KELOMPOK I
A.RESTY NUR AINUN GUNAWAN GITARIA MATOTA
ABDUL ZAKIR ARSYAD HEPPI LISTRA
ADI HERMAWAN ICHA SUSELA
ALVINA ABDI MASDALIA
ANNIZHAH KARTINI MUH. ALNAJID
ERNI PUTRI HERLINA
NANI HASANNUDIN
MAKASSAR
2018
1
KATA PENGANTAR
Penulis
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………………...i
DAFTAR ISI………………………………………………………….ii
BAB I LATAR BELAKANG………………………………………...iii
BAB II TINJAUAN TEORI………………………………………….5
A. Definisi Bencana………………………………………………..5
B. Fase-fase Bencana……………………………………………....6
C. Evolusi Pandangan Terhadap Bencana………………………....7
D. Paradigma-Paraadigma Penanggulangan Bencana……………..8
E. Permasalahan Dalam Penanggulangan Bencana………………..9
F. Kelompok Rentan Bencana……………………………………..9
G. Pengurangan Resiko Bencana………………………………......10
H. Trauma Pasca Bencana………………………………………….10
I. Dari Aspek Psikososial………………………………….………14
J. Peran Perawat Komunitas Dalam
Manajemen Kejadian Bencana………………………………….15
K. Peran Mahasiswa Keperawatan Dalam Bencana……………….18
L. Jenis Kegiatan Siaga Bencana…………………………………..19
M. Management Bencana………………………………………….22
N. Pemulihan Korban Pasca Bencana……………………………...23
O. Terapi Psiko-Sosial……………………………………………...25
PENUTUP…………………………………………………………….
A. Kesimpulan……………………………………………………...
DAFTAR PUSTAKA
3
BAB I
LATAR BELAKANG
Pada fase awal bencana, akan membuat para korban menjadi khawatir dan
bahkan mungkin menjadi panik. Kepanikan itu berupa, seseorang akan
merasa sangat down, shock, karena kehilangan harta benda dan
sanak saudara. Demikian pula, mereka akan merasakan berbagai macam emosi
seperti ketakutan, kehilangan orang dan benda yang dicintainya, serta
membandingkan keadaan tersebut dengan kondisi sebelum bencana, mereka
kembali mengingat harta benda yang telah hilang atau rusak sekaligus
merasakan kesedihan yang mendalam. Hingga pada akhirnya merasa kecewa,
frustasi, marah, dan merasakan pahitnya hidup
4
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Definisi Bencana
Bencana dapat menyebabkan individu dan keluarga mengalami gangguan secara fisik
maupun mental. Peristiwa bencana alam dan konflik yang terjadi di beberapa daerah di
Indonesia telah menyebabkan banyak individu, keluarga, dan masyarakat mengalami
trauma baik fisik maupun psikologis. Trauma yang dialami mengakibatkan individu jatuh
pada kondisi kritis. Masalah kesehatan mental yang lebih berat akan timbul bila kritis yang
dialami tidak terselesaikan.(Budi Anna Kenna,2012)
Peran perawat sebagai sebagian dari tenaga kesehatan yang turut serta dalam
penanggulangan bencana harus mempunyai keterampilan khusus untuk membantu individu,
keluarga dan masyarakat mengatasi kritis yang dialaminya.(Budi Anna Kenna,2012)
Bencana dapat terjadi secara alamiah maupun dapat di buat oleh manusi. Beberapa kejadian
alam yang menyebabakan bencana antara lain gunung meletus, gempa bumi, banjir
bandang, angina topan, tsunami, angina putting beliung dan wabah.(Budi Anna
Kenna,2012)
5
Definisi tersebut menyebutkan bahwa bencana disebabkan oleh faktor alam, non alam, dan
manusia. Oleh karena itu, Undang-Undang tersebut juga mendefinisikan mengenai bencana
alam, bencana nonalam, dan bencana sosial.
1. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian
peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung
meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.
2. Bencana nonalam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian
peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi,
epidemi, dan wabah penyakit.
3. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian
peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antarkelompok
atau antarkomunitas masyarakat, dan terror.
B. Fase-fese Bencana
1. Fase preimpact merupakan warning phase, tahap awal dari bencana. Informasi didapat
dari badan satelit dan meteorologi cuaca. Seharusnya pada fase inilah segala persiapan
dilakukan baik oleh pemerintah, lembaga, dan warga masyarakat.
2. Fase impact merupakan fase terjadinya klimaks dari bencana. Inilah saat-saat dimana
manusia sekuat tenaga mencoba untuk bertahan hidup (survive). Fase impact ini terus
berlanjut hingga terjadi kerusakan dan bantuan-bantuan darurat dilakukan.
3. Fase postimpact adalah saat dimulainya perbaikan dan penyembuhan dari fase darurat,
juga tahap dimana masyarakat mulai berusaha kembali pada fungsi komunitas normal.
Secara umum dalam fase postimpact ini para korban akan mengalami tahap respon
psikologis mulai penolakan, marah, tawar-menawar, depresi hingga penerimaan.
1. Pandangan Konvensional
Bencana merupakan sifat alam. Terjadinya bencana : Kecelakaan (accident) ; tidak
dapat diprediksi, tidak menentu, tidak terhindarkan, dan tidak terkendali. Masyarakat
dipandang sebagai ‘korban’ dan ‘penerima bantuan’ dari pihak luar.
4. Pandangan Progresif
Menganggap bencana sebagai bagian dari pembangunan masyarakat yang ‘normal’.
Bencana adalah masalah yang tidak pernah berhenti. Peran sentral dari masyarakat
adalah mengenali bencana itu sendiri.
6. Pandangan Holistik
Menekankan pada ancaman (threat) dan kerentanan (vulnerability), serta kemampuan
masyarakat dalam menghadapi risiko. Gejala alam menjadi ancaman jika mengancam
hidup dan harta-benda. Ancaman akan berubah menjadi bencana jika bertemu dengan
kerentanan.
7
4. Pandangan Progresif
Menganggap bencana sebagai bagian dari pembangunan masyarakat yang ‘normal’.
Bencana adalah masalah yang tidak pernah berhenti. Peran sentral dari masyarakat
adalah mengenali bencana itu sendiri.
6. Pandangan Holistik
Menekankan pada ancaman (threat) dan kerentanan (vulnerability), serta kemampuan
masyarakat dalam menghadapi risiko. Gejala alam menjadi ancaman jika mengancam
hidup dan harta-benda. Ancaman akan berubah menjadi bencana jika bertemu dengan
kerentanan.
8
Secara sederhana, stres dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana individu
terganggu keseimbangannya. Stres terjadi akibat adanya situasi dari luar ataupun dari
dalam diri yang memunculkan gangguan, dan menuntut individu berespon secara
sesuai.
Stress merupakan sesuatu yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia, bahkan seperti
merupakan bagian dari kehidupan itu sendiri. Setiap hari kadang kita harus tergesa
bangun, membereskan pekerjaan rumah kadang hingga lupa atau tidak sempat sarapan,
lari mengejar kendaraan umum untuk Sekolah atau menjalani aktivitas, berkonflik
dengan teman atau orang lain, kehabisan uang padahal harus membeli keperluan harian
dan seterusnya. Semua kejadian itu dapat memunculkan stres.
Mereka yang mengalami stres mungkin merasa lebih gelisah, tegang, cemas,
mengalami kelelahan, ketegangan otot dan sulit tidur. Ada pula yang tekanan darah dan
detak jantungnya nmeningkat, sakit kepala, perut mulas, gatal-gatal atau diare. Stres
juga dapat merubah perilaku kita. Misalnya kita menjadi lebih cepat marah, lebih suka
10
sendirian, menjadi tidak enak makan, merasa tidak berdaya, tidak bersemangat,
frustrasi, atau merasa tidak percaya diri.
