Anda di halaman 1dari 19

BANK BERMASALAH DAN PENANGANANNYA

ANUGRAH SUDRAJAT NOVIANTO WIDYA UTAMA 155010107111136

MUHAMMAD DZAKY 165120507111031

ABRAHAM ASTRAL 175010101111075

ANDRE PRATAMA 175010101111084

YOHANA MARANATHA 175010101111123

DIMAS SURYA WARDHANA 175010107111026

ANDHIKA M. J. SIAGIAN 175010107111046

SAMUEL DANNI PARSAORAN SIDABUTAR 175010107111025

RAIDHAN RYANTAMA ILYAS 175010107111085

ARINTA PERMATA ANITA 175010107111102

ALIF ARBIANDRA 175010107111189

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

FAKULTAS HUKUM

2019/2020
Pendahuluan

Penjelasan dari Bank Bermasalah sendiri yaitu bank mempunyai rasio atau
nisbah kredit yang tidak lancar dan tinggi apabila dibandingkan dengan modalnya.
Bank yang dari hasil pemeriksaan nilainya berada pada posisi empat (kurang
sehat) atau lima (tidak sehat) pada daftar urutan kondisi bank. Bank bermasalah
akan lebih sering diperiksa daripada bank yang berkondisi sehat.

Sebuah bank dapat dikatakan bermaslah atau mengalami kegagalan


apabila sudah tidak mampu lagi memenuhi kewajiban deposan dan kreditur. Gagal
bayar ini bersumber pada persoalan likuiditas umumnya berjangka waktu pendek.
Disinilah bank secara alamiah mengalami yang disebut maturiny gap pada struktur
keuangannya. Maksudnya antara kewajiban membayar dana nasabah dari hasil
penempatan, jatuh temponya tidak sama. Dalam menangani bank yang
bermasalah hingga ditetapkan sebagai bank yang gagal dan setelah dikaji
berdampak sistematis dan situasi tidak dalam keadaan krisis, putusannya adalah
dilikuidasi.

Terdapat dua aspek sumber masalah yang dihadapi bank sebagai unit usaha bisnis,
yaitu:

A. Faktor Internal
 Bank dapat menjadi bermasalah jika tidak dikelola dengan hati-hati
 Lemahnya pengendalian internal
 Campur tangan pemilik dalam operasional bank
 Kesalahan dalam penetapan strategi yang bermuara sehingga
menyebabkan bank mengalami kerugian

B. Faktor Eksternal
 Perubahan lingkungan bisnis
 Perubahan kebijakan pemerintah
Prinsip Kehati-hatian

Prinsip kehati-hatian (prudent banking principle) adalah suatu asas


atau prinsip yang menyatakan bahwa bank dalam menjalankan fungsi dan
kegiatan usahanya wajib bersikap hati-hati (prudent) dalam rangka
melindungi dana masyarakat yang dipercayakan padanya. Hal ini
disebutkan dalam pasal 2 UU Nomor 10 tahun 1998 sebagai perubahan atas
UU Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan, bahwa perbankan Indonesia
dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan
menggunakan prinsip kehati- hatian.

Ada satu pasal dalam UU Perbankan yang secara eksplisit


mengandung substansi prinsip kehati-hatian, yakni pasal 29 ayat 2, 3 dan
4 UU Nomor 10 tahun 1998.

Pasal 29:

(2) Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan


ketentuan kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas,
rentabilitas, solvabilitas dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha
bank dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-
hatian

(3) Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip


Syariah dan melakukan kegiatan usaha lainnya, bank wajib menempuh
cara-cara yang tidak mmerugikan bank dan kepentingan nasabah yang
mempercayakan danannnyya kepada bank

(4) Untuk kepentingan nasabah, bank wajib menyediakan informasi


mengenai kemungkinan timbulnya resiko kerugian sehubungan dengan
transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank.

