Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH

PELAYANAN KEPERAWATAN JIWA YANG TERKENA


BENCANA

KELOMPOK I
A.RESTY NUR AINUN GUNAWAN GITARIA MATOTA
ABDUL ZAKIR ARSYAD HEPPI LISTRA
ADI HERMAWAN ICHA SUSELA
ALVINA ABDI MASDALIA
ANNIZHAH KARTINI MUH. ALNAJID
ERNI PUTRI HERLINA

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

NANI HASANNUDIN

MAKASSAR

2018
1

KATA PENGANTAR

Asslamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.


Alhamdulillahi rabbil alamin, dengan menyebut nama Allah yang maha
pengasih lagi maha penyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas
kehadirat Allah SWT. Yang telah melimpahkan rahmat hidayah dan inayahnya
kepada kami. Sehingga kita dapat menyelesaikan makalah ini.
Makalah ini disusun untuk dianjurkan sebagai tugas mata kuliah
keperawatan jiwa dengan judul PELAYANAN KEPERAWATAN JIWA YANG
TERKENA BENCANA di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Nani Hasanuddin
Makassar program studi S1 Keperawatan
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan
dari beberapa pihak, sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini, untuk
itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu sehingga makalah ini terselesaikan.
Terlpeas dari itu semua, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan dalam menyusun makalah ini. Oleh karena itu dengan tangan terbuka
kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat
memperbaiki kesalahan dalam menyusun makalah ini.
Akhir kata kami berharap, semoga makalah ini dapat memberikan
manfaatnya maupun inspirasi kepada pembaca.

Makassar, 07 November 2019

Penulis
2

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………………...i
DAFTAR ISI………………………………………………………….ii
BAB I LATAR BELAKANG………………………………………...iii
BAB II TINJAUAN TEORI………………………………………….5
A. Definisi Bencana………………………………………………..5
B. Fase-fase Bencana……………………………………………....6
C. Evolusi Pandangan Terhadap Bencana………………………....7
D. Paradigma-Paraadigma Penanggulangan Bencana……………..8
E. Permasalahan Dalam Penanggulangan Bencana………………..9
F. Kelompok Rentan Bencana……………………………………..9
G. Pengurangan Resiko Bencana………………………………......10
H. Trauma Pasca Bencana………………………………………….10
I. Dari Aspek Psikososial………………………………….………14
J. Peran Perawat Komunitas Dalam
Manajemen Kejadian Bencana………………………………….15
K. Peran Mahasiswa Keperawatan Dalam Bencana……………….18
L. Jenis Kegiatan Siaga Bencana…………………………………..19
M. Management Bencana………………………………………….22
N. Pemulihan Korban Pasca Bencana……………………………...23
O. Terapi Psiko-Sosial……………………………………………...25
PENUTUP…………………………………………………………….
A. Kesimpulan……………………………………………………...
DAFTAR PUSTAKA
3

BAB I

LATAR BELAKANG

Setiap bencana pasti meninggalkan duka dan luka. Terbayang


penderitaan yang dialami masyarakat Jepang, khususnya di daerah bencana
(Sendai, Fukushima, dan sekitarnya), bencana gempa bumi dan tsunami yang
menelan korban lebih dari 10.000 jiwa ini tentunya akan membawa
perasaan pilu yang mendalam bagi seluruh keluarganya. Demikian pula
kejadian gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Aceh 6 tahun yang lalu
yang menelan korban sekitar 200.000 jiwa. Tidak hanya itu, selain
kehilangan sanak saudara, para korban gempa juga kehilangan tempat
tinggal. Bangunan rumah mereka hancur, dan rata dengan tanah.

Akibat dari bencana tersebut akan berpengaruh terhadap kehidupan


masyarakat paska bencana, sebagai akibat perubahan yang terjadi dalam
hidup mereka yang terjadi secara drastis dan tiba–tiba, dan pada
akhirnya menimbulkan kelainan atau gangguan pada mental atau gangguan
kejiwaan sebagai buntut bencana.

Pada fase awal bencana, akan membuat para korban menjadi khawatir dan
bahkan mungkin menjadi panik. Kepanikan itu berupa, seseorang akan
merasa sangat down, shock, karena kehilangan harta benda dan
sanak saudara. Demikian pula, mereka akan merasakan berbagai macam emosi
seperti ketakutan, kehilangan orang dan benda yang dicintainya, serta
membandingkan keadaan tersebut dengan kondisi sebelum bencana, mereka
kembali mengingat harta benda yang telah hilang atau rusak sekaligus
merasakan kesedihan yang mendalam. Hingga pada akhirnya merasa kecewa,
frustasi, marah, dan merasakan pahitnya hidup
4

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Definisi Bencana

Undang-undang Tentang Penanggulangan Bencana menyebutkan Bencana adalah


peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan
penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam
maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia,
kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.