Meski cukup sering menganggu, stres tidak perlu selalu dilihat sebagai hal negatif.
Dalam hal tertentu ,stres memiliki dampak positif. Eustress adalah stres dalam artian
positif yakni keadaan yang dapat memotivasi, dan berdampak menguntungkan. Sebagai
contohnya, ada orang-orang yang bila sudah terdesak waktu, tiba-tiba akan
terbangkitkan kreativitasnya. Ada pula yang karena merasa tertinggal, memotivasi diri
sendiri dan dapat berprestasi gemilang.
2. Trauma
Secara sederhana, trauma berarti luka atau kekagetan (syok/shock). Penyebab trauma
adalah peristiwa yang sangat menekan, terjadi secara tiba-tiba dan di luar
kontrol/kendali seseorang, bahkan seringkali membahayakan kehidupan atau
mengancam jiwa. Peristiwa ini begitu mengagetkan, menyakitkan dan melebihi situasi
stres yang kita alami sehari-hari. Peristiwa ini dinamakan sebagai peristiwa traumatis.
Bencana alam seperti gempa bumi jelas merupakan peristiwa traumatis, karena tidak
pernah ada yang bisa meramalkan kapan akan datang dan menimbukan perasaan takut
dan mengerikan. Sehingga dapat menimbukan trauma bagi yang mengalaminya.
11
Kondisi seperti stres yang kita rasakan setelah munculnya peristiwa traumatis disebut
sebagai stres traumatis. Kondisi inilah yang biasa kita kenal sebagai trauma.
Gejala trauma sebenarnya dapat juga dialami oleh orang yang tidak mengalami
langsung peristiwa traumatis. Misalnya, seseorang yang menonton berita bencana
secara terus menerus. Ia kemudian menjadi sulit tidur, mengalami rasa takut dan
waspada berlebihan. Hal semacam ini disebut sebagai trauma sekunder, yaitu stres
traumatis yang dialami oleh orang yang tidak mengalami secara langsung.
Siapapun orangnya, sekuat dan sehebat apapun dia, biasanya akan menunjukkan
respon tertentu. Respon yang muncul mungkin berbeda-beda bagi tiap orang, namun
umumnya respon yang muncul adalah:
a. Memiliki ingatan atau bayangan yang sulit dilupakan, seperti mencengkeram,
atau ingatan lainnya tentang traumanya
b. Merasakan peristiwa seperti terjadi lagi (flashback)
c. Merasa terganggu bila diingatkan, atau teringat peristiwa
d. traumatis karena sesuatu yang dilihat, didengar, dirasakan, atau diciumnya.
e. Ketakutan, merasa kembali berada dalam bahaya
f. Kesulitan mengendalikan perasaan karena tidak mampu mengendalikan ingatan
tentang peristiwa traumatis.
Gejala ini muncul pada masa 2 s.d 30 hari/4 minggu yang ditandai dengan:
a. Gangguan muncul akibat suatu peristiwa hebat yang mengejutkan, bahkan sering
tidak terduga dan akibatnya pun tidak tertahankan oleh orang yang mengalaminya.
b. Terulangnya bayangan mental akibat peristiwa traumatik yang pernah dialami.
c. Ketidakberdayaan/ke-”tumpul”an emosional dan “menarik diri”.
d. Terlalu siaga/waspada yang disertai ketergugahan/keterbangkitan secara kronis.
e. Terjadi gangguan yang menyebabkan kegagalan untuk berfungsi secara efektif
dalam kehidupan sosial (pekerjaan, rumah tangga, pendidikan, dll).
Perawat komunitas dalam asuhan keperawatan komunitas memiliki tanggung jawab peran
dalam membantu mengatasi ancaman bencana baik selama tahap preimpact,
impact/emergency, dan post impact.
