Anda di halaman 1dari 171

BAB 5 INFEKSI

 5.1 Antibakteri
 5.2 Tuberkulosis dan Leprosi
 5.3 Anti Jamur
 5.4 Infeksi Virus
 5.5 Infeksi Protozoa
 5.6 Infeksi Cacing

5.1 Antibakteri
PENGERTIAN
Antibakteri terdiri atas antibiotik dan kemoterapi. Antibiotik ialah zat yang dihasilkan oleh mikroba, terutama
fungi, yang dapat menghambat pertumbuhan atau membasmi mikroba jenis lain. Antibiotik juga dapat dibuat
secara sintetis. Kemoterapi ialah zat kimia yang mampu menghambat pertumbuhan atau membasmi mikroba
tetapi tidak berasal dari suatu mikroba atau fungi.

Prinsip penggunaan antibiotik

Prinsip penggunaan antibiotik didasarkan pada dua pertimbangan utama:

1. Penyebab infeksi

Pemberian antibiotik yang paling ideal adalah berdasarkan hasil pemeriksaan mikrobiologis dan uji kepekaan
kuman. Namun dalam praktek sehari-hari, tidak mungkin melakukan pemeriksaan mikrobiologis untuk setiap
pasien yang dicurigai menderita suatu infeksi. Di samping itu, untuk infeksi berat yang memerlukan penanganan
segera, pemberian antibiotik dapat segera dimulai setelah pengambilan sampel bahan biologik untuk biakan dan
pemeriksaan kepekaan kuman. Pemberian antibiotik tanpa pemeriksaan mikrobiologis dapat didasarkan pada
educated guess. Tabel 5.1 memberikan pedoman pemilihan antibiotik berdasarkan educated guess untuk
berbagai jenis infeksi.

2. Faktor pasien

Diantara faktor pasien yang perlu diperhatikan dalam pemberian antibiotik antara lain fungsi ginjal, fungsi hati,
riwayat alergi, daya tahan terhadap infeksi (status imunologis), daya tahan terhadap obat, beratnya infeksi, etnis,
usia, penggunaan pengobatan konkomitan, untuk wanita apakah sedang hamil atau menyusui, atau sedang
mengkonsumsi kontrasepsi oral.

Tabel 5.1 Pedoman Pemilihan Antibiotik

JENIS INFEKSI PENYEBAB TERSERING PILIHAN ANTIMIKROBA

I. Saluran Nafas

- Faringitis - virus - tidak memerlukan antimikroba


- Streptococcus pyogenes - penisilin V, eritomisin, penisilin G
- Corynebacterium diphtheriae - penisilin G, eritromisin

- Otitis media dan - Streptococcus pneumoniae, - amoksisilin/ampisilin, eritromisin,


Sinusitis Hemophilus influenzae kotrimoksasol
- Staphylococcus aureus - amoksisilin/asam klavulanat

- Bronkitis akut - Virus - tidak memerlukan


- Streptococcus pneumoniae, - amoksisilin/ampisilin, eritromisin,
Hemophilus influenzae
- eritromisin
- Mycoplasma pneumoniae

- Eksaserbasi akut - Streptococcus pneumoniae, - amoksisilin/ampisilin, eritromisin,


bronkitis kronis Hemophilus influenza kotrimoksazol
- Mycoplasma pneumoniae - doksisiklin
- Moraxella (Branhamella - amoksisilin/asam klavulanat,
catarrhalis (jarang) kotrimoksazol, eritromisin

- Influenza - Virus influenza A atau B - tidak memerlukan antimikroba


- Streptococcus pneumoniae - penisilin G Prokain penisilin V,
eritromisin, sefalosporin generasi I

- Pneumonia bacterial - Hemophilus influenza - amoksisilin/ampisilin, kotrimoksazol,


ampisilin/sulbaktam, kloramfenikol,
- Mycoplasma pneumoniae fluorokuinolon.
- Staphylococcus aureus - Eritromisin, doksisiklin
- Kuman enterik gram negatif - Kloksasilin, sefalosporin generasi I
- Sefalosporin generasi III dengan atau tanpa
aminoglikosida

- Tuberkulosis paru - Mycobacterium tuberculosis - Isoniazid, rifampisin, pirazinamid,


etambutol, streptomisin
II. Saluran kemih

- Sistitis akut - Escherichia coli, - nitrofurantoin, ampisilin, trimetropim,


Staphylococcus saprophyticus, aztreonam.
kuman Gram negatif lainnya

- Pielonefritis akut - Escherichia coli, kuman Gram - untuk pasien rawat: gentamisin
negatif lainnya, streptokokus (aminoglikosida lainnya), kotrimoksazol,
parentral, sefalosporin generasi III,
- untuk pasien rawat jalan: kotrimoksazol
oral, fluorokuinolon, amoksisilin/asam
klavulanat.

- Prostatitis akut - Escherichia coli, kuman Gram - kotrimoksazol atau fluorokuinolon atau
negatif lainnya, Enterococcus aminoglikosida + ampisilin parenteral.
faecalis

- Prostatitis kronik - Escherichia coli, kuman Gram - kotrimoksazol atau fluorokuinolon atau
negatif lainnya, Enterococcus trimetoprim.
faecalis

III. Yang ditularkan melalui hubungan kelamin

- Uretritis - Neisseria gonorrhoeae (bukan - ampisilin/amoksisilin/penisilin G +


penghasil penisilinase) probenesid, setriakson, tetrasiklin
- Neisseria gonorrhoeae - seftriakson, fluorokuinolon
(penghasil penisilinase)
Chlamydia trachomatis - doksisiklin/tetrasiklin, eritromisin.
- Ureaplasma urealyticum - doksisiklin/tetrasiklin

- Herpes genital - Virus herpes simpleks - asiklovir

- Sifilis - Treponema pallidum - penisilin G prokain, seftriakson tetrasiklin.

- Ulkus mole - Hemophilus ducreyi - Kotrimoksazol, eritromisin, sefriakson,


tetrasiklin.

IV. Saluran cerna

- Enteritis infeksiosa - Virus

- Shigella - kotrimoksazol/fluorokuinolon/ ampisilin


- Vibrio cholerae - tetrasiklin/kotrimoksazol
- Entamoeba histolytica - metronidazol
- Campylobacter jejuni - eritromisin/fluorokuinolon, tetrasiklin
- berbagai kuman enterik Gram - umumnya tidak memerlukan anti mikroba
negatif negatif lainnya

- Kolestitis akut - Escherichia coli, berbagai - ampisilin + gentamisin, ampisilin


kuman enterik Gram negatif, sulbaktam, sefazolin
Bacteroides fragilis

- Peritonitis karena - Escherichia coli, berbagai - ampisilin + gentamisin + metronidazol/


perforasi usus kuman enterik Gram negatif, klindamisin, gentamisin + metronidazol
kuman anaerob klindamisin, sefoksitin

V. Kardiovaskular

- Endokarditis - Streptokokus - penisilin G + gentamisin


- Stafilokokus - kloksasilin + gentamisin
- Stafilokokus yang resisten - vankomisin
terhadap metisilin (Meticillin
Resistant Staphylococcus - sefotaksim + gentamisin
aureus/MRSA)
- Bakteri Gram negatif

VI. Kulit, otot, tulang


- Impetigo, frunkel, - Streptococcus pyogenes, - kloksasilin/eritromisin sefalosforin
selulitis, dll Staphylococcus aureus generasi I

- Gas gangren Clostridium perfringens - penisilin G

- Osteomielitis akut Staphylococcus aureus - kloksasilin

VII. Sistem saraf pusat

- Meningitis bakterial - Streptococcus pneumoniae, - ampisilin+kloramfenikol (sebagai terapi


anak/dewasa stafilokokus, Hemophilus awal)
influenzae

- Meningokokus - penisilin G, kloramfenikol

- Meningitis - berbagai kuman enterik Gram - sefalosforin generasi III


pada Neonates negatif
- Abses otak - Streptokokus, Staphylococcus - penisilin G + kloramfenikol/ metronidazol
aureus, Enterobacteriaceae, + sefalosforin generasi III.
berbagai kuman anaerob

VIII. Sepsis

- Neonatus < 4 8jam - Streptococcus agalactiae, - benzil penisilin + gentamisin atau


streptokokus lain, kuman amoksisilin/ampisilin + sefotaksim
enterik Gram negatif

- Neonatus > 4 8 jam - Streptococcus penumoniae, - flukoksasilin+gentamisin atau


Hemophilus influenzae, amoksisilin/ampisilin + sefotaksim
Neisseria meningitides,
Staphylococcus aureus

- Anak 1 bulan - 18 - Kuman enterik Gram negatif, - aminoglikosida + amoksisilin/ampisilin


tahun, community Staphylococcus aureus, atau sefotaksim/seftriakson tunggal.
acquired streptokokus

- Anak 1 bulan - 18 th, - antibakteri beta laktam antipseudomonas


hospital acquired spektrum luas (misal: seftazidim, tikarsilin,
piperasilin, imipenem atau meropenem)

IX.Gigi dan mulut

- Ginggivitis dan - infeksi campuran kuman - penisilin G prokain/penisilin V


abses gigi aerob+anaerob

- Kandidiasis oral - Candida albicans - nistatin

Keterangan:

1. Tabel ini dimaksudkan untuk membantu menentukan pilihan antimikroba untuk sementara. Bila hasil
pemeriksaan mikrobiologik telah didapat maka pilihan antimikroba harus disesuaikan lagi.
2. Kuman penyebab dan kepekaannya terhadap antimikroba dapat bervariasi pada rumah sakit/ tempat yang
berbeda.
3. Yang termasuk dengan aminoglikosida ialah: gentamisin, tobramisin, netilmisin dan amikasin (tidak
termasuk streptomisin dan kanamisin).
4. Yang termasuk dengan sefalosporin generasi I ialah: sefazolin, sefradin, sefaleksin, sefadroksil dll; generasi
II: sefamandol, sefuroksim, dll; generasi III: sefotaksim, sefoperazon, seftriakson, seftazidim, sefsulodin dll.
5. Yang termasuk dengan fluorokuinolon ialah: siprofloksasin, ofloksasin, pefloksasin, norfloksasin,
fleroksasin, siprofloksasin, levofloksasin, dll. (tidak termasuk asam nalidiksat dan asam pipemidat).

Infeksi Bakteri di Rongga Mulut

Obat antibakteri untuk pengobatan infeksi di rongga mulut sebaiknya digunakan sesuai dengan keperluan.
Antibiotik digunakan bersama tindakan lain yang diperlukan (bukan sebagai pengganti).
Terapi empiris yang tidak didukung oleh bukti yang memadai dari antibakteri untuk gejala demam,
limfadenopati servikal atau pembengkakan pada wajah, yang tidak diketahui pasti penyebabnya akan dapat
menimbulkan kesulitan dalam penegakan diagnosis. Pemeriksaan uji kultur sebaiknya selalu dilakukan pada
kasus infeksi rongga mulut berat.

Infeksi oral yang memerlukan terapi antibakteri adalah pulpitis supuratif akut, abses periodontal atau periapikal
akut, selulitis, oral-antral fistula (dan sinusitis akut), perikoronitis berat, osteitis terlokalisir, acute necrotising
ulcerative gingivitis dan penyakit periodontal kronis yang destruktif. Sebagian besar infeksi oral dapat diatasi
dengan tindakan membersihkan (drainage) atau membuang penyebabnya. Antibiotik hanya diindikasikan pada
tindakan yang tidak dapat sesegera mungkin dilakukan dan penting pada pasien immunocompromised, diabetes
melitus atau Paget’s disease. Infeksi tertentu yang jarang terjadi seperti sialadenitis bakteri, osteomielitis,
aktinomikosis, dan infeksi di bagian wajah seperti Ludwig’s angina, memerlukan antibiotik dan perawatan
spesialis di rumah sakit.

Penggunaan antibiotik untuk profilaksis

Profilaksis antibiotik diperlukan dalam keadaan-keadaan berikut:

1. Untuk melindungi seseorang yang terpapar kuman tertentu: Misalnya untuk pencegahan demam rematik
pada orang yang terpapar kuman Streptococcus hemolyticus grup A, diberikan fenoksimetilpenisilin 2 kali
250 mg per hari.
2. Mencegah endokarditis pada pasien yang mengalami kelainan katup jantung atau defek septum yang akan
menjalani prosedur dengan risiko bakteremia, misalnya pencabutan gigi, pembedahan dan lain-lain.
Amoksisilin: DEWASA: 1 g per oral, 3 jam sebelum tindakan. ANAK di bawah 5 tahun: seperempat dosis
dewasa. ANAK 5-10 tahun: setengah dosis dewasa. Obat di atas diberikan dalam dosis tunggal.
3. Untuk kasus bedah, profilaksis diberikan untuk tindakan bedah tertentu yang sering disertai infeksi pasca
bedah atau yang berakibat berat bila terjadi infeksi pasca bedah.

 Operasi lambung, esofagus, kolesistektomi pada pasien dengan kemungkinan infeksi kandung empedu:
Gentamisin atau sefalosporin dosis tunggal. Diberikan 2 jam sebelum operasi.
 Reseksi kolon atau rektum: Gentamisin + metronidazol dosis tunggal atau sefuroksim + metronidazol,
diberikan 2 jam sebelum operasi.
 Histerektomi: Metronidazol supositoria atau intravena dosis tunggal.

Antibiotik kombinasi:
Antibiotik kombinasi diberikan untuk 4 indikasi utama:

 Pengobatan infeksi campuran, misalnya pasca bedah abdomen.


 Pengobatan awal pada infeksi berat yang etiologinya belum jelas, misalnya sepsis, meningitis purulenta.
 Mendapatkan efek sinergi.
 Memperlambat timbulnya resistensi, misalnya pada pengobatan tuberkulosis.

Klasifikasi antibakteri:
5.1.1 Penisilin
5.1.2 Sefalosporin dan antibiotik beta-laktam lainnya
5.1.3 Tetrasiklin
5.1.4 Aminoglikosida
5.1.5 Makrolida
5.1.6 Kuinolon
5.1.7 Sulfonamid dan trimetoprim
5.1.8 Antibiotik lain

5.1.1 Penisilin
5.1.1.1 Benzilpenisilin dan fenoksimetilpenisilin

5.1.1.2 Penisilin tahan penisilinase

5.1.1.3 Penisilin spektrum luas

5.1.1.4 Penisilin anti pseudomonas

5.1.1.5 Mesilinam

Penisilin bersifat bakterisida dan bekerja dengan menghambat sintesis dinding sel. Obat ini berdifusi dengan
baik di jaringan dan cairan tubuh, tapi penetrasi ke dalam cairan otak kurang baik kecuali jika selaput otak
mengalami infeksi. Obat ini diekskresi ke urin dalam kadar terapetik.

Efek samping penting yang harus diwaspadai adalah reaksi yang dapat menimbulkan urtikaria dan reaksi
anafilaksis yang dapat menjadi fatal.

Reaksi alergi terhadap penisilin terjadi pada 1–10% individu yang terpapar; reaksi anafilaksis terjadi pada kurang
dari 0,05% pasien yang mendapat penisilin. Pasien dengan riwayat alergi atopik (seperti asma, eksim, hay fever)
memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami reaksi anafilaktik jika mendapat penisilin. Individu dengan
riwayat anafilaksis, urtikaria, atau ruam yang langsung muncul setelah pemberian penisilin, memiliki risiko
hipersensitif yang segera langsung muncul setelah pemberian penisilin. Pasien yang demikian ini tidak boleh
diberi penisilin, sefalosporin atau antibiotik beta- laktam lainnya.
Pasien yang alergi terhadap suatu penisilin biasanya alergi terhadap semua turunan penisilin karena
hipersensitivitas berkait dengan struktur dasar penisilin. Jika penisilin (atau antibiotik beta-laktam lain) sangat
diperlukan oleh pasien dengan reaksi hipersensitifitas yang langsung muncul segera setelah pemberian penisilin,
maka pemberian sebaiknya berdasarkan uji hipersensitivitas. Orang yang memiliki riwayat ruam ringan (ruam
yang terjadi pada bagian kecil dari tubuh) atau ruam yang terjadi lebih dari 72 jam setelah pemberian penisilin
mungkin tidak alergi terhadap penisilin dan pada orang-orang ini, pemberian penisilin dapat dilakukan terutama
jika untuk mengatasi infeksi berat; namun, kemungkinan terjadinya alergi juga sebaiknya tetap diwaspadai.
Ensefalopati akibat iritasi serebral merupakan efek samping yang sangat jarang, namun serius. Hal ini dapat
terjadi pada pemberian dosis yang berlebihan atau dosis normal pada pasien gagal ginjal. Penisilin tidak boleh
diberikan secara intratekal karena cara ini dapat menimbulkan ensefalopati yang mungkin berakibat fatal.

Injeksi penisilin biasanya mengandung garam natrium atau kalium, sehingga pemberian dosis besar atau dosis
normal pada pasien gagal ginjal dapat menyebabkan akumulasi elektrolit.

Diare sering terjadi pada pemberian per oral. Hal ini paling sering terjadi karena ampisilin dan turunannya juga
dapat menyebabkan kolitis.

 5.1.1.1 Benzilpenisilin dan Fenoksimetilpenisilin


 5.1.1.2 Penisilin Tahan Penisilinase
 5.1.1.3 Penisilin Spektrum Luas
 5.1.1.4 Penisilin Antipseudomonas
 5.1.1.5 Mesilinam

5.1.1.1 Benzilpenisilin dan


Fenoksimetilpenisilin
Benzilpenisilin (Penisilin G), masih merupakan antibiotik yang berguna dan penting, namun diinaktivasi oleh
bakteri beta-laktamase. Antibiotik ini efektif untuk mengatasi infeksi streptokokus (termasuk pneumokokus),
infeksi meningokokus, antraks, difteri, gangren gas, leptospirosis dan penyakit Lyme pada anak-anak.
Sensitivitas pneumokokus, meningokokus, dan gonokokus terhadap penisilin telah berkurang; sehingga dewasa
ini benzilpenisilin tidak lagi menjadi obat pilihan pertama untuk mengatasi meningitis pneumokokus.
Benzilpenisilin dirusak oleh penisilinase. Meskipun benzilpenisilin efektif untuk tetanus, namun penggunaan
metronidazol (lihat 5.5.2) lebih disukai. Benzilpenisilin dirusak oleh asam lambung dan absorpsinya rendah
dalam usus oleh sebab itu obat ini diberikan secara parenteral.
Prokain benzilpenisilin (prokain penisilin) digunakan untuk mengatasi infeksi sifilis stadium awal dan sifilis
laten stadium akhir; obat diberikan dengan dosis 600 mg sehari intramuskular.
Fenoksimetilpenisilin (Penisilin V) memiliki spektrum antibakteri yang sama dengan benzilpenisilin, tapi
efektivitasnya lemah. Obat ini lebih tahan terhadap asam lambung sehingga dapat diberikan per oral. Obat ini
tidak boleh digunakan untuk infeksi berat, karena absorpsinya tidak dapat diduga dan kadar plasma bervariasi.
Penisilin V terutama diindikasikan untuk infeksi saluran napas pada anak-anak, untuk tonsilitis karena
streptokokus, atau untuk terapi lanjutan setelah satu atau beberapa kali suntikan benzilpenisilin bila respons
klinis mulai terlihat. Tidak dianjurkan untuk infeksi meningokokus atau gonokokus. Fenoksimetilpenisilin dapat
digunakan untuk profilaksis infeksi streptokokus setelah demam rematik atau infeksi pneumokokus setelah
splenektomi atau pada sickle-cell disease.
Infeksi mulut. Fenoksimetilpenisilin efektif untuk abses dentoalveolar.
Monografi:

BENZILPENISILIN (PENISILIN G)
Indikasi:

infeksi tenggorokan, otitis media, endokarditis, penyakit meningokokus, pnemonia (lihat Tabel 5.1), selulitis,
antraks, profilaksis amputasi pada lengan atau kaki; lihat juga keterangan di atas.

Peringatan:

riwayat alergi, hasil tes glukosa urin positif palsu, gangguan fungsi ginjal.

Interaksi:

lihat Lampiran 1 (penisilin).

Kontraindikasi:

hipersensitivitas (alergi) terhadap penisilin.

Efek Samping:

reaksi alergi berupa urtikaria, demam, nyeri sendi, angioudem, anafilaksis, serum sickness-like reaction;
jarang, toksisitas sistem saraf pusat termasuk konvulsi (terutama pada dosis tinggi atau pada gangguan ginjal
berat), nefritis interstisial, anemia hemolitik, leukopenia, trombositopenia dan gangguan pembekuan darah;
juga dilaporkan diare (termasuk kolitis karena antibiotik).

Dosis:

injeksi intramuskular atau intravena lambat atau infus, 2,4-4,8 g sehari dalam 4 dosis terbagi, pada infeksi yang
lebih berat dapat ditingkatkan jika perlu (dosis tunggal di atas 1,2 g injeksi intravena saja; lihat keterangan di
bawah. BAYI PREMATUR dan NEONATAL di bawah 1 minggu, 50 mg/kg bb dalam 2 dosis terbagi; BAYI
1-4 minggu: 75 mg/kg bb/hari, dalam 3 dosis terbagi; ANAK 1 bulan-12 tahun: 100 mg/kg bb/hari dalam 4
dosis terbagi (dosis lebih tinggi mungkin dibutuhkan) (lihat juga keterangan di bawah); rute intravena
direkomendasikan pada neonatal dan bayi. Endokarditis (dalam kombinasi dengan bakteri lain jika
diperlukan): infus atau injeksi intravena lambat 7,2 gram/hari dalam 6 dosis terbagi, tingkatkan jika perlu
(contoh dalam endokarditis enterokokus atau jika benzilpenisilin digunakan tunggal) menjadi 14,4 g sehari
dalam 6 dosis terbagi.Antraks (dalam kombinasi dengan antibakteri lain), infus atau injeksi intravena lambat,
2,4 g setiap 4 jam; Anak 150 mg/kg bb sehari dalam 4 dosis terbagi. Profilaksis infeksi streptokokus grup B
intrapartum, infus atau injeksi intravena lambat, dosis awal 3 g selanjutnya 1,5 g setiap 4 jam hingga saat
melahirkan.Penyakit meningokokus: injeksi intravena lambat atau infus, 2,4 gram setiap 4 jam; BAYI
PREMATUR dan NEONATAL di bawah 1 minggu, 100 mg/kg bb/hari, dalam 2 dosis terbagi; NEONATAL
1-4 minggu: 150 mg/kg bb/hari, dalam 3 dosis terbagi; ANAK 1 bulan - 12 tahun 180-300 mg/kg bb/hari,
dalam dosis 4 - 6 terbagi.Penting: Jika diduga menderita meningitis bakterial dan terutama penyakit
meningokokus, dokter dianjurkan untuk memberikan injeksi tunggal benzilpenisilin secara intramuskular atau
intravena sebelum membawa pasien ke Rumah Sakit. Dosis: DEWASA 1,2 g; BAYI di bawah 1 tahun, 300
mg; ANAK 1-9 tahun 600 mg; 10 tahun ke atas sama dengan dewasa. Pada pasien alergi penisilin, sefotaksim
(lihat 7.1.2.1) dapat merupakan alternatif; kloramfenikol dapat digunakan bila ada riwayat anafilaksis pada
penisilin.Injeksi intratekal tidak direkomendasikan.

FENOKSIMETILPENISILIN
(PENISILIN V)
Indikasi:

infeksi pada mulut, tonsilitis, otitis media, erysipelas, selulitis, demam rematik, profilaksis infeksi
pneumokokus (lihat Tabel 5.1).

Peringatan:

lihat benzilpenisilin.

Interaksi:

lihat lampiran 1 (penisilin).

Kontraindikasi:

lihat benzilpenisilin.

Efek Samping:

lihat benzilpenisilin.

Dosis:

500 mg tiap 6 jam, dapat ditingkatkan hingga 1 g tiap 6 jam pada infeksi berat. ANAK sampai 1 tahun 62,5
mg, tiap 6 jam dapat ditingkatkan hingga 12,5 mg/kg bb tiap 6 jam pada infeksi berat. ANAK 1-5 tahun: 125
mg, tiap 6 jam dapat ditingkatkan hingga 12,5 mg/kg bb tiap 6 jam pada infeksi berat. ANAK 6-12 tahun: 250
mg tiap 6 jam dapat ditingkatkan hingga 12,5 mg/kg bb tiap 6 jam pada infeksi berat.

5.1.1.2 Penisilin Tahan Penisilinase


Sebagian besar stafilokokus telah resisten terhadap benzilpenisilin karena kuman ini memproduksi penisilinase.
Namun, flukloksasilin tidak diinaktivasi oleh penisilinase sehingga efektif untuk strain kuman tersebut.
Flukloksasilin juga tahan terhadap asam lambung sehingga selain bentuk injeksi, juga dapat diberikan per oral.
Flukloksasilin diabsorpsi dengan baik dalam saluran cerna. Namun perlu dilakukan perhatian khusus tehadap
gangguan fungsi hati.

MRSA Strain Staphylococus aureus yang resisten terhadap metisilin (MRSA, Methicillin Resistant
Staphylococcus aureus) dan terhadap flukloksasilin sekarang telah muncul. Beberapa organisme ini masih
sensitif terhadap vankomisin atau teikoplanin (lihat 5.1.8.3). Strain ini mungkin juga masih sensitif terhadap
rifampisin, natrium fusidat, tetrasiklin, aminoglikosida, makrolida dan klindamisin. Rifampisin atau natrium
fusidat tidak boleh diberikan secara tunggal karena akan menimbulkan resistensi dengan cepat. Trimetoprim
tunggal dapat digunakan untuk infeksi saluran kemih yang disebabkan oleh beberapa strain MRSA. Linezolid
(lihat 5.1.8.6) aktif terhadap MRSA, namun antibiotik ini sebaiknya dicadangkan untuk organisme yang resisten
terhadap antibakteri lain atau untuk pasien yang tidak dapat mentolerir obat antibakteri lain atau tidak memberi
respon terhadap vankomisin atau teikoplanin. Terapi ini sebaiknya dilakukan berdasarkan sensitivitas strain
organisme penyebab infeksi. Untuk eradikasi dari nasal carriage akibat MRSA lihat 12.2.3.
Monografi:

FLUKLOKSASILIN
Indikasi:

infeksi karena stafilokokus penghasil penisilinase, termasuk otitis eksterna; terapi tambahan pada pneumonia,
impetigo, selulitis, endokarditis (lihat Tabel 5.1).

Peringatan:

lihat benzilpenisilin (lihat 5.1.1.1); juga gangguan hati; risiko kernikterus pada jaundice neonatal jika diberikan
dosis tinggi secara parenteral. Anjuran terkait dengan hepatic disorders: Pemberian untuk waktu yang lebih
dari 2 minggu dan peningkatan usia merupakan faktor resiko. Perlu diingat hal-hal sebagai berikut:
Flukloksasilin tidak boleh digunakan pada pasien yang memiliki riwayat disfungsi hati terkait dengan
flukloksasilin. Flukloklasilin sebaiknya digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan gangguan hati.
Perhatian khusus sebaiknya dibuat terhadap reaksi hipersensitivitas antibakteri beta-laktam.
Kontraindikasi:

lihat benzilpenisilin (lihat 5.1.1.1).

Efek Samping:

lihat benzilpenisilin (lihat 5.1.1.1); gangguan saluran cerna; sangat jarang, hepatitis dan kolestatik jaundice.

Dosis:

oral: 250-500 mg tiap 6 jam diberikan sekurang-kurangnya 30 menit sebelum makan; ANAK di bawah 2
tahun, seperempat dosis dewasa; 2–10 tahun, setengah dosis dewasa; Injeksi intramuskular: 250 - 500 mg tiap
6 jam; ANAK di bawah 2 tahun, ¼ dosis dewasa; 2–10 tahun, ½ dosis dewasa. Injeksi intravena secara lambat
atau infus: 0,25-2 g tiap 6 jam; ANAK di bawah 2 tahun, ¼ dosis dewasa; 2–10 tahun, ½ dosis dewasa;
Endokarditis (dalam kombinasi dengan antibakteri lain), berat badan kurang dari 85 kg, 8 g sehari dalam 4
dosis terbagi; berat badan lebih dari 85 kg, 12 g sehari dalam 6 dosis terbagi. Osteomielitis, hingga 8 g sehari
dalam 3-4 dosis terbagi.

KLOKSASILIN
Indikasi:

infeksi karena stafilokokus yang memproduksi penisilinase.

Peringatan:

lihat benzilpenisilin.

Interaksi:

lihat benzilpenisilin.

Efek Samping:

lihat benzilpenisilin.

Dosis:

oral: 500 mg tiap 6 jam, diberikan 30 menit sebelum makan. Injeksi intramuskuler: 250 mg tiap 4-6 jam.
Injeksi intravena lambat atau infus: 500 mg tiap 4-6 jam. Dalam kasus yang berat dosis dapat dinaikkan dua
kali. ANAK: kurang dari 2 tahun: seperempat dosis dewasa.
ANAK: 2-10 tahun: setengah dosis dewasa.
5.1.1.3 Penisilin Spektrum Luas
Ampisilin aktif terhadap organisme Gram positif dan Gram negatif tertentu, tapi diinaktivasi oleh penisilinase,
termasuk yang dihasilkan oleh Staphylococcus aureus dan basilus Gram negatif yang umum seperti Escherichia
coli. Hampir semua stafilokokus, 50% strain Escherichia coli dan 15% strain Hemophilus influenzae, resisten
terhadap ampisilin.

Oleh karena itu, kemungkinan resistensi sebaiknya dipertimbangkan sebelum menggunakan ampisilin sebagai
terapi infeksi tanpa penetapan diagnosa. Di rumah sakit, obat ini tidak boleh digunakan tanpa adanya hasil uji
sensitivitas.

Ampisilin diekskresi dengan baik dalam empedu dan urin. Obat ini terutama diindikasikan untuk pengobatan
eksaserbasi bronkitis kronis, dan infeksi telinga bagian tengah, keduanya disebabkan oleh Streptococcus
pneumonia dan Hemophilus influenzae.

Ampisilin dapat diberikan per oral, tapi yang diabsorpsi kurang dari separuhnya dan absorpsi dapat lebih
menurun bila ada makanan dalam lambung.

Ruam makulopapular umum terjadi pada penggunaan ampisilin (dan amoksisilin), tapi biasanya tidak terkait
dengan alergi penisilin. Hal ini umumnya terjadi pada pasien yang mengalami glandular fever; karena itu
penisilin spektrum luas tidak boleh digunakan untuk terapi tanpa penetapan diagnosis pada nyeri tenggorok.
Ruam juga sering terjadi pada pasien leukemia limfositik akut atau kronis atau pada infeksi sitomegalovirus.
Amoksisilin merupakan turunan ampisilin dan memiliki spektrum antibakteri yang sama. Obat ini diabsorpsi
lebih baik daripada ampisilin bila diberikan per oral dan menghasilkan kadar yang lebih tinggi dalam plasma
dan jaringan. Tidak seperti ampisilin, absorpsinya tidak terganggu dengan adanya makanan dalam lambung.
Amoksisilin digunakan untuk profilaksis endokarditis.

Co amoksiklav terdiri dari amoksisilin dan asam klavulanat (penghambat beta-laktamase) yang tersedia dalam
bentuk kombinasi tetap. Asam klavulanat sendiri hampir tidak memiliki efek antibakteri. Tapi dengan
menginaktifkan penisilinase, kombinasi ini aktif terhadap bakteri penghasil penisilinase yang resisten terhadap
amoksisilin. Termasuk strain Staphylococcus aureus, Escherichia coli, dan Hemophilus influenzae, serta juga
Bacteroides dan Klebsiella spp. Co- amoksiklav hanya diberikan (dicadangkan) pada infeksi yang diduga
diketahui atau diketahui disebabkan oleh strain yang menghasilkan beta-laktamase yang resisten terhadap
amoksisilin.

Lyme disease. Lyme disease sebaiknya ditangani oleh dokter yang berpengalaman dalam penatalaksanaan
penyakit ini. Doksisiklin merupakan antibakteri pilihan untuk Lyme disease stadium awal. Pemberian intravena
sefotaksim, seftriakson atau benzilpenisilin direkomendasikan untuk Lyme disease terkait dengan abnormalitas
neurologik atau kardiak sedang sampai berat. Lama terapi biasanya 2-4 minggu; Lyme arthritis memerlukan
terapi antibakteri oral yang lebih lama.

Infeksi pada mulut. Amoksisilin atau ampisilin sama efektifnya dengan fenoksimetilpenisilin tetapi
absorpsinya lebih baik, namun obat ini dapat menyebabkan berkembangnya organisme yang resisten. Seperti
halnya fenoksimetilpenisilin, amoksisilin dan ampisilin tidak efektif terhadap bakteri yang menghasilkan beta-
laktamase. Amoksisilin juga berguna untuk regimen terapi oral jangka pendek. Amoksisilin juga digunakan
untuk profilaksis endokarditis.

Monografi:
AMOKSISILIN
Indikasi:
lihat ampisilin; juga untuk profilaksis endokarditis; terapi tambahan pada listerial meningitis (lihat Tabel 5.1),
eradikasi Helicobacter pylori (lihat 1.3).

Peringatan:
lihat ampisilin; mempertahankan hidrasi yang tepat pada pemberian dosis tinggi (terutama selama terapi
parenteral).

Kontraindikasi:
lihat ampisilin.

Efek Samping:
lihat ampisilin.

Dosis:

oral: 250 mg tiap 8 jam, dosis digandakan pada infeksi berat; ANAK hingga 10 tahun: 125 - 250 mg tiap 8
jam, dosis digandakan pada infeksi berat. Otitis media, 1 g setiap 8 jam. Anak 40 mg/kg bb sehari dalam 3
dosis terbagi (maksimum 3 g sehari). Pneumonia, 0,5 – 1 g setiap 8 jam. Antrax (terapi dan profilaksis setelah
paparan), 500 mg setiap 8 jam; ANAK berat badan kurang dari 20 kg, 80 mg/kg bb sehari dalam 3 dosis
terbagi, berat badan lebih dari 20 kg, dosis dewasa. Terapi oral jangka pendek: Abses gigi: 3 g, diulangi
setelah 8 jam; Infeksi saluran kemih: 3 g, diulangi setelah 10-12 jam; Injeksi intramuskular: 500 mg tiap 8
jam; ANAK, 50-100 mg/kg bb sehari dalam dosis terbagi; Injeksi intravena atau infus: 500 mg tiap 8 jam,
dapat dinaikkan sampai 1 g tiap 6 jam pada infeksi berat; ANAK: 50-100 mg/hari dalam dosis terbagi. Listerial
meningitis (dalam kombinasi dengan antibiotik lain), infus intravena, 2 g setiap 4 jam untuk 10 -14 jam.
Endokarditis (dalam kombinasi dengan antibiotik lain jika diperlukan), infus intravena, 2 g setiap 6 jam,
ditingkatkan hingga 2 g setiap 4 jam, seperti dalam endokarditis enterokokus atau jika amoksisilin digunakan
tunggal.

AMPISILIN
Indikasi:
infeksi saluran kemih, otitis media, sinusitis, infeksi pada mulut (lihat keterangan di atas), bronkitis,
uncomplicated community- acquired pneumonia, infeksi Haemophillus influenza, salmonellosis invasif;
listerial meningitis.

Peringatan:
riwayat alergi, gangguan ginjal (lampiran 2), ruam eritematous umumnya pada glandular fever, infeksi
sitomegalovirus, dan leukemia limfositik akut atau kronik (lihat keterangan di atas). Pemakaian dosis tinggi
atau jangka lama dapat menimbulkan superinfeksi terutama pada saluran pencernaan. Jangan diberikan pada
bayi baru lahir dan ibu yang hipersensitif terhadap penisilin. Pada penderita payah ginjal, takaran harus
dikurangi. Keamanan pemakaian pada wanita hamil belum diketahui dengan pasti. Hati-hati kemungkinan
terjadi syok anafilaktik.

Interaksi:
lihat Lampiran 1 (penisilin).
Kontraindikasi:
hipersensitivitas terhadap penisilin.

Efek Samping:
mual, muntah, diare; ruam (hentikan penggunaan), jarang terjadi kolitis karena antibiotik; lihat juga
Benzilpenisilin (5.1.1.1).

Dosis:

oral: 0,25-1 gram tiap 6 jam, diberikan 30 menit sebelum makan. ANAK di bawah 10 tahun, ½ dosis dewasa.
Infeksi saluran kemih, 500 mg tiap 8 jam; ANAK di bawah 10 tahun, setengah dosis dewasa. Injeksi
intramuskular atau injeksi intravena atau infus, 500 mg setiap 4-6 jam; ANAK di bawah 10 tahun, ½ dosis
dewasa; Endokarditis (dalam kombinasi dengan antibiotik lain jika diperlukan), infus intravena, 2 g setiap 6
jam, ditingkatkan hingga 2 g setiap 4 jam, dalam endokarditis enterokokus atau jika ampisilin digunakan
tunggal; Listerial meningitis (dalam kombinasi dengan antibiotik lain), infus intravena, 2 g setiap 4 jam selama
10–14 hari; NEONATAL 50 mg/kg bb setiap 6 jam; BAYI 1-3 bulan, 50-100 mg/kg bb setiap 6 jam; ANAK 3
bulan – 12 tahun, 100 mg/kg bb setiap 6 jam (maksimal 12 g sehari).

BAKAMPISILIN
Indikasi:
lihat ampisilin.

Peringatan:
lihat ampisilin.

Kontraindikasi:
lihat ampisilin.

Efek Samping:
lihat ampisilin.

Dosis:
400 mg, 2-3 kali sehari.

Pada infeksi berat dapat diberikan dua kali lebih tinggi. ANAK lebih dari 5 tahun: 200 mg, tiga kali sehari.
Gonore tanpa komplikasi: 1,6 g dosis tunggal, ditambah 1 g probenesid.

CO AMOKSIKLAV (AMOKSISILIN-ASAM KLAVULANAT)


Indikasi:
lihat ampisilin.

Peringatan:
lihat Ampisilin dan catatan di atas; juga peringatan pada gangguan hati (pengawasan fungsi hati), kehamilan,
mempertahankan hidrasi yang tepat pada penggunaan dosis tinggi (terutama selama terapi parenteral)

Cholestatic jaundice dapat terjadi selama atau segera setelah penggunaan co amoksiklav. Studi epidemiologi
menunjukkan bahwa risiko toksisitas hati akut dari co amoksiklav, enam kali lebih besar daripada amoksisilin.
Cholestatic jaundice lebih sering terjadi pada pasien usia di atas 65 tahun dan pada laki- laik; reaksi ini hanya
jarang terjadi pada anak- anak. Jaundice biasanya dapat hilang dengan sendirinya dan jarang sekali fatal. Lama
terapi sebaiknya tepat sesuai dengan indikasi dan tidak boleh melebihi dari 14 hari.

Kontraindikasi:

hipersensitifitas pada penisilin, riwayat jaundice karena co amoksiklav atau jaundice karena penisilin atau
disfungsi hati.

Efek Samping:
lihat ampisilin; hepatitis, kolestatik jaundice (lihat di atas); sindrom Steven-Johnson, nekrolisis epidermal
toksik, dermatitis exfoliatif, vaskulitis; memperpanjang waktu perdarahan, pusing, sakit kepala, konvulsi
(terutama pada dosis tinggi atau pada gangguan ginjal); pewarnaan permukaan gigi dengan penggunaan
suspensi, flebitis pada tempat injeksi.

Hati-hati pada pasien gangguan fungsi hati, hepatitis, ikterus kolestatik, termasuk kehamilan.

Dosis:
Oral, dinyatakan sebagai amoksisilin, 250 mg setiap 8 jam, dosis digandakan pada infeksi berat; ANAK di
bawah 6 tahun 125 mg; 6-12 tahun, 250 mg atau untuk terapi jangka pendek dengan dosis dua kali sehari.
Infeksi dental berat (tapi umumnya bukan pilihan pertama, lihat catatan di atas), dinyatakan sebagai
amoksisilin, 250 mg setiap 8 jam selama 5 hari.

Injeksi intravena selama 3-4 menit atau infus intravena, dinyatakan sebagai amoksisilin, 1 g setiap 8 jam,
ditingkatkan hingga 1 g setiap 6 jam pada infeksi yang lebih berat; BAYI hingga 3 bulan 25 mg/kg bb setiap 8
jam (setiap 12 jam pada saat perinatal atau bayi prematur); ANAK 3 bulan – 12 tahun, 25 mg/kg bb setiap 8
jam ditingkatkan hingga 25 mg/kg bb setiap 6 jam pada infeksi yang lebih berat.

Profilaksis bedah, dinyatakan sebagai amoksisilin, 1 g saat induksi; untuk bedah dengan risiko tinggi (seperti
operasi kolorektal) sampai dengan 2-3 dosis berikutnya 1 g dapat diberikan setiap 8 jam.

Keterangan:
Campuran dari amoksisilin (dalam bentuk trihidrat atau garam natrium) dan asam klavulanat (sebagai kalium
klavulanat).

PIVAMPISILIN
Indikasi:
lihat ampisilin.

Peringatan:
lihat ampisilin.
Kontraindikasi:
lihat ampisilin.

Efek Samping:
lihat ampisilin; uji fungsi hati dan uji fungsi ginjal diperlukan pada penggunaan jangka panjang; hindari pada
porfiria dan dalam defisiensi karnitin.

Dosis:

500 mg setiap 12 jam, gandakan pada infeksi berat; ANAK usia 3 bulan-1 tahun 40-60 mg/kg bb/hari dalam 2
-3 dosis terbagi; 1-5 tahun 350-525 mg/hari; 6-10 tahun 525-700 mg/hari; dosis bisa digandakan pada infeksi
berat.

SULTAMISILIN
Indikasi:
infeksi mikroorganisme yang mudah menyebar seperti infeksi saluran napas bagian atas (termasuk sinusitis,
otitis media dan tonsilitis); infeksi saluran napas bagian bawah (termasuk pneumonia karena bakteri dan
bronkitis); infeksi saluran kemih dan pyelonephritis; infeksi kulit dan jaringan lunak; infeksi gonococcal.

Peringatan:

superinfeksi, diare terkait Clostridium difficile, pantau fungsi ginjal, hati dan darah pada pemberian dalam
jangka waktu lama, menyusui, neonatus.

Interaksi:
alopurinol meningkatkan kejadian kemerahan pada kulit; antikoagulan, sultamisilin meningkatkan agregasi
platelet dan pemeriksaan koagulasi; bakteriostatik (kloramfenikol, eritromisin, sulfonamida dan tetrasiklin)
dapat mengganggu efek bakterisida dari sultamisilin; kontrasepsi estrogen, sultamisilin dapat menurunkan
efektivitas kontrasepsi oral; metotreksat, sultamisilin menurunkan bersihan metotreksat dan dapat meningkatkan
toksisitas metotreksat; probenesid menurunkan sekresi renal tubular dari ampisilin dan sulbaktam.

Kontraindikasi:
hipersensitivitas terhadap penisilin.

Efek Samping:
alergi, syok anafilaksis, reaksi anafilaktoid, pusing, diare, dispnea, kemerahan, gatal, black hairy tongue, glositis,
stomatitis, anemia, anemia hemolitik, trombositopenia, trombositopenia purpura, eosinofilia, leukopeni,
neutropenia, agranulositosis, abnormalitas agregasi platelet.

Dosis:

dewasa 375 mg – 750 mg sehari 2 kali selama 5-14 hari, tapi lama pemberian dapat ditambah jika dibutuhkan;
anak (BB <30 kg) 25 – 50 mg/kg/hari dalam 2 dosis terbagi; anak dengan BB 30 kg atau lebih mengikuti dosis
dewasa.
Untuk gonore tanpa komplikasi, 2,25 g sebagai dosis tunggal selama 10 hari. Disarankan untuk diberikan
bersama dengan probenesid 1g untuk mempertahankan kadar plasma sulbaktam dan ampisilin.
Catatan:
sultamisilin merupakan pro-drug dari ampisilin dan sulbaktam.

.1.1.4 Penisilin Antipseudomonas


Karboksipenisilin dan tikarsilin terutama diindikasikan untuk infeksi berat yang disebabkan oleh Pseudomonas
aeruginosa. Selain itu golongan obat ini juga aktif terhadap beberapa kuman Gram negatif, termasuk Proteus
spp dan Bacteroides fragilis.
Tikarsilin sekarang hanya tersedia dalam bentuk kombinasi dengan asam klavulanat; kombinasi ini aktif
terhadap bakteri penghasil beta-laktamase yang resisten terhadap tikarsilin.

Ureidopenisilin dan piperasilin tersedia dalam kombinasi dengan penghambat beta-laktamase, tazobaktam.
Piperasilin lebih aktif terhadap Pseudomonas aeruginosa dibanding tikarsilin. Spektrum kombinasi piperasilin
dan tazobaktam sebanding dengan karbapenem, imipenem, dan meropenem. Untuk septikemia karena
pseudomonas (terutama pada neutropenia atau endokarditis), penisilin antipseudomonas ini sebaiknya kombinasi
dengan aminoglikosida (gentamisin atau netilmisin) karena adanya efek sinergis. Tapi kedua obat ini tidak boleh
dicampur dalam satu semprit atau infus. Karena kebanyakan obat ini mengandung natrium, pemberian dosis
tinggi dapat menimbulkan hipernatremia.
Monografi:

PIPERASILIN
Indikasi:

infeksi Pseudomonas aeruginosa.

Peringatan:

lihat benzilpenisilin, gangguan fungsi ginjal (lampiran 3), kehamilan (lampiran 4), menyusui (lampiran 5).

Kontraindikasi:

lihat benzilpenisilin.

Efek Samping:

lihat benzilpenisilin; mual, muntah, diare; kurang sering terjadi: stomatitis, dispepsia, konstipasi, jaundice,
hipotensi, sakit kepala, insomnia, dan reaksi pada tempat penyuntikan; jarang terjadi: nyeri lambung, hepatitis,
edema, fatigue, dan eusinofilia; sangat jarang terjadi: hipoglikemia, hipokalemia, pansitopenia, sindroma
Steven Johnson, dan nekrolisis epidermal toksik.
Dosis:

injeksi intramuskular atau injeksi intravena lambat atau infus intravena: 100-150 mg/kg bb/hari dalam dosis
terbagi. Pada infeksi berat 200-300 mg/kg bb/hari. Pada infeksi lebih berat: 16 g/hari; dosis tunggal di atas 2 g
hanya diberikan secara intra vena.

PIPERASILIN + TAZOBAKTAM
Indikasi:

infeksi sedang dan berat pada pasien yang resisten terhadap piperasilin; appendicitis, infeksi kulit termasuk
selulitis, abses kutan dan iskemia/infeksi kaki karena diabetes melitus; endometritis postpartum atau penyakit
inflamasi pelvic; pneumonia dapatan dari lingkungan (hanya sedang sampai berat).

Peringatan:

Gangguan fungsi ginjal; kehamilan; wanita menyusui.

Interaksi:

lihat Lampiran 1.

Kontraindikasi:

hipersensitif terhadap beta-laktam (termasuk penisilin dan sefalosporin) atau terhadap penghambat beta-
laktamase.

Efek Samping:

Diare, mual, muntah, kemerahan pada kulit.

Dosis:

Piperasilin/tazobaktam harus diberikan melalui infuse intravena secara perlahan (contohnya 20-30 menit) atau
injeksi intravena secara perlahan (lebih atau paling tidak 3-5 menit).

Dewasa dan anak-anak lebih dari 12 tahun: dosis total perhari yang direkomendasikan adalah 12 g
piperasilin/1,5 g tazobaktam diberikan dengan dosis terbagi tiap 6 atau 8 jam. Pada infeksi berat dapat
diberikan dosis sebesar 18 g piperasilin/2,25 g tazobaktam perhari dalam dosis terbagi.

SULBENISILIN
Indikasi:
infeksi Pseudomonas aeruginosa.

Peringatan:

lihat benzilpenisilin (5.1.1.1).

Kontraindikasi:

lihat benzilpenisilin (5.1.1.1).

Efek Samping:

lihat benzilpenisilin (5.1.1.1).

Dosis:

DEWASA: 2-4 g/hari, ANAK: 40-80 mg/kg bb/hari. Diberikan secara intramuskular atau intravena, dibagi
dalam dua kali pemberian.

TIKARSILIN
Indikasi:

infeksi yang disebabkan oleh Pseudomonas dan Proteus spp.

Peringatan:

lihat benzil penisilin.

Kontraindikasi:

lihat benzil penisilin.

Efek Samping:

lihat benzil penisilin; mual, muntah, gangguan koagulasi, haemorrhagic cystitis (lebih sering terjadi pada anak-
anak), reaksi pada tempat penyuntikan, sindroma Steven Johnson, nekrolisis, hipokalemia, eosinofilia.

Dosis:

injeksi intravena lambat atau infus: 15-20 g per hari dalam dosis terbagi. ANAK: 200-300 mg/kg bb per hari
dalam dosis terbagi.Untuk infeksi saluran kemih secara injeksi intramuskular atau injeksi intravena lambat:
DEWASA 3-4 g per hari dalam dosis terbagi; ANAK: 50-100 mg/kg bb/hari dalam dosis terbagi.
TIKARSILIN + ASAM KLAVULANAT
Indikasi:

infeksi yang disebabkan oleh Pseudomonas dan Proteus spp.


Peringatan:

lihat benzil penisilin (5.1.1.1).

Kontraindikasi:

lihat benzil penisilin (5.1.1.1).

Efek Samping:

lihat benzil penisilin (5.1.1.1); mual, muntah, gangguan koagulasi darah, sistitis hemoragik (lebih sering pada
anak), reaksi tempat suntik, sindrom Stevens- Johnson, toxic epidermal necrolysis, hipokalemia, eosinofil.
Dosis:

injeksi infus intravena: 3,2 g setiap 6-8 jam ditingkatkan hingga setiap 4 jam pada infeksi berat. ANAK: 80
mg/kg bb setiap 6-8 jam (setiap 12 jam pada neonatal).

5.1.1.5 Mesilinam
Pivmesilinam memiliki aktivitas terhadap bakteri Gram negatif seperti Eschericia coli, Klebsiella, Enterobacter,
dan Salmonella. Obat ini tidak aktif terhadap Pseudomanas aeruginosa atau enterokokus. Pivmesilinam
dihidrolisis menjadi mesilinam yang merupakan zat aktifnya.
Monografi:

PIVMESILINAM
Indikasi:

sistitis akut tanpa komplikasi, bakteriuria kambuhan atau kronis, infeksi saluran.

Peringatan:

lihat benzil penisilin (5.1.1.1); pada penggunaan jangka panjang, perlu dipantau fungsi hati dan fungsi ginjal;
hindari pada porfiria.

Kontraindikasi:
lihat benzilpenisilin (5.1.1.1); defisiensi karnitin, stricture esofageal, obstruksi saluran cerna, bayi di bawah 3
bulan.
Efek Samping:

lihat benzil penisilin (5.1.1.1); mual, muntah, dispepsia, menurunkan kadar karnitin dalam darah dan seluruh
tubuh (terutama pada penggunaan lama dan berulang).

Dosis:

sistitis akut tanpa komplikasi, DEWASA dan ANAK di atas 40 kg, awal 400 mg, kemudian 200 mg setiap 8
jam selama 3 hari.Bakteriuria kambuhan atau kronis, DEWASA dan ANAK di atas 40 kg, 400 mg setiap 6?8
jam.Infeksi saluran kemih, ANAK di bawah 40 kg, 20-40 mg/kg bb sehari dalam 3-4 dosis terbagi.

Penggunaan:

Konseling: Tablet sebaiknya ditelan utuh dengan banyak air pada saat makan, dengan posisi duduk atau
berdiri.

5.1.2 Sefalosporin dan Antibiotik Beta-


laktam Lainnya
Antibiotik dalam bab ini termasuk sefalosporin seperti sefotaksim, seftazidim, sefuroksim, sefaleksin, dan
sefradin, golongan monobaktam, aztreonam dan golongan karbapenem, imipenem (turunan tienamisin) dan
meropenem.

 5.1.2.1 Sefalosporin
 5.1.2.2 Antibiotik Beta-laktam Lain

5.1.2.1 Sefalosporin
Sefalosporin merupakan antibiotik spektrum luas yang digunakan untuk terapi septikemia, pneumonia,
meningitis, infeksi saluran empedu, peritonitis, dan infeksi saluran urin. Aktivitas farmakologi dari sefalosporin
sama dengan penisilin, diekskresi sebagian besar melalui ginjal. Kemampuan sefalosporin melintas sawar otak
sangat rendah kecuali pada kondisi inflamasi; sefotaksim merupakan sefalosporin yang baik untuk infeksi sistem
saraf pusat (misalnya meningitis). Efek samping utama dari sefalosporin adalah hipersensitifitas dan sekitar 10%
dari pasien sensitif terhadap penisilin juga akan alergi terhadap sefalosporin.

Sefradin secara umum telah diganti oleh sefalosporin yang lebih baru.
Sefuroksim merupakan sefalosporin generasi kedua yang kurang sensitif terhadap inaktivasi oleh beta-
laktamase dibandingkan dengan sefalosporin generasi pertama sehingga antibiotik ini aktif terhadap bakteri
tertentu yang resisten terhadap antibiotik lain dan mempunyai aktivitas yang lebih besar terhadap Haemophilus
influenza dan Neisseria gonorrhoeae.

Sefotaksim, seftazidim dan seftriakson merupakan sefalosporin generasi ketiga dengan aktivitas yang lebih
luas dibandingkan dengan generasi kedua, terhadap bakteri Gram negatif. Namun, antibiotik ini kurang aktif
dibandingkan sefuroksim terhadap bakteri Gram positif, terutama Staphylococcus aureus. Spektrum
antibakterinya yang luas ini dapat menyebabkan superinfeksi dengan bakteri atau jamur yang resisten.
Seftazidim memiliki aktivitas yang baik terhadap pseudomonas. Juga aktif terhadap bakteri Gram negatif.
Seftriakson memiliki waktu paruh yang lebih panjang sehingga dapat diberikan satu kali sehari. Indikasi meliputi
infeksi berat seperti septikemia, pneumonia dan meningitis. Garam kalsium dari seftriakson membentuk endapan
dalam kandung kemih yang walau jarang tetapi dapat menimbulkan keluhan, namun dapat hilang jika dihentikan.
Pada neonatus, seftriakson dapat menggeser bilirubin dari plasma albumin, oleh karena itu penggunaannya
sebaiknya dihindari pada neonatus dengan hiperbilirubinemia yang tidak terkonjugasi, hipoalbuminemia,
asidosis atau kegagalan pengikatan bilirubin.

Sefalosporin oral. Sefalosporin generasi pertama yang dapat diberikan secara oral adalah sefaleksin, sefradin,
dan sefadroksil, sedangkan yang dari generasi kedua adalah sefaklor dan sefprozil. Obat-obat ini bermanfaat
dalam infeksi saluran kemih, yang tidak memberikan respon terhadap antibiotik lain atau yang terjadi pada waktu
hamil, infeksi saluran pernafasan, otitis media, sinusitis serta infeksi kulit dan jaringan lunak.

Sefaklor aktif terhadap Hemophilus influenzae, namun antibiotik ini menyebabkan reaksi kulit yang lebih lama
dari biasanya, terutama pada anak-anak. Sefadroksil memiliki masa kerja yang lama dan dapat diberikan dua
kali sehari; memiliki aktivitas yang lemah terhadap Hemophilus influenzae. Sefuroksim aksetil, bentuk ester dari
sefuroksim yang merupakan sefalosporin generasi kedua sefuroksim, memiliki spektrum antibakteri yang sama
dengan senyawa asalnya; antibiotik ini sulit diabsorpsi.

Sefiksim memiliki lama kerja yang lebih panjang daripada sefalosporin lainnya yang dapat diberikan secara oral.
Hanya diindikasikan untuk infeksi akut. Sefpodoksim proksetil lebih aktif daripada sefaloporin oral lainnya
terhadap bakteri patogen pernafasan dan diindikasikan untuk infeksi saluran pernafasan atas dan bawah. Untuk
terapi penyakit Lyme, lihat 5.1.1.3.

Infeksi pada rongga mulut. Sefalosporin sedikit lebih efektif dibandingkan penisilin dalam mengatasi infeksi
pada gigi, kurang efektif terhadap bakteri anaerob. Infeksi karena streptokokus oral (sering disebut streptokokus
viridans) yang menjadi resisten terhadap penisilin, biasanya juga resisten terhadap sefalosporin. Hal ini penting
dalam kasus pasien yang mengalami demam rematik dan yang sedang mendapat terapi penisilin jangka panjang.
Obat yang dipakai adalah sefaleksin dan sefradin.

Sefalosporin generasi pertama:

Terutama aktif terhadap kuman Gram positif. Golongan ini efektif terhadap sebagian besar Staphylococcus
aureus dan streptokokus termasuk Streptococcus pyogenes, Streptococcus viridans dan Streptococcus
pneumoniae. Bakteri gram positif yang juga sensitif adalah Streptococcus anaerob, Clostridium perfringens,
Listeria monocytogenes dan Corynebacterium diphteria. Kuman yang resisten antara lain MRSA,
Staphylococcus epidermidis dan Streptococcus faecalis. Sefaleksin, sefradin, sefadroksil, aktif pada pemberian
per oral. Obat ini diindikasikan untuk infeksi saluran kemih yang tidak memberikan respons terhadap obat lain
atau yang terjadi selama hamil, infeksi saluran napas, sinusitis, infeksi kulit dan jaringan lunak.

Sefalosporin generasi kedua:


Dibandingkan dengan generasi pertama, sefalosporin generasi kedua kurang aktif terhadap bakteri gram positif,
tapi lebih aktif terhadap bakteri gram negatif, misalnya Hemophilus influenzae, Pr. mirabilis, Escherichia coli
dan Klebsiella. Golongan ini tidak efektif terhadap Pseudomonas aeruginosa dan enterokokus. Sefoksitin aktif
tehadap kuman anaerob. Sefuroksim dan sefamandol lebih tahan terhadap penisilinase dibandingkan dengan
generasi pertama dan memiliki aktivitas yang lebih besar terhadap Hemophilus influenzae dan N. gonorrhoeae.

Sefalosporin generasi ketiga:

Golongan ini umumnya kurang aktif terhadap kokus gram positif dibandingkan dengan generasi pertama, tapi
jauh lebih aktif terhadap Enterobacteriaceae, termasuk strain penghasil penisilinase. Seftazidim aktif terhadap
pseudomonas dan beberapa kuman gram negatif lainnya. Seftriakson memiliki waktu paruh yang lebih panjang
dibandingkan sefalosporin yang lain, sehingga cukup diberikan satu kali sehari. Obat ini diindikasikan untuk
infeksi berat seperti septikemia, pneumonia dan meningitis. Garam kalsium seftriakson kadang-kadang
menimbul-kan presipitasi di kandung empedu. Tapi biasanya menghilang bila obat dihentikan. Sefoksitin aktif
terhadap flora usus termasuk Bacteroides fragilis, sehingga diindikasikan untuk sepsis karena peritonitis.

Farmakokinetik:
Dari sifat farmakokinetik, sefalosporin dibedakan menjadi 2 golongan. Sefaleksin, sefradin, sefaklor dan
sefadroksil dapat diberikan per oral karena diabsorpsi melalui saluran cerna. Sefalosporin lainnya hanya dapat
diberikan parenteral. Sefalotin dan sefapirin umumnya diberikan secara intravena karena menimbulkan iritasi
pada pemberian intramuskular. Beberapa sefalosporin generasi ketiga misalnya moksalaktam, sefotaksim,
seftizoksim dan seftriakson mencapai kadar yang tinggi dalam cairan serebrospinal, sehingga bermanfaat untuk
pengobatan meningitis purulenta. Selain itu sefalosporin juga melewati sawar plasenta, mencapai kadar tinggi
dalam cairan sinovial dan cairan perikardium. Pada pemberian sistemik, kadar sefalosporin generasi ketiga
dalam cairan mata relatif tinggi, tapi tidak mencapai vitreus. Kadar dalam empedu umumnya tinggi, terutama
sefoperazon. Kebanyakan sefalosporin diekskresi dalam bentuk utuh ke urin, kecuali sefoperazon yang sebagian
besar diekskresi melalui empedu. Oleh karena itu dosisnya sebaiknya disesuaikan pada pasien dengan gangguan
fungsi ginjal.

Efek samping: Reaksi alergi merupakan efek samping yang paling sering terjadi. Reaksi anafilaksis dengan
spasme bronkus dan urtikaria dapat terjadi. Reaksi silang biasanya terjadi pada pasien dengan alergi penisilin
berat, sedangkan pada alergi penisilin yang ringan dan sedang, kemungkinannya kecil. Sefalosporin merupakan
zat yang nefrotoksik, walaupun jauh kurang toksik dibandingkan dengan aminoglikosida dan polimiksin.
Kombinasi sefalosporin dengan aminoglikosida memper-mudah terjadinya nefrotoksisitas. Depresi sumsum
tulang terutama granulositopenia jarang terjadi.

