1
B. TEORI PERKEMBANGAN TINGKAH LAKU
1. Hakikat Manusia
Aliran behavioris memandang manusia sebagai mahluk yang reaktif yang
tingkah lakunya dikontrol oleh faktor-faktor luar. Perubahan yang terjadi pada diri
manusia merupakan indikasi adanya proses belajar. Behaviorisme mempunyai
asumsi dasar mengenai perkembangan kepribadian sebagai tingkah laku yang
diperoleh dari belajar sebagai reaksi atas interaksi terhadap lingkungan yang
didalamnya berlangsung hukum-hukum belajar (pembiasaan klasik, pembiasaan
operant, dan peniruan).
Hakikat manusia berdasarkan pandangan ini merupakan mahluk heriditas yang
netral (tidak baik dan tidak jahat) yang membawa seperangkat kebutuhan yang akan
diakomodasikannya dalam lingkungan dimana mereka berada. Karenanya,
keberadaan manusia akan sangat bergantung pada situasi lingkungan (internal dan
eksternal) sebagai pembentuk kepribadian. Interaksi terhadap lingkungan sebagai
suatu proses pembelajaran dan kemasakan juga merupakan intervensi yang
menempatkan manusia sebagai produsen sekaligus sebagai hasil lingkungan.
2. Perkembangan Tingkah Laku yang Tepat
Perbedaan antara tingkah laku yang tepat atau tidak tepat sebenarnya tidak
hanya terdapat pada bagaimana tingkah laku itu dipelajari secara tepat, melainkan
juga pada tingkat kesesuaiannya terhadap tuntutan lingkungan yang ditempati
individu. Tingkat kesesuaian ini selanjutnya akan menentukan apakah individu akan
menerima kepuasan dengan tingkah laku tersebut atau sebaliknya akan
menimbulkan konflik, karena ketidaksesuaiannya.
Interaksi individu dengan lingkungan ditentukan bentuknya oleh tujuan-tujuan
baik yang berasal dari individu maupun terkadang dipaksakan oleh lingkungan.
Tujuan akan menjadi pendoronga atau motivasi manusia dalam bertingkah laku.
Adapun motivasi bertingkah laku dikembangkan melalui pengalaman, sehingga
dapat dibangun seperangkat motiv dan kebutuhan yang terdiferensiasi secara
teratur.
Mengenai tingkah laku yang ditentukan oleh tujuan, behaviorisme memandang
bahwa tujuan merupakan kebutuhan yang ingin dicapai melalui proses belajar.
Tujuan yang semula diasosiasikan dengan penguatan fisiologik, akan mencapai
kemasakan seiring dengan interaksi manusia terhadap lingkungannya. Jika
2
kebutuhan yang satu telah dicapai, maka kebutuhan lain akan muncul sebagai
pengiring bagi kebutuhan selanjutnya, sekaligus merupakan hasil asosiasi dari
tujuan sebelumnya. Melalui proses yang sedemikian ini, akan dipahami bahwa
kebutuhan yang dipelajari itu berkembang dan membentuk diferensiasi dan
tergeneralisasi dari yang spesifik (primer) sampai pada kebutuhan yang umum
(sekunder).
Ruther (Hansen, 1977, hal 171) mengemukan tiga sifat umum dari kebutuhan
yang dipelajari manusia yaitu :
a. Need Potential ; yaitu kekuatan yang dimiliki oleh kebutuhan untuk menarik
tingkah laku kearahnya. Individu akan merespon terhadap kebutuhan yang lebih
kuat (potensial), dan berada dalam konflik apabila kebutuhan itu seimbang.
b. Freedom of Movement ; yaitu individu mempunyai keyakinan bahwa tingkah
laku tertentunya akan menghasilkan suatu yang diharapkan. Walaupun respon
selalu tertuju pada stimulus tertentu, ia tetap dapat mengontrol dirinya sendiri.
Artinya, individu akan bebas memilih respon atau sebaliknya bebas memilih
stimulus mana yang akan direspon tanpa peduli sekecil apapun potensi
kebutuhannya, sehingga sampai pada tujuan yang berharga bagi dirinya.
c. Need Value ; yaitu nilai yang berkembang dalam diri individu mengenai
kebutuhan. Derajat kebutuhan dalam diri individu ini membuatnya lebih memilih
kepuasan dibandingkan dengan yang lain. Karena pada situasi tertentu
kebutuhan atau tujuan itu dinilai lebih berharga.
3
sesuatu yang dipelajari melalui proses pembelajaran. Karena pada dasarnya tingkah
laku manusia adalah usaha untuk memodifikasi situasi untuk mencapai kepuasan
yang setinggi-tingginya. Adapun garis kepuasan berada pada pemenuhan
kebutuhan yang tergenerasasi secara terus menerus (akhirnya membentuk
diferensiasi kebutuhan) yang mendapat penguatan (reinforcement).