14
Peran perawat disini bisa dikatakan multiple; sebagai bagian dari penyusun
rencana, pendidik, pemberi asuhan keperawatan bagian dari tim pengkajian kejadian
bencana.
Tujuan utama : Tujuan tindakan asuhan keperawatan komunitas pada bencana ini adalah
untuk mencapai kemungkinan tingkat kesehatan terbaik masyarakat yang terkena bencana
tersebut.
Ada beberapa hal yang dapat dilakukan perawat dalam masa pra bencana ini, antara
lain:
Biasanya pertolongan pertama pada korban bencana dilakukan tepat setelah keadaan
stabil. Setelah bencana mulai stabil, masing-masing bidang tim survey mulai
melakukan pengkajian cepat terhadap kerusakan-kerusakan, begitu juga perawat
sebagai bagian dari tim kesehatan.
TRIASE :
Bencana tentu memberikan bekas khusus bagi keadaan fisik, sosial, dan psikologis
korban. Selama masa perbaikan perawat membantu masyarakat untuk kembali pada
kehidupan normal. Beberapa penyakit dan kondisi fisik mungkin memerlukan jangka
waktu yang lama untuk normal kembali bahkan terdapat keadaan dimana kecacatan
terjadi.
Peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap
seseorang sesuai kedudukannya dalam suatu sistem. Peran dipengaruhi oleh keadaan
nalge baik dari dalam maupun dari luar dan bersifat stabil. Peran adalah bentuk dari
perilaku yang diharapkan dari seesorang pada situasi nalge tertentu.
17
Peran mahasiswa perawat yang dimaksud adalah cara untuk menyatakan aktifitas
mahasiswa keperawatan dalam membantu praktik, dimana telah mendapatkan
pendidikan formalnya yang sesuai dengan kode etik keperawatan. Dimana setiap peran
yang dinyatakan sebagai nalg terpisah demi untuk kejelasan.
Seorang perawat, khususnya perawat komunitas memiliki tanggung jawab peran dalam
membantu mengatasi ancaman bencana baik selama tahap preimpact, impact/emergency,
dan postimpact. Dalam melakukan tugasnya tentu perawat tidak bisa berjalan sendiri.
Koordinasi dan persiapan yang baik mulai dari pemerintah atas hingga ke cabang-
cabang di bawahnya mutlak diperlukan. Dimulai dari pusat studi bencana, badan
nalgesic, pemerintah pusat dan daerah, para teknisi, departemen kesehatan, palang merah
nasional yang didalamnya terdiri dari mahasiswa-mahasiswa peduli bencana, tenaga-
tenaga kesehatan, departemen penerangan, dinas transportasi hingga dinas kebakaran
dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat, semua ikut terlibat dalam perencanaan
persiapan penanggulangan bencana.
Tujuan utama dari tindakan keperawatan bencana ini adalah untuk mencapai
kemungkinan tingkat kesehatan terbaik masyarakat yang terkena bencana tersebut. Jika
seorang mahasiswa keperawatan beserta para perawat lainnya berada di pusat area
bencana, ia akan dibutuhkan untuk ikut mengevakuasi dan nalge pertolongan pertama
pada korban. Sedangkan di lokasi-lokasi penampungan seorang perawat bertanggung
jawab pada evaluasi kondisi korban, melakukan tindakan keperawatan berkelanjutan,
dan mengkondisikan lingkungan terhadap perawatan korban-korban dengan penyakit
menular.
Bencana alam yang menimpa suatu daerah, selalu akan memakan korban dan kerusakan,
baik itu korban meninggal, korban luka luka, kerusakan fasilitas pribadi dan
umum, yang mungkin akan menyebabkan isolasi tempat, sehingga sulit dijangkau oleh
para relawan. Hal yang paling urgen dibutuhkan oleh korban saat itu adalah pengobatan
dari tenaga kesehatan. Perawat bisa turut andil dalam aksi ini, baik berkolaborasi dengan
tenaga perawat atau pun tenaga kesehatan profesional, ataupun juga melakukan
pengobatan bersama perawat lainnya secara cepat, menyeluruh dan merata di tempat
bencana. Pengobatan yang dilakukan pun bisa beragam, mulai dari pemeriksaan fisik,
pengobatan luka, dan lainnya sesuai dengan profesi keperawatan.