Monografi:

SEFADROKSIL
Indikasi:

lihat pada sefaklor dan keterangan di atas.

Peringatan:
lihat pada sefaklor.

Kontraindikasi:
lihat pada sefaklor.
Efek Samping:
lihat pada sefaklor.

Dosis:
berat badan lebih dari 40 kg: 0,5-1 g dua kali sehari. Infeksi jaringan lunak, kulit, dan saluran kemih tanpa
komplikasi: 1 g/hari. ANAK kurang dari 1 tahun: 25 mg/kg bb/hari dalam dosis terbagi. ANAK 1-6 tahun: 250
mg dua kali sehari. ANAK lebih dari 6 tahun: 500 mg dua kali sehari.

SEFAKLOR
Indikasi:
infeksi bakteri gram positif dan gram negatif, lihat keterangan di atas.

Peringatan:
sensitivitas terhadap antibakteri beta-laktam (hindari jika ada riwayat hipersensitivitas), gangguan ginjal
(lampiran 3), kehamilan dan menyusui (tetapi boleh digunakan), positif palsu untuk glukosa urin (jika diuji
untuk penurunan glukosa), positif palsu pada uji Coombs.

Interaksi:
lihat Lampiran 1 (sefalosporin).

Kontraindikasi:
hipersensitivitas terhadap sefalosporin.

Efek Samping:

diare dan kolitis yang disebabkan oleh antibiotik (keduany a karena penggunaan dosis tinggi), mual dan
muntah, rasa tidak enak pada saluran cerna, sakit kepala, reaksi alergi berupa ruam, pruritus, urtikaria, serum
sickness-like reactions dengan ruam, demam dan artralgia, anafilaksis, sindroma Stevens-Johnson, nekrolisis
epidermal toksis, gangguan fungsi hati, hepatitis transien dan kolestatik jaundice; eosinofil, gangguan darah
(trombositopenia, leukopenia, agranulositosis, anemia aplastik, anemia hemolitik); nefritis interstisial
reversibel, gangguan tidur, hiperaktivitas, bingung, hipertonia dan pusing, nervous.

Dosis:

250 mg tiap 8 jam, untuk infeksi berat dosis dapat dinaikkan dua kali lipat, maksimum 4 g per hari; ANAK di
atas 1 bulan: 20 mg/kg bb/hari dalam tiga dosis terbagi, untuk infeksi berat dosis dapat dinaikkan dua kali
lipat, maks 1 g sehari; atau 1 bulan? tahun, 62,5 mg tiap 8 jam. ANAK berusia 1-5 tahun: 125 mg. Di atas 5
tahun: 250 mg. Untuk infeksi berat dosis dapat dinaikkan dua kali lipat.

SEFALEKSIN
Indikasi:
lihat sefaklor.

Peringatan:
lihat sefaklor.
Kontraindikasi:
lihat sefaklor.

Efek Samping:
lihat sefaklor.

Dosis:
250 mg tiap 6 jam atau 500 mg tiap 8-12 jam. Dapat dinaikkan sampai 1-1,5 g tiap 6-8 jam untuk infeksi
berat.ANAK: 25 mg/kg bb/hari dalam dosis terbagi. Dapat dinaikkan dua kali lipat untuk infeksi berat
(maksimum 100 mg/kg bb/hari). Di bawah 1 tahun: 125 mg tiap 12 jam. 1 sampai 5 tahun, 125 mg tiap 8 jam;
6 sampai 12 tahun, 250 mg tiap 8 jam.Profilaksis infeksi saluran kemih berulang, Dewasa, 125 mg pada malam
hari.

SEFAMANDOL
Indikasi:
profilaksis pada tindakan pembedahan. Lihat juga sefaklor.

Peringatan:
lihat sefaklor.

Kontraindikasi:
Alergi terhadap antibiotik golongan sefalosporin.

Efek Samping:

lihat sefaklor.

Dosis:
Injeksi intramuskuler atau intravena selama 3-5 menit atau infus intravena 0,5-2 g tiap 4-8 jam. BAYI di atas 1
bulan, 50-100 mg/kg bb/hari dibagi dalam 3-6 dosis. Untuk infeksi berat, 150 mg/kg bb/hari.Profilaksis bedah,
1-2 g 30-60 menit sebelum operasi, dilanjutkan dengan 1-2 g tiap 6 jam selama 24-48 jam. (sampai 72 jam
untuk implantasi protesis).

SEFAZOLIN
Indikasi:
lihat sefaklor; profilaksis bedah.

Peringatan:
Lihat sefaklor.

Kontraindikasi:
Alergi terhadap antibiotik golongan sefalosporin.
Efek Samping:
Lihat sefaklor.

Dosis:
Injeksi intramuskular atau injeksi intravena atau infus, 0,5 g-1 g setiap 6-12 jam; ANAK 25-50 mg/kg bb
setiap hari (dalam dosis terbagi), dapat ditingkatkan sampai 100 mg/kg bb per hari pada infeksi berat.

SEFDITOREN PIVOKSIL
Indikasi:
untuk terapi infeksi yang disebabkan oleh strain yang peka pada Community acquired pneumoniae (CAP),
eksaserbasi akut pada bronkitis kronis, faringotonsilitis, sinusitis akut, infeksi kulit dan jaringan lunak yang
tidak kompleks.

Peringatan:
pasien dengan sejarah hipersensitif penisilin; pasien dengan predisposisi personal atau keluarga terhadap gejala
alergi seperti asma bronkial, exanthema, atau urtikaria; gangguan fungsi ginjal berat, pasien lansia, pasien
dengan asupan makanan yang kurang atau sedang diberi infus makanan dan pasien dalam kondisi kesehatan
yang buruk, pasien yang kurang sehat, wanita hamil dan menyusui.

Kontraindikasi:
pasien dengan riwayat syok anafilaksis terhadap zat aktif atau komponen lain dari obat.

Efek Samping:
diare, mual, perasaan tidak nyaman pada perut, exanthema, peningkatan SGOT, SGPT dan eosinophilia. Selain
itu efek samping yang secara klinis bermakna adalah gejala shok anafilaksis, kolitis serius, sindroma Steven
Johnson dan nekrolisis epidermal toksik, pneumonia interstisial, gangguan fungsi hati, disfungsi ginjal serius,
agranulositosis.

Dosis:
infeksi pneoumoniae karena lingkungan, 400 mg dua kali sehari, selama 14 hari; eksaserbasi akut dari
bronkitis kronik, 200 mg dua kali sehari, selama 10 hari; faringotonsilitis, 200 mg dua kali sehari, selama 10
hari; infeksi ringan dari kulit dan jaringan lunak, 200 mg dua kali sehari, selama 10 hari. Diberikan sesudah
makan.

SEFEPIM HIDROKLORIDA
Indikasi:
Untuk mengatasi infeksi saluran napas bawah termasuk pneumonia dan bronkhitis, infeksi saluran kemih dan
komplikasinya, termasuk pyelonepritis dan infeksi yang lebih berat, infeksi kulit dan jaringan kulit. infeksi
intra abdomen, termasuk infeksi saluran empedu dan peritonitis, infeksi ginekologik, septikemia, pengobatan
empiris pada febrile neutropenia.

Peringatan:
Hati-hati pemakaian pada pasien yang hipersensitif terhadap obat ini, antibiotik penisilin atau beta-laktam
lainnya, dan golongan sepalosporin. Jika terjadi alergi, pemakaian obat dihentikan, gangguan fungsi ginjal.
Tidak dianjurkan pemakaian pada lansia, wanita hamil dan menyusui. Jangan digunakan untuk anak-anak di
bawah 13 tahun.

Kontraindikasi:
Hipersensitif terhadap antibiotik penisilin, dan beta-laktam lainnya, golongan sepalosporin dan hipersensitif
terhadap obat ini.

Efek Samping:
Hipersensitif: kemerahan, pruritus, demam. Saluran cerna: mual, muntah, diare, konstipasi, nyeri abdomen,
dispepsia Kardiovaskular: takikardia, nyeri dada. Pernapasan: batuk, nyeri di tenggorokan, dispnea. SSP: sakit
kepala, pusing, insomania, paretesia, ansietas, bingung. Lainnya: astenia, berkeringat, vaginitis, edema perifer,
nyeri, nyeri punggung. Kadang terjadi reaksi lokal seperti flebitis dan radang pada tempat injeksi intravena.

Dosis:

Pemakaian intravena atau intramuskular: 1 g setiap 12 jam. Pengobatan dilakukan selama 7-10 hari tergantung
beratnya infeksi. Untuk pasien dengan gangguan fungsi hati tidak diperlukan penyesuaian dosis. Perlu
penyesuaian dosis pada kelainan fungsi ginjal: Bersihan kreatinin lebih kecil atau sama dengan 10 mL/menit,
250 mg/hari; Bersihan kreatinin 11-30 mL/menit, 500 mg/hari; Bersihan kreatinin 30-60 mL/menit, 1 g setiap
12 jam.

SEFETAMET
Indikasi:

infeksi telinga, hidung dan tenggorokan (otitis media, sinusitis, pharyngotonsilitis); infeksi saluran pernafasan
bagian bawah (serangan akut bronkitis kronis, trakeobronkitis, pneumonia); infeksi saluran urin (infeksi
saluran urin yang tidak berkomplikasi, infeksi saluran urin yang berkomplikasi (termasuk pielonefritis akut
primer), uretritis gonokok akut pada pria.

Peringatan:
diare berat, kolitis dan kolitis pseudomembran; komplikasi yang ditimbulkan oleh toksigenik Clostridium
difficile dapat terjadi selama atau sesudah pengobatan; gangguan fungsi ginjal (lihat pada dosis); kehamilan;
neonatus dan menyusui (khasiat dan keamanan belum diketahui dengan pasti).

Kontraindikasi:

hipersensitif terhadap sefalosporin dan penisilin.

Efek Samping:
diare, mual, muntah, nyeri abdomen, rasa tidak enak pada perut, nyeri perut, flatulensi, panas dalam perut,
peningkatan bilirubin, peningkatan transaminase yang bersifat sementara, perasaan gatal, urtikaria, udem lokal,
kulit merah, eksantema, purpura, lemah, letih, sakit kepala, pusing, leukopenia yang bersifat sementara atau
eosinofilia, peningkatan platelet yang bersifat sementara, gingivitis, proktitis, vaginitis, dan konjungtivis.

Dosis:
dewasa dan anak berusia lebih dari 12 tahun, oral, 500 mg 2 kali sehari Anak hingga usia 12 tahun, oral, 10
mg/kg bb 2 kali sehari.Infeksi saluran urin yang berkomplikasi, dosis total per hari dapat diberikan sebagai
dosis tunggal, 1 jam sebelum atau sesudah makan malam. Uretritis gonokokal pada pria dan sistitis yang tidak
berkomplikasi pada wanita, dosis tunggal 1500-2000 mg diberikan 1 jam sebelum atau sesudah makan (pada
kasus sistitis, lebih baik diberikan pada malam hari). Instruksi dosis khusus: dosis yang dianjurkan untuk
dewasa tidak perlu dimodifikasi pada pasien lansia, dosis untuk anak (dosis standar 10 mg/kg bb), untuk berat
badan < 15 kg dosis 125 mg, untuk berat badan 16-30 kg dosis 250 mg, untuk berat badan 31-40 kg dosis 375
mg, untuk berat badan > 40 kg dosis 500 mg; anak hingga usia 12 tahun: dosis tidak melebihi 500 mg 2 kali
sehari. Gangguan fungsi ginjal : penyesuaian dosis diperlukan pada pasien dengan kegagalan fungsi ginjal
sedang sampai berat (bersihan kreatinin kurang dari 40 mL/min), dosis yang dianjurkan untuk dewasa yaitu :
bersihan kreatinin lebih besar dari 40 mL/menit, 500 mg tiap 12 jam, bersihan kreatinin 10-40 mL/menit, 125
mg, tiap 12 jam, bersihan kreatinin lebih kecil atau sama dengan 10 mL/menit, dosis permulaan 500 mg
kemudian 125 mg, tiap 12 jam; untuk pasien dengan bersihan kreatinin lebih kecil dari 10 mL/menit,
dianjurkan agar diberikan dosis standar normal (500 mg) sebagai dosis permulaan pada hari pertama
pengobatan; pada pasien yang sering mengalami hemodialisa, dosis standar normal 500 mg, diberikan pada
akhir setiap hemodialisa.Pasien dengan gangguan fungsi hati tanpa asites, diberikan dosis standar yang
dianjurkan.

SEFIKSIM
Indikasi:

Infeksi saluran kemih ringan (uncomplicated) yang disebabkan oleh Escherichia coli dan Proteus mirabilis,
otitis media disebabkan oleh Haemophilus influenza (strain beta-laktamase positif dan negatif), Moraxella
(Branhamella), catarrhalis (kebanyakan merupakan strain beta-laktamase positif), dan Sterptococcus pyogenes;
pharingitis dan tonsilitis yang disebabkan Streptococcus pyogenes; bronkitis akut dan bronkitis kronik dari
eksaserbasi akut, yang disebabkan oleh Streptococcus pneuoniae dan Hemophilus influenzae (strain beta-
laktamase positif dan negatif); pengobatan demam tifoid pada anak-anak dengan multi resisten terhadap
regimen standar.

Peringatan:
lihat di bawah sefaklor.

Interaksi:
lihat di bawah sefaklor.

Kontraindikasi:
lihat di bawah sefaklor.

Efek Samping:
konstipasi.

Dosis:

Dewasa dan anak >30 kg, dosis umum yang direkomendasikan 50–100 mg, oral dua kali sehari. Dosis
disesuaikan dengan umur, berat badan, kondisi pasien. Untuk infeksi parah atau infeksi yang sulit
disembuhkan (intractable) dosis ditingkatkan sampai 200 mg dua kali sehari; demam tifoid pada anak, 10–15
mg/kg bb/ hari selama 2 pekan.

SEFODIZIM
Indikasi:
lihat pada dosis.

Peringatan:
lihat sefaklor.

Kontraindikasi:

Alergi terhadap antibiotik golongan sefalosporin.

Efek Samping:

lihat sefaklor.

Dosis:
infeksi saluran napas bawah, pemberian injeksi intramuskuler atau intravena lambat atau infus: 1 g tiap 12 jam.

Infeksi saluran kemih atas dan bawah (termasuk pielonefritis akut dan kronis dan sistitis): 1 g tiap 12 jam atau
2 g per hari dalam dosis tunggal.

SEFOPERAZON
Indikasi:
Infeksi saluran napas bawah dan atas, infeksi saluran urin, peritonitis, kolesistitis, kolangitis, dan infeksi intra
abdomen lainnya, septikemia, infeksi kulit dan jaringan kulit, infeksi tulang dan sendi. penyakit inflamasi
pelvis, endometritis, gonore, dan infeksi saluran genital lainnya.

Peringatan:
Hati-hati pemakaian obat pada wanita menyusui; Pemakaian obat untuk wanita hamil hanya jika sangat
diperlukan; Keamanan dan efektivitas obat pada anak-anak belum dibuktikan; Pemakaian obat pada bayi
prematur dan bayi baru lahir harus mempertimbangkan manfaat resiko pemberian obat.

Kontraindikasi:
Alergi terhadap antibiotik golongan sefalosporin.

Efek Samping:
Hipersensitivitas: kemerahan makulopapular, urtikaria, eosinofilia, dan demam. Efek pada darah: penurunan
neutrofil (neutropenia), pengurangan hemoglobin dan hematokrit, eosinofilia transient, hipoprotombinemia;
Hati: penurunan kadar alkali fosfatase, SGOT, dan SGPT; Saluran cerna: Altered bowel habit (loose stools dan
diare), efek ini akan hilang jika terapi dihentikan; Reaksi lokal: flebitis dan rasa nyeri pada tempat
penyuntikan.

Dosis:

Dewasa, 2-4 g perhari, dalam dosis terbagi, diberikan setiap 12 jam. Pada infeksi yang berat dosis ditingkatkan
menjadi total 8 g perhari dalam dosis terbagi, diberikan setiap 12 jam. Atau 12 g perhari diberikan dalam dosis
terbagi setiap 8 jam, dengan dosis maksimum 16 g perhari. Dosis untuk pengobatan uretritis gonokokal 500
mg secara intramuskular dalam dosis tunggal. Untuk pasien dengan gangguan fungsi ginjal dosis 2-4 g perhari.
Bayi kurang dari 8 hari dan anak-anak, 50-200 mg/kg bb perhari diberikan setiap 12 jam. Dosis dapat
dinaikkan menjadi 300 mg/kg bb per hari untuk pengobatan meningitis tanpa komplikasi.

SULPERAZON (SEFOPERAZON SULBAKTAM)


Indikasi:
Untuk mengatasi infeksi saluran napas atas dan bawah; Infeksi saluran urin atas dan bawah.Infeksi peritonitis,
kolesistisis, kolangitis, dan infeksi intra abdomen lainnya; Infeksi kulit dan jaringan lunak.

Peringatan:

Pada pasien dengan kelaianan fungsi hati dan ginjal, kadar sefoperazon dalam darah sebaiknya dimonitor dan
dilakukan penyesuaian dosis. Dosis tidak boleh lebih dari 2 g/kg bb per hari. Pemakaian obat ini dapat
menyebabkan defisiensi vitamin K pada beberapa pasien.

Kontraindikasi:
Pasien yang alergi terhadap penisilin, sulbaktam, sefoperazon atau sefalosporin lainnya.

Efek Samping:

Efek pada saluran cerna: diare, mual dan muntah; reaksi dermatologi: kemerahan, urtikaria, eosinofil dan
demam; hematologi: neutropenia, penurunan hemoglobin dan hematokrit, eosinofilia trombositopenia, anemia
hemolitik; lain-lain: sakit kepala, demam, nyeri di tempat injeksi, chills; kelainan uji laboratorium:
pengurangan angka SGOT, SGPT, alkali fosfatase, dan kadar bilirubin; reaksi lokal: rasa nyeri dan plebitis
pada tempat injeksi intramuskular; telah dilaporkan adanya reaksi alergi anafilaktik, flushing, berkeringat, sakit
kepala, dan takikardi setelah lima hari pemberian sefoperazon.

Dosis:

Pemakaian untuk dewasa: Rasio 1:1, sulperazon 2-4 g (Aktivitas sulbaktam 1-2 g; Aktivitas sefoperazon 1-2
g). Dosis dapat diberikan setiap 12 jam dalam dosis terbagi yang sama. Pada infeksi yang parah dosis per hari
dapat ditingkatkan mencapai 8 g dengan rasio 1:1 (4 g aktivitas sefoperazon). Dosis dapat diberikan setiap 12
jam dalam dosis terbagi yang sama. Dosis maksimum sulbaktam yang direkomendasikan adalah 4 g.
Pemakaian untuk pasien dengan kelainan fungsi ginjal: Dosis dapat disesuaikan tergantung penurunan fungsi
ginjal (bersihan kreatinin kurang dari 30 mg/menit) sebagai kompensasi terjadinya penurunan bersihan
sulbaktam. Pasien dengan bersihan kreatinin 15-30 mL/menit dapat menerima dosis maksimum 1 g sulbaktam
diberikan setiap 12 jam (dosis maksimum perhari 2 g sulbaktam), ketika bersihan kreatinin kurang dari 15
mL/menit dapat menerima dosis 500 mg sulbaktam setiap 12 jam (dosis maksimum perhari 1 g sulbaktam).
Pada infeksi yang berat, dibutuhkan penambahan sefoperazon. Pemakaiaan pada anak-anak: Rasio 1:1,
sulperazon 40-80 mg/kg bb per hari (Aktivitas sulbaktam 20-40 mg/kg bb per hari; Aktivitas sefoperazon 20-
40 mg/kg bb per hari). Dosis dapat diberikan setiap 6 sampai 12 jam dalam dosis terbagi yang sama. Pada
infeksi yang berat dosis perhari dapat ditingkatkan mencapai 160 mg/kg bb per hari dengan rasio 1:1. Obat
dapat diberikan dalam dosis terbagi 2-4 yang sama. Pemakaian pada bayi baru lahir: Pada minggu pertama
kelahiran, obat diberikan setiap 12 jam. Dosis maksimum perhari sulbaktam untuk bayi adalah 80 mg/kg bb
per hari.

SEFOTAKSIM
Indikasi:
lihat juga sefaklor; Profilaksis pada pembedahan. Epiglotitis karena hemofilus, meningitis.
Peringatan:
lihat sefaklor.

Kontraindikasi:
Alergi terhadap antibiotik golongan sefalosporin.

Efek Samping:
lihat sefaklor.

Dosis:
pemberian injeksi intramuskuler, intravena atau infus:1 g tiap 12 jam, dapat ditingkatkan sampai 12 g per hari
dalam 3-4 kali pemberian. (Dosis di atas 6 g/hari diperlukan untuk infeksi pseudomonas). NEONATUS: 50
mg/kg bb/hari dalam 2-4 kali pemberian. Pada infeksi berat, dapat ditingkatkan 150-200 mg/kg bb/hari.
ANAK: 100-150 mg/kg bb/hari dalam 2-4 kali pemberian. (pada infeksi berat dapat ditingkatkan menjadi 200
mg/kg bb/hari). Gonore: 1 g dosis tunggal.

SEFOTIAM
Indikasi:
infeksi yang disebabkan oleh kuman yang peka terhadap sefotiam yaitu Staphylococcus sp., Streptococcus sp.
(tidak untuk enterokokus), Streptokokus pneumoniae, Neisseria gonorrhoeae, Branhamella catarrhalis,
Eschrichia coli, Citrobacter, Klebsiella sp., Proteus mirabilis, dan Hemophilus influenzae; faringolaringitis,
bronkitis akut, tonsilitis, bronkitis kronis, bronkietaksis (yang disertai dengan infeksi), infeksi sekunder yang
disebabkan oleh penyakit-penyakit pada saluran pernafasan dan pneumonia, pielonefritis, sistitis, uretritis,
folikulitis, aknepustoloma, furunkel, furunkulosis, karbunkel, erisipelas, selulitis, limfangitis (limfadenitis),
felon, perionisia supuratif (paronichia), abses subkutan, hidradenitis, infeksi ateroma, abses perianal, mastitis,
infeksi superfisial sekunder yang disebabkan oleh trauma atau luka karena operasi, blefaritis, hordeolum,
dakriosistitis, tarsadenitis, ulkus korneal, otitis media, dan sinusitis.

Peringatan:
alergi, alergi terhadap sefalosporin atau penisilin; pada pemberian sefalosporin yang lain, dapat terjadi
potensial alergi terhadap beta-laktam lain karena kemungkinan terjadinya alergi silang (Cross alergy);
sefotiam diberikan sebelum makan untuk mencegah gangguan lambung; kehamilan; hati-hati pada pasien atau
orang tua ataupun saudara yang mempunyai riwayat alergi seperti asma bronkial, ruam kulit, dan urtikaria;
pasien gangguan saluran cerna; pasien yang sedang menjalani puasa, pasien yang dalam masa perawatan dan
pemberian makanan dilakukan dengan menggunakan suntikan, pasien lansia atau dalam kondisi lemah (karena
dapat menimbulkan gejala-gejala kekurangan vitamin K); menyusui karena dapat dieksresi melalui ASI.

Interaksi:
menambah kerja ginjal terjadi dengan pemberian antibiotik golongan yang sama, aminoglikosida atau diuretik
kuat.

Kontraindikasi:

hipersensitif terhadap antibiotik golongan sefalosporin; gagal ginjal dengan bersihan kreatinin &#8804; 20 mL
/ menit; gagal hati.
Efek Samping:
syok (hentikan penggunaan obat bila ada rasa tidak enak di mulut, penafasan yang berbunyi, pusing, stimulasi
pada pergerakan usus besar, tinitus, dan berkeringat,); hipersensitif (bila terjadi reaksi hipersensitifitas seperti
ruam kulit, urtikaria, eritema, gatal-gatal, demam, inflamasi pada kelenjar limfe, sakit sendi, dll, obat harus
dihentikan dan pasien diberikan perawatan medis yang tepat); eritopenia, trombositopenia, eosinofilia,
granulositopenia, anemia hemolitik; peningkatan SGPT, SGOT, alkalin fosfatase, dan LDH atau Y-GPT,
jaundice; kolitis yang berat, diare, panas, sakit perut, leukositosis, feses dan mukus berdarah dengan
pseudomembran (bila terjadi diare dan sakit perut, obat harus segera dihentikan); mual, muntah, jantung
berdebar, anoreksia, rasa tidak enak pada lambung, sembelit; stomatitis, kandidiasis; gejala mucocutaneous
ocular (Steven Johnson Syndrome), nekrosis epidermal (Lylell Syndrome), peningkatan BUN, keratinin;
pneumonia atau pulmonary infiltration disertai eosinofilia, demam, batuk, dyspnea, gambaran foto rontgen
yang tidak normal, eosinofilia; defisiensi vitamin K (hipoprotrombinemia, perdarahan, dll), gejala defisiensi
vitamin B (glositis, stomatitis, anoreksia, neuritis, dll); kelelahan; pusing, sakit kepala, paraestesia, nyeri dada,
lemas, dan udem di wajah.

Dosis:

untuk infeksi faringolaringitis, bronkitis akut, tonsilitis, pneumonia, pielonefritis, sistitis, uretritis karena
gonore, folikulitis, aknepustolosa, furunkel, furunkulosis, karbunkel, erisipelas, selulitis, limfangitis
(limfadenitis), felon, perionisia supuratif (paronichia), abses subkutan, hidradenitis, infeksi ateroma, abses
perianal, mastitis, infeksi superfisial sekunder yang disebabkan oleh trauma atau luka karena operasi,
blepharitis, hordeolum, dakriosistitis, tarsadenitis, ulkus korneal, otitis media, dan sinusitis, dosis oral, 200 mg
3 kali sehari; untuk infeksi bronkitis, bronkietaksis (yang disertai dengan infeksi), infeksi sekunder yang
disebabkan oleh penyakit pada saluran pernafasan, dosis oral, 200-400 mg 3 kali sehari; dosis dapat
disesuaikan dengan umur dan keadaan pasien; pada infeksi berat dosis per hari dapat ditingkatkan sampai 1200
mg dalam 3 dosis terbagi; untuk pasien yang mengalami gagal ginjal dengan bersihan kreatinin > 20 mL/
menit, tidak diperlukan penyesuaian dosis bila diberikan tidak lebih dari 400 mg per hari.

SEFPIROM
Indikasi:

lihat sefaklor.

Peringatan:
lihat sefaklor.

Kontraindikasi:
Alergi terhadap antibiotik golongan sefalosporin.

Efek Samping:
lihat sefaklor.

Dosis:
pemberian injeksi intravena atau infus.Infeksi saluran kemih atas dan bawah dengan komplikasi, infeksi kulit
dan jaringan lunak: 1 g tiap 12 jam, dapat naik sampai 2 g tiap 12 jam pada infeksi sangat berat. Infeksi saluran
napas bawah: 1-2 g tiap 12 jam. Infeksi berat, termasuk bakteremia: 2 g tiap 12 jam. Tidak dianjurkan untuk
anak di bawah 12 tahun.
SEFPODOKSIM
Indikasi:
infeksi saluran napas tetapi penggunaan pada faringitis dan tonsilitis, hanya yang kambuhan, infeksi kronis
atau resisten terhadap antibiotik lain.

Peringatan:
lihat sefaklor.

Kontraindikasi:
Alergi terhadap antibiotik golongan sefalosporin.

Efek Samping:
lihat sefaklor.

Dosis:
infeksi saluran napas atas; 100 mg dua kali sehari bersama makanan (200 mg dua kali sehari pada sinusitis).
Infeksi saluran napas bawah (termasuk bronkitis dan pneumonia) 100-200 mg dua kali sehari bersama
makanan. ANAK di bawah 15 hari tidak dianjurkan, 15 hari-16 bulan 8 mg/kg bb per hari terbagi dalam 2
dosis, 6 bulan-2 tahun 40 mg 2 kali sehari, 3-8 tahun 80 mg 2 kali sehari, di atas 9 tahun 100 mg 2 kali sehari.

SEFPROZIL
Indikasi:
lihat pada dosis.

Peringatan:
lihat sefaklor.

Kontraindikasi:
lihat sefaklor.

Efek Samping:
lihat sefaklor.

Dosis:
infeksi saluran pernapasan atas, kulit dan infeksi jaringan lunak 500 mg sekali sehari, biasanya untuk 10 hari.
ANAK 6 bulan-12 tahun 20 mg/kg bb (maksimum 500 mg) sekali sehari. Eksaserbasi akut dari bronkitis
kronik 500 mg setiap 12 jam, biasanya untuk 10 hari. Otitis media anak 6 bulan-12 tahun 20 mg/kg bb
(maksimum 500 mg) setiap 12 jam.

SEFRADIN
Indikasi:
profilaksis bedah. Lihat juga sefaklor.

Peringatan:
Lihat sefaklor.

Kontraindikasi:

Alergi terhadap antibiotik golongan sefalosporin.

Efek Samping:

Lihat sefaklor.

Dosis:
oral 250-500 mg tiap 6 jam atau 0,5-1 g tiap 12 jam. ANAK, 25-50 mg/kg bb/hari dalam dosis terbagi.

Injeksi intramuskuler atau intravena: 0,5-1 g tiap 6 jam. Pada infeksi berat dapat ditingkatkan sampai 8
g/hari. ANAK, 50-100 mg/kg bb/hari dibagi dalam 4 kali pemberian.

Profilaksis bedah, 1-2 g sesaat sebelum operasi.

SEFSULODIN
Indikasi:
hanya untuk infeksi yang disebabkan oleh Pseudomonas aeruginosa yang peka terhadap sefsulodin, terutama
pada infeksi saluran kemih kronik yang kambuh pada pielonefritis, prostatitis, infeksi saluran kemih yang
disertai kerusakan (adanya neoplasma, calculi pada saluran kemih atau karena tindakan bedah); infeksi saluran
nafas (pneumonia, bronkitis purulen kronik dan infeksi yang berhubungan dengan mucoviscidosis); infeksi
pada tulang dan jaringan (misal: osteomilitis); infeksi sekunder setelah luka atau luka bakar; septikemia; dan
peritonitis; pada infeksi berat dianjurkan untuk dikombinasikan dengan anti pseodomonas lain (misal:
aminoglikosida) karena akan sangat mudah terjadi resistensi.

Peringatan:
terhadap kemungkinan timbulnya syok atau reaksi hipersensitif pada pasien, sebaiknya dilakukan pemeriksaan
pendahuluan dengan tes pada kulit; harus diberikan dengan hati-hati kepada pasien yang hipersensitif terhadap
antibiotik golongan sefalosporin atau penisilin, atau pasien atau orang tua pasien atau kakak adik pasien yang
mudah terkena alergi (seperti bronkial asma, ruam kulit, urticaria, dsb); kehamilan; efek pada hasil
pemeriksaan laboratorium; selama pengobatan dengan sefsulodin pemeriksaan terhadap hati, ginjal dan darah
sebaiknya dilakukan secara periodik.

Interaksi:
dilaporkan terjadinya perburukan keadaan ginjal pada pemakaian bersama diuretik (seperti furosemid) dengan
antibiotik golongan sefalosporin, perhatikan fungsi ginjal bila sefsulodin digunakan bersama dengan diuretika.

Kontraindikasi:
tidak boleh diberikan kepada pasien yang pernah mengalami syok akibat natrium sefsulodin.
Efek Samping:
syok (walaupun jarang dapat terjadi syok, pengobatan harus dihentikan bilamana ada tanda-tanda tidak enak
badan, rasa tidak enak dalam mulut, nafas sesak, pusing, rasa ingin buang air besar, tinnitus, berkeringat, dsb;
hipersensitif), reaksi terlalu peka (seperti kulit menjadi merah, urtikaria, eritema, gatal-gatal, demam, radang
kelenjar limfa, nyeri sendi, pengobatan harus dihentikan bila terjadi hipersensitif); meningkatkan BUN dan
serum kreatinin; trombositopenia; eosinofilia; kenaikan sementara SGOT, SGPT, dan ALP; mual, muntah;
sakit perut; dan bacterial alternation stomatitis atau kandidiasis.

Dosis:
dewasa, secara intravena atau intramuskular, 1 sampai 4 gram sehari dalam 2-4 dosis terbagi; dosis harus
disesuaikan menurut umur dan beratnya infeksi; bagi pasien dengan gangguan fungsi ginjal, dosis awal sama
seperti pasien dengan fungsi ginjal yang normal/sehat, dosis selanjutnya harus disesuaikan menurut bersihan
kreatinin yaitu: Bersihan kreatinin 50 mL/menit, interval pemberian 8 jam, dosis yang dianjurkan 90%
terhadap dosis permulaan, interval pemberian 12 jam, dosis yang dianjurkan 95% terhadap dosis permulaan;
Bersihan kreatinin 30 mL/menit, interval pemberian 8 jam, dosis yang dianjurkan 80% terhadap dosis
permulaan, interval pemberian 12 jam, dosis yang dianjurkan 90 % terhadap dosis permulaan; Bersihan
kreatinin 20 mL/menit, interval pemberian 8 jam, dosis yang dianjurkan 70% terhadap dosis permulaan,
interval pemberian 12 jam, dosis yang dianjurkan 80 % terhadap dosis permulaan; Bersihan kreatinin 10
mL/menit, interval pemberian 8 jam, dosis yang dianjurkan 60% terhadap dosis permulaan, interval pemberian
12 jam, dosis yang dianjurkan 70 % terhadap dosis permulaan; Bersihan kreatinin 5 mL/menit, interval
pemberian 8 jam, dosis yang dianjurkan 55% terhadap dosis permulaan, interval pemberian 12 jam, dosis yang
dianjurkan 65% terhadap dosis permulaan; Bersihan kreatinin 2,5 mL/menit, interval pemberian 8 jam, dosis
yang dianjurkan 45% terhadap dosis permulaan, interval pemberian 12 jam, dosis yang dianjurkan 60 %
terhadap dosis permulaan; Fungsi ginjal yang parah dengan bersihan kreatinin 0 mL / min, 75 % dari dosis
yang dianjurkan selama 24 jam.

SEFTAZIDIM
Indikasi:
lihat sefaklor.

Peringatan:
lihat sefaklor.

Kontraindikasi:
Alergi terhadap antibiotik golongan sefalosporin.

Efek Samping:

lihat sefaklor.

Dosis:
pemberian injeksi intramuskuler dalam, intravena atau infus.1 g tiap 8 jam, 2 g tiap 12 jam, pada infeksi berat:
2 gram tiap 8-12 jam. Pemberian lebih dari 1 g hanya secara intravena.Lansia: dosis maksimum 3 g/hari. BAYI
sampai 2 bulan: 25-60 mg/kg bb/hari dalam 2 kali pemberian. Di atas 2 bulan: 30-100 mg/kg bb/hari dibagi
dalam 2-3 kali pemberian. Pada meningitis atau imunodefisiensi: maksimum 6 g/hari dibagi dalam 3 kali
pemberian.Infeksi saluran kemih dan infeksi yang tidak terlalu berat: 0,5-1 g tiap 12 jam. ANAK: 150 mg/kg
bb/hari (maksimum 6 g/hari) dibagi dalam tiga kali pemberian. Profilaksis pada operasi prostat: 1 g pada saat
induksi anestesi, dapat diulangi pada saat pengangkatan kateter.

SEFTIBUTEN
Indikasi:
lihat sefaklor.

Peringatan:
lihat sefaklor.

Kontraindikasi:
Alergi terhadap antibiotik golongan sefalosporin.

Efek Samping:
lihat sefaklor.

Dosis:

DEWASA dan ANAK di atas 10 tahun (Berat badan lebih dari 45 kg): 400 mg/hari dosis tunggal. ANAK di
atas 6 bulan: suspensi oral, 9 mg/kg bb/hari dosis tunggal.

SEFTIZOKSIM
Indikasi:
untuk pengobatan infeksi saluran pernafasan bagian bawah, infeksi saluran kemih, infeksi intraabdominal,
infeksi kulit dan jaringan, infeksi tulang dan sendi, septikemia dan meningitis.

Peringatan:
riwayat penyakit pada saluran cerna; penggunaan jangka panjang (menyebabkan superinfeksi); kehamilan;
menyusui; penggunaan pada anak-anak (peningkatan kadar eosinofil), SGOT, SGPT, dan CPK; bayi berusia di
bawah 6 bulan; lansia (turunkan dosis); pasien sensitif terhadap penisilin; pantau fungsi ginjal terutama pada
pasien yang menerima dosis terapi maksimum dan pemberian bersama antibiotik aminoglikosida; dapat terjadi
gejala defisiensi vitamin K; positif palsu pada tes glukosa dalam urin dengan pereaksi benedict dan clinitest
serta pada direct coombs test.

Interaksi:
dapat terjadi nefrotoksisitas apabila sefalosporin diberikan bersama dengan antibiotik aminoglikosida.

Kontraindikasi:
hipersensitif pada seftizoksim dan sefalosporin lainnya.

Efek Samping:
ruam kulit, pruritus, selulitis, nyeri abdomen, demam, peningkatan sementara SGOT, SGPT, alkalin fosfatase
dan eosinofilia, rasa terbakar pada tempat penyuntikan, plebitis (pada pemberian secara intramuskular), rasa
kaku, paraestesia, peningkatan bilirubin, vaginitis, neutropenia, trombositopenia, diare, mual dan muntah.

Dosis:
Dewasa, secara intra vena atau intra muskular, 0,5-2 gram per hari terbagi dalam 2-4 dosis. Pada infeksi yang
berat atau berdasarkan umur dan keadaan dari pasien, dosis dapat ditingkatkan menjadi 4 gram per hari. Anak
≥ 6 bulan, secara intravena atau intramuskular, 40-80 mg/kg bb per hari terbagi dalam 2-4 dosis. Pada infeksi
yang berat dosis dapat ditingkatkan menjadi 120 mg/kg bb per hari, dosis total tidak boleh melebihi dosis
untuk orang dewasa. Dosis pada orang dewasa dengan gangguan fungsi ginjal: Gangguan fungsi ginjal ringan
dengan bersihan kreatinin 79-50 mL/menit, infeksi yang tidak terlalu berat 500 mg 3 kali sehari, infeksi yang
mengancam jiwa 0,75-1,5 gram 3 kali sehari; Gangguan fungsi ginjal sedang sampai berat dengan bersihan
kreatinin 49-5 mL/menit, infeksi yang tidak terlalu berat 250-500 mg 2 kali sehari, infeksi yang mengancam
jiwa 0,5-1 gram 2 kali sehari; Pasien dialisa dengan bersihan kreatinin 4-0 mL/menit, infeksi yang tidak terlalu
berat 500 mg tiap 2 hari atau 250 mg 1 kali sehari, infeksi yang mengancam jiwa 0,5-1 gram tiap 2 hari atau
0,5 gram 1 kali hari.

SEFTRIAKSON
Indikasi:
lihat sefaklor.

Peringatan:
lihat sefaklor. Pada gangguan fungsi hati yang disertai gangguan fungsi ginjal dapat terjadi penggeseran
bilirubin dari ikatan plasma. Seftriakson kalsium dapat menimbulkan presipitasi di ginjal atau empedu.

Kontraindikasi:
Alergi terhadap antibiotik golongan sefalosporin. Kontraindikasi untuk bayi di bawah 6 bulan.

Efek Samping:
lihat sefaklor.

Dosis:
pemberian secara injeksi intramuskular dalam, bolus intravena atau infus. 1 g/hari dalam dosis tunggal. Pada
infeksi berat: 2-4 g/hari dosis tunggal. Dosis lebih dari 1 g diberikan pada dua tempat atau lebih. ANAK di atas
6 minggu: 20-50 mg/kg bb/ hari, dapat naik sampai 80 mg/kg bb/hari. Diberikan dalam dosis tunggal. Bila
lebih dari 50 mg/kg bb, hanya diberikan secara infus intravena. Gonore tanpa komplikasi: 250 mg dosis
tunggal. Profilaksis bedah: 1 g dosis tunggal. Profilaksis bedah kolorektal: 2 g.

SEFUROKSIM
Indikasi:
profilaksis tindakan bedah, lebih aktif terhadap Hemophilus influenzae dan N. gonorrhoeae. Lihat juga
sefaklor.

Peringatan:
lihat sefaklor.

Kontraindikasi:
Alergi terhadap antibiotik golongan sefalosporin.

Efek Samping:

lihat sefaklor.

Dosis:

oral: Untuk sebagian besar kasus, termasuk infeksi saluran napas atas dan bawah: 250 mg dua kali sehari.
Untuk kasus berat, dapat ditingkatkan dua kali lipat. Infeksi saluran kemih: 125 mg dua kali sehari. Untuk
pielonefritis: 250 mg dua kali sehari. Gonore: 1 gram dosis tunggal. ANAK di atas 3 bulan: 125 mg dua kali
sehari. Untuk otitis media pada anak lebih dari 2 tahun dapat diberikan 250 mg dua kali sehari.

Parenteral: injeksi intramuskuler, bolus intravena atau infus 750 mg tiap 6-8 jam. pada infeksi berat: 1,5 g tiap
6-8 jam. Pemberian lebih dari 750 mg hanya boleh secara intravena.

ANAK: 30-100 mg/kg bb/hari (rata-rata 60 mg/kg bb/hari), dibagi dalam 3-4 dosis. Gonore: 1,5 g injeksi
intramuskuler, dosis tunggal, pada dua tempat suntikan. Profilaksis bedah: 1,5 g injeksi intravena, pada saat
induksi. Dapat ditambahkan 750 mg intramuskuler 8-16 jam kemudian (bedah abdomen, pelvis dan ortopedi),
atau 750 mg, intramuskular tiap 8 jam selama 24-48 jam berikutnya (bedah jantung, paru dan
esofagus). Meningitis: 3 g, injeksi intravena, tiap 8 jam.

ANAK: 200-240 mg/kg bb/hari dibagi dalam 3-4 dosis. Dosis diturunkan menjadi 100 mg/ kg bb/hari setelah 3
hari atau setelah adanya perbaikan klinis. NEONATUS, 100 mg/kg bb/hari, kemudian diturunkan menjadi 50
mg/kg bb/hari.

SEFALOTIN

5.1.2.2 Antibiotik Beta-laktam Lain


Aztreonam. Merupakan antibiotik beta-laktam monosiklik (monobaktam) dengan spektrum antibakteri terbatas
pada kuman aerob Gram negatif termasuk Pseudomonas aeruginosa, Neisseria meningitidis dan Hemophilus
influenzae. Tidak boleh diberikan tunggal untuk terapi tanpa dasar diagnosa, karena obat ini tidak efektif untuk
kuman Gram positif. Aztreonam juga efektif untuk Neisseria gonorrhoeae, tapi tidak untuk infeksi klamidia
yang menyertainya.
Efek samping serupa dengan beta-laktam pada umumnya, meskipun aztreonam kurang menimbulkan reaksi
hipersensitif pada pasien yang sensitif terhadap penisilin.

Imipenem, suatu karbapenem, memiliki aktifitas spektrum yang luas yang termasuk terhadap Gram positif
anaerob dan aerob dan bakteri Gram negatif. Imipenem, sebagian mengalami inaktivasi secara enzimatik
di ginjal, oleh karena itu diberikan bersama dengan silastatin, suatu penghambat enzim spesifik, yang
menghambat metabolismenya di ginjal.
Efek samping serupa dengan antibiotik beta-laktam lainnya. Neurotoksisitas pernah dilaporkan pada dosis sangat
tinggi dan pada pasien dengan gagal ginjal.

Meropenem, serupa dengan imipenem, tapi lebih tahan terhadap enzim di ginjal yang dapat menginaktivasi
meropenem sehingga dapat diberikan tanpa silastatin. Meropenem memiliki potensi untuk menimbulkan seizure
yang lebih kecil dan dapat digunakan untuk mengatasi infeksi sistem saraf pusat. Ertapenem memiliki spektrum
luas terhadap organisme Gram positif, Gram negatif dan anaerob. Diindikasikan untuk mengatasi infeksi
kandungan dan perut dan untuk community acquired pneumonia, namun tidak aktif terhadap patogen atypical
respiratory dan aktivitasnya terbatas terhadap pneumokokus yang resisten terhadap penisilin. Juga diindikasikan
unuk mengatasi infeksi kulit dan jaringan lunak pada kaki pasien diabetes melitus. Tidak seperti imipenem dan
meropenem, ertapenem tidak aktif terhadap Pseudomonas atau Acinetobacter spp. Penggunaan karbapenem
pada anak umumnya dibatasi pada infeksi nosokomial serius yang tidak responsif terhadap pengobatan standar.
Monografi:

AZTREONAM
Indikasi:

infeksi Gram negatif, termasuk Pseudomonas aeruginosa, Hemophilus influenzae dan Neisseria. meningitides.
Peringatan:

alergi terhadap antibiotik beta-laktam, ganguan fungsi hati, pada gangguan fungsi ginjal dosis perlu
disesuaikan.

Kontraindikasi:

alergi terhadap aztreonam, wanita hamil atau menyusui.

Efek Samping:

mual, muntah, diare, kram abdomen, gangguan pengecapan, ulkus mulut, ikterus dan hepatitis, gangguan darah
(trombositopenia dan netropenia), urtikaria dan ruam.

Dosis:

injeksi intramuskuler atau injeksi intravena selama 3-5 menit atau infus intravena. 1 g tiap 8 jam atau 2 g tiap
12 jam untuk infeksi berat. Dosis lebih dari 1g hanya diberikan secara intravena.
BAYI di atas 1 minggu: 30 mg/kg bb, intravena tiap 8 jam. ANAK di atas 2 tahun atau infeksi berat, 50 mg/kg
bb tiap 6-8 jam, maksimum 8 g per hari.
Infeksi saluran kemih, 0,5-1 g tiap 8-12 jam. Gonore dan sistitis, 1 g dosis tunggal.
DORIPENEM
Indikasi:

Infeksi pada dewasa: pneumonia nosokomial/termasuk pneumonia dengan ventilator; infeksi intra abdominal
dengan komplikasi.

Peringatan:

Hipersensitif terhadap antibakteri golongan beta laktam, kehamilan, menyusui, perlu penyesuaian dosis untuk
pasien gagal ginjal.

Interaksi:

Penggunaan bersama asam valproat harus disertai monitoring konsentrasi asam valproat dalam serum. Tidak
dianjurkan penggunaan bersama Probenesid karena bisa terjadi penurunan klirens ginjal Doripenem.

Kontraindikasi:

hipersensitif.

Efek Samping:

sakit kepala, diare, mual, pruritus, infeksi vulvomikosis, kenaikan enzim hati, ruam, flebitis.

Dosis:

Pneumonia nosokomial termasuk penumonia dengan ventilator: 500 mg tiap 8 jam diberikan dengan infus
intravena selama 1 atau 4 jam.

Komplikasi infeksi intraabdominal, 500 mg tiap 8 jam diberikan dengan infus intravena selama 1 jam.

Lama pengobatan biasanya 5-14 hari tergantung pada tempat dan beratnya infeksi serta respons klinis pasien.
Tidak dianjurkan untuk anak di bawah 18 tahun karena data keamanan dan efektivitas belum mencukupi.
Tidak dianjurkan untuk pasien yang sedang menjalani hemodialisa.

ERTAPENEM
Indikasi:

Terapi infeksi sedang hingga berat pada pasien dewasa yang disebabkan oleh strain mikroorganisme yang peka
dan diduga atau terbukti resisten terhadap antibiotik lain, atau pasien yang tidak dapat mentolerir antibiotik lain
pada infeksi intra abdominal yang kompleks, infeksi kulit dan struktur kulit yang kompleks, Community
Acquired Pneumonia (CAP), infeksi saluran kemih yang kompleks termasuk pielonefritis, infeksi pelvis akut
termasuk endomiometritis postpartum, infeksi pasca bedah ginekologi dan abortus septik.
Peringatan:

Hipersensitivitas (antibiotik beta-laktam), gangguan sistem saraf pusat (lesi otak atau r iwayat kejang), gangguan
fungsi ginjal, kehamilan, anak dibawah 18 tahun, lansia.

Interaksi:

Probenesid: menghambat ekskresi ginjal ertapenem. Asam valproat atau natrium divalproex: mengurangi
konsentrasi asam valproat sehingga meningkatkan risiko kejang secara tiba-tiba.

Kontraindikasi:

Reaksi anafilaksis terhadap antibiotik beta-laktam, pemberian secara intramuskular pada pasien dengan riwayat
hipersensitivitas anestesi lokal tipe amida dan syok berat atau penyumbatan jantung.

Efek Samping:

Umum: sakit kepala, komplikasi area vena, flebitis/tromboflebitis, diare, mual, muntah, ruam, vaginitis. Tidak
umum: pusing, somnolen, insomnia, kejang, bingung, ekstravasasi, hipotensi, sesak napas, kandidiasis mulut,
konstipasi, regurgitasi asam, C. difficile karena diare, mulut kering, dispepsia, anoreksia, eritema, pruritus, nyeri
abdomen, gangguan pengecapan, astenia/letih, kandidiasis, udem/bengkak, nyeri, nyeri dada, pruritus vagina,
reaksi alergi, malaise, infeksi jamur. Frekuensi tidak diketahui: reaksi anafilaksis, perubahan status mental
(agitasi, agresi, mengigau, disorientasi), penurunan tingkat kesadaran, diskinesia, gangguan cara berjalan,
halusinasi, mioklonus, tremor, gigi berwarna, urtikaria, Drug Rash with Eosinophilia and Systemic Symptoms
(DRESS syndrome), lemah otot, uji laboratorium: peningkatan ALT, AST alkalin fosfat dan angka platelet.
Dosis:

Dewasa, dosis lazim 1 g sekali sehari. Diberikan melalui infus intravena atau injeksi intramuskular. Bila
diberikan intravena, ertapenem harus diinfus selama > 30 menit. Penggunaan intramuskular dapat digunakan
sebagai alternatif dari pemberian intravena pada kondisi dimana terapi intramuskular merupakan cara yang
sesuai.

Lama terapi ertapenem biasanya 3-14 hari tapi dapat bervariasi tergantung dari jenis infeksi dan patogen
penyebabnya (lihat indikasi). Jika diindikasikan secara klinis, perpindahan ke antibiotik oral dapat dilakukan
jika terlihat perbaikan klinis.

Pasien dengan gangguan ginjal ringan hingga sedang (bersihan kreatinin > 30 mL/min/1,73 m2): tidak perlu
penyesuaian dosis. Gangguan ginjal berat (bersihan kreatinin < 30 mL/min/1,73 m2) termasuk yang
mendapatkan hemodialisis, harus mendapatkan 500 mg sehari.
Pasien hemodialisis: dosis harian 500 mg ertapenem diberikan dalam 6 jam sebelum hemodialisis, dosis
tambahan 150 mg dianjurkan diberikan setelah hemodialisis, namun jika ertapenem diberikan setidaknya 6 jam
sebelum hemodialisis, dosis tambahan tidak diperlukan. Gangguan fungsi hati: tidak perlu penyesuaian dosis.

IMIPENEM
Indikasi:

infeksi gram positif dan gram negatif, aerobik dan anaerobik, profilaksis bedah. Tidak dianjurkan untuk infeksi
SSP.

Peringatan:

hipersensitif terhadap beta-laktam, gangguan fungsi ginjal, gangguan SSP (misalnya epilepsi), kehamilan.

Kontraindikasi:

hipersensitivitas terhadap imipenem atau silastatin, menyusui.

Efek Samping:

mual, muntah, diare (pernah dilaporkan timbulnya kolitis), gangguan pengecapan, gangguan darah, uji Coombs
positif, reaksi alergi (ruam, urtikaria, anafilaksis, nekrolisis epidermal toksik), mioklonus, konvulsi, bingung,
gangguan fungsi mental, peningkatan enzim hati dan bilirubin, peningkatan ureum dan kreatinin serum, warna
kemerahan di urin, reaksi lokal berupa nyeri, kemerahan, indurasi dan tromboflebitis.
Dosis:

injeksi intramuskuler: Infeksi ringan dan sedang 500-750 mg tiap 12 jam. Uretritis dan servisitis gonokokus,
500 mg dosis tunggal.
Injeksi intravena: 1-2 gram per hari (dalam 3-4 kali pemberian). Untuk kuman yang kurang sensitif, 50 mg/kg
bb/hari (maksimum 4 g/hari). ANAK di atas 3 bulan, 60 mg/kgbb (maksimum 2 g/hari) dibagi dalam 3-4 dosis.
Profilaksis bedah, 1 gram intravena, pada waktu induksi anestesi, diulangi 3 jam kemudian. Pada operasi
dengan risiko infeksi tinggi (misal: kolorektal) dilanjutkan 500 mg,
8 dan 16 jam setelah induksi.

MEROPENEM
Indikasi:

infeksi gram positif dan Gram negatif, aerobik dan anaerobik.

Peringatan:
hipersensitivitas terhadap penisilin, sefalosporin dan antibiotik beta-laktam lainnya. Gangguan fungsi hati,
fungsi ginjal, wanita hamil atau menyusui.

Kontraindikasi:

hipersensitif terhadap meropenem.

Efek Samping:

mual, muntah, diare, nyeri perut, gangguan uji fungsi hati, trombositopenia, uji Coombs positif, eosinofilia,
netropenia, sakit kepala, parestesia, reaksi lokal.

Dosis:

injeksi intravena, 500 mg tiap 8 jam. Dapat ditingkatkan dua kali lipat pada infeksi nosokomial (pneumonia,
peritonitis, septikemia dan infeksi pada pasien dengan netropenia). ANAK 3 bulan sampai 12 tahun, 10-20
mg/kg bb tiap 8 jam. Berat badan lebih dari 50 kg diberikan dosis DEWASA.Meningitis, 2 g tiap 8 jam.
ANAK 40 mg/kg bb tiap 8 jam.Infeksi saluran napas bawah kronik pada fibrosis kistik, 2 g tiap 8 jam. ANAK
4-12 tahun, 25-40 mg/kg bb tiap 8 jam.

5.1.3 Tetrasiklin
Tetrasiklin merupakan antibiotik spektrum luas yang kegunaannya sudah menurun karena meningkatnya
resistensi bakteri. Namun obat ini tetap merupakan pilihan untuk infeksi yang disebabkan oleh klamidia
(trakoma, psitakosis, salpingitis, uretritis dan limfogranuloma venereum), riketsia (termasuk Q-fever), brusela
(doksisiklin dengan streptomisin atau rifampisin) dan spiroketa, Borellia burgdorferi (Lyme disease). Tetrasiklin
juga digunakan pada infeksi saluran pernafasan dan mikoplasma genital, akne, destructive (refractory)
periodontal disease, eksaserbasi bronkitis kronis (karena aktivitasnya terhadap Hemophilus influenzae), dan
untuk leptospirosis pada pasien yang hipersensitif terhadap penisilin (sebagai alternatif dari eritromisin).

Secara mikrobiologis, hanya sedikit jenis organisme yang dapat diatasi dengan menggunakan golongan
tetrasiklin, kecuali minosiklin yang memiliki spektrum luas. Minosiklin sudah jarang digunakan karena efek
samping seperti vertigo dan pusing. Infeksi pada rongga mulut. Pada dewasa dan anak di atas 12 tahun,
tetrasiklin efektif terhadap kuman anaerob oral namun sudah jarang digunakan karena resistensi. Obat ini masih
mempunyai peranan dalam terapi destructive (refractory) forms of periodontal disease. Doksisiklin mempunyai
lama kerja yang lebih panjang daripada tetrasiklin, klortetrasiklin atau oksitetrasiklin dan hanya perlu diberikan
satu kali sehari; juga dilaporkan lebih aktif terhadap anaerob dibandingkan tetrasiklin lainnya.

Doksisiklin digunakan dalam terapi recurrent aphthous ulceration, herpes oral atau sebagai terapi tambahan
pada gingival scaling dan root planing untuk periodontitis.

Peringatan: Tetrasiklin sebaiknya digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan gangguan fungsi hati atau
yang menerima obat yang bersifat hepatotoksik. Tetrasiklin dapat meningkatkan kelemahan otot pada pasien
miastenia gravis dan eksaserbasi lupus eritematosus sistemik. Antasida dan garam Al, Ca, Fe, Mg dan Zn
menurunkan absorpsi tetrasiklin. Susu menurunkan absorpsi demeklosiklin, oksitetrasiklin dan tetrasiklin.
Interaksi lain: Lampiran 1 (tetrasiklin).
Kontraindikasi: Tetrasiklin dideposit di jaringan tulang dan gigi yang sedang tumbuh (terikat pada kalsium)
sehingga menyebabkan pewarnaan dan kadang-kadang hipoplasia pada gigi. Obat ini tidak boleh diberikan pada
anak-anak di bawah 12 tahun, ibu hamil (lampiran 4) dan menyusui (lampiran 5). Tetrasiklin tidak boleh
diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal karena dapat menyebabkan eksaserbasi penyakit ginjal,
kecuali doksisiklin dan minosiklin.

Efek samping: Efek samping dari tetrasiklin adalah mual, muntah, diare (kolitis akibat antibiotik jarang
dilaporkan), disfagia dan iritasi esofagus. Efek samping lain yang jarang terjadi adalah hepatotoksisitas,
pankreatitis, gangguan darah, fotosensitivitas (terutama dengan demeklosiklin) dan reaksi hipersensitivitas
(ruam, dermatitis eksfoliatif, sindrom Steven-Johnsons, urtikaria, angioedema, anafilaksis, perikarditis). Sakit
kepala dan gangguan penglihatan dapat sebagai pertanda adanya benign intracranial hypertension (terapi
dihentikan). Bulging fontanelles pada bayi telah dilaporkan.

Monografi:

DEMEKLOSIKLIN
Indikasi:
lihat tetrasiklin. Lihat juga gangguan sekresi hormon antidiuretik.

Peringatan:
lihat tetrasiklin

Kontraindikasi:

lihat tetrasiklin.

Efek Samping:

Fotosensitivitas lebih sering terjadi, pernah dilaporkan terjadinya diabetes insipidus nefrogenik.

Dosis:
150 mg tiap 6 jam atau 300 mg tiap 12 jam.

DOKSISIKLIN
Indikasi:
untuk terapi infeksi-infeksi sebagai berikut: Rocky Mountain spotted fever, demam tiphoid dan golongan
thyphosa, demam Q, demam rickettsialpox and tick yang disebabkan oleh Rickettsiae; infeksi saluran nafas
yang disebabkan Mycoplasma pneumoniae; Psittacosis yang disebabkan oleh Chlamydia psittaci;
Lymphogranuloma venereum, yang disebabkan oleh Chlamydia trachomatis; infeksi uretra, endocervical, atau
rektal tanpa komplikasi pada dewasa yang disebabkan oleh Chlamydia trachomatis; Trachoma yang
disebabkan oleh Chlamydia trachomatis walau penyebab infeksi tidak selalu dapat dihilangkan, yang
dijustifikasi oleh immunoflourescence; Konjungtivitis inklusi yang disebabkan oleh Chlamydia trachomatis
dapat diterapi dengan doksisiklin oral tunggal atau kombinasi dengan obat topikal. Acute epididymo- orchitis
yang disebabkan oleh Chlamydia trachomatis atau Neisseria gonorrhoeae. Granuloma inguinale
(donovanosis) yang disebabkan oleh Calymmatobacterium granulomatis; Louse-borne elapsing fever yang
disebabkan oleh Borrelia recurrentis; Tick-borne relapsing fever yang disebabkan oleh Borrelia duttonii;
Nongonococcal urethritis (NGU) yang disebabkan oleh Ureaplasma urealyticum (T-Mycoplasma); Doksisiklin
diindikasikan untuk profilaksis dan terapi infeksi Malaria yang disebabkan oleh Plasmodium falciparum (bila
P. falciparum resiten terhadap klorokuin); Penyakit Lyme awal (tahap 1 dan 2) yang disebabkan oleh Borrelia
burgdorferi. Doksisiklin juga diindikasikan untuk terapi infeksi yang disebabkan bakteri Gram negatif
(Acinetobacter species, Brucellosis; Bartonellosis); bila uji bakteriologi mengindikasikan penggunaan obat
sesuai. Gonorrhoe tanpa komplikasi yang disebabkan oleh Neisseria gonorrhoeae; doksisiklin diindikasikan
untuk terapi infeksi yang disebabkan oleh bakteri gram positif bila uji bakteriologi menunjukkan peka terhadap
doksisiklin:

Streptococcus species: persentase strain Streptococcus pyogenes dan Streptococcus faecalis tertentu diketahui
resisten terhadap tetrasiklin. Tetrasiklin jangan digunakan untuk penyakit yang disebabkan Streptococcus
kecuali telah diketahui bakteri tersebut sensitif terhadap tetrasiklin.