Pengalaman masa kecilpun akan sangat penting dalam perkembangan hierarki
kebutuhan, meskipun hierarki itu terus menerus mendapat revisi sepanjang
hidupnya. Interaksi terhadap lingkungan juga akan menempatkan hierarki kebutuhan
itu ada yang diperkuat, dipelajari baru, dilemahkan, dan dihapus, hingga individu
berada pada kemasakan dan mampu menempatkan self-reinforcement menjadi
reinforcement yang paling kuat.
Intinya, pandangan behavioris tentang perilaku tepat atau tidak tepat berada
pada satu titik keyakinan bahwa semua perilaku tersebut adalah sesuatu yang
dipelajari melalui proses pembelajaran. Karena pada dasarnya tingkah laku manusia
adalah usaha untuk memodifikasi situasi untuk mencapai kepuasan yang setinggi-
tingginya. Adapun garis kepuasan berada pada pemenuhan kebutuhan yang
tergenerasasi secara terus menerus (akhirnya membentuk diferensiasi kebutuhan)
yang mendapat penguatan (reinforcement).
Pengalaman masa kecilpun akan sangat penting dalam perkembangan hierarki
kebutuhan, meskipun hierarki itu terus menerus mendapat revisi sepanjang
hidupnya. Interaksi terhadap lingkungan juga akan menempatkan hierarki kebutuhan
itu ada yang diperkuat, dipelajari baru, dilemahkan, dan dihapus, hingga individu
berada pada kemasakan dan mampu menempatkan self-reinforcement menjadi
reinforcement yang paling kuat.
4
1. Pemusatan konseling yang berpusat pada tingkah laku yang tampak dan khusus,
yaitu proses konseling merupakan pendekatan induktif yang menerapkan metode
eksperimen dalam proses terapeutik. Hal utama yang mesti dilakukan adalah
menyaring dan memisahkan tingkah laku yang bermasalah itu dan membatasi
secara khusus perubahan apa yang dikehendaki. Deskripsi umum yang samar-
samar tentang tingkah laku tidak bermanfaat untuk dijadikan titik berangkat dari
konseling dan tidak dapat dijadikan pembatas.
Untuk sampai pada tataran ini, fungsi dan peranan konselor dalam
konseling adalah bersifat aktif dan direktif dalam treatment. Konselor juga berada
pada posisi sebagai model (memberi penguatan verbal dan non verbal), guru,
dan ahli diagnosa yang akan diamati langsung oleh klien. Krasmer (Corey, 2007
hal 202) menyatakan bahwa terapis/konselor dalam pendekatan ini merupakan
“Mesin Perkuatan” yang kehadirannya memasok perkuatan yang akan
digeneralisasikan klien disetiap kesempatan dalam situasi terapi. Perkuatan yang
diberikan konselor sebagai model juga akan menjangkau situasi-situasi di luar
proses konseling, dimana ganjaran, minat, keprihatinan akan diperlukan bagi
klien yang belum mendapat perkuatan lain dari orang lain maupun dari
lingkungannya.
2. Tujuan terapeutik yang tepat, yaitu perumusan pernyataan yang khusus
mengenai tujuan pribadi yang ingin dicapai. Tujuan ini mencakup aspek perilaku
kongkrit dan spesifik yang bermasalah dan keterampilan baru yang ingin
dipelajari, serta berorientasi kepada tingkah laku yang dapat diukur. Semakin
spesifik tujuan yang ingin dicapai, maka semakin mudah proses konseling
dilangsungkan (tujuan bermuara pada ciri-ciri terapi).
Tujuan konseling menduduki tempat yang sangat penting dan ditentukan
oleh konselor dan klien sejak permulaan proses konseling. Tujuan umum adalah
menciptakan kondisi-kondisi baru bagi belajar (semua perilaku dipelajari),
mambantu menolong diri sendiri (self-help), peningkatan keterampilan sosial, dan
tujuan membantu klien dalam mengembangkan suatu sistem pengaturan diri
(self-management), sehingga klien dapat mengontrol nasibnya (self-control) baik
di dalam maupun diluar situasi konseling.
Krumboltz (Hansen, 1977) memberikan karakteristik tujuan konseling yang
patut diperhatikan konselor yaitu: (1) Tujuan harus diinginkan klien, (2) Konselor
5
harus berkeinginan membantu klien, (3) Tujuan memungkinkan untuk dinilai
pencapaiannya oleh klien, (4) Tujuan memperbaiki perilaku salah suai, belajar
tentang proses pembuatan keputusan, dan pencegahan timbulnya masalah.
3. Perumusan rancangan kegiatan dan metode-metode yang berorientasi tindakan,
yaitu tujuan-tujuan khusus yang ingin diubah klien akan dijadikan bahan
informasi untuk dalam merumuskan rancangan kegiatan bantuan (treatment).
Bersama klien, konselor selanjutnya membuat rancangan tindakan (treatment)
yang spesifik, nyata, dan terukur. Strategi yang dapat digunakan dapat berupa
pemberian contoh, latihan, pekerjaan rumah, dan sebagainya.
Dalam khasanah pendekatan ini, klien dituntut untuk berpartisipasi dan
aktif dalam usaha perumusan tindakan dan treatment. Motivasi untuk berubah,
mau bekerja sama, dan kesediaan melakukan treatment, serta keberanian
mengambil resiko adalah hal penting yang patut muncul dalam pendekatan ini.
