Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

Health Action Process Approach (HAPA)

Tugas Ini disusun untuk Memenuhi Mata Kuliah Teori Perubahan Perilaku

Disusun Oleh :

Rizki Fajriani 101814153008


Dita Kartika Sasi 101814153016
Rahel Violin Kamisorei 101814153017
Dian Ratna Indarwati 101814153031

MINAT STUDI PROMOSI KESEHATAN DAN ILMU PERILAKU


PROGRAM STUDI MAGISTER KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2019

1
KATA PENGANTAR
Puji syukur dan terima kasih Kami panjatkan kehadiran Tuhan Yang Maha
Kuasa atas rahmat kasih dan karunia-Nya. Sehingga Kami dapat menyusun dan
menyelesaikan tugas yang telah diberikan kepada kami dengan baik.
Tugas pembuatan atau penyusunan makalah ini dapat menjadi bahan
tinjauan bagi perkembangan dan kreatifitas mahasiswa. Selain itu dengan adanya
hal ini juga dapat menumbuh kembangkan pengetahuan dan keterampilan
mahasiswa sendiri.
Kami sangat berterima kasih kepada dosen pembimbing. Selaku Dosen
Universitas Airlangga yang telah banyak membantu dan memberikan wawasan
guna penyelesaian tugas ini. Dan tidak lupa pada rekan-rekan yang banyak
memberi respon, saran, maupun kritikan, dari awal sampai akhir penyelesaian.
Untuk sekali lagi perkenankan kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada
semua pihak yang telah membantu sehingga tugas ini dapat terselesaikan dengan
baik.
Kami menyadari, bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari
sempurna. Oleh karena itu, kami sangat berlapang dada dan berbesar hati
menampung semua saran guna perbaikan dan penyempurnaan dalam penyusunan
makalah atau tugas selanjutnya. Semoga penyusunan makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua, khususnya bagi mahasiswa Universitas Airlangga.
Amin.
Surabaya, 18 November 2019

Penyusun

2
DAFTAR ISI

Halaman Judul
Kata Pengantar ................................................................................................. i
Daftar Isi ............................................................................................................ ii
Daftar Gambar .................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang ...................................................................................... 1


1.2 Rumusan Masalah ................................................................................. 1
1.3 Tujuan ................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Health Action Process Approach (HAPA) .......................................... 4
2.2 Keuntungan Health Action Process Approach (HAPA) ....................... 14
2.3Aplikasi Teori Health Action Process Approach dalam Perilaku
Kesehatan .............................................................................................. 15
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ........................................................................................... 19
3.2 Saran ..................................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA

3
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Teori Health Action Process Approach (HAPA) ................ 13

4
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kesehatan adalah hak asasi manusia dan sekaligus investasi untuk
keberhasilan pembangunan bangsa. Untuk pembangunan kesehatan diarahkan
untuk mencapai Indonesia Sehat, yaitu suatu keadaan setiap orang hidup
dalam lingkungan yang sehat, berperilaku hidup bersih dan sehat, mempunyai
akses terhadap pelayanan kesehatan serta memiliki derajat kesehatan yang
setinggi-tingginya. Upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat secara
tidak langsung akan meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
Pendekatan proses tindakan kesehatan (HAPA) ingin memprediksi,
menjelaskan, dan mengubah yang berhubungan dengan kesehatan perilaku.
Tujuan utamanya adalah untuk memeriksa struktur sebab akibat dari versi
kontinum dari HAPA (HAPA-C), dan, khususnya, untuk pertimbangkan
implikasi dari struktur ini untuk klaim bahwa teori ini membantu untuk
menjembatani kesenjangan niat-perilaku.
Perilaku kurang sadar atau bahkan mengabaikan menjaga kesehatan
dapat memicu timbulnya penyakit baik penyakit menular maupun penyakit
tidak menular dan dapat berefek ringan sampai berat bahkan menimbulkan
kematian. Penyakit tidak menular salah satunya adalah hipertensi atau
peningkatan tekanan darah. Peningkatan tekanan darah adalah penyebab
utama kematian di dunia dan penyebab utama kedua kecacatan setelah
kekurangan gizi anak). Hipertensi adalah faktor risiko penyebab gangguan
kesehatan lainnya, seperti penyakit arteri koroner, gagal ginjal, dan stroke.
Hipertensi yang tidak diobati juga dapat memengaruhi fungsi kognitif,
menyebabkan masalah dalam belajar, memori, perhatian, penalaran abstrak,
fleksibilitas mental, dan keterampilan kognitif lainnya. Permasalahan ini
muncul dan menjadi sangat signifikan pada hipertensi usia muda (Weidstein
et al. dalam Taylor, 1999).
Hipertensi memiliki beberapa faktor risiko yang dapat diidentifikasi
yaitu usia, genetik, pemulihan yang lambat terhadap dorongan simpatetik,

