atau bakteri yang sebelumnya tidak aktif kembali menjadi aktif. Pada kasus

ini, ghon tubercle mengalami ulserasi selanjutnya menjadi sembuh dan

membentuk jaringan parut. Paru-paru yang terinfeksi kemudian meradang,

mengakibatkan timbulnya bronkopneumonia, membentuk tuberkel, dan

seterusnya. Pneumonia seluler ini dapat sembuh dengan sendirinya. Proses ini

berjalan terus dan basil terus difagosit atau berkembang biak di dalam sel.

Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian

bersatu membentuk sel tuberkel epiteloid yang dikelilingi oleh limposit

(membutuhkan 10-20 hari). Daerah yang mengalami nekrosis dan jaringan

granulasi yang dikelilingi sel epiteloid dan fibroblas akan menimbulkan respon

24
berbeda , kemudian pada akhirnya akan membentuk suatu kapsul yang dikelilingi

oleh tuberkel (Somantri, 2008:60).

5. Manifestasi Klinik

Tanda gejala yang muncul pada penderita dengan TB Paru berdasarkan Amin

dan Hardhi (2015:210), yaitu :

1) Demam 40-410C, serta ada batuk/batuk darah

2) Sesak nafas dan nyeri dada

3) Malaise, berat badan menurun, keringat malam

4) Suara khas pada perkusi dada, bunyi dada

5) Peningkatan sel darah putih dengan dominasi limfosit

Sedangkan tanda gejala yang muncul pada penderita dengan TB Paru

menurut Suddarth (2002:585), tuberculosis paru termasuk insidius. Sebagian

besar pasien menunjukan demam, keletihan, anoreksia, penurunan berat badan,

berkeringat malam, nyeri dada, dan batuk menetap.

Berdasarkan tanda dan gejala di atas dapat disimpulkan bahwa penderita

dengan TB Paru tanda gejala yang sering muncul yaitu demam, keringat malam,

sesak napas, anoreksia, malaise, penurunan berat badan dan batuk menetap.

25
6. Pemeriksaan diagnostik

Pemeriksaan diagnostik yang dilakukan pada klien dengan tuberculosis

paru menurut Mansjoer, dkk (1999) seperti yang dikutip oleh Amin dan Hardhi

(2015:212), yaitu :

a. Laboratorium darah rutin : LED normal / meningkat, limfositosis.

b. Pemeriksaan sputum BTA : memastikan diagnostik TB Paru, namun

pemeriksaan ini tidak spesifik karena hanya 30-70 % pasien yang dapat

didiagnostik berdasarkan pemeriksaan ini.

c. Tes PAP (peroksidase Anti Peroksidase) : Tes ini merupakan uji serologi

imunoperoksidase memakai alat histogen staining untuk menentukan

adanya IgG spesifik terhadap basil TB.

d. Test Mantoux/Tuberkulin : Test Mantoux/Tuberkulin merupakan uji

serologi imunoperoksidase memakai alat histogen staining untuk

menentukan adanya IgG spesifik terhadap basil TB.

e. Teknik polymerase chain reaction.

f. Deteksi DNA kuman secara spesifik melalui amplifikasi dalam meskipun

hanya satu mikroorganisme dalam spesimen juga dapat mendeteksi adanya

resitensi.

g. Pemeriksaan radiology : rongten thorax PA dan lateral. Hasil photo thorax

yang menunjang diagnosis TB, adalah sebagai berikut :

1) bayangan lesi terletak dilapangan paru atas atau segment aplikasi

lobus,

26
2) bayangan berwarna (pathcy) atau bercak (nodular),

3) adanya kavitas, tunggal atau ganda,

4) kelainan bilateral terutama dilapangan atas paru,

5) adanya klasifikasi,

6) bayangan menetap pada poto ulang beberapa minggu kemudian, dan

7) bayangan millie.

7. Manajemen M edik

Pengobatan tuberculosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3

bulan) dan fase lanjutan (4-7 bulan). Paduan obat yang digunakan terdiri dari

paduan obat utama dan tambahan. Jenis obat utama yang digunakan sesuai

dengan rekomendasi WHO adalah Ripamfisin, isoniazid, pirazinamid,

streptomisin, dan etambutol menurut Depkes RI (2004) seperti yang dikutip

oleh Muttaqin (2012:80), yaitu :

Untuk program nasional pemberantasan TB Paru, WHO menganjurkan

panduan obat sesuai dengan kategori penyakit. Kategori didasarkan pada

urutan kebutuhan pengobatan dalam program untuk itu, penderita dibagi dalam

empat kategori sebagai berikut.

a. KATEGORI I

Kategori I adalah kasus baru dengan sputum positif dan penderita

dengan keadaan yang berat seperti meningitis, TB milier, perikarditis,

pleuritis masif atau bilateral, spondiolitis dengan gangguan neurologis, dan

27
penderita dengan sputum negatif tetapi kelainan parunya luas, TB usus, TB

saluran perkemihan dan sebagainya.