Jika memperhatikan judul Bab V UU Perbankan (terdiri dari pasal 29 s/d


pasal 37 B), maka pasal 29 merupakan pasal yang termasuk dalam ruang
lingkup pembinaan dan pengawasan. Artinya, ketentuan prudent banking
sendiri merupakan bagian dari pembinaan dan pengawasan bank. Lebih
khusus lagi menurut Anwas Nasution, ketentuan prudent banking termasuk
dalam ruang lingkup pembinaan bank dalam artisempit.
Dalam sejarah perbankan Indonesia, ketentuan prudent banking
pernah diatur secara khusus dalam beberapa Paket deregulasi, misalnya
Paket deregulasi 25 Maret 1989 dan Paket deregulasi Februari 1991,
sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Salah tujuan atau tugas yang
diemban Paket Februari 1991 misalnya, berupaya mmengatur pembatasan
dan pemberatan persyaratan perbankan dengan mengharuskan
dipenuhinya persyaratan permodalan minimum 8 % dari kekayaan. Yang
diharapkan dari paket itu adalah adanya peningkatan kualitas perbankan
Indonesia.

Kewajiban bank-bank memenuhi aturan penilaian kesehatan dalam


Paket deregulasi diatas, tampaknya tidak bisa menghindari kesan sebagai
produk aturan yang diwarnai trauma atas terjadinya kasus collapsnya
beberapa bank umum nasional, seperti Bank Perbankan Asia, Bank Duta
danBank Umum Majapahit.

Pengaturan prudent banking saat ini sudah cukup banyak, bahkan


sudah seringkali dilakukan revisi atau pergantian, baik stelah lahirnya UU
No.7 tahun 1992 maupun ketika pemerintah mengundangkan UU No.10
tahun 1998. Regulasi tersebut sebagian besar diwujudkan dalam bentuk
Surat Edaran dan SK Direksi Bank Indonesia. Aturan-aturan tersebut
misalnya :

1. SK BI 30/11/KEP/DIR/1997, tentang tata cara penilaian tingkat


kesehatan bank
2. SK BI 30/12/KEP/DIR/1997, tentang tata cara penilaian tingkat
kesehatan Bank Perkreditan Rakyat
3. SK BI 30/46/KEP/DIR/1997, tentang pembatasan pemberian kredit
oleh bank umum untuk pembiayaan pengadaan dan atau
pengolahan tanah
4. SE BI 31/16/UPPB/1998 tentang batas maksimum pemberian kredit
bank umum
5. SK BI 31/177/KEP/DIR tentang batas maksimum pemberian kredit
bank umum
SE BI 31/17/UPPB/1998 tentang posisi devisa neto bank umum

1. SE BI 31/18/UPPB/1998 tentang pemantauan likuiditas bank umum

2. SK BI 31/179/KEP/DIR tentang pemantauan likuiditas bank umum

3. SK BI 31/148/Kep/DIR/1998 tentang pembentukan penyisihan


penghapusan aktiva produktif

4. SK BI 31/147/KEP/DIR/1998 tentang kualitas aktiva produktif

5. SK BI 331/178/KEP/DIR/1998 tentang posisi devisa neto bank umum

6. Peraturan BI 2/16/PBI/2000 tentang perubahan SK


Direksi BI 31/177/KEP/DIR/1998 tentang batas maksimum
pemberian kredit

7. Peraturan BI 3/21/PBI/2001 tentang kewajiban penyediaan modal


minimum bank

8. Peraturan BI 3/22/PBI/2001 tentang transparansi kondisi keuangan


bank
9. Peraturan BI 6/25/PBI/2004 tentang rencana bisnis bank umum
10. Peraturan BI 7/4/PBI/2005 tentang prinsip kehati-hatian
dalam aktivitas sekuritisasi asset bagi bank umum