5
obesitas, kepribadian, dan psikososial. Faktor genetik berperan jika ada salah
satu atau kedua orang tua yang mengidap penyakit hipertensi, maka
keturunannya berisiko lebih besar terserang penyakit yang sama
dibandingkan orang lain yang tidak memiliki riwayat keluarga hipertensi. Jika
salah satu orang tua memiliki tekanan darah tinggi, keturunannya memiliki
45% kemungkinan mengalaminya. Terlebih lagi jika kedua orang tua
memiliki tekanan darah tinggi, kemungkinannya meningkat sampai 95%
(Taylor, 1999).
Proses pembentukan gaya hidup sehat pada mahasiswa ini dapat
dijelaskan melalui teori The Health Action Process Approach (HAPA), yaitu
model berbasis tahapan yang menspesifikkan dua fase berbeda yang harus
dilewati agar individu dapat mengadopsi, berinisiatif dan mempertahankan
perilaku pendukungnya (Albery & Munafo, 2011). HAPA memiliki dua fase,
yaitu fase motivasi dan fase tindakan. Teori HAPA menyebutkan bahwa
sebelum terbentuk perilaku menjalankan gaya hidup sehat, perlu terbentuknya
intensi untuk melakukan hal tersebut. Dalam fase motivasi, intensi muncul
didorong salah satunya oleh persepsi risiko yang dimiliki oleh mahasiswa
dengan riwayat keluarga hipertensi. Intensi perilaku hidup sehat merupakan
indikasi seberapa besar kesediaan mahasiswa untuk mencoba, berapa banyak
upaya yang mereka rencanakan untuk dikerahkan, untuk melakukan gaya
hidup sehat. Dalam fase tindakan, setelah mahasiswa memiliki intensi untuk
melakukan perilaku hidup sehat maka mereka akan menampilkan perilaku
hidup sehat (Morrison & Bennett, 2006). Hal tersebutlah yang
melatarbelakangi penyusunan makalah ini yang berjudul Health Action
Process Approach (HAPA).
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat dirumuskan masalah
adalah sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan teori Health Action Process Approach
(HAPA) ?
2. Apa keuntungan dari teori Health Action Process Approach (HAPA) ?

6
3. Bagaimana aplikasi teori Health Action Process Approach (HAPA) dalam
perilaku kesehatan ?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan teori Health Action Process
Approach (HAPA).
2. Untuk mengetahui keuntungan dari teori Health Action Process Approach
(HAPA).
3. Untuk mengetahui aplikasi teori Health Action Process Approach (HAPA)
dalam perilaku kesehatan.

7
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Health Action Process Approach (HAPA)


Health Action Process Approach (HAPA) merupakan teori psikologi
dari perubahan perilaku kesehatan. HAPA adalah pendekatan sosial kognisi
dari perilaku kesehatan yang menjelaskan perubahan perilaku kesehatan
(adopsi, inisiasi, dan pemeliharaan perilaku kesehatan) merupakan suatu
proses yang mencakup motivational phase (fase motivasi) dan volitional
phase (fase kehendak) (Schwarzer, et al.,2003). Teori yang dikembangkan
oleh Ralf Schwarzer pada tahun1992 menjelaskan bahwa terdapat dua model
untuk mengubah perilaku yang berhubungan dengan kesehatan berdasarkan
kepentingannya. Analisis dan prediksi perilaku dapat menggunakan the
continuum version yang terdiri dari dua fase yaitu motivational phase (risk
perception, outcome expectancies, action self efficacy dan volitional phase
(planning, maintenance self efficacy, recovery self efficacy). Intervensi dapat
menggunakan tahapan versi yang terdiri dari tiga tingkatan yaitu
preintentional, intentional, dan actional (Schwarzer,2014).
2.1.1 Motivational Phase
Schwarzer (2008) menyatakan bahwa individu mengembangkan
niat untuk mengadopsi perilaku pencegahan atau mengubah perilaku
yang berisiko terhadap kesehatan pada fase motivasi. Fase ini terdiri
dari 3 konstruk yaitu risk perception, outcome expectancies, dan action
self efficacy. Persepsi risiko (risk perception) dilihat sebagai anteseden
distal (distal antecedent). Misalnya, “saya berisiko menderita penyakit
kardiovaskular”. Seseorang biasanya mendahului dengan adanya
persepsi risiko (risk perception) yang cukup untuk membentuk niat
dalam diri seseorang. Hasil yang diharapkan (outcome experiences)
dapat bersifat ositifda menjadi variabel penting dalam tahap. Motivasi
karena merupakan keseimbangan pro-kontra dari hasil perilaku tertentu
dalam diri seseorang. Selain itu adanya kepercayaan terhadap