Dimulai dengan fase 2 HRZS(E) obat diberikan setiap hari selama dua

bulan. Bila setelah dua bulan sputum masih tetap positif, maka fase intensif

di perpanjang 2-4 minggu lagi (dalam program P2TB Depkes diberikan

satu bulan dan dikenal sebagai obat sisipan), kemudian diteruskan dengan

fase lanjutan tanpa melihat apakah sputum sudah negatif atau belum. Fase

lanjutannya adalah 4 HR atau 4 H3R3. Pada penderita meningitis, TB

milier, spondiolitis dengan kelainan neurologis, fase lanjutan diberikan

lebih lama, yaitu 6-7 bulan hingga total pengobatan 8-9 bulan. Sebagai

panduan alternatif pada fase lanjutan ialah 6 HE.

b. KATEGORI II

Kategori II adalah kasus kambuh atau gagal dengan sputum tetap positif.

Fase intensif dalam bentuk 2 HRZES-1 HRZE. Bila setelah fase intensif

sputum menjadi negatif, baru diteruskan ke fase lanjutan. Bila setelah tiga

bulan sputum masih tetap positif, maka fase intensif diperpanjang 1 bulan

lagi dengan HRZE ( juga dikenal sebagai obat sisipan ). Bila setelah empat

bulan sputum masih tetap positif, maka pengobatan dihentikan 2-3 hari.

Kemudian, periksa biakan dan uji resistensi lalu pengobatan diteruskan

dengan fase lanjutan.

Bila penderita mempunyai data resistensi sebelumnya dan ternyata

bakteri masih sensitif terhadap semua obat dan setelah fase intensif sputum

28
menjadi negatif maka fase lanjutan dapat diubah seperti kategori I dengan

pengawasan ketat. Bila data menunjukan resistensi terhadap H atau R,

maka kemungkinan keberhasilan pengobatan kecil. Fase lanjutan adalah 5

H3R3E3 bila dapat dilakukan pengawasan atau 5 HRE bila tidak dapat

dilakukan pengawasan.

c. KATEGORI III

Kategori III adalah kasus dengan sputum negatif tetapi kelainan

parunya tidak luas dan kasus TB di luar paru selain yang disebut dalam

kategori I. Pengobatan yang diberikan :

1) 2 HRZ/6 HE

2) 2 HRZ/4 HR

3) 2 HRZ/4 H3R3

d. KATEGORI IV

Kategori IV adalah tuberkulosis kronis. Prioritas pengobatan rendah

karena kemungkinan keberhasilan pengobatan kecil sekali. Untuk negara

kurang mampu dari segi kesehatan masyarakat, dapat diberikan H saja

seumur hidup. Untuk negara maju atau pengobatan secara individu

(penderita mampu), dapat dicoba pemberian obat berdasarkan uji resisten

atau obat lapis kedua seperti Quinolon, Ethioamide, sikloserin, Amikasin,

Kanamisin, dan sebagainya.

Panduan dalam mengobati penderita TB terdiri atas beberapa panduan

obat seperti dijelaskan menurut Amin dan Hardhi (2015:213), berikut ini:

29
1) Obat anti Tuberkulosis (OAT)

a) INH

Dosis 5 mg/kg BB, maksimal 300 mg, 10 mg/kg BB 3 kali seminggu,

15 mg/kg BB 2 kali seminggu atau 300 mg/har

Untuk dewasa. Intermiten : 600 mg/kali.

b) Ripamfisin

Dosis 10 mg/kg BB, maksimal 600mg 2-3x/ minggu atau

BB > 60 kg : 600 mg

BB 40-60 kg : 450 mg

BB < 40 kg : 300 mg

Dosis intermiten 600 mg/kali.

c) Pirazinamid

Dosis fase intensif 25 mg/kg BB, 35 mg/kg BB 3 kali seminggu, 50

mg/kg BB 2 kali seminggu, 50 mg/kg BB 2 kali seminggu.

BB > 60 kg : 1500 mg\

BB 40-60 kg : 1000 mg

BB < 40 kg : 750 mg

d) Streptomisin

Dosis 15 mg/kg BB atau

30
BB > 60 kg : 1000 mg

BB 40-60 kg : 750 mg

BB < 40 kg : sesuai BB

e) Etambutol

Dosis fase intensif 20 mg/kg BB, fase lanjutan 15 mg/kg BB, 30

mg/kg BB 3x seminggu, 45 mg/kg BB 2x seminggu

BB > 60 kg : 1500 mg

BB 40-60 kg : 1000 mg

BB < 40 kg : 750 mg

Dosis intermiten 40 mg/kgBB/kali

Tabel 2.1
Efek samping ringan dari OAT
Efek samping Penyebab Penangan
Tidak nafsu makan, mual, Obat diminum malam sebelum
Rifampisin
sakit perut tidur
Nyeri sendi Pyrazinamid Beri aspirin/allopurinol
Kesemutan s/d rasa terbakar Beri vitamin B6 (piridoksin)
INH
dikaki 100 mg perhari
Warna kemerahan pada air Beri penjelasan, tidak perlu
Rifampisin
seni diberi apa-apa