Sebagaimana halnya bank-bank di negara-negara maju dan


berkembang lainnya, dalam kaitannya dengan pemenuhan standar
kesehatan bank, mengikuti ketentuan Bassel International Standart (BIS).
Dalam rangka pemenuhan kondisi perbankan di Indonesia, BI telah
menyepakati 25 aturan BIS. Sampai saat ini baru 12 aturan BIS yang siap
diterapkan di Indonesia. Diantaranya ketentuan CAR 8%,dan NPL/Non
Performing Loan (kredit macet) 5 % yang harus segera dipenuhi bank-bank
sebelum akhir 2001.
Ketentuan BIS tersebut dalam garis besarnya merupakan prinsip
dasar pembinaan dan pengawasan bank yang efektif, yang telah disetujui
untuk diterapkan di Indonesia melalui komitment yang dilakukan oleh BI
dengan IMF. 25 butir ketentuan BIS tersebut adalah sebagai berikut :

1. Mempunyai wewenang, tanggung jawab dan tujuan


yang jelas, bersifat independent dan memiliki
sumber daya yang cukup

2. Kegiatan yang diizinkan

3. Kriteria perizinan

4. Otoritas untuk mengkaji dan menolak usul

5. Otoritas untuk menetapkan kriteria ketentuan kehati-hatian


(prudential)

6. Kecukupan modal

7. Standar kredit dan monitoring

8. Kebijakan dan prosedur evaluasi terhadap kualitas aset

9. Sistem informasi manajemen bank

10. Ketentuan pinjaman terkait (BMPK)

11. Monitoring terhadap resiko

12. Memiliki sistem yang memadai untuk memantau situasi pasar

13. Mempunyai prosedur penegndalian resiko manajemen yang


komprehensip

14. Sistem pengendalian internal

15. Meningkatkan kode etik profesional metode pengawasan bank

16. Meliputi off site dan on site

17. Senantiasa melakukan hubungan dengan manajemen bank

18. Mempunyai teknik untuk melakukan analisis data/laporan

19. Mempunyai independensi

20. Mampu melakukan pengawasan secara konsolidasi informasi


perbankan

21. Seluruh bank diharuskan memiliki sistem pencatatan yang lengkap


dan akurat

22. Pengawasan diharuskan mempunyai alat ukur yang cukup dan


mampu melakukan perbaikan serta melakukan tindakan aturan
dan kerjasama pengawasan internasional

23. Menerapkan praktik pengawasan konsolidasi

24. Melakukan kerjasama antar pengawas, dan

25. Menerapkan standar yang sama antar bank lokal dengan bank asing

Pembinaan dan pengawasan yang berlandaskan kepada ketentuan


BIS tersebut, layak diimplementasikan tidak hanya terhadap prbankan,
tetapi juga lembaga keuangan non-bank. Hal ini relevan dipertimbangkan
mengingat empiris historis di Indonesia memperlihatkan cukup banyak
kasus perbankan yang notabene di bawah pengawasn bank sentral
sesungguhnya berkaitan dengan kegiatan lembaga keuangan non-bank.

Kesehatan Bank

Kesehatan Bank adalah kemampuan suatu bank untuk melakukan kegiatan


operasional perbankan secara normal dan mampu memenuhi semua kewajibannya
dengan baik dan sesuai dengan peraturan perbankan yang berlaku. Kegiatan
tersebut antara lain:

1. Kemampuan mengelola dana;


2. Kemampuan untuk menyalurkan dana ke masyarakat;
3. Kemampuan memenuhi kewajiban kepada pihak lain;
4. Pemenuhan peraturan perbankan yang berlaku.

Dengan kata lain tingkat kesehatan bank juga erat kaitannya dengan pemenuhan
peraturan perbankan (kepatuhan pada Bank Indonesia).
Indikator Kesehatan Bang

Dalam tingkat kesehatan bank, indikator yang dapat dijadikan penilaian


yaitu:

1. Dapat menjaga dan memelihara kepercayaan masyarakat;


2. Dapat menjalankan fungsi intermediasi;
3. Dapat membantu kelancaran lalu lintas pembayaran;
4. Dapat digunakan oleh pemerintah dalam melaksanakan berbagai
kebijakannya, terutama kebijakan moneter.