Antraks yang disebabkan oleh Bacillus anthracis, termasuk Antraks (setelah penggunaan) inhalasi: untuk
menurunkan kejadian atau perkembangan penyakit setelah penggunaan Bacillus anthracis aerosol. Untuk
infeksi saluran nafas bagian atas yang disebabkan oleh kelompok streptococci betahemolitik, penisilin
merupakan obat pilihan yang biasa digunakan, termasuk profilaksis demam rematik. Hal ini termasuk: Infeksi
saluran nafas bagian atas yang disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae; infeksi pernafasan, kulit dan
jaringan lunak yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus; Tetrasiklin bukan merupakan obat pilihan pada
terapi infeksi Staphylococcus. Bila penisilin dikontraindikasikan, doksisiklin merupakan alternative pada terapi
Actinomycosis yang disebabkan oleh spesies Actinomyces;

Infeksi yang disebabkan oleh Clostridium species; Syphilis yang disebabkan oleh Treponema pallidum dan
yang disebabkan oleh Treponema pertenue; Listeriosis yang disebabkan oleh Listeria monocytogenes;
Vincent’s infection (acute necrotizing ulcerative gingivitis) yang disebabkan oleh Leptotrichia buccalis
(sebelumnya, Fusobacterium fusiform).

Pada amebiasis usus halus akut, doksisiklin mungkin merupakan terapi pendukung untuk amebiasis.

Pada akne berat yang disebabkan oleh acne vulgaris, doksisiklin mungkin berguna debagai terapi pendukung.
Leptospirosis yang disebabkan oleh genus Leptospira. Kolera yang disebabkan oleh Vibrio cholerae.

Doksisiklin diindikasikan untuk profilaksis pada keadaan sebagai berikut: Scrub typhus yang disebabkan oleh
Rickettsia tsutsugamushi; Traveler’s diarrhea yang disebabkan oleh enterotoxigenic Eschericia coli.

Peringatan:
lihat keterangan di atas. Boleh digunakan pada gangguan fungsi ginjal; ketergantungan alkohol, fotosensitifitas
(hindari paparan dengan sinar matahari atau sinar lampu); hindarkan pada porfiria.

Kontraindikasi:
lihat keterangan di atas.

Efek Samping:

lihat keterangan di atas; anoreksia, kemerahan, dan tinnitus.

Dosis:
Dosis lazim dewasa: 200 mg pada hari pertama (diberikan sebagai dosis tunggal atau 100 mg setiap 12 jam)
diikuti dengan dosis pemeliharaan 100 mg/hari (diberikan sebagai dosis tunggal atau sebagai dosis 50 mg
setiap 12 jam). Untuk mengatasi infeksi yang lebih berat (terutama infeksi saluran kemih kronis), 200 mg
sehari selama perioda terapi.
Anak di atas 8 tahun: Dosis yang dianjurkan pada anak BB kurang dari atau sama dengan 45 kg adalah 4,4
mg/kg bb (sebagai dosis tunggal atau dosis terbagi dua pada hari pertama), diikuti dengan 2,2 mg/kg bb (dosis
tunggal atau dosis terbagi dua) pada hari yang berurutan. Pada infeksi yang lebih berat, bisa hingga 4,4
kg/bb.Anak dengan berat badan lebih dari 45 kg: sama dengan dosis dewasa.

Akne Vulgaris: 50-100 mg per hari hingga 12 minggu.

Infeksi gonokokus tanpa komplikasi pada serviks, rektum atau uretra dimana gonokokus masih sensitif:
doksisiklin oral 100 mg dua kali sehari selama 7 hari dianjurkan ditambah dengan sefalosporin yang sesuai
atau kuinolon, seperti berikut ini: sefiksim oral 400 mg dalam dosis tunggal atau seftriakson 125 mg
intramuskular dalam dosis tunggal atau siprofloksasin oral 500 mg dalam dosis tunggal atau ofloksasin oral
400 mg dalam dosis tunggal.

Infeksi gonokokus tanpa komplikasi pada faring, dimana gonokokus masih sensitif: Doksisiklin oral 100 mg
dua kali sehari selama 7 hari, dianjurkan ditambah dengan sefalosporin yang sesuai atau kuinolon, seperti
berikut ini: seftriakson 125 mg intramuskular dalam dosis tunggal atau siprofloksasin oral 500 mg dalam dosis
tunggal atau ofloksasin oral 400 mg dalam dosis tunggal.

Tipus atau demam berulang yang disebarkan oleh kutu dapat diatasi dengan dosis oral tunggal 100 atau 200
mg, tergantung pada keparahan.

Terapi alternatif untuk mengurangi risiko tidak teratasinya atau berulangnya penyakit demam berulang yang
disebarkan oleh kutu, dianjurkan doksisiklin 100 mg setiap 12 jam selama 7 hari. Early Lyme disease (Tahap 1
dan 2): doksisiklin oral 100 mg dua kali sehari selama 14-60 hari, tergantung dari gejala klinis dan respon.

Infeksi rektal, endoservikal dan uretra tanpa komplikasi, pada dewasa yang disebabkan oleh Chlamydia
trachomatis: Oral, 100 mg, dua kali sehari selama tujuh hari.

Epididymo-orchitis akut yang disebabkan oleh Chlamydia trachomatis atau Neisseria gonorrhoeae: seftriakson
250 mg IM atau sefalosporin lain yang sesuai dalam dosis tunggal, plus doksisiklin oral 100 mg dua kali sehari
selama 10 hari.

Non gonococcal urethritis (NGU) yang disebabkan oleh Chlamydia trachomatis atau Ureaplasma urealyticum:
oral, 100 mg, dua kali sehari selama tujuh hari.

Sifilis primer dan sekunder: Pasien alergi penisilin yang tidak hamil dan menderita sifilis primer atau sekunder
dapat diterapi dengan regimen berikut: doksisiklin oral 100 mg dua kali sehari selama dua minggu, sebagai
alternatif terapi penisilin.

Sifilis laten dan tersier: Pasien alergi penisilin yang tidak hamil dan menderita sifilis sekunder atau tersier
dapat diterapi dengan regimen berikut: doksisiklin oral 100 mg dua kali sehari selama dua minggu, sebagai
alternatif dari terapi penisilin jika lama infeksi diketahui kurang dari satu tahun.Jika tidak, doksisiklin harus
diberikan selama empat minggu.

Acute pelvic inflammatory disease (PID): Pasien rawat inap - Doksisiklin 100 mg setiap 12 jam, plus sefoksitin
2 g intravena setiap enam jam atau sefotetan 2 g IV setiap 12 jam selama minimal empat hari dan sekurang-
kurangnya 24-48 jam setelah kondisi membaik. Kemudian lanjutkan dengan doksisiklin oral 100 mg dua kali
sehari untuk melengkapi total terapi selama 14 hari.
Pasien rawat jalan – Doksisiklin oral 100 mg dua kali sehari selama 14 hari sebagai terapi tambahan pada
seftriakson 250 mg intramuskular sekali sehari atau sefoksitin 2 g intramuskular, plus probenesid oral 1 g dosis
tunggal diminum bersamaan, atau injeksi sefalosporin generasi ketiga lainnya (misal, seftizoksim atau
sefotaksim).

Terapi malaria falsiparum yang resisten pada klorokuin: 200 mg perhari selama sekurang-kurangnya tujuh
hari. Karena adanya potensi infeksi yang semakin parah, suatu schizonticide dengan kerja cepat seperti kuinin
harus selau diberikan dalam kombinasi dengan doksisiklin, rekomendasi dosis kuinin bervariasi pada area yang
berbeda.

Untuk profilaksis malaria: Dewasa, 100 mg per hari; Anak di atas 8 tahun, 2 mg/kg bb diberikan sekali sehari,
dapat hingga dosis dewasa. Profilaksis dapat dimulai pada 1-2 hari sebelum perjalanan menuju area pandemik
malaria. Dilanjutkan selama di sana dan empat minggu setelah meninggalkan area tersebut.
Lymphogranulomavenereum yangdisebabkan oleh Chlamydia trachomatis: doksisiklin oral 100 mg dua kali
sehari selama minimum 21 hari.

Terapi dan profilaksis selektif kolera: Dewasa, 300 mg dosis tunggal.

Pencegahan scrub typhus: Oral, 200 mg sebagai dosis tunggal.

Pencegahan traveler’s diarrhea: Dewasa, 200 mg pada hari pertama perjalanan (diberikan sebagai dosis
tunggal atau 100 mg setiap 12 jam) diikuti dengan 100 mg sehari selama tinggal diarea tersebut. Penggunaan
di atas 21 hari untuk tujuan profilaksis belum ada datanya. Pencegahan leptospirosis: Oral, 200 mg setiap
minggu selama tinggal diarea yang berrisiko dan 200 mg pada akhir perjalanan. Penggu- naan di atas 21 hari
untuk tujuan profilaksis belum diketahui pasti efektifitasnya.

Terapi Leptospirosis: Oral, 100 mg dua kali sehari selama 7 hari.

Inhalational anthrax (pasca terpapar): DEWASA: Doksisiklin oral, 100 mg dua kali sehari selama 60 hari.

ANAK: Berat badan kurang dari 45 kg: 2,2 mg/kg bb, oral, dua kali sehari selama 60 hari. BB lebih dari atau
sama dengan 45 kg sama dengan dosis dewasa.

Catatan: kapsul harus ditelan dalam bentuk utuh bersama dengan makanan dan air yang cukup, dalam posisi
duduk atau berdiri. Jika terjadi iritasi lambung, dianjurkan untuk diminum dengan makanan atau susu.
Absorpsi doksisiklin tidak dipengaruhi oleh adanya makanan atau susu.

MINOSIKLIN
Indikasi:

lihat tetrasiklin, lihat juga carrier meningokokus.

Peringatan:
lihat tetrasiklin.

Kontraindikasi:
lihat tetrasiklin, tapi boleh digunakan pada gangguan fungsi ginjal.
Efek Samping:
lihat juga tetrasiklin; sakit kepala dan vertigo (lebih sering pada wanita); dermatitis eksfoliatif, pigmentasi
(kadang-kadang ireversibel), SLE dan kerusakan hepar.

Dosis:

100 mg dua kali sehari. Akne: 50 mg dua kali sehari atau 100 mg sekali sehari selama 6 minggu atau
lebih.Gonore: dosis awal 200 mg, dilanjutkan 100 mg tiap 12 jam selama paling sedikit 4 hari untuk laki-laki.
Untuk wanita perlu lebih lama.

OKSITETRASIKLIN
Indikasi:

lihat tetrasiklin.

Peringatan:
lihat tetrasiklin; hindari pada porfiria.

Kontraindikasi:
lihat tetrasiklin; hindari pada porfiria.

Efek Samping:
lihat tetrasiklin.

Dosis:
250-500 mg tiap 6 jam.

TETRASIKLIN
Indikasi:
eksaserbasi bronkitis kronis, bruselosis (lihat juga keterangan di atas), klamidia, mikoplasma dan riketsia, efusi
pleura karena keganasan atau sirosis, akne vulgaris.

Peringatan:
gangguan fungsi hati (hindari pemberian secara intravena), gangguan fungsi ginjal (lihat Lampiran 3), kadang-
kadang menimbulkan fotosensitivitas.

Interaksi:

lihat Lampiran 1 (tetrasiklin).

Efek Samping:
mual, muntah, diare, eritema (hentikan pengobatan), sakit kepala dan gangguan penglihatan dapat merupakan
petunjuk peningkatan tekanan intrakranial, hepatotoksisitas, pankreatitis dan kolitis.

Dosis:
oral: 250 mg tiap 6 jam. Pada infeksi berat dapat ditingkatkan sampai 500 mg tiap 6-8 jam.Sifilis primer,
sekunder dan laten: 500 mg tiap 6-8 jam selama 15 hari.Uretritis non gonokokus: 500 mg tiap 6 jam selama 7-
14 hari (21 hari bila pengobatan pertama gagal atau bila kambuh).

Catatan:
tablet atau kapsul harus ditelan bersama air yang cukup, dalam posisi duduk atau berdiri.

Injeksi intravena: 500 mg tiap 12 jam; maksimum 2 g per hari.

Untuk efusi pleura: infus intrapleural 500 mg dalam 30-50 mL NaCl fisiologis.

TIGESIKLIN
Indikasi:
komplikasi infeksi pada kulit yang disebabkan Escherichia coli, Enterococcus faecalis (hanya isolat rentan –
vankomisin), Staphylococcus aureus (isolat rentan – metisilin dan resisten –), termasuk kasus bakteremia
konkuren, Streptococcus agalactiae, Streptococcus anginosus grp. (termasuk S. anginosus, S. intermedius, dan
S. constellatus), Streptococcus pyogenes, Enterobacter cloacae, Klebsiella pneumonia, dan Bacteroides
fragilis.

Komplikasi infeksi intra-abdominal yang disebabkan Citrobacter freundii, Enterobacter cloacae, Escherichia
coli (termasuk isolat yang memproduksi ESBL), Klebsiella oxytoca, Klebsiella pneumoniae (termasuk isolat
yang memproduksi ESBL), Enterococcus faecalis (hanya isolat rentan – vankomisin), Staphylococcus aureus
(isolat rentan – metisilin dan resisten –), termasuk kasus bakteremia konkuren, Streptococcus anginosus grp.
(termasuk S. anginosus, S. intermedius, dan S. constellatus), Bacteroides fragilis, Bacteroides thetaiotamicron,
Bacteroides uniformis, Bacteroides vulgatus, Clostridium perfringens, dan Peptostreptococcus micros.

Peringatan:
dapat menyebabkan pertumbuhan berlebihan organisme lain, seperti jamur; kehamilan dan menyusui.

Interaksi:
Penggunaan bersamaan dengan warfarin, monitor waktu protrombin atau pemeriksaan antikoagulan lain;
penggunaan bersamaan dengan kontrasepsi oral dapat menurunkan kemanfaatan obat kontrasepsi oral.

Kontraindikasi:
riwayat hipersensitif.

Efek Samping:
mual, muntah,diare, nyeri perut, sakit kepala, hipoproteinemia, peningkatan SGPT dan SGOT, ruam,
peningkatan amilase, peningkatan BUN, phlebitis, dispepsia.

Dosis:

Dosis awal 100 mg, dilanjutkan dengan dosis 50 mg setiap 12 jam. Infus intravena tigesiklin sebaiknya
diberikan selama kira-kira 30 hingga 60 menit setiap 12 jam. Lama pengobatan untuk komplikasi kulit atau
komplikasi intra abdominal adalah 5 sampai 14 hari. Durasi pengobatan sebaiknya disesuaikan dengan tingkat
keparahan, tempat infeksi, kondisi klinis pasien dan hasil pemeriksaan bakteri.
Pasien dengan gangguan fungsi hati berat: dosis awal 100 mg dilanjutkan dengan penyesuaian dosis menjadi
25 mg setiap 12 jam.

Tidak direkomendasikan untuk pasien di bawah 18 tahun.

5.1.4 Aminoglikosida
Golongan ini meliputi amikasin, gentamisin, neomisin, netilmisin, streptomisin dan tobramisin. Semua
aminoglikosida bersifat bakterisidal dan terutama aktif terhadap kuman bakteri gram negatif. Amikasin,
gentamisin dan tobramisin juga aktif terhadap Pseudomonas aeruginosa. Streptomisin aktif terhadap
Mycobacterium tuberculosis dan penggunaan-nya sekarang sebagai cadangan untuk tuberkulosis.

Aminoglikosida tidak diserap melalui saluran cerna (walaupun ada risiko absorpsi pada inflammatory bowel
disease dan gagal hati), sehingga harus diberikan secara parenteral untuk infeksi sistemik. Ekskresi terutama
melalui ginjal dan terjadi akumulasi pada gangguan fungsi ginjal.

Sebagian besar efek samping antibiotik golongan ini tergantung dari dosis, oleh karena itu dosis perlu
diperhatikan dengan seksama dan pemberian obat sebaiknya tidak lebih dari 7 hari. Efek samping utamanya
ototoksisitas dan nefrotoksisitas yang biasa terjadi pada lansia atau pasien dengan gangguan fungsi ginjal.

Jika terjadi gangguan fungsi ginjal (atau kadar serum yang tinggi sebelum pemberian obat), interval pemberian
harus diperpanjang. Jika gangguan fungsi ginjal berat, maka dosis sebaiknya diturunkan.

Aminoglikosida dapat mengganggu transmisi neuromuskular dan sebaiknya dihindari pada pasien miastenia
gravis. Dosis besar yang diberikan pada waktu pembedahan dapat menimbulkan sindrom miastenia yang bersifat
sementara pada pasien dengan fungsi neuromuskular normal.

Aminoglikosida sebaiknya tidak diberikan bersama diuretika yang potensial ototoksik (misalnya furosemid).
Bila pemberian bersama tidak dapat dihindarkan, jarak pemberian kedua obat sebaiknya diusahakan sepanjang
mungkin.

KADAR SERUM. Pemantauan kadar obat dalam serum dapat menghindari kadar yang terlalu tinggi atau terlalu
rendah, sehingga dapat mencegah toksisitas dan juga menjamin efikasi. Pada pasien dengan fungsi ginjal normal,
kadar aminoglikosida sebaiknya diukur setelah 3 atau 4 regimen dosis ganda harian. Pasien dengan gangguan
ginjal memerlukan pengukuran kadar aminoglikosida yang lebih awal dan lebih sering.

Untuk regimen dosis ganda harian, sampel darah sebaiknya diambil kira-kira 1 jam setelah pemberian
intramuskular atau intravena (kadar puncak) dan juga sesaat sebelum pemberian dosis berikutnya (kadar
terendah). Untuk regimen dosis sekali sehari, lihat panduan pemantauan kadar serum. Pengukuran kadar serum
sebaiknya dilakukan pada semua pasien, termasuk anak, bayi, neonatus, lansia, dan pasien obes dan fibrosis
sistik, atau pada pemberian dosis tinggi atau pada gangguan ginjal.

Dosis satu kali sehari. Aminoglikosida umumnya diberikan 2-3 kali sehari dalam dosis terbagi, namun sekarang
lebih sering digunakan dosis satu kali sehari asalkan kadar serum memadai. Namun demikian sebaiknya
mengacu pada panduan lokal mengenai kesetaraan dosis dengan kadar dalam serum.

Fibrosis sistik. Untuk anak dengan fibrosis sistik kadang diperlukan aminoglikosida secara parenteral dalam
dosis yang lebih tinggi karena klirens aminoglikosida meningkat. Tobramisin dalam sediaan nebulizer dapat
digunakan untuk infeksi paru oleh pseudomonas pada fibrosis sistik, namun resistensi dapat terjadi dan pada
beberapa anak tidak responsif terhadap obat.

Endokarditis. Gentamisin digunakan dalam kombinasi dengan antibiotik lain untuk terapi endokarditis
bakterial. Kadar serum gentamisin sebaiknya diukur dua kali seminggu dan perlu lebih sering pada gangguan
ginjal. Streptomisin dapat digunakan sebagai alternatif dalam endokarditis enterokokal yang resisten terhadap
gentamisin. Gentamisin merupakan aminoglikosida yang banyak dipilih dan digunakan secara luas untuk terapi
infeksi serius. Gentamisin memiliki spektrum antibakteri yang luas, tapi tidak efektif terhadap kuman anaerob,
serta memiliki aktifitas yang lemah terhadap Streptococcus hemolyticus dan pneumokokus. Bila digunakan pada
terapi infeksi berat yang tidak berdasarkan diagnosa yang belum diketahui penyebabnya, sebaiknya dikombinasi
dengan penisilin dan/atau metronidazol. Gentamisin digunakan dalam kombinasi dengan antibiotik lain untuk
terapi endokarditis.

Dosis muatan dan dosis pemeliharaan gentamisin dapat dihitung berdasarkan berat badan pasien dan fungsi
ginjal (misalnya: menggunakan nomogram); penyesuaian dosis dilakukan berdasarkan kadar gentamisin dalam
serum. Dosis tinggi kadang diindikasikan pada infeksi berat, terutama pada neonatal atau pasien
immunocompromised. Sebaiknya pemberian jangan lebih dari 7 hari. Amikasin lebih stabil daripada gentamisin
terhadap inaktivasi enzim. Amikasin digunakan pada terapi infeksi serius yang disebabkan oleh basilus Gram
negatif yang resisten terhadap gentamisin.

Netilmisin memiliki aktivitas yang sama dengan gentamisin, namun ototoksisitas lebih jarang terjadi pada pasien
yang memerlukan terapi lebih dari 10 hari. Netilmisin aktif terhadap sejumlah basilus Gram-negatif yang resisten
terhadap gentamisin namun dibandingkan gentamisin atau tobramisin, kurang efektif terhadap Pseudomonas
aeruginosa.

Tobramisin memiliki aktivitas yang serupa dengan gentamisin. Dibandingkan dengan gentamisin, tobramisin
sedikit lebih aktif terhadap Pseudomonas aeruginosa, tapi kurang aktif terhadap kuman gram negatif lainnya.
Tobramisin dapat diberikan melalui nebulizer berdasarkan siklus dasar (28 hari diberi tobramisin diikuti dengan
periode 28 hari bebas tobramisin) untuk terapi infeksi paru kronis fibrosis sistik karena Pseudomonas
aeruginosa. Namun, resistensi dapat muncul sehingga beberapa pasien tidak responsif terhadap terapi.

Neomisin terlalu toksik bila diberikan secara parenteral. Obat ini hanya digunakan untuk infeksi kulit, mukosa
dan untuk mengurangi populasi bakteri di kolon sebelum operasi atau pada kegagalan fungsi hati. Pemberian per
oral dapat menyebabkan malabsorpsi. Pada pasien dengan kegagalan fungsi hati, sebagian kecil neomisin akan
diabsorpsi. Karena pasien seperti ini juga akan mengalami uremia, dapat terjadi akumulasi yang pada akhirnya
menyebabkan ototoksisitas. Neonatus. Karena aminoglikosida dieliminasi terutama melalui ginjal, pemberian
obat pada neonatus harus memperhitungkan perubahan filtrasi glomerulus. Pada pasien neonatus yang diberi
regimen dosis tunggal, mungkin diperlukan perpanjangan interval dosis menjadi lebih dari 24 jam jika kadar
terendahnya ternyata masih terlalu tinggi.

Monografi:

AMIKASIN
Indikasi:
infeksi Gram negatif yang resisten terhadap gentamisin.

Peringatan:
lihat gentamisin.

Kontraindikasi:
lihat gentamisin.

Efek Samping:
lihat gentamisin.

Dosis:

injeksi intramuskuler, intravena lambat atau infus, 15 mg/kg bb/hari dibagi dalam 2 kali pemberian. Lihat juga
catatan di atas.

Keterangan:
kadar puncak (1 jam) tidak boleh lebih dari 30 mg/liter dan kadar lembah tidak boleh lebih dari 10 mg/liter.

GENTAMISIN
Indikasi:
septikemia dan sepsis pada neonatus, meningitis dan infeksi SSP lainnya, infeksi bilier, pielonefritis dan
prostatitis akut, endokarditis karena Streptococcus viridans atau Streptococcus faecalis (bersama penisilin),
pneumonia nosokomial, terapi tambahan pada meningitis karena listeria.

Peringatan:
gangguan fungsi ginjal, bayi dan lansia (sesuaikan dosis, awasi fungsi ginjal, pendengaran dan vestibuler dan
periksa kadar plasma); hindari penggunaan jangka panjang. Lihat juga keterangan di atas.

Interaksi:
lampiran 1 (aminoglikosida).

Kontraindikasi:
kehamilan, miastenia gravis.

Efek Samping:
gangguan vestibuler dan pendengaran, nefrotoksisitas, hipomagnesemia pada pemberian jangka panjang,
kolitis karena antibiotik.

Dosis:

injeksi intramuskuler, intravena lambat atau infus, 2-5 mg/kg bb/hari (dalam dosis terbagi tiap 8 jam). Lihat
juga keterangan di atas. Sesuaikan dosis pada gangguan fungsi ginjal dan ukur kadar dalam plasma. ANAK di
bawah 2 minggu, 3 mg/kg bb tiap 12 jam; 2 minggu sampai 2 tahun, 2 mg/kg bb tiap 8 jam. Injeksi intratekal:
1 mg/hari, dapat dinaikkan sampai 5 mg/hari disertai pemberian intramuskuler 2-4 mg/kg bb/hari dalam dosis
terbagi tiap 8 jam. Profilaksis endokarditis pada DEWASA 120 mg. Untuk ANAK di bawah 5 tahun 2 mg/kg
bb.

Keterangan:
Kadar puncak (1 jam) tidak boleh lebih dari 10 mg/liter dan kadar lembah (trough) tidak boleh lebih dari 2
mg/liter.
KANAMISIN
Indikasi:
(lihat catatan di atas).

Peringatan:
lihat gentamisin.

Kontraindikasi:

lihat gentamisin.

Efek Samping:

lihat gentamisin.

Dosis:
injeksi intramuskuler, 250 mg tiap 6 jam atau 500 mg tiap 12 jam. Lihat juga keterangan di atas.

Injeksi intravena: 15-30 mg/kg bb/hari dalam dosis terbagi tiap 8-12 jam.

Keterangan:
kadar puncak tidak boleh lebih dari 30 mg/liter dan kadar lembah tidak boleh lebih dari 10 mg/liter.

NEOMISIN
Indikasi:
sterilisasi usus sebelum operasi. Lihat juga keterangan di atas.

Peringatan:
lihat gentamisin. Terlalu toksik untuk penggunaan sistemik.

Kontraindikasi:
lihat gentamisin.

Efek Samping:
lihat gentamisin. Lihat juga keterangan di atas. Hindari penggunaan pada obstruksi usus dan gangguan fungsi
ginjal.

Dosis:

oral, 1 gram tiap 4 jam.

NETILMISIN
Indikasi:
infeksi berat kuman gram negatif yang resisten terhadap gentamisin.

Peringatan:
lihat gentamisin.

Kontraindikasi:

lihat gentamisin.

Efek Samping:

lihat gentamisin.

Dosis:
injeksi intramuskuler, intravena lambat atau infus: 4-6 mg/kg bb/hari sebagai dosis tunggal atau dosis terbagi
tiap 8 -12 jam. Pada infeksi berat dosis dapat naik sampai 7,5 mg/kg bb/hari dalam tiga kali pemberian (dosis
segera diturunkan bila terdapat perbaikan klinis, biasanya setelah 48 jam). NEONATUS kurang dari 1 minggu:
3 mg/kg bb tiap 12 jam; di atas 1 minggu, 2,5-3 mg/kg bb tiap 12 jam; ANAK 2-2,5 mg/kg bb tiap 8 jam.
Infeksi saluran kemih, 150 mg/hari (dosis tunggal) selama 5 hari. Gonore: 300 mg dosis tunggal.

Keterangan:
kadar puncak (1 jam) tidak boleh lebih dari 12 mg/liter dan kadar lembah tidak boleh lebih dari 2 mg/liter.

TOBRAMISIN
Indikasi:
lihat gentamisin dan catatan di atas.

Peringatan:
lihat gentamisin.

Kontraindikasi:
lihat gentamisin.

Efek Samping:
lihat gentamisin.

Dosis:

injeksi intramuskuler, intravena lambat atau infus 3 mg/kg bb/hari dalam dosis terbagi tiap 8 jam. Pada infeksi
berat dapat ditingkatkan sampai 5 mg/kg bb/hari dalam dosis terbagi tiap 6-8 jam (turunkan menjadi 3 mg/kg
bb/hari setelah terjadi perbaikan klinis). NEONATUS: 2 mg/kg bb tiap 12 jam. BAYI/ANAK di atas 1 minggu
2-2,5 mg/kg bb tiap 8 jam.

Infeksi saluran kemih, 2-3 mg/kg bb/hari, intramuskular, dosis tunggal.


Keterangan:
kadar puncak (1 jam) tidak boleh lebih dari 10 mg/liter dan kadar lembah tidak boleh lebih dari 2 mg/liter.

5.1.5 Makrolida
Eritromisin memiliki spektrum antibakteri yang mirip dengan penisilin, sehingga obat ini digunakan sebagai
alternatif pada pasien yang alergi terhadap penisilin. Indikasi eritromisin mencakup infeksi saluran napas,
whooping cough, penyakit legionnaire dan enteritis karena kampilobakter. Meskipun antibiotik ini aktif terhadap
banyak stafilokokus yang resisten terhadap penisilin, namun akhir-akhir ini resistensi juga ditemukan terhadap
eritromisin; Eritromisin memiliki aktivitas yang lemah terhadap Hemophilus influenzae. Eritromisin juga aktif
terhadap klamidia dan mikoplasma.
Eritromisin menyebabkan mual, muntah dan diare pada beberapa pasien. Untuk infeksi ringan hingga sedang,
efek samping ini dapat dihindarkan dengan pemberian dosis rendah (250 mg 4 kali sehari), tapi untuk infeksi
yang lebih serius seperti Legionella pneumonia dibutuhkan dosis yang tinggi.
Azitromisin adalah makrolida yang aktivitas nya terhadap bakteri Gram positif sedikit lebih lemah dibanding
eritromisin, tetapi lebih aktif terhadap bakteri Gram negatif seperti Hemophilus influenzae. Kadar plasma
azitromisin sangat rendah, tapi kadarnya dalam jaringan jauh lebih tinggi. Waktu paruh azitromisin yang panjang
dalam jaringan memungkinkan obat ini diberikan dalam dosis satu kali sehari. Azitromisin dapat digunakan
untuk Lyme disease.
Klaritromisin merupakan derivat eritromisin dengan aktivitas yang lebih kuat dibandingkan dengan senyawa
induknya. Kadar dalam jaringan lebih tinggi daripada kadar eritromisin. Obat ini diberikan dua kali sehari.
Efek samping azitromisin dan klaritromisin pada saluran cerna lebih sedikit dibandingkan dengan eritromisin.

Spiramisin juga termasuk makrolida.


Infeksi rongga mulut. Eritromisin merupakan antibiotik pilihan untuk infeksi rongga mulut pada pasien yang
alergi terhadap penisilin atau infeksi yang penyebabnya adalah bakteri penghasil beta-laktamase. Namun,
sekarang banyak organisme telah resisten atau segera terbentuk resistensi terhadap eritromisin, sehingga
penggunaannya dibatasi hanya dalam jangka pendek. Metronidazol mungkin lebih dipilih sebagai alternatif
untuk penisilin.
Untuk profilaksis infeksi endokarditis pada pasien yang alergi terhadap penisilin, digunakan klindamisin oral
dosis tunggal.

Monografi:

AZITROMISIN
Indikasi:
infeksi-infeksi yang disebabkan oleh organisme yang peka, infeksi saluran nafas atas (tonsillitis, pharingitis),
infeksi saluran nafas bawah (bronchitis, pneumonia), infeksi kulit & jaringan lunak, penyakit hubungan
seksual (Sexually Transmitted Disease), urethritis, cervicitis yang berkaitan dengan Chlamydia trachomatis,
Ureaplasma urealyticum dan Neisseria gonorrhoea.
Peringatan:

lihat di eritromisin; kehamilan (Lampiran 4) atau menyusui (Lampiran 5).

Interaksi:

lihat lampiran 1 (Makrolida).

Kontraindikasi:

gangguan fungsi hati.

Efek Samping:

lihat eritromisin; juga anoreksia, dyspepsia, flatulens, konstipasi, pankreatitis, hepatitis, syncope, pusing, sakit
kepala, mengantuk, agitasi, ansietas, hiperaktivitas, asthenia, paraesthesia, konvulsi, neutropenia ringan,
trombositopenia, interstisial nephritis, gagal ginjal akut, arthralgia, fotosensitivitas, jarang: gangguan
pengecap, lidah berwarna pucat, dan gagal hati.
Dosis:

500 mg sekali sehari selama 3 hari. ANAK di atas 6 bulan, 10 mg/kg bb sekali sehari selama 3 hari; berat
badan 15-25kg, 200mg sekali sehari selama 3 hari; berat badan 26-35 kg, 300 mg sekali sehari selama 3 hari;
berat badan 36-45 kg, 400 mg sekali sehari selam 3 hari.

Infeksi klamidia genital tanpa komplikasi dan urethritis non-gonococcal, 1 g sebagai dosis tunggal.

ERITROMISIN
Indikasi:

sebagai alternatif untuk pasien yang alergi penisilin untuk pengobatan enteritis kampilobakter, pneumonia,
penyakit Legionaire, sifilis, uretritis non gonokokus, prostatitis kronik, akne vulgaris, dan profilaksis difetri
dan pertusis.
Peringatan:

gangguan fungsi hati dan porfiria ginjal, perpanjangan interval QT (pernah dilaporkan takikardi ventrikuler);
porfiria; kehamilan (tidak diketahui efek buruknya) dan menyusui (sejumlah kecil masuk ke ASI).

Interaksi:
lampiran 1 (eritromisin dan makrolida lain).Aritmia: hindari penggunaan bersama astemizol atau terfenadin,
hindari juga kombinasi dengan cisaprid.

Kontraindikasi:

penyakit hati (garam estolat)

Efek Samping:

mual, muntah, nyeri perut, diare; urtikaria, ruam dan reaksi alergi lainnya; gangguan pendengaran yang
reversibel pernah dilaporkan setelah pemberian dosis besar; ikterus kolestatik dan gangguan jantung (aritmia
dan nyeri dada).

Dosis:

oral: DEWASA dan ANAK di atas 8 tahun, 250-500 mg tiap 6 jam atau 0,5-1 g tiap 12 jam (lihat keterangan
di atas); pada infeksi berat dapat dinaikkan sampai 4 g/hari. ANAK sampai 2 tahun, 125 mg tiap 6 jam; 2-8
tahun 250 mg tiap 6 jam. Untuk infeksi berat dosis dapat digandakan.Akne: 250 mg dua kali sehari, kemudian
satu kali sehari setelah 1 bulan.Sifilis stadium awal, 500 mg 4 kali sehari selama 14 hari.Infus intravena:
infeksi berat pada dewasa dan anak, 50 mg/kg bb/hari secara infus kontinu atau dosis terbagi tiap 6 jam; infeksi
ringan 25 mg/kg bb/hari bila pemberian per oral tidak memungkinkan.

KLARITROMISIN
Indikasi:

infeksi saluran napas bagian atas (seperti: faringitis/tonsillitis yang disebabkan Staphylococcus pyogenes dan
sinusitis maxillary akut yang disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae), infeksi ringan dan sedang pada kulit
dan jaringan lunak, otitis media; terapi tambahan untuk eradikasi Helicobacter pylori pada tukak duodenum
(lihat bagian 1.3).
Peringatan:

lihat pada eritromisin; gangguan fungsi ginjal (Lampiran 3); kehamilan (Lampiran 4); wanita menyusui
(Lampiran 5).

Interaksi:

lihat Lampiran 1 (makrolida); Aritmia: hindarkan pengunaan bersama pimozide, terfenadin.

Efek Samping:

lihat juga eritromisin; dispepsia, sakit kepala, gangguan indra perasa dan penciuman, hilangnya warna gigi dan
lidah, stomatitis, glossitis, dan sakit kepala; lebih jarang: hepatitis, arthralgia, dan myalgia; jarang: tinnitus;
sangat jarang: pankreatitis, pusing, insomnia, mimpi buruk, ansietas, bingung, psikosis, paraesthesia, konvulsi,
hipoglikemia, gagal ginjal, leucopenia, dan trombositopenia; pada pemberian infus intravena: kelunakan local,
flebitis.
Dosis:

oral: 250 mg tiap 12 jam selama 7 hari, pada infeksi berat dapat ditingkatkan sampai 500 mg tiap 12 jam
selama 14 hari. ANAK dengan berat badan kurang dari 8 kg, 7,5 mg/kg bb dua kali sehari; 8-11 kg (1-2 tahun),
62,5 mg dua kali sehari; 12-19 kg (3-6 tahun), 125 mg dua kali sehari; 20-29 kg (7-9 tahun), 187,5 mg dua kali
sehari; 30-40 kg (10-12 tahun), 250 mg dua kali sehari.Infus intravena: 500 mg dua kali sehari pada vena
besar; tidak dianjurkan untuk anak-anak.

ROKSITROMISIN
Indikasi:

infeksi THT, bronkopulmonal, genital (kecuali infeksi gonokokal), dan kulit yang disebabkan oleh organisme
yang sensitif terhadap roksitromisin.

Peringatan:

insufisiensi hati, miastenia gravis, pasien dengan kelainan perpanjangan interval QT bawaan, pasien yang
mengonsumsi antiaritmia kelas IA dan III, kehamilan, menyusui.

Interaksi:

derivat ergot, terfenadin, digoksin, antiaritmia Kelas IA dan III, midazolam.

Kontraindikasi:

hipersensitivitas, terapi kombinasi dengan ergotamin dan preparat sejenis lainnya.

Efek Samping:

mual, muntah, nyeri epigastrik (dispepsia), diare (terkadang berdarah), gejala pankreatitis, reaksi
hipersensitivitas seperti eritema multiform, urtikaria, ruam kulit, pruritus, purpura, angioedema, jarang terjadi
reaksi sistemik seperti bronkospasme, reaksi seperti anafilaksis, pusing, sakit kepala, paraestesia, gangguan
pengecapan (termasuk ageusia), gangguan penciuman (termasuk anosmia), telah dilaporkan: udema seluruh
tubuh, asma, udema glottic, exoliative dermatitis, sindrom Steven-Johnson, peningkatan sementara kadar
enzim transaminase dan/atau fosfatase alkali, terutama kolestatis atau hepatitis akut hepatoselular (terkadang
bersamaan dengan jaundice), eosinofilia, superinfeksi, halusinani.
Dosis:
dewasa: 300 mg 1 kali sehari atau 2 x 150 mg 1 kali sehari atau 150 mg 2 kali sehari, pada pagi dan malam
hari, anak: 24-40 kg, 100 mg 2 kali sehari pada pagi dan malam hari, dosis yang digunakan 5-8 mg/kg bb/hari
dalam 2 dosis terpisah selama tidak lebih dari 10 hari, sebaiknya diberikan sebelum makan.

SPIRAMISIN
5.1.6 Kuinolon
Asam nalidiksat dan norfloksasin efektif untuk infeksi saluran kemih tanpa komplikasi.

Siprofloksasin aktif terhadap bakteri Gram positif dan Gram negatif. Siprofloksasin terutama aktif terhadap
kuman Gram negatif termasuk salmonella, shigella, kampilobakter, neisseria, dan pseudomonas. Siprofloksasin
hanya memiliki aktivitas yang sedang terhadap bakteri Gram positif seperti Streptococcus pneumoniae dan
Enterococcus faecalis karena itu tidak boleh digunakan untuk pneumonia pneumokokus. Siprofloksasin aktif
terhadap klamidia dan beberapa mikobakteria. Sebagian besar kuman anaerob tidak sensitif terhadap
siprofloksasin. Penggunaan siprofloksasin termasuk untuk infeksi saluran napas (tapi bukan pneumonia
pneumokokus), saluran kemih, sistem pencernaan (termasuk demam tifoid) dan gonore serta septikemia oleh
organisme yang sensitif.

Pada anak, siprofloksasin digunakan untuk infeksi pseudomonas pada fibrosis sistik (pada anak di atas usia 5
tahun) dan juga untuk mengatasi dan mencegah antrax inhalation. Jika manfaat pemberian melebihi risiko yang
dapat ditimbulkan, siprofloksasin dapat digunakan untuk mengatasi infeksi saluran nafas, saluran kemih dan
sistem saluran cerna (termasuk demam tifoid). Selain itu juga digunakan untuk mengobati septikemia yang
disebabkan organisme yang multi resisten (biasanya infeksi yang diperoleh di rumah sakit) dan gonore
(walaupun resistensi meningkat). Siprofloksasin juga digunakan untuk mencegah penyakit meningokokus.
Untuk anak, tetes mata ofloksasin digunakan untuk infeksi mata. Data mengenai pengunaaan kuinolon lain pada
anak masih terbatas.

Ofloksasin digunakan untuk infeksi saluran kemih, saluran napas bagian bawah, gonore, uretritis dan servisitis
non gonokokus. Levofloksasin aktif terhadap organisme Gram positif dan Gram negatif. Memiliki
aktivitas yang lebih besar terhadap pneumokokus dibandingkan siprofloksasin. Levofloksasin diindikasikan
untuk community acquired pneumonia tapi sebagai terapi lini kedua. Di Indonesia, ketiga obat ini tidak disetujui
untuk pengobatan infeksi kulit dan jaringan lunak karena banyak ditemukan stafilokokus yang resisten.
Penggunaan obat ini sebaiknya dihindarkan pada MRSA.

Moksifloksasin sebaiknya digunakan untuk mengobati eksaserbasi akut dari bronkitis kronis hanya bila terapi
konvensional tidak berhasil atau dikontraindikasikan dan sebagai terapi lini kedua dari community acquired
pneumonia. Moksifloksasin aktif terhadap organisme Gram positif dan Gram negatif Moksifloksasin memiliki
aktivitas yang lebih besar dibandingkan siprofloksasin terhadap organisme Gram positif termasuk pneumokokus.
Moksifloksasin tidak aktif terhadap Pseudomonas aeruginosa atau meticillin-resistant Staphylococcus aureus
(MRSA).

Antrax inhalation atau gastrointestinal antrax pada pasien dewasa atau anak di atas 12 tahun sebaiknya diberi
pengobatan awal siprofloksasin atau doksisiklin dalam kombinasi dengan satu atau dua antibiotik lain (seperti
amoksisiklin, benzilpenisilin, kloramfenikol, klaritromisin, klindamisin, imipenem dengan silastatin dan
vankomisin). Jika kondisi membaik dan kepekaan bakteri B. antrax dipastikan, pengobatan diganti ke antibiotik
tunggal dan antibakteri profilaksis sebaiknya dilanjutkan selama 60 hari.
Siprofloksasin atau doksisiklin dapat diberikan sebagai post exposure prophylaxis setelah terjadi antraks. Jika
kontak terhadap antrax sudah dipastikan, antibakteri profilaksis sebaiknya dilanjutkan selama 60 hari.
Antibakteri profilaksis dapat diganti amoksisilin setelah 10-14 hari jika strain Bacillus anthracis sensitif terhadap
amoksisilin. Vaksinasi antraks dapat memperpendek pemberian antibakteri profilaksis.

PERHATIAN: Kuinolon sebaiknya digunakan secara hati-hati pada pasien dengan riwayat epilepsi atau kondisi
yang dapat menyebabkan kejang, defisiensi G6PD, miastenia gravis (risiko eksaserbasi), pasien gangguan ginjal
(Lampiran 3), pada wanita hamil (lampiran 2) dan ibu menyusui (lampiran 4), anak-anak dan remaja (hasil
penelitian pada hewan menunjukkan adanya artropati pada sendi penunjang berat badan). Sebaiknya dihindari
paparan terhadap sinar matahari yang berlebihan (hentikan bila terjadi fotosensitivitas). Kuinolon juga dapat
menimbulkan kejang pada pasien dengan atau tanpa riwayat kejang. Penggunaan AINS pada saat yang
bersamaan dapat memicu terjadinya kejang.

Interaksi lain (lihat Lampiran 1, kuinolon).

Penggunaan pada anak. Kuinolon dapat menyebabkan artropati pada sendi penahan berat badan pada hewan,
karena itu tidak boleh digunakan pada anak dan remaja. Namun, kebermaknaan efek ini pada manusia masih
belum diketahui dengan pasti. Pada beberapa kondisi, penggunaan kuinolon pada anak dapat dilakukan. Asam
nalidiksat digunakan untuk infeksi saluran kemih pada anak di atas usia 3 bulan. Siprofloksasin diindikasikan
untuk infeksi pseudomonas pada fibrosis sistik untuk anak di atas usia 5 tahun dan untuk profilaksis antraks.

Penggunaan Fluorokuinolon dapat meningkat-kan risiko tendonitis dan tendon rupture pada semua rentang usia.
Kerusakan tendon ini dapat terjadi dalam 48 jam setelah dimulai terapi. Karena itu perlu diperhatikan hal-hal
berikut:

 Kuinolon dikontraindikasikan pada pasien dengan riwayat gangguan tendon yang disebabkan oleh
penggunaan kuinolon.
 Kemungkinan terjadinya tendonitis lebih besar pada lansia yang berusia lebih dari 60 th, pasien pasca
transplantasi ginal, jantung atau paru.
 Risiko terjadinya kerusakan tendon meningkat jika digunakan bersama dengan kortiko-steroid
 Jika diduga terjadi tendonitis, penggunaan kuinolon sebaiknya segera dihentikan.

EFEK SAMPING: Efek samping kuinolon meliputi mual, muntah, dispepsia, nyeri lambung, diare (jarang, kolitis
terkait antibiotik), sakit kepala, pusing, gangguan tidur, ruam (sindroma Stevens-Johnson dan nekrolisis
epidermal toksik), dan pruritus. Efek samping yang jarang terjadi antara lain anoreksia, peningkatan kadar urea
dan kreatinin dalam darah, mengantuk, restlessness, astenia, depresi, bingung, halusinasi, kejang, tremor,
paraestesia, hipoastesia, fotosensitivitas, reaksi hiper-sensitivitas termasuk demam, urtikaria, angioedema,
artralgia, mialgia dan anafilaksis serta gangguan darah (mencakup eosinofilia, leukopenia, trombositopenia,
selain itu dapat juga terjadi gangguan penglihatan, pengecapan, pendengaran dan penciuman. Juga dilaporkan
terjadinya inflamasi tendon dan kerusakan tendon (terutama pada lansia dan penggunaan bersama
kortikosteroid). Efek samping lain yang juga dilaporkan anemia hemolitik, gagal ginjal, nefritis interstisial dan
disfungsi hati (termasuk hepatitis dan cholestatic jaundice). Obat sebaiknya dihentikan bila terjadi reaksi
hipersensitivitas (termasuk ruam berat), reaksi neurologis atau reaksi psikiatrik.

Monografi:

ASAM NALIDIKSAT
Indikasi:

infeksi saluran kemih.


Peringatan:
Hindari pada porfiria dan riwayat kejang; hindari paparan berlebihan terhadap sinar matahari. Dapat
mempengaruhi hasil uji reduksi urin, hitung jenis sel darah, uji fungsi hati dan ginjal bila pengobatan lebih dari
2 minggu. Hindari penggunaan pada defisiensi G6PD, peningkatan tekanan intrakranial, riwayat konvulsi,
paralisis nervus kranialis, kolestasis, asidosis metabolik.

Interaksi:
lihat Lampiran 1 (kuinolon).

Efek Samping:
lihat keterangan di atas.

Dosis:

1 gram tiap 6 jam selama 7 hari. Untuk infeksi kronis: 500 mg tiap 6 jam. ANAK di atas 3 bulan, maksimum
50 mg/kg bb/hari dalam dosis terbagi. Untuk jangka panjang, 30 mg/kg bb/hari.

FLEROKSASIN
Indikasi:
infeksi saluran pernafasan bagian bawah, infeksi saluran kemih (disertai komplikasi atau tanpa komplikasi),
gonore (infeksi gonokok, tanpa komplikasi), infeksi salmonela yang disebabkan oleh Salmonella typhi atau
paratyphi, infeksi kulit dan jaringan lunak, infeksi tulang dan sendi.

Peringatan:
dianjurkan memonitor secara berkala bakteriologi untuk menjaga kemungkinan timbulnya resistensi bakteri
bilamana respon klinik tidak memuaskan; dapat menyebabkan stimulasi susunan saraf pusat pada pasien yang
diketahui atau diduga mempunyai kelainan neurologi; lansia dengan penurunan fungsi ginjal dan berat badan
rendah; turunkan dosis pada gangguan fungsi ginjal, sirosis hati dengan asites dan lansia; fotosensitif; hati-hati
apabila menjalankan mesin atau mengendarai kendaraan bermotor karena menyebabkan pusing.

Interaksi:
pemberian bersama dengan antasid yang mengandung aluminium hidroksida dan/atau magnesium hidroksida
menurunkan absorpsi sebanyak 20-25%.

Kontraindikasi:
pasien yang hipersensitif terhadap kuinolon termasuk asam nalidiksat; anak-anak dan remaja berusia di bawah
18 tahun, kehamilan dan menyusui.

Efek Samping:
mual, muntah, diare, insomnia, sakit kepala, pusing, lelah, pruritus, plebitis; mulut kering, rasa tidak enak pada
mulut, anoreksia, konstipasi, sakit perut, infeksi vagina, hipotensi, artralgia, fotosensitif, erupsi, berkeringat,
mimpi buruk, perasaan terbakar, pruritus, merah pada tempat penyuntikan, jumlah eosinofil tinggi, jumlah sel-
sel darah merah meningkat, leukosit rendah, jumlah bilirubin tinggi, SGPT tinggi, SGOT tinggi, alkalin
fosfatase tinggi, BUN tinggi, urea tinggi, glukosa bebas tinggi, dan protein dalam urin tinggi.
Dosis:
oral atau infus intravena selama 1 jam, 400 mg sekali sehari; lama pengobatan umumnya 7- 14 hari, tetapi pada
infeksi yang lebih serius atau infeksi kronis kulit dan jaringan lunak dan infeksi tulang dan sendi dibutuhkan
pengobatan yang lebih lama (hingga 12 minggu); Infeksi gonokok tanpa komplikasi, infeksi saluran kemih
tanpa komplikasi (sistitis pada ibu-ibu muda) dosis tunggal, oral, 400 mg.Infeksi saluran kemih, oral, 200 mg
selama 7-10 hari.Infeksi saluran pernafasan bagian bawah, infus intravena, 400 mg sekali sehari, oral, 400 mg
sekali sehari. Infeksi saluran kemih (disertai komplikasi atau tanpa komplikasi), oral, 200 mg sekali
sehari.Gonore (infeksi gonokok tanpa komplikasi), oral, 400 mg sekali sehari.Infeksi salmonella yang
disebabkan Salmonella typhi atau paratyphi, infus intravena, 400 mg sekali sehari, oral, 400 mg sekali sehari.
Infeksi kulit dan jaringan lunak, infus intravena, 400 mg sekali sehari; oral, 400 mg sekali sehari. Infeksi
tulang dan sendi, infus intravena, 400 mg sekali sehari, oral, 400 mg sekali sehari. Penyesuaian dosis tidak
diperlukan pada infeksi-infeksi yang diobati dengan dosis ganda 200 mg atau dosis tunggal 400 mg, tetapi
penyesuaian dosis diperlukan untuk golongan pasien tertentu, pengobatan dimulai dengan dosis tunggal 400
mg, kemudian dilanjutkan dengan dosis tetap 200 mg sekali sehari selama pengobatan; golongan pasien ini
adalah pasien dengan bersihan kreatinin < 40 mL per menit atau yang menjalani hemodialisa dan chronic
ambulatory peritoneal dialysis (CAPD), pasien dengan berat badan < 50 Kg, pasien wanita berumur 65 tahun
atau lebih dan pasien berusia 75 tahun atau lebih dimana ekskresi ginjalnya menurun; pasien dengan kasus
sirosis hati yang disertai asites; pasien dengan kegagalan fungsi hati.

LEVOFLOKSASIN
Indikasi:

infeksi sinusitis maksilaris akut, eksaserbasi bakterial akut pada bronkitis kronik, pneumonia komunitas
(community-acquired pneumonia), uncomplicated skin dan skin structure infections, infeksi saluran kemih
kompleks (complicated urinary tract infection), dan pielonefritis akut karena mikroorganisme yang sensitif.

Peringatan:
kejang, psikosis toksik, peningkatan tekanan intrakranial, stimulasi sistem saraf pusat, hipersensitifitas, reaksi
anafilaksis, kolitis pseudomembran, kolitis terkait dengan antibiotik, ruptur tendon, hidrasi yang adekuat harus
dipertahankan, insufisiensi ginjal, reaksi fototoksisitas sedang hingga berat, diketahui atau dicurigai gangguan
sistem saraf pusat, gangguan glukosa darah, diabetes.

Interaksi:
berpotensi membentuk kelat bersama ion logam (Al, Cu, Zn, Mg, Ca), antasida mengandung aluminium atau
magnesium dan obat mengandung besi menurunkan absorpsi levofloksasin, penggunaan bersama AINS dengan
kuinolon dapat meningkatkan risiko stimulasi SSP dan serangan kejang, gangguan glukosa darah, termasuk
hiperglikemia dan hipoglikemia jika diberikan bersama obat antidiabetik, levofloksasin dapat menghambat
pertumbuhan bakteri Mycobacterium tuberculosis, sehingga dapat memberikan hasil negatif palsu pada
diagnosis bakteri tuberkulosis.

Kontraindikasi:
hipersensitivitas terhadap levofloksasin dan antimikroba golongan kuinolon, epilepsi, riwayat gangguan tendon
terkait pemberian florokuinolon, anak atau remaja, kehamilan, menyusui.

Efek Samping:
diare, mual, vaginitis, flatulens, pruritis, ruam, nyeri abdomen, genital moniliasis, pusing, dispepsia, insomnia,
gangguan pengecapan, muntah, anoreksia, ansietas, konstipasi, edema, lelah, sakit kepala, palpitasi, parestesia,
sindrom Stevens-Johnson, vasodilatasi tendon rupture.
Dosis:
oral dan parenteral, 250 mg –750 mg sekali sehari selama 7-14 hari, tergantung pada jenis dan keparahan
penyakit serta sensisitifitas patogen yang dianggap penyebab penyakit, sinusitis akut, 500 mg per hari selama
10-14 hari, eksaserbasi dari bronkitis kronik, 250-500 mg per hari selama 7-14 hari, pneumonia yang didapat
dari lingkungan, 500 mg sekali atau dua kali sehari selama 7-14 hari, infeksi saluran kemih, 250 mg selama 7-
10 hari (selama 3 hari untuk infeksi tanpa komplikasi), prostatitis kronik, 500 mg sekali selama 28 hari. Infeksi
kulit dan jaringan lunak, 250 mg sehari atau 500 mg sekali atau dua kali sehari selama 7-14 hari, intravena (500
mg selama paling tidak 60 menit), pneumonia yang didapat dari lingkungan, 500 mg sekali atau dua kali sehari,
infeksi saluran kemih dengan komplikasi, 250 mg sehari, dapat ditingkatkan pada infeksi parah, infeksi kulit dan
jaringan lunak, 500 mg dua kali sehari.

Pasien dengan gangguan fungsi ginjal: bersihan kreatinin >50 mL/menit, tidak ada penyesuaian dosis, bersihan
kreatinin 20-50 mL/menit, dosis awal 250 mg, selanjutnya 125 mg setiap 24 jam, atau dosis awal 500 mg,
selanjutnya 250 mg setiap 24 jam, bersihan kreatinin 10-19 mL/menit atau <10 mL/menit (termasuk hemodialisis
dan CAPD), dosis awal 250 mg, selanjutnya 125 mg setiap 24 jam, atau dosis awal 500 mg selanjutnya 125 mg
setiap 24 jam.

MOKSIFLOKSASIN
Indikasi:
eksaserbasi akut bronkitis kronik; pneumonia dari lingkungan (community-acquired pneumonia); sinusitis
bakterial akut yang didiagnosis dengan baik, infeksi kulit complicated atau infeksi struktur kulit yang
memerlukan terapi inisial parenteral dan dilanjutkan dengan oral.

Peringatan:
lihat keterangan di atas; aritmia dengan kondisi pre-disposisi aritmia, termasuk iskemia otot jantung; hati-hati
pada pengendara kendaraan bermotor, karena dapat menurunkan kewaspadaan.

Interaksi:
lihat lampiran 1 (kuinolon).

Kontraindikasi:
lihat keterangan di atas; gangguan fungsi hati berat; memiliki riwayat perpanjangan interval QT, bradikardia,
memiliki riwayat aritmia simtomatik, gagal jantung dengan penurunan fraksi ejeksi ventrikular kiri, gangguan
elektrolit, pemberian bersama dengan obat yang diketahui dapat memperpanjang interval QT.

Efek Samping:
lihat keterangan di atas; juga mulut kering, stomatitis, glossitis, flatulens, konstipasi, aritmia, palpitasi, udem
perifer, angina, perubahan tekanan darah, dyspnoea, ansietas, dan berkeringat; jarang: hipotensi, hi-
perlipidemia, agitasi, mimpi yang tidak normal, inkordinasi, hiperglikemia dan kulit kering.

Dosis:
400 mg sekali sehari selama 10 hari untuk pneumonia yang didapat dari lingkungan, 5-10 hari untuk
eksaserbasi (akut) dari bronkitis kronik, 7 hari untuk sinusitis. Tidak diperlukan penyesuaian dosis pada
manula, pasien dengan berat badan rendah atau pasien rawat jalan dengan gangguan fungsi ginjal ringan
sampai sedang (bersihan kreatinin di atas 30 mL/menit/1,73 m2).
NORFLOKSASIN
Indikasi:
lihat pada dosis.

Peringatan:
lihat keterangan di atas. Peringatan pada defisiensi G6PD. Hindari pada anak yang dalam pertumbuhan dan
belum pubertas. Hati-hati pada pengendara karena dapat mengurangi kewaspadaan.

Interaksi:
lihat Lampiran 1 (kuinolon).

Efek Samping:
lihat keterangan di atas. Dapat menimbulkan anoreksia, depresi, ansietas, tinitus, nekrolisis epidermal tosik,
dermatitis eksfoliatif, eritema multiforme (sindrom Stevens-Johnson)

Dosis:

infeksi saluran kemih, 400 mg dua kali sehari selama 7-10 hari (3 hari untuk kasus tanpa komplikasi). Infeksi
saluran kemih kronis dan berulang, 400 mg dua kali sehari sampai 12 minggu. dapat dikurangi menjadi 400
mg sekali sehari jika respon baik pada 4 minggu pertama.

OFLOKSASIN
Indikasi:
infeksi yang disebabkan strain yang rentan terhadap ofloksasin seperti Staphylococcus sp.,
Streptococcuspneumoniae, Micrococcus sp., Corynebacterium sp., Branhamella catarrhalis, Pseudomonas sp.,
Pseudomonas aeruginosa, Haemophilus sp., (Haemophilus influenza, Haemophilus aegyptius) Moraxella sp
(Morax-Axenfeld diplo bacillus) Serratia sp. Klebsiella sp., Proteus sp., Acinobacter sp., dan bakteri anaerob
(Propionibacterium acne): blepharitis, dacryocystitis, konjungtivitis, tarsadenitis, keratitis dan corneal ulcer.

Peringatan:
lihat keterangan di atas; gangguan fungsi hati; pasien dengan riwayat kelainan psikiatrik; hindari penggunaan
jangka panjang. Sedimentasi pada ulcer dapat terjadi pada pengobatan untuk corneal ulcer dengan kuinolon
topikal. Bila tidak hati-hati dapat merusak (dijaringan kornea). Hati-hati pada pengendara kendaraan bermotor,
karena dapat menurunkan kewaspadaan.

Interaksi:

lihat Lampiran 1 (kuinolon).

Efek Samping:
lihat keterangan di atas. Takikardia, hipotensi transient, reaksi vaskulitis, ansietas, sempoyongan (unsteady
gait), neuropati, gejala ekstrapiramidal, reaksi psikosis (hentikan pengobatan- lihat keterangan di atas); sangat
jarang terjadi: perubahan gula darah dan reaksi vaskulitis, terdapat kasus pneumonitis. Pada pemberian
intravena dapat terjadi hipotensi dan reaksi lokal (tromboflebitis).
Dosis:
oral: infeksi saluran kemih, 200-400 mg/hari, sebaiknya pagi hari. Pada infeksi saluran kemih atas dapat
dinaikkan sampai dua kali 400 mg/hari. Infeksi saluran kemih bawah, 400 mg/hari, bila perlu dapat dinaikkan
menjadi dua kali 400 mg/hari. Infeksi jaringan lunak, 400 mg dua kali sehari.

Gonore tanpa komplikasi, 400 mg dosis tunggal.

Infeksi Klamidia genital tanpa komplikasi, uretritis non-gonokokus, 400 mg per hari dosis tunggal atau dosis
terbagi selama 7 hari.

Penyakit radang pelvik 400mg dosis tunggal. Infus intravena: (200 mg/30 menit). Infeksi saluran kemih
dengan komplikasi, 200 mg/ hari. Infeksi saluran kemih bawah, 200 mg dua kali sehari.

Septikemia, 200 mg dua kali sehari.

Infeksi kulit dan jaringan lunak, 400 mg dua kali sehari. Pada infeksi berat atau dengan komplikasi, dosis dapat
ditingkatkan menjadi 400 mg dua kali sehari.

PEFLOKSASIN
SIPROFLOKSASIN
Indikasi:
infeksi bakteri gram positif dan gram negatif. Profilaksis pada bedah saluran cerna bagian atas. Lihat juga
keterangan di atas.

Peringatan:
lihat keterangan di atas. Hindari alkalinisasi urin berlebihan dan pastikan minum yang cukup (risiko
kristaluria); hati-hati pada pengendara kendaraan bermotor, karena dapat menurunkan kewaspadaan, efeknya
meningkat dengan adanya alkohol. Interaksi: lihat Lampiran 1 (kuinolon).

Efek Samping:
lihat keterangan di atas, juga flatulen, disfagia, pankreatitis, takikardia, hipotensi, udem, kemerahan,
berkeringat, gangguan dalam bergerak, tinnitus, vaskulitis, tenosinovitis, eritema, nodosum, hemorrhagic
bullae, petechiae dan hiperglikemia; nyeri dan flebitis pada tempat penyuntikan.

