Anda di halaman 1dari 8

FATIMAH DAN RODA KEHIDUPAN

Kebahagiaan merupakan suatu hal yang mudah didapat bagi orang-orang yang
mampu bersyukur. Bersyukur terhadap segala hal yang dianugrahkan Tuhan kepadanya,
walaupun terkadang hal itu tidak sesuai dengan yang kita harapkan. Tuhan selalu memberi
apa yang kita butuhkan, bukan apa yang kita inginkan. Tuhan maha adil.
Fatimah, gadis berumur 15 tahun yang telahir dari keluarga yang menurut ia sendiri
‘keluarga yang sederhana dan berkecukupan’. Namun orang lain melihat dirinya dan ibunya
sebagai keluarga kecil yang serba kekurangan dan tidak bahagia.
Kebahagiaan bagi Fatimah adalah hal yang sederhana, melihat ibunya tersenyum
adalah kebahagiaan yang lebih dari cukup baginya. Biarpun Tuhan memberinya fisik yang
tidak lengkap, yakni tidak memiliki kaki sebelah kanan, ia selalu mensyukurinya. Bagi
Fatimah, masih untung kedua matanya tidak buta, kalau tidak mungkin ia tidak akan pernah
menyaksikan keagungan Tuhan dan memandang wajah ibunya tercinta.
Ayah Fatimah sudah meninggal sejak ia masih dalam kandungan, sedangkan
keluarganya yang lain? , Fatimah tak pernah tahu siapa dan dimana mereka, ibunya tak
memberitahukan apapun soal mereka. Oleh karena itu Fatimah hanya hidup berdua dengan
ibunya yang sakit-sakitan, sebenarnya ibunya tidak terlalu tua, namun karna terlalu keras
bekerja, daya tahan tubuhnya menjadi lemah dan wajahnya seperti orang lanjut usia.
Terkadang hati kecil Fatimah ingin memberontak, mengapa harus ia?, mengapa
Tuhan tidak adil padanya?, mengapa?, mengapa?, dan mengapa??. Bahkan tak jarang
Fatimah menangis pelan ditengah gelapnya malam, meminta sedikit kemurahan pada sang
Illahi. Tuhan memang masih belum menjawab doanya, namun kala itu, ketika dia bersujud
merendahkan dirinya dihadapan Tuhan, ia merasa seseorang mengelus punggungnya dengan
lembut, lalu membisikkan sesuatu yang begitu menenangkan ditelinganya. Saat itu pula
senyumnya langsung merekah, ia tahu Tuhan selalu bersamanya.

Pagi itu, seperti biasanya Fatimah sudah bersiap untuk memulung sekaligus mengintip
proses pembelajaran di sekolah yang sudah dilakukannya sejak ia berumur enam tahun.
Fatimah tidak pernah menuntut pada ibunya agar ia disekolahkan, ia sadar ibunya tidak akan
sanggup membayar biaya sekolah yang mahal. Sembari menunggu proses pembelajaran
dimulai , Fatimah mengeluarkan buku dan pulpen yang ia pungut di tempat sampah, ia
membaca catatan Bahasa Indonesia yang sempat dicatatnya kemarin. Tangannya menelusuri
setiap kata yang tertulis dalam buku itu, mencoba memahami setiap makna yang tersirat.
“Beri salam !!!”, ucap ketua kelas Sembilan. Fatimah segera berdiri mendekat kearah
jendela yang menurutnya nyaman untuk mengintip. Para siswa dan guru sudah terbiasa
dengan kehadiran Fatimah disana, pernah seorang guru menawarkannya untuk ikut
bersekolah disana, namun Fatimah menolak dengan alasan ia harus bekerja dan membantu
ibunya. Ia khawatir jika ia bersekolah nanti ia tidak akan sempat lagi untk bekerja dan
mengurus ibunya.
Fatimah memperhatikan dengan seksama apa yang dijelaskan oleh guru, sesekali ia
mencatat hal-hal penting, memang agak sulit mencatat sambil berdiri, namun tidak ada kata
sulit bagi Fatimah jika itu sudah menyangkut ilmu. Asalkan halal dan tidak mengganggu
kewajibannya, Fatimah akan rela melakukan apapun demi mendapatkan secuil ilmu.