2. Pemberian bantuan
Perawatan dapat melakukan aksi galang dana bagi korban bencana, dengan menghimpun
dana dari berbagai kalangan dalam berbagai bentuk, seperti makanan, obat obatan,
keperluan sandang dan lain sebagainya. Pemberian bantuan tersebut bisa dilakukan
langsung oleh perawat secara langsung di lokasi bencana dengan memdirikan posko
bantuan. Selain itu, Hal yang harus difokuskan dalam kegiatan ini adalah pemerataan
bantuan di tempat bencana sesuai kebutuhan yang di butuhkan oleh para korban saat itu,
sehinnga tidak akan ada lagi para korban yang tidak mendapatkan bantuan tersebut
dikarenakan bantuan yang menumpuk ataupun tidak tepat sasaran.
mereka kembali, hal ini mengingat sifat lahiriah anak anak yang berada pada masa
bermain. Perawat dapat mendirikan sebuah taman bermain, dimana anak anak tersebut
akan mendapatkan permainan, cerita lucu, dan lain sebagainnya. Sehinnga kepercayaan
diri mereka akan kembali seperti sedia kala.
4. Pemberdayaan masyarakat
Kondisi masyarakat di sekitar daerah yang terkena musibah pasca bencana biasanya
akan menjadi terkatung katung tidak jelas akibat memburuknya keaadaan pasca
bencana., akibat kehilangan harta benda yang mereka miliki. sehinnga banyak diantara
mereka yang patah arah dalam menentukan hidup selanjutnya. Hal yang bisa menolong
membangkitkan keadaan tersebut adalah melakukan pemberdayaan masyarakat.
Masyarakat perlu mendapatkan fasilitas dan skill yang dapat menjadi bekal bagi mereka
kelak. Perawat dapat melakukan pelatihan pelatihan keterampilan yang difasilitasi dan
berkolaborasi dengan instansi ataupun LSM yang bergerak dalam bidang itu. Sehinnga
diharapkan masyarakat di sekitar daerah bencana akan mampu membangun
kehidupannya kedepan lewat kemampuan yang ia miliki.
Untuk mewujudkan tindakan di atas perlu adanya beberapa hal yang harus dimiliki oleh
seorang perawat, diantaranya:
a. Perawatan harus memilki skill keperawatan yang baik.
Sebagai perawat yang akan memberikan pertolongan dalam penanaganan bencana,
haruslah mumpunyai skill keperawatan, dengan bekal tersebut perawat akan mampu
memberikan pertolongan medis yang baik dan maksimal.
b. Perawat harus memiliki jiwa dan sikap kepedulian.
Pemulihan daerah bencana membutuhkan kepedulian dari setiap elemen masyarakat
termasuk perawat, kepedulian tersebut tercemin dari rasa empati dan mau
berkontribusi secara maksimal dalam segala situasi bencana. Sehingga dengan jiwa
dan semangat kepedulian tersebut akan mampu meringankan beban penderitaan
korban bencana.
Kondisi siaga bencana membutuhkan penanganan yang berbeda, segal hal yang
terkait harus didasarkan pada managemen yang baik, mengingat bencana datang
secara tak terduga banyak hal yang harus dipersiapkan dengan matang, jangan
sampai tindakan yang dilakukan salah dan sia sia. Dalam melakukan tindakan di
daerah bencana, perawat dituntut untuk mampu memilki kesiapan dalam situasi
apapun jika terjadi bencana alam. Segala hal yang berhubungan dengan peralatan
bantuan dan pertolongan medis harus bisa dikoordinir dengan baik dalam waktu
yang mendesak. Oleh karena itu, perawat harus mengerti konsep siaga bencana.