8
kemampuan diri (self efficacy) berbaur dengan hasil yang diharapkan
dapat bersifat positif akan memiliki kontribusi besar dalam
pembentukan niat (Schwarzer, 2014). Persepsi ini dinilai tidak cukup
untuk memotivasi individu dalam membentuk niatan untuk berperilaku.
Meskipun demikian konstruk Ini menentukan tahapan untuk proses
kontemplasi dan elaborasi pemikiran lebih lanjut tentang konsekuensi
(outcome expectancies) dan kompetensi (self efficacy).
Demikian pula, positive outcome expectancies merupakan
konstruk penting pada fase motivasi, terutama ketika individu
menyeimbangkan pro dan kontra dari behavioral outcome tertentu.
Misalnya,“jika saya berolahraga lima kali perminggu, maka risiko saya
terkena penyakit jantung akan menurun”. Selanjutnya, seorang individu
perlu percaya pada kemampuan dalam menampilkan perilaku yang
diinginkan (action self efficacy). Misalnya,“saya mampu mengikuti
jadwal olahraga saya meskipun terdapat godaan untuk menonton TV”.
Action self efficacy beroperasi bersamaan dengan positive outcomes
expectation dimana keduanya berkontribusi secara substansial untuk
membentuk sebuah niat (Schwarzer, 2008).
a. Risk Perception
Risk perception atau risk awareness merupakan level minimum
dari risiko atau ancaman yang dirasakan sehingga menentukan kuantitas
dan kualitas seseorang terhadap ancaman kesehatan. (Mullan, et
al.,2013). Konstruk ini cukup penting karena level minimum dari
ancaman harus ada sebelum individu mempertimbangkan manfaat dari
tindakan yang mungkin dilakukan dan kemampuan atau kompetensi
mereka untuk menampilkan tindakan (Namadian, et al.,2016).
Ancaman kesehatan yang dirasakan tampaknya merupakan prasyarat
yang jelas guna memotivasi seseorang untuk merubah perilakunya yang
berisiko terhadap kesehatan (Renner & Schupp,2011).
Apabila seseorang tidak memiliki kesadaran akan perilakunya
yang berisiko terhadap kesehatan, maka motivasi untuk adopsi perilaku

9
sehat tidak akan berkembang (Schwarzer, 2016). Risk perception
memiliki dua dimensi yaitu keparahan (severity) dan kerentanan
(vulnerability). Keparahan merupakan relevansi yang dirasakan
individu dari ancaman atau bahaya kesehatan yang mungkin terjadi,
sedangkan kerentanan merupakan kemungkinan yang dirasakan
individu untuk terkena dampak ancaman kesehatan. Kerentanan juga
dapat diartikan probabilitas subjektif bahwa individu dapat menjadi
korban dari ancaman kesehatan. Oleh karena itu, individu harus
diberitahu tentang adanya risiko atau ancaman kesehatan. Mereka harus
membayangkan bahwa dirinya dapat menjadi korban dari ancaman
kesehatan, jika tidak dilakukan tindakan pencegahan terhadap ancaman
kesehatan tersebut (Schwarzer,2016).
Meskipun demikian, temuan terbaru membuktikan bahwa
menciptakan perasaan takut pada individu guna perubahan perilaku
kesehatan tidaklah cukup efektif. Risk perception tampaknya dapat
bermanfaat untuk mengembangkan motivasi individu dalam
mengadopsi perilaku sehat. Namun, terdapat konstruk lain yang lebih
berpengaruh dalam proses pengaturan diri (self regulation) seperti
outcome expectancies, self efficacy, dan niat untuk berperilaku
(behavioral intention). Lebih lanjut, risk perception tidak cukup
memungkinkan individu untuk mengubah perilakunya (Schwarzer,
2016). Akan tetapi, risk perception merupakan anteseden distal yang
membantu untuk menstimulasi outcome expectancies yang selanjutnya
akan menstimulasi action self efficacy (Schwarzer,2008).
b. Outcome Expectancies
Outcome expectancies merupakan keyakinan subjektif tentang
hasil yang diharapkan individu dari perilaku tertentu yang dilakukannya
(Schwarzer, et al.,2003). Konstruk ini mengandung keyakinan tentang
sejauhmana perilaku tertetu akan menghasilkan konsekuensi tertentu
(Bandura, 1986). Seseorang tidak hanya perlu menyadariadanya risiko
atau ancaman kesehatan, namun mereka juga perlu mengetahui

10
bagaimana cara mengatur perilakunya dengan memahami kontingensi
antara perilakunya dan hasil atau konsekuensi dari perilakunya di masa
depan (Schwarzer, 2016). Outcome expectancies ini merupakan
keyakinan yang akan berpengaruh terhadap pembentukkan motivasi
individu untuk mengubah perilakunya (Bandura,1997).
Positive outcome expectancies merupakan konstruk penting
dalam fase motivasi karena merupakan keseimbangan antara pro dan
kontra dari hasil perilaku tertentu (Schwarzer, 2008).
Ketidakseimbangan antara pro dan kontra memangbukan faktor yang
mendorong secara langsung pada perubahan perilaku, namun keduanya
dapat berperan dalam memotivasi individu untuk berniat menghentikan
perilakunya yang berisiko terhadap kesehatan.
Pro dan kontra ini mewakili positive and negative outcome
expectancies dalam suatu pengambilan keputusan rasional (Schwarzer,
2016). Semakin banyak konsekuensi positif dan semakin sedikit
konsekuensi negatif, maka semakin besar kcenderungan seseorang akan
berniat untuk berperilaku sesuai dengan yang direkomendasikan.
Dengan demikian, outcome expectancies merupakan konstruk yang
cukup penting dan harus diimbangai dengan keyakinan atas
kemampuan diri sendiri untuk melakukan suatu perilaku. Gabungan
antara outcome expectancies danaction self efficacy akan berperan
penting pada pembentukkan niat seseorang (Schwarzer,2014).
c. Action Self Efficacy
Action self efficacy disebut juga preaction self eficacy atau task
self efficacy. Action self efficacy merupakan keyakinan pada
kemampuan individu untuk menampilkan perilaku tertentu (Schwarzer,
et al., 2003). Konstruk ini merupakan faktor motivasional yang paling
berpengaruh dan predictor kuat dari niat untuk berperilaku . Action self
efficacy mengacu pada fase pertama dari proses dimana seorang
individu belum bertindak, namun dirinya telah mengembangkan sebuah
motivasi untuk berperilaku.