31
Tabel 2.2
Efek samping berat dari OAT
Efek samping Penyebab Penangan
Gatal dan kemerahan pada Semua jenis OAT Beri anthisimin dan dievaluasi
kulit ketat
Tuli treptomisin Streptomisin dihentikan

Gangguan keseimbangan Streptomisin Streptomisin dihentikan

Hentikan semua OAT &


Ikterik Hampir semua OAT
lakukan uji fungsi hati
Gangguan penglihatan Ethambutanol Hentikan ethambutanol
Purpura dan renjatan (syok) Rifampisin Hentikam rifampisin
(Sumber: Nurarif Huda Amin, Hardhi Kusuma (2015:215))

8. Komplikasi Pada TB paru

Pada pasien dengan TB paru juga mengalami komplikasi sesuai dengan buku

Asuhan keperawatan sistem pernapasan (Muttaqin, 2008:87), yaitu :

a. efusi pleura,

b. pneumothoraks,

c. abses paru masif dan

d. hidropneumothoraks.

32
B. Konsep Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian

Pengkajian adalah langkah pertama dari proses keperawatan dengan

mengumpulkan data-data akurat dari klien sehingga akan diketahui berbagai

permasalahn yang ada (Aziz,2008: 98).

a. Pengumpulan data

Pengumpulan data merupakan upaya untuk mendapatkan data yang dapat

digunakan sebagai informasi tentang klien (Aziz,2008: 99).

1) Identitas

Nama pasien, umur, suku/bangsa, status perkawinan, agama,

pendidikan, alamat, tanggal masuk rumah sakit, orang yang

dihubungi, jenis kelamin, usia, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan,

no register, tanggal pengkajian, ruangan, diagnosa.

2) Riwayat kesehatan

Riwayat kesehatan yang dikaji meliputi data saat ini dan data yang

telah lalu. Perawat juga mengkaji keadaan pasien dan keluarganya.

Kajian tersebut berfokus kepada manifestasi klinik sesuai dengan

buku Asuhan keperawatan sistem pernapasan (Muttaqin, 2008:82),

berupa :

33
a) Keluhan utama

Tuberkulosis sering dijuluki the great imitator, yaitu suatu

penyakit yang mempunyai banyak kemiripan dengan penyakit

lain yang memberikan gejala umum seperti lemah dan demam.

Pada sejumlah klien gejala yang timbul tidak jelas sehingga

diabaikan bahkan kadang-kadang asimptomik. Keluhan yang

sering menyebabkan klien dengan TB paru meminta pertolongan

dari tim kesehatan dibagi dua golongan, yaitu :

(1) Keluhan respiratoris meliputi :

(a) Batuk

Keluhan batuk timbul paling awal dan merupakan

gangguan yang paling sering dikeluhkan. Perawat harus

menanyakan apakah keluhan batuk bersifat non-

produktif/produktif atau sputum bercampur darah

(b) Batuk darah

Keluhan batuk darah pada klien dengan TB paru selalu

menjadi alasan utama klien untuk meminta pertolongan

kesehatan. Hal ini disebabkan rasa takut klien pada darah

yang keluar dari jalan napas. Perawat harus menanyakan

seberapa banyak darah yang keluar atau hanya berupa

blood strek, berupa garis, atau bercak-bercak darah.

34
(c) Sesak napas

Keluhan sesak napas ditemukan bila kerusakan parenkim

paru sudah luas atau karena ada hal-hal yang menyertai

seperti eufusi pleura, pneumothoraks, anemia, dan lain-

lain.

(d) Nyeri dada

Nyeri dada pada TB paru termasuk nyeri pleuritik ringan.

Gejala ini timbul apabila sistem persyarafan di pleura

terkena TB.

(2) Keluhan sistemis, meliputi :

(a) Demam

Keluhan yang sering di jumpai dan biasanya timbul pada

sore atau malam hari mirip demam influenza, hilang

timbul, dan semakin lama panjang serangannya,

sedangkan masa bebas serangan semakin pendek

(b) Keluhan sistemis lain

Keluhan yang biasa timbul ialah keringat malam,

anoreksia, penurunan berat badan dan malaise.timbulnya

keluhan biasanya bersifat gradual muncul dalam beberapa

minggu-bulan. Akan tetapi penampilan akut dengan batuk,

panas, dan sesak napas-walaupun jarang dapat juga timbul

menyerupai gejala pneumonia.

35
b. Riwayat kesehatan saat ini

Pengkajian ini dilakukan untuk mendukung keluhan utama. Lakukan

pertanyaan yang bersifat ringkas sehingga jawaban yang diberikan klien

hanya kata “Ya” atau “Tidak” atau hanya dengan anggukan dan

gelengan kepala. Apabila keluhan utama batuk, maka perawat harus

menanyakan sudah berapa lama keluhan batuk muncul (onset).