Dosis:
oral: infeksi saluran napas, 250-750 mg dua kali sehari.

Infeksi saluran kemih, 250-500 mg dua kali sehari (untuk akut tanpa komplikasi, 250 mg dua kali sehari selam
3 hari). Gonore 500 mg dosis tunggal.

Infeksi Pseudomonal saluran pernafasan bawah pada cystic fibrosis 750 mg dua kali sehari; ANAK 5-17 tahun
(lihat Peringatan di atas), sampai 20 mg/kg bb dua kali sehari (maksimal 1,5 g sehari).

Infeksi lain, 500-750 mg dua kali sehari. Profilaksis bedah, 750 mg 60-90 menit sebelum operasi.
Injeksi intravena: (selama 30-60 menit), 200-400 mg dua kali sehari.

Infeksi Pseudomonal saluran pernafasan bawah pada cystic fibrosis 400 mg dua kali sehari. ANAK 5-17 tahun
(lihat Peringatan di atas), sampai 10 mg/kg bb tiga kali sehari (maksimal 1,2 g sehari).

Infeksi saluran kemih, 100 mg dua kali sehari. Gonore, 100 mg dosis tunggal.

ANAK: tidak dianjurkan (lihat Peringatan di atas). Tapi bila pertimbangan manfaat risiko menguntungkan,
oral: 10-30mg/kg bb/hari dibagi dua dosis; intravena: 8-16 mg/kg bb/hari dibagi dua dosis.

Antraks (pengobatan dan profilaksis setelah terpapar, lihat keterangan diatas), oral, 500 mg sehari dua kali;
ANAK 30 mg/kg bb/hari dibagi dua dosis (maksimal 1 g per hari) Injekasi intravena, 400 mg sehari dua kali;
ANAK 20 mg/kg bb/hari dibagi 2 dosis (Maksimal 800 mg per hari).

SPARFLOKSASIN
Indikasi:

pneumonia akut berasal dari komunitas (CAP/Community-acquired pneumonia) yang diduga disebabkan oleh
bakteri pneumokokus dan non-pneumokokus; eksaserbasi dari penyakit obstruksi paru menahun (COPD);
sinusitis purulen akut; infeksi yang sudah resisten terhadap penisilin atau antibiotik beta-laktam lain.

Peringatan:
reaksi fototoksisitas; penderita dengan riwayat pemanjangan QTc, kongenital atau didapat (misal infark
miokard akut); penderita dengan riwayat hipokalemia (periksa kadar kalium sebelum pengobatan dengan
sparfloksasin); bradiaritmia; tendinitis dan/atau ruptur tendon (terutama mempengaruhi tendon Achilles); rasa
nyeri atau inflamasi; pasien yang diduga menderita tuberkulosis (perhatikan aktivitas potensial sparfloksasin
terhadap mikobakteria); negatif palsu pada biakan mikobakteria; efek terhadap sistim saraf pusat (dianjurkan
untuk tidak mengendarai atau menjalankan mesin); pasien hemodialisis atau dialisis peritoneum; hindari
pemaparan terhadap sinar matahari, sinar terang dan sinar ultraviolet selama masa pengobatan ditambah lima
hari setelah pengobatan selesai.

Interaksi:
penggunaan bersama amiodaron, sotalol dan bepridil menimbulkan risiko torsades de pointes karena
perpanjangan interval Q-T (efek aditif elektrofisiologis); tidak dianjurkan kombinasi dengan obat yang dapat
memperpanjang interval Q-T dan/atau menimbulkan torsades de pointes seperti antiaritmia (bretilium,
disopiramid, prokainamid, kuinidin), dan obat-obat lain seperti astemisol, eritromisin, kuinin, klorokuin,
halofantin, cisaprid, pentamid, probukol, terfenadin, vinkamin, beberapa antidepresan trisiklik, neuroleptik
tertentu (seperti sulfoprid, fenotiasin) karena menimbulkan risiko torsades de pointes akibat pemanjangan
interval Q-T (efek aditif elektrofisiologi); diperlukan pemantauan klinis dan elektrokardiografi secara seksama;
hati-hati kombinasi bersama dengan garam magnesium, aluminium dan kalsium oksida dan hidroksida (dapat
menurunkan penyerapan sparfloksasin sehingga selang waktu (lebih dari 4 jam) harus diberikan antara
pemberian antasida dan sparfloksasin), garam besi dan seng (dosis oral > 30 mg per hari) harus diberikan
minimal 2 jam setelah pemberian sparfloksasin; hati-hati pemberian pada kondisi hipokalemia yang
disebabkan diuretik, laksatif, stimulan, amfoterisin B (intravena), kortikosteroid dan tetrakosaktid yang
menyebabkan torsades de pointes, pada kondisi ini hipokalemia sebaiknya diatasi dahulu sebelum memulai
pengobatan dengan sparfloksasin; hati-hati pemberian pada kondisi bradikardi yang disebabkan obat-obat
seperti digoksin dan beta bloker (dapat menyebabkan torsades de pointes); penggunaan dengan Anti Inflamasi
Non Steroid (AINS) dan teofilin mengurangi ambang batas kejang.

Kontraindikasi:
hipersensitif terhadap sparfloksasin atau golongan kuinolon lainnya; penggunaan bersama dengan amiodaron,
sotalol dan bepridil (lihat interaksi); kehamilan dan menyusui; anak-anak hingga akhir masa pertumbuhan;
penderita dengan riwayat penyakit tendon berhubungan dengan floroluinolon; penderita dengan defisiensi
glukosa 6 fosfat dehidrogenase; riwayat pemanjangan interval Q-T (faktor kongenital atau non-kongenital);
penggunaan bersama dengan obat anti aritmia atau obat lain yang menimbulkan aritmia.

Efek Samping:
fototoksisitas termasuk manifestasi terbakar sinar matahari, eritema, dan lesi lepuh, (gejala fototoksik masih
timbul setelah pengobatan dihentikan beberapa minggu); kemerahan, pruritus, bengkak, lepuh, gejala Steven-
Johnson Syndrome, nyeri otot dan sendi, tendinitis, ruptur/ kerusakan tendon, gangguan irama jantung,
termasuk torsades de pointes, aritmia, bradikardi, takikardi, takikardi ventrikel, mual, muntah, diare, nyeri
perut, gastralgia, peningkatan enzim hati, ikterus, tremor, rasa mabuk, paraestesia, gangguan sensorik, sakit
kepala, vertigo, halusinasi, gangguan tidur awal pengobatan, hipersensitifitas, urtikaria, angioedema, shok
anafilaktik, edema quincke, trombositopenia yang sporadis, purpura trombositopenia, konjungtivis, uretritis,
peningkatan transaminase sedang atau untuk sementara.

Dosis:

Fungsi ginjal normal: dosis awal 400 mg sebagai dosis tungggal pada hari pertama, dilanjutkan 200 mg per
hari dalam dosis tunggal, lama pengobatan rata-rata 10 hari untuk infeksi saluran pernafasan bagian bawah dan
4 hari untuk sinusitis, peningkatan dosis per hari tidak akan menambah manfaaat pengobatan; Gangguan
fungsi ginjal: bersihan kreatinin lebih besar dari atau sama dengan 30 mL/menit, tidak diperlukan penyesuaian
dosis, bersihan kreatinin lebih kecil dari 30 mL/menit, 400 mg dosis awal pada hari pertama, pada hari kedua
pengobatan tidak diberikan, dilanjutkan dengan 200 mg pada hari ketiga, kemudian diberikan setiap 48 jam
selama 10 hari; Tidak terdapat data untuk pasien gangguan hati berat. Obat ini dapat digunakan dengan atau
tanpa makanan.

ASAM PIPEMIDAT

5.1.7 Sulfonamid dan Trimetoprim


Penggunaan sulfonamid semakin berkurang dengan semakin banyaknya kuman yang resisten, dan digeser oleh
antibiotik yang umumnya lebih efektif dan kurang toksik.

Sulfametoksazol dan trimetoprim digunakan dalam bentuk kombinasi (ko-trimoksazol) karena sifat
sinergistiknya. Namun, kotrimoksasol dapat menyebabkan efek samping yang serius, walaupun jarang terjadi
(sindrom Stevens Johnson dan diskrasia darah, seperti penekanan sumsum tulang dan agranulositosis) terutama
pada lansia. Kotrimoksazol sebaiknya dihindari diberikan pada bayi usia kurang dari 6 minggu (kecuali untuk
pengobatan dan profilaksis pneumosistis pneumonia) karena ada risiko kernikterus. Ada risiko anemia hemolitik
jika digunakan pada anak dewasa defisiensi G6PD. Kotrimoksazol sebaiknya dibatasi penggunaannya sebagai
pilihan utama untuk pneumonia yang disebabkan oleh Pneumocystis carinii (Pneumocystis jiroveci). Obat ini
juga diindikasikan untuk toksoplasmosis dan nokardiasis. Saat ini penggunaannya hanya dapat dipertimbangkan
untuk mengatasi eksaserbasi akut dari bronkitis kronis dan infeksi saluran kemih jika ada bukti hasil uji
sensitivitas bakteri terhadap kotrimoksazol dan alasan kuat untuk menggunakan kombinasi ini daripada
antibakteri lain secara tunggal. Penggunaan obat ini untuk mengatasi otitis media akut pada anak hanya
dianjurkan jika ada alasan kuat.
Monografi:

KOTRIMOKSAZOL (KOMBINASI
TRIMETOPRIM DAN SULFA
METOKSAZOL DENGAN
PERBANDINGAN 1:5)
Indikasi:

lihat keterangan di atas.

Peringatan:

gangguan fungsi hati dan ginjal; minum air cukup banyak. Hindarkan penggunaan pada gangguan darah
(kecuali di bawah pengawasan spesialis); pada penggunaan jangka panjang perlu dilakukan hitung jenis sel
darah. Bila timbul ruam atau gangguan darah, obat segera dihentikan. Hati-hati pada asma, defisiensi G6PD,
wanita hamil atau menyusui. Hindari penggunaan pada bayi di bawah 6 minggu (kecuali untuk pengobatan
atau profilaksis Pneumocystis carinii).

Interaksi:

lihat Lampiran 1 (kotrimoksazol).

Kontraindikasi:

gagal ginjal dan gangguan fungsi hati yang berat, porfiria.

Efek Samping:

mual, muntah, ruam (termasuk sindrom Stevens-Johnson, nekrolisis epidermal toksik, fotosensitivitas)
hentikan obat dengan segera. Gangguan darah (neutropenia, trombositopenia, agranulositosis dan purpura)
hentikan obat dengan segera. Reaksi alergi, diare, stomatitis, glositis, anoreksia, artralgia, mialgia. Kerusakan
hati seperti ikterus dan nekrosis hati; pankreatitis, kolitis terkait antibiotik, eosinofilia, batuk, napas singkat,
infiltrat paru, meningitis aseptik, sakit kepala, depresi, konvulsi, ataksia, tinitus. Anemia megaloblastik karena
trimetoprim, gangguan elektrolit, kristaluria, gangguan ginjal termasuk nefritis interstisialis.
Dosis:
oral: 960 mg/hari tiap 12 jam, dapat ditingkatkan menjadi 1,44 gram tiap 12 jam pada infeksi berat. 480 mg
tiap 12 jam bila pengobatan lebih dari 14 hari. ANAK/BAYI: tiap 2 jam, 6 minggu sampai 5 bulan, 120 mg, 6
bulan sampai 5 tahun, 240 mg; 6 - 12 tahun, 480 mg.

Infus intravena: 960 mg tiap 12 jam, naikkan sampai 1,44 g tiap 12 jam pada infeksi berat. ANAK 36 mg/kg
bb/hari terbagi dalam dua dosis. Pada infeksi berat dapat ditingkatkan menjadi 54 mg/kg bb/hari.

Pengobatan Pneumosystis carinii (dilakukan bila ada fasilitas monitoring yang memadai): Oral atau intravena,
120 mg/kg bb/hari, dibagi dalam 2 atau 4 dosis, dan diberikan selama 14 hari.
Catatan:

Kotrimoksazol 120 mg mengandung 100 mg sulfametoksazol dan 20 mg trimetoprim. Kotrimoksazol 240 mg


mengandung 200 mg sulfametoksazol dan 40 mg trimetoprim. Kotrimoksazol 480 mg mengandung 400 mg
sulfametoksazol dan 80 mg trimetoprim. Kotrimoksazol 960 mg mengandung 800 mg sulfametoksazol dan
160 mg trimetoprim.

SULFADIAZIN
Indikasi:

pencegahan kambuhan demam rematik, toksoplasmosis.

Peringatan:

lihat kotrimoksazol.

Kontraindikasi:

lihat kotrimoksazol.

Efek Samping:

lihat kotrimoksazol. Hindari pada gangguan fungsi ginjal berat.

Dosis:

pencegahan demam rematik, oral: 1 g/hari (500 mg/hari jika berat badan lebih kecil 30 kg).

SULFADIMIDIN
Indikasi:

infeksi saluran kemih.


Peringatan:

lihat kotrimoksazol.

Kontraindikasi:

lihat kotrimoksazol.

Efek Samping:

lihat kotrimoksazol.

Dosis:

oral, dosis awal 2 g, dilanjutkan dengan 0,5 - 1 g tiap 6-8 jam.

SULFASALAZIN
Indikasi:

untuk pengobatan kolitis ulseratif yang ringan sampai sedang dan sebagai terapi penunjang pada kolitis
ulseratif berat.

Peringatan:

kehamilan; penderita gangguan faal dan ginjal, dikrasia darah; asma bronkial atau alergi, minum lebih banyak
air untuk mencegah terjadinya kristaluria dan pembentukan batu; pada penderita defisiensi glukosa 6 fosfat
dehidrogenase harus diperhatikan tanda-tanda anemia hemolitik, reaksi ini sering berhubungan dengan dosis
yang diberikan, jika terjadi toksik atau hipersensitifitas pemberian obat ini harus segera dihentikan.

Interaksi:

fenobarbital menaikkan ekskresi empedu sulfasalazin sehingga menurunkan ekskresi urin dari obat;
sulfasalazin mengurangi bioavailabilitas digoksin.

Kontraindikasi:

hipersensitif terhadap sulfonamid dan salisilat; anak usia di bawah 2 tahun; obstruksi saluran kemih dan
saluran cerna; penderita porfiria (dapat menyebabkan pengendapan dari golongan sulfonamid); menyusui.

Efek Samping:

pusing, mual, muntah, demam, timbul hipersensitif, agranulositosis, diskrasia darah.


Dosis:

Dewasa, oral, 1-2 gram 4 kali sehari; Anak, oral, dosis awal: 40-60 mg /kg bb per hari dalam dosis terbagi.

TRIMETOPRIM
Indikasi:

infeksi saluran kemih, bronkitis akut dan kronis.

Peringatan:

gangguan fungsi ginjal, ibu menyusui, pasien dengan risiko defisiensi folat, porfiria. Untuk pengobatan jangka
panjang diperlukan hitung jenis sel darah.

Interaksi:

lihat Lampiran 1 (trimetoprim).

Kontraindikasi:

gangguan fungsi ginjal berat, wanita hamil, neonatus dan diskrasia darah.

Efek Samping:

gangguan saluran cerna, mual dan muntah, ruam, pruritus, eritema multiforme (jarang-jarang), nekrolisis
epidermal toksik, gangguan hematopoesis, meningitis aseptik.

Dosis:

oral: infeksi akut, 200 mg tiap 12 jam. ANAK dua kali sehari: 2-5 bulan, 25 mg; 6 bulan-5 tahun, 50 mg; 6-12
tahun, 100 mg.Infeksi kronik dan profilaksis, 100 mg malam hari; ANAK, 1-2 mg/kg bb malam hari. Injeksi
intravena lambat atau infus: 150-250 mg tiap 12 jam; ANAK di bawah 12 tahun, 6-9 mg/kg bb/hari dibagi 2
atau 3 dosis.

5.1.8 Antibiotik Lain


Antibakteri yang akan dibicarakan pada bagian ini adalah kloramfenikol, klindamisin, antibiotik glikopeptida
(vankomisin dan teikoplanin), spektinomisin, polimiksin, kolistin; Linezolid.
5.1.8.1 Kloramfenikol
5.1.8.2 Klindamisin
5.1.8.3 Vankomisin dan teikoplanin
5.1.8.4 Spektinomisin
5.1.8.5 Polimiksin
5.1.8.6 Linezolid

 5.1.8.1 Kloramfenikol
 5.1.8.2 Klindamisin
 5.1.8.3 Vankomisin dan Teikoplanin
 5.1.8.4 Spektinomisin
 5.1.8.5 Polimiksin
 5.1.8.6 Linezolid

5.1.8.1 Kloramfenikol
Kloramfenikol merupakan antibiotik spektrum luas, namun dapat menyebabkan efek samping hematologik
yang berat jika diberikan secara sistemik. Oleh karena itu, obat ini sebaiknya dicadangkan untuk penanganan
infeksi yang mengancam jiwa, terutama akibat Hemophilus influenzae dan demam tifoid. Kloramfenikol juga
digunakan pada fibrosis sistik untuk mengatasi infeksi pernafasan karena Burkholderia cepacia yang resisten
terhadap antibiotik lain. Sindrom Grey baby dapat terjadi setelah pemberian dosis tinggi pada neonatus dengan
metabolisme hati yang belum matang. Untuk menghindarkan hal ini dianjurkan untuk melakukan monitoring
kadar plasma. Kloramfenikol juga tersedia dalam bentuk tetes mata (lihat 11.1) dan tetes telinga (12.1.1).
Monografi:

KLORAMFENIKOL
Indikasi:

lihat keterangan di atas.

Peringatan:

hindari pemberian berulang dan jangka panjang. Turunkan dosis pada gangguan fungsi hati dan ginjal.
Lakukan hitung jenis sel darah sebelum dan secara berkala selama pengobatan. Pada neonatus dapat
menimbulkan grey baby syndrome. (Periksa kadar dalam plasma).

Interaksi:

lihat Lampiran 1 (kloramfenikol).

Kontraindikasi:
wanita hamil, menyusui dan pasien porfiria.

Efek Samping:

kelainan darah yang reversibel dan ireversibel seperti anemia aplastik (dapat berlanjut menjadi leukemia),
neuritis perifer, neuritis optik, eritema multiforme, mual, muntah, diare, stomatitis, glositis, hemoglobinuria
nokturnal.

Dosis:

oral, injeksi intravena atau infus: 50 mg/kg bb/hari dibagi dalam 4 dosis (pada infeksi berat seperti septikemia
dan meningitis, dosis dapat digandakan dan segera diturunkan bila terdapat perbaikan klinis).
ANAK: epiglotitis hemofilus, meningitis purulenta, 50-100 mg/kg bb/hari dalam dosis terbagi. BAYI di bawah
2 minggu, 25 mg/kg bb/hari (dibagi dalam 4 dosis). 2 minggu-1 tahun, 50 mg/kg bb/hari (dibagi 4 dosis).

TIAMFENIKOL
Indikasi:

infeksi yang disebabkan oleh Salmonella sp., Hemophilus influenzae (terutama infeksi meningeal), Rickettsia,
lyphogranuloma-psittacosis, dan bakteri Gram negatif penyebab bakterimiameningitis; tidak digunakan untuk
hepatobilier dan gonore.
Peringatan:

hanya digunakan untuk infeksi yang sudah jelas penyebabnya; pemakaian dalam waktu lama perlu dilakukan
pemeriksaan hematologik secara berkala; sesuaikan dosis pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal,
hentikan penggunaan apabila timbul retikulositopenia, leukopenia, trombositopenia atau anemia; lama
pemakaian sebaiknya tidak melebihi batas waktu yang ditentukan; kehamilan dan menyusui (dapat menembus
plasenta dan diekskresikan melalui ASI); hati-hati pada bayi baru lahir (2 minggu pertama) dan bayi prematur
(untuk menghindari timbulnya sindrom Grey); penggunaan jangka panjang dapat menyebabkan timbulnya
mikroorganisme yang tidak sensitif termasuk fungi dan bakteri.

Interaksi:

penggunaan bersama kloramfenikol dapat mengakibatkan resistensi silang; hati-hati bila digunakan bersama
dengan obat-obat yang juga dimetabolisme oleh enzim-enzim mikrosom hati, seperti dikumarol, fenitoin,
tolbutamid, dan fenobarbital.

Kontraindikasi:

hipersensitif terhadap tiamfenikol; gangguan fungsi hati dan ginjal yang berat; tindakan pencegahan infeksi
bakteri dan pengobatan infeksi trivial, infeksi tenggorokan dan influenza.
Efek Samping:

diskrasia darah (anemia aplastik, anemia hipoplastik, trombositopenia dan granulositopenia), gangguan saluran
pencernaan (mual, muntah, glositis, stomatitis dan diare), reaksi hipersensitif (demam, ruam angioedema, dan
urtikaria), sakit kepala, depresi mental, neuritis optik dan sindrom grey.

Dosis:

Dewasa, anak-anak, dan bayi berusia di atas 2 minggu, 50 mg/kg bb sehari dalam dosis terbagi 3-4 kali
sehari.Bayi prematur, 25 mg/kg bb sehari dalam dosis terbagi 4 kali sehari. Bayi berusia di bawah 2 minggu,
25 mg/kg bb sehari dalam dosis terbagi 4 kali sehari.

5.1.8.2 Klindamisin
Pengunaan klindamisin sangat terbatas karena efek sampingnya yang serius. Efek toksik serius kebanyakan
adalah kolitis terkait dengan antibiotik, yang dapat fatal dan paling sering terjadi pada usia setengah baya dan
wanita lansia, khususnya setelah pembedahan. Walaupun efek samping ini dapat terjadi oleh sebagian besar
antibiotik, namun paling sering terjadi dengan klindamisin. Oleh karena itu, bila terjadi diare, maka pengobatan
harus segera dihentikan.
Klindamisin aktif terhadap kokus Gram positif, termasuk stafilokokus yang resisten terhadap penisilin, juga
terhadap bakteri anaerob seperti Bacteroides fragilis. Obat ini terkonsentrasi dalam tulang dan diekskresi di urin
dan empedu.
Klindamisin direkomendasikan untuk infeksi tulang dan sendi karena stapilokokus, seperti osteomielitis dan
sepsis intra abdominal. Infeksi mulut. Klindamisin tidak boleh digunakan secara rutin untuk terapi infeksi mulut
karena mungkin tidak lebih efektif daripada penisilin dalam mengatasi bakteri anaerob dan dapat menimbulkan
resistensi silang dengan bakteri yang resisten terhadap eritromisin. Klindamisin dapat digunakan untuk
mengatasi abses dentoalveolar yang tidak dapat diatasi oleh penisilin atau metronidazol.
Monografi:

KLINDAMISIN
Indikasi:

Infeksi serius akibat bakteri anaerob atau bakteri aerob gram positif. Infeksi serius saluran nafas (emfiema,
pnemonitis anaerob, abses paru), infeksi serius jaringan lunak dan kulit, septikemia, infeksi intra-abdomen
(peritonitis, abses intra-abdomen), infeksi ginekologi (endometritis, selulitis pelvis pasca operasi vagina, abses
tuboovarium non-gonokokal, salpingitis, atau inflamasi pelvis ketika diberikan bersamaan dengan antibiotik
untuk bakteri aerob gram negatif), servisitis karena Chlamydia trachomatis, infeksi mulut (abses periodontal,
periodontitis), terapi toksoplasmik ensefalitis pada pasien dengan AIDS (kombinasi bersama pirimetamin).
Klindamisin dapat menjadi pilihan untuk pasien alergi golongan penisilin.

Peringatan:

Neonatus, anak-anak, kehamilan, menyusui, diare, kolitis, kolitis pseudomembran, meningitis, gangguan
lambung, mengemudi. Gangguan fungsi ginjal dan gangguan fungsi hati, perlu pemantauan fungsi hati dan
fungsi ginjal pada pengobatan jangka panjang.

Interaksi:

Eritromisin: kemungkinan memiliki efek antagonis. Golongan penghambat neuromuskular: mengubah


mekanisme kerja dari obat golongan tersebut.

Kontraindikasi:

Hipersensitivitas.

Efek Samping:

Umum: kolitis pseudomembran, diare, nyeri abdomen, gangguan pada tes fungsi hati, ruam makulopapular.
Tidak umum: eosinofilia, dysgeusia, hipotensi, cardiorespiratory arrest, mual, muntah, urtikaria, pada
pemberian injeksi: nyeri dan abses. Jarang: eritema multiforme, poliartritis, pruritus. Frekuensi tidak diketahui:
agranulositosis, leukopenia, neutropenia, trombositopenia, reaksi anafilaktik, Drug reaction with eoshiphilia and
systemic symptoms (DRESS), esofagitis, ulkus esofagus, ikterus, nekrolisis epidermal toksis, sindroma Steven
Johnson, dermatitis eksfoliatif, dermatitis bulosa, infeksi vagina, Acute Generalised Exanthematous Pustulosis
(AGEP), iritasi pada tempat penyuntikan.
Dosis:

Oral: Infeksi serius. Dewasa, 150-300 mg tiap 6 jam. Infeksi lebih serius. 300-450 mg tiap 6 jam. Anak, 8-16
mg/kg BB/hari dibagi dalam 3-4 dosis. Sebaiknya diminum dengan segelas air.
Penyakit inflamasi pelvis. Klindamisin fosfat 900 mg secara intravena tiap 6 jam ditambah gentamisin
intravena/intramuskular dengan dosis awal 2 mg/kg dilanjutkan 1,5 mg/kg tiap 8 jam pada pasien dengan fungsi
ginjal normal dilanjutkan sampai 48 jam hingga pasien membaik. Selanjutnya diberikan doksisiklin oral 100 mg,
2 kali sehari untuk melengkapi durasi terapi hingga 10-14 hari. Sebagai terapi alternatif, diberikan klindamisin
oral 450 mg, 4 kali sehari untuk melengkapi durasi terapi hingga 10-14 hari.
Servisitis karena Chlamydia trachomatis. 450 mg 4 kali sehari selama 10-14 hari
Terapi toksoplasmik ensefalitis pada pasien AIDS. Intravena: 600-1200 mg tiap 6 jam selama 3 minggu,
dilanjutkan dengan klindamisin 300 mg tiap 6 jam atau 450 mg tiap 8 jam selama 3 minggu. Dikombinasi dengan
pirimetamin: 100-200 mg dibagi dalam 2 dosis selama 1-2 hari, dilanjutkan dengan 75 mg/hari. Asam folinat
10-20 mg/hari harus diberikan pada pirimetamin dosis tinggi.
Infeksi streptokokus β-hemolitik. Terapi klindamisin selama minimal 10 hari.

LINKOMISIN
5.1.8.3 Vankomisin dan Teikoplanin
Antibiotik glikopeptida vankomisin dan teikoplanin memiliki aktivitas bakterisidal terhadap bakteri Gram positif
aerob dan anaerob termasuk stafilokokus yang multi resisten. Namun, terdapat laporan menurunnya kepekaan
Staphylococcus aureus dan meningkatnya resistensi enterokokus terhadap glikopeptida.
Vankomisin diberikan melalui injeksi intravena untuk profilaksis dan pengobatan endokarditis dan infeksi berat
lainnya yang disebabkan oleh kokus gram positif. Masa kerjanya cukup panjang sehingga dapat diberikan tiap
12 jam, tetapi pemberian dengan frekuensi yang lebih jarang mungkin diperlukan pada neonatus prematur yang
mengalami ketidakmatangan fungsi ginjal.
Vankomisin terutama diekskresikan melalui ginjal dan diperlukan penyesuaian dosis pda gangguan fungsi ginjal.

Teikoplanin sangat mirip dengan vankomisin, namun memiliki lama kerja yang lebih panjang secara signifikan
sehingga dapat diberikan satu kali sehari. Berbeda dengan vankomisin, teikoplanin dapat diberikan melalui
injeksi intramuskular dan intravena.
Monografi:

VANKOMISIN
Indikasi:

lihat keterangan di atas.

Peringatan:

hindari penyuntikan yang cepat (risiko reaksi anafilaktoid); gangguan fungsi ginjal, lansia, pasien dengan
riwayat gangguan pendengaran. Perlu dilakukan uji fungsi ginjal dan urinalisis, hitung jenis sel darah. Pada
lansia atau pasien gangguan fungsi ginjal, periksa fungsi pendengaran dan kadar vankomisin dalam plasma;
kehamilan dan menyusui. Absorpsi sistemik dapat terjadi pada pemberian berulang atau bila ada peradangan
saluran cerna.

Interaksi:

lihat Lampiran 1 (vankomisin).

Efek Samping:
setelah pemberian parenteral: nefrotoksisitas termasuk gagal ginjal dan nefritis interstisial; ototoksisitas
(hentikan bila timbul tinitus); gangguan darah seperti netropenia (biasanya setelah 1 minggu atau dosis
kumulatif 25 g), kadang-kadang agranulositosis dan trombositopenia; mual, demam, menggigil, eosinofilia,
anafilaksis, ruam (termasuk sindrom Stevens-Johnson, dermatitis eksfoliatif dan vaskulitis); flebitis. Pada infus
cepat dapat terjadi hipotensi berat (termasuk syok dan henti jantung), napas meninggi, sesak napas, urtikaria,
pruritus, kemerahan pada tubuh bagian atas (red man syndrome), nyeri dan kram otot punggung dan dada.
Dosis:

oral, 125 mg tiap 6 jam selama 7-10 hari,untuk kolitis pseudo membranosa. ANAK di atas 5 tahun, 5 mg/kg
bb tiap 6 jam.
Injeksi intravena: 500 mg selama 60 menit atau lebih, tiap 6 jam; atau 1 g selam 100 menit tiap 12 jam.
NEONATUS sampai 1minggu, dosis awal 15 mg/kg bb dilanjutkan 10 mg/kg bb tiap 12 jam. BAYI 1-4
minggu, mula-mula 15 mg/kg bb dilanjutkan dengan 10 mg/kg bb tiap 8 jam. Di atas 1 bulan, 10 mg/kg bb tiap
8 jam.
Profilaksis endokarditis.

Catatan:

Dilakukan pemeriksaan kadar dalam darah. Kadar puncak maksimum 30 mg/liter, kadar lembah maksimum 10
mg/liter.

5.1.8.4 Spektinomisin
Spektinomisin aktif terhadap berbagai kuman Gram negatif, termasuk Neisseria gonnorhoeae. Obat ini hanya
diindikasikan untuk pengobatan gonorhoe yang disebabkan oleh organisme yang resisten terhadap penisilin
atau pada pasien alergi terhadap penisilin.
Monografi:

SPEKTINOMISIN
Indikasi:

lihat keterangan di atas.

Peringatan:

wanita hamil dan menyusui.

Interaksi:
lihat Lampiran 1 (spektinomisin).

Efek Samping:

mual, mengantuk, pusing, urtikaria, demam.

Dosis:

injeksi intramuskular dalam 2 g, pada kasus yang sulit diobati dan di wilayah geografis yang resisten dosis
dapat ditingkatkan hingga 4 g. Untuk ANAK di atas 2 tahun, jika tidak ada pengobatan alternatif 40 mg/kg bb.

5.1.8.5 Polimiksin
Antibiotik polimiksin, kolistin aktif terhadap bakteri Gram negatif termasuk Pseudomonas aeruginosa. Obat ini
tidak diabsorpsi melalui oral sehingga harus diberikan melalui injeksi untuk mendapatkan efek sistemik. Efek
samping utamanya adalah neurotoksisitas dan nefrotoksisitas yang tergantung dosis. Pada anak penggunaannya
terbatas karena efek toksiknya tersebut.
Polimiksin B tersedia dalam bentuk sediaan topikal.

Monografi:

KOLISTIN
Indikasi:

lihat keterangan di atas.

Efek Samping:

parestesia perioral dan periferal, vertigo, kelemahan otot, apne, nefrotoksisitas. Kadang-kadang gangguan
vasomotor, gangguan bicara dan penglihatan, bingung dan psikosis. Neurotoksisitas terjadi pada dosis
berlebihan; bronkospasme pada pemberian secara inhalasi.

Dosis:

oral: untuk sterilisasi usus, 1,5-3 juta unit tiap 8 jam.Injeksi intramuskuler, intravena atau infus, 2 juta unit
setiap 8 jam. Inhalasi berat badan lebih besar 40 kg, 1 juta UI tiap 12 jam. Berat badan lebih kurang 40 kg,
500.000 UI tiap 12 jam.
5.1.8.6 Linezolid
Linezolid, merupakan antibakteri oksazolidinon, yang aktif terhadap bakteri Gram positif termasuk MRSA dan
VRE (Vancomycin Resistant Enterococci). Resistensi terhadap linezolid dapat muncul pada terapi yang lama
atau jika dosis yang digunakan kurang dari dosis yang dianjurkan. Linezolid hanya dicadangkan untuk infeksi
yang resisten terhadap antibakteri lain atau bila antibakteri lain tidak dapat ditoleransi. Linezolid kurang aktif
dalam mengatasi organisme Gram negatif. Informasi penggunaan pada anak masih terbatas.
Monografi:

LINEZOLID
Indikasi:

untuk terapi infeksi-infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme yang peka. Juga diindikasikan untuk terapi
MRSA dan VRE infeksi yang disebabkan oleh bakteri Gram positif yaitu pneumonia nosokomial, infeksi kulit
dan jaringan lunak yang complicated, tanpa concomitant osteomyelitis. Belum ada studi untuk pengobatan luka
dekubitus. Linezolid hanya boleh digunakan dalam lingkungan rumah sakit dan setelah konsultasi dengan
dokter spesialis yang relevan. Monoterapi linezolid tidak direkomendasikan jika diduga atau diketahui patogen
Gram negatif konkomitan. Pertimbangan harus diberikan berdasarkan panduan penggunaan antibakteri yang
sesuai. Untuk menurunkan terjadinya resistensi bakteri terhadap obat dan mempertahankan efektivitas
linezolid dan antibakteri lain, linezolid harus diberikan hanya untuk terapi infeksi yang sudah terbukti atau
diduga kuat disebabkan oleh bakteri yang peka. Jika kultur bakteri dan informasi kepekaan tersedia, harus
dijadikan pertimbangan dalam pemilihan atau modifikasi terapi antibakteri.
Peringatan:

pemantauan pemeriksaan darah lengkap (termasuk jumlah platelet) setiap minggu; kecuali dimungkinkan
pengamatan seksama dan pemantauan ketat tekanan darah, hindari penggunaan pada hipertensi yang tidak
terkontrol, phaeo-chromocytoma, tumor karsinoid, tirotoksikosis, depresi bipolar, skizofrenia, acute confusion
state, gangguan hati; gangguan ginjal (lampiran 3), kehamilan (lampiran 2).
Telah dilaporkan gangguan hematopoetik (trombositopenia, anemia, leukopenia dan pansitopenia).
Direkomendasikan untuk memantau secara ketat pemeriksaan darah lengkap setiap minggu. Pemantauan ketat
direkomendasikan pada pasien yang menerima terapi lebih dari 10-14 hari, sebelumnya telah mengalami
myelosuppression, menerima obat yang menyebabkan efek samping terhadap hemoglobin, gangguan darah,
fungsi platelet, gangguan ginjal berat. Jika terjadi myelosuppression yang berat, terapi harus dihentikan kecuali
sangat diperlukan dan harus diikuti dengan pemantauan ketat pemeriksaan darah dan disiapkan
penatalaksanaan yang tepat dalam mengatasinya.
Interaksi:
Lampiran 1 Penghambat MAO Penghambatan Monoamine oxidase. Linezolid merupakan monoamine
oxidase inhibitor (Penghambat MAO) yang reversibel dan tidak selektif. Pasien sebaiknya menghindari
makanan yang banyak mengandung tiramin seperti keju, ekstrak ragi, minuman beralkohol dan produk kedelai
yang difermentasi. Linezolid jangan digunakan bersamaan dengan Penghambat MAO yang lain (SSRI,
antagonis 5 HT1 (triptan), antidepresan trisiklik, simpatomimetik, dopaminergik, buspiron, petidin, analgesik
opioid) atau pemberian Penghambat MAO yang lain dihentikan selama 2 minggu. Hal ini dapat dilakukan jika
memungkinkan dilakukan monitor secara ketat terhadap tekanan darah.
Kontraindikasi:

menyusui (lampiran 4), lihat keterangan tentang penghambat MAO.

Efek Samping:

diare (dilaporkan kolitis karena antibiotik), mual, muntah, gangguan pengecapan, sakit kepala; jarang, rasa
haus, mulut kering, glositis, stomatitis, tongue discoloration, nyeri lambung, dispepsia, gastritis, konstipasi,
pankreatitis, hipertensi, demam, fatigue, pusing, insomnia, hipoestesia, paraestesia, tinitus, poliuria, anemia,
leukopenia, trombositopenia, eosinofilia, gangguan keseimbangan elektrolit, penglihatan kabur, ruam, pruritus,
diaforesis dan reaksi lokasi injeksi; sangat jarang, transient ischaemic attacks, gagal ginjal, pansitopenia dan
sindrom Stevens-Johnson, neuropati optik dan perifer dilaporkan pada terapi yang lama. Dosis: Oral, Dewasa
di atas usia 18 tahun, 600 mg setiap 12 jam selama 10-14 hari. Injeksi intravena selama 30-120 menit, Dewasa
di atas 18 tahun, 600 mg setiap 12 jam.

5.2 Tuberkulosis dan Leprosi


 5.2.1 Antituberkulosis
 5.2.2 Anti Leprosi

5.2.1 Antituberkulosis
Kasus tuberkulosis (TB) dapat digolongkan berdasarkan tempat infeksi, beratnya penyakit, hasil pemeriksaan
bakteriologis dan riwayat pengobatan sebelumnya.

Tempat infeksi
Disebut TB paru adalah bila penyakit mengenai parenkim paru. TB ekstra paru adalah TB tanpa kelainan
radiologis di parenkim paru. Termasuk dalam kelompok ini TB kelenjar getah bening (mediastinum dan/atau
hilus) atau TB dengan efusi pleura. Pasien dengan TB paru dan ekstra paru dicatat sebagai kasus TB paru. TB
ekstra paru di beberapa tempat dikategorikan berdasarkan kelainan pada lokasi yang paling berat.

Beratnya penyakit
Banyaknya bakteri, luasnya lesi dan lokasi anatomis menentukan beratnya penyakit dan pendekatan pengobatan.
Dianggap kasus berat bila penyakit tersebut mengancam jiwa (misalnya TB perikarditis) atau adanya risiko
gejala sisa yang serius (misalnya: TB medula spinalis) atau keduanya.

Berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, TB ekstra paru dibagi menjadi TB ekstra paru berat dan TB ekstra
paru ringan.

TB ekstra paru berat: meningitis, milier, perikarditis, peritonitis, pleuritis eksudativa duplex, TB tulang belakang,
TB usus, TB saluran kemih dan alat kelamin.

TB ekstra paru ringan: TB kelenjar getah bening, pleuritis eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang belakang),
sendi dan kelenjar adrenal.

Bakteriologi
Sputum BTA positif, bila:
Dua kali pemeriksaan menunjukkan hasil BTA positif, atau satu kali pemeriksaan dengan hasil BTA positif dan
hasil pemeriksaan radiologis sesuai dengan TB paru, atau satu kali sputum BTA positif dan hasil kultur
positif. Sputum BTA negatif, bila: Dua kali pemeriksaan dengan jarak 2 minggu dengan hasil BTA negatif.
Pemeriksaan radiologis sesuai dengan TB paru dan gejala klinis tidak hilang dengan pemberian antibiotik
spektrum luas selama satu minggu dan dokter memutuskan untuk mengobati dengan pengobatan regimen anti
TB secara penuh.

Riwayat pengobatan sebelumnya


Penting diketahui apakah sebelum ini pasien sudah mendapat pengobatan anti TB atau belum, dengan alasan:
- Identifikasi pasien dengan risiko resistensi dan pemilihan obat yang tepat.
- Epidemiologi.
* Kasus baru: Pasien yang belum pernah mendapat anti TB atau mendapat anti TB selama kurang dari 4 minggu.
Relaps: Pasien yang sudah dinyatakan sembuh setelah menyelesaikan regimen pengobatan, tapi BTA sputum
kembali positif.

* Kasus gagal: Pasien yang tetap BTA positif atau menjadi positif lagi setelah pengobatan selama 5 bulan.
Dalam kategori ini termasuk juga pasien dengan BTA negatif pada awal pengobatan, tapi menjadi positif setelah
bulan kedua pengobatan.

* Pengobatan terputus: Pasien yang terputus berobat selama 2 bulan atau lebih dan kembali dengan keadaan
BTA positif (kadang-kadang BTA negatif tapi pemeriksaan radiologi memberikan kesan TB aktif).

* Kasus kronik: Pasien dengan BTA tetap positif atau menjadi positif lagi setelah menjalani pengobatan ulang
di bawah pengawasan.

Prinsip pengobatan
Regimen pengobatan terdiri dari fase awal (intensif) selama 2 bulan dan fase lanjutan selama 4-6 bulan.

Selama fase intensif yang biasanya terdiri dari 4 obat, diharapkan terjadi pengurangan jumlah kuman disertai
perbaikan klinis. Pasien yang berpotensi menularkan infeksi menjadi noninfeksi dalam waktu 2 minggu.
Sebagian besar pasien dengan sputum BTA positif akan menjadi negatif dalam waktu 2 bulan.

Selama fase lanjutan diperlukan lebih sedikit obat, tapi dalam waktu yang lebih panjang. Efek sterilisasi obat
pada fase ini bertujuan untuk membersihkan sisa-sisa kuman dan mencegah kekambuhan.
Pada pasien dengan sputum BTA positif ada risiko terjadinya resistensi selektif. Penggunaan 4 obat selama fase
intensif dan 2 obat selama fase lanjutan akan mengurangi risiko resistensi selektif. Pada pasien dengan sputum
BTA negatif atau TB ekstra paru tidak terdapat risiko resistensi selektif karena jumlah bakteri di dalam lesi
relatif sedikit. Pengobatan fase intensif dengan 3 obat dan fase lanjutan dengan 2 obat biasanya sudah memadai.

Tabel 5.2. Pemeriksaan Sputum Untuk Pemantauan Hasil Pengobatan

Pemeriksaan Regimen Regimen


6 bulan 8 bulan

Akhir fase intensif Akhir bulan kedua Akhir bulan kedua

Pada fase lanjutan Akhir bulan keempat Akhir bulan kelima

Akhir pengobatan Akhir bulan keenam Akhir bulan kedelapan

Pada pasien yang pernah diobati ada risiko terjadinya resistensi. Paduan pengobatan ulang terdiri dari 5 obat
untuk fase intensif dan 3 obat untuk fase lanjutan. Selama fase intensif sekurang-kurangnya 2 diantara obat yang
diberikan haruslah yang masih efektif.

Wanita hamil atau menyusui:


Pengobatan standar dengan INH, rifampisin dan pirazinamid dapat diberikan pada wanita hamil dan menyusui;
dianjurkan pemberian piridoksin. Streptomisin tidak boleh diberikan.

Anak-anak:
Anak-anak diberi INH, rifampisin dan pirazinamid untuk 2 bulan fase intensif dilanjutkan dengan INH dan
rifampisin selama 4 bulan. Jika pirazinamid tidak diberikan selama fase intensif, maka pemberian INH dan
rifampisin dilanjutkan selama 9 bulan. Untuk anak resiko tinggi infeksi resisten, etambutol harus termasuk dalam
pengobatan 2 bulan fase intensif. Akan tetapi diperlukan perhatian khusus pada anak yang kurang dari 6 tahun,
karena sulitnya menilai fungsi penglihatan. Jenis dan dosis obat TB pada anak: berat badan <10 kg: isoniazid 50
mg, rifampisin 75 mg, pirazinamid 150 mg; berat badan 10-20 kg: isoniazid 100 mg, rifampisin 150 mg,
pirazinamid 300 mg; berat badan 20-33 kg: isoniazid 200 mg, rifampisin 300 mg, pirazinamid 600 mg.

Pasien Immunocompromised:
Pasien terserang kuman TB yang aktif kembali atau infeksi baru. Sering terjadi multi resisten atau infeksi oleh
mikobakterium lain seperti M. avium. Kultur dan uji kepekaan sebaiknya selalu dilakukan. Infeksi M.
tuberkulosis yang peka terhadap obat primer diobati dengan regimen standar selama 6 bulan.

Pemantauan hasil terapi


Hasil pengobatan pada pasien BTA positif harus dipantau dengan pemeriksaan sputum. Pemeriksaan dengan
cara lain bukan merupakan keharusan. Untuk pasien BTA negatif dan TB ekstra paru, hasil pengobatan
didasarkan pada pemeriksaan klinis. Biasanya diperlukan dua kali pemeriksaan ulang sputum. Tabel di atas
memperlihatkan saat-saat pemeriksaan sputum berdasarkan regimen pengobatan.

Kategori I (Kasus baru dengan BTA positif, kasus baru dengan BTA negatif/rongent positif yang sakit berat
dan ekstra paru berat):
Hasil negatif menunjukkan hasil yang baik.
Pada akhir bulan kedua, sebagian besar pasien akan menjadi BTA negatif. Pasien tersebut dapat memasuki
pengobatan fase lanjutan. Jika sputum masih positif, hal ini menunjukkan kemungkinan berikut:
* Pengobatan fase intensif tidak diawasi dengan baik dan kepatuhan pasien buruk.
* Konversi sputum yang lambat, misalnya akibat adanya kavitas yang luas dan jumlah kuman yang terlalu
banyak pada awal terapi.
* Kemungkinan adanya resistensi.

Apapun penyebabnya, bila sputum BTA masih positif pada akhir bulan kedua, maka pengobatan awal (intensif)
harus diteruskan satu bulan lagi dengan obat sisipan dan pemeriksaan sputum diulangi pada akhir bulan ketiga.
Jika sputum menjadi negatif maka pengobatan diteruskan dengan fase lanjutan. Jika pada akhir bulan kelima
sputum BTA tetap positif, maka pengobatan dianggap gagal. Pasien ini harus didaftarkan dalam pengobatan
yang gagal dan harus menjalani pengobatan ulang secara penuh sebagai kategori II. Dalam hal ini pasien perlu
dirujuk ke unit perawatan spesialis dan dipertimbangkan untuk diobati dengan obat sekunder.

Bila tersedia fasilitas kultur, maka kultur sputum harus dilakukan pada awal pengobatan, di akhir bulan kedua
dan pada akhir pengobatan.

Kategori II (Relaps BTA positif; gagal BTA positif; Pengobatan terputus):


Pemeriksaan sputum dilakukan pada akhir pengobatan fase intensif (akhir bulan ketiga), selama fase lanjutan
(akhir bulan kelima) dan pada akhir pengobatan (akhir bulan kedelapan). Jika pada akhir bulan ketiga BTA
masih positif, pengobatan intensif dilanjutkan sampai satu bulan lagi dengan obat sisipan dan sputum diperiksa
lagi. Jika pada akhir bulan keempat sputum masih positif, maka sputum dikirim untuk kultur dan uji kepekaan.
Selanjutnya diberikan pengobatan fase lanjutan. Jika hasil kultur dan uji kepekaan menunjukkan bahwa kuman
resisten terhadap dua atau lebih dari tiga obat yang digunakan untuk fase lanjutan, maka pasien harus dirujuk ke
unit perawatan spesialis untuk kemungkinan pemberian obat sekunder. Jika tidak tersedia fasilitas kultur dan uji
kepekaan, pengobatan diteruskan sampai regimen pengobatan selesai.

Kategori III (Kasus rontgen positif, pasien ekstra paru ringan):


Pemeriksaan sputum dilakukan pada akhir bulan kedua pengobatan karena dua kemungkinan berikut ini:
kesalahan pemeriksaan pertama (BTA positif yang didiagnosis sebagai BTA negatif): dan ketidakpatuhan
pasien. Jika pada mulanya pasien termasuk kategori III (sputum negatif) tapi pada akhir bulan kedua ternyata
positif, maka pasien didaftarkan sebagai sputum positif dan dimulai pengobatan untuk kategori I.

Pengawasan efek samping


Sebagian besar pasien menyelesaikan pengobatan TB tanpa efek samping yang bermakna, namun sebagian kecil
mengalami efek samping. Oleh karena itu pengawasan klinis terhadap efek samping harus dilakukan.
Pemeriksaan laboratorium tidak harus dilakukan secara rutin.

Petugas kesehatan dapat memantau efek samping dengan dua cara. Pertama dengan menerangkan kepada pasien
untuk mengenal tanda-tanda efek samping obat dan segera melaporkannya kepada dokter. Kedua, dengan
menanyakan secara khusus kepada pasien tentang gejala yang dialaminya.

Efek samping obat tuberkulostatik dapat dibagi menjadi efek samping mayor dan minor (lihat tabel 5.3). Jika
timbul efek samping minor, maka pengobatan dapat diteruskan dengan dosis biasa atau kadang-kadang dosis
perlu diturunkan. Dapat diberikan pengobatan simptomatik. Jika timbul efek samping berat (mayor), maka
pengobatan harus dihentikan. Pasien dengan efek samping mayor harus ditangani pada pusat pelayanan khusus.

Tabel 5.3. Efek samping obat tuberkulosis dan penanganannya

Efek samping Kemungkinan penyebab Penanganan


Minor Teruskan obat, periksa

Anoreksia, mual, sakit perut Rifampisin Berikan obat pada malam hari
sesudah makanan

Nyeri sendi Pirazinamid Aspirin

Rasa panas di kaki INH Piridoksin 100mg/hari

Urin kemerahan Rifampisin Terangkan kepada pasien

Mayor Hentikan obat penyebab

Gatal-gatal, kemerahan di Tiasetazon Hentikan obat


kulit

Ketulian Streptomisin Hentikan streptomisin, ganti


dengan etambutol

Pusing, vertigo. nistagmus Streptomisin Hentikan streptomisin, ganti


dengan etambutol

Ikterus (tanpa sebab lain) Berbagai antiTB Hentikan antiTB

Muntah, bingung (kecurigaan Berbagai antiTB Hentikan obat, segera periksa


gagal hati) fungsi hati dan waktu
protrombin

Gangguan penglihatan Etambutol Hentikan etambutol

Syok, purpura, gagal ginjal Rifampisin Hentikan rifampisin


akut

Obat-obat antituberkulosis

Isoniazid (INH) merupakan obat yang cukup efektif dan murah. Seperti rifampisin, INH harus diberikan dalam
setiap regimen pengobatan, kecuali bila ada kontraindikasi. Efek samping yang sering terjadi adalah neuropati
perifer yang biasanya terjadi bila ada faktor-faktor yang meningkatkan risiko seperti diabetes melitus,
alkoholisme, gagal ginjal kronik dan malnutrisi dan HIV. Efek ini dapat dikurangi dengan pemberian piridoksin
5-10 mg/hari. Efek samping lain seperti hepatitis dan psikosis sangat jarang terjadi.
Rifampisin merupakan komponen kunci dalam setiap regimen pengobatan. Sebagaimana halnya INH,
rifampisin juga sebaiknya selalu diikutkan kecuali bila ada kontraindikasi.

Pada dua bulan pertama pengobatan dengan rifampisin, sering terjadi gangguan sementara pada fungsi hati
(peningkatan transaminase serum), tetapi biasanya tidak memerlukan penghentian pengobatan. Kadang-kadang
terjadi gangguan fungsi hati yang serius yang mengharuskan penggantian obat terutama pada pasien dengan
riwayat penyakit hati. Selama fase intermiten (fase lanjutan) dilaporkan adanya 6 gejala toks is itas: influenza,
sakit perut, gejala pernafasan, syok, gagal ginjal, purpura trombositopenia, dialami oleh 20-30% pasien.
Rifampisin menginduksi enzim-enzim hati sehingga mempercepat metabolisme obat lain seperti estrogen,
kortikosteroid, fenitoin, sulfonilurea dan antikoagulan; interaksi: lihat Lampiran 1. Penting: efektivitas
kontrasepsi oral akan berkurang sehingga perlu dipilih cara KB yang lain.

Pirazinamid bersifat bakterisid dan hanya aktif terhadap kuman intrasel yang aktif membelah dan
Mycobacterium tuberculosis. Efek terapinya nyata pada dua atau tiga bulan pertama saja. Obat ini sangat
bermanfaat untuk TB meningitis karena penetrasinya ke dalam cairan otak. Tidak aktif terhadap Mycobacterium
bovis. Toksisitas hati yang serius kadang-kadang terjadi.

Etambutol digunakan dalam regimen pengobatan bila diduga ada resistensi. Jika risiko resistensi rendah, obat
ini dapat ditinggalkan. Untuk pengobatan yang tidak diawasi, etambutol diberikan dengan dosis 25 mg/kg bb/hari
pada fase intensif dan 15 mg/kg bb bb/hari pada fase lanjutan (atau 15 mg/kg bb/hari selama pengobatan). Pada
pengobatan intermiten di bawah pengawasan, etambutol diberikan dalam dosis 30 mg/kg bb 3 kali seminggu
atau 45 mg/kg bb 2 kali seminggu. Efek samping etambutol yang sering terjadi adalah gangguan penglihatan
dengan penurunan visus, buta warna dan penyempitan lapang pandang. Efek toksik ini lebih sering bila dosis
berlebihan atau bila ada gangguan fungsi ginjal.

Gangguan awal penglihatan bersifat subjektif. Bila hal ini terjadi maka etambutol harus segera dihentikan
sehingga diharapkan fungsi penglihatan akan pulih. Obat ini tidak dianjurkan untuk diberikan jika pasien tidak
dapat mendeteksi perubahan visus yang terjadi. Pemberian pada anak sebaiknya dihindari sampai usia 5 tahun,
yaitu di saat mereka bisa melaporkan gangguan penglihatan. Pemeriksaan fungsi mata dianjurkan dilakukan
sebelum pengobatan.

Streptomisin saat ini semakin jarang digunakan, kecuali untuk kasus resistensi. Obat ini diberikan secara
intramuskuler dengan dosis 15 mg/kg bb, maksimal 1 gram perhari. Untuk berat badan kurang dari 50 kg atau
usia lebih dari 40 tahun, diberikan 500-750 mg/hari. Untuk pengobatan intermiten yang diawasi, streptomisin
diberikan 1 g tiga kali seminggu dan diturunkan menjadi 750 mg tiga kali seminggu bila berat badan kurang dari
50 kg. Untuk anak diberikan dosis 15-20 mg/kg bb/ hari atau 15-20 mg/kg bb tiga kali seminggu untuk
pengobatan yang diawasi. Kadar obat dalam plasma sebaiknya diukur terutama untuk pasien dengan gangguan
fungsi ginjal. Efek samping akan meningkat setelah dosis kumulatif 100 g, yang hanya boleh dilampaui dalam
keadaan yang sangat khusus.

Obat-obat sekunder diberikan untuk TB yang disebabkan oleh kuman yang resisten, atau bila obat primer
menimbulkan efek samping yang tidak bisa ditoleransi. Termasuk obat sekunder adalah sikloserin, makrolida
generasi baru (azitromisin dan klaritromisin), dan kuinolon (siprofloksasin dan ofloksasin).

Regimen pengobatan dan kategori pasien.


Tersedia beberapa kemungkinan regimen. pengobatan tergantung dari kategori pasien. Tabel 5.4. menyajikan
beberapa regimen pengobatan yang dapat digunakan untuk berbagai kategori.

Sekarang ini telah tersedia obat antituberkulosis dalam bentuk kombinasi dosis tetap. Pemakaian obat
antituberkulosis- kombinasi dosis tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan. Tablet OAT-
KDT terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan
pasien. Paduan dikemas dalam satu paket untuk satu pasien. Paduan OAT kategori 1 dan kategori 2 disediakan
dalam bentuk paket OAT-KDT, sedangkan kategori anak sementara ini disediakan dalam bentuk OAT
kombipak. Dosis paduan OAT-KDT untuk berbagai kategori dan berat badan dapat dilihat pada tabel 5.5 hingga
Tabel 5.7

Tabel 5.4. Beberapa Regimen Pengobatan

Kategori Kasus Fase intensif Fase lanjutan


tiap hari 3 x seminggu

I Kasus baru BTA positif; BTA negatif/rontgen 2HRZE 4H3R3


positif dengan kelainan parenkim luas; Kasus TB
ekstra paru berat

II Relaps BTA positif; gagal BTA 2HRZES 5H3R3E3

positif; Pengobatan terputus


1HRZE

III Kasus baru BTA negatif/rontgen positif sakit 2 HRZ 4H3R3


ringan; TB ekstra paru ringan

Sisipan Bila pada ahir fase intensif, pengobatan pasien 1 HRZE


baru BTA positif dengan kategori 1 atau pasien
BTA positif pengobatan ulang dengan kategori 2,
hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif.

Keterangan:
E=Etambutol; H=Isoniazid; R=Rifampisin; Z=Pirazinamid; S=Streptomisin. Angka sebelum regimen
menunjukkan lamanya pengobatan dalam bulan. Angka indeks menunjukkan frekuensi pemberian per minggu.
Bila tidak ada angka indeks sesudah obat berarti obat diberikan tiap hari.

Paket Kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari isoniazid, rifampisin, pirazinamid dan etambutol
yang dikemas dalam bentuk blister.

Satu paket kombipak kategori 1 berisi 114 blister harian yang terdiri dari 60 blister HRZE untuk fase
intensif, dan 54 blister HR untuk fase lanjutan, masing-masing dikemas dalam dosis kecil dan disatukan dalam
1 dos besar.

Satu paket kombipak kategori 2 berisi 156 blister harian yang terdiri dari 90 blister HRZE untuk fase
intensif, dan 66 blister HRE untuk fase lanjutan, masing-masing dikemas dalam dos kecil dan disatukan dalam
1 dos besar. Disamping itu, disediakan 30 vial streptomisin @ 1,5 g dan pelengkap pengobatan (60 spuit dan
aquabides) untuk fase intensif.

Satu paket kombipak kategori 3 berisi 114 blister harian yang terdiri dari 60 blister HRZ untuk fase intensif,
dan 54 blister HR untuk fase lanjutan, masing-masing dikemas dalam dos kecil dan disatukan dalam 1 dos
besar.
Satu paket obat sisipan berisi 30 blister HRZE dikemas dalam 1 dos kecil.

Tabel. 5.5 Dosis paduan OAT-KDT

Kategori 1: 2HRZE / 4(HR)3

Berat badan (dalam Tahap intensif tiap hari selama Tahap lanjutan
kg) 56 hari 3 kali seminggu selama 16 minggu
RHZE (150 / 75 / 400 / 275) RH (150 / 150)

30-37 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT

38-54 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT

55-70 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT

≥ 71 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT

Tabel. 5.6 Dosis paduan OAT-KDT

Kategori 2: 2(HRZE)S / (HRZE) / 5(HR)3E3

Berat badan Tahap intensif tiap hari Tahap lanjutan 3 kali seminggu
RHZE (150 / 75 / 400 / 275) + S RH (150 / 150) + E(400)
(dalam kg)
Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu

30-37 2 tablet 4KDT + 500 mg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT + 2 tablet


streptomisin injeksi etambutol

38-54 3 tablet 4KDT + 750 mg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT + 3 tablet


streptomisin injeksi etambutol

55-70 4 tablet 4KDT+ 1000 mg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT + 4 tablet


streptomisin injeksi etambutol

≥ 71 5 tablet 4KDT+ 1000 mg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT + 5 tablet


streptomisin injeksi etambutol
Catatan:

 Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas, dosis maksimal untuk streptomisin adalah 500 mg tanpa
memperhatikan berat badan
 Untuk wanita hamil, lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus
 Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan aquabidest sebanyak 3,7 mL sehingga
menjadi 4 mL (1 mL = 250 mg)

Tabel. 5.7 Dosis KDT Sisipan: (HRZE)

Berat badan (dalam kg) Tahap intensif tiap hari selama 28 hari RHZE (150 / 75 / 400 / 275)

30-37 kg 2 tablet 4KDT

38-54 kg 3 tablet 4KDT

55-70 kg 4 tablet 4KDT

≥ 71 kg 5 tablet 4KDT

Monografi:

ETAMBUTOL
Indikasi:
tuberkulosis dalam kombinasi dengan obat lain untuk pengobatan tuberkulosis yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis; pengobatan yang disebabkan oleh Mycobacterium avium complex.

Peringatan:
turunkan dosis pada gangguan fungsi ginjal; lansia; kehamilan; ingatkan pasien untuk melaporkan gangguan
penglihatan.

Kontraindikasi:
hipersensitivitas terhadap zat aktif atau zat rambahan obat, neuritis optik, gangguan visual; ANAK di bawah 6
tahun (lihat keterangan di atas).

Efek Samping:
neuritis optik, buta warna merah/hijau, neuritis perifer.

Dosis:
DEWASA dan ANAK di atas 6 tahun, 15-25 mg/kgBB sebagai dosis tunggal.
ISONIAZID
Indikasi:
tuberkulosis yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis.