Marquis (Corey, 2007:205) menguraikan tiga fase yang dapat melibatkan
partisipasi klien dalam perumusan tindakan yaitu (1) tingkah laku klien sekarang
dianalisis dan pemahaman yang jelas menjangkau tingkah laku akhir, dengan
partisipasi aktif klien dalam setiap bagian dari proses pemasangan tujuan, (2)
eksplorasi cara-cara alternatif yang bisa diambil klien dalam upaya mencapai
tujuan, (3) suatu program treatment direncanakan dari tahap yang paling
sederhana sampai pada tahap akhir yang diinginkan terwujud. Hal penting lain
dalam upaya mengetengahkan partisipasi sekaligus menanamkan atmosfir
kepercayaan klien adalah terletak pada hubungan personal konselor terhadap
klien yang ditandai oleh sikap penerimaan, antusiastik, permisif, acceptance,
empaty, dan keaslian yang dimunculkan konselor dalam hubungan konseling
sejak mula sampai akhir konseling. Agaknya, seorang konselor hendaknya dapat
memaksimalkan semua asas-asas dalam konseling.
4. Penilaian yang objektif terhadap hasil dan balikan, yaitu hasil konseling
handaknya dapat dinilai secara objektif, meliputi keberhasilan sasaran tingkah
laku, ketepatan rumusan perlakuan, dan keefektifan prosedur yang digunakan,
serta pemberian balikan kepada klien secara terus menerus juga merupakan
bagian penting dalam pendekatan ini.
6
D. PRINSIP-PRINSIP BELAJAR DALAM KONSELING
Prinsip belajar yang ingin dibangun dan dijadikan dasar pijakan dari
keberlangsungan konseling dikategorikan dalam tiga bentuk yaitu :
1. Classical Conditioning (Pavlov dan Watson), yang memusatkan perhatiannya
pada pengawal tingkah laku. Ia dapat dikatakan sebagai respondent conditioning,
dan sebab pengawal (antecedent) merupakan stimulus. Pusat perhatian dari
conditioning ini pada stimulus yang menimbulkan respon reflektif.
2. Operant Conditioning (Skinner) yang memusatkan perhatiannya pada akibat dari
tingkah laku. Kejadian yang mengawali dipandang sebagai cues, yang
memberikan informasi prediktif tentang datangnya akibat (concequences).
Perubahan tingkah laku merupakan hasil alternasi concequences, dan tingkah
laku yang paling berarti adalah tingkah laku yang dikontrol oleh akibat-akibat.
3. Sosial Learning (Mischel, Bandura), yang disebut juga sebagai belajar
observasional, modeling, atau imitative. Konsep ini merupakan pandangan
integratif dan menganggap lingkungan internal dan eksternal saling
mempengaruhi. Kejadian-kejadian belajar muncul sebagai hasil interaksi
ketergantungan kedua lingkungan tersebut. Menurut Mischel, tingkah laku
dipengaruhi oleh lima variabel yaitu kompetensi, strategi dan susunan pribadi,
harapan-harapan hasil, nilai stimulus, dan sistem dan rencana pengaturan diri.
Berdasarkan ketiga komponen di atas, lahir pula konsep tentang komponen-
komponen belajar yang merupakan dasar untuk memahami bagaimana klien belajar
bertingkah laku, sekaligus mempersembahkan strategi-strategi teknik (pendekatan)
untuk membantu klien belajar tingkah laku baru. Komponen yang dimaksud adalah :
a) Reinforcement, yaitu pemberian penguatan yang menunjukkan proses belajar
dimana akibat yang menyertai tingkah laku menjadi meningkat.
b) Punishment, yaitu penampakan akibat yang dipandang sebagai penghapusan
kejadian dan dirasakan memuaskan. Hasil ini bertolak belakang dengan
reinforcement.
c) Extinction, yaitu berakhirnya pengaruh reinforcement bagi sebuah penampilan
respon. Ia merupakan prosedur yang didalamnya concequnce tidak tersedia
untuk mengikuti respon.
d) Generalization, yakni pemakaian respon yang dipelajari dalam kaitannya dengan
situasi stimulus, untuk merespon stimulus lain. Semakin mirip kedua stimulus,
7
maka semakin besar pula kemungkinan terjadinya pengulangan respon.
Generalisasi pada event positif akan menguntungkan, begitupun sebaliknya.
e) Discrimination, yaitu kemampuan individu membedakan dua stimulus yang mirip.
Ia dikembangkan melalui proses membedakan reinforcement secara cermat, dan
sangat tergantung pada seberapa penting situasi itu harus dibedakan individu
(kebalikan dari generalization).
f) Shaping, yaitu pergerakan tingkah laku yang sederhana menuju ketingkah laku
yang kompleks. Proses shaping hendaknya diawali oleh pembelajaran terhadap
komponen sebagaimana tersebut di atas.
g) Vicarious Process, yakni pengamatan terhadap aspek-aspek belajar yang
dicermati.