Dasar Kesehatan Bank

Standar untuk melakukan penilaian kesehatan Bank telah ditentukan oleh


pemerintah melalui Bank Indonesia, yaitu berdasarkan Undang-Undang No. 10
Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang
perbankan, pembinaan dan pengawasan Bank dilakukan oleh Bank Indonesia.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perbankan,
pembinaan dan pengawasan bank dilakukan oleh bank Indonesia, menetapkan
bahwa :

1. Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan


kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas,
rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha
bank, dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-
hatian;
2. Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah
dan melakukan kegiatan usaha lainnya, bank wajib menempuh cara-cara
yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah yang
mempercayakan dananya kepada Bank,
3. Bank wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia segala keterangan dan
penjelasan mengenai usahanya menurut tata cara yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia;
4. Bank atas permintaan Bank Indonesia, wajib memberikan kesempatan bagi
pemeriksaan buku-buku dan berkas-berkas milik bank tersebut, serta wajib
memberikan bantuan dalam rangka memperoleh kebenaran dari segala
keterangan, dokumen, dan penjelasan yang dilaporkan oleh bank tersebut;
5. Bank Indonesia melakukan pemeriksaan terhadap bank, baik secara
berkala maupun setiap waktu apabila diperlukan. Bank Indonesia dapat
menugaskan akuntan publik untuk dan atas nama Bank Indonesia
melaksanakan pemeriksaan terhadap bank;
6. Bank wajib untuk menyampaikan kepada Bank Indonesia neraca,
perhitungan laba rugi tahunan dan penjelasannya, serta laporan berkala
lainnya, dalam waktu dan bentuk yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Neraca dan laporan laba rugi tahunan tersebut wajib terlebih dahulu diaudit
oleh akuntan publik;
7. Bank wajib mengumumkan neraca dan perhitungan laba rugi dalam waktu
dan bentuk yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan


atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, dalam hal
suatu bank mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan
usahanya, Bank Indonesia dapat melakukan tindakan agar:

1. Pemegang saham menambah modal;


2. Pemegang saham mengganti dewan komisaris dan atau direksi bank;
3. Bank menghapusbukukan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip
syariah yang macet, dan memperhitungkan kerugian bank dengan
modalnya;
4. Bank melakukan merger atau konsolidasi dengan bank lain;
5. Bank dijual kepada pembeli yang bersedia mengambil alih seluruh
kewajiban;
6. Bank menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan bank
kepada pihak lain;
7. Bank menjual sebagian atau seluruh harta dan atau kewajiban bank kepada
bank atau pihak lain.

Penanganan Bank : UU perbankan

Dalam upaya untuk mencapai tujuannya, Bank Indonesia memiliki tugas


dan tanggung jawab yang harus dilaksanakan. Adapun tugas Bank Sentral adalah
sebagai berikut: (Pasal 8 UU No 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia)

1. Membuat dan Melaksanakan Kebijakan Moneter


Kebijakan moneter ditetapkan dan dilaksanakan untuk mengendalikan jumlah
uang yang beredar di masyarakat sehingga harga-harga barang dan jasa di
masyarakat tetap terkendali.Kebijakan moneter yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia juga dapat mendorong pertumbuhan perekonomian nasional. Dalam hal
ini, BI perlu bekerjasama dengan pemerintah sehingga kebijakan yang diambil
sejalan dengan kebijakan fiskal dan kebijakan ekonomi lainnya.

2. Mengatur dan Menjaga Kelancaran Sistem Pembayaran


Sistem pembayaran yang dimaksud adalah sistem pembayaran tunai maupun non
tunai. Dalam hal ini, Bank Indonesia bertanggungjawab untuk menciptakan suatu
kesepakatan, aturan, standar dan prosedur yang dipakai dalam mengatur
peredaran uang di masyarakat.