Hari ini adalah hari jumat, jadi pembelajaran di sekolah berakhir lebih awal dari hari-
hari biasanya. Fatimah memasukkan kembali bukunya ke dalam kantong kresek yang setiap
ujungnya ia ikat dengan tali sehingga mirip seperti tas selempang, kemudian ia juga
mengambil karung dan alat memulung yang ia letakkan dibelakang sekolah. Fatimah
bermaksud akan melanjutkan memulung di tempat lain.
Tidak banyak plastik dan barang rongsokan lainnya yang ditemukan Fatimah di
tempat itu, disana lebih banyak Koran bekas dan sobekan buku yang sudah lecek, benda itu
tentu tidak akan ada harganya jika dijual. Meskipun begitu, Fatimah tidak putus asa, Rizki
Allah yang atur, manusia hanya tinggal berusaha saja untuk mendapatkannya.
Fatimah menelan ludah menyaksikan kebahagiaan yang didapat orang lain, keluarga
yang lengkap, sekolah yang tinggi, rumah mewah, baju baru, makanan enak, dan banyak hal
lain yang kadang membuat Fatimah merasa iri. Bukan Fatimah namanya kalau ia tidak bisa
mengatasi perang batin yang terjadi dalam dirinya, Fatimah tidak selalu meliha keatas,
kadangkala ia juga melihat ke bawah. Di luar sana masih banyak orang yang jauh lebih tidak
beruntung dibandingkan dengannya, tidak punya tempat tinggal, tidak punya keluarga, dan
lain sebagainya.
“Assalamu’alaikum”, ucap Fatimah yang baru saja puang dari tempat memulung.
“Wa’alaikumussalam…”, balas ibu yang sedang berbaring di tempat tidur. Fatimah
mendekati ibunya, kemudian mengecup pipi dan keningnya, tak lupa juga mencium
punggung tangan ibunya dengan sayang, “Ibu kenapa lagi bu?”, tanya Fatimah khawatir. “
ohok.. ohok.. ohok..gak papa Tim…, ibu cuma kecapean”. Air mata Fatimah tiba-tiba
menetes. “Fatim kenapa nangis?, kan yang sakit ibu”, gurau Ibu yang sedikit terkejut melihat
putri semata wayangnya tiba-tiba menangis, padahal sebelumnya sang ibu tak pernah melihat
Fatimah menangis sejak berumur enam tahun. “Fatim minta maaf Bu…., Fatim belum bisa
bahagiain ibu, malah Fatim selalu nyusahin Ibu, Fatim enggak tega liat ibu terus-terusan sakit
seperti ini-“. “sssttt…., Allah sudah menggariskan semuanya nak, apapun yang kita alami
sekarang harus tetap kita syukuri”, ungkap ibu menasihati Fatimah. Fatimah mengangguk
faham, ia bukannya kufur terhadap nikmat Allah, hanya saja ia merasa kasihan kepada
ibunya.
Fatimah meletakkan Koran dan majalah bekas yang ia pungut di tempat tadi. Ia
membbaca lembar demi lembar, tak lupa mencatat hal-hal yang menurutnya penting. Fatimah
memang sangat suka menulis. Sebagian malamnya ia habiskan untuk menulis cerita dan opini
mengenai lingkungan sekitarnya.
Pada robekan koran bekas terakhir yang Fatimah pegang, terdapat sebuah poster yang
begitu menarik perhatiannya. Disana terketik rapi “lomba menulis artikel tingkat Nasional”
yang diadakan oleh pemerintah, gratis dan ditujukan untuk umum, persyaratannya juga tidak
sulit untuk Fatimah penuhi. Hanya saja ia tidak punya handphone ataupun benda elektronik
lainnya yang bisa ia gunakan untuk mengirim karyanya nanti, karna pengiriman karya di
lomba tersebut bersifat online.