8
dalam terapi tingkah laku. Desensitisasi sistematik digunakan untuk menghapus
tingkah laku yang negatif, dan menyertakan pemunculan tingkah laku atau respon
yang berlawanan dengan tingkah laku yang akan dihapus.
Desensitisasi sistematik melibatkan teknik-teknik relaksasi. Klien dilatih untuk
santai dan mengasosiasikan keadaan santai dalam menghadapi kecemasan yang
sedang dihadapi.
Desensitisasi sistematik merupakan teknik yang cocok untuk menangani
masalah ketakutan yang berlebihan (phobia), tetapi keliru bila menganggap teknik
ini hanya bisa diterapkan pada penanganan masalah-masalah ketakutan.
Desensitisasi juga dapat diterapkan secara efektif pada berbagai situasi penghasil
kecemasan, mencakup situasi interpersonal, ketakutan menghadapi ujian,
ketakutan-ketakutan yang digeneralisasi, kecemasan-kecemasan neurotik, serta
impotensi dan frigiditas seksual.
Namun, bukan berarti desensitisasi sistematik tidak dapat mengalami
kegagalan. Adapun 3 (tiga) penyebab kegagalan dalam pelaksanaan
desensitisasi sistematik, yaitu :
a. Kesulitan-kesulitan dalam relaksasi yang terjadi karena kesulitan dalam
komunikasi antara konselor dan klien, atau karena keterhambatan yang
ekstrim yang dialami oleh klien
b. Tingkatan-tingkatan yang menyesatkan atau tidak relevan, yang ada
kemungkinan melibatkan penanganan tingkatan yang keliru.
c. Ketidakmampuan dalam membayangkan.
3. Latihan Asertif
Pendekatan behavioral yang dengan cepat mencapai popularitas adalah latihan
asertif, yang bisa diterapkan terutama pada situasi interpersonal, dimana individu
mengalami kesulitan untuk menerima kenyataan bahwa menyatakan atau
menegaskan diri adalah tindakan yang layak dan benar. Latihan asertif akan
membantu bagi orang-orang yang :
a. Tidak mampu mengungkapkan kemarahan atau perasaan tersinggung
b. Menunjukkan kesopanan yang berlebihan dan selalu mendorong orang lain
untuk mendahuluinya
c. Memiliki kesulitan untuk mengatakan tidak
9
d. Mengalami kesulitan untuk mengungkapkan afeksi dan respon-respon
positif lainnya
e. Merasa tidak memiliki perasaan-perasaan dan pemikiran-pemikiran sendiri.
4. Terapi Aversi
Teknik-teknik pengondisian aversi, telah digunakan secara luas untuk
meredakan gangguan-gangguan behavioral yang spesifik, melibatkan
pengasosiasian tingkah laku simtomatik dengan suatu stimulus yang
menyakitkan sampai tingkah laku yang tidak diinginkan terhambat
kemunculannya. Stimulus-stimulus aversi biasanya berupa hukuman dengan
kejutan listrik atau pemberian ramuan yang menyebabkan mual. Kendali aversi
bisa melibatkan penarikan penguat positif atau pengguanaan berbagai bentuk
hukuman.
Teknik-teknik aversi merupakan metode yang paling kontroversial yang
dimiliki oleh para behavioris meskipun digunakan secara luas sebagai metode-
metode untuk membawa orang-orang kepada tingkah laku yang diinginkan.
Skinner (1948,1971) adalah salah seorang tokoh yang menentang penggunaan
hukuman sebagai cara untuk mengendalikan hubungan-hubungan manusia
ataupun untuk mencapai maksud-maksud lembaga-lembaga kemasyarakatan.
Menurut Skinner, perkuatan positif jauh lebih efektif dalam mengendalikan
tingkah laku karena hasil-hasilnya lebih bisa diramalkan serta kemungkinan
munculnya tingkah laku yang tidak diinginkan akan lebih kecil.
Apabila hukuman yang digunakan, maka terdapat kemungkinan terbentuknya
efek-efek samping emosional tambahan, yaitu :
a. Tingkah laku yang tidak diinginkan boleh jadi akan ditekan hanya apabila
penghukum hadir
b. Jika tidak ada tingkah laku yang menjadi altenatif bagi tingkah laku yang
dihukum maka individu ada kemungkinan menarik diri secara berlebihan
c. Pengaruh hukuman boleh jadi digeneralisasikan kepada tingkah laku lain
10
yang berkaitan dengan tingkah laku yang dihukum. Jadi, seorang anak yang
dihukum karena kegagalannya di sekolah boleh jadi akan membenci semua
pelajaran, sekolah, semua guru, dan barangkali bahan membenci belajar
pada umumnya.
5. Pembentukan Respon
Dalam pembentukan respon, tingkah laku sekarang secara bertahap diubah
dengan memperkuat unsur-unsur kecil dari tingkah laku baru yang diinginkan
secara berturut-turut sampai mendekati tingkah laku akhir yang diinginkan.