3. Mengatur dan Mengawasi Perbankan


Pengaturan dan pengawasan perbankan yang dimaksud di sini adalah pengawasan
makroprudensial, dimana tujuannya untuk menjaga kestabilan sistem keuangan di
Indonesia. Secara umum, kebijakan makroprudensial adalah kebijakan yang dibuat
untuk membatasi risiko dan biaya krisis sistemik agar keseimbangan sistem
keuangan tetap terjaga.

Dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, Bank Sentral memiliki


kewenangan untuk menjaga perbankan dalam menjaga kestabilan sistem
keuangan. Seperti yang tertulis dalam pasal 24 dan 26 UU Nomor 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia, Pasal 24: Dalam rangka melaksanakan tugas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf c, Bank Indonesia menetapkan
peraturan, memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan dan kegiatan usaha
tertentu dari Bank, melaksanakan pengawasan Bank, dan mengenakan sanksi
terhadap Bank sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Serta pasal 26:
Berkaitan dengan kewenangan di bidang perizinan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 24, Bank Indonesia :
a. memberikan dan mencabut izin usaha Bank;
b. memberikan izin pembukaan, penutupan, dan pemindahan kantor Bank;
c. memberikan persetujuan atas kepemilikan dan kepengurusan Bank;
d. memberikan izin kepada Bank untuk menjalankan kegiatan-kegiatan usaha
tertentu.

Apabila Dalam hal keadaan suatu Bank menurut penilaian Bank Indonesia
membahayakan kelangsungan usaha Bank yang bersangkutan dan/atau
membahayakan sistem perbankan atau terjadi kesulitan perbankan yang
membahayakan perekonomian nasional, Bank Indonesia dapat melakukan
tindakan sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang perbankan yang
berlaku.

Seperti yang tertera dalam pasal 37 UNDANG UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1998
TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1992 TENTANG
PERBANKAN.

Dalam hal suatu bank mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan


usahanya, Bank Indonesia dapat melakukan tindakan agar:
1. pemegang saham menambah modal;
2. pemegang saham mengganti Dewan Komisaris dan atau
Direksi bank;
3. bank menghapusbukukan kredit atau pembiayaan
berdasarkan Prinsip Syariah yang macet dan
memperhitungkan kerugian bank dengan modalnya;
4. bank melakukan merger atau konsolidasi dengan bank lain;
5. bank dijual kepada pembeli yang bersedia mengambil alih
seluruh kewajiban;
a. bank menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian
kegiatan bank kepada pihak lain;
b. bank menjual sebagian atau seluruh harta dan atau kewajiban
bank kepada bank atau pihak lain.

(2) Apabila:
a. tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) belum cukup untuk mengatasi
kesulitan yang dihadapi bank; dan
b. menurut penilaian Bank Indonesia keadaan suatu bank dapat membahayakan
sistem Perbankan, Pimpinan Bank Indonesia dapat mencabut izin usaha bank dan
memerintahkan Direksi bank untuk segera menyelenggarakan Rapat Umum
Pemegang Saham guna membubarkan badan hukum bank dan membentuk tim
likuidasi.

(3) Dalam hal Direksi bank tidak menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang
Saham sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Pimpinan Bank Indonesia meminta
kepada pengadilan untuk mengeluarkan penetapan yang berisi pembubaran badan
hukum bank, penunjukan tim likuidasi, dan perintah pelaksanaan likuidasi sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku."

Dan dalam pasal 37a juga menjelaskan :


(1) Apabila menurut penilaian Bank Indonesia terjadi kesulitan Perbankan yang
membahayakan perekonomian nasional, atas permintaan Bank Indonesia,
Pemerintah setelah berkonsultasi kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia dapat membentuk badan khusus yang bersifat sementara dalam rangka
penyehatan Perbankan.
(2) Badan khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) melakukan program
penyehatan terhadap bank-bank yang ditetapkan dan diserahkan kepada badan
dimaksud.