Bencana dapat menyebabkan individu dan keluarga mengalami gangguan secara fisik
maupun mental. Peristiwa bencana alam dan konflik yang terjadi di beberapa daerah di
Indonesia telah menyebabkan banyak individu, keluarga, dan masyarakat mengalami
trauma baik fisik maupun psikologis. Trauma yang dialami mengakibatkan individu jatuh
pada kondisi kritis. Masalah kesehatan mental yang lebih berat akan timbul bila kritis yang
dialami tidak terselesaikan.(Budi Anna Kenna,2012)

Peran perawat sebagai sebagian dari tenaga kesehatan yang turut serta dalam
penanggulangan bencana harus mempunyai keterampilan khusus untuk membantu individu,
keluarga dan masyarakat mengatasi kritis yang dialaminya.(Budi Anna Kenna,2012)

Bencana dapat terjadi secara alamiah maupun dapat di buat oleh manusi. Beberapa kejadian
alam yang menyebabakan bencana antara lain gunung meletus, gempa bumi, banjir
bandang, angina topan, tsunami, angina putting beliung dan wabah.(Budi Anna
Kenna,2012)
5

Definisi tersebut menyebutkan bahwa bencana disebabkan oleh faktor alam, non alam, dan
manusia. Oleh karena itu, Undang-Undang tersebut juga mendefinisikan mengenai bencana
alam, bencana nonalam, dan bencana sosial.
1. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian
peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung
meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.
2. Bencana nonalam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian
peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi,
epidemi, dan wabah penyakit.
3. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian
peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antarkelompok
atau antarkomunitas masyarakat, dan terror.

B. Fase-fese Bencana

Ada 3 fase dalam terjadinya suatu bencana, yaitu diantaranya :

1. Fase preimpact merupakan warning phase, tahap awal dari bencana. Informasi didapat
dari badan satelit dan meteorologi cuaca. Seharusnya pada fase inilah segala persiapan
dilakukan baik oleh pemerintah, lembaga, dan warga masyarakat.
2. Fase impact merupakan fase terjadinya klimaks dari bencana. Inilah saat-saat dimana
manusia sekuat tenaga mencoba untuk bertahan hidup (survive). Fase impact ini terus
berlanjut hingga terjadi kerusakan dan bantuan-bantuan darurat dilakukan.
3. Fase postimpact adalah saat dimulainya perbaikan dan penyembuhan dari fase darurat,
juga tahap dimana masyarakat mulai berusaha kembali pada fungsi komunitas normal.
Secara umum dalam fase postimpact ini para korban akan mengalami tahap respon
psikologis mulai penolakan, marah, tawar-menawar, depresi hingga penerimaan.

C. Evolusi Pandangan Terhadap Bencana


6

1. Pandangan Konvensional
Bencana merupakan sifat alam. Terjadinya bencana : Kecelakaan (accident) ; tidak
dapat diprediksi, tidak menentu, tidak terhindarkan, dan tidak terkendali. Masyarakat
dipandang sebagai ‘korban’ dan ‘penerima bantuan’ dari pihak luar.

2. Pandangan Ilmu Pengetahuan Alam


Bencana merupakan unsur lingkungan fisik yang membahayakan kehidupan manusia.
Karena kekuatan alam yang luar biasa. Proses geofisik, geologi dan hidrometeorologi.
Tidak memperhitungkan manusia sebagai penyebab bencana.

3. Pandangan Ilmu Terapan


Besaran (magnitude) bencana tergantung besarnya ketahanan atau kerusakan akibat
bencana. Pengkajian bencana ditujukan pada upaya meningkatkan kekuatan fisik
struktur bangunan untuk memperkecil kerusakan.

4. Pandangan Progresif
Menganggap bencana sebagai bagian dari pembangunan masyarakat yang ‘normal’.
Bencana adalah masalah yang tidak pernah berhenti. Peran sentral dari masyarakat
adalah mengenali bencana itu sendiri.

5. Pandangan Ilmu Sosial


Fokus pada bagaimana tanggapan dan kesiapan masyarakat menghadapi bahaya.
Ancaman adalah alami, tetapi bencana bukan alami. Besaran bencana tergantung
perbedaan tingkat kerawanan masyarak.

6. Pandangan Holistik
Menekankan pada ancaman (threat) dan kerentanan (vulnerability), serta kemampuan
masyarakat dalam menghadapi risiko. Gejala alam menjadi ancaman jika mengancam
hidup dan harta-benda. Ancaman akan berubah menjadi bencana jika bertemu dengan
kerentanan.
7

D. Paradigma-paradigma Penanggulangan Bencana


1. Pandangan Konvensional
Bencana merupakan sifat alam. Terjadinya bencana : Kecelakaan (accident) ; tidak
dapat diprediksi, tidak menentu, tidak terhindarkan, dan tidak terkendali. Masyarakat
dipandang sebagai ‘korban’ dan ‘penerima bantuan’ dari pihak luar.

2. Pandangan Ilmu Pengetahuan Alam


Bencana merupakan unsur lingkungan fisik yang membahayakan kehidupan manusia.
Karena kekuatan alam yang luar biasa. Proses geofisik, geologi dan hidrometeorologi.
Tidak memperhitungkan manusia sebagai penyebab bencana.

3. Pandangan Ilmu Terapan


Besaran (magnitude) bencana tergantung besarnya ketahanan atau kerusakan akibat
bencana. Pengkajian bencana ditujukan pada upaya meningkatkan kekuatan fisik
struktur bangunan untuk memperkecil kerusakan.