Peringatan:
gangguan fungsi hati (uji fungsi hati); gangguan fungsi ginjal; risiko efek samping meningkat pada asetilator
lambat; epilepsi; riwayat psikosis; alkoholisme; hepatitis berat, hepatotoksik, penderita neuropati perifer,
penderita HIV, wanita hamil, menyusui dan post partum, pasien hipersensitif, diabetes mellitus, intoleransi
galaktosa, porfiria.

Interaksi:

lihat Lampiran 1 (isoniazid). Gangguan fungsi hati: pasien atau keluarganya diberitahu cara mengenal gejala
gangguan fungsi hati dan dinasehatkan untuk segera menghentikan obat dan memeriksakan diri bila timbul
nausea persisten, muntah-muntah, lesu atau ikterus. Interaksi dengan obat; Peggunaan bersamaan dengan
antikonvulsan, sedatif, neuroleptik, antikoagulan, narkotika, teofilin, prokainamid, kortikosteroid, asetaminofen,
aluminium hidroksida, disulfiram, ketokonazol, obat bersifat hepatotoksik dan neurotoksik. Interaksi dengan
makanan; tidak diberikan bersamaan dengan makanan, alkohol, keju dan ikan.

Kontraindikasi:
penyakit hati yang akut; hipersensitivitas terhadap isoniazid; epilepsi; gangguan fungsi ginjal dan gangguan
psikis.

Efek Samping:
mual, muntah, anoreksia, konstipasi, pusing, sakit kepala, vertigo, neuritis perifer, neuritis optik, kejang, episode
psikosis; reaksi hipersensitivitas seperti eritema multiform, demam, purpura, anemia, agranulositosis; hepatitis
(terutama pada usia lebih dari 35 tahun); sindrom SLE, pellagra, hiperglikemia dan ginekomastia, pendengaran
berkurang, hipotensi, flushing.

Dosis:
Tuberkulosis Aktif: DEWASA; 5 mg/kgBB per hari (4-6 mg/kgBB per hari), ANAK :10 mg/kgBB per hari
(10-15 mg/kgBB per hari). Untuk dewasa dengan BB 30-45 kg, dosis per hari 200 mg diberikan dalam dosis
tunggal. Untuk pasien dengan BB >45 kg, dosis per hari 300 mg diberikan dalam dosis tunggal. Tuberkulosis
Latent (Monoterapi): diberikan sedikitnya 6 bulan DEWASA; 300 mg per hari. ANAK; 10 mg/kgBB per hari
(maks. 300 mg/hari). Tablet isoniazid 300 mg tidak boleh diberikan untuk anak dengan BB

PIRAZINAMID
Indikasi:
tuberkulosis yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dalam kombinasi dengan anti tuberkulosis
lainnya.

Peringatan:

gangguan fungsi hati; gangguan fungsi ginjal; diabetes mellitus; gout; pasien hipersensitif terhadap etionamid,
isoniazid, niasin, serta pirazinamid.

Interaksi:
lihat Lampiran 1 (pirazinamid). Gangguan fungsi hati: pasien dan pengantarnya diberitahu cara mengenal
gejala gangguan fungsi hati dan dinasehatkan untuk segera menghentikan obat dan memeriksakan diri bila
timbul nausea persisten, muntah-muntah, lesu atau ikterus. Penggunaan bersama dengan probenesid,
allopurinol, ofloksasin dan levofloksasin, obat hepatotoksik. Pirazinamid dapat mengganggu efek obat
antidiaberik oral, serta mengganggu tes untuk menentukan keton urin.

Kontraindikasi:
gangguan fungsi hati berat, porfiria (lihat 11.8.2), hipersensitivitas terhadap pirazinamid, gout, wanita hamil
dan menyusui.

Efek Samping:
hepatotoksisitas, termasuk demam anoreksia, hepatomegali, ikterus, gagal hati; mual, muntah, artralgia,
anemia sideroblastik, urtikaria, flushing, sakit kepala, pusing, insomnia, gangguan vaskular : hipertensi,
hiperurikemia, arthalgia.

Dosis:
15-30 mg/kg BB sekali sehari. Dosis maksimal sehari 3 g. Digunakan pada 2 bulan pertama dari 6 bulan
pengobatan. Untuk pasien dengan gangguan fungsi ginjal 20-30 mg/kg BB tiga kali seminggu.

RIFAMPISIN
Indikasi:

lihat dosis. untuk pengobatan tuberkulosis yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dalam
kombinasi dengan obat antituberkulosis lain dan dalam kombinasi dengan obat antilepra untuk pengobatan
lepra dengan mengubah keadaan infeksi menjadi keadaan noninfeksi.

Peringatan:
kurangi dosis pada gangguan fungsi hati; lakukan pemeriksaan uji fungsi hati dan hitung sel darah pada
pengobatan jangka panjang; gangguan fungsi ginjal (jika dosis lebih dari 600 mg/hari) lihat Lampiran 3;
kehamilan dan menyusui lihat Lampiran 4 dan lampiran 5. Penting: pasien yang menggunakan kontrasepsi oral
dianjurkan untuk menggunakan metode tambahan; dapat mengubah warna lensa kontak, menyebabkan warna
kemerahan pada seluruh sekresi tubuh, penderita diabetes melitus, flu syndrome, sesak napas, syok anafilaksis.

Interaksi:

lihat lampiran 1 (rifampisin). Interaksi obat: peggunaan dengan antasida, opiat, antikolinergik dan ketokonazol,
berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal, obat antiretroviral (non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors
dan protease inhibitors). Interaksi laboratorium: positif palsu dengan metode KIMS (Kinetic Interaction of
Microparticles in Solution).

Efek Samping:
gangguan saluran cerna meliputi mual, muntah, anoreksia, diare; pada terapi intermiten dapat terjadi sindrom
influenza, gangguan respirasi (napas pendek), kolaps dan syok, anemia hemolitik, anemia, gagal ginjal akut,
purpura trombo-sitopenia; gangguan fungsi hati, ikterus; flushing, urtikaria, ruam; gangguan sistem saraf pusat
meliputi sakit kepala, pusing, kebingungan, ataksia, lemah otot, psikosis. Efek samping lain seperti udem,
kelemahan otot, miopati, lekopenia, eosinofilia, gangguan menstruasi; warna kemerahan pada urin, saliva dan
cairan tubuh lainnya; tromboplebitis pada pemberian per infus jangka panjang.
Dosis:
Tuberkulosis : DEWASA dalam dosis tunggal, BB <50kg adalah 450 mg, BB >50kg adalah 600mg (pasien
dengan gangguan fungsi hati tidak lebih dari 8mg/kgBB). ANAK: 10-20 mg/kgBB sebagai dosis harian (dosis
total tidak lebih dari 600 mg).

Lepra multibasiler: Rifampisin 600mg satu kali sebulan+dapson 100mg satu kali sehari+klofazimin(Lamprene)
300mg satu kali sebulan+50mg satu kali sehari dengan durasi pengobatan selama 2 tahun.

Lepra pausibasiller: Rifampisin 600mg satu kali sebulan+dapson 100mg (1-2 mg/kgBB) satu kali sehari dengan
durasi pengobatan 6 bulan.

Catatan:
Oral: Untuk memastikan absorpsi yang optimal, riampisin harus diberikan pada perut kosong (1jam sebelum
atau 2 jam setelah makan). Jika diberikan bersamaan dengan makanan meningkatkan toleransi gastrointestinal.

SIKLOSERIN
Indikasi:
dalam kombinasi dengan obat-obat lain, tuberkulosis yang resisten terhadap obat-obat pilihan pertama.

Peringatan:
hentikan (atau kurangi dosis) jika muncul dermatitis alergik atau gejala toksisitas pada SSP; kurangi dosis pada
gangguan fungsi ginjal (hindari jika parah); monitor fungsi hematologi, ginjal, dan hati; kehamilan dan
menyusui.

Interaksi:
lihat Lampiran 1 (sikloserin).

Kontraindikasi:
gangguan fungsi ginjal berat, epilepsi, depresi, ansietas berat, keadaan psikotik, ketergantungan alkohol;
porfiria.

Efek Samping:
terutama neurologis, termasuk sakit kepala, pusing, vertigo, mengantuk, tremor, kejang, psikosis, depresi;
ruam; anemia megaloblastik; perubahan pada uji fungsi hati.

Dosis:
dosis awal 250 mg setiap 12 jam selama 2 minggu, naikkan sesuai dengan kadar darah dan respons sampai
maksimal 500 mg setiap 12 jam; ANAK: dosis awal 10 mg/kg bb/hari disesuaikan menurut kadar darah dan
respon.Catatan: diperlukan pemantauan terhadap kadar dalam darah terutama pada kelainan fungsi ginjal atau
jika dosis lebih dari 500 mg per hari atau jika tanda-tanda toksisitas; kadar darah tidak boleh melebihi 30
mg/liter.

STREPTOMISIN
Indikasi:
tuberkulosis dalam kombinasi dengan obat lain; tularemia, plague, pengobatan brusellosis, pengobatan glanders,
enterokokal endokarditis dan streptokokal endokarditis.

Peringatan:
hipersensitivitas; lihat aminoglikosida.

Kontraindikasi:
kehamilan; lihat aminoglikosida.

Efek Samping:
Gangguan kulit/alergi: ruam, indurasi, atau abses di sekitar lokasi suntikan, mati rasa dan kesemutan di sekitar
mulut, vertigo.

Dosis:

injeksi intramuskular, DEWASA: 15 mg/kgBB (12-18 mg/kgBB) per hari (maksimal 1 g) selama 5 hari dalam
seminggu atau 25-30 mg/kgBB 2 kali seminggu. ANAK: 20-40 mg/kgBB sehari (maksimal 1 g) atau 25-30
mg/kgBB 2 kali dalam seminggu. Selama masa pengobatan dosis kumulatif tidak boleh lebih dari 120 g.
TULAREMIA: Dosis dewasa 1 – 2 g sehari dalam dosis terbagi selama 7 – 14 hari atau sampai pasien afebris
selama 5 – 7 hari. PLAGUE: Dosis dewasa 2 g (30 mg/kgBB) sehari dalam 2 dosis terbagi minimal selama 10
hari. BRUSELLOSIS: digunakan bersamaan tetrasiklin atau doksisiklin DEWASA: 1 g streptomisin im 1 atau
2 kali sehari selama minggu pertama dan sekali sehari selama pengobatan berikutnya. ANAK: > 8 tahun
,20mg/kgBB (sampai dengan 1 g) streptomisin im sehari umumnya selama 2 minggu. Diberikan bersamaan
dengan kotrimoksazol, streptomisin diberikan selama 2 minggu pada awal pengobatan. STREPTOKOKAL
ENDOKARDITIS: streptomisin diberikan bersama dengan penisilin, dengan dosis 1 g 2 kali sehari selama 1
minggu diikuti dengan 500mg 2 kali sehari selama 1 minggu. Usia 60 tahun keatas 500 mg 2 kali sehari selama
2 minggu bersamaan dengan penisilin. ENTEROKOKAL ENDOKARDITIS: diberikan bersama penisislin 1 g
2 kali sehari selama 2 minggu diikuti dengan 500 mg 2 kali sehari selama 4 minggu.

5.2.2 Anti Leprosi


WHO telah membuat rekomendasi untuk mengatasi problem resistensi dapson dan mencegah berkembangnya
resistensi dari obat leprostatik lainnya. Obat yang dianjurkan untuk pengobatan lepra adalah dapson, rifampisin
dan klofazimin. Obat lain yang cukup aktif terhadap Mycobacterium leprae antara lain ofloksasin, minosiklin
dan klaritromisin. Tapi tidak satupun yang menyamai aktivitas rifampisin. Sekarang ini, obat-obat tersebut
merupakan leprostatik alternatif.
Untuk lepra multibasiler (lepromatous, borderline-lepromatous dan borderline lepra) digunakan regimen tiga
obat, sedangkan untuk lepra pausibasiler (borderline tuberkuloid, tuberkuloid dan indeterminate) digunakan
regimen dua obat.
Lepra multibasiler (regimen tiga obat). Rifampisin: 600 mg sekali sebulan, dihadapan petugas (450 mg jika
berat badan kurang dari 35 kg).
Dapson: 100 mg/hari, diminum sendiri (50 mg/hari atau 1-2 mg/kg bb/hari, jika berat badan kurang dari 35 kg).
Klofazimin: 300 mg sekali sebulan, di hadapan petugas dan 50 mg/hari, (atau 100 mg tiap 2 hari), diminum
sendiri.

Lepra multibasiler harus diobati minimal 2 tahun dan diteruskan sampai BTA negatif. Pengobatan harus
diteruskan meskipun timbul reaksi tipe I (reversal) maupun tipe II (eritiema nodosum leprosum). Pada reaksi
tipe I, nyeri saraf dan rasa lemah dapat merupakan pertanda akan terjadinya kerusakan saraf yang permanen.
Pengobatan dengan prednisolon (dosis awal 40-60 mg/hari) harus segera diberikan. Reaksi tipe II yang ringan
dapat diatasi dengan asetosal atau klorokuin. Reaksi tipe II yang berat memerlukan kortikosteroid. Untuk
membantu mengurangi gejala dosis klofazimin ditingkatkan menjadi 3 kali 100 mg/hari selama bulan pertama
dan kemudian diturunkan. Umumnya diperlukan waktu 4-6 minggu untuk mencapai efek optimal.

Lepra pausibasiler (regimen 2 obat) Rifampisin: 600 mg sekali sebulan, di hadapan petugas (450 mg, jika berat
badan kurang dari 35 kg).
Dapson: 100 mg/hari, diminum sendiri (50 mg/hari atau 1-2 mg/kg bb/hari jika berat badan kurang dari 35 kg).

Lepra pausibasiler harus diobati selama 6 bulan. Jika pengobatan terputus maka pengobatan harus tetap
dilanjutkan dengan menambahkan dosis sesuai dengan waktu pengobatan yang terputus.

Monografi:

DAPSON
Indikasi:

lepra, dermatitis herpetiformis.

Peringatan:

penyakit jantung dan paru; anemia (atasi anemia sebelum pengobatan); defisiensi G6PD; kehamilan dan
menyusui; hindari pada porfiria.

Interaksi:

lihat Lampiran 1 (dapson).

Efek Samping:

(tergantung dosis, jarang terjadi pada dosis lazim), hemolisis, metamoglobinemia, neuropati, dermatitis
alergika (kadang-kadang nekrolisis epidermal toksik dan sindrom Stevens-Johnson), anoreksia, nausea,
muntah, sakit kepala, insomnia, anemia, hepatitis, agranulositosis; sindrom dapson (ruam dengan demam dan
eusinofilia) segera hentikan obat (dapat berlanjut menjadi dermatitis eksfoliatif, hepatitis, hipoalbuminemia,
psikosis dan kematian).
Dosis:

lepra, 1-2 mg/kg bb/hari, lihat keterangan di atas.

KLOFAZIMIN
Indikasi:

lepra.

Peringatan:

gangguan ginjal, hati; kehamilan dan menyusui, dapat mempengaruhi warna lensa kontak, hindari bila terjadi
diare dan sakit perut.

Efek Samping:

mual, muntah (rawat inap bila persisten); sakit perut; sakit kepala, kelelahan; warna coklat kehitaman pada lesi
dan kulit yang terpapar sinar matahari; perubahan warna rambut yang reversibel; kulit kering; kemerahan pada
muka, warna kemerahan pada urin, feses dan cairan tubuh lainnya; ruam, pruritus, fotosensitivitas, erupsi akne,
anoreksia, enteropati eusinofilik, obstruksi usus, kekeringan pada mata, penglihatan kabur, pigmentasi kornea
subepitel dan makula, hiperglikemi, berat badan turun, limfadenopati infark limpa.

Dosis:

lepra: lihat keterangan di atas. Reaksi lepromatosa, dosis ditingkatkan menjadi 300 mg/hari, maksimal 3 bulan.

5.3 Anti Jamur


Terapi infeksi jamur
Terapi infeksi jamur sistemik dan infeksi jamur yang menyebar sebaiknya di bawah supervisi dokter spesialis.

Aspergilosis. Aspergilosis umumnya menyerang saluran nafas, namun pada pasien immunocompromised berat,
bentuk invasifnya dapat mengenai sinus, jantung, otak dan kulit. Vorikonazol merupakan obat pilihan;
amfoterisin (formulasi liposomal lebih disukai bila terjadi gangguan ginjal) dan itrakonazol merupakan
alternatif pada pasien yang gagal diterapi dengan amfoterisin.

Kandidiasis. Umumnya infeksi kandida pada permukaan kulit dapat diatasi dengan terapi lokal, sedangkan
untuk infeksi yang meluas atau yang sulit memerlukan terapi antijamur sistemik. Infeksi jamur pada vagina dapat
diatasi dengan terapi antijamur lokal atau dengan flukonazol oral. Untuk organisme yang resisten, dapat
diberikan itrakonazol oral. Infeksi jamur pada orofaringeal umumnya memberikan respon terhadap terapi lokal.
Flukonazol oral diberikan untuk infeksi yang tidak memberikan respon. Flukonazol efektif dan dapat diabsorbsi
dengan baik. Itrakonazol dapat digunakan untuk infeksi yang resisten terhadap flukonazol. Untuk infeksi jamur
yang dalam dan menyebar, dapat digunakan infus amfoterisin intravena tunggal. Vorikonazol terutama
digunakan untuk infeksi oleh Candida spp yang resisten terhadap flukonazol (termasuk C. krusei).
Kriptokokosis. Infeksi ini jarang terjadi, namun infeksi pada pasien immunecompromised, terutama pasien
AIDS, dapat mengancam jiwa. Meningitis kriptokokus merupakan penyebab yang paling umum pada infeksi
meningitis karena jamur. Terapi pilihan untuk meningitis kriptokokus adalah infus amfoterisin intravena selama
2 minggu, dilanjutkan dengan flukonazol oral selama 8 minggu sampai hasil kultur negatif.

Histoplasmosis. Infeksi ini jarang terjadi pada daerah dengan suhu panas. Pada pasien infeksi HIV, infeksi ini
dapat mengancam jiwa. Itrakonazol dapat digunakan untuk terapi infeksi indolent non-meningeal pada pasien
imunokompeten termasuk histoplasmosis paru kronis. Ketokonazol merupakan terapi alternatif pada pasien
imunokompeten. Infus amfoterisin intravena lebih disukai pada pasien dengan infeksi berat atau nyata. Setelah
terapi berhasil, itrakonazol dapat diberikan untuk mencegah terjadinya kekambuhan.

Infeksi kulit dan kuku. Infeksi jamur ringan dan lokal pada kulit (termasuk Tinea corporis, Tinea cruris, dan
Tinea pedis) dapat diatasi dengan terapi topikal (13.10.2). Terapi sistemik (itrakonazol atau terbinafin)
digunakan jika terapi topikal tidak dapat mengatasi infeksi jamurnya, infeksi terjadi di banyak area, atau infeksi
sulit diobati, seperti infeksi pada kuku (onchomycosis) atau kulit kepala/ketombe (tinea capitis). Griseofulvin
digunakan untuk Tinea capitis pada dewasa dan anak. Griseofulvin efektif terhadap infeksi yang disebabkan
oleh Trichophyton tonsurans dan Microsporum spp. Obat ini telah digunakan secara luas untuk mengatasi tinea
di berbagai bagian tubuh. Namun, sekarang ini sudah banyak digantikan oleh antijamur yang lebih baru. Anti
jamur triazol (terutama itrakonazol) atau imidazol oral dan terbinafin lebih sering digunakan karena memiliki
spektrum kerja yang lebih luas dan memerlukan lama terapi yang lebih singkat. Tinea capitis diobati secara
sistemik, tetapi untuk mengurangi penularan dapat ditambahkan anti jamur topikal. Pityriasis versicolor dapat
diatasi dengan itrakonazol oral jika terapi topikal tidak efektif. Flukonazol oral merupakan alternatif.
Terbinafin oral tidak efektif untuk mengatasi Pityriasis versicolor. Terbinafin dan itrakonazol sudah
menggantikan griseofulvin untuk terapi sistemik pada onychomycosis terutama pada kuku ibu jari. Terbinafin
merupakan obat pilihan utama, sedangkan itrakonazol diberikan sebagai terapi intermittent pulse.

Pasien immunocompromised memiliki risiko yang tinggi untuk terinfeksi jamur, oleh sebab itu diperlukan
profilaksis antijamur. Imidazol oral atau antijamur triazol merupakan obat pilihan untuk profilaksis. Flukonazol
lebih mudah diabsorpsi daripada itrakonazol dan ketokonazol serta lebih aman dibanding ketokonazol untuk
terapi jangka panjang. Infus amfoterisin intravena digunakan untuk terapi empiris pada infeksi jamur serius.
Flukonazol digunakan untuk mengatasi infeksi Candida albicans.

Obat yang digunakan untuk infeksi jamur


GOLONGAN POLIEN. Termasuk dalam golongan ini adalah amfoterisin dan nistatin. Keduanya tidak
diabsorpsi secara oral. Obat ini digunakan untuk infeksi oral, orofaringeal dan perioral yang diberikan secara
topikal di mulut.

Infus amfoterisin intravena digunakan untuk infeksi jamur sistemik dan aktif terhadap sebagian besar jamur dan
ragi. Obat ini terikat kuat pada protein plasma dan penetrasinya ke dalam jaringan dan cairan tubuh buruk.
Amfoterisin bersifat toksik dan efek samping sering terjadi. Sediaan amfoterisin dalam lipid bersifat kurang
toksik dan direkomendasikan bila sediaan konvensional dikontraindikasikan karena toksisitasnya, terutama
nefrotoksisitas atau jika respon terhadap amfoterisin konvensional tidak memuaskan.

Nistatin terutama digunakan untuk infeksi Candida albicans di kulit dan membran mukosa, termasuk untuk
kandidiasis pada usus dan esofageal.

GOLONGAN IMIDAZOL. Termasuk dalam golongan imidazol, klotrimazol, ketokonazol, ekonazol,


sulkonazol dan tiokonazol. Obat-obat ini digunakan untuk terapi lokal kandidiasis vagina dan untuk infeksi
dermatofit.
Ketokonazol pada pemberian oral diabsorpsi jauh lebih baik dibandingkan dengan golongan imidazol lainnya.
Namun obat ini telah dilaporkan berkaitan dengan kejadian hepatotoksisitas yang fatal. Untuk pemberian per
oral, risiko dan manfaat ketokonazol sebaiknya dipertimbangkan secara hati-hati terutama yang berkaitan dengan
hepatotoksisitas. Oleh karena itu diperlukan pengamatan klinik dan laboratorium. Pemberian per oral tidak untuk
infeksi superfisial.

Mikonazol dapat digunakan secara topikal untuk infeksi pada rongga mulut. Obat ini juga efektif untuk infeksi
usus. Absorpsi sistemik dapat terjadi pada penggunaan gel mikonazol oral sehingga dapat menimbulkan interaksi
obat yang bermakna.

GOLONGAN TRIAZOL. Termasuk golongan ini adalah flukonazol dan itrakonazol.

Flukonazol diabsorpsi sangat baik setelah pemberian oral. Penetrasi obat ini pada cairan serebro spinal cukup
baik sehingga dapat digunakan untuk mengatasi meningitis fungal.

Itrakonazol aktif terhadap semua bentuk infeksi dermatofit. Kapsul itrakonazol memerlukan kondisi asam
dalam lambung untuk mendapatkan absorpsi yang optimal. Itrakonazol dapat menyebabkan kerusakan hati dan
sebaiknya dihindari atau digunakan secara hati-hati pada pasien dengan penyakit hati, termasuk pasien anak.
Flukonazol lebih jarang menyebabkan hepatotoksisitas. Vorikonazol merupakan antijamur dengan spektrum luas
dan diindikasikan untuk infeksi yang mengancam jiwa.

ANTI JAMUR LAIN


Griseofulvin efektif dalam mengatasi infeksi dermatofit yang meluas dan sulit diobati, namun penggunaannya
telah banyak digantikan oleh antijamur yang lebih baru, terutama pada infeksi kuku. Obat ini merupakan pilihan
utama pada infeksi trichophyton pada anak. Lama terapi tergantung pada tempat infeksi dan dapat berlangsung
selama berbulan-bulan. Terbinafin merupakan obat pilihan untuk infeksi jamur pada kuku dan juga untuk
mengatasi kurap.

Monografi:

AMFOTERISIN (AMFOTERISIN B)
Indikasi:
lihat dalam dosis; penanganan mikosis sistemik berat dan atau deep mycosis.

Peringatan:

bila diberikan secara parenteral sering menimbulkan efek samping (perlu pengawasan ketat dan uji dosis yang
diperlukan); pemeriksaan fungsi hati dan ginjal, hitung jenis sel darah, dan pemeriksaan elektrolit plasma
(hindari penggunaan obat lain yang bersifat hepatotoksik seperti kortikosteroid, kecuali untuk mengendalikan
radang); antineoplastik; pergantian tempat suntikan yang terlalu sering (iritasi), infus yang cepat (risiko
aritmia). Hati-hati pada wanita hamil dan ibu menyusui. Reaksi anafilaksis kadang-kadang terjadi pada
penggunaan amfoterisin intravena. Dianjurkan untuk memberikan dosis percobaan sebelum infus amfoterisin
dan pasien diamati selama kira-kira 30 menit. Antipiretik dan kortikosteroid sebagai profilaksis hanya
diberikan pada pasien dengan riwayat reaksi obat sebelumnya, sedangkan amfoterisin harus diberikan.

Interaksi:
lihat Lampiran 1 (amfoterisin).

Efek Samping:
bila diberikan secara parenteral: Anoreksia, nausea, muntah, diare, sakit perut; demam, sakit kepala, sakit otot
dan sendi; anemia; gangguan fungsi ginjal (termasuk hipokalemia dan hipomagnesemia) dan toksisitas ginjal;
toksisitas kardiovaskuler (termasuk aritmia); gangguan darah dan neurologis (kehilangan pendengaran,
diplopia, kejang, neuropati perifer); gangguan fungsi hati (hentikan obat); ruam; reaksi anafilaksis.

Dosis:

oral: untuk kandidiasis intestinal, 100-200 mg tiap 6 jam. Bayi dan Anak-anak, 100 mg 4 kali sehari. Injeksi
intravena: infeksi jamur sistemik, dosis percobaan 1 mg selama 20-30 menit dilanjutkan dengan 250 mcg/kg
bb/hari, pelan-pelan dinaikkan sampai 1 mg/kg bb/hari; maksimum 1,5 mg/kg bb/hari atau selang sehari.

Catatan:
Biasanya diperlukan terapi jangka panjang. Jika terputus lebih dari 7 hari, ulangi lagi dengan dosis 250 mcg/kg
bb/hari dan dinaikkan pelan-pelan. Mikosis sistemik berat dan atau deep mycosis: terapi dapat dimulai dengan
dosis harian 1,0 mg/kg bb berat badan. Dosis dapat ditingkatkan jika dibutuhkan menjadi dosis yang
direkomendasikan yaitu 3,0 - 4,0 mg/kg bb. Dosis sebaiknya disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing
pasien.

ANIDULAFUNGIN
Indikasi:
kandidemia pada pasien dewasa non-neutropenia.

Peringatan:

monitor fungsi hati, tidak direkomendasikan pada anak di bawah usia 18 tahun, kehamilan, menyusui.

Kontraindikasi:

hipersensitivitas.

Efek Samping:
trombositopenia, koagulapati, hiperkalemia, hipokalemia, hipomagnesemia, kejang, sakit kepala, kemerahan,
diare, peningkatan gama-glutamiltransferase, peningkatan alkalin fosfatase dalam darah, peningkatan alanin
aminotransferase, ruam, pruritus.

Dosis:

infus intravena, dosis awal 200 mg sebagai dosis tunggal, diikuti 100 mg/hari. Terapi dilanjutkan selama minimal
14 hari sesudah hasil positif terakhir pada kultur.

FLUKONAZOL
Indikasi:
lihat dalam dosis.

Peringatan:
gangguan ginjal, kehamilan (dosis tinggi menyebabkan teratogenik pada hewan) dan menyusui, peningkatan
enzim hati. Aritmia, hindarkan pemakaian bersama astemizol atau terfenadin atau cisaprid.
Interaksi:
lihat Lampiran 1 (antijamur, imidazol, triazol).

Efek Samping:
nausea, sakit perut, diare, kembung; gangguan enzim hati; kadang-kadang ruam (hentikan obat atau awasi
secara ketat); angioudem, anafilaksis, lesi bulosa, nekrolisis epidermal toksik, sindrom Stevens-Johnson; pada
pasien AIDS pernah dilaporkan reaksi kulit yang hebat.

Dosis:
oral, vaginitis dan balanitis kandida, 150 mg dosis tunggal. Kandidiasis mukosa (kecuali genitalia) 50 mg/hari
(100 mg/hari untuk infeksi yang sulit sembuh) diberikan selama 7-14 hari, untuk kandidiasis orofarings
(maksimal 14 hari, kecuali pasien immunocompromised); 14 hari untuk kandidiasis oral atropikans; 14-30 hari
untuk infeksi mukosa lainnya (mis. esofagitis, kandiduria, infeksi bronkopulmoner noninvasif).ANAK, oral
atau infus intravena, 3-6 mg/kg bb pada hari pertama, kemudian 3 mg/kg bb per hari (tiap 72 jam pada
neonatus usia sampai 2 minggu, tiap 48 jam pada neonatus usia 2-4 minggu). Tinea pedis, korporis, kruris,
versikolor dan kandidiasis dermal, per oral, 50mg/hari selama 2-4 minggu (sampai 6 minggu pada tinea pedis);
lama pengobatan maksimum 6 minggu. Infeksi kandida invasif (termasuk kandidemia dan kandidiasis
diseminata) dan infeksi kriptokokus (termasuk meningitis), oral atau infus intravena, dosis awal 400 mg
kemudian 200 mg/hari, bila perlu ditingkatkan menjadi 400 mg/hari. Pengobatan diteruskan sesuai dengan
respons (untuk meningitis kriptokokus, minimal 6-8 minggu).ANAK, 6-12 mg/kg bb/hari (tiap 72 jam pada
neonatus usia sampai 2 minggu, tiap 48 jam untuk neonatus usia 2-4 minggu). Pencegahan kambuhnya
meningitis kriptokokus pada pasien AIDS, 100-200 mg/hari (setelah melengkapi terapi primer). Profilaksis
infeksi jamur pada pasien immunocompromised, setelah kemoterapi atau radioterapi, 50-400 mg/hari
disesuaikan dengan risiko; 400 mg/hari jika ada risiko tinggi infeksi sistemik, misalnya setelah transplantasi
sumsum tulang. Terapi dimulai sebelum terjadinya netropenia dan dilanjutkan smpai 7 hari setelah jumlah
netrofil yang diinginkan tercapai. ANAK, tergantung dari lama dan beratnya neutropenia, 3-12 mg/kg bb/hari
(tiap 72 jam untuk neonatus usia sampai 2 minggu, tiap 48 jam untuk neonatus usia 2-4 minggu).

GRISEOFULVIN
Indikasi:
Infeksi jamur pada kulit, rambut, dan kuku bila terapi topikal gagal.

Peringatan:
Tidak untuk profilaksis, kerusakan sel sperma, dianjurkan tidak merencanakan kehamilan selama terapi 6 bulan
setelahnya, mengemudi dan mengoperasikan mesin.

Interaksi:

Antikoagulan koumarin: menurunkan renspon antikoagulan kumarin. Obat penginduksi enzim hati (barbiturat):
menurunkan efektivitas griseofulvin. Kontrasepsi oral: meningkatkan risiko pendarahan uterus, amenore, dan
kegagalan kontrasepsi. Alkohol: meningkatkan efek alkohol.

Kontraindikasi:

Porfiria, kegagalan hepatoselular atau lupus eritematosus, kehamilan.

Efek Samping:
Reaksi urtikaria, ruam kulit, sakit kepala, tidak nyaman pada lambung, pusing, kelelahan, granulositopenia,
leukopenia, fotosensitivitas pada pasien, SLE, eritema multiform, nekrolisis epidermal toksis, neuropati
peripheral, kebingungan dengan gangguan koordinasi, kandidiasis oral, kolestasis, peningkatan enzim hati,
hepatitis.

Dosis:

Dewasa dan lansia, 500 mg satu kali sehari dosis tunggal atau terbagi. Anak-anak, dosis harian 10 mg/kg BB
satu kali sehari dosis tunggal atau terbagi.

ITRAKONAZOL
Indikasi:
kandidiasis orofarings dan vulvo vaginal; ptyriasis versicolor, infeksi dermatofita lainnya; onychomycosis;
histo-plasmosis; terapi alternatif bila antijamur lain tidak cocok atau tidak efektif pada infeksi sistemik
(aspergilosis, kriptokokosis, kandidiasis termasuk meningitis), terapi pemeliharaan pada pasien AIDS,
profilaksis infeksi jamur pada neutropenia bila terapi standar tidak cocok.

Peringatan:

hindari pemakaian pada riwayat gangguan fungsi hati. Pemeriksaan fungsi hati harus dilakukan bila
pengobatan lebih dari 1 bulan atau bila timbul mual, anoreksia, muntah, lelah, sakit perut atau urin berwarna
gelap (hentikan obat bila hasil tes abnormal); gangguan fungsi ginjal (bioavailabilitas dapat berkurang);
absorpsi berkurang pada penderia AIDS dan neutreopenia (periksa kadar dalam darah dan bila perlu dosis
dapat dinaikkan); hentikan obat bila terjadi neuropati perifer; kehamilan (lihat Lampiran 4) dan ibu menyusui.

Interaksi:
Lampiran 1 (anti jamur, imidazol, triazol). Aritmia: hindarkan penggunaan bersamaan dengan astemizol,
terfenadin dan cisaprid.

Efek Samping:
mual, sakit perut, dispepsia, konstipasi, sakit kepala, pusing, kenaikan enzim hati, gangguan haid, reaksi alergi
(pruritus, ruam, urtikaria, angioudem), hepatitis dan ikterus kolestatik (terutama bila pengobatan melebihi satu
bulan); neuropati perifer (hentikan obat), pernah dilaporkan sindrom Stevens-Johnson; hipokalemia pada
penggunaan jangka panjang, udem dan rambut rontok.

Dosis:
kandidiasis orofarings, 100 mg/hari (200 mg pada pasien AIDS atau neutropenia) selama 15 hari.

Vulvovaginitis kandida, 200 mg 2 kali sehari selama 1 hari.

Ptyriasis versicolor, 200 mg/hari selama 7 hari.

Tinea korporis dan tinea kruris, 100 mg/hari selama 15 hari, atau 200 mg/hari selama 7 hari.

Tinea manus dan pedis, 100 mg/hari selama 30 hari.

Onikomikosis, 200 mg/hari selama 3 bulan, atau bertahap 200 mg 2 kali sehari selama 7 hari diulangi setelah
interval 21 hari; dua tahap untuk kuku jari tangan, tiga tahap untuk kuku jari kaki.
Histoplasmosis, 200 mg, 1-2 kali sehari. Alternatif pada infeksi sistemik, 200 mg sekali sehari (kandidiasis
100-200 mg/hari), untuk infeksi invasif atau diseminata dan meningtis kriptokokus sampai 200 mg dua kali
sehari. Terapi pemeliharaan pada pasien AIDS dan profilaksis pada neutropenia, 200 mg sekali sehari; dosis
digandakan bila kadar dalam darah rendah.

ANAK dan LANSIA, tidak dianjurkan.

KASPOFUNGIN ASETAT
Indikasi:
kandidiasis invasif (diantaranya kandidemia, pada pasien neutropenik dan non-neutropenik); kandidiasis
esofageal; kandidiasis orofaringeal; aspergilosis invasif (pada pasien yang sukar disembuhkan atau intoleran
terhadap terapi lain).

Peringatan:
kehamilan; menyusui; pasien berusia di bawah 18 tahun.

Interaksi:
kaspofungin asetat menurunkan kadar takrolimus dalam darah, maka pada pasien yang menerima kedua obat
tersebut, perlu dilakukan monitoring kadar takrolimus dalam darah, dan dilakukan penyesuaian dosis
takrolimus; siklosporin meningkatkan AUC kaspofungin asetat, diperkirakan hal ini terjadi karena penurunan
pengambilan kaspofungin asetat oleh hati; terjadi peningkatan sementara ALT dan AST hati apabila
kaspofungin asetat dan siklosporin diberikan bersamaan; pemberian kaspofungin asetat bersama dengan
penginduksi klirens obat seperti efavirenz, nevirapin, rifampisin, deksametason, fenitoin, atau karbamazepin,
sebaiknya dipertimbangkan penggunaan kaspofungin asetat 70 mg sehari; penggunaan bersama dengan
siklosporin; peningkatan sementara alanine transaminase (ALT) dan aspartate transaminase (AST) ≤ 3 kali
lipat dari Upper Limit of Normal (ULN) pada beberapa subjek sehat yang menerima 3 mg/kg bb, dosis
siklosporin dengan kaspofungin asetat yang akan normal kembali dengan penghentian pemberian obat; terjadi
peningkatan ± 35% pada Area Under the Curve (AUC) kaspofungin asetat ketika diberikan bersama dengan
siklosporin, kadar siklosporin dalam darah tidak berubah.

Kontraindikasi:
hipersensitif terhadap kaspofungin asetat.

Efek Samping:

demam, sakit kepala, nyeri perut, nyeri, kedinginan, mual, muntah, diare, peningkatan jumlah enzim hati
(AST, ALT, alkalin fosfatase, direct bilirubin dan bilirubin total), peningkatan kreatinin serum, anemia
(penurunan hemoglobin dan hematokrit), plebitis/tromboplebitis, komplikasi pada tempat pemberian infus,
ruam kulit, pruritus, bengkak pada wajah, sensasi hangat, bronkospasme, anafilaktik, disfungsi hati, udem
perifer, dan hiperkalsemia.

Dosis:
Invasive candidiasis, infus intravena lambat (± 1 jam), dosis muatan (loading dose) tunggal 70 mg diberikan
pada hari pertama, selanjutnya diikuti dengan dosis 50 mg sehari. Lama pengobatan harus disesuaikan dengan
respons klinis dan mikrobiologi pasien. Umumnya, terapi anti jamur harus dilanjutkan paling tidak 14 hari
setelah hasil pemeriksaan kultur terakhir yang positif.
Esophageal dan oropharyngeal candidiasis, infus intravena lambat (± 1 jam), 50 mg sehari.

Invasive Aspergillosis, infus intravena lambat (± 1 jam), dosis tunggal 70 mg diberikan pada hari pertama,
selanjutnya diikuti dengan dosis 50 mg sehari. Lama pengobatan sebaiknya disesuaikan dengan keparahan dari
penyakit lain yang menyertai, pemulihan dari kondisi imunosupresi dan respon klinis pasien. Pemberian
bersama dengan penginduksi metabolik efavirenz, nevirapin, rifampin, deksametason, fenitoin, atau
karbamazepin, harus dipertimbangkan penggunaan dosis kaspofungin asetat 70 mg sehari.

Pasien dengan gangguan fungsi hati ringan dan lansia, tidak memerlukan penyesuaian dosis. Esophageal
dan/atau oropharyngeal candidiasis dengan gangguan fungsi hati sedang, direkomendasikan pemberian kaspo-
fungin asetat 35 mg sehari.

Invasive candidiasis atau invasive aspergillosis dengan gangguan fungsi hati sedang, setelah dosis awal 70 mg,
direkomendasikan pemberian kaspofungin asetat 35 mg sehari.

KETOKONAZOL
Indikasi:

mukosa sistemik, kandidiasis mukokutan resisten yang kronis, mukosa saluran cerna resisten serius,
kandidiasis vaginal resisten yang kronis, infeksi dermatofita pada kulit atau kuku tangan (tidak pada kuku
kaki); profilaksis mikosa pada pasien imunosupresan; kandidiasis mukokutan kronis yang tidak responsif
terhadap nistatin dan obat-obat lain; infeksi mikosis sistemik (kandidiasis, paraksidioidomikasis, cocci
dioidomycosis, hiptoplasmosis).

Peringatan:
lakukan uji fungsi hati secara klinis dan secara biokimia untuk pengobatan yang berlangsung lebih dari 14 hari
lakukan uji fungsi hati sebelum memulainya, 14 hari setelah mulai, kemudian selang sebulan sekali. Hindari
pada porfiria Aritmia. Hindari pemberian bersama dengan astemizol atau terfenadina. Juga hindari pemberian
bersama cisaprid.

Interaksi:
Lampiran 1 (antifungi, imidazol dan triazol).

Kontraindikasi:

gangguan hati; kehamilan (teratogenesitas pada hewan, pada kemasan cantumkan peringatan kehamilan) dan
menyusui; pemberian bersamaan dengan terfenadin atau astemizol.

Efek Samping:
mual, muntah, nyeri perut; sakit kepala; ruam, urtikaria, pruritus; jarang trombositopenia, parestesia, fotofobia,
pusing, alopesia, ginaekomastia dan oligospermia; kerusakan hati fatal Peringatan: risiko terbentuknya
hepatitis lebih besar jika diberikan lebih dari 14 hari.

Dosis:
DEWASA 200 mg/hari bersama makanan, biasanya untuk 14 hari; jika setelah 14 hari respons tidak memadai,
lanjutkan hingga setidaknya 1 minggu setelah gejala hilang dan kultur menjadi negatif; maksimum 400
mg/hari. ANAK, 3 mg/kg bb/hari dosis tunggal atau dalam dosis terbagi. Kandidiasis vaginal resisten yang
kronis, 400 mg/hari bersama makanan selama 5 hari.
MIKAFUNGIN NATRIUM
Indikasi:
kandidemia, kandidiasis diseminasi akut, peritonitis kandida dan abses; kandidiasis esofagus; pencegahan infeksi
kandida pada pasien yang mengalami transplantasi sel punca hematopoietik.

Peringatan:
Pantau fungsi ginjal, gangguan fungsi ginjal, kehamilan, menyusui, hepatotoksisitas.

Interaksi:
Sirolimus, nifedipin atau trakonazol perlu dikurangi dosisnya karena mikafungin meningkatkan toksisitas obat
tersebut.

Kontraindikasi:
Hipersensitivitas.

Efek Samping:

mual, flebitis, muntah, peningkatan enzim aspartat aminotransferase, peningkatan alkali fosfat darah, netropenia,
anemia, leukopenia, hipokalemia, hipomagnesimia, hipokalsemia, sakit kepala, diare, nyeri abdominal,
penambahan amino-transferase alanin; peningkatan bilirubin darah, uji fungsi hati abnormal, kemerahan
episodik pada wajah/leher, hiperbilirubinemia, ruam, pireksia, kekakuan, gagal ginjal (lebih sering pada anak-
anak).

Dosis:
Infus intravena, Pengobatan pasien dengan kandidemia, diseminasi kandidiasis akut, peritonitis kandida
dan abses: DEWASA (bobot badan lebih dari 40 kg) 100 mg per hari, maksimal 200 mg per hari; bobot badan
kurang dan sama dengan 40 kg: 2 mg per kg per hari, maksimal 4 mg per kg per hari. ANAK-ANAK (kurang
dari 16 tahun) (bobot badan lebih dari 40 kg) 100 mg per hari, maksimal 200 mg per hari; (bobot badan kurang
dan sama dengan 40 kg) 2 mg per kg per hari, maksimal 4 mg per kg per hari. Lama pengobatan minimal 14
hari.

Pengobatan pasien dengan kandidiasis esofagus: DEWASA (bobot badan lebih dari 40 kg) 150 mg per hari;
(bobot badan kurang dan sama dengan 40 kg: 3 mg per kg per hari. Lama pengobatan minimal 1 minggu.
Profilaksis infeksi kandida pada pasien yang mengalami transplantasi sel punca hematopoetik DEWASA
(bobot badan lebih dari 40 kg) 50 mg per hari; bobot badan kurang dan sama dengan 40 kg: 1 mg per kg per hari.
ANAK-ANAK (kurang dari 16 tahun) (bobot badan lebih dari 40 kg) 50 mg per hari; (bobot badan kurang dan
sama dengan 40 kg) 1 mg per kg per hari. Lama pengobatan minimal 1 minggu setelah pemulihan netrofil.

NISTATIN
Indikasi:
kandidiasis.

Efek Samping:
mual, muntal, diare pada dosis tinggi, iritasi oral dan sensitisasi, ruam (termasuk urtikaria) dan dilaporkan
terjadi sindroma Stevens-Johnson (jarang).
Dosis:
oral, kandidiasis usus 500.000 UI setiap 6 jam, berikan dosis ganda pada kasus infeksi berat; ANAK 100.000
UI 4 kali/hari. Profilaksis, 1 juta unit/ hari. Neonatal, 100.000 UI/hari sebagai dosis tunggal. Untuk
penggunaan sebagai obat kumur dalam kasus kandidiasis mulut, lihat bagian 12.3.2.

POSAKONAZOL
Indikasi:
infeksi jamur Aspergillosis invasif setelah gagal terapi atau intoleran dengan amfoterisin B atau itrakonazol;
Fusariosis setelah gagal terapi atau intoleran dengan amfoterisin B; Chromoblatomycosis dan mycetoma pada
pasien setelah gagal terapi atau intoleran dengan itrakonazol; Coccidiomycosis setelah gagal terapi atau intoleran
dengan amfoterisin B, itrakonazol atau flukonazol; Kandisiasis orofaringeal pada pasien yang mengidap
penyakit berat atau immunocompromised dimana respon terhadap terapi topikal diperkirakan tidak berhasil.

Peringatan:
hipersensitif; gangguan fungsí hati berat; monitor gangguan elektrolit karena menyebabkan QT prolongation;
kehamilan; menyusui; tidak dapat diekskresi oleh hemodialisis; khasiat dan keamanan penggunaan pada anak
dan remaja dibawah usia 13 tahun belum diketahui pasti.

Interaksi:
Tidak boleh digunakan bersamaan dengan terfenadin, astemizol, cisaprid, pimozid, halofantrin dan quinidin
(Substrat CYP3A4) karena dapat meningkatkan konsentrasi plasma sehingga dapat menyebabkan perpanjangan
QT dan torsades de pointes (jarang); Tidak boleh digunakan bersamaan dengan simvastatin, lovastatin dan
atorvastatin karena dapat meningkatkan inhibitor reduktase HMG-CoA dalam darah yang menyebabkan
Rhabdomyolisis; Tidak boleh digunakan bersamaan dengan alkaloid ergot (ergotamin dan dihidroergotamin)
karena akan meningkatkan konsentrasi plasma alkaloid ergot sehingga menyebabkan ergotism; Inhibitor enzim
pada jalur metabolisme via UDP glucuronidation (verapamil, siklosporin, kuinidin, klaritromisin, eritromisin)
dapat meningkatkan kadar plasma posakonazol, sedangkan penginduksi enzim ((rifampisin, rifabutin,
antikonvulsan tertentu) dapat menurunkan kadar plasma posakonazol; alkaloid vinka (vinkristin dan vinblastin)
meningkatkan kadar posakonazol, se1 hingga dapat menyebabkan neurotoksisitas; posakonazol dapat
meningkatkan Cmax dan AUC takrolimus secara signifikan sehingga perlu dilakukan monitor kadar takrolimus,
kurangi dosis takrolimus atau hentikan penggunaan posakonazol; Tidak boleh digunakan bersamaan dengan
sirolimus atau jika harus dilakukan, dosis sirolimus dikurangi secara signifikan; Posakonazol meningkatkan
konsentrasi plasma HIV protease Inhibitors, midazolam, antagonis kalsium, digoksin.

Kontraindikasi:
Hipersensitivitas; penggunaan bersamaan dengan terfenadin, astemizol, cisaprid, pimozid, halofantrin dan
quinidin (Substrat CYP3A4), simvastatin, lovastatin dan atorvastatin (inhibitor reduktase HMG-CoA), alkaloid
ergot (ergotamin dan dihidroergotamin).

Efek Samping:
umum terjadi: neutropenia, ketidakseimbangan elektrolit, anoreksia, paraestesia, pusing, mengantuk, sakit
kepala, muntal, mual, nyeri abdomen, diare dispepsia, mulut kering, flatulens, peningkatan hasil uji fungsi hati
(AST, ALT, bilirubin, alkalin fosfatase, GGT), ruam, pireksia (demam), astenia, lelah.

Tidak umum terjadi: trombositopenia, leukopenia, anemia, eosinofilia, limfadenopati, reaksi alergi,
hiperglikemia, konvulsi, neuropati, hipoanestesi, tremor, Perpanjangan QTc/QT, ECG abnormal, palpitasi,
hipertensi, hipotensi, penglihatan kabur, pancreatitis, kerusakan hati, hepatitis, jaundice, hepatomegali, sariawan,
alopesia, nyeri punggung, gagal ginjal akut, gagal ginjal, peningkatan kreatinin darah, edema, letih, rasa nyeri,
kaku, lemas; mempengaruhi kadar obat lain: jarang terjadi: sindrom hemolitik uremik, purpura trombositopenik
trombotik, pansitopenia, koagulasi, haemorrhage NOS, Sindrom Steven Johnson, reaksi hipersensitif,
insufisiensi adrenal, penurunan kadar gonadotropin, asidosis tubular ginjal, psikosis, depresi, sincope,
encefalopati, neuropati periferal, diplopia, skotoma, torsadaes de pointes, mati mendadak, takikardi ventrikular,
cardio-respiratory arrest, gagal jantung, infark miokard, cerebrovascular accident, embolisme paru, deep venous
thrombosis NOS, hipertensi paru, pneumonia interstitial, pneumonitis, perdarahan saluran cerna, ileus, gagal
hati, kolestatik hepatitis, kolestasis, hepatosplenomegali, pengerasan hati, asteriksis, ruam vesikular, nefriitis
interstisial, nyeri payudara, edema lidah, edema muka.

Dosis:
Dewasa dan anak usia 13 tahun atau lebih: infeksi jamur Aspergillosis invasif: 400 mg, dua kali sehari atau jika
tidak dapat mentoleransi, 200 mg, empat kali sehari. Lama pengobatan tergantung tingkat keparahan penyakit,
kekebalan tubuh dan respon klinis.

Coccidiodomycosis: 400 mg, dua kali sehari atau jika tidak dapat mentoleransi, 200 mg, lima kali sehari;

Kandisiasis orofaringeal: Loading dose, 200 mg sekali sehari pada hari pertama kemudian 100 mg sehari sekali
selama 13 hari

Oropharyngeal yang susah disembuhkan atau candida oesophageal: 400 mg sehari, dua kali sehari. Lamanya
pengobatan tergantung pada tingkat keparahan pasien, dan respon klinik.

Profilaksis infeksi jamur invasif: 200 mg, tiga kali sehari. Lamanya pengobatan tergantung pada penyembuhan
dari kondisi neutropenia atau imunosupresi.

Posakonazol sebaiknya diberikan dengan makanan atau dengan 240 ml suplemen nutrisi. Oral suspensi harus
dikocok sebelum digunakan.

TERBINAFIN
Indikasi:
infeksi dermatofita pada kuku; infeksi kurap (termasuk tinea pedis, tinea kruris dan tinea korporis), dimana
terapi oral diperlukan (disebabkan tempat, keparahan, atau luas).

Peringatan:

gangguan fungsi hati, gangguan fungsi ginjal (lihat Lampiran 3); kehamilan (lihat Lampiran 4), menyusui
(lihat Lampiran 5); psoriasis (beresiko bertambah buruk); penyakit gangguan kekebalan tubuh (resiko efek
serupa Lupus erithematosus).

Interaksi:

lihat lampiran 1 (terbinafin).

Efek Samping:

ketidaknyamanan pada perut, anoreksia, mual, diare; sakit kepala; ruam kulit dan urtikaria kadang dengan
artralgia atau mialgia; gangguan pengecapan (kadang-kadang); hentikan pengobatan jika terjadi toksisitas liver
(jarang) (termasuk jaundice, kolestasis, dan hepatitis), angiodema, pusing, rasa badan tidak enak, paraesthesia,
hipoasthesia, fotosensitivitas, reaksi kulit serius termasuk sindrom Steven-Johnson dan nekrolisis epidermal
toksik (hentikan pengobatan jika terjadi ruam kulit yang progresif); gangguan psikiatri (jarang), kelainan darah
(termasuk leukopenia dan trombositopenia), efek menyerupai lupus eritematosus, dan psoriasis yang
memburuk.

Dosis:
250 mg per hari biasanya selama 2-6 minggu untuk tinea pedis, 2-4 minggu untuk tinea kruris, 4 minggu pada
tinea korporis, 6 minggu - sampai 3 bulan untuk infeksi kuku (kadang-kadang lebih lama pada infeksi toenail);
ANAK (tidak dianjurkan) biasanya selama 2 minggu, tinea kapitis, pada anak berusia di atas 1 tahun, berat
badan 10-20 kg, 62,5 mg sekali sehari; berat badan 20-40 kg, 125 mg sekali sehari; berat badan lebih dari 40
kg, 250 mg sekali sehari.

VORIKONAZOL
Indikasi:
aspergillosis invasif (sebagian besar disebabkan oleh Aspergillus fumigatus), kandidemia pada pasien non-
neutropenik, infeksi serius Candida (termasuk C. Krusei), kandidiasis esofagal, infeksi serius yang disebabkan
oleh Scedosporium apiospermum (bentuk aseksual dari Pseudallescheria boydii) dan Fusarium spp., termasuk
Fusarium solani, pada pasien yang intoleran atau refrakter terhadap pengobatan lain.

Peringatan:
monitor fungsi hati sebelum pengobatan dan selama pengobatan; penyakit hematologi yang berbahaya
(meningkatkan risiko reaksi hepatik); gangguan fungsi hati; monitor fungsi ginjal; gangguan fungsi ginjal
(lihat Lampiran 3); kehamilan (memastikan kontrasepsi efektif selama pengobatan- lihat Lampiran 2);
gangguan elektrolit, kardiomiopati, bradikardi, aritmia simptomatik, riwayat perpanjangan interval
QT,penggunaan bersama obat lain yang memperpanjang interval QT; hindari paparan sinar matahari.Untuk
penggunaan invus intravena, dapat timbul reaksi anafilaksis seperti flushing, demam, berkeringat, takikardi,
sesak dada, dispnea, faintness (lemah/pingsan), mual, gatal, ruam kulit. Perlu peringatan pula agar menghindari
mengendarai kendaraan bermotor pada malam hari atau melakukan kegiatan yang potensial menimbulakn
bahaya karena vorikonazol menyebabkan perubahan pandangan seperti pandangan kabur, dan atau fotophobia.

Interaksi:
lihat lampiran 1 (anti jamur, triazol).

Kontraindikasi:

menyusui (lihat Lampiran 4), pasien yang hipersensitif terhadap vorikonazol dan golongan azol lainnya.

Efek Samping:
Gangguan gastrointestinal (termasuk mual, muntah, nyeri abdomen, diare), ikterus; udem, hipotensi, nyeri
dada; sindrom sulit pernafasan, sinusitis; sakit kepala, pusing, asthenia, gelisah, depresi, bingung, agitasi,
halusinasi, paraestesia, tremor; gejala menyerupai influenza; hipoglikemia; hematuria; kelainan darah
(termasuk anemia, trombositopenia, leucopenia, pansitopenia), gagal ginjal akut, hipokalemia; gangguan visual
termasuk persepsi yang berubah, pandangan kabur dengan fotofobia; ruam kulit, pruritus, fotosensitivitas,
alopesia, cheilitis; reaksi pada tempat injeksi; gangguan pengecapan, kolesistitis, pankreatitis, hepatitis,
konstipasi, aritmia (termasuk perpanjangan interval QT), sinkop, peningkatan serum kolesterol, reaksi
hipersensitivitas (termasuk flushing), ataksia, nistagmus, hipoasthesia, ketidakcukupan adrenokortikal, artritis,
blepharitis, neuritis optik, skleritis, glositis, gingivitis, psoriasis, sindrom Steven-Johnson; kolitis
pseudomembran (jarang), gangguan tidur, tinnitus, gangguan pendengaran, efek ekstrapiramidal, hipertonia,
hipotiroidisme, hipertiroidisme, lupus eritromatosus discoid, nekrolisis epidermal toksik, perdarahan retina,
dan atropi optik.

Dosis:
DEWASA: terapi harus dimulai dengan regimen dosis muatan (loading dose) vorikonazol intravena untuk
mencapai kadar plasma pada hari pertama yang mendekati steady state. Perpindahan dari intravena ke oral
dapat dilakukan bila diindikasikan secara klinis. Dosis muatan adalah vorikonazol intravena 6 mg/kg bb setiap
12 jam untuk 2 dosis, dilanjutkan dengan 4 mg/kg bb setiap 12 jam. Jika pasien dapat mentolerir pengobatan
peroral, dapat digunakan vorikonazol oral. Pasien dengan berat badan >40 kg harus menerima dosis
pemeliharaan vorikonazol sebesar 200 mg setiap 12 jam. Pasien dewasa dengan berat badan < 40 kg harus
menerima dosis pemeliharaan 100 mg setiap 12 jam.

Bila pasien tidak memberikan respon yang adekuat, dosis pemeliharaan oral dapat dinaikkan dari 200 mg
setiap 12 jam sampai 300 mg setiap 12 jam. Untuk pasien dengan berat < 40 kg, dosis pemeliharaan oral dapat
dinaikkan dari 100 mg setiap 12 jam menjadi 150 mg setiap 12 jam. Bila pasien tidak dapat mentolerir
pengobatan, dosis pemeliharaan intra venus diturunkan menjadi 3 mg/kg bb setiap 12 jam dan dosis
pemeliharaan oral dengan penurunan 50 mg sampai dosis minimum 200 mg setiap 12 jam (atau 100 mg setiap
12 jam untuk pasien dengan berat < 40 kg).

Lansia: tidak diperlukan penyesuaian dosis. Gangguan fungsi hati: Pada pasien dengan gangguan fungsi hati
ringan hingga sedang, dosis muatan sama dengan pada pasien normal, namun dosis pemeliharaan diturunkan
menjadi setengah dosis normal. Pada pasien dengan gangguan fungsi hati berat, penggunaan vorikonazol
hanya diberikan apabila kemanfaatan lebih tinggi dibandingkan dengan risiko.

Gangguan fungsi ginjal: tidak diperlukan penyesuaian dosis, namun pada gangguan ginjal sedang hingga berat,
harus dilakukan pemantauan ketat terhadap serum kreatinin dan vorikonazol hanya diberikan apabila
kemanfaatan lebih tinggi dibandingkan dengan risiko. Apabila terjadi peningkatan serum kreatinin, terapi
diganti menjadi terapi vorikonazol oral.

5.4 Infeksi Virus


Sebagian besar infeksi virus pada pasien imunokompeten dapat sembuh secara spontan. Sejumlah terapi untuk
mengatasi infeksi virus telah tersedia, khususnya untuk pasien yang imunocompromised. Di dalam bagian ini
akan dicantumkan informasi terkait herpes simpleks dan varicella zoster, human immunodeficiency virus,
sitomegalovirus, respiratory synctial virus, virus hepatitis dan influenza.
 5.4.1 Human Immunodeficiency Virus (HIV)
 5.4.2 Virus Herpes
 5.4.3 Virus Hepatitis
 5.4.4 Virus Influenza dan Flu Burung
 5.4.5 Respiratory Synctial Virus (RSV)
5.4.1 Human Immunodeficiency Virus
(HIV)
Sampai sekarang belum ada obat yang dapat menyembuhkan infeksi HIV, tapi tersedia beberapa obat yang dapat
memperlambat perkembangan penyakit. Obat untuk infeksi HIV (antiretroviral) dapat meningkatkan harapan
hidup pasien namun obat ini bersifat toksik. Terapi antiretroviral hanya boleh diberikan oleh dokter yang
berkompeten menggunakan obat tersebut.

PRINSIP PENGOBATAN. Pengobatan bertujuan mengurangi jumlah virus dalam plasma sebanyak mungkin
dan untuk waktu selama mungkin. Pemberian obat sebaiknya dimulai sebelum terjadinya kerusakan permanen
pada sistem imun. Namun demikian pemberian obat secara dini juga sebaiknya mempertimbangkan risiko
toksisitas. Kepatuhan dan komitmen terhadap terapi sangat diperlukan. Oleh karena itu perlu dipertimbangkan
kenyamanan dan toleransi pasien terhadap terapi. Timbulnya resistensi dapat diminimalkan dengan pemberian
obat kombinasi yang memiliki aktivitas sinergistik atau aditif tanpa disertai adanya toksisitas aditif.
Direkomendasikan untuk melakukan uji sensitivitas virus terhadap antiretroviral terlebih dahulu sebelum
memulai terapi atau sebelum merubah obat jika infeksi tidak memberikan respon.