“Asalkan sudah ku tulis, siapa tau nanti Allah memberi jalan”, gumam Fatimah dalam
hati. Fatimah mengambil pensilnya, bersiap untuk menulis artikel, sesuai dengan tema yang
disediakan lomba tersebut. Ia menggoreskan pensilnya dengan telaten dikertas, sesekali
matanya menerawang sekeliling, bermaksud mencari inspirasi yang bisa ia tuangkan dalam
tulisannya.
Akhirnya Artikel yang dibuat Fatimah selesai sudah. Hanya tinggal mengetiknya di
komputer dan mengirimnya lewat e-mail. Soal itu, Fatimah memutuskan untuk pergi ke
warnet besok sore, ia akan meminta tolong pemilik warnet tersebut untuk membantunya
mengetik dan mengirimkan artikel karyanya, kebetulan pemilik warnet tersebut adalah orang
yang ramah dan murah hati sekaligus langganan londry ibunya. Semoga saja kemurahan hati
si pemilik warnet masih berlaku sampai besok.
Fatimah menyimpan kembali alat-alat tulisnya, juga artikel yang ia buat tadi. Ia benar-
benar berharap artikel karyanya bisa mendapat juara, ya… walaupun bukan juara satu.
“Setidaknya bisa masuk tiga besar lah..”, gumam Fatimah.
………

Pagi ini Fatimah bangun dengan bersemangat, sepertinya tadi malam ia bermimpi
indah, atau mungkin ia sangat bersemangat karna lomba tersebut. Fatimah bersiap-siap untuk
mandi, kemudian menunaikan sholat subuh dengan khusyuk, lalu dilanjutkan dengan berzikir
dan tak lupa berdoa kepada Allah.
Sementara ibu Fatimah menyiapkan sarapan seadanya di dapur, tempe goreng
ditemani kecap dan sepiring nasi sudah cukup untuk mengganjal perut mereka sampai sore
nanti. Sungguh nikmat…, Fatimah menghabiskan sarapannya dengan lahap. Setelah selesai
sarapan, Fatimah dan ibunya bersiap untuk mengais rizki, Fatimah pergi memulung,
sedangkan ibunya mengambil orderan laundry.
Fatimah mengais tumpukan sampah yang ada ada dipinggir lapangan, sepertinya
belum ada pemulung lain yang mencari rongsokan disini, jadi hasil yang Fatimah dapatkan
lebih banyak dari pagi biasanya. Ini masih jam sembilan, namun karung besar yang dibawa
Fatimah sudah hampir penuh. Fatimah teringat sesuatu, sekolah.
Untuk hari ini Fatimah pergi sekolah namun bukan untuk menyaksikan guru
mengajar, karna hari ini tanggal merah jadi sekolah diliburkan. Tapi semangat Fatimah untuk
menuntut ilmu tidak akan pernah libur. Tentu saja, cita-citanya kan ingin menjadi seorang
mentri pendidikan, dan untuk menjadi seorang mentri ia harus rajin belajar agar kelak
presiden menunjuknya sebagai mentri pendidikan. Sebagian orang mungkin akan
menertawakan impian Fatimah yang terlalu tinggi bagi orang miskin sepertinya. Bukannya
sakit hati atau berkecil hati, hal itu malah makin membuat semangat Fatimah membara, ia
berjanji suatu saat akan membuktikan pada dirinya sediri, pada ibunya, dan ada orang-orang
itu bahwa ia bisa.
Fatimah masuk lewat gerbang belakang sekolah yang tidak pernah dikunci. Matanya
melirik satu pintu kelas yang masih terbuka, ia agak heran kenapa kelas tersebut tidak
dikunci, namun.. sudahlah tidak usah diambil pusing, mungkin saja pintunya rusak atau
kuncinya hilang. Awalnya Fatimah hanya ingin duduk-duduk sambil membaca buku di taman
sekolah tersebut, namun.... seakan ada bisikan yang memaksanya masuk ke kelas tersebut. Ia
menengok kanan-kiri, sepi, tidak ada orang. Fatimah melangkahkan kakinya dengan ragu
menuju kelas tersebut, hatinya berdebar padahal Cuma mau ke kelas.