4. Pandangan Progresif
Menganggap bencana sebagai bagian dari pembangunan masyarakat yang ‘normal’.
Bencana adalah masalah yang tidak pernah berhenti. Peran sentral dari masyarakat
adalah mengenali bencana itu sendiri.

5. Pandangan Ilmu Sosial


Fokus pada bagaimana tanggapan dan kesiapan masyarakat menghadapi bahaya.
Ancaman adalah alami, tetapi bencana bukan alami. Besaran bencana tergantung
perbedaan tingkat kerawanan masyarak.

6. Pandangan Holistik
Menekankan pada ancaman (threat) dan kerentanan (vulnerability), serta kemampuan
masyarakat dalam menghadapi risiko. Gejala alam menjadi ancaman jika mengancam
hidup dan harta-benda. Ancaman akan berubah menjadi bencana jika bertemu dengan
kerentanan.
8

E. Permasalaahan Dalam Penanggulangan Bencana

Secara umum masyarakat Indonesia termasuk aparat pemerintah didaerah memiliki


keterbatasan pengetahuan tentang bencana seperti berikut :
1. Kurangnya pemahaman terhadap karakteristik bahaya
2. Sikap atau prilaku yang mengakibatkan menurunnya kualitas SDA
3. Kurangnya informasi atau peringatan dini yang mengakibatkan ketidaksiapan
4. Ketidakberdayaan atau ketidakmampuan dalam menghadapi ancaman bahaya

F. Kelompok Rentan Bencana


Kerentanan adalah keadaan atau sifat (perilaku) manusia atau masyarakat yang
menyebabkan ketidakmampuan menghadapi bahaya atau ancaman dari potensi bencana
untuk mencegah, menjinakkan, mencapai kesiapan dan menanggapi dampak bahaya
tertentu. Kerentanan terbagi atas:
1. Kerentanan fisik, kerentanan yang dihadapi masyarakat dalam menghadapi ancaman
bahaya tertentu, misalnya kekuatan rumah bagi masyarakat yang tinggal di daerah
rawan gempa.
2. Kerentanan ekonomi, kemampuan ekonomi individu atau masyarakat dalam
pengalokasian sumber daya untuk pencegahan serta penanggulangan bencana.
3. Kerentanan social, kondisi social masyarakat dilihat dari aspek pendidikan,
pengetahuan tentang ancaman bahaya dan rsiko bencana.
4. Kerentanan lingkungan, keadaan disekitar masyarakat tinggal. Misalnya masyarakat
yang tinggal di lereng bukit atau pegunungan rentan terhadap ancaman bencana tanah
longsor.

G. Pengurangan Resiko Bencana


Tahapan penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi:
9

1. Pra bencana, pada tahapan ini dilakukan kegiatan perencanaan penanggulangan


bencana, pengurangan risiko bencana, pencegahan, pemaduan dalam perencanaan
pembangunan, persyaratan analisis risiko bencana, penegakan rencana tata ruang,
pendidikan dan peletahihan serta penentuan persyaratan standar teknis penanggulangan
bencana (kesiapsiagaan, peringatan dini dan mitigasi bencana).
2. Tanggap darurat, tahapan ini mencakup pengkajian terhadap loksi, kerusakan dan
sumber daya; penentuan status keadan darurat; penyelamatan dan evakuasi korban,
pemenuhan kebutuhan dasar; pelayanan psikososial dan kesehatan.
3. Paska bencana, tahapan ini mencakup kegiatan rehabilitasi (pemulihan daerah bencana,
prasaranan dan saran umum, bantuan perbaikan rumah, social, psikologis, pelayanan
kesehatan, keamanan dan ketertiban) dan rekonstruksi (pembangunan, pembangkitan
dan peningkatan sarana prasarana termasuk fungsi pelayanan kesehatan.

H. Trauma Pasca Bencana


1. Stress

Secara sederhana, stres dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana individu
terganggu keseimbangannya. Stres terjadi akibat adanya situasi dari luar ataupun dari
dalam diri yang memunculkan gangguan, dan menuntut individu berespon secara
sesuai.

Stress merupakan sesuatu yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia, bahkan seperti
merupakan bagian dari kehidupan itu sendiri. Setiap hari kadang kita harus tergesa
bangun, membereskan pekerjaan rumah kadang hingga lupa atau tidak sempat sarapan,
lari mengejar kendaraan umum untuk Sekolah atau menjalani aktivitas, berkonflik
dengan teman atau orang lain, kehabisan uang padahal harus membeli keperluan harian
dan seterusnya. Semua kejadian itu dapat memunculkan stres.

Mereka yang mengalami stres mungkin merasa lebih gelisah, tegang, cemas,
mengalami kelelahan, ketegangan otot dan sulit tidur. Ada pula yang tekanan darah dan
detak jantungnya nmeningkat, sakit kepala, perut mulas, gatal-gatal atau diare. Stres
juga dapat merubah perilaku kita. Misalnya kita menjadi lebih cepat marah, lebih suka
10

sendirian, menjadi tidak enak makan, merasa tidak berdaya, tidak bersemangat,
frustrasi, atau merasa tidak percaya diri.