M. Management Bencana
Managemen siaga bencana membutuhkan kajian yang matang dalam setiap tindakan yang
akan dilakukan sebelum dan setelah terjun kelapangan. Ada beberapa hal yang bisa
dijadikan pedoman, yaitu:
1. Mempersiapkan bentuk kegiatan yang akan dilakukan
Setelah mengetahui sebuah kejadian bencana alam beserta situasi di tempat kejadian, hal
yang terlebih dahulu dilakukan adalah memilih bentuk kegiatan yang akan diangkatkan,
seperti melakukan pertolongan medis, pemberian bantuan kebutuhan korban, atau
menjadi tenaga relawan. Setelah ditentukan, kemudian baru dilakukan persiapan
mengenai alat alat, tenaga, dan juga keperluan yang akan dibawa disesuaikan dengan
alur dan kondisi masyarakat serta medan yang akan ditempuh.
Hal ini merupakan pokok kegiatan siaga bencana yang dilakukan, segala hal yang
dipersiapkan sebelumnya, dilakukan dalam tahap ini, sampai jangka waktu yang
disepakati.
3. Evaluasi kegiatan
Setiap selesai melakukan kegiatan, perlu adanya suatu evaluasi kegiatan yang dilakukan,
evaluasi bisa dijadikan acuan, introspeksi, dan pedoman melakukan kegiatan
selanjutnya. Alhasil setiap kegiatan yang dilakukan akan berjalan lebih baik lagi dari
sebelumnya.
Penanganan korban stres akibat bencana memang tidak mudah. Pengalaman traumatis
karena bencana telah menggoncangkan dan melemahkan pertahanan individu dalam
menghadapi tantangan dan kesulitan hidup sehari-hari. Apalagi kondisi trauma, kondisi
fisik dan mental, aspek kepribadian masing-masing korban tidak sama.
Masyarakat yang menjadi korban dari suatu bencana cenderung memiliki masalah
penyesuaian perilaku dan emosional. Perubahan mendadak sering membawa dampak
psikologis yang cukup berat. Beban yang dihadapi oleh para korban tersebut dapat
mengubah pandangan mereka tentang kehidupan dan menyebabkan tekanan pada jiwa
mereka.
Munculnya gejala-gejala stres, seperti rasa takut, cemas, duka cita yang mendalam, tidak
berdaya, putus asa, kehilangan kontrol, frustrasi sampai depresi semuanya bermuara pada
kemampuan individu dalam memaknai suatu musibah secara lebih realistis. Gejala-gejala
tersebut adalah reaksi wajar dari pengalaman yang tidak wajar. Tentunya hal ini tidak bisa
22
dibiarkan begitu saja. Mereka memerlukan cara yang tepat untuk mengatasi masalah yang
dialami
Dalam hal ini, konsep coping merupakan hal yang penting untuk dibicarakan. Konsep
coping menunjuk pada berbagai upaya, baik mental maupun perilaku, untuk menguasai,
mentoleransi, mengurangi, atau meminimalisasikan suatu situasi atau kejadian yang penuh
tekanan. Dengan kata lain, coping merupakan suatu proses di mana individu berusaha untuk
menanggani dan menguasai situasi yang menekan akibat dari masalah yang sedang
dihadapinya. Beragam cara dilakukan. Namun, semua bermuara pada perubahan kognitif
maupun perilaku guna memperoleh rasa aman dalam dirinya.
Ketika seseorang tertimpa suatu musibah, biasanya ia akan mendekat kepada Tuhan dengan
meningkatkan ibadah dan perbuatan baik lainnya. Hal ini diperlihatkan oleh sebagian besar
rakyat Bantul yang mengaku tawakal dengan memasrahkan segalanya kepada Tuhan.