Ia mendaratkan pantatnya di meja siswa paling depan, matanya menatap fokus pada
papan tulis sambil sesekali menganggkkan kepalanya, seolah-olah ia sedang memperhatikan
penjelasan guru di depan. “bhahhah....”, tawa Fatimah pecah setelah sadar bahwa disana tidak
ada guru, tidak ada siswa, tidak ada siapapun, ia menertawakan tingkah konyolnya sendiri.
Kemudian ia beralih ke meja guru, duduk disana dengan penuh wibawa mempraktikkan
setiap yang dilakukan guru sebelum memulai pelajaran. Tidak sopan memang, namun apa
boleh buat, Fatimah tidak pernah diberi tahu bahwa duduk di meja guru itu termasuk tindakan
kurang ajar. “Baiklah anak-anak, hari ini kita akan belajar membaca puisi dengan baik, tolong
perhatikan cara ibu---... hahahahaha..”, Fatimah menutup mulutnya yang asal menirukan cara
mengajar bu Tutu, guru bahasa indonesia. Rasanya Fatimah ingin sekali belajar di dalam
kelas ini bersama teman-temannya yang lain, bukannya mengintip lewat jendela. Tetapi
kenyataannya ia tidak bisa, hidupnya sepenuhnya diabdikan untuk ibunya dan..... Tuhan.

Jam dinding usang di rumahnya sudah menunjukkan pukul empat sore, Fatimah
segera mengambil artikel buatannya yang ia simpan di dekat tempat tidurnya. Ia bergegas
menuju warnet. “Semoga saja warnetnya tidak tutup”, gumam Fatimah. Ia benar-benar lupa
kalau biasanya warnet yang ia maksudkan itu tutup di hari libur.
Mimik wajah Fatimah langsung berubah ketika melihat tanda bertuliskan ‘close’
dipintu warnet tersebut. “Assalamu’alaikum..”, ucap Fatimah memberi salam, siapa tau si
pemilik warnet ada disana. “wa’alaikumussalam”, jawab seseorang dari dalam. Benar saja, di
dalam ternyata ada orang, tapi bukan pemilik si pemilik warnet, “mungkin itu anaknya”, fikir
Fatimah.
“Iya.. ada apa dik?”, tanya gadis muda yang membuka pintu warnet tersebut.
“Ehmm..., Bibi Wati ada kak?”, tanya Fatimah gugup. “Oh.. Ibu saya, dia ada di rumah dek,
kalau mau ketemu bisa langsung kesana”, jelas gadis yang bernama Erin tersebut. “eee.. mm..
anu kak, sebenarnya saya kesini mau minta bantuan bibi Wati untuk mengetik sekaligus
mengirimkan ini”, Fatimah menunjukkan dua lembar kertas yang ia pegang pada Erin.
“Wah.., isinya keren banget!”, puji Erin setelah membaca isi dari kertas tersebut.
“Heheh.. makasih..”, ucap Fatimah tersipu. Baru kali ini ada orang yang membaca dan
memuji tulisan karyanya.
“Yaudah yuk masuk”, ajak Erin seraya menarik tangan Fatimah menuju ke dalam.
“biar saya saja yang ketik kak, sekalian belajar, biar gak dikira kampungan”, pinta Fatimah
pada Erin yang hendak menyalin tulisan tangan Fatimah ke layar komputer. “Oh ya silahkan,
saya juga mau lanjut ngerjain tugas. Nanti kalau udah selesai ngetik, adek kasih tau saya
kalau emang butuh bantuan buat ngirim lewat e-mail”, ucap Erin.
Fatimah mulai mengetikkan kata demi kata yang telah ia susun dalam kertas tersebut.
Awalnya ia agak kesulitan karna letak hurup-hurup di keyboard yang tidak beraturan, hingga
membuat kepalanya terasa pusing. Tapi lama-lama, ia mulai terbiasa dengan hurup-hurup
tersebut.
Akhirnya Artikel yang diketik Fatimah selesai sudah, sekarang hanya tinggal
mengirimnya saja. “Kakak..!”, panggil Fatimah pada Erin yang masih sibuk dengan buku-
buku tebal dihadapannya.
“Iya, kenapa?”, tanya Erin seraya mendekati Fatimah. “Fatim udah selesai ngetiknya,
tapi gak tau cara ngirimnya bagaimana”, ungkap Fatimah.