Keluhan batuk timbul paling awal dan merupakan gangguan yang

paling sering dikeluhkan, mula-mula non-produktif kemudian berdahak

bahkan bercampur darah bila sudah terjadi kerusakan jaringan. Batuk

akan timbul apabila proses penyakit telah melibatkan bronkhus, batuk

akan menjadi produktif yang berguna untuk membuang produk ekresi

peradangan dengan sputum yang bersifat mukoid atau purulen.

Tanyakan selama keluhan batuk muncul, apakah ada keluhan lain

seperti demam, keringat malam, atau menggil yang mirip demam

influenza karena keluhan demam dan batuk merupakan gejala awal dari

TB paru. Tanyakan apakah batuk disertai sputum yang kental atau tidak,

serta apakah klien mampu untuk melakukan batuk efektif untuk

mengeluarkan sekret yang menempel pada jalan napas.

Apabila keluhan utama adalah batuk darah, maka perlu ditanyakan

kembali berapa banyak darah yang keluar. Saat melakukan anamnesis,

perawat perlu meyakinkan pada klien tentang perbedaan antara batuk

36
darah dan muntah darah, karena pada keadaan klinis, hal ini sering

menjadi rancu (Muttaqin, 2008:83).

Klien TB Paru sering menderita batuk darah. Adanya batuk darah

menimbulkan kecemasan pada diri klien karena batuk darah sering

dianggap sebagai suatu tanda dari beratnya penyakit yang diidapnya.

Kondisi seperti ini seharusnya tidak terjadi jika perawat memberikan

pelayanan keperawatan yang baik pada klien dengan memberi

penjelasan tentang kondisi yang sdang terjadi pada dirinya. Barnett

dalam Roper (1996) dikutip oleh Muttaqin (2008:36) mengatakan

bahwa adanya hubungan teurapetik dengan menjelaskan kepada klien

mengenai apa yang akan terjadi pada dirinya dapat mengurangi kadar

tingkat kecemasannya.

Tabel 2.3
Perbedaan batuk darah dan muntah darah

Tanda Batuk Darah Muntah Darah Epistaksis


Sumber perdarahan Saluran pernapasan Saluran Di Hidung
bagian bawah gastrointestinal
Cara keluar darah Dibatukan dan rasa Dimuntahkan Darah menetes
panas di tenggorokan dengan rasa mual dari hidung
Gejala awal Rasa gatal di Rasa mual dan Demam
tenggorokan dan ada kemudian
rangsangan batuk dimuntahkan
Warna Darah Merah lebih terang Merah lebih tua dan Darah berwarna
dan segar karena gelap karena merah segar
bercampur dengan bercampur dengan
oksigen di jalan asam lambung
napas
Ciri khas darah Darah segar, berbuih, Sering bercampur
dan berwarna merah makanan dan asam
muda lambung

37
Batuk darah diklasifikasikan berdasarkan jumlah yang

dikeluarkan menurut Rab (1998) dikutip oleh Muttaqin

(2008:85), yaitu :

1. Batuk darah masif, darah yang dikeluarkan adalah lebih

dari 600 cc/24 jam.

2. Batuk darah sedang, darah yang dikeluarkan 250-600

cc/24 jam.

3. Batuk darah ringan, darah yang dikeluarkan dari 250 cc/24

jam.

c. Riwayat penyakit dahulu

Pengkajian yang mendukung adalah dengan mengkaji apakah

sebelumnya klien pernah menderita TB paru, keluhan batuk lama pada

masa kecil, tuberkulosis dari organ lain, pembesaran getah bening, dan

penyakit lain yang memperberat TB paru seperti diabetes melitus.

Tanyakan mengenai obat-obat yang biasa diminum oleh klien pada

masa yang lalu yang masih relevan, obat-obatan ini meliputi OAT dan

antitusif. Catat adanya efek samping yang terjadi di masa lalu. Adanya

alergi obat juga harus ditanyakan serta reaksi alergi yang timbul. Sering

kali klien mengacaukan suatu alergi dengan efek samping obat. Kaji

lebih dalam tentang seberapa jauh penurunan berat badan (BB) dalam

enam bulan terakhir. Penurunan BB pada klien dengan TB paru

berhubungan dengan proses penyembuhan penyakit serta adanya

38
anoreksia dan mual yang sering disebabkan karena meminum OAT

(Muttaqin, 2008:86).

d. Riwayat kesehatan keluarga

Secara patologi TB Paru tidak diturunkan, tetapi perawat perlu

menanyakan apakah penyakit ini pernah dialami oleh anggota keluarga

lainnya sebagai faktor predisposisi penularan di dalam rumah. Penyakit

infeksi tertentu khusunya tuberculosis ditularkan melalui satu orang ke

orang lainnya. Manfaat menanyakan riwayat kontak dengan orang

terinfeksi akan dapat diketahui sumber penularannya (Muttaqin, 2008:86).

e. Genogram

Sesuai dengan buku Konsep & Anatomi Dokumentasi Keperawatan

(Setiadi, 2012:16) tahap genogram ini mengkaji tiga generasi atau

keturunan dari keluarga klien untuk mengetahui adanya riwayat

keturunan atau riwayat penyakit yang sama.

3) Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan dilakukan dengan teknik inspeksi, palpasi, perkusi,

dan auskulasi.

a) Penampilan umum

Keadaan klien TB Paru biasanya ditemukan keluhan sesak

nafas, lemah, lesu, penurunan, nafsu makan (penurunan BB),

respirasi yang meningkat, nadi cepat terutama bisa demam,

39
berkeringat malam, adanya peningkatan suhu mencapai 40-41oC

(Santa Manurung, dkk, 2013:105).

b) Pemeriksaan sistematik

(1) Sistem respirasi

Bentuk dada dan gerakan pernapasan, sekilas pandangan

klien dengan TB paru biasanya tampak kurus sehingga

terlihat adanya penurunan proporsi diameter bentuk dada

anterior-posterior dibandingkan proporsi diameter lateral.

Apabila ada penyulit dari TB paru seperti adanya efusi pleura

yang masif, maka terlihat adanya ketidaksimetrisan rongga

dada. Apabila dengan klien yang tidak dengan komplikasi

biasanya gerakan pernapasannya tidak mengalami perubahan

atau pun sebaliknya, jika terdapat komplikasi yang

melibatkan kerusakan luas pada parenkim paru biasanya klien

terlihat mengalami sesak nafas, peningkatan frekuensi napas

dan menggunakan otot bantu.

Tanda lainnya adalah klien TB Paru juga mengalami efusi

pleura yang masif, pneumotoraks, abses paru masif, dan

hidropneumothoraks. Sehingga dari tanda-tanda tersebut

membuat pergerakan pernapasan menjadi tidak simetris.

Selain itu, tanda lain yang muncul pada klien dengan TB paru

minimal tanpa komplikasi, biasanya akan didapatkan bunyi

40
resonan atau sonor pada seluruh lapang paru. Sedangkan pada

klien yang disertai komplikasi seperti efusi pleura akan di

dapatkan bunyi redup sampai pekak pada sisi yang sakit

sesuai dengan banyaknya akumulasi cairan di rongga pleura.

Kemudian pada klien TB paru didapatkan bunyi napas

tambahan (ronkhi) sedangkan klien dengan TB paru yang

disertai komplikasi seperti efusi pleura akan didapatkan

penurunan resonan vokal pada sisi yang sakit (Muttaqin,

2008:88).

(2) Sistem kardiovaskuler

Pada tuberculosis yang lanjut akan ditemukan tanda-tanda

seperti sianosis, tekanan vena jugularis yang meningkat.

Meraba arteri radialis teraba denyut nadi yang cepat dan kuat

serta tekanan darah meningkat (Muttaqin, 2008:86).

(3) Sistem Gatrointestinal

Bibir kering, klien mengeluh mual, muntah, penurunan berat

badan (Muttaqin, 2008:89).

(4) Sistem persyarafan

Data yang dikaji meliputi pemeriksaan 12 saraf kranial.

Biasanya pada klien yang mengalami tuberculosis, jarang

ditemukan adanya gangguan pada sistem persyarafan (Juda,

2012:43).

41
(5) Sistem integumen

Sianos pada daerah perifer, turgor menurun, pada malam hari

berkeringat, ekstermitas teraba dingin, dan adanya

peningkatan suhu 40-41oC (Muttaqin, 2008:88).

(6) Sistem Muskuloskeletal

Klien tampak lemah, kelelahan, insomnia, aktivitas dibantu

orang lain, terdapat nyeri sendi dan tonus otot menurun,

olahraga menjadi tidak teratur (Muttaqin, 2008:89).

(7) Sistem Perkemihan

Pengukuran volume output urine berhubungan dengan intake

cairan. Oleh karena itu, perawat perlu memonitor adanya

oliguria karena hal tersebut merupakan tanda awal dari syok.

Klien diinformasikan agar terbiasa dengan urine yang

berwarna jingga pekat dan berbau yang menandakan fungsi

ginjal masih normal sebagai ekskresi karena meminum OAT

terutama Ripamfisin (Muttaqin, 2008:88).