Ekspresi sikap pasrah itu gampang dijumpai di lokasi bencana, “Matur nuwun, Gusti,
kawula tasih dipunparingi keselametan...”
Korban bencana yang tingkat spiritualitasnya tinggi akan menjadikan mereka senantiasa
hidup dalam nuansa keimanan kepada Tuhan. Mereka akan memaknai aktivitasnya dalam
kehidupan ini sebagai ibadah kepada Tuhan. Mereka pun akan semakin tegas dan konsisten
dalam sikap dan langkah hidupnya serta semakin terikat dengan aturan Sang Pencipta
dengan perasaan ridha dan tenteram. Perasaan itu akan menjadikannya kuat dalam
menghadapi segala persoalan hidup. Mereka dapat mengambil hikmah atas musibah yang
23
menimpanya, tidak putus asa, dan menjadikan hambatan-hambatan yang ditemui pasca-
bencana sebagai tantangan untuk memulai kehidupan baru. Mereka menganggap bahwa
bencana bukan akhir dari segalanya. Bencana bisa diubah menjadi suatu pengalaman positif
yang memiliki makna.
Identitas spiritual dibutuhkan individu dalam mengkonstruksi makna atas pengalaman
hidup.
Dengan adanya kepercayaan pribadi untuk memberikan makna luar biasa kepada realitas
kehidupan, agama akan mampu mengarahkan individu untuk memberikan penerimaan tulus
atas musibah yang terjadi. Kondisi tersebut memungkinkan individu untuk memaknai
kembali hidupnya dengan membuat perencanaan atas setiap kemungkinan yang terjadi
setelah mengalami musibah untuk mencapai suatu tujuan tertentu pada masa yang datang.
O. Terapi Psiko-Sosial
tingkah laku individu. Sementara itu, mendefinisikan spiritualitas sebagai suatu bagian
dalam diri seseorang yang menghasilkan arti dan tujuan hidup, yang terungkap dalam
pengalaman-pengalaman transendental individu dan hubungannya dengan ajaran-ajaran
ketuhanan (universal order).
Inayat Khan dalam bukunya Dimensi Spiritual Psikologi menyebutkan bahwa kekuatan
psikis yang dimiliki oleh seseorang dapat dikembangkan melalui olah spiritual yang
dilakukan melalui beberapa tahapan.
Ketiga, agar dapat mengekspresikan kekuatan psikis, seseorang harus memiliki kekuatan
tubuh (kesehatan fisik). Artinya, orang yang sehat umumnya memiliki pernafasan dan
sirkulasi darah yang teratur dan lancar, sehingga memberikan efek bagi kemampuan
mengekspresikan dirinya.
Keempat, berlatih menjaga kestabilan dan ketenangan dalam berpikir. Artinya, seseorang
yang terbiasa mengembangkan kebiasaan-kebiasaan buruk dalam berpikir, seperti khawatir,
cemas, takut, atau ragu tentang sesuatu, akan mengurangi daya kekuatan dalam
mengekspresikan diri. Tentang hal ini, saya teringat pada kata-kata yang diungkapkan oleh
seorang pegiat pelatihan manajemen diri di sebuah seminar yang pernah saya ikuti. Kata
beliau, “Pikiranmu adalah awal dari perkataanmu. Perkataanmu adalah awal dari
25
perbuatanmu. Perbuatanmu adalah awal dari kebiasaanmu. Kebiasaanmu adalah awal dari
karaktermu. Karaktermu adalah takdirmu.”
Sebuah penelitian bertajuk “Religion and Spirituality in Coping with Stress” yang
dipublikasikan oleh Journal of Counseling and Values beberapa tahun lalu, menunjukkan
bahwa semakin penting spiritualitas bagi seseorang, maka semakin besar kemampuannya
dalam mengatasi masalah yang dihadapi. Penelitian ini menyarankan bahwa spiritualitas
bisa memiliki peran yang penting dalam mengatasi stres. Spiritualitas bisa melibatkan
sesuatu di luar sumber-sumber yang nyata atau mencari terapi untuk mengatasi situasi-
situasi yang penuh tekanan di dalam hidup.