“sini, biar saya bantu”, Fatimah bangun dari tempat duduknya yang kemudian
ditempati oleh Erin. “Adek punya akun e-mail?”, tanya Erin sebelum mulai mengirim artikel
tersebut.
“ekmm.., gak ada kak”, jawab Fatimah lemah. “Hahah.., sudah saya duga. Yaudah, ini
pakai e-mail saya?, atau adek mau buat akun e-mail sekarang?”, tawar Erin.
“Pakai e-mail kakak saja deh, biar gak ribet”, jawab Fatimah sekenanya. “Sebenarnya
enggak terlalu ribet sih, tapi kalau adek maunya pakai akun saya yaudah, pakai itu aja”.
“Makasih ya kak...”, ucap Fatimah setelah Erin selesai mengirim artikel tersebut.
“Iya.., sama-sama. Nanti kalau menang jangan lupa traktir ya”, gurau Erin. Fatimah hanya
terkekeh mendengar ucapan Erin, “Traktiran?, yang lebih butuh traktiran itu kan Fatimah”,
batin Fatimah.

Sudah beberapa hari berlalu sejak Fatimah mengirim artikel tersebut. Tiba saatnya
hari yang ditunggu-tunggu Fatimah, hari pengumuman pemenang lomba. Fatimah bersiap-
siap untuk kembali ke warnet tersebut, untuk menanyakan pada Erin, apakah pengumuman
pemenang sudah dikirim di akun e-mailnya.
Tidak butuh waktu lama untuk Fatimah tiba di warnet tersebut, mungkin karna ia
sangat bersemangat. Fatimah mengintip ke dalam warnet, kebetulan sekali yang menjaga
warnet hari ini adala Erin, jadi Fatimah tidak perlu berjalan lebih jauh lagi untuk sampai ke
rumah Erin.
“Assalamualaikum kak Erin sayang”, sapa Fatimah pada Erin yang sedang
menghitung uang dimeja kasir. “Wa’alaikumussalam adek cantik..”, balas Erin.
“E-mail dari lomba yang Fatim ikutin udah masuk belum?”, tanya Fatimah penuh
harap. “Udah.., barusan saya terima”.
“terus hasilnya gimana kak?, Fatim masuk nominasi gak?”, tanya Fatimah penasaran.
“Mmm... gimana ya. Gini ya... kemarin saya udah baca artikel buatan adek, dan isinya itu
bener-bener bikin saya tersentuh dan sangat memotivasi banget, sampai-sampai bulu kuduk
saya merinding saking bagusnya artikel adek. Tapi....”, Erin sengaja menggantungkan
kalimatnya agar Fatimah semakin penasaran.
“Tapi?..., tapi Fatim gak dapet juara ya kak?, Fatim ikhlas kok, yang penting udah
berani mencoba. Terus yang dapet juara siapa aja kak?, siapa tau Fatim kenal, heheh...”,
ungkap Fatimah.
“Nih, adek liat aja sendiri”, ucap Erin seraya menyerahkan hand phonenya pada
Fatimah. Fatimah mengerutkan dahinya bingung, “Ini kok yang juara satu, nama sama judul
karyanya sama ya kaya punya Fatim”, ujar Fatimah setelah membaca hasil pemenang lomba
tersebut.
“Aduh bocah.., bukan sama, tapi itu yang juara satu emang adek”, jelas Erin. “Lah..
tadi kata kakak, Fatim gak dapet juara”, sanggah Fatimah. “Kapan saya bilang kalau adek gak
dapet juara, saya kan baru bilang tapi...., adek langsung motong. Makanya, lain kali kalau
orng ngomong didengerin sampai tuntas biar gak salah paham”, ungkap Erin yang dibalas
cengiran oleh Fatimah.
“Ehm..., disini juga tertulis kalau besok para pemenang harus ambil hadiahnya sendiri
di tempat acara yang sudah disiapkan, dan para pemenang bakal dijemput pakai pesawat atau
mobil khusus yang sudah disiapkan panitia”
“yey.. bisa naik pesawat. sekali lagi makasih banyak ya kak...”. “kembali kasih dek”,
balas Erin seraya memeluk Fatimah erat. “Kalau gitu Fatim pamit pulang ya kak, kasihan ibu
sendirian di rumah”, pamit Fatimah.