Meski cukup sering menganggu, stres tidak perlu selalu dilihat sebagai hal negatif.
Dalam hal tertentu ,stres memiliki dampak positif. Eustress adalah stres dalam artian
positif yakni keadaan yang dapat memotivasi, dan berdampak menguntungkan. Sebagai
contohnya, ada orang-orang yang bila sudah terdesak waktu, tiba-tiba akan
terbangkitkan kreativitasnya. Ada pula yang karena merasa tertinggal, memotivasi diri
sendiri dan dapat berprestasi gemilang.

2. Trauma

Secara sederhana, trauma berarti luka atau kekagetan (syok/shock). Penyebab trauma
adalah peristiwa yang sangat menekan, terjadi secara tiba-tiba dan di luar
kontrol/kendali seseorang, bahkan seringkali membahayakan kehidupan atau
mengancam jiwa. Peristiwa ini begitu mengagetkan, menyakitkan dan melebihi situasi
stres yang kita alami sehari-hari. Peristiwa ini dinamakan sebagai peristiwa traumatis.

Ciri-ciri peristiwa traumatis adalah :


a. Terjadi secara tiba-tiba.
b. Mengerikan, menimbulkan perasaan takut yang amat sangat.
c. Mengancam keutuhan fisik maupun mental.
d. Dapat menimbulkan dampak fisik, pikiran, perasaan, dan perilaku yang amat
membekas bagi mereka yang mengalami ataupun yang menyaksikan.

Bencana alam seperti gempa bumi jelas merupakan peristiwa traumatis, karena tidak
pernah ada yang bisa meramalkan kapan akan datang dan menimbukan perasaan takut
dan mengerikan. Sehingga dapat menimbukan trauma bagi yang mengalaminya.
11

Kondisi seperti stres yang kita rasakan setelah munculnya peristiwa traumatis disebut
sebagai stres traumatis. Kondisi inilah yang biasa kita kenal sebagai trauma.

Gejala trauma sebenarnya dapat juga dialami oleh orang yang tidak mengalami
langsung peristiwa traumatis. Misalnya, seseorang yang menonton berita bencana
secara terus menerus. Ia kemudian menjadi sulit tidur, mengalami rasa takut dan
waspada berlebihan. Hal semacam ini disebut sebagai trauma sekunder, yaitu stres
traumatis yang dialami oleh orang yang tidak mengalami secara langsung.

Siapapun orangnya, sekuat dan sehebat apapun dia, biasanya akan menunjukkan
respon tertentu. Respon yang muncul mungkin berbeda-beda bagi tiap orang, namun
umumnya respon yang muncul adalah:
a. Memiliki ingatan atau bayangan yang sulit dilupakan, seperti mencengkeram,
atau ingatan lainnya tentang traumanya
b. Merasakan peristiwa seperti terjadi lagi (flashback)
c. Merasa terganggu bila diingatkan, atau teringat peristiwa
d. traumatis karena sesuatu yang dilihat, didengar, dirasakan, atau diciumnya.
e. Ketakutan, merasa kembali berada dalam bahaya
f. Kesulitan mengendalikan perasaan karena tidak mampu mengendalikan ingatan
tentang peristiwa traumatis.

Selain respon-respon tersebut, kita mungkin akan mengalami perubahan perasaan


ataupun perilaku. Perubahan perasaan yang mungkin dialami antara lain:
a. Cepat sedih
b. Cepat marah
c. Ingin menangis
d. Merasa bersalah
e. Merasa tidak berdaya
f. Suasana hati tidak menentu atau mudah berubah
g. Merasa tidak dipahami oleh orang-orang disekitarnya
12

Sementara perubahan perilaku yang mungkin terjadi antara lain :


a. Lebih banyak menyendiri
b. Gemetar
c. Tidak mau keluar rumah
d. Mudah tersinggung
e. Mengalami gangguan tidur, seperti: sering mimpi buruk,
f. susah tidur atau justru terlalu banyak tidur.
g. Gelisah
h. Kewaspadaan berlebih, sangat ingin menjaga dan melindungi diri
i. Mengalami gangguan makan, seperti : mual, muntah, tidak mau makan, atau
justru terlalu banyak makan
j. Mudah merasa was-was
k. Tiba-tiba dicekam bayangan menakutkan
l. Sulit berkonsentrasi atau berpikir jernih
m. Badan sering terasa lemas dan keluar keringat dingin
n. Sesak napas

Biasanya perubahan perilaku maupun perasaan tersebut akan berkurang seiring


dengan berjalannya waktu. Namun, kita perlu mewaspadai apabila perubahan tersebut
dirasakan lebih dari 6-8 minggu dan mengganggu kehidupan kita sehari-hari. Dampak
yang kita alami mungkin lebih besar daripada yang kita bayangkan.