6. Penghapusan
Penghapusan adalah salah satu cara (teknik) tingkah laku dengan cara
menghapus tingkah laku yang maladaptif itu. Contohnya, seorang anak yang
belajar bahwa dengan dia mengomel biasanya akan memperoleh apa yang
diinginkan, mungkin akan memperhebat omelannya ketika permintaannya tidak
segera dipenuhi. Jadi, kesabaran menghadapi periode peralihan amat diperlukan.
7. Pencontohan
Penggunaan model dalam konseling ini bertujuan untuk mempelajari tingkah
laku baru dengan mengamati model dan mempelajari keterampilannya. Teknik ini
juga diperuntukkan bagi klien yang telah memiliki pengetahuan tentang
penampilan tingkah laku tetapi belum dapat menampilkannya. Proses terapeutik
dalam bentuk Modelling ini akan membantu/mempengaruhi tingkah laku yang
lemah atau memperkuat tingkah laku yang siap dipelajari dan memperlancar
respon. Teknik konseling Modelling ini dapat berupa :
a) Proses Mediasi, yaitu proses terapeutik yang memungkinkan penyimpanan dan
recall asosiasi antara stimulus dan respon dalam ingatan. Dalam prosesnya,
mediasi melibatkan empat aspek yaitu atensi, retensi, reproduksi motorik, dan
insentif. Atensi pada respon model akan diretensi dalam bentuk simbolik dan
diterjemahkan kembali dalam bentuk tingkah laku (reproduksi motorik) yang
insentif.
b) Live Model dan Symbolic Model, yaitu model hidup yang diperoleh klien dari
konselor atau orang lain dalam bentuk tingkah laku yang sesuai, pengaruh sikap,
dan nilai-nilai keahlian kemasyarakatan. Keberadaan konselor pun dalam
keseluruhan proses konseling akan membawa pengaruh langsung (live model)
11
baik dalam sikap yang hangat maupun dalam sikap yang dingin. Sedangkan
symbolic model dapat ditunjukkan melalui film, video, dan media rekaman
lainnya.
c) Behavior Rehearsal, yaitu latihan tingkah laku dalam bentuk gladi dengan cara
melakukan atau menampilkan perilaku yang mirip dengan keadaan sebenarnya.
Bagi klien teknik ini sekaligus dapat dijadikan refleksi, koreksi, dan balikan yang
ia peroleh dari konselor dalam upaya mengetahui apa yang seharusnya ia
lakukan dan ia katakana.
d) Cognitive Restructuring, yaitu proses menemukan dan menilai kognisi
seseorang, memahami dampak negatif pemikiran tertentu terhadap tingkah laku,
dan belajar mengganti kognisi tersebut dengan pemikiran yang lebih realistic dan
lebih cocok. Teknik ini dapat dilakukan dengan memberikan informasi yang
korektif, belajar mengendalikan pemikiran sendiri, menghilangkan keyakinan
irrasional, dan menandai kembali diri sendiri.
e) Covert Reinforcement, yaitu teknik yang memakai imajinasi untuk menghadiahi
diri sendiri. Teknik ini dapat dilangsungkan dengan meminta klien untuk
memasangkan antara tingkah laku yang tidak dikehendaki dengan sesuatu yang
sangat negatif, dan memasangkan imajinasi sesuatu yang dikehendaki dengan
imajinasi sesuatu yang ekstrim positif
F. TAHAP-TAHAP KONSELING
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, kondisi pengubahan dari
pelaksanaan konseling behavioral adalah berorientasi pada pemusatan tingkah
laku, tujuan terapuetik, perumusan rancangan dan penetapan metode, serta
penilaian. Atas konsep ini, maka tahap-tahap yang dapat dilangsungkan konselor
dalam pelaksanaan konseling adalah sebagai berikut :
1. Assasement ; yaitu tahap untuk mendapatkan informasi yang akan
menggambarkan masalah yang dihadapi, sekaligus akan menjadi pedoman
dalam menyusun strategi pemberian bantuan. Informasi-informasi yang
dimaksud dapat berupa aktifitas nyata, perasaan, nilai-nilai, dan pikiran klien.
Kanfer dan Saslow memberikan gambaran tentang kelayakan informasi yang
semestinya dapat digali pada tahap ini adalah berkenaan dengan :
- Analisis tingkah laku khusus yang bermasalah
12
- Analisis situasi yang didalamnya masalah klien terjadi
- Analisis motivasional yang berkenaan dengan hal-hal yang menarik dalam
kehidupan klien
- Analisis self-control berkenaan dengan tingkatan kontrol diri klien terhadap
tingkah laku bermasalah
- Analisis hubungan sosial berkenaan dengan orang-orang lain yang terkait
dekat dengan klien
- Analisis lingkungan fisik-sosial-budaya berkenaan dengan norma-norma dan
keterbatasan-keterbatasan lingkungan.