INISIASI TERAPI. Waktu yang tepat untuk pemberian obat antiretroviral didasarkan pada hasil hitung sel CD4,
jumlah virus dalam plasma dan gejala klinis. Pada anak, pemberian obat didasarkan juga pada usia anak. Pilihan
terapi dan saat memulai terapi sebaiknya mempertimbangkan kemungkinan efek yang terjadi misalnya efek pada
jantung. Pemilihan antivirus pada anak sebaiknya mempertimbangkan cara dan frekuensi pemberian, risiko efek
samping, kompatibilitas obat dengan makanan, rasa obat, dan ketepatan formulasi. Metabolisme beberapa
antiretroviral dapat bervariasi pada anak, oleh karena itu diperlukan penyesuaian dosis berdasarkan kadar obat
dalam plasma. Direkomendasikan untuk memulai pengobatan dengan kombinasi obat antara highly active
antiretroviral therapy yang terdiri dari 2 penghambat reverse transkriptase nukleosida (NRTIs) dengan
penghambat reverse transkriptase non-nukleosida (NNRTIs) atau penghambat protease sebagai booster. Pasien
yang memerlukan pengobatan untuk hepatitis B kronik dan HIV sebaiknya diberi antivirus yang aktif terhadap
kedua penyakit tersebut.
PENGGANTIAN OBAT. Jika kondisi memburuk (termasuk gejala klinis dan perubahan virologis) diperlukan
penyesuaian terapi dengan mengganti obat atau menambahkan antiretroviral lain. Pemilihan obat alternatif
tergantung pada beberapa faktor seperti respon dan toleransi terhadap pengobatan sebelumnya dan kemungkinan
resistensi silang.

KEHAMILAN DAN MENYUSUI. Pengobatan infeksi HIV pada saat hamil bertujuan untuk mengurangi risiko
toksisitas terhadap janin (meskipun sifat teratogenik dari semua antiretroviral belum diketahui dengan pasti),
meminimalkan jumlah virus, memperlambat perkembangan penyakit pada ibu, dan mencegah penularan infeksi
pada janin. Semua pilihan terapi memerlukan penilaian yang sangat hati-hati dari seorang dokter
spesialis. Monoterapi zidovudin mengurangi penularan infeksi pada neonatal. Kombinasi terapi antiretroviral
dapat memaksimalkan usaha pencegahan ini dan memberikan terapi yang optimal pada ibunya.
Ibu dengan HIV positif yang menyusui dapat menularkan infeksi HIV kepada bayinya karena itu sebaiknya
dihindari menyusui bayinya.

OBAT YANG DIGUNAKAN UNTUK INFEKSI HIV. Zidovudin, suatu penghambat reverse transkriptase
nukleosida (NRTIs) (atau analog nukleosid) merupakan obat pertama yang digunakan untuk HIV. Obat lain dari
golongan ini antara lain didanosin, lamivudin, stavudin dan zalsitabin. Stavudin, terutama bersama dengan
didanosin, memberi risiko lipodistrofi yang lebih besar dan laktat asidosis, sehingga hanya bisa digunakan bila
tidak ada regimen lain yang efektif.
Penghambat protease, atazanavir, indinavir, ritonavir dan saquinavir sudah mulai digunakan. Ritonavir
dosis rendah dapat meningkatkan aktivitas atazanavir, indinavir, dan saquinavir sehingga kadarnya dalam plasma
tetap tinggi. Pada dosis rendah tersebut, ritonavir tidak memberikan aktivitas antiretroviral.
Obat antiretroviral penghambat protease dimetabolisme oleh sistem enzim sitokrom P450, karena itu mempunyai
potensi interaksi obat yang bermakna. Penghambat protease menyebabkan lipodistrofi dan efek metabolik.

Penghambat reverse transkriptase non-nukleosida (NNRTIs) efavirenz dan nevirapin aktif terhadap subtipe
HIV-1, bukan HIV-2 (subtipe yang banyak ditemui di Afrika). Obat ini dapat berinteraksi dengan obat yang
dimetabolisme di hati. Nevirapin menyebabkan gejala ruam (termasuk sindrom Stevens-Johnson) yang
kejadiannya relatif tinggi dan kadang dapat menyebabkan hepatitis fatal. Gejala ruam kulit juga terjadi pada
penggunaan efavirenz namun lebih ringan. Efavirenz juga dapat meningkatkan kadar kolesterol dalam plasma.
Immune reconstitution syndrome. Perbaikan dalam sistem imum sebagai hasil dari terapi antiretroviral dapat
menyebabkan timbulnya reaksi inflamasi terhadap infeksi organisme oportunistik.
Sindrom lipodistrofi. Efek metabolik yang disebabkan oleh terapi antiretroviral meliputi redistribusi lemak,
resistensi insulin dan dislipidemia. Semua gejala ini disebut sindroma lipodistrofi.
Redistribusi lemak (kehilangan lemak subkutan, peningkatan lemak pada perut, buffalo hump dan pembesaran
payudara) disebabkan oleh regimen yang mengandung penghambat protease dan penghambat reverse
transkriptase non-nukleosida (NRTIs). Dislipidemia (efek yang tidak diinginkan pada lemak tubuh) disebabkan
oleh terapi antiretroviral, terutama karena penghambat protease. Penghambat protease menyebabkan resistensi
insulin dan hiperglikemia. Kadar lemak dan glukosa darah serta faktor risiko untuk penyakit aterosklerosis
sebaiknya dipertimbangkan sebelum memulai terapi dengan penghambat protease. Pasien yang mendapatkan
terapi penghambat protease sebaiknya dimonitor perubahan kadar lemak dan glukosa darahnya.

 5.4.1.1 Penghambat Reverse Transkriptase Nukleosida (NRTIs)


 5.4.1.2 Penghambat Protease
 5.4.1.3 Penghambat Reverse Transkriptase Non-Nukleosida (NNRTIs)

5.4.1.1 Penghambat Reverse Transkriptase


Nukleosida (NRTIs)
Peringatan. Penghambat reverse transkriptase nukleosida (NRTIs) sebaiknya digunakan dengan hati-hati pada
pasien dengan hepatitis B dan C kronis (meningkatkan risiko efek samping pada hati), pada gangguan hati, pada
gangguan ginjal dan saat kehamilan.

Laktat asidosis. Laktat asidosis yang mengancam jiwa karena hepatomegali dan hepatic steatosis telah
dilaporkan pada penggunaan penghambat everse transkriptase nukleosida. Obat ini sebaiknya digunakan dengan
hati-hati pada pasien hepatomegali (terutama wanita dengan obesitas), hepatitis (terutama hepatitis C yang
diterapi dengan interferon alfa dan ribavirin), abnormalitas enzim hati dan faktor risiko lain untuk penyakit hati
dan hepatic steatosis (termasuk penyalahgunaan alkohol). Terapi dengan penghambat reverse transkriptase
nukleosida (NRTIs) sebaiknya dihentikan jika terjadi gejala hiperlaktatemia, laktat asidosis, hepatomegali yang
terus membesar atau perburukan fungsi hati yang terjadi dengan cepat.

Efek samping: Penghambat reverse transkriptase nukleosida menyebabkan gangguan saluran cerna (seperti
mual, muntah, nyeri lambung, flatulen, dan diare), anoreksia, pankreatitis, kerusakan hati (lihat juga laktat
asidosis, di atas), dispnea, batuk, sakit kepala, insomnia, pusing, kelelahan, gangguan darah (termasuk anemia,
neutropenia dan trombositopenia), mialgia, artralgia, ruam, urtikaria dan demam. Lihat keterangan di atas untuk
efek metabolik dan lipodistrofi.

Monografi:

DIDANOSIN
Indikasi:
infeksi HIV progresif atau lanjut; dalam kombinasi dengan antiretroviral yang lain.

Peringatan:
riwayat pankreatitis (perhatian khusus); neuropati perifer, hiperurisemia; monitor enzim hati (tangguhkan obat
bila terjadi penyimpangan); gangguan fungsi hati, gangguan fungsi ginjal, kehamilan; perlu pemeriksaan retina
terutama pada anak di bawah 6 bulan, atau bila terjadi gangguan fungsi penglihatan.
PANKREATITIS. Tangguhkan pengobatan jika terjadi peningkatan amilase serum (walaupun asimtomatik)
sampai diagnosis pankreatitis dapat disingkirkan. Bila nilai amilase kembali normal, obat hanya boleh
diberikan bila benar-benar diperlukan (gunakan dosis rendah dan naikkan bertahap). Hindarkan sedapat
mungkin kombinasi dengan obat yang bersifat toksik terhadap pankreas. Jika kombinasi tidak dapat dihindari,
lakukan pengawasan yang ketat. Lakukan juga pengawasan ketat bila terjadi peningkatan trigliserida.

Interaksi:
Lampiran 1 (didanosin).

Kontraindikasi:
gangguan fungsi hati karena pemberian didanosin sebelumnya; ibu menyusui.
Efek Samping:
pankreatitis; neuropati perifer, terutama pada infeksi lanjut (tangguhkan pemberian obat); hiperurisemia
asimtomatik (tangguhkan pemberian obat), diare (adakalanya berat), mual, muntah, mulut kering, reaksi
hipersensitivitas, gangguan retina dan nervus optikus (terutama pada anak); diabetes melitus.

Dosis:
DEWASA berat badan kurang dari 60 kg, 125 mg tiap 12 jam, berat badan lebih dari 60 kg, 200 mg tiap 12
jam, ANAK di atas 3 bulan, 120 mg/m2 tiap 12 jam (90 mg/m2 bila dikombinasi dengan zidovudin).

LAMIVUDIN
Indikasi:

infeksi HIV progresif, dalam bentuk sediaan kombinasi dengan obat-obat antiretroviral lainnya. infeksi
hepatitis B kronik dengan bukti adanya replikasi virus hepatitis B.

Peringatan:
kelainan fungsi ginjal (lihat Lampiran 3), penyakit hati yang disebabkan infeksi hepatitis B kronis (risiko
kembalinya hepatitis saat penghentian pengobatan); kehamilan (dianjurkan untuk dihindari pada trimester
pertama); pasien hepatitis B yang di bawah 16 tahun.

Interaksi:
lampiran 1 (lamivudin).

Kontraindikasi:
wanita menyusui; hipersensitif terhadap lamivudin.

Efek Samping:
infeksi saluran nafas bagian atas, mual, muntah, diare, nyeri perut; batuk; sakit kepala, insomnia; malaise,
nyeri muskuloskelatal; gejala nasal; dilaporkan adanya neuropati periferal; pankreatitis (jarang, bila terjadi
hentikan pengobatan); neutropenia dan anemia (dalam kombinasi dengan zidovudin); trombositopenia;
dilaporkan terjadinya peningkatan enzim hati dan amilase serum.

Dosis:

150 mg dua kali sehari (sebaiknya tidak bersama makanan); dosis yang direkomendasikan untuk hepatitis B
kronik 100 mg sehari satu kali; ANAK di bawah 12 tahun, keamanan dan khasiatnya belum diketahui.

LOPINAVIR + RITONAVIR
Indikasi:
terapi lini kedua HIV/AIDS dalam kombinasi dengan antivirus lainnya.

Peringatan:

diabetes mellitus, pankreatitis, gangguan fungsi hati, hemofilia, redistribusi lemak, sindrom rekonstitusi imun,
osteonekrosis, menyusui (hentikan menyusui selama menggunakan Lopinavir dan Ritonavir karena potensi
efek samping dan transmisi HIV pada bayi), lansia; monitor plasma metadon pada penggunaan bersama
metadon; tidak direkomendasikan penggunaan bersama tipranavir, lovastatin, simvastatin, atorvastatin,
vorikonazol.

Interaksi:
Penggunaan bersama dengan benzodiazepin (midazolam, triazolam), derivat ergot (ergotamin,
dihidroergotamin, ergonovin, metilergonovin), neuroleptik (pimozid), motilitas saluran cerna (cisaprid),
antihistamin (astemizol, terfenadin) dapat menyebabkan kejadian serius dan/atau berhubungan dengan
keselamatan jiwa; penggunaan bersama dengan anti mikobakteri rifampisin dapat menyebabkan penurunan
kadar lopinavir; penggunaan bersama kortikosteroid (flutikason propionat) dapat meningkatkan kadar plasma
flutikason propionat dan menurunkan kadar serum kortisol; penggunaan bersama dengan flutikason propionat
serta budesonid inhalasi atau intranasal dapat menyebabkan efek kortikosteroid sistemik termasuk sindrom
chusing dan supresi renal; penggunaan bersama dengan obat disfungsi ereksi (sildenafil, tadalafil atau
vardenafil) dapat meningkatkan kejadian efek samping seperti hipotensi dan ereksi lebih lama; penggunaan
bersama dengan penghambat HMG-CoA reduktase (lovastatin, simvastatin, atorvastatin) meningkatkan
konsentrasi plasma; penggunaan bersama dengan tipranavir menurunkan kadar lopinavir; penggunaan bersama
dengan obat penghilang lemak dapat meningkatkan konsentrasi kolesterol total dan trigliserid; penggunaan
bersama dengan zidovudin dan abakavir menurunkan kadar plasma zidovudin dan abakavir; penggunaan
bersama dengan tenofovir berhubungan dengan kejadian efek samping; penggunaan bersama dengan evafirenz
dan nevirapin menurunkan konsentrasi plasma lopinavir/ritonavir; penggunaan bersama dengan delavirdin
meningkatkan kadar plasma lopinavir; penggunaan bersama dengan amprenavir, indinavir, nelfinavir dan
sakuinavir diduga dapat meningkatkan kadar obat-obat tersebut; penggunaan bersama dengan fosamprenavir
menurunkan kadar plasma lopinavir; penggunaan bersama dengan antiaritmia (amiodaron, bepridil, lidokain
sistemik dan kuinidin) meningkatkan kadar antiaritmia; penggunaan bersama dengan digoksin meningkatkan
kadar digoksin; penggunaan bersama dengan warfarin mempengaruhi kadar warfarin; penggunaan bersama
ritonavir trazodon dapat meningkatkan konsentrasi trazodon dan kemungkinan terjadinya efek samping (mual,
pusing, hipotensi, dan syncope); penggunaan bersama dengan antikonvulsan (fenobarbital, fenitoin dan
karbamazepin) menginduksi CYP3A4 dan menurunkan konsentrasi lopinavir; penggunaan bersama dengan
ketokonazol dan itrakonazol meningkatkan kadar serum ketokonazol dan itrakonazol; penggunaan bersama
dengan vorikonazol menurunkan kadar tunak varikonazol; penggunaan bersama dengan klaritromisin
meningkatkan kadar klaritromisin; penggunaan bersama dengan atovakuon menurunkan kadar atovakuon;
penggunaan bersama dengan penghambat pompa kalsium (felodipin, nifedipin dan nikardipin) meningkatkan
kadar serum penghambat pompa kalsium; penggunaan bersama dengan imunosupresan (siklosporin,
takrolimus, dan sirolimus) meningkatkan kadar imunosupresan; penggunaan bersama metadon menurunkan
kadar plasma metadon; penggunaan bersama etinilestradiol menurunkan kadar etinilestradiol.

Kontraindikasi:
hipersensitivitas terhadap Lopinavir dan Ritonavir; gangguan hati berat; penggunaan bersama dengan
benzodiazepin (midazolam, triazolam), derivat ergot, (ergotamin, dihidroergotamin, ergonovin,
metilergonovin), neuroleptik (pimozid), motilitas saluran cerna (cisaprid), antihistamin (astemizol, terfenadin);
pemberian bersama Rifampisin.

Efek Samping:
diare, mual, astenia, nyeri abdomen, muntah, sakit kepala, dispepsia, kembung, insomnia, parastesia,
anoreksia, nyeri, depresi, lipodistrofi, ruam, mialgia, penurunan berat badan, pembesaran abdomen, penurunan
libido, tinja yang abnormal, gangguan vaskular, bronkitis, hipogonadisme pada pria, amenore, hipertensi,
menggigil, demam.

Dosis:
Tablet ditelan, tidak boleh dikunyah, diapatahkan atau dihancurkan.
Dewasa: pasien yang baru memulai pengobatan: Lopinavir/Ritonavir 400/100 mg dua kali sehari dengan atau
tanpa makanan atau 800/200 mg sekali sehari dengan atau tanpa makanan. Pasien yang sudah mempunyai
riwayat terapi sebelumnya; Lopinavir/Ritonavir tablet 400/100 mg dua kali sehari dengan atau tanpa makanan.

Terapi bersama dengan obat lain: Efavirenz, nevirapin, amprenavir atau nelvinafir: peningkatan dosis
Lopinavir/Ritonavir sampai dengan 500/125 mg dua kali sehari perlu dipertimbangkan pada penggunaan
bersamaan pada pasien yang sudah mempunyai riwayat terapi sebelumnya dimana di duga mengalami
penurunan sensitifitas secara klinis terhadap Lopinavir (berdasarkan riwayat terapi atau hasil pemeriksaan
laboratorium). Sebaiknya lopinavir/ritonavir tidak diberikan sekali sehari.

Anak-anak: Lopinavir/Ritonavir 400/100 mg dua kali sehari yang tidak digunakan bersama efafirenz,
nevirapin, nelvinafir atau amprenavir dapat diberikan pada anak dengan BB 35 kg atau lebih atau dengan luas
area permukaan tubuh (BSA) 1,4 m2 atau lebih. Pada anak dengan BB kurang dari 35 kg atau dengan luas area
permukaan tubuh (BSA) antara 0,6 sampai dengan 1,4 m2 dan sudah dapat menelan tablet utuh, mengikuti
aturan dosis sebagai berikut:

- BSA ≥ 0,6 - < 0,9: 2 tablet 200/50 mg, 2 kali sehari

- BSA ≥ 0,9 - < 1,4: 3 tablet 300/75 mg, 2 kali sehari

- BSA ≥ 1,4: 4 tablet 400/100 mg, 2 kali sehari

TENOFOVIR DISOPROKSIL FUMARAT


Indikasi:

terapi lini kedua pengobatan HIV-1, dalam kombinasi dengan antiretroviral lainnya; Pengobatan hepatitis B
kronik pada pasien dewasa dengan penyakit hati kompensasi dan dekompensasi.

Peringatan:
tidak direkomendasikan digunakan bersamaan dengan produk lain yang mengandung tenofovir disoproksil
fumarat. Gagal ginjal, kerusakan ginjal, peningkatan nilai kreatinin, hipofosfatemia, proksimal tubulopati
(termasuk sindrom Fanconi), penurunan bone mineral density (BMD), eksaserbasi hepatitis, laktat asisosis,
lipodistrofi, disfungsi mitokondria, immune reconstitution syndrome, osteonekrosis, menyusui, lansia. Perlu
pengawasan yang ketat pada pasien dengan hepatobilier, gangguan hati atau sirosis. Tidak direkomendasikan
untuk anak-anak.

Interaksi:
Didanosin: menyebabkan kegagalan terapi, meningkatkan konsentrasi didanosin, penurunan jumlah sel CD4,
dan meningkatkan terjadinya efek samping didanosin seperti pankreatitis dan laktat asidosis (jarang);
Lamivudin dan abakavir atau lamivudin dan didanosin: kegagalan terapi; Obat nefrotoksik (aminoglikosida,
amfoterisin B, foskarnet, gansiklovir, pentamidin, vankomisin, sidofovir, atau interleukin 2): meningkatkan
risiko nefrotoksis; Lamivudin dan efavirens: menurunkan bone mineral density; Analog nukleosida: kegagalan
terapi, laktat asidosis, steatosis hepatik, anemia, neutropenia, hiperlaktatemia, hiperlipasemia, hipertonia, kejang,
perilaku abnormal; Atazanavir : meningkatkan konsentrasi tenofovir dan menurunkan konsentrasi atazanavir;
Lopinavir/ritonavir atau dengan darunavir/ritonavir : meningkatkan konsentrasi tenofovir.

Kontraindikasi:
hipersensitivitas.
Efek Samping:
sangat umum: hipofosfatemia, pusing, diare, muntah, mual, ruam kulit, astenia; Umum: peningkatan
transaminase, sakit kepala, nyeri dada, distensi pada bagian abdomen, perut kembung; Tidak umum:
hipokalemia, pankreatitis, rabdomiolisis, lemas otot, peningkatan kreatinin; Jarang: asidosis laktat, steatosis
hepatik, hepatitis, angioedema, osteomalasia, miopati, gagal ginjal akut, gagal ginjal, nekrosis tubular akut, renal
proksimal tubulopati, diabetes insipidus nefrogenik.

Dosis:

Dewasa: HIV dan hepatitis B kronik, 300 mg satu kali sehari diberikan bersamaan dengan makanan.

Hepatitis B kronik. Pemberhentian pengobatan dapat dipertimbangkan dengan hasil uji HbeAg, jika hasil uji
HBeAg positif tanpa sirosis, pengobatan dapat dilaksanakan minimal selama 6-12 bulan setelah serokonversi
HBs tetapi jika, hasil uji HBeAg negatif tanpa sirosis, pengobatan dapat dilanjutkan hingga serokonversi HBs.
Pasien dengan klirens kreatinin 30-49 mL/min, interval dosis yang dianjurkan setiap 48 jam. Pasien dengan
klirens kreatinin < 30mL/min dosis yang dianjurkan 300 mg tenofovir disoproksil fumarat dapat diberikan setiap
72-96 jam (2 kali dalam seminggu) bila tidak terdapat pilihan terapi lain dalam pengobatan. Bagi pasien
hemodialisis 300 mg tenofovir disoproksil fumarat dapat diberikan setiap 7 (tujuh) hari. Dengan asumsi
hemodialisis dilakukan tiga kali dalam seminggu masing-masing selama 4 jam atau total kumulatif 12 jam per
minggu.

TENOFOVIR DISOPROKSIL FUMARAT + EMTRISITABIN


Indikasi:
terapi lini kedua untuk pengobatan HIV-1 pada pasien dewasa, dalam kombinasi dengan anti retroviral lainnya
(seperti penghambat protease atau penghambat reverse transkriptase nukleosida (NRTIs)).

Tidak direkomendasikan digunakan sebagai: salah satu komponen pada triple regimen nukleosida, kombinasi
dengan produk yang mengandung lamivudin.

Penggunaan pada pasien yang pernah mendapatkan terapi obat ini sebelumnya berdasarkan pada pemeriksaan
laboratorium dan riwayat pengobatan.

Peringatan:
Dilaporkan terjadi asidosis laktat dan hepatomegali berat dengan steatosis, serta kasus fatal pada penggunaan
bersama dengan anti virus lainnya– hentikan penggunaan; obesitas dan penggunaan nukleosida jangka panjang
merupakan faktor resiko. Terapi dengan obat ini harus ditunda pada pasien dengan kecurigaan asidosis laktat
atau hepatotoxicity (termasuk hepatomegali dan steatosis). Tidak digunakan untuk terapi HBV kronik,
dilaporkan terjadi perburukan hepatitis B akut yang berat setelah penghentian penggunaan obat ini;
menyebabkan gangguan fungsi ginjal, diperlukan penyesuaian dosis pada pasien dengan klirens kreatinin 30-49
mL/min; tidak dapat digunakan pasien gangguam ginjal dengan klirens creatinin <30 mL/min/hemodialisis;
hindari penggunaan bersama dengan obat nefrotoksik, obat yang mengandung lamivudine dan adefovir
dipivoxil; Menyebabkan penurunan Bone Mineral Density (BMD); redistribusi / akumulasi lemak tubuh;
Immune Reconstitution Syndrome; kehamilan, menyusui, anak usia di bawah 18 tahun, lansia.

Interaksi:
penggunaan bersama dengan didanosin dapat meningkatkan terjadinya efek samping didanosin seperti
pancreatitis dan neuropathy; Supresi CD4 dapat terjadi pada penggunaan bersama didanosine 400 mg per hari;
Penggunaan bersama dengan atazanavir harus disertai dengan ritonavir, lopinavir/ritonavir dan meningkatkan
konsentrasi tenofovir; penggunaan bersama dengan obat yang dieliminasi dengan sekresi tubular aktif akan
meningkatkan konsentrasi tenofovir, misalnya asiklovir, adefovir, dipivoksil, sidofovir, gansiklovir,
valacyclovir, valgansiclovir.

Kontraindikasi:
hipersensitivitas.

Efek Samping:
Asidosis laktat/Hepatomegaly berat dengan steatosis; eksaserbasi akut tingkat berat Hepatitis B; episode baru
atau perburukan gangguan ginjal; penurunan Bone Mineral Density; osteomalasia; redistribusi/akumulasi
lemak tubuh termasuk obesitas sentral, buffalo hump, atrofi perifer, atropi facial, pembesaran payudara,
“cushingoid appearance”; Immune Reconstitution Syndrome.

Dosis:

1 tablet sekali sehari (1 tablet mengandung 200 mg emtrisitabin + 300 mg tenofovir disoproksil fumarat)
bersama atau tanpa makanan. Pada pasien dengan klirens kreatinin ≥ 50 mL/min, interval dosis yang
disarankan yaitu setiap 24 jam. Sedangkan untuk klirens kreatinin 30-49 mL/min, interval dosis yang
disarankan yaitu setiap 48 jam. Pasien dengan klirens kreatinin < 30 (termasuk yang memerlukan
hemodialisa), obat ini sebaiknya tidak digunakan.

ZALSITABIN
Indikasi:

infeksi HIV lanjut pada dewasa yang tidak tahan terhadap zidovudin (anemia, netropenia) atau pada pasien
yang gagal diobati dengan zidovudin (perburukan klinis, penurunan status imunologis progresif).

Peringatan:
pasien dengan risiko neuropati perifer; pankreatitis monitor amilase serum, alkoholisme, nutrisi parenteral,
kardiomiopati, riwayat gagal jantung kongestif, hepatotoksisitas, kehamilan (wanita usia produktif harus
menggunakan kontrasepsi yang aman), gangguan fungsi ginjal. Neuropati perifer, Hentikan obat dengan segera
bila timbul gejala-gejala neuropati (rasa kesemutan, baal, panas, rasa ditusuk-tusuk). Perhatian khusus dan
pengawasan ketat harus dilakukan pada pasien dengan risiko neuropati (terutama bila perhitungan sel CD4
rendah karena resikonya lebih besar).Pankreatitis. Bila timbul pankreatitis, obat harus dihentikan secara
permanen. Tangguhkan pemberian obat bila terjadi peningkatan amilase, gula darah, trigliserida; penurunan
kalsium serum atau gejala lain yang berhubungan dengan pankreatitis. Tunda pemberian obat bila dalam waktu
bersamaan diperlukan obat yang potensial toksik terhadap pankreas (mis. pentamidin isothionat intravena).
Hepatotoksisitas, Pernah dilaporkan asidosis laktat yang potensial fatal dan hepatomegali, hati-hati bila ada
hepatitis, peningkatan enzim hati, riwayat alkoholisme. Hentikan obat bila terjadi perburukan fungsi hati,
hepatomegali atau asidosis laktat yang tidak bisa diterangkan.

Interaksi:
Lampiran 1 (zalsitabin).

Kontraindikasi:

neuropati perifer, ibu menyusui.

Efek Samping:
neuropati perifer, ulkus mulut, mual, muntah, disfagia, anoreksia, diare, sakit perut, konstipasi; faringitis, sakit
kepala, pusing, mialgia, artralgia, ruam, pruritus, hiperhidrosis, penurunan berat badan, lesu, demam, nyeri
dada, anemia, leukopenia, trombositopenia, gangguan fungsi hati, pankreatitis, ulkus esofagus, ikterus dan
kerusakan hepatoselular. Gangguan pengecapan, takikardi, kardiomiopati, astenia, tremor, gangguan
pergerakan, gangguan penglihatan dan pendengaran, hiperurisemia dan gangguan ginjal.

Dosis:
750 mcg tiga kali sehari, LANSIA dan ANAK di bawah 13 tahun keamanan belum terbukti.

ZIDOVUDIN
Indikasi:
pengobatan infeksi HIV lanjut (AIDS), HIV awal dan HIV asimtomatik dengan tanda-tanda risiko progresif,
infeksi HIV asimtomatik dan simtomatik pada anak dengan tanda-tanda imuno defisiensi yang nyata; dapat
dipertimbangkan untuk tansmisi HIV maternofetal (mengobati wanita hamil dan bayi baru lahir); terapi
kombinasi antiretroviral untuk penanganan infeksi HIV pada pasien dewasa dan anak-anak di atas 12 tahun.

Peringatan:

gangguan fungsi ginjal; toksisitas hematologis (lakukan uji darah tiap 2 minggu selama 3 bulan pertama,
selanjutnya sebulan sekali; pemeriksaan darah dapat lebih jarang, tiap 1-3 bulan, pada infeksi dini dengan
fungsi sumsum tulang yang baik ); defisiensi vitamin B12 (risiko neutropenia); kurangi dosis atau berikan
terapi intermiten bila terjadi anemia atau mielosupresi; gangguan fungsi hati, fungsi ginjal; awasi dengan ketat
pasien dengan risiko penyakit hati (terutama wanita gemuk) termasuk pasien dengan hepatomegali dan
hepatitis; risiko asidosis laktat; lansia; kehamilan; tidak dianjurkan menyusui selama pengobatan.

Interaksi:

Lampiran 1 (zidovudin).

Kontraindikasi:
neutropenia dan/atau anemia berat; neonatus dengan hiper bilirubinemia yang memerlukan terapi selain
fototerapi atau dengan peningkatan transaminase.

Efek Samping:
anemia (adakalanya memerlukan transfusi), neutropenia dan lekopenia (lebih sering pada dosis tinggi dan
penyakit lanjut); mual, muntah, anoreksia, sakit perut, dispepsia, sakit kepala, ruam, demam, mialgia,
parestesia, insomnia, lesu. Pernah dilaporkan kejang, miopati, pigmentasi pada kuku, kulit dan mukosa,
pansitopenia (dengan hipoplasia sumsum tulang dan kadang-kadang trombositopenia); gangguan hati berupa
perlemakan dan kenaikan bilirubin dan enzim hati (tangguhkan pengobatan bila terjadi hepatomegali atau
peningkatan transaminase progresif); asidosis laktat.

Dosis:
DEWASA dan REMAJA: dalam kombinasi dengan antiretroviral lain 500-600 mg/hari terbagi dalam 2 atau 3
dosis. ANAK 3 BULAN-12 TAHUN: 360-480 mg/m2 perhari terbagi dalam 3-4 dosis dalam kombinasi
dengan antiretroviral lain. Dosis maksimum tidak boleh melebihi 200 mg tiap 6 jam. ANAK <3 BULAN: data
sangat terbatas untuk menentukan rekomendasi dosis. Tidak tersedia data pada usia lanjut, sehingga
pemantauan sebelum dan sesudah pengobatan dianjurkan.
Penyesuai dosis tidak diperlukan pada gangguan ginjal. Pada gangguan fungsi hepar mungkin diperlukan
penyesuaian dosis. Pengurangan dosis atau penghentian pengobatan diperlukan pada pasien yang menunjukkan
efek samping hematologi dengan penurunan kadar hemoglobin menjadi 7.5–9 g/dL, atau hitung jenis neutrofil
menurun menjadi 0,75-1,0x109/L.

Pencegahan transmisi HIV maternofetal: Kehamilan lebih dari 14 minggu, oral, 100 mg 5 kali sehari sampai
saat persalinan, kemudian pada fase persalinan dan setelah bayi lahir. Intravena, dimulai dengan 2 mg/ kg bb
selama 1 jam, kemudian 1 mg/kg bb sampai saat penjepitan tali pusat. Untuk operasi sesar selektif, berikan 4
jam sebelum operasi. NEONATUS, Mulai dalam 12 jam setelah lahir: per oral 2 mg/kg bb tiap 6 jam sampai
berumur 6 minggu. Atau intravena selama 30 menit dengan dosis1,5 mg/kg bb tiap 6 jam. Pasien yang
sewaktu-waktu tidak dapat minum obat per oral, berikan injeksi intravena selama 1 jam dengan dosis 1-2
mg/kg bb tiap 4 jam, biasanya tidak lebih dari 2 minggu. Sediaan kombinasi zidovudin 300 mg dan lamivudin
150 mg dapat diberikan dua kali sehari 1 tablet, dapat diberikan dengan atau tanpa makanan.

5.4.1.2 Penghambat Protease


Peringatan: Penghambat protease menyebabkan hiperglikemia dan sebaiknya digunakan dengan hati-hati pada
penderita diabetes mellitus (lihat keterangan sindroma lipodistrofi). Perhatian juga sebaiknya diberikan pada
pasien hemofilia yang memiliki risiko tinggi terjadinya perdarahan. Penghambat protease sebaiknya digunakan
dengan hati-hati pada pasien dengan gangguan hati. Risiko efek samping pada hati meningkat pada pasien
hepatitis B atau C. Atazanavir dapat digunakan dengan dosis lazim pada pasien dengan gangguan ginjal. Namun,
penghambat protease lainnya sebaiknya digunakan secara hati-hati pada pasien dengan gangguan ginjal.
Penggunaan pada kehamilan juga sebaiknya hati-hati (lampiran 4).

Efek samping: Penghambat protease menyebabkan gangguan saluran cerna (termasuk diare, mual, muntah,
nyeri lambung, flatulen), anoreksia, disfungsi hati, pankreatitis, gangguan darah termasuk anemia, neutropenia
dan trombositopenia. Juga menyebabkan gangguan tidur, kelelahan, sakit kepala, pusing, paraestesia, mialgia,
miositis, rabdomiolisis, gangguan pengecapan, ruam, pruritus, sindrom Stevens-Johnson, reaksi hipersensitivitas
termasuk anafilaksis (lihat keterangan di atas tentang efek metabolik dan lipodistrofi).

Monografi:

ATAZANAVIR
Indikasi:
dalam kombinasi dengan obat antiretrovirus untuk pengobatan infeksi HIV.

Peringatan:
lihat keterangan di atas; juga pemberian bersama dengan obat yang dapat memperpanjang interval PR;
kelainan konduksi jantung.

Interaksi:

lihat lampiran 1 (Atazanavir).

Kontraindikasi:
menyusui (Lampiran 4); hipersensitivitas terhadap atazanavir; pemberian bersama dengan midazolam,
triazolam, dihidroergotamin, ergotamin, ergonovin, metilergonovin, cisaprid, pimozid.
Efek Samping:
lihat keterangan di atas; juga sariawan, jaundice, hepatosplenomegali, hipertensi, udem, palpitasi, syncope,
nyeri dada, dispnoea, gejala neurologi perifer, mimpi yang tidak normal, amnesia, depresi, ansietas,
ginekomastia, perubahan berat badan, peningkatan nafsu makan, nephrolithiasis, beser, haematuria,
proteinuria, artralgia, alopesia.

Dosis:
Pasien baru (yang belum pernah diobati): 400 mg sekali sehari bersama dengan makanan.Untuk pasien yang
sudah pernah diobati: 300 mg sekali sehari ditambah ritonavir 100 mg sekali sehari.

BOSEPREVIR
Indikasi:
infeksi hepatitis C kronik (CHC) genotipe 1, dikombinasikan dengan peginterferon alfa dan ribavirin, untuk
pasien dewasa (18 tahun lebih), dengan penyakit hati lanjut yang belum diobati atau yang telah gagal pada
pengobatan sebelumnya.

Peringatan:
anemia, pemantauan darah lengkap dilakukan sebelum memulai pengobatan, dan pada minggu ke-4 serta ke-8
sesudah pengobatan, atau sesuai keadaan klinis pasien.

Interaksi:
ketokonazol atau antijamur azol (itrakonazol, posakonazol, vorikonazol), efavirenz, drospirenon/etinil estradiol,
takrolimus, siklosporin, atorvastatin, metadon.

Kontraindikasi:
hipersensitivitas, hepatitis autoimun, dekompensasi hati, wanita hamil atau pria yang memiliki pasangan yang
sedang hamil, penggunaan bersama dengan obat-obatan seperti midazolam, triazolam, amiodaron, astemizol,
bepridil, pimozid, propafenon, kuinidin, lumefantrin, halofantrin, simvastatin, lovastatin, penghambat tirosin
kinase dan turunan ergot (dihidroergotamin, ergonovin, ergotamin, metilergonovin).

Efek Samping:
sangat umum: anemia, neutropenia, nafsu makan menurun, cemas, depresi, insomnia, mudah marah, pusing,
sakit kepala, batuk, dispnea, diare, mulut kering, disgeusia, mual, muntah, alopesia, kulit kering, pruritus, ruam
kulit, artralgia, mialgia, astenia, menggigil, kelelahan, penyakit mirip influenza, demam, penurunan berat badan;
umum: bronkitis, selulitis, herpes simpleks, influenza, infeksi jamur pada mulut, sinusitis, leukopenia,
trombositopenia, gondok, hipotiroidisme, dehidrasi, hiperglikemia, hipertrigliserid, hiperurisemia, agitasi,
gangguan libido, perubahan suasana hati, gangguan tidur, hipoestesia, paraestesia, pingsan, amnesia, sulit
berkonsentrasi, gangguan ingatan, migren, parosmia, tremor, vertigo, mata kering, retinal exudates, penglihatan
kabur, tinitus, palpitasi, hipotensi, hipertensi, mimisan, kongesti nasal, nyeri orofaring, kongesti saluran
pernapasan, kongesti sinus, mengi, nyeri abdomen, konstipasi, gastroesophageal reflux disease (GERD), wasir,
gangguan abdomen, distensi abdomen, ketidaknyamanan pada anus, aphthous stomatitis, cheilitis, dispepsia,
perut kembung, glossodynia, tukak mulut, nyeri mulut stomatitis, gangguan gigi, dermatitis, eksim, eritema,
hiperhidrosis, berkeringat di malam hari, edema perifer, psoriasis, ruam eritematosa, ruam makular, ruam
makulopapular, ruam papular, ruam pruritis, lesi pada kulit, nyeri punggung, nyeri ekstremitas, kejang otot,
lemah otot, nyeri leher, pollakiuria, disfungsi ereksi, rasa tidak nyaman pada dada, nyeri dada, malaise,
perubahan suhu tubuh, kekeringan mukosa, nyeri; tidak umum: gastroenteritis, pneumonia, infeksi
staphylococcal, kandidiasis, ineksi telinga, infeksi jamur pada kulit, nasofaringitis, onkomikosis, faringitis,
infeksi saluran napas, prinitis, infeksi kulit, infeksi saluran kemih, diatesis hemoragik, limfadenopati, limfopenia,
hipotiroidisme, hipokalemia, gangguan nafsu makan, diabetes melitus, gout, hiperkalsemia, pikiran untuk bunuh
diri, serangan panik, paranoid, perubahan status mental, rasa bingung, neuropati perifer, gangguan kognitif,
hiperestesia, lesu, hilang kesadaran, gangguan mental, neuralgia, presyncope, iskemik retina, retinopati, sensasi
abnormal pada mata, hemoragik konjungtiva, konjungtivitis, nyeri mata, pruritus mata, mata bengkak, udem
kelopak mata, peningkatan lakrimasi, hiperemia okular, fotofobia, tuli, rasa tidak nyaman pada telinga, gangguan
pendengaran, takikardi, aritmia, gangguan kardiovaskular, deep vein thrombosis, flushing, pallor, rasa dingin
pada perifer, nyeri pleuritik, embolisme paru, tenggorokan kering, disfonia, peningkatan sekresi saluran napas
atas, oropharyngeal blistering, abdominal pain lower, gastritis, pankreatitis, pruritus anus, kolitis, disfagia,
kelainan warna feses, sering buang air besar, perdarahan gusi, nyeri gusi, radang gusi, glositis, bibir kering,
odinofagia, proktalgia, hemoragik rektal, hipersekresi saliva, gigi sensitif, kelainan warna lidah, tongue
ulceration, hiperbilirubinemia, reaksi fotosensitivitas, skin ulcer, urtikaria, nyeri dada muskuloskelet, artritis,
nyeri tulang, pembengkakan sendi, nyeri muskuloskelet, disuria, nokturia, amenore, menorrhagia, metrorrhagia,
gangguan proses penyembuhan, nyeri dada non-kardiak, bunyi murmur jantung, peningkatan denyut jantung;
jarang: epiglotitis, otitis media, sepsis, neoplasma tiroid, hemolisis, sarkoidosis, porfiria non-akut, gangguan
bipolar, usaha bunuh diri, halusinasi, iskemia serebral, ensefalopati, papiloedema, infark miokard akut, fibrilasi
atrium, penyakit arteri koroner, perikarditis, efusi perikardium, pleural fibrosis, ortopnea, gagal napas,
insufisiensi pankreas, kolesistitis, aspermia.

Dosis:
oral, 800 mg tiga kali sehari bersama makanan.

DARUNAVIR
Indikasi:

infeksi virus HIV pada pasien yang pernah diobati dengan antiretroviral (dalam kombinasi dengan ritonavir 100
mg dan dengan agen antiretroviral lain).

Peringatan:
Pasien harus diberitahu bahwa terapi antiretroviral saat ini tidak menyembuhkan HIV dan belum terbukti
mencegah transmisi HIV. Perhatian harus terus diberikan.

Penggunaan antiretroviral pada anak dan lansia belum didukung oleh data yang memadai.

Penggunaan pada lansia harus lebih hati-hati karena frekuensi penurunan fungsi hati dan penyakit lain atau
terapi lain lebih besar pada populasi ini.

Darunavir hanya boleh digunakan dalam kombinasi dengan ritonavir 100 mg untuk meningkatkan profil
farmakokinetik (lihat bagian Farmakokinetik). Menaikkan dosis ritonavir tidak dianjurkan karena tidak
mempengaruhi kadar dalam darah darunavir secara signifikan. Hati-hati penggunaan pada pasien yang alergi
terhadap sulfonamid. Pengobatan dihentikan jika terjadi kemerahan kulit yang parah.

Pasien dengan penyakit penyerta

Penyakit hati
Pasien dengan disfungsi hati (pre-existing), termasuk hepatitis aktif kronik dapat mengalami peningkatan
frekuensi abnormalitas fungsi hati selama kombinasi dengan terapi antiretroviral dan harus dimonitor sesuai
praktek standar. Pengobatan harus dihentikan jika penyakit hati menjadi semakin parah.

Penyakit ginjal

Bersihan ginjal darunavir terbatas sehingga penurunan bersihan secara total tidak dapat terjadi pada pasien
dengan kerusakan ginjal. Darunavir dan ritonavir terikat secara kuat pada protein plasma sehingga keduanya
tidak akan hilang secara signifikan oleh hemodialisis atau dialisis peritoneal.

Hemofilia

Dilaporkan terjadi peningkatan perdarahan, termasuk hematoma kulit spontan dan hemartrosis pada pasien
dengan hemofilia tipe A dan B yang diobati dengan penghambat protease. Pada beberapa pasien perlu
diberikan faktor VIII tambahan. Pada lebih dari setengah kasus, pengobatan dengan penghambat protease
dilanjutkan atau dimulai kembali jika pengobatan dihentikan. Pasien hemofilia harus hati-hati terhadap
kemungkinan peningkatan perdarahan.

Hiperglikemia

Diabetes mellitus onset baru, hiperglikemia, atau eksaserbasi diabetes melitus yang telah ada dilaporkan terjadi
pada pasien yang menerima terapi antiretroviral, termasuk penghambat protease.

Redistribusi lemak dan gangguan metabolik

Kombinasi terapi antiretroviral telah dihubungkan dengan redistribusi lemak tubuh (lipodistrofi) pada pasien
terinfeksi HIV. Gangguan lemak harus diatasi dengan benar secara klinik (lihat bagian Efek Samping).

Osteonekrosis

Walaupun etiologinya dinilai multifaktorial (termasuk penggunaan kortikosteroid, konsumsi alkohol,


imunosupresi parah, indeks massa tubuh yang tinggi), kasus osteonekrosis telah dilaporkan pada pasien dengan
penyakit HIV tingkat tinggi dan/atau pemaparan jangka panjang terhadap kombinasi terapi antiretroviral
(CART). Pasien disarankan berobat jika mereka mengalami nyeri sendi, sendi kaku atau kesulitan bergerak.

Sindrom reaktivasi imun

Pada pasien terinfeksi HIV dengan defisiensi imun parah pada saat pemberian kombinasi terapi antiretroviral
(CART), reaksi antiinflamatori hingga patogen oportunistik residual atau asimtomatik dapat timbul dan
menyebabkan kondisi klinik yang serius atau peningkatan gejala. Biasanya reaksi-reaksi tersebut terlihat pada
minggu-minggu atau bulan-bulan pertama inisiasi CART. Contoh yang relevan adalah retinitis
sitomegalovirus, infeksi mikobakterial focal dan/atau umum, dan pneumonia Pneumocystis carinii. Setiap
gejala inflamasi harus dievaluasi dan diobati jika perlu.

Kehamilan dan menyusui

Kehamilan

Darunavir boleh diberikan pada masa kehamilan hanya jika manfaatnya melebihi resikonya. Tidak ada studi
darunavir pada wanita hamil.
Laktasi

Tidak diketahui apakah darunavir dieksresi melalui air susu, tetapi studi pada hewan menunjukkan darunavir
dieksresi melalui air susu. Karena potensi transmisi HIV dan potensi efek samping serius pada bayi, para ibu
tidak boleh menyusui selama mengkonsumsi darunavir.

Interaksi:

Darunavir dan ritonavir adalah inhibitor isoform CYP3A4. Pemberian kombinasi keduanya bersama dengan
obat yang dimetabolime oleh CYP3A4 dapat meningkatkan konsentrasi plasma obat tersebut, yang dapat
meningkatkan atau memperpanjang efek terapetik dan efek samping. Sebagai contoh akibat efek inhibitor
isoform CYP3A4 diantaranya adalah penggunaan bersamaan dengan HMG-CoA (simvastatin, lovastatin)
dapat meningkatkan risiko miopati, termasuk rabdomiolisis. Kurangi dosis awal atorvastatin, jika diperlukan
terapi dengan obat ini. Penggunaan bersamaan dengan inhalasi flutikason propionat meningkatkan konsentrasi
plasma flutikason- gunakan terapi alternatif.

Waspadai peningkatan konsentrasi plasma untuk obat dengan indeks terapi sempit dan sangat dipengaruhi
metabolisme oleh CYP3A4, seperti amiodaron, bepridil, lidokain sistemik, kuinidin. Dengan pertimbangan
yang sama, jangan digunakan bersamaan dengan astemizol, terfenadin, midazolam, triazolam, cisaprid,
pimozid dan alkaloid ergot (misal: ergotamin, dihidroergotamin, ergonovin dan metal-ergonovin).

Karena dapat menurunkan konsentrasi plasma darunavir secara signifikan, tidak boleh digunakan bersamaan
dengan penginduksi enzim CYP450 seperti fenobarbital, fenitoin, karbamazepin. Juga dengan rifampisin.
Penggunaan bersamaan dengan deksametason harus hati-hati. Penggunaan bersamaan dengan rifabutin, dosis
awal rifabutin diturunkan menjadi 150 mg setiap dua hari.

Jika digunakan bersamaan dengan metadon, monitor sindrom penghentian opiat (opiate abstinence).
Penggunaan bersamaan dengan etinilestradiol dapat menurunkan kadar plasma etinilestradiol, sehingga
diperlukan alternatif pengganti atau penambahan metoda kontrasepsi lain. Jika digunakan bersamaan dengan
darunavir, tingkatkan dosis inhibitor fosfodiesterase tipe 5 (sildenafil, vardenafil dan tadalafil).

Konsentrasi warfarin dapat terpengaruh jika diberikan bersamaan dengan darunavir/ ritonavir- monitor INR.

Kadar klaritromisin meningkat sebesar 57%, sementara darunavir tidak terpengaruh. Pada pasien dengan
gangguan fungsi ginjal, dosis klaritromisin harus diturunkan.

Pemberian bersamaan dengan vorikonazol, ketokonazol atau itrakonazol, dosis harian ketokonazol atau
itrakonazol tidak lebih dari 200 mg. Dosis vorikonazol tidak perlu dilakukan penyesuaian.

Penggunaan bersamaan dengan antidepresan SSRI, perlu dilakukan penyesuaian dosis SSRI secara hati-hati.

Dapat digunakan bersamaan dan tidak diperlukan penyesuaian dosis jika dikombinasi dengan omeprazol atau
ranitidin.

Penggunaan bersamaan dengan

antiretroviral
Didanosin dianjurkan dikonsumsi dalam keadaan perut kosong. Oleh karena itu didanosin harus diminum 1
jam sebelum atau 2 jam setelah meminum darunavir/ritonavir (yang dikonsumsi bersama makanan).

Dapat digunakan bersamaan dan tidak diperlukan penyesuaian dosis jika dikombinasi dengan efavirenz,
nevirapin, atazanavir.

Efek peningkatan farmakokinetik darunavir keseluruhan adalah sebesar 14 kali lipat jika dikombinasikan
dengan ritonavir. Karena itu darunavir harus dikombinasikan dengan ritonavir 100 mg sebagai peningkat
farmakokinetik.

Kadar darunavir menurun sebesar 53% jika diberikan bersamaan dengan lopinavir/ritonavir (dengan atau tanpa
penambahan ritonavir 100 mg). Tidak disarankan mengkombinasikan lopinavir/ritonavir dan darunavir,
dengan atau tanpa penambahan dosis rendah ritonavir.

Kadar darunavir menurun sebesar 26% dengan keberadaan saquinavir/ritonavir. Tidak disarankan
mengkombinasikan saquinavir dan darunavir, dengan atau tanpa penambahan dosis rendah ritonavir.

Kadar darunavir meningkat sebesar 24% dengan keberadaan indinavir/ritonavir. Kadar indinavir meningkat
sebesar 23% dengan keberadaan darunavir/ritonavir. Jika dikombinasikan, dosis indinavir dapat disesuaikan
dari 800 mg 2 kali sehari hingga 600 mg 2 kali sehari jika terjadi intoleransi.

Pemberian bersamaan dengan inhibitor protease selain lopinavir/ritonavir, saquinavir, atazanavir, dan indinavir
tidak dianjurkan karena belum ada data yang memadai.

Kontraindikasi:
Hipersensitif; jangan digunakan bersamaan dengan obat dengan indeks terapi sempit dan sangat dipengaruhi
metabolismenya oleh CYP3A4, seperti astemizol, terfenadin, midazolam, triazolam, cisaprid, pimozid dan
alkaloid ergot (misal: ergotamin, dihidroergotamin, ergonovin dan metilergonovin), (lihat bagian Interaksi
Obat).

Efek Samping:
Umum terjadi (≥ 1/100, < 1/10): hipertrigliseridemia, sakit kepala, diare, muntah, mual, nyeri abdomen,
konstipasi.

Tidak umum terjadi (≥ 1/1000 dan < 1/100): folikulitis, anoreksia, hiperkolesterolemia, hiperlipidemia,
diabetes mellitus, selera makan berkurang, obesitas, redistribusi lemak, hiponatremia, polidipsia. kebingungan,
disorientasi, iritabilitas, mood berubah-ubah, mimpi buruk, ansietas, neuropati perifer, hipoestesia, gangguan
ingatan, paraestesia, mengantuk, serangan iskemi sementara, vertigo, infarksi miokard, takikardi, hipertensi,
dispnea, batuk, cegukan, flatulen, distensi abdominal, mulut kering, dispepsia, lipoatrofi, berkeringat malam
hari, dermatitis alergi, eksim, erupsi kulit toksik, alopesia, medikamentisa dermatitis, hiperhidrosis, inflamasi
kulit, kemerahan makulopapular, artralgia, nyeri tak tertahankan, mialgia, osteopenia, osteoporosis, gagal
ginjal akut, insufisiensi ginjal, nefrolitiasis, poliuria, ginekomastia, astenia, pireksia, kelelahan, kaku,
hipertermia, udem perifer

Kasus kemerahan kulit yang parah, termasuk eritema multiform dan sindrom Stevens-Johnson telah dilaporkan
pada uji klinik.
Terapi antiretroviral kombinasi telah dihubungkan dengan redistribusi lemak tubuh (lipodistrofi) pada pasien
HIV, termasuk hilangnya lemak subkutan fasial dan perifer, peningkatan CPK, mialgia, miosistis dan
rabdomiolisis (jarang terjadi) telah dilaporkan pada penggunaan inhibitor protease.

Pada pasien terinfeksi HIV dengan defisiensi imun parah pada saat inisiasi terapi antiretroviral kombinasi,
reaksi inflamasi hingga infeksi oportunistik residual atau asimtomatik dapat timbul.

Dosis:
Harus selalu dalam kombinasi dengan ritonavir 100 mg.

Dewasa: 600 mg 2 kali sehari diminum bersama 100 mg ritonavir 2 kali sehari dan dengan makanan.

Anak-anak (kurang dari 12 tahun) dan remaja (12 hingga 17 tahun): Khasiat dan keamanan pada populasi ini
masih diteliti. Data dosis anjuran untuk populasi tersebut saat ini tidak cukup.

Gangguan fungsi hati: Tidak ada anjuran dosis spesifik. Harus diberikan secara hati-hati pada pasien dengan
kerusakan hati.

Gangguan fungsi ginjal: Tidak diperlukan penyesuaian dosis.

Dosis yang terlupa: Dosis yang terlupa harus diminum sesegera mungkin, jika dosis terlupa kurang dari 6 jam.
Dosis selanjutnya diminum sesuai jadwal. Jika dosis terlupa lebih dari 6 jam, dosis terlupa dihilangkan dan
selanjutnya minum obat sesuai jadwal.

INDINAVIR
Indikasi:
infeksi HIV dalam kombinasi dengan penghambat reverse transkriptase nukleosida.

Peringatan:
lihat keterangan di atas; juga pastikan hidrasi yang tepat (risiko nefrolitiasis terutama pada anak); pasien pada
risiko nefrolitiasis (monitor untuk nefrolitiasis); hindari pada porfiria.

Interaksi:
lihat lampiran 1 (Indinavir).

Kontraindikasi:

menyusui (Lampiran 5).

Efek Samping:

lihat keterangan di atas; juga dilaporkan mulut kering, hipoestesia, kulit kering, hiperpigmentasi, alopesia,
paronisia, nefritis interstisial (dengan kalsifikasi medulari dan atropi kortikal dalam leukosituria berat tanpa
gejala), nefrolitiasis (dapat memerlukan penghentian obat, sering terjadi pada anak-anak), disuria, hematuria,
kristaluria, proteinuria, pyuria (pada anak), anemia hemolitik.

Dosis:
800 mg setiap 8 jam; ANAK dan REMAJA 4-17 tahun, 500 mg/m2 setiap 8 jam (maksimal 800 mg setiap 8
jam); ANAK di bawah 4 tahun, khasiat dan keamanan belum diketahui dengan pasti.

Penggunaan:
Konseling. Obat diberikan 1 jam sebelum atau 2 jam sesudah makan; dapat diberikan dengan makanan ringan
rendah lemak; dalam kombinasi dengan tablet didanosin, jarak minum kedua obat selama 1 jam (antasida pada
didanosin dapat menurunkan absorpsi indinavir); dalam kombinasi dengan ritonavir dosis rendah, diberikan
bersama makanan.

RITONAVIR
Indikasi:
infeksi HIV dalam kombinasi dengan penghambat reverse transkriptase nukleosida; dosis rendah digunakan
untuk meningkatkan efek beberapa penghambat protease.

Peringatan:
lihat keterangan diatas; hindari pada porfiria; pankreatitis.

Interaksi:
lihat lampiran 1 (Ritonavir).

Kontraindikasi:
menyusui (Lampiran 5).

Efek Samping:
lihat catatan dan peringatan diatas; juga dilaporkan, diare (dapat mengganggu absorpsi, diperlukan monitoring
ketat), iritasi tenggorokan, vasodilatasi, sinkop, hipotensi, drowsiness, paraestesia periferal dan sirkumoral,
hiperestesia, seizure, peningkatan kadar asam urat, mulut kering dan ulserasi, batuk, ansietas, demam,
penurunan kadar tiroksin dalam darah, menoragia, berkeringat, gangguan keseimbangan elektrolit, peningkatan
waktu protrombin.

Dosis:
Awal 300 mg setiap 12 jam selama 3 hari, ditingkatkan 100 mg setiap 12 jam selama tidak lebih dari 14 hari
hingga menjadi 600 mg setiap 12 jam; ANAK di atas 2 tahun, awal 250 mg/m2 setiap 12 jam, ditingkatkan 50
mg/m2 setiap 2-3 hari hingga menjadi 350 mg/m2 setiap 12 jam (maksimal 600 mg setiap 12 jam)Dosis rendah
booster untuk meningkatkan efek penghambat protease lain, 100-200 mg sekali atau dua kali sehari.

RITONAVIR + LOPINAVIR
Keterangan:
Lihat 5.4.1.1.

SAQUINAVIR
Indikasi:
infeksi HIV dalam kombinasi dengan obat antiretrovirus lain.
Peringatan:
lihat keterangan di atas; hati-hati penggunaan bersamaan dengan garlic (hindari kapsul garlic– menurunkan
kadar saquinavir pada plasma).

Interaksi:

lihat lampiran 1 (Saquinavir).

Kontraindikasi:

menyusui (Lampiran 5).

Efek Samping:
lihat keterangan di atas; juga ulserasi mukosa dan bukal, nyeri dada, neuropati perifer, perubahan mood,
demam, perubahan libido, verruca, nefrolitiasis.

Dosis:
dengan ritonavir dosis rendah, DEWASA dan REMAJA di atas 16 tahun, 1 g setiap 12 jam, dalam 2 jam
setelah makan.

5.4.1.3 Penghambat Reverse


Transkriptase Non-Nukleosida
(NNRTIs)
Obat pada golongan ini bekerja dengan memblok aktivitas reverse transkriptase dengan cara mengikat enzim
pada tempat kerjanya. Tidak seperti penghambat reverse transkriptase nukleosida (NRTIs), NNRTIs tidak
mengalami fosforilasi. Selain itu, obat golongan ini aktif terhadap HIV-2, tidak hanya aktif terhadap HIV-1.
Semua obat dalam golongan ini dimetabolism eoleh sistem CYP450, sehingga risiko terjadinya interaksi obat
sangat tinggi.

Monografi:

EFAVIRENZ
Indikasi:

pengobatan infeksi HIV pada dewasa, remaja dan anak, dalam bentuk kombinasi dengan obat antiretroviral
lainnya.
Peringatan:

Hepatitis B atau C kronik (meningkatnya risiko efek samping pada hati), gangguan fungsi hati (hindari jika
parah) gangguan fungsi ginjal parah (Lampiran 3) kehamilan (Lampiran 2), lansia, pasien yang memiliki
sejarah penyakit mental atau kejang RUAM. Ruam, biasanya terjadi pada 2 pekan pertama,merupakan efek
samping yang paling umum; hentikan bila ruam parah dengan rasa panas, desquamation, melibatkan mukosa
atau demam; jika ruam hanya ringan sampai sedang, dapat dilanjutkan tanpa penghentian- ruam biasanya
sembuh dalam 1 bulan.
Kelainan Psikiatrik. Pasien atau yang menjaga pasien harus disarankan untuk segera menemui tenaga medis
jika muncul gejala depresi parah, psikosis atau keinginan untuk bunuh diri.

Interaksi:

lihat lampiran 1 (Efavirenz).

Kontraindikasi:

wanita menyusui (Lampiran 5), hipersensitif, pemberian bersamaan dengan terfenadin, astemizol, cisaprid,
midazolam, triazolam dan turunan ergot, gangguan fungsi hati berat.

Efek Samping:

ruam termasuk sindroma Steven-Johnson (lihat di bawah RUAM); sakit perut, diare, nausea, muntah, ansietas,
depresi, gangguan tidur, mimpi yang tidak normal,pusing, sakit kepala, lelah, gangguan dalam konsentrasi
(pemberian pada jam tidur, khususnya pada 2–4 pekan pertama menurunkan efek pada sistem saraf pusat);
pruritis; kurang umum, pankreatitis, hepatitis, psikosis, mania, pemikiran untuk bunuh diri, amnesia,ataksia,
konvulsi, dan pandangan kabur; juga dilaporkan adanya gagal hati, peningkatan serum kolesterol,
ginekomastia, fotosensitifitas.
Dosis:

Dosis untuk dewasa yang direkomendasikan pada kombinasi dengan inhibitor protease dan/atau inhibitor
nucleoside analogue reverse transcriptase (NRTIs) adalah 600 mg, sekali sehari. Dosis untuk remaja di bawah
17 tahun dengan berat >40 kg adalah 600 mg. Dapat diminum dengan atau tanpa makan. Tidak dianjurkan
untuk anak-anak yang beratnya kurang dari 40 kg.

NEVIRAPIN
Indikasi:

infeksi HIV progresif atau lanjut. Dalam kombinasi dengan anti retroviral lainnya digunakan untuk infeksi
HIV. Resistensi nevirapin dapat terjadi dengan cepat dan tanpa adanya bentuk, oleh karena itu nrvirapin harus
diberikan secara kombinasi dengan sekurang-kurangnya 2 antiretroviral lain; Pencegahan penularan HIV dari
ibu ke anak pada wanita hamil.
Peringatan:

gangguan fungsi hati (lihat keterangan di bawah); hepatitis B kronik, hepatitis C kronik, hitungan sel CD4
tinggi, dan wanita (semua risiko yang berat dari efek samping hepar-produsen menyarankan untuk
menghindari penggunaanya pada wanita dengan hitungan sel CD4 lebih besar daripada 250 sel/mm3 atau pada
laki-laki dengan hitungan sel CD4 lebih besar dari 400 sel/mm3 kecuali jika keuntungannya lebih besar
dibanding risikonya); kehamilan (lihat Lampiran 4).