11
Pada fase ini, seorang individu yang memiliki action self
efficacy yang tinggi akan membayangkan bahwa dirinya mampu
menampilkan perilaku yang diinginkan secara berhasil, mengantisipasi
hasil potensial dari strategi yang beragam, dan cenderung akan
mengadopsi perilaku baru. Sebaliknya, mereka yang memiliki action
self efficacy yang rendah akan membayangkan kegagalan dalam
mengadopsi perilaku yang diinginkan, memiliki keraguan diri, dan
cencerung untuk menunda pengadopsian perilaku baru
(Schwarzer,2008).
d. Behavioral Intention
Niat untuk berperilaku merupakan keinginan untuk melakukan
suatu perilaku tertentu (Schwarzer, 2008). Berkaitan dengan hal
tersebut, perubahan dalam perilaku kesehatan dapat dipengaruhi oleh
peluang dan hambatan, keputusan secara eksplisit, dan kejadian tidak
terduga. Dalam hal ini, ruang lingkup dari perubahan perilaku dibatasi
pada perubahan perilaku yang terjadi sesuai dengan niatan yang
dimiliki ketika seseorang termotivasi untuk mengubah cara hidup
mereka sebelumnya dan menetapkan tujuan untuk perilaku yang
berbeda (Schwarzer, 2016).
Konstruk ini tercantum dalam TRA (Theory of Reasoned
Action) yang diusulkan oleh Fishbein dan Ajzen (1975) untuk
memediasi antara sikap dan perilaku. Hal ini dikarenakan perilaku tidak
dapat diprediksi dengan baik oleh sikap sehingga muncul gagasan
“behavioral intention” sebagai mediator dan predictor proksimal yang
lebih baik dari berbagai perilaku. Sejak saat itu, terdapat konsensus
bahwa niat merupakan konstruk yang sangat diperlukan ketika harus
menjelaskan dan memprediksi sebuah perilaku (Schwarzer,2016).
Walaupun konstruk niat sangat diperlukan dalam memprediksi dan
menjelaskan perubahan perilaku kesehatan, akan tetapi nilai
prediktifnya cukup terbatas. Ketika seseorang berusaha untuk
menerjemahkan niat menjadi perilaku, mereka seringkali dihadapkan

12
berbagai hambatan seperti gangguan, lupa, atau bertentangan dengan
kebiasaan buruk. Apabila upaya perubahan perilaku tidak
dilengkapidengan sarana untuk mengatasi hambatan tersebut, maka
motivasi saja tidak cukup untuk mengubah perilaku.Guna menangani
keterbatasan ini, diperlukan konstruk lebih lanjut untuk membantu
memastikan penerjemahan niat menjadi perilaku (Schwarzer,2016).
2.1.2 Fase Volitional
Setelah seseorang mengembangkan kecenderungan menuju
perilaku sehat tertentu, maka niatbaik harus diubah menjadi instruksi
terperinci tentang bagaimana cara melakukan perilaku baru. Begitu
perubahan perilaku dimulai, maka perilaku tersebut harus dipelihara.
Hal ini tidak hanya dicapai melalui satu tindakan saja, melainkan harus
melibatkan keterampilan dan strategi pengaturan diri. Dengan
demikian, fase postintentional harus dipecah menjadi beberapa faktor
proksimal seperti planning, maintenance, and recovery self efficacy.
Sebagian besar model sosial kognitif tidak membahas faktor post
intentional secara eksplisit. Sebaliknya, Bandura menguraikan proses
preintentional and postintentional secara lebih detail, namun tidak
menggambarkan faktor postintentional tertentu dalam diagram model.
Berikut penjelasan lebih lanjut tentang konstruk yang berperan pada
fase volitional.
a. Maintenance Self Efficacy
Maintenance self efficacy disebut juga coping self efficacy.
Konstruk ini merefleksikan keyakinan seseorang akan
kemampuannya untuk mengantisipasi hambatan yang muncul saat
perencanaan dan selama masa pemeliharaan perilaku
(Schwarzer,2016). Perilaku kesehatan yang direkomendasikan
memiliki kemungkinan untuk sulit dicapai. Disisi lain, perilaku
yang baru diadopsi ternyata juga cukup sulit untuk dipatuhi. Oleh
karena itu, rasa percaya diri yang dimiliki seseorang diharapkan
mampu menghasilkan strategi dan ketekunan yang lebih baik dalam