13
G. TEKNIK SPESIFIK DALAM KONSELING BEHAVIORISME
Konselor dank lien menyetujui tindakan Konselor dank lien menyetujui terhadap
mana yang akan dicoba pertama kali evaluasi kemajuan pencapaian tujuan
14
KONSELING PSIKOANALISIS
15
sebagai sumber libido atau tenaga hidup dan energi serta merupakan sumber
dari dorongan dan keinginan dasar untuk hidup dan mati.libido,
b. Ego berbeda dengan id yang bekerja hanya untuk memuaskan kebutuhan
naluriah, ego bertindak sebaliknya. Ego berperan menghadapi realitas hidup
dan berasal dari kebudayaan dan norma-norma yang berlaku di masyarakat.
Prinsip kerjanya selalu bertentangan dengan id.
c. Superego, terbentuk dari nilai-nilai yang terdapatdalam keluarga dan
masyarakat yang dipelajari disepanjang tahun-tahun pertama hidup manusia.
Superego bekerja berdasarkan prinsip moral yang orientasinya bukan
kesenangan tetapi pada kesempurnaan kepribadian.
16
proses arti proses kepada konseli agar mendapatkan pemahaman terhadap
masalahnya sendiri, mengalami peningkatan kesadaran atas cara-cara
berubah, sehingga konseli mampu mendaptakan kendali yang lebih rasional
atas hidupnya sendiri.
5. FUNGSI KONSELOR
a. Berusaha membantu klien dalam mencapai kesadaran diri, kejujuran,
keefektifan dalam melakukan hubungan personal
b. lMenangani kecemasan secara realistis
c. Memperoleh kendali atas tingkah laku yang implisit dan irasional
d. Mendorong pemindahan perasaan
c. Kontratransferensi
Yaitu kondisi dimana konselor mengembangkan pandangan-
pandangan yang tidak selaras dan berasal dari konflik-konfliknya sendiri.
Kontratransferensi bisa terdiri dari perasaan tidak suka, atau justru
keterikatan atau keterlibatan yang berlebihan, kondisi ini dapat
menghambat kemajuan proses konseling karena konselor akan lebih
terfokus pada masalahnya sendiri. Konselor harus menyadari
perasaaannya terhadap klien dan mencegah pengaruhnya yang bisa
merusak. Konselor diharapkan untuk bersikap relatif obyektif dalam
menerima kemarahan, cinta, bujukan, kritik, dan emosi-emosi kuat lainnya
dari konseli.
17
7. Tahap Konseling
Pertama-tama konselor harus membuat suatu hubungan kerjasama
dengan klien dan kemudian melakukan serangkaian kegiatan mendengarkan
dan menafsirkan. Konselor memberikan perhatian kepada resistensi atau
penolakan klien. Sementara klien berbicara, konselor mendengarkan dan
memberikan penafsiran yang memadai fungsinya adalah pempercepat proses
penyadaran hal-hal yang tersimapan dalam ketidaksadaran.
Menata proses teraputik yang demikian dalam konteks pemahaman
struktur kepribadian dan psikodinamika memungkinkan konselor merumuskan
masalah klient secara yang sesungguhnya. Sebab satu fungsi sentral
konselor adalah mengajar klient mengenal makna proses ini sehingga klient
dapat memperoleh tilikan terhadap masalahnya, peningkatan kesadarannya
terhadap cara-cara mengubah dan mendapatkan kontrol yang lebih rasional
terhadap hidupnya.
Klient harus ada kemauan untuk menyanggupi dirinya sendiri untuk
melakukan proses terapi dalam jangka panjang. Setiap pertemuan biasanya
berlangsung satu jam. Setelah beberapa pertemuan tatap muka dengan
konselor, klient kemudian melakukan kegiatan asosiasi bebas, yaitu klient
mengatakan apa saja yang terlintas dalam pikiranya. Proses asosiasi bebas
ini dikenal sebagai aturan yang fundamental dalam psikoanalisa.
Selama terapi, klient maju melalui tahapan-tahapan tertentu yaitu:
pengembangan suatu hubungan dengan analisis, mengalami krisis
penyembuhan, mendapatkan tilikan terhadap pengalaman masa lampau yang
tidak disadari, pengembangan resistensi untuk memahami diri sendiri,
pengembangan hubungan transparansi dengan konselor, bekerja dengan hal-
hal yang resistensi dan tertutup, dan mengakhiri terapi.
20
konsep menjadi diri atau pertumbuhan perwujudan diri. Dikatakan bahwa konsep
atau struktur diri dipandang sebagai konfigurasi persepsi yang terorganisasikan
tentang diri yang membawa kesadaran. Hal itu terdiri dari atas unsur-unsur
persepsi terhadap karakteristik dan kecakapan seseorang, pengamatan dan
konsep diri dalam hubungan dengan orang lain dan lingkungan dan cita-cita yang
dipandang mempunyai kekuatan positif dan negatif.