Penyakit Hepatik. Hepatotoksisitas yang potensial mengancam jiwa termasuk hepatitis fulminant fatal
biasanya dilaporkan pada 6 minggu pertama; pengawasan ketat dibutuhkan selama 18 minggu pertama;
monitor fungsi hati sebelum pengobatan kemudian setiap 2 minggu selama 2 bulan kemudian setelah satu
bulan dan secara teratur; hentikan secara permanen bila terjadi abnormalitas pada tes fungsi hati yang disertai
reaksi hipersensitivitas (ruam kulit, demam, athralgia, mialgia, limfadenopati, hepatitis, gangguan fungsi
ginjal, eosinofilia, granulositopenia); tangguhkan apabila tes fungsi hati abnormal parah tapi tidak disertai
reaksi hipersensitifitas– hentikan secara permanen jika terjadi lagi fungsi hati abnormal; monitor pasien dengan
ketat bila tes fungsi hati abnormal ringan hingga sedang tanpa reaksi hipersensitivitas.
Catatan. Bila pengobatan dihentikan selama lebih dari 7 hari, berikan lagi dosis 200 mg sehari (ANAK 4
mg/kg bb sehari) dan tingkatkan dosis dengan hati-hati.
Ruam Kulit. Ruam kulit biasanya terjadi pada 6 minggu pertama, merupakan efek samping yang paling
sering; kejadian ruam kulit berkurang bila dosis awalnya rendah dan dinaikkan bertahap; monitor dengan ketat
reaksi pada kulit 18 minggu pertama; hentikan secara permanent bila ruam kulit menjadi parah atau bila ruam
kulit disertai pelepuhan, lesi oral, konjungtivitis, udema wajah, malaise umum atau reaksi hipersensitivitas;
jika ruam kulit ringan atau sedang dapat dilanjutkan tanpa pemutusan tetapi dosis tidak boleh dinaikkan
sampai ruam kulit sembuh.
Konseling. Pasien harus diberitahu mengenai cara untuk mengenal reaksi hipersensitivitas dan disarankan
untuk menghentikan pengobatan dan meminta pengobatan medis dengan segera bila gejala hepatitis, reaksi
kulit yang parah, atau reaksi hipersensitifitas memburuk.
Interaksi:

lihat lampiran 1 (Nevirapin).

Kontraindikasi:

hipersensitif terhadap nevirapin, menyusui (lihat Lampiran 5); gangguan fungsi hati yang berat; profilaksis
setelah pemaparan (post-exposure prophylaxis).
Efek Samping:

ruam kulit termasuk sindrom Steven-Johnson (jarang), nekrolisis epidermal toksik (lihat juga perhatian di
atas); mual, hepatitis (lihat juga penyakit hepatik di atas), sakit kepala; muntah, nyeri abdomen, lelah, demam
dan mialgia; diare (jarang), angiodema, anafilaksis, reaksi hipersensitifitas (termasuk reaksi hepatik dan ruam
kulit, lihat penyakit hepatik di atas), atralgia, anemia, dan granulositopenia (lebih sering pada anak- anak);
reaksi neuropsikiatri (sangat jarang).
Dosis:

200 mg sekali sehari untuk 14 hari pertama kemudian (jika tidak muncul ruam kulit) 200 mg dua kali sehari;
ANAK berusia 2 bulan-8 tahun, 4 mg/kg bb sekali sehari untuk 14 hari pertama kemudian (jika tidak muncul
ruam kulit) 7 mg/kg bb dua kali sehari (maks. 400 mg sehari); 8-16 tahun (tetapi di bawah 50 kg), 4 mg/kg bb
sekali sehari untuk 14 hari pertama kemudian (jika tidak muncul ruam kulit) 4 mg/kg bb dua kali sehari
(maksimal 400 mg sehari); lebih dari 50 kg seperti dosis dewasa.

Untuk pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak, dosis untuk wanita hamil adalah dosis tunggal 200 mg,
yang diikuti oleh bayi yang baru lahir 2 mg/kg bb sebagai dosis tunggal secara oral dalam waktu 72 jam
setelah dilahirkan.

5.4.2 Virus Herpes


 5.4.2.1 Virus Herpes Simpleks dan Varisela Zoster
 5.4.2.2 Sitomegalovirus

5.4.2.1 Virus Herpes Simpleks dan


Varisela Zoster
Virus herpes patogen yang paling utama adalah virus herpes simpleks (herpesvirus hominis) dan virus varisela
zoster.

Infeksi herpes simpleks. Infeksi herpes pada mulut dan bibir dan pada mata biasanya disebabkan oleh virus
herpes simpleks serotipe 1 (HSV-1). Bagian lain dari kulit dapat juga terinfeksi, terutama pada pasien defisiensi
imun. Infeksi genital seringkali disebabkan oleh HSV-2 dan juga HSV-1. Terapi infeksi herpes simpleks
sebaiknya dimulai sesegera mungkin dan biasanya dalam 5 hari setelah infeksinya muncul. Pada orang dengan
sistem pertahanan tubuh yang baik, infeksi ringan pada mata (herpes okular) dan bibir (herpes labialis atau cold
sores) diatasi dengan obat antiviral topikal. Primary herpetic gingivostomatitis dapat diatasi dengan perubahan
pola makanan dan pemberian analgetik. Infeksi berat, infeksi herpes neonatal atau infeksi pada individu
immunecompromised memerlukan terapi antivirus sistemik. Infeksi herpes simpleks genital primer atau
kambuhan diatasi dengan obat antivirus oral. Lesi yang muncul kembali atau tidak pernah sembuh menandakan
munculnya resistensi. Infeksi herpes simpleks pada kehamilan memerlukan konsultasi dokter spesialis.
Infeksi varisela zoster. Tanpa mengindahkan kondisi ketahanan tubuh dan penggunaan imunoglobulin,
neonatus yang mendapat penyakit cacar air (chickenpox) harus diobati dengan antivirus parenteral untuk
mencegah memburuknya penyakit. Namun, cacar air pada anak sehat usia 1 bulan hingga 12 tahun biasanya
ringan dan tidak memerlukan terapi antivirus. Penyakit cacar air pada orang dewasa dan remaja lebih parah
daripada anak. Terapi antivirus yang dimulai dalam 24 jam setelah muncul ruam dapat mengurangi tingkat
keparahan dan lamanya gejala pada penderita dewasa dan remaja. Terapi antivirus direkomendasikan pada orang
yang immunocompromised dan mereka yang memiliki faktor risiko (gangguan jantung berat, penyakit saluran
nafas atau gangguan kulit kronis). Terapi diberikan selama 10 hari dengan paling tidak 7 hari merupakan terapi
parenteral.
Wanita hamil yang menderita cacar air berat dapat mengalami komplikasi, terutama pneumonia varisela.
Diperlukan konsultasi ke dokter spesialis untuk mengatasi infeksi cacar air pada saat hamil.

Pada herpes zoster (shingles), terapi sistemik antiviral dapat mengurangi tingkat keparahan dan lamanya nyeri,
mengurangi komplikasi dan mengurangi viral shedding. Terapi dengan antivirus sebaiknya dimulai dalam 72
jam setelah munculnya ruam dan dilanjutkan selama 7-10 hari.
Pasien immunocompromised mempunyai risiko tinggi terhadap infeksi berat atau meluas, oleh karena itu
sebaiknya diterapi dengan antivirus parenteral. Nyeri kronis yang menetap setelah ruam dapat teratasi
(postherpatic neuralgia), memerlukan penanganan secara khusus.
Orang yang pernah mengalami infeksi cacar dan memiliki risiko khusus terhadap komplikasi, termasuk neonatus
dan anak, dapat diberikan profilaksis imunoglobulin. Pemilihan obat. Asiklovir aktif terhadap virus herpes, tapi
tidak bisa mengeradikasinya. Asiklovir dapat digunakan untuk terapi sistemik Varicella zoster serta terapi
sistemik dan lokal untuk mengatasi infeksi herpes simpleks pada kulit dan membran mukosa. Obat ini digunakan
secara oral untuk infeksi stomatitis herpetik berat. Salep mata asiklovir digunakan untuk infeksi herpes simpleks
pada mata, yang dikombinasikan dengan terapi sistemik untuk zoster optalmik. Famsiklovir merupakan prodrug
pensiklovir dan memiliki aktivitas yang sama dengan asiklovir. Diindikasikan untuk herpes zoster dan herpes
genitalis. Tidak seperti asiklovir, famsiklovir hanya perlu diberikan 3 kali sehari (atau satu kali sehari pada
herpes zoster). Informasi penggunaan pada anak masih terbatas.
Valasiklovir merupakan ester asiklovir yang diindikasikan untuk herpes zoster dan herpes simpleks kulit dan
membran mukosa (termasuk herpes genitalis). Selain pada dewasa, juga diindikasikan untuk mencegah
sitomegalovirus pasca transplantasi ginjal pada anak di atas usia 12 tahun. Famsiklovir atau valasiklovir
merupakan alternatif bagi asiklovir untuk lesi mulut akibat herpes zoster.

Monografi:
ASIKLOVIR
Indikasi:

Pengobatan infeksi herpes simplex pada pasien immune compromised, profilaksis infeksi herpes simpleks,
pengobatan herpes genital parah pada pasien immunocompromised parah, pengobatan infeksi varicella zoster
primer dan kambuhan pada pasien immunecompromised, infeksi herpes simplex encephalitis pada neonatus (di
atas 6 bulan).

Peringatan:

minum air yang cukup, gangguan fungsi ginjal (Lampiran 3); kehamilan (Lampiran 4) dan menyusui
(Lampiran 5).

Interaksi:

Lampiran 1 (asiklovir ).

Efek Samping:

nausea, muntah, nyeri abdominal, diare, sakit kepala,lelah, ruam kulit, urtikaria,pruritis, fotosensitifitas,
hepatitis, jaundice, dyspnoea, angiodema, anafilaksis, reaksi neurologi (termasuk pusing, bingung, halusinasi
dan mengantuk) gagal ginjal akut, penurunan index hematologi; Pada pemberian intravena dapat terjadi
inflamasi lokal yang berat (kadang-kadang menimbulkan ulkus); demam, agitasi, tremor, psychosis dan
konvulsi. Dermatitis reversible, peningkatan bilirubin dan perhitungan enzim hati.)

Dosis:

oral: Pengobatan herpes simpleks: 200 mg (400 mg pada immunocompromised atau bila ada gangguan
absorpsi) 5 kali sehari, selama 5 hari (dapat diberikan lebih lama jika muncul lesi baru selama pengobatan atau
jika penyembuhan belum sempurna). ANAK di bawah 2 tahun, setengah dosis dewasa. Di atas 2 tahun berikan
dosis dewasa. Pencegahan herpes simpleks kambuhan, 200 mg 4 kali sehari atau 400 mg 2 kali sehari, dapat
diturunkan menjadi 200 mg 2 atau 3 kali sehari dan interupsi setiap 6-12 bulan.
Profilaksis herpes simpleks pada immunecompromised, 200-400 mg 4 kali sehari. ANAK di bawah 2 tahun,
setengah dosis dewasa. Di atas 2 tahun, dosis dewasa.
Pengobatan varisela dan herpes zoster, 800 mg 5 kali sehari selama 7 hari. ANAK, varisela: 20 mg/kg bb
(maks. 800 mg) 4 kali sehari selama 5 hari. Di bawah 2 tahun, 200 mg 4 kali sehari. 2-5 tahun 400 mg 4 kali
sehari. Di atas 6 tahun, 800 mg 4 kali sehari.

Infus intravena (selama 1 jam): pengobatan herpes simpleks pada immunocompromised, herpes genital berat
awal, dan varicella zoster 5 mg/kg bb setiap 8 jam biasanya untuk 5 hari, dosis digandakan menjadi 10mg/kg
bb setiap 8 jam untuk varicella zoster pada immunocompromised dan pada ensefalitis simpleks (biasanya
diberikan 10 hari pada ensefalitis, dimungkinkan untuk memberikan selama 14–21 hari) Profilaksis herpes
simplex pada immunocompromised 5mg/kg bb tiap 8 jam.
Catatan: Untuk menghindari dosis berlebihan pda pasien obesitas, dosis untuk pemberian pa- renteral dihitung
berdasarkan berat badan ideal. BAYI sampai 3 bulan, dengan herpes simplex yang sudah menyebar, 20mg/kg
bb setiap 8 jam selama 14 hari (21 hari jika melibatkan sistem saraf pusat); varicella-zoster (indikasi tidak
terlesensi) 10-20 mg/kg bb tiap 8 jam sekurang–kurangnya selama 7 hari. ANAK 3 bulan-12 tahun herpes
simpleks dan varicella zoster 250 mg/m2 setiap 8 jam biasanya 5 hari. Dosis digandakan 500 mg/m2 untuk
varicella zoster pada immunocompromised dan ensefalitis simpleks (biasanya diberikan 10 hari untuk
ensefalitis, dimungkinkan untuk memberikan selama 14–21 hari). Dosis pada gangguan fungsi ginjal
Direkomendasikan untuk mengurangi dosis 24 jam dengan meningkatkan interval dosis baik untuk anak
maupun dewasa berdasarkan data dibawah ini:
Bersihan kreatinin 25–50mL/menit: direkomendasikan dosis diberikan tiap 12 jam. Bersihan kreatinin 10–25
mL/menit: direkomendasikan dosis diberikan tiap 24 jam. Bersihan kreatinin 0–10 mL/menit berdasarkan hasil
dialisis.

Dengan dialisis peritoneal: setengah dari dosis yang diberikan tiap 24 jam.

Dengan hemodialisis: setengah dari dosis yang diberikan tiap 24 jam.

Pada lansia: jika terjadi gangguan fungsi ginjal maka dosis sehari (24 jam) disesuaikan dengan rekomendasi
dosis seperti di atas.

FAMSIKLOVIR
Indikasi:

herpes zoster dan herpes simpleks genitalis.

Peringatan:

gangguan fungsi ginjal, wanita hamil dan ibu menyusui.

Interaksi:

Lampiran 1 (asiklovir dan famsiklovir).

Efek Samping:

mual dan sakit kepala.


Dosis:

Herpes zoster, 250 mg 3 kali sehari selama 7 hari, atau 750 mg sekali sehari selama 7 hari. Herpes genitalis,
episode pertama, 250 mg 3 kali sehari selama 5 hari. Infeksi kambuhan, 125 mg 2 kali sehari selama 5 hari.
ANAK, tidak dianjurkan.

VALASIKLOVIR (PRO DRUG


ASIKLOVIR)
Indikasi:

infeksi herpes zoster; terapi awal dan mencegah kambuhan infeksi herpes simpleks pada kulit dan membran
mukosa termasuk terapi awal dan herpes genital kambuhan; pencegahan penyakit sitomegalovirus pasca
transplantasi ginjal.

Peringatan:

lihat asiklovir; gangguan hati; gangguan ginjal (lampiran 3).

Efek Samping:

lihat asiklovir namun reaksi neurologik lebih sering terjadi dengan dosis tinggi.

Dosis:

Herpes zoster, 1 g tiga kali sehari selama 7 hari. Herpes simpleks, episode 1 : 500 mg dua kali sehari selama 5
hari (lebih lama bila lesi baru muncul selama terapi atau jika penyembuhan tidak sempurna); infeksi
kambuhan, 500 mg dua kali sehari selama 5 hari. Herpes simpleks, suppression, 500 mg sehari dalam 1-2 dosis
terbagi (pada immunocompromised, 500 mg dua kali sehari). Pencegahan sitomegalovirus pasca transplantasi
ginjal (lebih disukai dimulai dalam 72 jam setelah transplantasi), 2 g empat kali sehari biasanya selama 90
hari.ANAK tidak direkomendasikan.

5.4.2.2 Sitomegalovirus
Rekomendasi untuk terapi rumatan infeksi sitomegalovirus yang optimal dan lamanya terapi tergantung pada
perubahan yang cepat.

Gansiklovir terkait dengan asiklovir, namun gansiklovir lebih aktif terhadap sitomegalovirus dan bersifat lebih
toksik. Oleh karena itu obat ini hanya digunakan bila manfaat lebih besar dari risikonya. Gansiklovir diberikan
melalui infus intravena untuk terapi awal retinitis sitomegalovirus. Gansiklovir menyebabkan depresi sumsum
tulang yang serius bila diberikan bersama zidovudin. Pemberian kedua obat ini secara bersamaan sebaiknya
dihindarkan, terutama pada fase awal pengobatan dengan gansiklovir. Kemungkinan terjadinya resistensi
gansiklovir meningkat pada pasien dengan jumlah virus tinggi atau pasien yang menerima terapi jangka panjang.
Resistensi silang terhadap sidofovir sering terjadi.
Valasiklovir diindikasikan untuk pencegahan infeksi sitomegalovirus pasca transplantasi ginjal, termasuk untuk
anak di atas usia 12 tahun.
Valgansiklovir merupakan ester dari gansiklovir yang diindikasikan untuk terapi awal dan terapi pemeliharaan
retinitis sitomega- lovirus pada pasien AIDS. Valgansiklovir juga digunakan untuk mencegah penyakit
sitomegalovirus pasca transplantasi organ dari donor yang positif sitomegalovirus.

Monografi:

GANSIKLOVIR
Indikasi:

infeksi sitomegalovirus yang mengancam jiwa atau mengancam fungsi penglihatan pada pasien dengan
defisiensi imun; pencegahan sitomegalovirus selama pengobatan dengan imunosupresan pasca transplantasi
organ.

Peringatan:

lakukan pengawasan ketat hitung sel darah; riwayat sitopenia, trombositopenia; penggunaan bersama
imunosupresan atau obat yang menghambat pertumbuhan sel yang cepat; potensial karsinogen dan teratogen;
gangguan fungsi ginjal (harus minum air yang cukup); data pada anak sangat terbatas (kemungkinan risiko
karsinogenik atau toksik terhadap sistem reproduksi pada pemberian jangka panjang tidak untuk infeksi
sitomegalovirus pada neonatus atau infeksi kongenital).

Interaksi:

lihat keterangan di atas dan Lampiran 1 (gansiklovir).

Kontraindikasi:

kehamilan (gunakan kontrasepsi selama dan sampai 90 hari setelah pengobatan); ibu menyusui (sampai 72 jam
setelah dosis terakhir); hipersensitivitas terhadap asiklovir atau gansiklovir; netropenia, trombositopenia.

Efek Samping:
Paling sering leukopenia dan trombositopenia. Lebih jarang, anemia, pansitopenia, demam, ruam, gangguan
fungsi hati, menggigil, udem, lesu, mual, muntah; ulkus mulut, dispepsia disfagia, diare, anoreksia, perdarahan
saluran cerna, sakit perut, sakit dada; aritmia, hipertensi, hipotensi, tromboflebitis dalam, migrain, vasodilatasi;
dispneu, psikosis, bingung, gangguan mood, mulut kering, mengantuk, ataksia, parestesia, tremor, sakit kepala,
koma, eosinofilia, hipoglikemia; hematuria, peningkatan kreatinin dan ureum serum, nyeri payudara,
polakisuria infeksi saluran kemih, aspermatogenesis; miastenia, mialgia; gangguan pengecapan dan
penglihatan, tuli; ablasio retina pada pasien AIDS dengan retinitis; alopesia, akne, pruritus, urtikaria. Radang
lokal, nyeri dan flebitis pada tempat suntikan.

Dosis:

infus intravena selama 1 jam, Terapi awal 5 mg/kg bb tiap 12 jam selama 14-21 hari (7-14 hari untuk
profilaksis); Lanjutan, 6 mg/kg bb 5 hari dalam seminggu, atau 5 mg/kg bb/hari tiap hari; bila retinitis
berlanjut, terapi awal mungkin perlu diulangi.Pengobatan pemeliharaan untuk pasien AIDS. Oral (didahului
oleh gansiklovir intravena selama paling kurang 3 minggu) 1 gram tiga kali sehari bersama makanan, atau 500
mg 6 kali sehari bersama makanan.

VALGANSIKLOVIR (PRO-DRUG DARI


GANSIKLOVIR)
Indikasi:

pengobatan induksi dan perawatan dari sitomegalovirus retinitis pada pasien AIDS; pencegahan penyakit
sitomegalovirus yang disebabkan transplantasi organ padat dari donor yang positif menderita sitomegalovirus.

Peringatan:

lihat pada gansiklovir; Peringatan dalam memegang. Valgansiklovir adalah karsinogen dan teratogen yang
potensial dan peringatan ditujukan dalam memegang tablet yang patah; jika patahan tablet kontak langsung
dengan kulit atau mukosa, cuci segera dengan air.

Efek Samping:

lihat pada gansiklovir.

Dosis:

Sitomegalovirus retinitis, induksi, 900 mg dua kali sehari selama 21 hari kemudian 900 mg sekali sehari;
regimen induksi dapat diulang jika retinitis membaik. Pencegahan penyakit sitomegalovirus yang disebabkan
transplantasi organ padat (dimulai dalam 10 hari setelah transplantasi), 900 mg sekali sehari selama 100 hari.
ANAK dan REMAJA tidak direkomendasikan.
Catatan:

valgansiklovir oral 900 mg dua kali sehari ekivalen dengan gansiklovir intravena 5 mg/kg bb dua kali sehari.

5.4.3 Virus Hepatitis


Terapi virus hepatitis sebaiknya dilakukan oleh dokter spesialis. Penatalaksanaan infeksi virus hepatitis akut
tanpa komplikasi, sebagian besar adalah untuk mengatasi gejala. Informasi lebih lengkap mengenai imunisasi
hepatitis A dan B, lihat bagian 14.4 (kekebalan aktif) dan bagian 14.5 (kekebalan pasif).

Hepatitis B kronis. Peginterferon alfa-2a (bagian 8.2.4) digunakan untuk terapi hepatitis B kronis dan lebih
disukai daripada interferon alfa. Penggunaan peginterferon alfa-2a dan interferon alfa terbatas karena
keberhasilan kurang dari 50% dan sering terjadi kekambuhan. Terapi sebaiknya dihentikan jika tidak terjadi
perbaikan dalam waktu 3-4 bulan. Peginterferon alfa-2a dan interferon alfa dikontraindikasikan pada keadaan
decompensated liver disease, namun tetap dapat digunakan dalam dosis rendah disertai dengan kewaspadaan
yang tinggi. Lamivudin digunakan untuk terapi awal hepatitis B kronis. Obat ini dapat digunakan pada pasien
dengan decompensated liver disease. Jika tidak ada penurunan efikasi obat, pemberian obat sebaiknya
dilanjutkan sampai dicapai serokonversi yang sesuai, dan merupakan terapi jangka panjang. Namun pada terapi
jangka panjang, sensitivitas virus hepatitis B terhadap lamivudin dapat berkurang Adefovir dipivoksil digunakan
untuk terapi hepatitis B kronis. Obat ini efektif pada kondisi hepatitis B kronis yang resisten terhadap lamivudin.
Jika tidak ada penurunan efikasi obat, pemberian obat sebaiknya dilanjutkan sampai dicapai serokonversi yang
sesuai dan merupakan terapi jangka panjang untuk kasus decompensated liver disease atau sirosis. Peranan
penggunaan interferon alfa, peginterferon alfa-2a, lamivudin dan adefovir dipivoksil pada anak, belum diketahui
dengan pasti. Diperlukan pengawasan dokter spesialis dalam penanganan hepatitis B kronis pada anak.

Peginterferon alfa-2a merupakan terapi awal pilihan hepatitis B kronis.


Adefovir dipivoxil direkomendasikan sebagai terapi hepatitis B kronis jika:

 terapi dengan interferon alfa atau peginterferon alfa-2a tidak berhasil


 terjadi kekembuhan setelah terapi awal yang berhasil
 terapi dengan interferon alfa atau peg-interferon alfa-2a tidak dapat ditoleransi atau
dikontraindikasikan

Adefovir dipivoxil jangan diberikan sebelum dilakukan terapi dengan lamivudin. Obat ini dapat digunakan
tunggal atau dalam kombinasi dengan lamivudin jika terapi dengan lamivudin menyebabkan resistensi virus
atau jika resistensi lamivudin sangat mungkin terjadi dan mengganggu hasil terapi.

Hepatitis C kronis. Sebelum memulai terapi, genotipe virus hepatitis C sebaiknya ditegakkan dan dilakukan
pengukuran viral load karena hal ini akan mempengaruhi pemilihan regimen terapi. Kombinasi ribavirin dan
interferon alfa kurang efektif dibandingkan kombinasi peginterferon alfa dan ribavirin. Peginterferon alfa
tunggal sebaiknya digunakan bila ribavirin dikontra- indikasikan atau tidak dapat ditoleransi. Ribavirin sebagai
monoterapi tidak efektif.

Pedoman penggunaan peginterferon alfa, interferon alfa dan ribavirin untuk hepatitis C kronis.
Kombinasi peginterferon alfa-2a dan ribavirin dapat digunakan untuk terapi hepatitis C kronis sedang hingga
berat pada pasien usia di atas 18 tahun, yang:

 belum diterapi dengan interferon alfa atau peginterferon alfa


 sebelumnya diterapi dengan interferon alfa tunggal atau dikombinasi dengan ribavirin
 tidak respons terhadap terapi peginterferon alfa tunggal atau mengalami respons namun kemudian
mengalami kekambuhan.

Peginterferon alfa tunggal sebaiknya digunakan jika ribavirin dikontraindikasikan atau tidak dapat
ditoleransi. Monoterapi atau terapi kombinasi interferon alfa sebaiknya digunakan hanya jika diperkirakan
dapat terjadi risiko neutropenia atau trombositopenia. Pasien yang menerima interferon alfa dapat diganti
dengan peginterferon alfa. Lama terapi tergantung pada genotipe dan viral load.

Monografi:

ADEFOVIR DIPIVOKSIL
Indikasi:
infeksi hepatitis B kronis dengan decompensated liver disease yang disertai replikasi virus dan inflamasi liver
aktif secara histologi atau dengan decompensated live.

Peringatan:

monitor fungsi hati dan virus dan serological marker untuk hepatitis B setiap 6 bulan; hentikan jika terjadi
penurunan fungsi hati, hepatic steatosis, hepatomegali progresif atau asidosis laktat yang tidak diketahui
penyebabnya; hepatitis kambuhan dapat terjadi pada penghentian terapi; monitor fungsi ginjal setiap 3
bulan, dan dilakukan lebih sering pada kondisi gangguan fungsi ginjal (lampiran 3) atau pada pasien
menerima obat nefrotoksik; hamil (lampiran 4); lansia; infeksi HIV (terutama jika tidak terkontrol– secara
teori adanya risiko resistensi HIV).

Kontraindikasi:
menyusui (lampiran 5).

Efek Samping:

mual, muntah, dispepsia, nyeri abdomen, flatulen, diare; astenia, sakit kepala; gagal ginjal, hipofosfatemia;
kulit kemerahan dan pruritus.

Dosis:
DEWASA, di atas 18 tahun, 10 mg satu kali sehari.

ENTEKAVIR
Indikasi:

pengobatan infeksi virus hepatitis B kronik pada pasien dewasa dengan bukti replikasi virus aktif dan bukti
peningkatan serum aminotransferase (ALT dan AST) atau penyakit yang aktif secara histologi.

Peringatan:
gangguan fungsi ginjal, penerima transplantasi hati.

Kontraindikasi:
hipersensitif.

Efek Samping:
sakit kepala, lelah, pusing, nausea.

Dosis:

Pengobatan infeksi virus Hepatitis B kronik, dewasa dan remaja di atas 16 tahun, 0,5 mg sekali sehari; riwayat
viremia Hepatitis B saat minum lamivudin atau resisten terhadap lamivudin, 1 mg sekali sehari. Diberikan saat
perut kosong (2 jam setelah makan dan 2 jam sebelum makan berikutnya).

Penyesuaian dosis direkomendasikan pada pasien dengan bersihan kreatinin <50mL/menit, termasuk pasien
yang sedang menjalani hemodialisis atau continuous ambulatory peritoneal dyalisis (CAPD) (lihat Tabel
berikut).

Bersihan Kreatinin Keterangan Dosis

0,5 mg sekali sehari, jika pasien sudah pernah menerima Lamivudin 1 mg sekali
≥ 50 mL/menit
sekali

0,25 mg sekali sehari atau 0,5 mg tiap 48 jam, jika pasien sudah pernah menerima
30 - <50
Lamivudin 0,5 mg sekali sehari atau 1 mg tiap 48 jam

0,15 mg sekali sehari atau 0,5 mg tiap 72 jam, jika pasien sudah pernah menerima
10 -<30
Lamivudin 0,3 mg sekali sehari atau 1 mg tiap 72 jam

<10
0,05 mg sekali sehari atau 0,5 mg tiap 7 hari, jika pasien sudah pernah menerima
Hemodialisisa atau lamivudin 0,1 mg sekali sehari atau 1 mg tiap 7 hari
CAPD

a
Bila diberikan di hari hemodialisis, obat ini diberikan sesudah hemodialisis.

RIBAVIRIN
Indikasi:
Lihat 5.4.5.

SOFOSBUVIR
Indikasi:

Terapi hepatitis C kronik dalam kombinasi dengan ribavirin dan/atau PEG interferon alfa, hepatitis C genotip 1,
2, atau 3 termasuk karsinoma dalam kriteria Milan (menunggu transplantasi) atau hepatitis C/HIV-1 co-infection.
Peringatan:
Tidak diberikan sebagai dosis tunggal, anak <18 tahun, menyusui.

Interaksi:
Amiodaron atau penurun ritme jantung: risiko blok jantung dan bradikardi berat, induktor P-gp di usus
(rifampisin, rifabutin, rifapentin, karbamazepin, fenobarbital, fenitoin, oksarbazepin, modafinil): menurunkan
kadar sofosbuvir dalam plasma (menurunkan efek terapi), inhibitor P-gp dan/atau BCRP (Breast Cancer
Resistance Protein): meningkatkan kadar sofosbuvir dalam plasma, penghambat HIV protease (tipranavir,
ritonavir): menurunkan kadar sofosbuvir dalam plasma.

Kontraindikasi:
Hipersensitivitas, kehamilan atau berencana hamil, pria dengan pasangan wanita yang sedang hamil, penggunaan
bersama dengan rifampisin, rifabutin.

Efek Samping:
Sangat umum: demam, diare, mual, muntah, insomnia, rasa lelah, iritabilitas, menggigil, Influenza-like
syndrome, nyeri, sakit kepala, pusing, ruam, pruritus, penurunan nafsu makan, pegal, artralgia, mialgia, sesak
napas, batuk, anemia, neutropenia, penurunan jumlah platelet, limfosit, dan hemoglobin, peningkatan bilirubin,
astenia. Umum: perubahan mood, depresi, ansietas, gelisah, pandangan kabur, penurunan daya ingat, gangguan
konsentrasi, migrain, penurunan berat badan, rasa tidak nyaman pada perut, konstipasi, dispepsia, mulut kering,
GERD, kulit kering, alopesia, nyeri punggung, kejang otot, nyeri dada, nasofaringitis, sesak napas eksersional
(dyspnoea exertional).

Dosis:
Oral: 400 mg sekali sehari dalam dosis kombinasi.

Tabel 1. Durasi Pemberian Dosis yang Disarankan

Populasi pasien Terapi Durasi

Genotip 1 Sofosbuvir + PEG-INF alfaa + 12 minggu


ribavirinb

Genotip 2 Sofosburin + ribavirinb 12 minggu

Genotip 3 Sofosburin + ribavirinb 24 minggu

Keterangan:

a. Lihat informasi rekomendasi dosis PEG-INF alfa untuk pasien hepatitis C genotip 1.
b. Dosis ribavirin berdasarkan perhitungan berat badan (<75 kg = 1.000 mg dan ≥75 mg = 1.200 mg). Dosis
harian ribavirin secara oral dalam 2 dosis terbagi diberikan bersama makanan. Pasien dengan kerusakan
ginjal (CrCl ≤50 mL/min), diperlukan pengurangan dosis.
Rekomendasi untuk pasien hepatitis C genotip 1 yang tidak dapat diberikan PEG-INF alfa dapat diberikan
kombinasi sofosbuvir dengan ribavirin selama 24 minggu sebagai pilihan terapi alternatif.

Tabel 2. Modifikasi Dosis Ribavirin sebagai Kombinasi dengan Sofosbuvir 400 mg.

Hasil Tes Laboratorium Pengurangan dosis ribavirin Penghentian ribavirin, jika:


hingga 600 mg/hari, jika:

Hemoglobin pasien tanpa <10 g/dL <8,5 g/dL


penyakit jantung

Hemoglobin pasien dengan ≥2 g/dL menurun pada <12 g/dL walaupun 4 minggu
riwayat penyakit jantung hemoglobin selama terapi 4 pada pengurangan dosis
menetap minggu.

Jika penggunaan ribavirin dihentikan sementara karena abnormalitas nilai laboratorium atau manifestasi klinis,
dosis ribavirin dapat dimulai lagi pada 600 mg/hari dan peningkatan hingga 800 mg/hari. Tidak disarankan untuk
meningkatkan hingga dosis normal (1.000-1.200 mg/hari).

Pasien kanker sel hati yang akan transplantasi hati, disarankan menggunakan kombinasi sofosbuvir dan ribavirin
hingga 48 minggu atau sampai waktu operasi transplantasi hati untuk mencegah infeksi berulang pasca
transplantasi.

Jika ada dosis terlupa <18 jam dari jadwal seharusnya, pasien harus segera mengonsumsinya ketika teringat, dan
melanjutkan penggunaan obat berikutnya di jadwal seharusnya. Jika dosis terlupa >18 jam, pasien harus
menunggu jadwal minum obat berikutnya. Jangan gunakan dua kali lipat dosis seharusnya.

TELBIVUDIN
Indikasi:
pengobatan hepatitis B kronik pada pasien dengan replikasi virus dan peradangan liver aktif.

Peringatan:

hepatitis B yang semakin parah telah dilaporkan pada pasien dengan penghentian terapi antihepatitis B, fungsi
hati sebaiknya dipantau secara intensif dengan pemeriksaan klinik maupun laboratorium paling tidak selama 1
tahun pada pasien yang berhenti dari terapi antihepatitis B, hepatitis diperparah pada kondisi sirosis, oleh karena
itu perlu dilakukan pemantauan secara intensif, kasus fatal, asidosis laktat dan hepatomegali berat dengan
steatosis, telah dilaporkan pada penggunaan analog nukleosida/nukleotida sendiri atau di kombinasi dengan
antiretroviral, pasien yang menerima transplantasi hati, decompensated cirrhosis, pasien lansia dengan
penurunan fungsi ginjal karena penyakit atau penggunaan obat lain, kehamilan, menyusui.

Interaksi:
pemberian telbivudin dengan zat yang mempengaruhi fungsi ginjal akan mempengaruhi kadar plasma telbivudin
dan/ atau sebaliknya karena telbivudin dieliminasi terutama melalui ekskresi ginjal.
Kontraindikasi:
hipersensitif terhadap telbivudin.

Efek Samping:
umum: pusing, sakit kepala,peningkatan amylase serum, diare, peningkatan lipase serum, mual, nyeri abdomen,
peningkatan alanine aminotransferase serum, ruam kulit, peningkatan kreatinin fosfokinase darah, lelah, batuk;
tidak umum: neuropati perifer, disgeusia, hipoestesia, parestesia, sciatica, miopati, miositis, artralgia, mialgia,
nyeri pada ekstremitas, nyeri punggung, nyeri otot, nyeri leher, nyeri pinggang, malaise.

Dosis:
dewasa, oral, dosis yang direkomendasi kan untuk pengobatan hepatitis B kronik 600 mg 1 kali sehari, dengan
atau tanpa makanan, gangguan fungsi ginjal, telbivudin dapat digunakan untuk pengobatan hepatitis B kronik
pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal, tidak perlu dilakukan penyesuaian dosis telbivudin pada pasien
dengan klirens kreatinin ≥ 50 mL/ menit, penyesuaian interval pemberian dosis diperlukan pada pasien dengan
klirens kreatinin <50 mL/ menit termasuk pasien dengan End Stage Renal Disease (ESRD) pada hemodialisa,
penyesuaian interval pemberian dosis pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal sebagai berikut: klirens
kreatinin ≥50 mL / menit, 600 mg sekali sehari, klirens kreatinin 30 - 49 mL / menit, 600 mg setiap 48 jam,
klirens kreatinin < 30 mL / menit (tidak memerlukan dialisa), 600 mg setiap 72 jam, pasien dengan ESRD, 600
mg setiap 96 jam, perubahan yang disarankan pada interval pemberian dosis berdasarkan ekstrapolasi data pasien
pada berbagai tingkat gangguan fungsi ginjal, termasuk ESRD, diperlukan pemantauan secara intensif untuk
memastikan keamanan dan efikasi pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal, untuk pasien dengan ESRD,
telbivudin harus diberikan setelah hemodialisa, tidak direkomendasikan untuk anak berusia di bawah 16 tahun.

5.4.4 Virus Influenza dan Flu Burung


Keterangan mengenai imunisasi terhadap influenza, lihat bagian 14.4. Oseltamivir mengurangi replikasi virus
influenza A dan influenza B dengan cara menghambat neuraminidase virus. Obat ini paling efektif mengatasi
influenza bila penggunaannya dimulai dalam beberapa jam setelah mulai munculnya gejala. Obat ini disetujui
penggunaannya dalam waktu 48 jam setelah gejala pertama muncul. Obat ini dapat mengurangi lamanya gejala
selama kurang lebih 1-1,5 hari. Pada penderita influenza yang memiliki risiko komplikasi serius efek oseltamivir
terhadap lamanya perawatan atau mortalitas belum diketahui.

Flu burung (Avian influenza) adalah penyakit menular akut yang disebabkan oleh virus influenza tipe A sub tipe
H5N1, yang pada umumnya menyerang unggas, dan dapat juga menular dari unggas ke manusia. Gejala yang
ditimbulkan sama seperti flu biasa, ditandai dengan demam mendadak (suhu ≥ 38oC), batuk, pilek, sakit
tenggorokan, sesak, sakit kepala, malaise, muntah, diare dan nyeri otot.
Obat yang direkomendasi oleh WHO untuk kasus yang diduga flu burung adalah oseltamivir. Pemberian
oseltamivir harus mengikuti sistem skoring sebagaimana tercantum pada table 5.8.

Tabel 5.8 Sistem Skoring Sebagai Dasar


Pemberian Oseltamivir
Gejala klinis/Lab Skor

Gejala & Riwayat epidemiologi 1 2

Suhu
< 38oC ≥ 38oC

Frekuensi pernafasan N >N

Ronki Tidak Ada ada

Leukopeni Tidak Ada ada

Kontak Tidak Ada ada

Jumlah

Keterangan:
• Kriteria pemberian oseltamivir:
Skor 6-7: evaluasi 24jam, apabila meningkat >7 diberikan oseltamivir
Skor > 7: diberikan oseltamivir
• Batasan frekuensi pernafasan di atas normal berdasarkan usia, yaitu:

< 2 bulan : ≥ 60 x/menit

2 bln - < 12 bln : ≥ 50 x/menit

≥ 1 th - < 5 th : ≥ 40 x/menit

5 th – 12 th : ≥ 30 x/menit

≥ 13 th : ≥ 20 x/menit

• Nilai leukosit normal yaitu: 5.000–10.000


• Pada fasilitas kesehatan yang tidak memiliki sarana untuk pemeriksaan laboratorium sederhana/ leukosit
maka pasien dianggap sebagai leukopeni (skor 2)

Oseltamivir tidak direkomendasikan untuk profilaksis dan pemberiannya harus dilakukan oleh dokter.

Monografi:

OSELTAMIVIR
Indikasi:

Terapi influenza pada dewasa dan anak usia 1 tahun atau lebih yang memiliki gejala influenza tipika, bila virus
influnza sedang bersirkulasi dalam lingkungan. Oseltamivir dapat juga digunakan untuk mencegah terjadinya
influenza pada dewasa dan anak di atas 13 tahun.

Peringatan:

gangguan fungsi ginjal, wanita hamil (Lampiran 4), wanita menyusui (Lampiran 5).

Kontraindikasi:

hipersensitif.

Efek Samping:

nausea, muntah, sakit perut, dispepsia, diare, sakit kepala, lelah, insomnia, pusing, conjungtivitis, epistaksis,
ruam; jarang reaksi hipersensitif; sangat jarang hepatitis, sindroma Steven-Johnson.

Dosis:

untuk terapi influenza dan flu burung, 75 mg dua kali sehari selama 5 hari. Untuk anak di atas 1 tahun
digunakan oseltamivir suspensi, 2 mg/kg bb; Berat badan 15 kg atau kurang, 30 mg tiap 12 jam, berat badan 15
– 23 kg, 45 mg setiap 12 jam, berat badan 23 – 40 kg, 60 mg tiap 12 jam. Untuk anak dengan berat di atas 40
kg, diberikan dosis yang sama dengan dewasa. Untuk pencegahan influenza, dewasa dan remaja di atas 13
tahun, 75 mg sekali sehari sekurang-kurangnya selama 7 hari untuk profilaksis pasca terjadinya infeksi; sampai
dengan 6 pekan selama epidemik.

5.4.5 Respiratory Synctial Virus (RSV)


Ribavirin (tribavirin) menghambat virus DNA dan RNA. Obat ini digunakan secara inhalasi untuk terapi
bronkiolitis berat yang disebabkan oleh respiratory synctial virus (RSV) pada bayi, terutama bila penderita
mengalami penyakit berat lainnya. Namun, belum ada bukti manfaat klinik yang cukup untuk mendukung
penggunaan ribavirin pada RSV bronkiolitis. Ribavirin diberikan secara oral dengan peginterferon alfa atau
interferon alfa untuk mengatasi infeksi hepatitis C kronis (lihat bagian virus hepatitis).
Monografi:

RIBAVIRIN
Indikasi:

mengobati Hepatitis C kronis dalam kombinasi dengan interferon alfa 2b; bronkiolitis berat karena respiratory
synctial virus (RSV) pada bayi dan anak-anak.

Peringatan:

Khusus untuk penggunaan inhalasi: terapi supportif cairan dan pernafasan harus dikontrol dengan baik,
monitor elektrolit dengan ketat. Khusus untuk penggunaan sediaan oral: harus menghindari terjadinya
kehamilan setelah 4 bulan pengobatan pada wanita dan setelah 7 bulan pada laki-laki (ribavirin diekskresikan
pada semen/cairan sperma). Harus dilakukan pemeriksaan EKG sebelum dan selama pengobatan pada pasien
penyakit jantung. Pengobatan dihentikan jika kondisi EKG memburuk. Hati-hati pada pasien gout; Harus
dilakukan pemeriksaan hematologi lengkap, fungsi hati dan asam urat sebelum pengobatan dan kemudian pada
minggu ke-2 dan ke-4. Dosis disesuaikan jika terjadi efek samping atau terjadi abnormalitas pada hasil
laboratorium.

Kontraindikasi:

Hamil dan menyusui, penyakit jantung parah, hemoglobinopati, gangguan ginjal, disfungsi hati parah, atau
sirosis dekompensasi, penyakit otoimun, ada riwayat penyakit jiwa.

Efek Samping:

Lemas, sakit kepala, gejala seperti flu, mual, insomnia, menggigil, anoreksia, mialgia, depresi, dispnea,
faringitis, iritabilitas.

Dosis:

Tidak efektif sebagai monoterapi untuk pengobatan Hepatitis C. Harus dikombinasi dengan interferon alfa-2b
(3 MIU, 3 kali seminggu) Dosis oral: 1000-1200 mg per hari dalam 2 dosis terbagi (pagi dan malam), dalam
kombinasi dengan larutan injeksi interferon alfa-2b selama 24-48 minggu untuk pasien yang belum mendapat
pengobatan atau selama 24 minggu untuk pasien kambuhan. Dosis ribavirin tergantung berat badan pasien;
Berat badan kurang dari atau sama dengan 75 kg: 1000 mg per hari dengan cara 400 mg pagi hari dan 600 mg
malam hari. Berat badan > 75 kg: 1200 mg per hari dengan cara 2 kali 600 mg.
5.5 Infeksi Protozoa
5.5.1 Antimalaria
5.5.2 Antiamuba
5.5.3 Antitrikomonas
5.5.4 Antigiardia
5.5.5 Antileismania
5.5.6 Antitripanosid
5.5.7 Antitoksoplasma
5.5.8 Antipneumonia pneumokistis

 5.5.1 Antimalaria
 5.5.2 Antiamuba
 5.5.3 Antitrikomonas
 5.5.4 Antigiardia
 5.5.5 Antileismania
 5.5.6 Antitripanosid
 5.5.7 Antitoksoplasma
 5.5.8 Antipneumonia Pneumokistis
 5.5.1 Antimalaria
 PENGOBATAN MALARIA
Pengobatan yang diberikan adalah pengobatan radikal malaria dengan membunuh semua
stadium parasit yang ada di dalam tubuh manusia. Tujuan dari pengobatan radikal adalah untuk
mendapat kesembuhan klinis dan parasitologik serta memutuskan rantai penularan. Semua obat
antimalaria tidak boleh diberikan dalam keadaan perut kosong karena menyebabkan iritasi
lambung.
 PENGOBATAN MALARIA FALSIPARUM
Malaria falsiparum (malaria ganas) disebabkan oleh Plasmodium falciparum. Di sebagian besar
wilayah dunia, Plasmodium falciparum telah resisten terhadap klorokuin, sehingga obat ini tidak
boleh digunakan untuk malaria falsiparum.
 Di Indonesia, pengobatan lini pertama malaria falsiparum adalah kombinasi artesunat,
amodiakuin dan primakuin. Pemakaian artesunat dan amodiakuin bertujuan untuk membunuh
parasit stadium aseksual, sedangkan primakuin bertujuan membunuh gametosit yang berada di
dalam darah. Obat kombinasi diberikan per oral selama tiga hari dengan dosis tunggal harian.
 Primakuin (basa) diberikan per oral dengan dosis tunggal 0,75 mg/kg bb yang diberikan pada
hari pertama. Primakuin tidak boleh diberikan kepada ibu hamil, bayi < 1 tahun dan penderita
defisiensi G6-PD. Apabila pemberian dosis obat tidak memungkinkan berdasarkan berat badan
penderita, pemberian obat dapat diberikan berdasarkan golongan umur seperti tertera pada
tabel 5.9.
 Dosis dewasa maksimal artesunat dan amodiakuin masing-masing 4 tablet, primakuin 3 tablet.
 Pengobatan efektif apabila sampai dengan hari ke-28 setelah pemberian obat, ditemukan
keadaan sebagai berikut: klinis sembuh (sejak hari ke-4) dan tidak ditemukan parasit stadium
aseksual sejak hari ke-7. Pengobatan tidak efektif apabila dalam 28 hari setelah pemberian obat,
gejala klinis memburuk dan parasit aseksual positif atau gejala klinis memburuk tetapi parasit
aseksual tidak berkurang (persisten) atau timbul kembali (rekrudesensi).
 Pengobatan lini kedua malaria falsiparum diberikan, jika pengobatan lini pertama tidak efektif di
mana ditemukan: gejala klinis tidak memburuk tetapi parasit aseksual tidak berkurang
(persisten) atau timbul kembali (rekrudesensi).
 Pengobatan lini kedua adalah kombinasi kina, doksisiklin/tetrasiklin dan primakuin. Kina
diberikan per oral, 3 kali sehari dengan dosis sekali minum 10 mg/kgbb selama 7 hari. Doksisiklin
diberikan 2 kali per hari selama 7 hari, dengan dosis dewasa adalah 4 mg/kg bb/hari, sedangkan
untuk anak usia 8-14 tahun adalah 2 mg/kg bb/hari. Bila tidak ada doksisiklin, dapat digunakan
tetrasiklin yang diberikan 4 kali sehari selama 7 hari, dengan dosis 4-5 mg/kg bb. Doksisiklin
maupun tetrasiklin tidak boleh diberikan pada anak dengan umur di bawah 8 tahun dan ibu
hamil. Primakuin diberikan dengan dosis seperti pada pengobatan lini pertama.
 Jika pemberian dosis obat tidak memungkinkan berdasarkan berat badan, pemberian obat
dapat diberikan berdasarkan golongan umur seperti pada tabel 5.10.
 Tabel 5.9 Pengobatan lini pertama malaria falsiparum berdasarkan kelompok umur

Hari Jenis obat Jumlah tablet per hari berdasarkan kelompok umur

0-1 2-11 1-4 5-9 10-14 ≥ 15 tahun


bulan bulan tahun tahun tahun

1 Artesunat ¼ ½ 1 2 3 4

Amodiakuin ¼ ½ 1 2 3 4

Primakuin - - ¾ 1½ 2 2-3

2 Artesunat ¼ ½ 1 2 3 4

Amodiakuin ¼ ½ 1 2 3 4

3 Artesunat ¼ ½ 1 2 3 4

Amodiakuin ¼ ½ 1 2 3 4


 Tabel 5.10 Pengobatan lini kedua untuk malaria falsiparum berdasarkan kelompok umur

Jumlah tablet per hari berdasarkan kelompok umur


Hari Jenis obat 0-11 bulan 1-4 5-9 10-14 ≥ 15 tahun
tahun tahun tahun

1 Kina Dosis per 3x½ 3x1 3x1 ½ 3 x (2-3)


kg bb

Doksisiklin - - - 2x50 mg 2x100mg

Atau jika diganti


- - - *) 4 x 250 mg
tetrasiklin,

Primakuin - ¾ 1½ 2 2-3

2-7 Kina Dosis per 3x½ 3x1 3x1 ½ 3 x (2-3)


kg bb

Doksisiklin - - - 2x50 mg 2x100mg


 Parenteral: Jika pasien sakit berat, kina harus diberikan secara infus intravena Regimen dosis
pada dewasa untuk infus kina:dosis muatan 20 mg/kg bb (sebagai garam kina) (maks. 1,4 g)
diberikan selama 4 jam. Setelah 8 jam dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 10 mg/kg bb
(maksimal 700 mg) sebagai garam kina, infus selama 4 jam dan diulangi tiap 8 jam (sampai
pasien dapat menelan tablet untuk melengkapi pengobatan selama 7 hari), diikuti dengan
sulfadoksin + pirimetamin atau doksisiklin seperti keterangan diatas. Dosis kina secara infus
intravena untuk anak dihitung berdasarkan berat badan dewasa. KEHAMILAN. Malaria
falsiparum malignan sangat berbahaya untuk wanita hamil, terutama pada trimester terakhir.
Pada keadaan ini kina oral atau intravena dengan dosis dewasa dapat diberikan (termasuk dosis
muatan). Doksisiklin sebaiknya dihindari pada wanita hamil (mempengaruhi perkembangan gigi
dan skelet). Sulfadoksin + pirimetamin sebaiknya juga dihindari sampai adanya data yang lebih
lengkap.
 PENGOBATAN MALARIA VIVAKS, MALARIA OVALE, MALARIA MALARIAE
Malaria yang disebabkan oleh Plasmodium vivax dan lebih jarang oleh Plasmodium ovale dan
Plasmodium malariae umumnya termasuk kategori malaria ringan.
 Di Indonesia, lini pertama pengobatan malaria vivaks dan malaria ovalea adalah kombinasi
klorokuin dan primakuin. Pemakaian klorokuin bertujuan untuk membunuh parasit stadium
aseksual dan seksual, sedangkan primakuin bertujuan untuk membunuh hipnozoit di sel hati,
juga dapat membunuh parasit aseksual di eritrosit.
 Dosis: oral, DEWASA, Klorokuin tablet yang beredar di Indonesia mengandung 250 mg garam
difosfat yang setara dengan 150 mg basa. Klorokuin diberikan sekali sehari selama 3 hari,
dengan dosis total 25 mg basa/ kg bb. Dosis primakuin adalah 0,25 mg/kg bb per hari yang
diberikan selama 14 hari dan diberikan bersama klorokuin.
ANAK dan KEHAMILAN. Seperti pada pengobatan malaria falsiparum, primakuin tidak boleh
diberikan kepada ibu hamil, bayi < 1 tahun, dan penderita defisiensi G-6-PD. Apabila pemberian
dosis obat tidak memungkinkan berdasarkan berat badan pasien, pemberian obat dapat
diberikan berdasarkan golongan umur seperti pada tabel. 5.11.
 Pengobatan efektif apabila sampai dengan hari ke-28 setelah pemberian obat, ditemukan
keadaaan sebagai berikut: klinis sembuh (sejak hari ke-4) dan tidak ditemukan parasit stadium
aseksual sejak hari ke-7. Pengobatan tidak efektif apabila dalam 28 hari setelah pemberian obat:
a. Gejala klinis memburuk dan parasit aseksual positif atau
b. Gejala klinis tidak memburuk tetapi parasit aseksual tidak berkurang (persisten) atau timbul
kembali sebelum hari ke 14 (kemungkinan resisten)
c. Gejala klinis membaik tetapi parasit aseksual timbul kembali antara hari ke 15 sampai hari ke-
28 (kemungkinan resisten, relaps atau infeksi baru).
 Tabel 5.11 Pengobatan malaria vivaks dan malaria ovale berdasarkan golongan umur

Hari Jenis obat Jumlah tablet berdasarkan kelompok umur

0-1 2-11 1-4 5-9 10-14 ≥ 15


bulan bulan tahun tahun tahun
Tahun

H1 Klorokuin ¼ ½ 1 2 3 3–4

Primakuin - - ¼ ½ ¾ 1

H2 Klorokuin ¼ ½ 1 2 3 3–4

Primakuin - - ¼ ½ ¾ 1

H3 Klorokuin 1/8 ¼ ½ 1 1½ 2

Primakuin - - ¼ ½ ¾ 1

H4-14 Primakuin - - ¼ ½ ¾ 1


 PENGOBATAN MALARIA VIVAKS resisten klorokuin Pilihan terapi yang dipakai di Indonesia
adalah kombinasi kina dan primakuin. Tablet kina yang beredar di Indonesia adalah tablet yang
mengandung 200 mg kina fosfat atau sulfat. Kina diberikan per-oral, 3 kali sehari dengan dosis
10 mg/kg bb/kali selama 7 hari. Dosis primakuin adalah 0,25 mg/kg bb per hari yang diberikan
selama 14 hari. Seperti pengobatan malaria pada umumnya, primakuin tidak boleh diberikan
kepada ibu hamil, bayi < 1 tahun, dan penderita defisiensi G-6-PD. Dosis obat juga dapat
diberikan berdasarkan tabel dosis berdasarkan golongan umur, seperti pada tabel 5.12
 PENGOBATAN MALARIA VIVAKS yang mengalami kekambuhan. Pengobatan malaria vivaks
kambuhan sama dengan regimen sebelumnya hanya dosis primakuin ditingkatkan. Klorokuin
diberikan sekali sehari selama 3 hari, dengan dosis total 25 mg basa/kg bb dan primakuin
diberikan selama 14 hari dengan dosis 0,5 mg/kg bb/ hari. Dosis obat juga dapat diberikan
dengan menggunakan tabel dosis berdasarkan golongan umur pada tabel 5.13.
 Tabel 5.12 Pengobatan malaria vivaks resisten klorokuin

Jumlah tablet per hari berdasarkan kelompok umur

Hari Jenis obat 0-1 2-11 1-4 5-9 10-14 ≥ 15


bulan bulan tahun tahun tahun
tahun

H 1-7 Kina *) *) 3x½ 3x1 3x1½ 3x3

H 1-14 Primakuin - - ¼ ½ ¾ 1

 Tabel 5.13 Pengobatan malaria vivaks yang relaps berdasarkan golongan umur

Jumlah tablet berdasarkan kelompok umur

Hari Jenis obat ≥ 15


2-11 1-4 5-9 10-14
0-1 bulan
bulan tahun tahun tahun tahun

Klorokuin ¼ ½ 1 2 3 3-4
H1
Primakuin - - ½ 1 1½ 2

Klorokuin ¼ ½ 1 2 3 3-4
H2
Primakuin - - ½ 1 1½ 2

Klorokuin 1/8 ¼ ½ 1 1½ 2
H3
Primakuin - - ½ 1 1½ 2

H4-14 Primakuin - - ½ 1 1½ 2


 Khusus untuk penderita defisiensi enzim G6PD yang dapat diketahui melalui anamnesis ada
keluhan atau riwayat warna urin coklat kehitaman setelah minum obat (golongan sulfa,
primakuin, kina, klorokuin dan lain-lain), pengobatan diberikan secara mingguan.
 Klorokuin diberikan sekali seminggu selama 8-12 minggu, dengan dosis 10 mg basa/kg bb/kali.
Primakuin juga diberikan bersamaan dengan klorokuin setiap minggu dengan dosis 0,75 mg/kg
bb/kali. Pengobatan juga dapat diberikan berdasarkan golongan umur penderita seperti dapat
dilihat pada tabel 5.14.
 PENGOBATAN MALARIA MALARIAE
Pengobatan malaria malariae cukup diberikan dengan klorokuin sekali sehari selama 3 hari,
dengan dosis total 25 mg basa/kg bb. Klorokuin dapat membunuh Plasmodium malariae bentuk
aseksual dan seksual. Pengobatan juga dapat diberikan berdasarkan golongan umur penderita
yang dapat dilihat di tabel 5.15
 PENGOBATAN MALARIA FALSIPARUM DI SARANA KESEHATAN YANG TIDAK TERSEDIA OBAT
ARTESUNAT-AMODIAKUIN
Di fasilitas pelayanan kesehatan dengan sarana diagnostik malaria dan belum tesedia obat
kombinasi artesunat dan amodiakuin, infeksi Plasmodium falciparum diobati dengan
sulfadoksin-pirimetamin (SP) untuk membunuh parasit stadium aseksual. Obat ini diberikan
dengan dosis tunggal sulfadoksin 25 mg/kgbb atau berdasarkan dosis pirimetamin 1,25 mg/kg
bb. Primakuin juga diberikan untuk membunuh parasit stadium seksual dengan dosis tunggal
0,75 mg/kg bb. Pengobatan juga dapat diberikan berdasarkan golongan umur, seperti pada
tabel 5.16.
 Pengobatan tidak efektif apabila dalam 28 hari setelah pemberian obat:
1. Gejala klinik memburuk dan parasitaseksual positit atau
2. Gejala klinik tidak memburuk tetapi parasit aseksual tidak berkurang (persisten) atau timbul
kembali (rekrudesensi).
 Tabel 5.14 Pengobatan malaria vivaks penderita defisiensi G6PD

Jumlah tablet perminggu berdasarkan kelompok umur


Lama
Jenis obat
minggu 0-1 2-11 1-4 5-9 10-14
≥ 15 tahun
bulan bulan tahun tahun tahun

8 s/d12 Klorokuin ¼ ½ 1 2 3 3-4

8 s/d12 Primakuin - - ¾ 1½ 2¼ 3


 Tabel 5.15 Pengobatan malaria malariae berdasarkan kelompok umur

Jumlah tablet berdasarkan kelompok umur (dosis tunggal)

Hari Jenis obat


0-1 2-11 1-4 5-9 10-14 ≥ 15 tahun
bulan bulan tahun tahun tahun

H1 Klorokuin ¼ ½ 1 2 3 3-4

H2 Klorokuin ¼ ½ 1 2 3 3-4
H3 Klorokuin 1/8 ¼ ½ 1 1½ 2

 Tabel 5.16 Pengobatan malaria falsiparum di sarana kesehatan tanpa tersedia obat artesunat-
amodiakuin

Jumlah tablet berdasarkan kelompok umur (dosis tunggal)