13
mengatasi berbagai hambatan yang muncul. Dibandingkan dengan
mereka yang memiliki maintenance self efficacy rendah, seseorang
dengan maintenance self efficacy yang tinggi tentuakan
meresponnya dengan penuh percaya diri yaitu dengan menerapkan
lebih banyak strategi dan usaha, serta sikap gigih dan tidak mudah
menyerah untuk mengatasi berbagai hambatan yang ada
(Schwarzer,2008).
b. Recovery Self Efficacy
Recovery self efficacy merupakan kemampuan seseorang
untuk melakukan kontrol terhadap keyakinan diri dalam proses
upaya mengubah perilaku saat mengalami kegagalan atau
kemunduran (Schwarzer,2008). Recovery self efficacy berperan
untuk mengembalikan dan meningkatkan keyakinan diri seseorang
pada jalur perbaikan perilaku setelah terjadi relapse. Orang tersebut
harus percaya diri akan kemampuannya untuk mendapatkan
kembali kontrol setelah terjadi kemunduran (relapse) atau
kegagalan dan untuk mengurangi kerugian yang ditimbulkannya
(Marlatt, 2002).
Marlatt et al (1995), mengungkapkan bahwa terdapat
perbedaan antara action self efficacy, coping self efficacy ,and
recovery self efficacy dalam domain perilaku adiktif. Alasan
perbedaan antara beberapa fase spesifik self efficacy beliefs adalah
selama perubahan perilaku kesehatan,tugas yang berbeda harus
dikuasai sehingga diperlukan self efficacy beliefs yang berbeda
untuk menguasai tugas tersebut dengan berhasil (Schwarzer,2008).
Berkaitan dengan hal tersebut, action self efficacy cenderung
berperan dalam memprediksi niat. Sementara, maintenance self
efficacy cenderung memprediksi perilaku (Schwarzer,2016).
c. Action Planning and Coping Planning
Niatan kemungkinan besar akan diwujudkan dalam perilaku
ketika seseorang mengantisipasinya dengan perencanaan secara

14
terperinci, membayangkan keberhasilan perubahan perilaku,dan
mengembangkan strategi persiapan untuk menangani tugas yang
sulit termasuk berbagai hambatan yang menantang
(Schwarzer,2016).
1) Action Planning
Action planning mengacu pada bagaimana dan dalam
kondisi situasional seperti apa perilaku harus dilakukan
(Schwarzer,etal., 2003). Konstruk ini terkadang disebut when
where-how plan (Schwarzer,2016). Dalam hal ini, action
planning terdiri dari gagasan konkret tentang “kapan”,
“dimana”, dan “bagaimana” berperilaku. Perencanaan berperan
untuk meningkatkan adopsi dan pemeliharaan perilaku
kesehatan. Dengan demikian, action planning menjadi mediator
yang membantu menjembatani gap (kesenjangan) antara niat
dan perilaku (Schwarzer,2014).
Analisis meta telah merangkum temuan tentang
pengaruh niat implementasi untuk berperilaku sehat. Temuan
menunjukkan bahwa perencanaan tindakan yang dilaporkan
sendiri (selfreportedactionplanning) memediasi hubungan
antara niat dan aktivitas fisik dikalangan pelajar (Conner &
Norman,2005). Action planning lebih dari sekedar perluasan niat
karena konstruk tersebut mencakup parameter situasi spesifik
tertentu (“kapan”,“dimana”) dan urutan tindakan (“bagaimana”).
Konstruk ini dinilai lebih efektif dibandingkan dengan niat
ketika berkaitan dengan kemungkinan dan kecepatan dalam
menampilkan perilaku. Hal ini dikarenakan sebagian perilaku
mungkin akan muncul secara spontan ketika isyarat situasional
yang relevan ditemukan. Dalam hal ini, seseorang tidak
melupakan niat mereka untuk berperilaku ketika isyarat untuk
bertindak seperti dimana dan bagaimana cara menampilkan
perilaku telah ditentukan (Gollwitzer & Sheeran, 2006).

15
2) Coping Planning
Coping planning merupakan antisipasi hambatan dan
kemampuan mencari perilaku alternatif untuk mengatasinya
(Scholzetal., 2007; Sniehottaetal., 2005). Seseorang akan
membayangkan kemungkinan hambatan yang akan menghalangi
mereka untuk melakukan perilaku yang diinginkan dan
mengembangkan satu atau lebih rencana untuk mengatasi situasi
atau hambatan tersebut. Misalnya, “jika saya berencana untuk
lari pagi pada hari Minggu, namun cuacanya tidak mendukung,
maka saya akan lebih memilih untuk berenang”, atau “jika
malam ini ada program atau acara TV yang menarik sehingga
saya tidak mau melewatkannya, maka saya akan menjadwalkan
ulang latihan fisik saya pada sore hari”. Coping planning
mungkin merupakan strategi pengaturan diri yang lebih efektif
dibandingkan dengan action planning dimana sebagian dari
konstruk ini menyiratkan action planning. Setelah seseorang
mempertimbangkan (tahap kontemplasi) kapan, dimana, dan
bagaimana cara menampilkan perilaku, mereka akan
membayangkan hambatan yang mungkin akan dihadapi dan
mempersiapkan strategi coping planning. Perencanaan
merupakan konstruk yang dapat diubah.Hal ini dapat
dikomunikasikan dengan mudah kepada individu yang
mengalami defisit pengaturan diri sehingga konstruk ini
seringkali diaplikasikan dalam intervensi untuk mengubah
perilaku kesehatan. Banyak penelitian telah membuktikan
keberhasilan intervensi perencanaan (Schwarzer, 2016). Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa action planning and coping
planning merupakan konstruk proksimal yang lebih bermanfaat
pada fase volitional dan memiliki kemampuan prediktif
perubahan perilaku yang lebih baik (Ziegelmann & Lippke,
2007).