I. Dari Aspek Psikososial, Bencana Dapat Berdampak Pada:

1. Extreme peritraumatic stress reactions (reaksi stres & trauma)


Gejala ini muncul pada masa kurang dari 2 hari. Gejala ini ditandai dengan simptom-
simptom yang muncul setelah bencana, di antaranya:
13

a. Dissosiasi (depersonalisasi, derelisasi, amnesia).


b. Menghindar (menarik diri dari situasi sosial).
c. Kecemasan (cemas berlebihan, nervous, gugup, merasa tidak berdaya).
d. Intrusive re-experiencing (flashback, mimpi buruk).

2. Acute stress disorder (ASD)

Gejala ini muncul pada masa 2 s.d 30 hari/4 minggu yang ditandai dengan:

a. Individu/korban mengalami peristiwa traumatik yang mengancam jiwa diri sendiri


maupun orang lain, atau menimbulkan kengerian luar biasa bagi dirinya (horor).
b. Peningkatan keterbangkitan psikologis, misalnya kewaspadaan tinggi, mudah
kaget, sulit konsentrasi, sulit tidur, mudah tersinggung dan gelisah.
c. Gangguan efektifitas diri di area sosial dan pekerjaan.

3. Post traumatic stress disorder (PTSD)

Gejala ini muncul di atas 30 hari/1 bulan yang ditandai dengan:

a. Gangguan muncul akibat suatu peristiwa hebat yang mengejutkan, bahkan sering
tidak terduga dan akibatnya pun tidak tertahankan oleh orang yang mengalaminya.
b. Terulangnya bayangan mental akibat peristiwa traumatik yang pernah dialami.
c. Ketidakberdayaan/ke-”tumpul”an emosional dan “menarik diri”.
d. Terlalu siaga/waspada yang disertai ketergugahan/keterbangkitan secara kronis.
e. Terjadi gangguan yang menyebabkan kegagalan untuk berfungsi secara efektif
dalam kehidupan sosial (pekerjaan, rumah tangga, pendidikan, dll).

J. Peran Perawat Komunitas Dalam Manajemen Kejadian Bencana

Perawat komunitas dalam asuhan keperawatan komunitas memiliki tanggung jawab peran
dalam membantu mengatasi ancaman bencana baik selama tahap preimpact,
impact/emergency, dan post impact.
14

Peran perawat disini bisa dikatakan multiple; sebagai bagian dari penyusun
rencana, pendidik, pemberi asuhan keperawatan bagian dari tim pengkajian kejadian
bencana.

Tujuan utama : Tujuan tindakan asuhan keperawatan komunitas pada bencana ini adalah
untuk mencapai kemungkinan tingkat kesehatan terbaik masyarakat yang terkena bencana
tersebut.

1. Peran dalam Pencegahan Primer

Ada beberapa hal yang dapat dilakukan perawat dalam masa pra bencana ini, antara
lain:

a. Mengenali instruksi ancaman bahaya,


b. Mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan saat fase emergency (makanan, air, obat-
obatan, pakaian dan selimut, serta tenda),
c. Melatih penanganan pertama korban bencana, dan
d. Merkoordinasi berbagai dinas pemerintahan, organisasi lingkungan, palang merah
nasional maupun lembaga-lembaga kemasyarakatan dalam memberikan
penyuluhan dan simulasi persiapan menghadapi ancaman bencana kepada
masyarakat.

Pendidikan kesehatan diarahkan kepada :

a. Usaha pertolongan diri sendiri (pada masyarakat tersebut).


b. Pelatihan pertolongan pertama dalam keluarga seperti menolong anggota keluarga
dengan kecurigaan fraktur tulang , perdarahan, dan pertolongan pertama luka
bakar.
c. Memberikan beberapa alamat dan nomor telepon darurat seperti dinas kebakaran,
rs dan ambulans.
d. Memberikan informasi tentang perlengkapan yang dapat dibawa (misal pakaian
seperlunya, portable radio, senter, baterai).
15

e. Memberikan informasi tempat-tempat alternatif penampungan atau posko-posko


bencana.

2. Peran Perawat dalam Keadaan Darurat (Impact Phase)

Biasanya pertolongan pertama pada korban bencana dilakukan tepat setelah keadaan
stabil. Setelah bencana mulai stabil, masing-masing bidang tim survey mulai
melakukan pengkajian cepat terhadap kerusakan-kerusakan, begitu juga perawat
sebagai bagian dari tim kesehatan.

Perawat harus melakukan pengkajian secara cepat untuk memutuskan tindakan


pertolongan pertama. Ada saat dimana ”seleksi” pasien untuk penanganan segera
(emergency) akan lebih efektif. (Triase).

TRIASE :

a. Merah — paling penting, prioritas utama. keadaan yang mengancam kehidupan


sebagian besar pasien mengalami hipoksia, syok, trauma dada, perdarahan internal,
trauma kepala dengan kehilangan kesadaran, luka bakar derajat I-II.
b. Kuning — penting, prioritas kedua. Prioritas kedua meliputi injury dengan efek
sistemik namun belum jatuh ke keadaan syok karena dalam keadaan ini
sebenarnya pasien masih dapat bertahan selama 30-60 menit. Injury tersebut antara
lain fraktur tulang multipel, fraktur terbuka, cedera medulla spinalis, laserasi, luka
bakar derajat II.
c. Hijau — prioritas ketiga. Yang termasuk kategori ini adalah fraktur tertutup, luka
bakar minor, minor laserasi, kontusio, abrasio, dan dislokasi.
d. Hitam — meninggal. Ini adalah korban bencana yang tidak dapat selamat dari
bencana, ditemukan sudah dalam keadaan meninggal.