“Assalamualaikum..”, ucap Fatimah setelah tiba di rumahnya. “Wa’alaikumussalam”,


balas seorang wanita yang tak lain adalah ibu Fatimah. “Fatimah menang lomba bu!”, ungkap
Fatimah kegirangan.
“Lomba apa?, lari karung?, tarik tambang?. Kalau itu sih sudah pasti, tiap ada acara
begituan pasti selalu anak ibu yang menang”, ungkap Ibu Fatimah bangga, walaupun
dugaannya salah.
“Bukan itu bu.., kali ini lebih hebat dari lomba itu”. “Emang lomba apa?, setau ibu,
Fatim kan Cuma sering ikut lomba begituan”, ujar ibunya.
“Fatim menang lomba menulis artikel tingkat Nasional bu”, ungkap Fatimah seraya
memeluk ibuunya. “Serius kamu nak?, emang Fatim dapat uang darimana buat bayar uang
pendaftaran, terus ngirimnya lewat mana?”, tanya ibu tidak percaya.
“Ya serius lah bu, kebetulan lombanya gratis, jadi Fatimah coba-coba buat ikut. Kalau
soal ngirimnya, Fatim kemarin ke warnet yang pemiliknya itu langganan londry ibu, terus
minta tolong deh sama anaknya buat bantuin Fatimah ngirim artikel buatan Fatimah”, jelas
Fatimah bersemangat.
“Hebat anak ibu. Terus hadiahnya apa?”
“Hadiahnya... Tiket umrah buat tiga orang, uang senilai lima puluh juta, beasiswa
sekolah di Jakarta, ditambah piala dan sertifikat”, jelas Fatimah senang.
“Ya Allah!!, Alhamdulillah...”, ibu sangat bersyukur dengan apa yang telah diraih
anaknya, ia langsung sujud syukur pada Yang Maha Kuasa setelah mendengar itu.
“iya Alhamdulillah bu.., terus katanya besok kita dijemput pake mobil ke bandara,
habis itu.. dari bandara, kita ke tempat acara pembagian hadiahnya pakai pesawat”
“Besok?, ya Allah nak... ibu bener-bener gak nyangka bakal bisa naik pesawat dan
menginjakkan kaki di tanah Arab”
“Fatim juga bu, tapi bu..., tiketnya ada tiga, harusnya yang pergi, Fatimah, ibu, sama
Ayah. Tapi Ayah udah gak ada”, lirih Fatimah.
“Ayah masih ada nak, dia ada di atas, di rumah Tuhan, dia pasti bangga sama Fatim”,
Ibu berusaha menghibur Fatimah yang mulai sedih mengingat sang Ayah.
“yaudah.. kalau gitu kita siapin barang yang bakal kita bawa besok, biar besoknya gak
repot”, ucap Ibu seraya menuntun Fatimah ke kamarnya.
Fatimah masih ingat betul kalau Ayahnya pernah berkata, “Fatimah anakku.., Hidup
ini seperti roda, selalu berputar, kadang di atas, kadang di bawah. Sekarang mungkin kita
sedang ada di bawah, dan Ayah selalu mensyukurinya, Fatim juga harus selalu bersyukur.
Ayah yakin..., suatu saat nanti Fatim akan menggendong Ayah dan Ibu berlari menuju roda
paling atas. Karna itu.., Fatim harus rajin belajar, berdoa, dan jangan lupa ikhtiar. Insya
Allah, Allah akan memudahkan jalan kita”
Fatimah tersenyum, walau masih sedih rasanya kehilangan Ayah yang sangat dicintai
dan dihormatinya, ia tetap bahagia, ia masih punya ibu yang selalu setia menjaganya di sini,
memberinya dorongan dan semangat, menghusap air matanya di saat ia menagis. Ia juga
masih punya Seseorang, Seseorang yang tidak pernah bosan mendengar keluh-kesah Fatimah.
“Terima kasih Tuhan...”.

24 Januari 2019

Anda mungkin juga menyukai