16
d. Action
Schwarzer (2014) menyatakan bahwa seseorang tidak
selalu berperilaku sesuai dengan niatan yang dimilikinya. Hal ini
dikarenakan niat merupakan keinginan individu untuk melakukan
tindakan, sementara action merupakan upaya seseorang untuk
mewujudkan niat menjadi tindakan dan upaya untuk menghadapi
hambatan yang muncul. Model HAPA menjelaskan bahwa tahap
action meliputi initiative, maintenance, dan recovery. Initiative
merupakan upaya yang dilakukan seseorang dalam memulai suatu
tindakan. Apabila menemukan suatu hambatan dalam melakukan
upaya tersebut, maka individu harus berupaya untuk
mempertahankan (maintenance) tindakan yang telah dilakukan.
Apabila individu tidak mampu mempertahankan tindakannya,
maka ia akan memiliki kemungkinan untuk mengalami
disengagement atau recovery sehingga akan kembali pada tujuan
awal.

Gambar 2.1 Teori HAPA


Sumber:(Schwarzer,R.,2008)

17
2.2 Keuntungan Teori HAPA
Sebagian besar teori yang digunakan untuk memprediksi dan
menjelaskan perilaku sehat terutama TRA-TPB (Theory of Reasoned Action-
Theory of Planned Behavior) dan HBM (Health Belief Model) tidak
mempertimbangkan fase postintentional yaitu ketika niat diterjemahkan ke
dalam tindakan atau perilaku. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa TRA-
TPB lebih baik digunakan untuk memprediksi niat dibandingkan dengan
perilaku. Hal ini menunjukkan keterbatasan utama dari TRA-TPB dimana
varians niat lebih diperhitungkan daripada varians perilaku. Sementara, HBM
lebih menekankan bahwa perubahan perilaku dipengaruhi oleh keyakinan
seseorang tentang seberapa parahnya penyakit dan kerentanan terhadap
penyakit. Meskipun demikian,fearappeals dapat memotivasi perubahan
perilaku kesehatan hanya jika dikombinasikan dengan instruksi spesifik
seperti kapan,dimana,dan bagaimana cara menampilkan perilaku sehat.
Segmen antara niatdan perilaku seringkali disebut“gap antara niat dan
perilaku ”(Sheeran,2002). Dalam hal ini,seseorang Seringkali tidak
berperilaku sesuai dengan niatan yang dimilikinya. Perbedaan antara niatdan
perilaku actualinidisebabkan oleh beberapa alasan. Misalnya, seorang
individu menyerah untuk mengubah perilakunya dikarenakan beberapa
hambatan atau godaan yang muncul. Oleh karena itu, pada fase
postintentional, niat perlu dilengkapi dengan faktor proksimal lainnya yang
dapat membantu individu untuk mengatasi hambatan dengan memfasilitasi
proses penerjemahan niat menuju perilaku actual. Sebaiknya, dalam
mengupayakan perubahan perilaku kesehatan,tidak hanya berfokus pada fase
motivasi untuk membentuk niat berperilaku, melainkan juga harus
berorientasi pada fase setelah terbentuknya niat (postintentional) yang lebih
menentukanterjadinyaperubahanperilaku. Model yang secara eksplisit
memasukkan faktor postintentional untuk menjembatani gap antara niat dan
perilaku actual adalah Health Action Process Approach (HAPA).
HAPA menjelaskan bahwa untuk memotivasi seseorang dalam
mengadopsi atau merubah perilakunya tidak hanya berfokus pada bagaimana

18
proses peningkatan motivasi untuk membentuk niat (behavioral intention)
yang merupakan predictor kuat dari perilaku, melainkan juga
mempertimbangkan bagaimana proses Penerjemahan niat menjadi perilaku,
serta pemeliharaan perilaku Sehat dari relapse yang mungkin terjadi. Model
ini mengasumsikan bahwa terdapat perbedaan antara fase motivasi
preintentional yang mengarah pada pembentukkan Niat untuk berperilaku
(behaviora lintention) dan fase volitional Postintentional yang mengarah
pada pembentukkan perilaku sehat actual. Setelah seorang individu
mengembangkan kecenderungan menuju perilaku sehat tertentu, maka
“niatbaik” ini harus diubah ke dalam intruksi atau isyarat terperinci tentang
bagaimana cara menampilkan perilaku yang diinginkan. Selanjutnya, ketika
perubahan perilaku sudah diadopsi, maka perilaku ini harus dipelihara dengan
melibatkan keterampilan dan strategi pengaturan diri. Beberapa faktor
postintentional dalam model HAPA meliputi maintenance selfefficacy dan
recovery selfefficacy (Luszczynska & Schwarzer, 2003; Scholzetal.,2005).
Selainitu, terdapat action planning dan coping planning (Lippke et al., 2004;
Sniehotta et al., 2005; Ziegelmannetal., 2006). Dengan demikian, HAPA
dapat memberikan model perilaku Kesehatan yang lebih lengkap dengan daya
prediksi perilaku yang Lebih baik di bandingkan dengan teori lainnya. HAPA
bukan saja menjelaskan bagaimana proses peningkatan motivasi untuk
pembentukan niat, tetapi juga menjelaskan bagaimana cara mempertahankan
perilaku kesehatan yang sudah terbentuk.
2.3 Aplikasi Teori Health Action Process Approach dalam Perilaku
Kesehatan