3. Peran perawat di dalam posko pengungsian dan posko bencana


a. Memfasilitasi jadwal kunjungan konsultasi medis dan cek kesehatan sehari-hari.
b. Tetap menyusun rencana prioritas asuhan keperawatan harian.
c. Merencanakan dan memfasilitasi transfer pasien yang memerlukan penanganan
kesehatan di RS.
16

d. Mengevaluasi kebutuhan kesehatan harian.


e. Memeriksa dan mengatur persediaan obat, makanan, makanan khusus bayi,
peralatan kesehatan.
f. Membantu penanganan dan penempatan pasien dengan penyakit menular maupun
kondisi kejiwaan labil hingga membahayakan diri dan lingkungannya
berkoordinasi dengan perawat jiwa.
g. Mengidentifikasi reaksi psikologis yang muncul pada korban (ansietas, depresi
yang ditunjukkan dengan seringnya menangis dan mengisolasi diri) maupun reaksi
psikosomatik (hilang nafsu makan, insomnia, fatigue, mual muntah, dan
kelemahan otot).
h. Membantu terapi kejiwaan korban khususnya anak-anak, dapat dilakukan dengan
memodifikasi lingkungan misal dengan terapi bermain.
i. Memfasilitasi konseling dan terapi kejiwaan lainnya oleh para psikolog dan
psikiater.
j. Konsultasikan bersama supervisi setempat mengenai pemeriksaan kesehatan dan
kebutuhan masyarakat yang tidak mengungsi.

4. Peran perawat dalam fase postimpact

Bencana tentu memberikan bekas khusus bagi keadaan fisik, sosial, dan psikologis
korban. Selama masa perbaikan perawat membantu masyarakat untuk kembali pada
kehidupan normal. Beberapa penyakit dan kondisi fisik mungkin memerlukan jangka
waktu yang lama untuk normal kembali bahkan terdapat keadaan dimana kecacatan
terjadi.

K. Peran Mahasiswa Keperawatan Dalam Bencana

Peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap
seseorang sesuai kedudukannya dalam suatu sistem. Peran dipengaruhi oleh keadaan
nalge baik dari dalam maupun dari luar dan bersifat stabil. Peran adalah bentuk dari
perilaku yang diharapkan dari seesorang pada situasi nalge tertentu.
17

Peran mahasiswa perawat yang dimaksud adalah cara untuk menyatakan aktifitas
mahasiswa keperawatan dalam membantu praktik, dimana telah mendapatkan
pendidikan formalnya yang sesuai dengan kode etik keperawatan. Dimana setiap peran
yang dinyatakan sebagai nalg terpisah demi untuk kejelasan.

Seorang perawat, khususnya perawat komunitas memiliki tanggung jawab peran dalam
membantu mengatasi ancaman bencana baik selama tahap preimpact, impact/emergency,
dan postimpact. Dalam melakukan tugasnya tentu perawat tidak bisa berjalan sendiri.
Koordinasi dan persiapan yang baik mulai dari pemerintah atas hingga ke cabang-
cabang di bawahnya mutlak diperlukan. Dimulai dari pusat studi bencana, badan
nalgesic, pemerintah pusat dan daerah, para teknisi, departemen kesehatan, palang merah
nasional yang didalamnya terdiri dari mahasiswa-mahasiswa peduli bencana, tenaga-
tenaga kesehatan, departemen penerangan, dinas transportasi hingga dinas kebakaran
dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat, semua ikut terlibat dalam perencanaan
persiapan penanggulangan bencana.

Tujuan utama dari tindakan keperawatan bencana ini adalah untuk mencapai
kemungkinan tingkat kesehatan terbaik masyarakat yang terkena bencana tersebut. Jika
seorang mahasiswa keperawatan beserta para perawat lainnya berada di pusat area
bencana, ia akan dibutuhkan untuk ikut mengevakuasi dan nalge pertolongan pertama
pada korban. Sedangkan di lokasi-lokasi penampungan seorang perawat bertanggung
jawab pada evaluasi kondisi korban, melakukan tindakan keperawatan berkelanjutan,
dan mengkondisikan lingkungan terhadap perawatan korban-korban dengan penyakit
menular.