Rogers membangun teorinya ini berdasarkan penelitian dan observasi
langsung terhadap peristiwa-peristiwa nyata, dimana pada akhirnya ia
memandang bahwa manusia pada hakekatnya adalah baik. Menurut Sayekti
(1997), ada beberapa konsepsi Rogers tentang hakekat manusia adalah:
a. Manusia tumbuh melalui pengalamannya, baik melalui perasaan, berfikir,
kesadaran ataupun penemuan.
b. Hidup adalah kehidupan saat ini dan lebih dari pada perilaku- perilaku otomatik
yang ditentukan oleh kejadiankejadian masa lalu, nilai-nilai kehidupan adalah
saat ini dari pada masa lalu, atau yang akan datang.
c. Manusia adalah makhluk subyektif, secara esensial manusia hidup dalam
pribadinya sendiri dalam dunia subjektif.
d. Keakraban hubungan manusia merupakan salah satu cara seseorang paling
banyak memenuhi kebutuhannya.
e. Pada umumnya setiap manusia memiliki kebutuhankebutuhan untuk bebas,
spontan,
f. Bersama-sama dan saling berkomunikasi. (6) Manusia memiliki kecenderungan
ke arah aktualisasi, yaitu tendensi yang melekat pada organisme untuk
mengembangkan keseluruhan kemampuannya dalam cara memberi
pemeliharaan dan mempertinggi aktualisasi diri.
Manusia dalam pandangan Rogers menurut Hidayat (2011) adalah:
a. ia memandang manusia terisolasi dan bergerak ke depan, berjuang untuk
berfungsi penuh, serta memiliki kebaikan. Manusia pada dasarnya dapat
dipercayai, kooperatif, dan konstruktif, tidak perlu melakukan pengendalian
terhadap dorongan-dorongan agresif yang dimilikinya.
b. manusia juga memiliki kemampuan menentukan nasibnya sendiri, dapat
dipercaya dan mengejar kesempurnaan diri. Asumsinya Rogers tentang
manusia adalah bahwa manusia itu bebas, rasional, utuh, mudah berubah,
subjektif, proaktif, tetapi heterostatis dan sulit dipahami.
c. Rogers percaya dan optimis dengan sifat alami manusia. Dorongan paling
besar pada manusia adalah aktualisasi diri yaitu memelihara, menegakkan,
21
mempertahankan diri dan meningkatkan diri dengan memberikan kesempatan
terhadap individu untuk berkembang dalam gerak maju dan memiliki cara
untuk menyesuaikan diri
22
konseling merasakan kperasaannya.
23
KONSELING RASIONAL EMOTIF (RET)
25
3. Tercipta dan terpeliharanya hubungan baik ini dipergunakan oleh konselor
untuk membantu klien mengubah cara berfikirnya yang tidak rasional menjadi
rasional.
4. Dalam proses hubungan konseling, konselor tidak banyak menelusuri masa
lampau klien.
26
jelas dalam langkah konseling sebagai berikut:
a. Langkah Pertama : Dalam Langkah ini konselor berusaha menunjukkan
kepada klien bahwa masalah yang dihadapinya berkaitan dengan
keyakinannya yang tidak rasional.
b. Langkah Kedua : Peranan Konselor adalah menyadarkan klien bahwa
pemecahan masalah yang dihadapinya merupakan tanggung jawab sendiri.
c. Langkah Ketiga : Konselor berperan mangajak klien menghilangkan cara
berpikirdan gagasan yang tidak rasional.
d. Langkah keempat : Peranan konselor adalah mengembangkan pandangan –
pandangan yang realistis dan menghindarkan diri dari keyakinan yang tidak
rasional.
27
2. Teknik-Teknik Emotif
Teknik-teknik emotif adalah teknik yang digunakan untuk mengubah emosi
klien. Antara teknik yang sering digunakan ialah:
a. Teknik Sosiodrama
Memberi peluang mengekspresikan berbagai perasaan yang menekan klien
itu melalui suasana yang didramatisasikan sehingga klien dapat secara
bebas mengungkapkan dirinya sendiri secara lisan, tulisan atau melalui
gerakan dramatis.
b. Teknik Self Modelling
Digunakan dengan meminta klien berjanji dengan konselor untuk
menghilangkan perasaan yang menimpanya. Dia diminta taat setia pada
janjinya.
c. Teknik Assertive Training
d. Digunakan untuk melatih, mendorong dan membiasakan klien dengan pola
perilaku tertentu yang diinginkannya.
3. Teknik-Teknik Behaviouristik
Terapi Rasional Emotif banyak menggunakan teknik behavioristik terutama
dalam hal upaya modifikasi perilaku negatif klien, dengan mengubah akar-
akar keyakinannya yang tidak rasional dan tidak logis, beberapa teknik yang
tergolong behavioristik adalah:
a. Teknik reinforcement
Teknik reinforcement (penguatan), yaitu: untuk mendorong klien ke arah
tingkah laku yang lebih rasional dan logis denagn jalan memberikan pujian
verbal (reward) ataupun hukuman (punishment). Teknik ini dimaksudkan
untuk membongkar sistem nilai-nilai dan keyakinan yang irasional pada klien
dan menggantinya dengan sistem nilai yang lebih positif.
b. Teknik social modeling (pemodelan sosial)
Teknik social modeling (pemodelan sosial), yaitu: teknik untuk membentuk
perilaku-perilaku baru pada klien. Teknik ini dilakukan agar klien dapat hidup
dalam suatu model sosial ang diharapkan dengan cara mutasi (meniru),
mengobservasi dan menyesuaikan dirinya dan menginternalisasikan norma-
norma dalam sistem model sosial dengan maslah tertentu yang telah
disiapkan konselor.
c. Teknik live models
Teknik live models (mode kehidupan nyata), yaitu teknik yang digunakan
untuk menggambar perilaku-perilaku tertentu. Khususnya situasi-situasi
interpersonal yang kompleks dalam bentuk percakapanpercakapan sosial,
28
interaksi dengan memecahkan maslah-masalah.