Model Health Action Process Approach Pada Perilaku Pencegahan


Hipertensi
Hipertensi adalah salah satu penyakit tidak menular yang masih
Menjadi krisis kesehatan masyarakat. Terdapat trend kenaikan penderita
hipertensi pada kelompok usia muda. Angka kejadian hipertensi pada
kelompok umur sebelum lansia (< 45 tahun) terus mengalami peningkatan
dari tahun ketahun.Tren peningkatan jumlah penderita hipertensi pada

19
kelompok umur sebelum lansia perlu diikuti dengan upaya kesehatan yang
bertujuan untuk menekan jumlah penderita hipertensi pada kelompok umur
tersebut dan mencegah komplikasi hipertensi pada umur lanjut. Salah satu
upaya yang dapat dilakukan adalah mengendalikan faktor risiko hipertensi.
Faktor risiko hipertensi terdiri dari faktor perilaku atau lifestyle, umur, jenis
kelamin, ras/etnis, genetik, stres, dan obesitas. Dari semua faktor risiko
tersebut, faktor perilaku atau lifestyle berkaitan erat dengan angka kesakitan
hipertensi pada kelompok umur muda. Upaya pengendalian faktor risiko
hipertensi dapat dilakukan Dengan modifikasi perilaku atau gaya hidup
sehat meliputi konsumsi Makanan bergizi seimbang (batasi konsumsi
makanan asin, berlemak, manis, perbanyak konsumsi sayur dan buah),
cukup aktivitas fisik, tidak merokok, dan kelola stres. Akan tetapi, dalam
mewujudkan perilaku pencegahan hipertensi tentunya tidaklah mudah.
Diperlukan suatu konsep yang dapat memotivasi individu dalam melakukan
perilaku pencegahan hipertensi. Penelitian Rahayu (2018) tentang Model
HAPA pada perilaku pencegahan hipertensi bertujuan untuk menganalisis
faktor yang mempengaruhi perilaku pencegahan hipertensi terutama pada
kelompok usia muda berbasis konsep HAPA. Perilaku pencegahan
hipertensi dalam penelitian bila dikaitkan dengan konsep HAPA meliputi
cek kesehatan secara rutin, diet makanan sehat, olahraga dan tidak merokok.
Berikut penjabaran konsep HAPAdalam studi kasus pencegahan hipertensi:
a. Risk perception
Merupakan persepsi seseorang tentang risiko penyakit hipertensi
bila tidak rutin cek kesehatan, dietmakanan tidak sehat, tidak rutin
olahraga dan merokok. Persepsi risiko mencakup persepsi kerentanan
yang terdiri dari persepsi kerentanan absolute dan relative dan persepsi
keparahan. Hasilnya adalah adanya persepsi responden bahwa penyakit
hipertensiakan bertambah parah apabila tidak rutin cek kesehatan, diet
makanan tidak sehat, tidak rutin olahraga dan merokok.
b. Outcome expectancie

20
Merupakan hasil yang diharapkan seseorang jika rutin cek
kesehatan, diet makanan sehat, olahraga rutin dan tidak merokok.
c. Actionself-efficacy
Merupakan keyakinan seseorang bahwa dirinya mampu cek
kesehatan secara rutin, diet makanan sehat, olahraga secara rutin dan
tidak merokok
d. Behavioral intention
Merupakan niat seseorang untuk cek kesehatan secara rutin, diet
makanan sehat, olahraga secara rutin dan tidak merokok.
e. Action Planning
Merupakan perencanaan seseorang untuk cek kesehatan secara
rutin,diet makanan sehat, olahraga secara rutin dan tidak merokok.
f. Coping Planning
Merupakan antisipasi seseorang jika terjadi hambatan untuk cek
kesehatan secara rutin, diet makanan sehat, olahraga secara rutin dan
tidak merokok.
g. Maintenance self-efficacy
Merupakan keyakinan seseorang akan kemampuannya untuk
mengatasi hambatan saat mempertahankan tindakan rutin cek kesehatan,
diet makanan sehat, olahraga secara rutin, dan tidak merokok.
h. Recovery self-efficacy
Merupakan keyakinan seseorang bahwa dirinya mampu
kembalimelakukan tindakan cek kesehatan secara rutin, diet makanan
sehat, olahraga secara rutin dan tidak merokok setelah mengalami
relapse.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, pada fase motivasional, niatan
seseorang untuk mencegah hipertensi (behavioral intention) dipengaruhi secara
langsung oleh dua faktor yaitu harapan respon dan tentang konsekuensi yang
akan diperoleh dimasadepan jika berperilaku mencegah hipertensi (outcome
expectancies) dan keyakinan responden untuk mampu mencegah
hipertensisecara berhasil (action self efficacy)