4) Pola Aktivitas Sehari-hari

a) Pola nutrisi

Kaji pola kebiasaan makan sebelum dan sesudah sakit di lihat

dari frekuensi, jenis, Diet khusus, pantangan, makanan yang

disukai, kesulitan menelan, porsi dan keluhan. Serta kaji

kebiasaan minum dari jenis, frekuensi, kebiasaan, pantangan,

42
keluhan dn jumlah dalam cc/hari. Biasanya klien dengan

tuberculosis paru, pengalaman penurunan nafsu makan dengan

porsi makan yang tidak habis (Setiadi, 2012:108).

b) Pola eliminasi

Perawat mengkaji kebiasaan BAB/hari, konsisten, frekuensi serta

warna bau, keluhan dan kaji BAK klien dengan baik dalam

frekuensi, jumlah dalam cc serta warna dan keluhan. Pada saat

BAK frekuensi, warna,bau dan keluhan (Setiadi, 2012:108).

c) Pola istirahat dan tidur

Kaji kebiasaan tidur siang dan malam baik mulai tidur, jumlah

jam tidur serta kebiasaan klien menjelang tidur ( membaca,

berdoa, dan lain-lain), kesulitan tidur, kebiasaan penggunaan obat

tidur, keluhan. Biasanya pada klien dengan TB paru mengalami

kesulitan tidur karena batuk dan sering sesak sehingga klien

sering terbangun (Setiadi, 2012:108).

d) Pola Personal Hygiene

Kaji mengenai kebiasaan mandi, menggosok gigi, mencuci

rambut, gunting kuku serta berpakaian. Biasanya pada klien

dengan TB Paru yang dirawat dirumaPh sakit akan mengalami

perubahan personal hygiene (Muttaqin, 2008:89).

43
e) Pola aktivitas

Kaji pola aktivitas klien sebelumnya selama sakit baik itu latihan

olahraga, jenis pekerjaan, lama bekerja, frekuensiolahraga,

kegiatan diwaktu luang dan keluhan.. Biasanya pada klien dengan

TB Paru yang sedang sakit sulit untuk melakukannya aktivitas

sesuai dengan keinginannya. Klien TB paru secara umum

aktivitas yang bertanggung biasanya berhubungan dengan nutrisi,

karena adanya mual dan anoreksia, istirahat tidur sering

terganggu karena adanya sesak nafas dan batuk, personal hygiene

serta pola aktivitas dan latihannya yang terganggu karena adanya

kelemahan fisik (Muttaqin, 2008:89).

5) Aspek Psikososial

Meliputi konsep diri (persepsi, peran diri, identitas diri, ideal diri dan

harga diri). Data tersebut biasanya didapatkan gangguan konsep diri

dikarenakan cemas, yang dialami pada pasien dengan TB paru, dan

gangguan harga diri terhadap penyakit yang dialaminya

6) Data sosial dan Budaya

Data yang dikaji mengenai sosisal budaya meliputi komunikasi dan

interaksi klien dengan orang lain seperti dengan petugas kesehatan,

keluarga klien, dan warga sekitar lingkungan klien.

7) Data spiritual

44
Menyangkut masalah keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa,

harapan klien terhadap kesembuhannya dan pandangan klien

terhadap penyakitnya serta keinginan yang dilakukan saat ini.

f. Analisa Data

Analisa data adalah kemampuan mengaitkan data dan menghubungkan

data tersebut dengan konsep, teori, dan prinsip yang relevan untuk

membuat kesimpulan dalam menentukan masalah kesehatan dan

keperawatan klien, (Setiadi, 2012 :167).

2. Diagnosa Keperawatan

North American Nursing Diagnosis Association (NANDA) menyatakan

bahwa diagnosis keperawatan adalah keputusan klinik mengenai respons

individu (klien dan masyarakat) tentang masalah kesehatan aktual atau

potensial sebagai dasar seleksi intervensi keperawatan untuk mencapai tujuan

asuhan keperawatan sesuai dengan kewenangan perawat. Semua diagnosis

keperawatan harus didukung oleh data, hal ini menurut NANDA diartikan

sebagai definisi karakteristik. Definisi karakteristik tersebut dinamakan tanda

dan gejala. Tanda adalah sesuatu yang dapat diobservasi dan gejala adalah

sesuatu yang dirasakan (Nursalam, 2011:59).

Dalam penulisan pernyataan diagnosis keperawatan meliputi tiga komponen

yaitu, komponen P (Problem), komponen E (Etiologi) dan komponen S

(Sintom atau dikenal dengan batasan karakteristik). Dengan demikian cara

membuat diagnosis keperawatan adalah dengan menentukan masalah

45
keperawatan yang terjadi, kemudian mencari penyebab dari masalah yang ada

(Alimul aziz, 2008:106).

Masalah keperawatan yang dapat terjadi pada klien TB Paru dapat berupa

(Muttaqin, 2008:94) :

a. Ketidakefektifan pola pernapasan berhubungan dengan menurunnya

ekspansi paru sekunder terhadap penumpukan cairan dalam rongga

pleura.

b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan

anoreksia.

c. Gangguan istirahat tidur berhubungan dengan peningkatan sputum

disertai adanya batuk terus menerus.

d. Risiko terhadap tranmisis infeksi yang berhubungan dengan kurangnya

pengetahuan tentang risiko patogen.

e. Kurangnya pengetahuan tentang penyakit TB Paru berhubungan dengan

kurangnya informasi.