(3) Dalam melaksanakan program penyehatan terhadap bank-bank, badan khusus


sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai wewenang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) serta wewenang lain yaitu:
a. mengambil alih dan menjalankan segala hak dan wewenang
pemegang saham termasuk hak dan wewenang Rapat Umum
Pemegang Saham;
b. mengambil alih dan melaksanakan segala hak dan wewenang
Direksi dan Komisaris bank;
c. menguasai, mengelola dan melakukan tindakan kepemilikan
atas c kekayaan milik atau yang menjadi hak-hak bank,
termasuk kekayaan bank yang berada pada pihak manapun,
baik di dalam maupun di luar negeri;
d. meninjau ulang, membatalkan, mengakhiri, dan atau
mengubah kontrak yang mengikat bank dengan pihak ketiga,
yang menurut pertimbangan badan khusus merugikan bank;
e. menjual atau mengalihkan kekayaan bank, Direksi, Komisaris,
dan pemegang saham tertentu di dalam negeri ataupun di luar
negeri, baik secara langsung maupun melalui penawaran
umum;
f. menjual atau mengalihkan tagihan bank dan atau
menyerahkan pengelolaannya kepada pihak lain, tanpa
memerlukan persetujuan Nasabah Debitur;
g. mengalihkan pengelolaan kekayaan dan atau menajemen
bank kepada pihak lain;
h. melakukan penyertaan modal sementara pada bank, secara
langsung atau melalui pengonversian tagihan badan khusus
menjadi penyertaan modal pada bank;
i. melakukan panagihan piutang bank yang sudah pasti dengan
penerbitan Surat Paksa;
j. melakukan pengosongan atas tanah dan atau bangunan milik
atau yang menjadi hak bank yang dikuasai oleh pihak lain,
baik sendiri maupun dengan bantuan alat negara penegak
hukum yang berwenang;
k. melakukan penelitian dan pemeriksaan untuk memperoleh
segala keterangan yang diperlukan dari dan mengenai bank
dalam program penyehatan, dan pihak manapun yang terlibat
atau patut terlibat, atau mengetahui kegiatan yang merugikan
bank dalam program penyehatan tersebut;
l. menghitung dan menetapkan kerugian yang dialami bank
dalam program penyehatan dan membebankan kerugian
tersebut kepada modal bank yang bersangkutan, dan
bilamana kerugian tersebut terjadi karena kesalahan atau
kelalian Direksi, Komisaris, dan atau pemegang saham, maka
kerugian tersebut akan dibebankan kepada yang
bersangkutan;
m. menetapkan jumlah tambahan modal yang wajib disetor oleh
pemegang saham bank dalam program penyehatan;
n. melakukan tindakan lain yang diperlukan untuk menunjang
pelaksanaan wewenang sebagaimana dimaksud dalam huruf
a sampai dengan huruf m.

(4) Tindakan penyehatan Perbankan oleh badan khusus sebagaimana dimaksud


dalam ayat (3) adalah sah berdasarkan Undang-undang ini.

(5) Atas permintaan badan khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), bank
dalam program penyehatan wajib memberikan segala keterangan dan penjelasan
mengenai usahanya termasuk memberikan kesempatan bagi pemeriksaan buku-
buku dan berkas yang ada padanya, dan wajib memberikan bantuan yang
diperlukan dalam rangka memperoleh keterangan, dokumen, dan penjelasan yang
diperoleh bank dimaksud.

(6) Pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf k wajib memberikan
keterangan dan penjelasan yang diminta oleh badan khusus.

(7) Badan khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib menyampaikan
laporan kegiatan kepada Menteri Keuangan.