Hari Jenis obat


<1 1-4 5-9 tahun 10-14 ≥ 15 tahun
tahun tahun tahun

H1 sulfadoksin- - ¾ 1½ 2 3
pirimetamin

Primakuin - ¾ 1½ 2 2-3


 PENGOBATAN MALARIA FALSIPARUM GAGAL ATAU ALERGI SULFADOKSIN - PIRIMETAMIN (SP)
Jika pengobatan dengan SP tidak efektif (gejala klinis tidak memburuk tetapi parasit aseksual
tidak berkurang atau timbul kembali) atau penderita mempunyai riwayat alergi terhadap SP
atau golongan sulfa lainnya penderita diberi regimen kombinasi kina, doksisiklin/tetrasiklin dan
primakuin.
 Kina diberikan per-oral, 3 kali sehari dengan dosis 10mg/kg bb/kali selama 7 hari. Doksisiklin
diberikan 2 kali per-hari selama 7 hari dengan dosis orang dewasa adalah 4 mg/kg bb/hari,
sedangkan untuk anak usia 8-14 tahun adalah 2 mg/kg bb/hari. Dosis maksimal dewasa yang
diberikan untuk kina adalah 9 tablet.
 Doksisiklin tidak diberikan pada ibu hamil dan anak usia < 8 tahun. Bila tidak ada doksisiklin,
dapat digunakan tetrasiklin. Tetrasiklin diberikan 4 kali per hari selama 7 hari, dengan dosis 4-5
mg/kg bb/kali. Seperti halnya doksisiklin, tetrasiklin tidak boleh diberikan pada anak dengan
umur di bawah 8 tahun dan ibu hamil.
 Pengobatan dengan primakuin diberikan seperti pada lini pertama. Dosis maksimal dewasa
untuk primakuin adalah 3 tablet. Apabila pemberian dosis obat tidak memungkinkan
berdasarkan berat badan penderita, pemberian obat dapat diberikan berdasarkan golongan
umur, sebagaimana telah tercantum pada tabel 5.5.1.2 yaitu tabel pengobatan lini kedua untuk
malaria falsiparum berdasarkan kelompok umur.
 PENGOBATAN MALARIA DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TANPA SARANA DIAGNOSTIK
MALARIA
Penderita dengan gejala klinis malaria dapat diobati sementara dengan regimen klorokuin dan
prima kuin. Pemberian kloroin 1 kali per hari selama 3 hari, dengan dosis total 25 mg basa/kg
bb. Primakuin diberikan bersamaan dengan klorokuin pada hari pertama dengan dosis 0,75
mg/kg bb. Pengobatan juga dapat diberikan berdasarkan golongan umur penderita seperti pada
tabel 5.17.
 Tabel 5.17 Pengobatan terhadap penderita suspek malaria
Hari Jenis obat Jumlah tablet berdasarkan kelompok umur (dosis tungal)

0-1 2-11 1-4 5-9 10-14 > 15

bulan bulan tahun tahun tahun tahun

H1 Klorokuin ¼ ½ 1 2 3 3-4

Primakuin - - ¾ 1½ 2 2-3

H2 Klorokuin ¼ ½ 1 2 3 3-4

H3 Klorokuin 1/8 ¼ ½ 1 1½ 2


 Apabila pengobatan tidak efektif (secara klinis tidak membaik bahkan memburuk) penderita
harus segera dirujuk untuk kepastian diagnostik dan mendapatkan pengobatan yang cukup.
 PENGOBATAN MALARIA DENGAN KOMPLIKASI
Penatalaksanaan kasus malaria berat pada prinsipnya meliputi tindakan umum, pengobatan
simptomatik, pemberian obat antimalaria dan penanganan komplikasi.
 Derivat artemisinin parenteral yaitu artesunat intravena/intramuskular atau artemeter
intramuskular merupakan pilihan utama obat antimalaria untuk pengobatan kasus malaria
berat. Artesunat parenteral direkomendasikan untuk digunakan di rumah sakit atau puskesmas
perawatan, sedangkan artemeter intramuskular direkomendasikan untuk di lapangan atau
puskesmas tanpa fasilitas perawatan. Obat ini tidak boleh diberikan pada ibu hamil trimester
pertama yang menderita malaria berat.
 Artesunat parenteral tersedia dalam vial yang berisi 60 mg serbuk kering asam artesunik dan
pelarut dalam ampul yang berisi 0,6 mL natrium bikarbonat 5%. Untuk membuat larutan
artesunat dengan mencampur 60 mg serbuk kering artesunik dengan larutan 0,6 mL natrium
bikarbonat 5%. Kemudian ditambah larutan dekstrose 5% sebanyak 3-5 mL. Artensunat
intravena diberikan dengan dosis muatan secara bolus: 2,4 mg/kg bb selama ± 2 menit dan
diulang setelah 12 jam dengan dosis yang sama. Selanjutnya artesunat diberikan 2,4 mg/kg bb
secara intravena satu kali sehari sampai penderita mampu minum obat. Larutan artesunat ini
juga bisa diberikan secara intramuskular pada dosis yang sama. Bila pasien sudah dapat minum
obat, pengobatan dilanjutkan dengan regimen kombinasi artesunat, amodiakuin dan primakuin
(lihat pengobatan malaria falsiparum tanpa komplikasi).
 Artemeter intramuskular tersedia dalam ampul yang berisi 80 mg artemeter dalam larutan
minyak. Artemeter diberikan dengan dosis muatan 3,2 mg/kg bb intramuskular. Selanjutnya
artemeter diberikan 1,6 mg/kg bb secara intramuskular satu kali sehari sampai penderita
mampu minum obat. Bila penderita sudah dapat minum obat, maka pengobatan dilanjutkan
dengan regimen kombinasi artesunat, amodiakuin dan primakuin (lihat pengobatan malaria
falsiparum tanpa komplikasi).
 Alternatif pengobatan malaria berat adalah kina dihidroklorida parenteral, jika tidak tersedia
derivat artemisinin parenteral dan pengobatan pada ibu hamil trimester pertama. Obat ini
dikemas dalam bentuk ampul kina dihidroklorida 25%. Satu ampul berisi 500 mg/2 mL.
 Pada orang dewasa termasuk untuk ibu hamil, kina diberikan dengan dosis muatan 20 mg
garam/kg bb dilarutkan dalam 500 mL dekstrose 5% atau NaCl 0,9% diberikan selama 4 jam
pertama. Selanjutnya selama 4 jam kedua, hanya diberikan cairan dekstrose 5% atau NaCl 0,9%.
Setelah itu, diberikan kina dengan dosis pemeliharaan 10 mg/kg bb dalam larutan 500 mL
dekstrose 5% atau NaCl selama 4 jam. Empat jam selanjutnya, hanya diberikan lagi cairan
dekstrose 5% atau NaCl 0,9%. Setelah itu diberikan lagi dosis pemeliharaan seperti di atas
sampai penderita dapat minum kina per oral. Bila pasien sudah sadar atau dapat minum obat,
pemberian kina intravena diganti dengan kina tablet per oral dengan dosis 10 mg/kg bb/kali,
pemberian 3 kali sehari (dengan total dosis 7 hari dihitung sejak pemberian infus kina yang
pertama). Jika tidak memungkinkan pemberian infus kina, maka dapat diberikan kina
dihidroklorida 10 mg/kg bb secara intramuskular dengan masing-masing setengah dosis pada
paha depan kiri-kanan (jangan diberikan pada pantat). Untuk pemakaian intramuskular, kina
diencerkan dengan 5-8 mL NaCl 0,9% untuk mendapatkan kadar 60-100 mg/mL.
 Pada anak, infus kina HCl 25% diberikan dengan dosis 10 mg/kg bb (bila umur < 2 bulan: 6-8
mg/kg bb) diencerkan dengan dekstrosa 5% atau NaCl 0,9% sebanyak 5-10 mL/kg bb diberikan
selama 4 jam, diulang setiap 8 jam sampai penderita sadar dan dapat minum obat.
 Catatan. Kina tidak boleh diberikan secara bolus intravena karena toksik bagi jantung dan dapat
menimbulkan kematian. Pada penderita gagal ginjal, dosis muatan tidak diberikan dan dosis
pemeliharaan diturunkan hingga setengahnya Pada hari pertama pemberian kina oral, berikan
primakuin denga dosis 0,75 mg/kg bb. Dosis maksimum kina pada orang dewasa adalah 2000
mg/hari.
 TERAPI PROFILAKSIS TERHADAP MALARIA
PERLINDUNGAN TERHADAP GIGITAN NYAMUK
Hal yang terpenting untuk diingat adalah profilaksis bersifat relatif dan tidak mutlak dan infeksi
baru dapat saja terjadi walaupun sudah menggunakan obat-obat yang direkomendasikan.
Perlindungan pribadi terhadap gigitan nyamuk sangat penting. Kelambu yang telah diimpregnasi
dengan permetrin dapat mencegah berbagai gigitan nyamuk. Selain itu, dapat juga digunakan
antinyamuk bakar, antinyamuk listrik dan antinyamuk semprot. Formula Dietiltoluamid (DEET)
dalam lotion, obat semprot atau roll on sangat efektif dan tidak berbahaya jika digunakan pada
kulit, tetapi efek perlindungannya hanya beberapa jam. Gunakan baju lengan panjang dan
celana panjang setelah senja untuk melindungi terhadap gigitan nyamuk.
 LAMANYA PROFILAKSIS
Profilaksis sebaiknya diberikan satu minggu (sebaiknya dua setengah minggu bila menggunakan
meflokuin) sebelum berkunjung ke daerah endemis. Bila tidak memungkinkan, maka diberikan
sesegera mungkin 1 atau 2 hari sebelum masuk daerah endemis. Pemberian profilaksis
dilanjutkan sampai 4 minggu setelah keluar dari daerah endemis. Oleh karena Plasmodium
falciparum merupakan spesies yang virulensinya tinggi maka profilaksis terutama ditujukan pada
infeksi spesies ini.
 Sehubungan dengan laporan tingginya tingkat resistensi Plasmodium falciparum terhadap
klorokuin, maka doksisiklin menjadi pilihan untuk kemoprofilaksis. Doksisiklin diberikan setiap
hari dengan dosis 2 mg/kg bb selama tidak lebih dari 4-6 minggu. Doksisiklin tidak boleh
diberikan kepada anak umur < 8 tahun dan ibu hamil.
 Profilaksis untuk Plasmodium vivax dapat diberikan klorokuin dengan dosis 5 mg/kg bb setiap
minggu. Obat tersebut diminum satu minggu sebelum masuk ke daerah endemis sampai 4
minggu setelah kembali. Dianjurkan tidak menggunakan klorokuin tidak lebih dari 3-6 bulan.
Namun, pada mereka yang memerlukan profilaksis jangka panjang, klorokuin dapat digunakan
selama 5 tahun. Meflokuin dapat digunakan sampai 1 tahun. Doksisiklin dapat digunakan sampai
2 tahun. Pertimbangan spesialis sebaiknya diperhatikan pada profilaksis jangka panjang.
 KEMBALI DARI DAERAH MALARIA
Penyakit yang timbul dalam satu tahun, terutama dalam 3 bulan setelah kembali dari daerah
malaria, sangat mungkin merupakan malaria walaupun semua cara pencegahan telah
dilaksanakan. Orang tersebut sebaiknya diingatkan terutama bila sakit dalam tiga bulan setelah
perjalanan, agar segera mengunjungi dokter dan melaporkan kemungkinan paparan dengan
malaria.
 ANAK
Usia kurang dari 1 tahun: ¼ tablet mengandung 150 mg klorokuin basa setara fosfat/sulfat; usia
1-4 tahun: ½ tablet klorokuin; usia 5-9 tahun: 1 tablet; usia10-14 tahun: 1 ½ tablet klorokuin;
usia >15 tahun: 2 tablet klorokuin sebagai dosis tunggal klorokuin dengan frekuensi 1 kali
seminggu.
 Catatan: walaupun obat antimalaria diekskresi ke air susu, jumlahnya sangat bervariasi, sehingga
pemberian profilaksis untuk bayi yang masih menyusui tetap diperlukan.
 EPILEPSI
Klorokuin dan meflokuin tidak dianjurkan untuk pasien epilepsi. Bila ada resistensi klorokuin,
dapat dipertimbangkan pemberian doksisiklin tapi metabolismenya dapat dipengaruhi oleh
obat-obat anti epilepsi. (Interaksi: lampiran 1).
 ASPLENIA
Individu dengan kondisi asplenik (atau orang yang mengalami disfungsi splenik berat)
mempunyai risiko yang besar untuk mengalami penyakit malaria yang parah. Jika perjalanan ke
daerah endemik malaria tidak terhindarkan, individu tersebut sebaiknya sangat berhati-hati dan
melakukan tindakan pencegahan yang tepat agar terhindar dari penyakit malaria.
 GANGGUAN FUNGSI GINJAL
Klorokuin hanya diekskresi secara parsial melalui urin sehingga pengurangan dosis untuk
profilaksis tidak diperlukan kecuali pada pasien dengan gangguan fungsi berat. Meflokuin lebih
tepat digunakan pada gangguan fungsi ginjal dan tidak memerlukan pengurangan dosis.
Doksisiklin juga merupakan pilihan yang tepat. KEHAMILAN. Perjalanan menuju daerah endemik
malaria sebaiknya dihindari selama kehamilan. Jika perjalanan tersebut tak terhindarkan, harus
dilakukan profilaksis yang efektif. Klorokuin pada dosis lazim dapat diberikan di daerah dimana
Plasmodium falciparum masih sensitif. Pada daerah dimana resistensi pada klorokuin sudah
terjadi, penggunaan meflokuin dapat dipertimbangkan walau sebenarnya tidak dianjurkan.
Doksisiklin dikontraindikasikan pada kehamilan.
 Obat malaria dan antibiotik yang dipakai dalam program pemberantasan malaria adalah
 Amodiakuin. Tablet amodiakuin 200 mg dari basa setara hidroklorid atau 153,1 mg dari basa
setara klorohidrat.
 Artesunat. Tablet natrium artesunat 50 mg atau injeksi intramuskular/intravena 60 mg natrium
artesunat dalam 1 mL larutan injeksi.
 Primakuin. Tablet 15 mg primakuin basa.
 Klorokuin. Tablet 150 mg klorokuin basa setara fosfat atau sulfat.
 Kina. Tablet 200 mg kina basa setara 20 mg bentuk garam atau injeksi kina HCl 25% berisi 500
mg basa dalam ampul 2 mL (250 mg basa/mL).
 Doksisiklin. Kapsul dan tablet mengandung 100 m g doksisiklin garam setara hidroklorid.
 Tetrasiklin. Kapsul dan tablet 250 mg tetrahidroklorid setara dengan 231 mg tetrasiklin basa.
 Monografi:
 ARTEMETER
 Indikasi:
 pengobatan malaria berat termasuk malaria Plasmodium falciparum yang resisten terhadap
klorokuin.
 Peringatan:
 jangan melebihi dosis yang direkomendasikan, pemberian intramuskular dianjurkan pada
pengobatan darurat pasien dengan malaria parah.
 Interaksi:
 hindari pemberian bersama dengan obat yang memperpanjang interval QT seperti eritromisin,
terfenadin, astemizol, probukol, antiaritmia kelas 1a (kuinidin, prokainamid, disopiramid),
antiaritmia kelas III (amiodaron, bretilium), bepridil, sotalol, antidepresan trisiklik, neuroleptik
tertentu dan fenotiazin.
 Kontraindikasi:
 hipersensitivitas, trimester pertama kehamilan, kecuali manfaat lebih besar daripada risikonya
dan tidak ada alternatif antimalaria lain; riwayat aritmia, bradikardia yang secara bermakna
klinis, dan gagal jantung kongestif yang diikuti dengan penurunan fraksi pemompaan ventrikular
kiri; riwayat keluarga meninggal tiba-tiba atau perpanjangan interval QT kongenital; menyusui.
 Efek Samping:
 demam (transient low fever), retikulositopenia, peningkatan SGOT, aritmia, nyeri perut,
anoreksia, diare, mual, muntah, palpitasi, batuk, sakit kepala, pusing, gangguan tidur, asthenia,
arthralgia, myalgia, ruam, pruritus.
 Dosis:
 Injeksi intramuskular selama 5 hari. Dosis awal 3,2 mg/kg bb diikuti dengan 1,6 mg/kg bb selama
4 hari.Dosis untuk anak-anak atau pasien kelebihan berat badan harus diturunkan atau
dinaikkan berdasarkan berat ideal di bawah pengawasan dokter.
 ARTEMETER + LUMEFANTRIN
 Indikasi:
 pengobatan malaria Plasmodium falciparum akut tanpa komplikasi pada orang dewasa, anak
dan bayi dengan berat badan 5 kg atau lebih.
 Peringatan:
 tidak diindikasikan untuk pencegahan,gangguan fungsi hati dan ginjal yang berat; monitor
pasien yang tidak dapat makan (resiko kambuh lebih besar); menyebabkan pusing sehingga
perlu hati-hati saat mengemudi.
 Interaksi:
 lihat kontra indikasi; tidak disarankan diberikan bersama dengan antimalaria lain karena data
khasiat dan keamanan belum memadai. Jika diberikan setelah pemberian kina atau meflokuin,
lakukan monitoring asupan makanan (untuk meflokuin) atau monitoring EKG (untuk kina). Pada
pasien yang sebelumnya mendapat halofantrin, obat tidak boleh diberikan lebih cepat dari 1
bulan setelah dosis halofantrin; pemberian bersama ketokonazol dan inhibitor CYP3A4 lain
memerlukan penyesuaian dosis, mengurangi efektivitas kontrasepsi bila diberikan bersamaan.
 Kontraindikasi:
 hipersensitivitas; malaria berat; kehamilan trimester pertama; riwayat keluarga mengalami
kematian mendadak atau perpanjangan interval QTc; gangguan keseimbangan elektrolit
(hipokalemia, hipomagnesia); riwayat aritmia jantung; pasien mengkonsumsi obat yang
dimetabolisme oleh enzim sitokrom CYP2D6 (flekainid, metoprolol, imipramin, amitriptilin,
klomipramin); pasien mengkonsumsi obat yang dapat memperpanjang interval QTc (antiaritmia
kelas IA dan III, neuroleptik, antidepresan, antibiotik (makrolida, flurokinolon, imidazol, dan
antifungi triazol), antihistamin nonsedatif (terfenadin, astemizol, cisaprid); riwayat bradikardi,
riwayat gagal jantung kongestif yang disertai pengurangan left ventricular ejection fraction;
menyusui.
 Efek Samping:
 sangat umum: sakit kepala, pusing, sakit perut, anoreksia; umum: gangguan tidur, palpitasi,
perpanjangan interval QT, batuk, diare, mual, muntah, pruritus, ruam kulit, artralgia, mialgia,
asthenia, kelelahan; sangat jarang: hipersensitivitas, ataksia, hipoestesia, clonus.
 Dosis:
 Oral. Untuk meningkatkan absorpsi, diminum bersama makanan atau susu. Jika pasien muntah
dalam waktu 1 jam, dosis harus diulang. Cara pemberian pada anak dan bayi: tablet dapat
digerus. Dosis diberikan selama 3 hari berdasarkan berat badan: ≥ 35 kg (Dewasa dan Anak
diatas 12 tahun), 4 tablet 2 kali sehari; 25 kg - < 35 kg, 3 tablet 2 kali sehari; 15 kg - < 25 kg, 2
tablet 2 kali sehari; ≥ 5 kg - <15 kg, 1 tablet 2 kali sehari.
 ARTESUNAT
 Indikasi:
 pengobatan malaria berat termasuk malaria Plasmodium falciparum yang resisten terhadap
klorokuin.
 Peringatan:
 suntikkan setelah melarut, jangan digunakan jika terbentuk kekeruhan, tidak boleh diberikan
sebagai infus. Lakukan pengobatan selama 5 hari pada malaria falciparum yang resisten
terhadap klorokuin. Tidak direkomendasikan untuk diberikan pada wanita hamil, selama
menggunakan obat ini tidak diperbolehkan mengendarai atau menjalankan mesin.
 Interaksi:
 Pemberian bersama dengan meflokuin dapat meningkatkan efek kuratif.
 Kontraindikasi:
 pasien dengan riwayat hipersensitivitas.
 Efek Samping:
 mual, muntah diare, pankreatitis, pusing, berkunang-kunang, sakit kepala, insomnia, tinnitus,
ruam, batuk, arthralgia.
 Dosis:
 oral: DEWASA dosis total 600-800 mg/hari harus diberikan selama 5-7 hari. ANAK dosis total 12
mg/kg BB harus diberikan selama 5-7 hari. Injeksi: dosis awal 2,4 mg/kg BB per i.v, selanjutnya
dengan dosis yang sama diberikan pada jam ke-12 dan jam ke-24. Pada hari ke 2 sampai dengan
ke 5 diberikan 2,4 mg/kg BB per 24 jam.
 ARTESUNAT + AMODIAQUIN
 Indikasi:
 Pengobatan malaria falsiparum pada daerah di mana Plasmodium falciparum telah dinyatakan
resisten dengan pengobatan kloroquin.
 Interaksi:
 Tidak direkomendasikan untuk diberikan bersama obat penghambat sitokrom CYP2A6 (seperti
metoksalen, pilokarpin, tranilcipromin) dan/atau CYP2C8 (seperti trimetoprim, ketokonazol,
ritonavir, sakuinavir, lopinavir, gemfibrozil, montelukast). Bersama magnesium trisilikat dan
kaolin dapat menurunkan absorbsi amodiakuin pada saluran pencernaan.
 Kontraindikasi:
 hipersensitivitas, riwayat gangguan hati dan/atau darah selama pengobatan dengan
amodiakuin, retinopati (kasus pengobatan berulang).
 Efek Samping:
 Artesunat: efek samping yang dilaporkan dalam uji klinik adalah penurunan eritrosit retikuler,
peningkatan SGPT dan BUN, mual, sakit kepala, sinus bradikardi (>50 denyut/menit), efek
diuretik yang reversibel, hemolobulinuri makroskopik, jaundice, oligouri, penurunan kadar gula
darah, kejang, perdarahan, sepsis, edema, paru-paru, penurunan kadar laktat plasma,
cardiorespiratory arrest, irrectable hypotension, pendarahan saluran cerna, black water fever,
ulnar/median palsy, infeksi saluran urin oleh Klebsiella sp., pneumoni, herpes zoster dan
erythematous urticarial rash.
Amodiaquin: efek samping ringan sampai sedang adalah nyeri abdomen, mual, muntah, sakit
kepala, pusing, penglihatan kabur, kelemahan mental dan fisik serta kelelahan. Efek samping
berat berupa gatal, abnormalitas kardiovaskular, diskinesia, kerusakan okuler, gangguan syaraf,
dan kehilangan pendengaran. Juga dilaporkan terjadinya agranulositosis, hepatitis, dan
neuropati periferal.
 Dosis:
 Oral, Artesunat 50 mg adalah 4mg/kgBB sehari sehingga dosis total selama 3 hari adalah 12
mg/kgBB. Oral, Amodiaquin 200 mg adalah 10 mg/kg BB sehari sehingga dosis total selama 3
hari adalah 25-35 mg/kgBB. Dosis per hari berdasarkan kelompok umur: 1-4 tahun, masing-
masing 1 tablet artesunat dan amodiakuin; 5-9 tahun, masing-masing 2 tablet artesunat dan
amodiakuin; 10-14 tahun: masing-masing 3 tablet artesunat dan amodiakuin; dewasa dan anak
(> 15 tahun), masing-masing 3 tablet artesunat dan amodiakuin.
 DIHIDROARTEMISININ + PIPERAKUIN (DHP)
 Indikasi:
 Pengobatan malaria P. falciparum dan/atau P. vivax tanpa komplikasi.
 Peringatan:
 hamil dan menyusui, penyakit hati dan ginjal, penggunaan obat malaria lainnya, wanita lansia
atau muntah.
 Interaksi:
 hindari pemberian bersama obat yang dapat memperpanjang interval QTc (misal: meflokuin,
halofantrin, lumefantrin, klorokuin, atau kina).
 Kontraindikasi:
 hipersensitivitas, malaria berat, riwayat aritmia atau bradikardia (penyakit jantung), riwayat
keluarga meninggal tiba-tiba, risiko perpanjangan interval QT kongenital, ketidakseimbangan
elektrolit, mengkonsumsi obat yang mempengaruhi denyut jantung.
 Efek Samping:
 umum: anemia, sakit kepala, perpanjangan interval QTc, takikardia, astenia, pireksia,
konjungtivitas, tidak umum: anoreksia, pusing, kejang, gangguan konduksi jantung, sinus
aritmia, bradikardia, batuk, mual,muntah, nyeri lambung, diare, hepatitis, hepatomegali, uji
fungsi hati yang abnormal, pruritus, ruam kulit, artalgia, mialgia.
 Dosis:
 Dosis selama 3 hari, berdasarkan berat badan: 5 kg (0-1 bulan): ¼ tablet/hari; 6-10 kg (2-11
bulan): ½ tablet/hari; 11-17 kg (1-4 tahun): 1 tablet/hari; 18-30 kg (5-9 tahun): 1 ½ tablet/hari;
31-40 kg (10-14 tahun): 2 tablet/hari; 41-59 kg (≥ 15 tahun): 3 tablet/hari; ≥ 60 kg (≥ 15 tahun): 3
tablet/hari. Jangan hentikan pengobatan sebelum 3 hari, meskipun gejala telah hilang.
 KINA
 Indikasi:
 malaria falsiparum; nocturnal leg cramp.
 Peringatan:
 fibrilasi atrium, gangguan konduksi, blokade jantung, kehamilan. Periksa kadar gula darah
selama pemberian parenteral; defisiensi G6PD; hindarkan penggunaan bersama halofantrin.
 Interaksi:
 lihat Lampiran 1 (kina).
 Kontraindikasi:
 hemoglobinuria, neuritis optic, miastenia gravis.
 Efek Samping:
 sinkonisme, termasuk tinitus, sakit kepala, rasa panas di kulit, mual, sakit perut, gangguan
penglihatan (termasuk buta sementara), bingung; reaksi alergi, termasuk angio udem, gangguan
darah (termasuk trombositopenia dan koagulasi intravaskuler), gagal ginjal akut, hipoglikemia
(terutama sesudah pemberian parenteral), gangguan kardiovaskuler; sangat toksik pada
overdosis.
 Dosis:
 lihat keterangan di atas.
 Catatan:
 kina (basa anhidrida) 100 mg= kina bisulfat 169 mg=kina dihidroklorida 122 mg=kina sulfat 121
mg. Tersedia juga tablet kina bisulfat 300 mg, tapi memberikan jumlah kina yang lebih sedikit
dibanding kina dihidroklorida, hidroklorida atau sulfat.
 MEFLOKUIN
 Indikasi:
 profilaksis dan pengobatan malaria akut ringan sampai sedang P. Falcifarum atau P. vivax,
temasuk profilaksis P. Falcifarum yang resisten klorokuin.
 Peringatan:
 kehamilan terutama trimester pertama (lihat keterangan mengenai Profilaksis malaria; Lampiran
2. Disarankan untuk menunda kehamilan selama penggunaan meflokuin sampai 3 bulan
sesudahnya), menyusui, profilaksis pada gangguan fungsi hati yang serius, gangguan konduksi
jantung; epilepsi (hindari untuk profilaksis), bayi di bawah 3 bulan (berat badan 5 kg),
PERHATIAN BAGI PENGENDARA. Selama minum obat ini tidak boleh mengendarai kendaraan
bermotor atau menjalankan mesin (efek dapat berlangsung sampai 3 minggu), gangguan fungsi
ginjal.
 Interaksi:
 Lampiran 1 (meflokuin).
 Kontraindikasi:
 hipersensitif, profilaksis malaria pada riwayat gangguan neuropsikiatri termasuk depresi,
konvulsi, gangguan skizofrenia atau gangguan kejiwaan lainnya.
 Efek Samping:
 mual, muntah, diare, sakit perut; pusing, vertigo, hilang keseimbangan, sakit kepala, gangguan
tidur (insomnia, mengantuk, mimpi buruk); kecemasan, reaksi neuropsikiatri (termasuk
neuropati sensoris dan motoris, tremor, ansietas, depresi, panik, halusinasi, agitasi, kejang,
psikosis, paranoid); tinitus, gangguan vestibuler; gangguan penglihatan, gangguan sirkulasi
(hipotensi dan hipertensi), flushing; takikardi, bradikardi, palpitasi, gangguan konduksi jantung,
kelemahan otot, mialgia, artralgia, udem, ruam, gatal, urtikaria, pruritus, alopesia, gangguan
fungsi hati, astenia, malaise, demam, nafsu makan hilang, leukopenia dan leukositosis, anemia
aplastik, trombositopenia; jarang terjadi sindrom Stevens-Johnson, blok AV, ensefalopati dan
anafilaksis.
 Dosis:
 profilaksis malaria: dimulai 2 ½ minggu sebelum memasuki dan dilanjutkan sampai 4 minggu
sesudah meninggalkan daerah endemis malaria. DEWASA dan ANAK di atas 45 kg, 250 mg tiap
minggu. BB 6-16 kg, 62,5 mg tiap minggu; BB 16-25 kg, 125 mg tiap minggu; BB 25-45 kg, 187,5
mg tiap minggu. Pengobatan malaria: DEWASA: 5 tablet (1250mg) meflokuin dalam dosis
tunggal oral. ANAK: >15 kg atau diatas 2 tahun: 20-25 mg/kg dalam dosis tunggal atau dua dosis
dibagi 6-8 jam terpisah.
 PIRIMETAMIN
 Indikasi:
 malaria (tapi hanya digunakan dalam kombinasi dengan sulfadoksin atau dapson).
 Peringatan:
 gangguan fungsi hati atau ginjal; kehamilan (lampiran 4); menyusui (lampiran 5). Untuk
penggunaan jangka panjang perlu hitung jenis sel darah; hindari loading dose yang tinggi jika
punya riwayat kejang.
 Interaksi:
 Lampiran 1 (pirimetamin).
 Efek Samping:
 depresi sistem hematopoesis pada dosis besar; ruam, insomnia.
 Dosis:
 untuk malaria, tidak disebutkan karena tidak direkomendasikan untuk diberikan tunggal.
 SULFADOKSIN + PIRIMETAMIN
 Indikasi:
 terapi tambahan untuk kina untuk pengobatan malaria Plasmodium falsiparum; tidak dianjurkan
untuk profilaksis.
 Peringatan:
 lihat Pirimetamin dan Kotrimoksazol (lihat 5.1.7); kehamilan (Lampiran 4) dan menyusui
(Lampiran 5); tidak direkomendasikan untuk profilaksis (efek samping yang parah pada
penggunaan jangka panjang).
 Interaksi:
 Lampiran 1 (pirimetamin, sulfonamid).
 Kontraindikasi:
 lihat Pirimetamin dan Kotrimoksazol (lihat 5.1.7); alergi sulfonamid.
 Efek Samping:
 lihat Pirimetamin dan Kotrimoksazol (lihat 5.1.7); infiltrat paru (misalnya alveolitis alergi atau
eosinofilik). Hentikan obat bila timbul batuk atau napas berat.
 Dosis:
 Terapi, lihat keterangan di atas; Profilaksis, tidak direkomendasikan.
 PRIMAKUIN
 Indikasi:
 tambahan untuk terapi Plasmodium vivax dan P. ovale, dan gametosidal pada malaria
falciparum,eradikasi stadium hepar.
 Peringatan:
 anemia, methemoglobinemia, leukopenia, lansia.
 Interaksi:
 lampiran 1 (primakuin).
 Kontraindikasi:
 hipersensitif, reumatoid artritis dan lupus eritematosus, terapi obat yang dapat menyebabkan
hemolisis dan depresi sumsum tulang, anak <4 tahun, defisiensi G6PD dan NADH, penggunaan
kuinakrin.
 Efek Samping:
 mual, muntah, anoreksi, sakit perut, methemoglobinemia, anemia hemolitik terutama pada
defisiensi G6PD, leukopenia.
 Dosis:
 pencegahan kambuh dan menularnya malaria vivax dan ovale : 0,25 mg/kgBB untuk 14 hari.
Sebagai efek gametosidal pada malaria falciparum : dosis tunggal 0,75 mg/kgBB (dewasa 45 mg),
dosis yang sama diulang 1 minggu terakhir.

5.5.2 Antiamuba
Metronidazol merupakan antimikroba dengan aktivitas yang sangat baik terhadap bakteri anaerob dan protozoa.
Indikasinya meliputi trichomonal vaginitis, bakterial vaginosis (infeksi Gardnerella vaginalis) dan infeksi
Entamoeba histolytica dan Giardia lamblia. Obat ini juga digunakan untuk pembedahan dan sepsis ginekologi
dengan aktivitas utama terhadap bakteri anaerob kolon, terutama Bacteroides fragilis. Metronidazol juga efektif
terhadap kolitis akibat antibiotik (pseudomembran kolitis). Bila rute oral tidak memungkinkan, metronidazol
melalui rute rektal merupakan alternatif dari rute intravena dan merupakan cara pemberian obat yang cukup
efektif. Metronidazol intravena digunakan untuk terapi kasus tetanus. Diazepam dan immunoglobulin tetanus
juga digunakan.
Metronidazol topikal mengurangi bau yang dihasilkan oleh bakteri anaerob pada kasus tumor jamur; juga
digunakan dalam penatalaksanaan rosacea.

Tinidazol mempunyai efektivitas yang sama dengan metronidazol, tapi dengan lama kerja lebih panjang.
Metronidazol merupakan obat pilihan untuk disentri amuba invasif akut, karena obat ini efektif terhadap bentuk
vegetatif Entamoeba histolytica. Diberikan dalam dosis dewasa sebesar 800 mg tiga kali sehari selama 5 hari.
Metronidazol dan tinidazol juga efektif terhadap amuba yang sudah bermigrasi ke hati. Pengobatan dengan
metronidazol (tinidazol) biasanya diikuti dengan pemberian diloksanid furoat selama 10 hari. Metronidazol
efektif untuk abses amuba pada hati pada dosis 400 mg 3 kali sehari selama 5-10 hari. Tinidazol merupakan
alternatif untuk metronidazol. Bila perlu pengobatan dapat diulangi setelah 2 minggu. Bila dikhawatirkan akan
terjadi ruptur abses atau bila setelah 72 jam pengobatan belum terlihat perbaikan, maka dianjurkan untuk
melakukan aspirasi abses. Aspirasi membantu penetrasi metronidazol dan dapat mempercepat penyembuhan.
Kadang-kadang aspirasi perlu diulangi.
Bila metronidazol dan tinidazol tidak efektif, dapat digunakan dihidroemetin. Tapi efek samping obat ini cukup
besar. Diloksanid furoat tidak efektif untuk amubiasis hati, tapi pengobatan selama 10 hari perlu diberikan
setelah metronidazol/tinidazol untuk me-musnahkan amuba yang ada dalam usus.

Infeksi Rongga Mulut. Metronidazol meru-pakan alternatif dari penisilin untuk terapi infeksi rongga mulut bila
pasien alergi terhadap penisilin atau infeksi disebabkan oleh bakteri anaerob yang menghasilkan beta-laktamase.
Obat ini merupakan obat pilihan pertama pada terapi acute necrotizing ulcerative gingivitis (Vincent’s infection)
dan perikoronitis. Alternatif yang sesuai untuk pola penyakit tersebut adalah amoksisilin dan eritromisin. Untuk
penggunaan ini, metronidazol diberikan dalam dosis 200 mg, 3 kali sehari selama 3 hari. Namun, terapi dapat
dilakukan lebih lama pada kasus perikoronitis. Tinidazol digunakan untuk terapi acute ulcerative gingivitis.
Monografi:

METRONIDAZOL
Indikasi:

Uretritis dan vaginitis karena Trichomonas vaginalis, amoebiasis intestinal dan hepar, pencegahan infeksi
anaerob pasca operasi, giardiasis karena Giardia lambliasis.
Peringatan:

Reaksi seperti disulfiram, kram perut, mual, muntah, sakit kepala dan muka memerah bila diberikan bersama
konsumsi alkohol; gangguan fungsi hati dan hepatic encephalopathy; kehamilan, menyusui (hindari penggunaan
dosis besar). Pengobatan > 10 hari dianjurkan melakukan pemeriksaan klinis dan laboratorium. Hentikan
pengobatan bila muncul ataksia, vertigo, halusinasi, atau konfusi mental. Keamanan pada anak belum diketahui
pasti, kecuali untuk amoebiasis; pasien penyakit susunan saraf pusat dan perifer, karena risiko agravasi
neurologis. Disarankan tidak mengendarai dan mengoperasikan mesin karena menimbulkan kantuk, pusing,
kebingungan, halusinasi, konvulsi atau gangguan penglihatan sementara.
Interaksi:

lampiran 1 (metronidazol).

Kontraindikasi:

Hipersensitivitas, kehamilan trimester pertama.

Efek Samping:

Jarang: anafilaksis. Sangat jarang: agranulositosis, neutropenia, trombositopenia, pansitopenia, gangguan


psikotik termasuk kebingungan dan halusinasi, ensefalopati (contoh: kebingungan, demam, sakit kepala,
halusinasi, paralisis, sensitif terhadap cahaya, gangguan penglihatan dan gerakan, leher kaku), subacute
cerebellar syndrome (contoh: ataksia, disatria, gangguan fungsi berjalan, nystagmus, dan tremor) yang
memerlukan penghentian obat, mengantuk, pusing, konvulsi, sakit kepala, gangguan penglihatan seperti diplopi
dan miopi yang pada kebanyakan kasus bersifat sementara, ruam kulit, erupsi pustular, pruritis, muka memerah,
mialgia, dan artralgia. Tidak diketahui frekuensinya: leukopenia, angioudema, urtikaria, demam, anoreksia,
penurunan mood, neuropati sensor perifer, meningitis aseptik, neuropati optik atau neuritis, gangguan
pengecapan, mukositis oral, lidah berselaput, mual, muntah, gangguan saluran cerna seperti nyeri epigastrum,
diare, abnormalitas uji fungsi hati, hepatitis kolestatik, ikterus dan pankreatitis yang reversibel pada penghentian
obat, eritema multiforme, urin berwarna gelap (akibat metabolit metronidazol).
Dosis:

Oral: Amubiasis intestinal invasif, 800 mg tiap 8 jam selama 5 hari. Anak 1-3 tahun, 200 mg tiap 8 jam; 3-7
tahun, 200 mg tiap 6 jam; 7-10 tahun, 200-400 mg tiap 8 jam. Amubiasis ekstra intestinal (termasuk abses hepar)
dan pembawa kista amuba asimtomatik, 400-800 mg tiap 8 jam selama 5-10 hari. Anak 1-3 tahun, 100-200 mg
tiap 8 jam; 3-7 tahun, 100-200 mg tiap 6 jam; 7-10 tahun, 200-400 mg tiap 8 jam. Trikomoniasis urogenital, 200
mg tiap 8 jam selama 7 hari atau 400-500 mg tiap 12 jam selama 7 hari; atau 800 mg pagi hari dan 1,2 g malam
hari selama 2 hari; atau 2 gram dosis tunggal. Anak 1-3 tahun, 50 mg tiap 8 jam selama 7 hari; 3-7 tahun, 100
mg tiap 12 jam; 7-10 tahun, 100 mg tiap 8 jam. Giardiasis, 2 gram/hari selama 3 hari atau 500 mg dua kali sehari
selama 1-10 hari. ANAK 1-3 tahun, 500 mg/hari selama 3 hari; 3-7 tahun, 600-800 mg/hari; 7-10 tahun, 1
gram/hari. Infeksi gigi akut, 200 mg tiap 8 jam selama 3-7 hari.
Infeksi anaerob: (biasanya selama 7 hari).
Oral: dosis awal 800 mg, kemudian 400 mg tiap 8 jam atau 500 mg tiap 8 jam.

Rektal: 1 gram tiap 8 jam selama 3 hari, kemudian 1 gram tiap 12 jam.

Infus intravena: 500 mg tiap 8 jam dengan kecepatan 5 ml/menit.


Anak, untuk semua cara pemberian, 7,5 mg/kg bb tiap 8 jam.

Profilaksis infeksi anaerob terutama setelah operasi:


Oral: 400 mg tiap 8 jam dimulai 24 jam sebelum operasi, dilanjutkan sesudah operasi secara intravena
atau rektal sampai pemberian oral dapat dilakukan lagi. Anak, 7,5 mg/kg bb tiap 8 jam.
Rektal: 1 gram tiap 8 jam. Anak, 125-250 mg tiap 8 jam.

Intravena: 500 mg beberapa saat sebelum operasi, kemudian tiap 8 jam sampai pemberian oral bisa dilakukan.

TINIDAZOL
Indikasi:

lihat dosis; infeksi anaerobik.

Peringatan:

(lihat metronidazol); kehamilan (hindari penggunaan pada trimester pertama).

Interaksi:

lihat metronidazol.

Efek Samping:

(lihat metronidazol).

Dosis:

amubiasis intestinal, 2 g/hari selama 2-3 hari. ANAK 50-60 mg/kg bb/hari selama 3 hari. Amubiasis hepar,
1,5-2 g/hari selama 3-5 hari. ANAK 50-60 mg/kg bb/hari selama 5 hari.Trikomoniasis dan giardiasis
urogenital, 2 g dosis tunggal (bila perlu, ulangi sekali lagi). ANAK, dosis tunggal 50-75 mg/kg bb.

5.5.3 Antitrikomonas
Metronidazol merupakan terapi pilihan untuk infeksi Trichomonas vaginalis. Dianjurkan dilakukan
penelusuran kontak yang dilakukan bersamaan dengan pengobatan akibat kontak seksual. Bila metronidazol
tidak efektif, dapat dicoba tinidazol.

5.5.4 Antigiardia
Metronidazol merupakan terapi pilihan untuk infeksi Giardia lambia, diberikan per oral dalam dosis 2 g sehari
selama 3 hari atau 400 mg setiap 8 jam selama 5 hari.

5.5.5 Antileismania
Cutaneous leishmaniasis sering dapat sembuh secara spontan, namun dapat diberikan obat jika lesi pada kulit
meluas dan merusak kulit, sebagaimana pada kasus visceral leishmaniasis (kala-azar).

5.5.6 Antitripanosid
Profilaksis dan terapi tripanosomiasis sulit dan berbeda-beda tergantung pada strain organisme penyebabnya.
Untuk itu diperlukan masukan dari spesialis.

5.5.7 Antitoksoplasma
Sebagian besar infeksi yang disebabkan oleh Toxoplasma gondii akan hilang sendiri dan tidak diperlukan terapi,
kecuali pada pasien dengan infeksi yang melibatkan mata (toxoplasma choroido-renitis) dan pasien
imunosupresan. Toxoplasmic encephalitis merupakan komplikasi yang umum pada AIDS. Terapi pilihan adalah
pirimetamin dan sulfadiazin yang diberikan dalam beberapa minggu (diperlukan pendapat spesialis).
Pirimetamin merupakan antagonis folat, dan efek samping terhadap kombinasi ini relatif umum (diperlukan
suplemen asam folat dan hitung darah setiap minggu). Regimen alternatif yang digunakan adalah kombinasi
pirimetamin dengan klindamisin atau klaritromisin atau azitromisin. Profilaksis sekunder jangka panjang
diperlukan setelah terapi toksoplasmosis pada pasien AIDS. Jika toksoplasmosis terjadi pada kehamilan, infeksi
transplasenta dapat menyebabkan penyakit parah pada janin. Spiramisin dapat mengurangi risiko transmisi
infeksi maternal kepada janin.

5.5.8 Antipneumonia Pneumokistis


Pneumonia yang disebabkan oleh Pneumocystis jiroveci (Pneumocystis carinii) terjadi pada pasien
immunocompromised. Hal ini merupakan penyebab pneumonia yang umum terjadi pada pasien AIDS.
Pneumonia pneumokistis sebaiknya ditangani oleh dokter yang berpengalaman. Penilaian analisa gas darah
digunakan untuk menilai tingkat keparahan penyakit.
Kotrimoksazol dosis tinggi merupakan pilihan terapi untuk pneumonia pneumokistis ringan sampai sedang.
Untuk kasus yang berat, kotrimoksazol dosis tinggi yang diberikan secara oral atau infus intravena merupakan
pilihan terapi.

Terapi pendukung. Pada kasus pneumonia pneumokistis karena adanya infeksi HIV, prednisolon 50-80 mg
diberikan per oral selama 5 hari (sebagai alternatif, dapat diberikan hidrokortison injeksi) Kemudian dosis
diturunkan hingga terapi selesai selama 21 hari. Sebaiknya, kortikosteroid dimulai bersamaan dengan terapi
antipneumokistis dan tidak boleh dimulai lebih dari 24-72 jam setelahnya. Terapi kortikosteroid sebaiknya
dihentikan sebelum terapi antipneumokistis selesai.
Profilaksis. Profilaksis terhadap pneumonia pneumokistis sebaiknya diberikan kepada semua pasien yang
mempunyai riwayat infeksi dan juga pada pasien immunocompromised yang berat. Profilaksis sebaiknya
dilakukan hingga imunitasnya membaik. Profilaksis jangan dihentikan bila pasien mengalami kandidiasis oral,
kehilangan berat badan atau menerima terapi sitotoksik atau terapi imunosupresan jangka panjang.
Kotrimoksazol oral merupakan obat pilihan untuk profilaksis pneumonia pneumokistis, yang diberikan dengan
dosis 960 mg perhari atau 960 mg selang sehari (3 kali seminggu); dosis dapat dikurangi menjadi kotrimoksasol
480 mg per hari agar dapat lebih ditoleransi. Sebagai alternatif, dapson (bagian 5.2.2) 100 mg per hari dapat
digunakan pada pasien yang tidak dapat mentoleransi kotrimoksasol.

5.6 Infeksi Cacing


5.6.1 Cacing kremi (Oxyuris)
5.6.2 Cacing gelang (Ascaris)
5.6.3 Cacing pita (Taenia)
5.6.4 Cacing tambang (Necator)
5.6.5 Skistosoma
5.6.6 Filaria
5.6.7 Drakunkulus
5.6.8 Strongiloides

 5.6.1 Cacing Kremi (Oxyuris)


 5.6.2 Cacing Gelang (Ascaris)
 5.6.3 Cacing Pita (Taenia)
 5.6.4 Cacing Tambang (Necator)
 5.6.5 Skistosoma
 5.6.6 Filaria
 5.6.7 Drakunkulus
 5.6.8 Strongiloides
5.6.1 Cacing Kremi (Oxyuris)
Antelmintik umumnya efektif pada infeksi cacing kremi, tapi penggunaannya disertai dengan perbaikan faktor
higienis untuk memutus siklus autoinfeksi. Semua anggota keluarga memerlukan pengobatan.

Usia cacing kremi dewasa tidak lebih dari 6 minggu, dan untuk pertumbuhan cacing yang baru, telur tertelan
dan terpapar oleh asam lambung dan enzim pencernaan dari saluran cerna bagian atas. Perkembangbiakan cacing
tidak terjadi dalam usus besar. Cacing betina dewasa meletakkan telurnya di kulit sekitar anus yang
menyebabkan gatal. Garukkan di sekitar daerah ini akan menyebabkan telur berpindah ke mulut melalui jari,
sering kali melalui makanan yang dimakan tanpa mencuci tangan terlebih dahulu. Mencuci tangan dan menyikat
kuku sebelum makan dan setelah ke toilet merupakan hal yang penting dilakukan. Mandi segera setelah bangun
tidur dapat menghilangkan telur cacing yang ditempatkan di sekitar anus pada malam hari.

Mebendazol merupakan obat pilihan untuk semua pasien berumur lebih dari 2 tahun. Obat ini diberikan sebagai
dosis tunggal. Karena seringnya terjadi infeksi ulang, maka diperlukan pemberian obat pada 2 sampai 3 minggu
berikutnya.
Piperazin tersedia dalam sediaan kombinasi dengan senosida sebagai sediaan dosis tunggal.
Monografi:

MEBENDAZOL
Indikasi:

cacing kremi, cacing tambang, cacing gelang, cacing cambuk.

Peringatan:

wanita hamil dan ibu menyusui.

Interaksi:

Lampiran 1 (mebendazol).

Efek Samping:

Sangat jarang: sakit perut, diare, konvulsi (pada bayi) dan ruam (termasuk sindrom Steven Johnson dan
nekrolisis epidermal toksik).
Dosis:
cacing kremi: DEWASA dan ANAK di atas 2 tahun, 100 mg dosis tunggal. Jika terjadi infeksi kembali, ulangi
dosis yang sama 2 minggu kemudian. ANAK di bawah 2 tahun, tidak dianjurkan.Cacing tambang: DEWASA
dan ANAK di atas 2 tahun, 100 mg dua kali sehari selama 3 hari. ANAK di bawah 2 tahun, tidak
dianjurkan.Cacing gelang: lihat bagian 7.7.2.

PIPERAZIN
Indikasi:

cacing kremi dan cacing gelang.

Peringatan:

gangguan fungsi ginjal (lampiran 3); gangguan fungsi hati; epilepsi; kehamilan (lampiran 4), menyusui
(lampiran 5).

Efek Samping:

mual, muntah, kolik, diare, reaksi alergi termasuk urtikaria, bronkospasmus; jarang terjadi: nyeri sendi,
demam, sindrom Stevens ohnson dan angioudem; pusing, inkoordinasi otot, mengantuk, nistagmus, vertigo,
pandangan kabur, kebingungan, kontraksi otot klonik pada pasien dengan gangguan neurologis dan
abnormalitas fungsi ginjal.
Dosis:

lihat sediaan di bawah.Eliksir, piperazin hidrat 1 g/5 mL.cacing kremi, 3 g-2,25 g/15 mL sekali sehari selama 7
hari. ANAK lebih kecil dari 2 tahun, 0,3-0,5 mL/kg bb sekali sehari selama 7 hari. Usia 2-3 tahun, 5 mL sekali
sehari selama 7 hari; 4-6 tahun, 7,5 mL sekali sehari selama 7 hari; 7-12 tahun, 10 mL sekali sehari selama 7
hari. Bila perlu ulangi pengobatan setelah satu minggu.
Cacing gelang: 30 mL dosis tunggal. ANAK di bawah 1 tahun, 0.8 mL/kg bb dosis tunggal; 1-3 tahun 10 mL
dosis tunggal; 4-5 tahun 15 mL dosis tunggal; 6-8 tahun 20 mL dosis tunggal; 9-12 tahun 25 mL dosis tunggal.
Ulangi pengobatan setelah 2 minggu.

5.6.2 Cacing Gelang (Ascaris)


Levamisol sangat efektif terhadap Ascaris lumbricoides dan umumnya merupakan obat pilihan. Obat ini
ditoleransi dengan sangat baik. Mual ringan atau muntah dilaporkan terjadi pada sekitar 1% pasien. Pada pasien
dewasa diberikan dalam dosis tunggal 120-150 mg.
Mebendazol juga efektif terhadap askaris. Dosis lazimnya 100 mg dua kali sehari selama tiga hari.
Piperazin dapat diberikan dalam dosis tunggal untuk dewasa.
Monografi:

LEVAMISOL
Indikasi:

infeksi cacing gelang yang disebabkan oleh Ascaris lumbricoides.


Dosis:

dewasa: dosis tunggal 120-150 mg

5.6.3 Cacing Pita (Taenia)


TAENISIDA
Niklosamid merupakan obat yang paling banyak digunakan untuk infeksi cacing pita, dan efek sampingnya
terbatas pada gangguan saluran cerna biasa, sakit kepala ringan dan gatal. Niklosamid tidak efektif untuk larva
cacing. Kekhawatiran terhadap terjadinya cysticerosis pada infeksi Taenia solium tidak terbukti. Dapat diberikan
pencahar 2 jam sesudah pemberian obat dan dapat diberikan obat anti muntah sebelum pemberian obat.
Prazikuantel sama efektivitasnya dengan niklosamid dan diberikan dalam dosis tunggal 10-20 mg/kg bb setelah
sarapan ringan (25 mg/kg bb untuk untuk Hymenolepis nana).
KISTA HIDATID
Kista yang disebabkan oleh Echinococcus granulosus berkembang perlahan-lahan dan pasien asimtomatik tidak
selalu harus diobati. Tindakan bedah merupakan pilihan untuk sebagian besar kasus. Albendazol digunakan
setelah tindakan bedah untuk mengurangi risiko kekambuhan atau sebagai pengobatan primer bila tindakan
bedah tidak memungkinkan. Kista alveolaris yang disebabkan oleh Echinococcus multilocularis umumya fatal
bila tidak diobati. Pengobatan pilihan adalah bedah dan albendazol. Bila bedah yang efektif tidak bisa dilakukan,
pemberian albendazol secara berulang (selama satu tahun atau lebih) mungkin membantu. Selama pengobatan
perlu dilakukan pemeriksaan fungsi hati secara berkala.
Monografi:

ALBENDAZOL
Indikasi:

terapi tambahan (sesudah operasi) untuk kista hidatid yang disebabkan oleh Echinococcus granulosus,
Echinococcus multilocularis atau sebagai obat primer bila tindakan bedah tidak bisa dilakukan.
Strongiloidiasis.

Peringatan:
Lakukan hitung jenis sel darah dan tes fungsi hati sebelum pengobatan dan dua kali selama tiap siklus
pengobatan. Ibu menyusui; hindari kehamilan sebelum mengobati (kontrasepsi non hormonal selama dan 1
bulan sesudah pengobatan).

Kontraindikasi:

kehamilan.

Efek Samping:

gangguan saluran cerna, sakit kepala, pusing, gangguan enzim hati, alopesia reversibel, ruam, demam,
gangguan darah (leukopenia, pansitopenia); syok alergi bila terjadi kebocoran kista, kejang dan meningismus
pada penyakit serebral.

Dosis:

E. granulosus: DEWASA: Terapi medikamentosa: 800 mg/hari dalam dosis terbagi, selama 28 hari dilanjutkan
dengan istirahat 14 hari. Pemberian diulangi sampai 3 siklus. Sebelum operasi: 800 mg/hari selama 28 hari,
diikuti periode bebas obat selama 14 hari. Ulangi satu siklus lagi sebelum operasi. Sesudah operasi: (bila kista
masih hidup setelah pengobatan pra bedah, atau bila tidak mendapat pengobatan pra bedah, atau bila
pengobatan pra bedah tidak mencukupi): 800 mg/hari dalam dosis terbagi, selama 28 hari diikuti istirahat 14
hari. Ulangi siklus pengobatan satu kali lagi.
E. multilocularis: DEWASA (lebih besar dari 60 kg): 800 mg/hari dalam dosis terbagi, diberikan selama 28
hari, diikuti masa istirahat selama 14 hari. Adakalanya diperlukan pengobatan jangka panjang (lihat keterangan
di atas).

5.6.4 Cacing Tambang (Necator)


Cacing tambang hidup pada usus halus bagian atas dan mengisap darah pada tempat sangkutannya. Cacing ini
dapat menyebabkan anemia defisiensi besi, dan jika anemia ini terjadi, pengobatan yang efektif untuk infeksi ini
adalah membasmi cacing dan mengobati anemia.

Mebendazol memiliki spektrum aktivitas yang luas dan efektif terhadap cacing tambang. Dosis lazimnya adalah
100 mg dua kali sehari selama 3 hari.

5.6.5 Skistosoma
Schistosoma hematobium dewasa hidup dalam vena saluran kemih dan genital. Schistosoma mansoni dewasa
hidup di vena kolon dan mesenterium. Schistosoma japonicum tersebar lebih luas di saluran cerna dan sistem
porta.
Prazikuantel efektif terhadap semua jenis Skistosoma yang menginfeksi manusia. Dosisnya 40 mg/kg bb dalam
dua dosis terbagi dengan interval 4-6 jam dalam satu hari (untuk S. japonicum, 60 mg/kg bb dibagi 3 dosis dalam
satu hari). Prazikuantel tidak menimbulkan efek toksik yang serius. Dari semua anti skistosomiasis yang ada saat
ini, prazikuantel memiliki spektrum luas, efektif dan toksisitas rendah.

5.6.6 Filaria
Dietilkarbamazin efektif mengatasi mikrofilaria dan bentuk dewasa dari Loa loa, Wuchereria bancroft dan
Brugia malayi. Untuk mengurangi reaksi pengobatan yang tidak dikehendaki, terapi dimulai dengan dosis 1
mg/kg bb pada hari pertama dan ditingkatkan secara bertahap menjadi 6 mg/kg bb dalam dosis terbagi selama 3
hari. Dosis ini dipertahankan selama 21 hari. Pengawasan saat pengobatan diperlukan terutama pada fase awal.
Pada infeksi berat, dapat terjadi reaksi demam dan pada infeksi berat akibat Loa loa, dapat terjadi risiko
mengalami ensefalopati. Pengobatan dihentikan jika terjadi gangguan serebral.
Albendazol dikenal sebagai obat yang digunakan dalam pengobatan cacing usus (cacing gelang, cacing kremi,
cacing cambuk, cacing tambang). Albendazol juga dapat meningkatkan efek dietilkarbamazin dalam mematikan
cacing filaria dewasa dan mikrofilaria tanpa menambah reaksi yang tidak dikehendaki.
Di daerah endemis filariasis, seringkali prevalensi cacing usus cukup tinggi, sehingga penggunaan albendazol
dalam pengobatan massal filariasis juga akan efektif mengendalikan prevalensi cacing usus.

Monografi:

DIETIL KARBAMAZIN
5.6.7 Drakunkulus
Metronidazol dilaporkan efektif terhadap Drakunkulus medinensis dengan dosis 400 mg tiga kali sehari selama
5 hari. Di India dilaporkan bahwa mebendazol dengan dosis 200 mg dua kali sehari selama 7 hari, juga cukup
efektif.

5.6.8 Strongiloides
Strongyloides stercoralis dewasa hidup dalam usus dan menghasilkan larva yang dapat menembus dinding usus
dan menyusup ke jaringan, dan menimbulkan siklus autoinfeksi. Tiabendazol merupakan obat pilihan untuk
dewasa (efek samping pada pasien lansia cukup berat). Obat ini diberikan dengan dosis 25 mg/kg bb (maksimum
1,5 g) tiap 12 jam selama 3 hari. Albendazol merupakan alternatif dengan efek samping yang lebih ringan. Dosis
albendazol adalah 400 mg dua kali sehari selama 3 hari. Bila perlu dapat diulangi setelah 3 minggu. Ivermektin
dengan dosis 200 mcg/kg bb/hari selama 2 hari merupakan obat yang paling efektif untuk infeksi Strongyloides
kronis. Di Indonesia juga beredar Pirantel Pamoat.
Monografi:

PIRANTEL PAMOAT
Indikasi:

untuk pengobatan infeksi yang disebabkan oleh parasit-parasit saluran pencernaan berikut Cacing kremi
(Enterobius vermicularis, thredworm, pinworm), Cacing gelang (Ascaris lumbricoides, roundworm), Cacing
tambang (Ancylostoma duodenale, hookworm), Cacing tambang (Necator americanus, hookworm),
Trichostrongilus colubriformis dan Trichostrongilus orientalis), baik yang terdapat tunggal, maupun infeksi
campuran; adanya infeksi yang disebabkan salah satu dari kelima parasit pada salah satu anggota keluarga atau
kelompok orang yang berdekatan dapat menjadi pertanda adanya juga infeksi pada anggota keluarga lainnya;
pada keadaan begini dianjurkan pemberian pirantel pamoat kepada seluruh anggota keluarga (pemberian
menyeluruh) lingkungan dan pakaian untuk memusnahkan telur-telur cacing dan mencegah terjadinya infeksi
berulang.
Peringatan:

kehamilan, anak usia di bawah 2 tahun, gangguan fungsi hati.

Efek Samping:

hilangnya nafsu makan, kejang perut, mual, muntah, diare, sakit kepala, pusing, rasa mengantuk, sukar tidur,
dan merah-merah pada kulit.

Dosis:

dosis pirantel pamoat yang dianjurkan untuk pengobatan infeksi yang disebabkan oleh Enterobius
vermicularis, Ascaris lumbricoides, Ancylostoma duodenale, Necator americanus, Trichostrongilus
colubriformis dan orientalis adalah 10 mg pirantel basa, setiap kg berat badan diberikan secara oral sebagai
dosis tunggal; dosis berdasarkan perkiraan berat badan sebagai berikut: dewasa, berat badan > 75 kg, 1000 mg;
anak-anak > 12 tahun, berat badan 41-75 kg, 750 mg; 6-12 tahun, BB 22-41 kg, 500 mg; 2-6 tahun, berat
badan <12 kg, 250 mg; ½-2 tahun, berat badan < 12 kg, 125 mg. Untuk infeksi yang lebih berat oleh cacing
tambang (Necator americanus) dosis yang dianjurkan adalah 20 mg (sebagai basa) setiap kg berat badan,
diberikan sebagai dosis tunggal selama 2 hari berturut-turut atau 10 mg (sebagai basa) setiap kg berat badan
diberikan sebagai dosis tunggal selama 3 hari berturut-turut.
Infeksi yang hanya disebabkan oleh Cacing gelang (Ascaris lumbricoides) saja dapat disembuhkan dengan
dosis 5 mg (sebagai basa) setiap kg berat badan diberikan sebagai dosis tunggal; dosis untuk Ascariasis
berdasarkan perkiraan berat badan dan menurut usia sebagai berikut: dewasa, berat badan > 75 kg, 500 mg;
anak-anak > 12 tahun, berat badan 41-75 kg, 375 mg; 6-12 tahun, berat badan 22-41 kg, 250 mg; 2-6 tahun,
BB 12-22 kg, 125 mg; ½-2 tahun, berat badan < 12 kg, 62,5 mg.
Untuk program pengobatan masal yang ditujukan terhadap investasi dari Ascaris lumbricoides saja, dapat
diberikan satu dosis tunggal 2,5 mg pirantel basa per kg bb; dosis berdasarkan perkiraan berat badan pada
berbagai tingkat usia sebagai berikut: dewasa, berat badan > 75 kg, 250 mg; anak-anak > 12 tahun, berat badan
41-75 kg, 187,5 mg; 6-12 tahun, berat badan 22-41 kg, 125 mg; 2-6 tahun, berat badan 12-22 kg, 62,5 mg; ½-2
tahun, berat badan < 12 kg, 31,25 mg.

Anda mungkin juga menyukai