L. Jenis Kegiatan Siaga Bencana

Kegiatan penanganan siaga bencana memang berbeda dibandingkan pertolongan medis


dalam keadaan normal lainnya. Ada beberapa hal yang menjadi perhatian penting. Berikut
beberapa tnidakan yang bisa dilakukan oleh perawat dalam situasi tanggap bencana:
1. Pengobatan dan pemulihan kesehatan fisik
18

Bencana alam yang menimpa suatu daerah, selalu akan memakan korban dan kerusakan,
baik itu korban meninggal, korban luka luka, kerusakan fasilitas pribadi dan
umum, yang mungkin akan menyebabkan isolasi tempat, sehingga sulit dijangkau oleh
para relawan. Hal yang paling urgen dibutuhkan oleh korban saat itu adalah pengobatan
dari tenaga kesehatan. Perawat bisa turut andil dalam aksi ini, baik berkolaborasi dengan
tenaga perawat atau pun tenaga kesehatan profesional, ataupun juga melakukan
pengobatan bersama perawat lainnya secara cepat, menyeluruh dan merata di tempat
bencana. Pengobatan yang dilakukan pun bisa beragam, mulai dari pemeriksaan fisik,
pengobatan luka, dan lainnya sesuai dengan profesi keperawatan.

2. Pemberian bantuan
Perawatan dapat melakukan aksi galang dana bagi korban bencana, dengan menghimpun
dana dari berbagai kalangan dalam berbagai bentuk, seperti makanan, obat obatan,
keperluan sandang dan lain sebagainya. Pemberian bantuan tersebut bisa dilakukan
langsung oleh perawat secara langsung di lokasi bencana dengan memdirikan posko
bantuan. Selain itu, Hal yang harus difokuskan dalam kegiatan ini adalah pemerataan
bantuan di tempat bencana sesuai kebutuhan yang di butuhkan oleh para korban saat itu,
sehinnga tidak akan ada lagi para korban yang tidak mendapatkan bantuan tersebut
dikarenakan bantuan yang menumpuk ataupun tidak tepat sasaran.

3. Pemulihan kesehatan mental


Para korban suatu bencana biasanya akan mengalami trauma psikologis akibat kejadian
yang menimpanya. Trauma tersebut bisa berupa kesedihan yang mendalam, ketakutan
dan kehilangan berat. Tidak sedikit trauma ini menimpa wanita, ibu ibu, dan anak anak
yang sedang dalam massa pertumbuhan. Sehingga apabila hal ini terus berkelanjutan
maka akan mengakibatkan stress berat dan gangguan mental bagi para korban bencana.
Hal yang dibutukan dalam penanganan situasi seperti ini adalah pemulihan kesehatan
mental yang dapat dilakukan oleh perawat. Pada orang dewasa, pemulihannya bisa
dilakukan dengan sharing dan mendengarkan segala keluhan keluhan yang dihadapinya,
selanjutnya diberikan sebuah solusi dan diberi penyemangat untuk tetap bangkit.
Sedangkan pada anak anak, cara yang efektif adalah dengan mengembalikan keceriaan
19

mereka kembali, hal ini mengingat sifat lahiriah anak anak yang berada pada masa
bermain. Perawat dapat mendirikan sebuah taman bermain, dimana anak anak tersebut
akan mendapatkan permainan, cerita lucu, dan lain sebagainnya. Sehinnga kepercayaan
diri mereka akan kembali seperti sedia kala.

4. Pemberdayaan masyarakat
Kondisi masyarakat di sekitar daerah yang terkena musibah pasca bencana biasanya
akan menjadi terkatung katung tidak jelas akibat memburuknya keaadaan pasca
bencana., akibat kehilangan harta benda yang mereka miliki. sehinnga banyak diantara
mereka yang patah arah dalam menentukan hidup selanjutnya. Hal yang bisa menolong
membangkitkan keadaan tersebut adalah melakukan pemberdayaan masyarakat.
Masyarakat perlu mendapatkan fasilitas dan skill yang dapat menjadi bekal bagi mereka
kelak. Perawat dapat melakukan pelatihan pelatihan keterampilan yang difasilitasi dan
berkolaborasi dengan instansi ataupun LSM yang bergerak dalam bidang itu. Sehinnga
diharapkan masyarakat di sekitar daerah bencana akan mampu membangun
kehidupannya kedepan lewat kemampuan yang ia miliki.

Untuk mewujudkan tindakan di atas perlu adanya beberapa hal yang harus dimiliki oleh
seorang perawat, diantaranya:
a. Perawatan harus memilki skill keperawatan yang baik.
Sebagai perawat yang akan memberikan pertolongan dalam penanaganan bencana,
haruslah mumpunyai skill keperawatan, dengan bekal tersebut perawat akan mampu
memberikan pertolongan medis yang baik dan maksimal.
b. Perawat harus memiliki jiwa dan sikap kepedulian.
Pemulihan daerah bencana membutuhkan kepedulian dari setiap elemen masyarakat
termasuk perawat, kepedulian tersebut tercemin dari rasa empati dan mau
berkontribusi secara maksimal dalam segala situasi bencana. Sehingga dengan jiwa
dan semangat kepedulian tersebut akan mampu meringankan beban penderitaan
korban bencana.

c. Perawatan harus memahami managemen siaga bencana


20

Kondisi siaga bencana membutuhkan penanganan yang berbeda, segal hal yang
terkait harus didasarkan pada managemen yang baik, mengingat bencana datang
secara tak terduga banyak hal yang harus dipersiapkan dengan matang, jangan
sampai tindakan yang dilakukan salah dan sia sia. Dalam melakukan tindakan di
daerah bencana, perawat dituntut untuk mampu memilki kesiapan dalam situasi
apapun jika terjadi bencana alam. Segala hal yang berhubungan dengan peralatan
bantuan dan pertolongan medis harus bisa dikoordinir dengan baik dalam waktu
yang mendesak. Oleh karena itu, perawat harus mengerti konsep siaga bencana.