(8) Apabila menurut penilaian Pemerintah, badan khusus telah menyelesaikan


tugasnya, Pemerintah menyatakan berakhirnya badan khusus tersebut;
(9) Ketentuan yang diperlukan bagi pelaksanaan Pasal ini diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.

Sesuai dengan Fungsi Lembaga Penjamin Simpanan yaitu menjamin


simpanan nasabah penyimpan yang terdapat dalam Undang – Undang Nomor 24
Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan, maka Lembaga Penjamin
Simpanan merupakan salah satu upaya untuk memberikan perlindungan dana
nasabah yang memiliki peran sebagai berikut:

 Tahap Penyehatan Bank Bank dapat ditetapkan dengan status bank dalam
penyehatan apabila bank tersebut dinilai masih memiliki potensi untuk
dapat diperbaiki terutama dari aspek permodalan. Selama proses
penyehatan Bank oleh BPPN, komunikasi dan kerjasama antara Bank
Indonesia dengan BPPN intensif dilakukan terutama yang berkaitan dengan
perkembangan indikator utama kinerja Bank, antara lain kinerja
permodalan, rasio likuiditas (Giro Wajib Minimum), non-performing loan,
ketentuan prudensial dan indikasi pencapaian rencana kerja. Apabila
kondisi membaik dan program penyehatan telah selesai dilakukan atau
dinyatakan berhasil, maka status bank dalam penyehatan dicabut dan bank
diserahkan kembali kepada Bank Indonesia untuk dilakukan pengawasan
yang diperlukan.
 Likuidasi bank adalah tindakan penyelesaian seluruh hak dan kewajiban
bank sebagai akibat pencabutan izin usaha pembubaran badan hukum
bank. Jadi likuidasi bank bukanlah sekedar pencabutan izin usaha dan
pembubaran badan hukum bank, tetapi berkaitan dengan proses
penyelesaian segala hak dan kewajiban dari suatu bank yang dicabut izin
usahanya. Setelah suatu bank dicabut izin usahanya, dilanjutkan lagi
dengan proses pembubaran badan hukum bank yang bersangkutan, dan
seterusnya dilakukan proses pemberesan berupa penyelesaian seluruh hak
dan kewajiban (piutang dan utang) bank sebagai akibat dari pencabutan
izin usaha dan pembubaran badan hukum bank.

Sebagaimana telah ditentukan dalam pasal 37 ayat (1) Undang – Undang


Perbankan, suatu bank yang mengalami kesulitan dalam usahanya dapat
melakukan tindakan – tindakan guna penyehatan bank, yaitu menyerahkan
pengelolaan kepada pihak lain. Pengelolaan dialihkan karena bank tersebut
insolven. Bank Indonesia dapat mengalihkan pengelolaan bank yang mengalami
kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya. Salah satu pihak yang
dapat menerima pengalihan pengelolaan bank tersebut adalah Lembaga Penjamin
Simpanan karena Lembaga Penjamin Simpanan sangat berkepentingan untuk
melindungi simpanan nasabah.Lembaga Penjamin Simpanan mengambil alih
pengelolaan bank atas perintah dari Bank Indonesia.

Pengelolaan tersebut dapat dilakukan dengan cara melakukan rekapitalisasi


pada saat bank mengalami kesulitan dalam kelangsungan usahanya. Lembaga
Penjamin Simpanan dapat mengambil alih fungsi direksi bank tersebut. Oleh
karena itu, agar tidak bertentangan dengan Undang – Undang Perseroan Terbatas
yang mengatur tentang kewenangan direksi, kewenangan Lembaga Penjamin
Simpanan ini juga dimuat dalam bentuk Undang – Undang Nomor 24 Tahun 2004
tentang Lembaga Penjamin Simpanan.Apabila dari hasil pengelolaan Lembaga
Penjamin Simpanan, bank tersebut tidak bisa membaik, maka Lembaga Penjamin
Simpanan akan memberikan rekomendasi kepada Bank Indonesia untuk mencabut
izin usaha bank tersebut.