3. Perencanaan Tindakan Keperawatan

Perencanaan adalah bagian dari fase pengorganisasian dalam proses

keperawatan yang meliputi tujuan perawatan. Penetapan, pemecahan masalah

dan menentukan tujuan [erencanaan untuk mengenai masalah pasien (Alimul

Aziz,2008: 117).

Intervensi pada buku ini dikutip dari Doengoes dan Moorhouse (2000)

Rencana asuhan keperawatan pada pasien dengan tuberculosis paru-paru :

46
a. Ketidakefektifan pola pernapasan berhubungan dengan menurunnya

ekspansi paru sekunder terhadap penumpukan cairan dalam rongga pleura

Tujuan : setelah diberikan intervensi pola nafas kembali efektif

Kriteria Hasil :

1) Klien mampu melakukan batuk efektif.

2) Irama, frekuensi,

3) kedalaman pernapasan berada pada batas normal

4) pada pemeriksaan rontgen dada tidak ditemukan adanya akumulasi

cairan, dan bunyi nafs terdengar jelas.

Tabel 2.4
Intervensi ketidakefektifan pola napas

Intervensi Rasional
1. Kaji fungsi pernapasan, catat kecepatan 1. Distres pernapasan dan perubahan tanda
pernapasan, dipsnea,sianosis, dan vital dapat terjadi sebagai akibat stres
perubahan tanda vital. fisiologi dan nyeri atau dapat menunjukan
terjadinya syok akibat hipoksia.
2. Berikan posisi fowler/semi fowler tinggi 2. Posisi fowler memaksimalkan ekspansi
dan miring pada sisi yang sakit, bantu paru dan menurunkan upaya bernapas.
klien latihan napas dalam dan batuk Ventilasi maksimal membuka area
efektif atelektasis dan meningkatkan gerakan
sekret ke jalan napas besar untuk
dikeluarkan.
3. Auskultasi bunyi napas 3. Bunyi napas dapat menurun/ tidak ada
pada area kolaps yang meliputi satu lobus,
segmen paru, atau seluruh area paru
(unilateral).
4. Kaji pengembangan dada dan posisi 4. Ekspansi paru menurun pada area kolaps.
trakhea. Deviasi trakhea ke arah sisi yang sehat
pada tension pneumothoraks.
5. Kolaborasi untuk tindakan 5. Bertujuan sebagai evakuasi cairan atau
thorakosentesis atau kalau perlu WSD udara dan memudahkan ekspansi paru
secara maksimal.

47
b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan

anoreksia

Tujuan : setelah dilakukan tindakan masukan nutrisi menjadi adekuat

Kriteria hasil :

1) Nafsu makan meningkat

2) Menunjukn berat badan meningkat

3) Dapat menghabiskan porsi makan

Tabel 2.5
Intervensi perubahan nutrisi

Intervensi Rasional
1. Kaji status nutrisi pasien, catat turgor 1. Berguna mengidentifikasi derajat/luasnya masalah dan
kulit, berat badan. pilihan intervensi yang tepat
2. Pastikan pola diet biasa pasien 2. Berguna dalam mengidentifikasi kebutuhan/kekuatan
khusus.
3. Dorong makan sedikit dan sering dengan 3. Mencegah obstruksi/aspirasi. Penghisapan dapat
makan tinggi protein dan karbohidrat. diperlukan bila pasien tidak mampu mengeluarkan sekret

e. Gangguan istirahat tidur berhubungan dengan peningkatan sputum disertai batuk

terus menerus

Tujuan : gangguan istirahat tidur terpenuhi

Kriteria hasil :

1) Klien mengatakan tidurnya nyenyak

2) Klien tampak segar

48
Tabel 2.6
Intervensi gangguan istirahat tidur

Intervensi Rasional
1. Ciptakan lingkungan yang nyaman 1. Penurunan stimulus eksternal akan
dengan membatasi jumlah pengunjung menurunkan RAS sehingga
memungkinkan untuk mudah tidur
2. Posisi yang nyaman membantu klien
2. Atur posisi tidur relaksasi sehingga menimbulkan ngantuk
3. Dapat meningkatkan relaksasi sehingga
3. Anjurkan untuk minum susu hangat membuat rasa ngantuk pada klien
sebelum tidur

f. Risiko penyebaran infeksi berhubungan dengan kurangnya pengetahuan

untuk mencegah paparan dari kuman patogen

Tujuan : mencegah terjadinya resiko infeksi

Kriteria hasil :

1. pasien dapat memperlihatkan perilaku sehat (menutup mulut ketika

batuk atau bersin).

2. tidak muncul tanda-tanda infeksi lanjutan.

3. tidak ada anggota keluarga/orang terdekat yang tertular penyakit seperti

penderita.