29
dikembangkan juga memfokuskan pada aspek emosi klien dengan
mempelajari sumber-sumber gangguan emosional, sekaligus
membongkar akar-akar keyakinan yang keliru yang mendasari gangguan
tersebut.
4) Behavioristik, artinya bahwa hubungan konseling yang dikembangkan
hendaknya menyentuh dan mendorong terjadinya perubahan tingkah laku
klien.
2. Teknik-teknik Behavioristik
a. Reinforcement
Teknik untuk mendorong klien ke arah tingkah laku yang lebih rasional
dan logis dengan jalan memberikan pujian verbal (reward) ataupun hukuman
(punishment). eknik ini dimaksudkan untuk membongkar sistem nilai dan
keyakinan yang irrasional pada klien dan menggantinya dengan sistem nilai
30
yang positif.
Dengan memberikan reward ataupun punishment, maka klien akan
menginternalisasikan sistem nilai yang diharapkan kepadanya.
b. Social modeling
Teknik untuk membentuk tingkah laku-tingkah laku baru pada klien.
Teknik ini dilakukan agar klien dapat hidup dalam suatu model sosial yang
diharapkan dengan cara imitasi (meniru), mengobservasi, dan menyesuaikan
dirinya dan menginternalisasikan norma-norma dalam sistem model sosial
dengan masalah tertentu yang telah disiapkan oleh konselor.
3. Teknik-teknik Kognitif
a. Home work assigments,
Teknik yang dilaksanakan dalam bentuk tugas-tugas rumah untuk
melatih, membiasakan diri, dan menginternalisasikan sistem nilai tertentu
yang menuntut pola tingkah laku yang diharapkan.
Dengan tugas rumah yang diberikan, klien diharapkan dapat
mengurangi atau menghilangkan ide-ide dan perasaan-perasaan yang tidak
rasional dan tidak logis, mempelajari bahan-bahan tertentu yang ditugaskan
untuk mengubah aspek-aspek kognisinya yang keliru, mengadakan latihan-
latihan tertentu berdasarkan tugas yang diberikan
Pelaksanaan home work assigment yang diberikan konselor dilaporkan
oleh klien dalam suatu pertemuan tatap muka dengan konselor
Teknik ini dimaksudkan untuk membina dan mengembangkan sikap-
sikap tanggung jawab, kepercayaan pada diri sendiri serta kemampuan untuk
pengarahan diri, pengelolaan diri klien dan mengurangi ketergantungannya
kepada konselor.
b. Latihan assertive
Teknik untuk melatih keberanian klien dalam mengekspresikan tingkah
laku-tingkah laku tertentu yang diharapkan melalui bermain peran, latihan,
atau meniru model-model sosial.
Maksud utama teknik latihan asertif adalah : (a) mendorong
kemampuan klien mengekspresikan berbagai hal yang berhubungan dengan
31
emosinya; (b) membangkitkan kemampuan klien dalam mengungkapkan hak
asasinya sendiri tanpa menolak atau memusuhi hak asasi orang lain; (c)
mendorong klien untuk meningkatkan kepercayaan dan kemampuan diri; dan
(d) meningkatkan kemampuan untuk memilih tingkah laku-tingkah laku asertif
yang cocok untuk diri sendiri.
DAFTARPUSTAKA
Corey, Gerald. 2003. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung:
PT Refika Aditama
Susanto, Eko, 2011. Pendekatan Konseling Client Centeres.
Http.eko.13.wordpress.com. 11 Oktober 2018
Surya, Muhammad. 2003. Teori-Teori Konseling. Bandung: C.V. Pustaka Bani
Quraisy
Pujosuswanto, Sayekti. 2008. Berbagai Pendekatan dalam Konseling. Yogyakarta:
Menara Mas Offset
W.S. Winkel & M.M. Sri Hastuti. 2006. Bimbingan dan Konseling di Institusi
Pendidikan. Yogyakarta: MEDIA ABADI
Bernard.P, 1990 : Empat Teori Kepribadian. Restu Agung. Jakarta
Corey (alih bahasa : Koeswara), 2007 : Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi.
Refika Aditama. Bandung.
Gunarsa Singgih, 2003: Konseling dan Psikoterapi, BPK Gunung Mulia Jakarta
Latipun, 2001: Psikologi Konseling, Universitas Muhammadiyah Malang
Willis,S,Sofyan, 2004: Konseling Individual Teori dan Praktek, Alfabeta Bandung
Wuryani, Sri,E. 2005: Konseling dan Terapi Dengan Anak Dan Orang, Grasindo
Jakarta
32