Dalam konteks ini, penting untuk diperhatikan bagaimana kondisi spiritualitas para korban
pasca-bencana. ada hubungan positif yang sangat signifikan antara spiritualitas dengan
proactive coping pada korban bencana . Semakin tinggi tingkat spiritualitas, semakin baik
pula proactive coping yang dilakukan oleh korban. Konsep proactive coping diarahkan oleh
sikap yang proaktif. Sikap tersebut merupakan kepercayaan yang relatif terus menerus ada
pada setiap individu. Di mana apabila terjadi perubahan-perubahan yang berpotensi
mengganggu keseimbangan emosional individu, maka sikap tersebut mampu memperbaiki
diri dan lingkungannya.
Terapi psiko-spiritual ini terdiri dari tiga tahapan, yaitu tahapan penyadaran diri (self
awareness), tahapan pengenalan jati diri dan citra diri (self identification), dan tahapan
pengembangan diri (self development). Pada fase penyadaran diri, para korban akan melalui
26
proses pensucian diri dari bekasan atau hal-hal yang menutupi keadaan jiwa melalui cara
penyadaran diri, penginsyafan diri, dan pertaubatan diri. Fase ini akan menguak hakikat
persoalan, peristiwa, dan kejadian yang dialami oleh para korban. Pun menjelaskan hikmah
atau rahasia dari setiap peristiwa tersebut.
Selanjutnya, pada fase pengenalan diri, para korban akan dibimbing kepada pengenalan
hakikat diri secara praktis dan holistik dengan menanamkan nilai-nilai ketuhanan dan
moral. Melalui fase ini, individu diajak untuk menyadari potensi-potensi yang ada di dalam
dirinya. Setelah diidentifikasi, pelbagai potensi itu perlu segera dimunculkan. Kemudian
mengelola potensi diri yang menonjol tersebut agar terus berkembang dan dicoba untuk
diaktualisasikan. Adalah sebuah riwayat yang menyebutkan, “Barangsiapa mengenal
dirinya, maka dia pun akan mengenal Tuhannya.”
Terakhir, pada fase pengembangan diri, para korban akan didampingi dan difasilitasi untuk
tidak hanya sehat fisikal, namun juga sehat mental dan spiritual. Kesehatan mental terwujud
dalam bentuk keharmonisan yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi jiwa, serta
mempunyai kesanggupan untuk menghadapi masalah yang terjadi, dan merasakan secara
positif kebahagiaan dan kemampuan dirinya. Adapun kesehatan spiritual mencakup
penemuan makna dan tujuan dalam hidup seseorang, mengandalkan Tuhan (The Higher
Power), merasakan kedamaian, dan merasakan hubungan dengan alam semesta.
Harapannya, terapi psiko-spiritual akan memberikan penerimaan yang tulus atas musibah
yang menimpa para korban gempa. Selain itu, terapi ini dapat pula mengurangi kesedihan
dan tekanan psikologis, serta membantu para korban dalam menemukan makna yang positif
27
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bencana alam merupakan sebuah musibah yang tidak dapat diprediksi kapan
datangnya. Apabila bencana tersebut telah datang maka akan menimbulkan kerugian dan
kerusakan yang membutuhkan upaya pertolongan melalui tindakan tanggap bencana yang
dapat dilakukan oleh perawat.
DAFTAR PUSTAKA
Azizah,Lilik Ma’rifahtul.2011.Keperawatan Jiwa Amplikasi.Yogyakarta : Graham Ilmu.
Dalami, Ermawati.2010.Konsep Dasar Keperawatan Jiwa.Jakarta : Trans Info Media
Iyus, Yosep. 2010.Keperawatan Jiwa. Bandung : Refia Aditama