21
Persepsi risiko tidak mempengaruhi secara langsung niatan seseorang
untuk mencegah hipertensi. Namun, persepsi risiko mempengaruhi secara tidak
langsung niatan seseorang untuk mencegah hipertensi yang dimedias ioleh
harapan hasil dan keyakinan seseorang mampu mencegah hipertensisecara
berhasil.
Pada fase volitional atau post-intentional, niatan seseorang untuk
mencegah hipertensi dan keyakinan seseorang mampu Mempertahankan
perilaku pencegahan hipertensi (maintenance selfefficacy) mempengaruhi
secara langsung perencanaan untuk mencegah hipertensi (planning). Action
(perilaku pencegahan hipertensi) dipengaruhi secara langsung oleh dua faktor
yaitu planning dan keyakinan seseorang mampu kembali mencegah hipertensi
setelah mengalami kegagalan (recovery self efficacy).Sedangkan maintenance
self efficacy tidak berpengaruh secara langsung terhadap perilaku pencegahan
hipertensi.

22
BAB III
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas maka dapat ditarik kesimpulan
adalah sebagai berikut :
1. Health Action Process Approach (HAPA) merupakan teori
psikologi dari perubahan perilaku kesehatan. HAPA adalah
pendekatan sosial kognisi dari perilaku kesehatan yang
menjelaskan perubahan perilaku kesehatan (adopsi, inisiasi, dan
pemeliharaan perilaku kesehatan).
2. Keuntungan Health Action Process Approach (HAPA) yaitu
dapat memberikan model perilaku kesehatan yang lebih lengkap
dengan daya prediksi perilaku yang lebih baik, HAPA tidak hanya
menjelaskan proses peningkatan motivasi untuk pembentukan
niat, tetapi juga menjelaskan cara mempertahankan perilaku
kesehatan yang sudah terbentuk.
3. Perilaku pencegahan hipertensi dalam penelitian bila dikaitkan dengan
konsep HAPA meliputi cek kesehatan secara rutin, diet makanan sehat,
olahraga dan tidak merokok. Pada fase volitional atau post-intentional,
niatan seseorang untuk mencegah hipertensi dan keyakinan seseorang
mampu mempertahankan perilaku pencegahan hipertensi (maintenance
self efficacy) mempengaruhi secara langsung perencanaan untuk
mencegah hipertensi (planning). Action (perilaku pencegahan
hipertensi) dipengaruhi secara langsung oleh dua faktor yaitu planning
dan keyakinan seseorang mampu kembali mencegah hipertensi setelah
mengalami kegagalan (recovery self efficacy). Sedangkan maintenance
self efficacy tidak berpengaruh secara langsung terhadap perilaku
pencegahan hipertensi.
3.2 Saran
Adapun saran yang dapat diberikan dalam makalah ini yaitu
mahasiswa dapat mengimplementasikan teori Health Action Process
Approach (HAPA) sesuai dengan langkah-langkah yang tepat.

23
DAFTAR PUSTAKA

Albery, I. P. & Marcus, M. 2011. Psikologi Kesehatan Panduan Lengkap dan


Komprehensif Bagi Studi Psikologi Kesehatan.Cetakan I. Yogyakarta :
Palmall.

Morrison, V., & Bennett, P. 2006. An introduction to health psychology.London,


England: Pearson Education Limited.

Rahayu, Eka Oktaviani. 2018. Model Health Action Process Approach Pada
Perilaku Pencegahan Hipertensi. Thesis. Fakultas Kesehatan Masyarakat,
Universitas Airlangga.

Schwarzer, R. 2014. The health action process approach (HAPA). Diakses pada
Senin, 18 November 2019. Pukul 16.02 WIB. http://userpage.fu-
berlin.de/health/hapa.htm.

Schwarzer, R., 2008. Modeling Health Behavior Change : How to Predict and
Modify The Adoption and Maintenance of Health Behaviors. International
Association of Applied Psychology, Vol. 57, No.1, pp.1-29.

Schwarzer, R.,2016. Health Action Process Approach (HAPA) asa Theoretical


Framework to Understand Behavior Change. Actualida desen
Psicología,Vol.30,No.121,pp.119-130.

Schwarzer,R.& Renner, B., 2000. Social Cognitive Predictors of Health Behavior


:Action Self Efficacy and Coping Self Efficacy. Health
Psychology,Vol.5,pp.487-495.

Schwarzer,R., Sniehotta, F. F. , Lipke, S., Lusczynska, A., Scholz, U., Schuz,


B.,Wegner, M., Ziegelmann, J. P., 2003. On The Assessmentand Analysis
of Variables in The Health Action Process Approach: Conducting an
Investigation.

Taylor, S.E. 1999. Health Psychology fourth edition. Singapore: McGraw-Hill.

Weinstein, N. D. 2000. Perceived Probability, Perceived Severity, and Health-


Protective Behavior. Health Psychology, 19, 65-74.

24

Anda mungkin juga menyukai