Dalam Pasal 1 angka 3 Undang - Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang


Lembaga Penjamin Simpanan ditegaskan bahwa suatu bank disebut sebagai bank
gagal apabila :
 Bank mengalami kesulitan keuangan
 Masalah keuangan yang dialami bank dapat membahayakan usahanya
 Bank tidak lagi dapat disehatkan kembali oleh Lembaga Pengawas
Perbankan sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya.

Bahwa sesuai dengan fungsi Lembaga Penjamin Simpanan yaitu menjamin


simpanan nasabah penyimpan yang terdapat dalam Undang – Undang Nomor 24
Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan, Lembaga Penjamin Simpanan
berperan sebagai penjamin terhadap dana nasabah bank, maka apabila terdapat
bank yang mengalami kesulitan usaha, kemudian dicabut izin usahanya dan
dilikuidasi, kedudukan dan dana nasabah tetap terjamin. Lembaga Penjamin
Simpanan merupakan salah satu upaya untuk memberikan perlindungan dana
nasabah yang memiliki peran untuk melakukan penyehatan bank. Sebagaimana
telah ditentukan dalam pasal 37 ayat (1) Undang – Undang Perbankan, suatu bank
yang mengalami kesulitan dalam usahanya dapat melakukan tindakan – tindakan
guna penyehatan bank. Salah satu tindakan tersebut adalah menyerahkan
pengelolaan kepada pihak lain. Salah satu pihak yang menerima pengalihan
pengelolaan bank tersebut adalah Lembaga Penjamin Simpanan karena Lembaga
Penjamin Simpanan sangat berkepentingan untuk melindungi simpanan nasabah.

Berdasarkan Undang – Undang Lembaga Penjamin Simpanan tersebut,


Lembaga Penjamin Simpanan dapat melakukan penyelesaian atau penanganan
bank gagal dengan cara, yaitu pertama, penyelesaian bank gagal yang tidak
berdampak sistemik dilakukan dengan melakukan penyelamatan atau tidak
melakukan penyelamatan kedua, penanganan bank gagal yang berdampak
sistemik dilakukan dengan melakukan penyelamatan yang mengikutsertakan
pemegang saham lama (open bank assistance) atau tanpa mengikutsertakan
pemegang saham lama.
Penutup

Bank bermasalah adalah bank yang mempunyai rasio atau nisbah kredit
yang tidak lancar dan tinggi apabila dibandingkan dengan modalny, sebuah bank
dapat dikatakan bermaslah atau mengalami kegagalan apabila sudah tidak mampu
lagi memenuhi kewajiban deposan dan kreditur. Untuk mencegah adanya bank
yang bermasalah, maka ada prinsip kehati-hatian (prudent banking principle),
yaitu bank dalam menjalankan fungsi dan kegiatan usahanya wajib bersikap hati-
hati dalam rangka melindungi dana masyarakat yang dipercayakan padanya, hal
ini disebutkan dalam pasal 2 UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang perbankan dan
dijelaskan secara eksplisit dalam pasal 29 ayat 2, 3, dan 4 UU no 10 Tahun 1998
tentang perbankan. Selain itu ada juga suatu indicator kesehatan bank, Kesehatan
Bank adalah kemampuan suatu bank untuk melakukan kegiatan operasional
perbankan secara normal dan mampu memenuhi semua kewajibannya dengan
baik dan sesuai dengan peraturan perbankan yang berlaku. Standar untuk
melakukan penilaian kesehatan Bank telah ditentukan oleh pemerintah melalui
Bank Indonesia, yaitu berdasarkan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang
perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan, pembinaan
dan pengawasan Bank dilakukan oleh Bank Indonesia. Apabila ada suatu bank
yang bermasalah, maka penanganan akan dilakukan, menurut UU Perbankan dan
UU Lembaga Penjamin Simpanan.

Anda mungkin juga menyukai