Tabel 2.7
Intervensi Risiko penyebaran infeksi

Intervensi Rasional
1. Identifikasi risiko penularan kepada 1. Mengurangi risiko anggota keluarga untuk
orang lain seperti anggota keluarga dan tertular dengan penyakit yang sama
teman dekat. Menginstruksikan kepada dengan pasien
pasien jika batuk/bersin, maka
ludahkan ke tissue
2. Anjurkan penggunaan tissue untuk 2. Penyimpanan sputum pada wadah yang
membuang sputum. Review terdesinfeksi dan penggunaan masker
pentingnya mengontrol infeksi, dapat meminimalkan penyebaran infeksi

49
misalnya dengan menggunakan melalui droplet
masker.
3. Monitor suhu sesuai indikasi 3. Peningkatan suhu menandakan terjadinya
infeksi sekunder

g. Kurangnya pengetahuan tentang penyakit TB Paru berhubungan dengan

kurangnya informasi

Tujuan : Klien mampu melaksanakan apa yang telah diinformasikan.

Kriteria hasil :

1) Klien dan keluarga klien mengerti dengan informasi yang di sampaikan

2) Mengerti bagaimana cara penularan TB

3) Mengerti bagaimana cara pengobatan TB

4) Mengerti cara pencegahan TB

5) Mengetahui penyebab dan tanda gejala TB

Tabel 2.8
Intervensi kurang pengetahuan

Intervensi Rasional
1. Kaji kemampuan klien untuk 1. Keberhasilan proses pembelajaran
mengikuti pembelajaran (pengetahuan dipengaruhi oleh kesiapan fisik,
klien sebelumnya dan suasana yang emosional, dan lingkungan yang kondusif.
tepat)
2. Berikan intruksi dan informasi tertulis 2. Informasi tertulis menurunkan hambatan
khusus pada pasien khusus pada pasien pasien untuk mengingat sejumlah besar
informasi.
3. Kaji bagaimana TB Paru ditularkan 3. Pengetahuan dapat menurunkan risiko
dan bahaya reaktivitas penularan/reaktivitas ulang.

4. Jelaskan pencegahan, penularan, dan 4. Meningkatkan partisipasi klien dalam


tanda gejala TB dan mengapa program pengobatan dan mencegah putus
pengobatan, berlangsung dalam waktu obat karena membaik kondisi fisik klien
lama sebelum jadwal terapi selesai.

50
4. Implementasi

Tahap implementasi dimulai setelah rencana intervensi disusun dan

ditujukan pada nursing orders untuk membantu klien mencapai tujuan yang

diharapkan . oleh karena itu rencana intervensi yang spesifik dilaksanakan

untuk memodifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi masalah kesehatan

klien (Nursalam, 2011:127).

5. Evaluasi

Evaluasi itu merupakan langkah terakhir dari proses keperawatan dengan

cara melakukan identifikasi sejauh mana tujuan dari rencana keperawatan

tercapai atau tidak. Pada tahap evaluasi ini terdiri dari dua kegiatan yaitu

kegiatan yang dilakukan dengan mengevaluasi proses, dan kegiatan

melakukan evaluasi dengan target tujuan yang diharapkan disebut sebagai

evaluasi hasil (Aziz, 2008:124).

Meskipun tahap evaluasi diletakkan pada akhir proses keperawatan tetapi

tahap ini merupakan bagian integral pada setiap tahap proses keperawatan.

Pengumpulan data perlu direvisi untuk menentukan kecukupan data yang

telah dikumpulkan dan kesesuaian perilaku yang di observasi. Diagnosis juga

perlu dievaluasi dalam hal keakuratan dan kelengkapannya. Evaluasi juga

diperlukan pada tahap intervensi untuk menentukan apakah tujuan intervensi

tersebut dapat dicapai secara efektif (Nursalam,2011:135)

Evaluasi yang diharapkan dari setiap diagnosa keperawatan yang mucul

pada pasien dengan tuberculosis paru adalah

51
a. Ketidakefektifan pola pernapasan dengan kriteria klien mampu melakukan

batuk efektif, irama normal, frekuensi, kedalaman pernapasan berada pada

batas normal dan pada pemeriksaan rontgen dada tidak ditemukan adanya

akumulasi cairan, dan bunyi nafas terdengar jelas.

b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh dengan kriteria hasil nafsu

makan meningkat, menunjukan berat badan klien meningkat, dapat

menghabiskan porsi makan dan perasaan mual hilang

c. Gangguan istirahat tidur dengan kriteria hasil klien mengatakan tidurnya

nyenyak dan klien tampak segar

d. Risiko terhadap tranmisi infeksi yang berhubungan dengan kurangnya

pengetahuan tentang risiko patogen dengan kriteria hasil pasien dapat

memperlihatkan perilaku sehat (menutup mulut ketika batuk atau bersin, tidak

muncul tanda-tanda infeksi).

e. Kurangnya pengetahuan dengan kriteria hasil klien dan keluarga klien

mengerti dengan informasi yang di sampaikan, klien mengerti bagaimana cara

penularan TB, dan klien mengerti bagaimana cara pengobatan, tanda gejala,

pencegahan dan penyebab TB.

52

Anda mungkin juga menyukai