M. Management Bencana

Ada 3 aspek mendasar dalam management bencana, yaitu:


1. Respons terhadap bencana
2. Kesiapsiagaan menghadapi bencana
3. Mitigasi efek bencana

Managemen siaga bencana membutuhkan kajian yang matang dalam setiap tindakan yang
akan dilakukan sebelum dan setelah terjun kelapangan. Ada beberapa hal yang bisa
dijadikan pedoman, yaitu:
1. Mempersiapkan bentuk kegiatan yang akan dilakukan
Setelah mengetahui sebuah kejadian bencana alam beserta situasi di tempat kejadian, hal
yang terlebih dahulu dilakukan adalah memilih bentuk kegiatan yang akan diangkatkan,
seperti melakukan pertolongan medis, pemberian bantuan kebutuhan korban, atau
menjadi tenaga relawan. Setelah ditentukan, kemudian baru dilakukan persiapan
mengenai alat alat, tenaga, dan juga keperluan yang akan dibawa disesuaikan dengan
alur dan kondisi masyarakat serta medan yang akan ditempuh.

2. Melakukan tindakan yang telah direncanakan sebelumnya.


21

Hal ini merupakan pokok kegiatan siaga bencana yang dilakukan, segala hal yang
dipersiapkan sebelumnya, dilakukan dalam tahap ini, sampai jangka waktu yang
disepakati.

3. Evaluasi kegiatan
Setiap selesai melakukan kegiatan, perlu adanya suatu evaluasi kegiatan yang dilakukan,
evaluasi bisa dijadikan acuan, introspeksi, dan pedoman melakukan kegiatan
selanjutnya. Alhasil setiap kegiatan yang dilakukan akan berjalan lebih baik lagi dari
sebelumnya.

N. Pemulihan Korban Pasca Bencana

Penanganan korban stres akibat bencana memang tidak mudah. Pengalaman traumatis
karena bencana telah menggoncangkan dan melemahkan pertahanan individu dalam
menghadapi tantangan dan kesulitan hidup sehari-hari. Apalagi kondisi trauma, kondisi
fisik dan mental, aspek kepribadian masing-masing korban tidak sama.

Masyarakat yang menjadi korban dari suatu bencana cenderung memiliki masalah
penyesuaian perilaku dan emosional. Perubahan mendadak sering membawa dampak
psikologis yang cukup berat. Beban yang dihadapi oleh para korban tersebut dapat
mengubah pandangan mereka tentang kehidupan dan menyebabkan tekanan pada jiwa
mereka.

Munculnya gejala-gejala stres, seperti rasa takut, cemas, duka cita yang mendalam, tidak
berdaya, putus asa, kehilangan kontrol, frustrasi sampai depresi semuanya bermuara pada
kemampuan individu dalam memaknai suatu musibah secara lebih realistis. Gejala-gejala
tersebut adalah reaksi wajar dari pengalaman yang tidak wajar. Tentunya hal ini tidak bisa
22

dibiarkan begitu saja. Mereka memerlukan cara yang tepat untuk mengatasi masalah yang
dialami

Dalam hal ini, konsep coping merupakan hal yang penting untuk dibicarakan. Konsep
coping menunjuk pada berbagai upaya, baik mental maupun perilaku, untuk menguasai,
mentoleransi, mengurangi, atau meminimalisasikan suatu situasi atau kejadian yang penuh
tekanan. Dengan kata lain, coping merupakan suatu proses di mana individu berusaha untuk
menanggani dan menguasai situasi yang menekan akibat dari masalah yang sedang
dihadapinya. Beragam cara dilakukan. Namun, semua bermuara pada perubahan kognitif
maupun perilaku guna memperoleh rasa aman dalam dirinya.

Ketika seseorang tertimpa suatu musibah, biasanya ia akan mendekat kepada Tuhan dengan
meningkatkan ibadah dan perbuatan baik lainnya. Hal ini diperlihatkan oleh sebagian besar
rakyat Bantul yang mengaku tawakal dengan memasrahkan segalanya kepada Tuhan.
Ekspresi sikap pasrah itu gampang dijumpai di lokasi bencana, “Matur nuwun, Gusti,
kawula tasih dipunparingi keselametan...”

Mereka bersyukur masih diberi keselamatan. Pengalaman tersebut menjadikan mereka


semakin dekat kepada Tuhan. Idealnya, mereka harus memaknai bencana sebagai sebuah
musibah, bukan petaka atau azab. Bencana gempa ditafsirkan sebagai peringatan keras
Tuhan kepada manusia yang telah lama berkubang dalam dosa dan dusta. Karena itu,
sebagai sebuah musibah, bencana bukan akhir segala-galanya. Bencana dapat diubah
menjadi sesuatu yang memiliki makna, bukan kesia-siaan apalagi keterkutukan.

Korban bencana yang tingkat spiritualitasnya tinggi akan menjadikan mereka senantiasa
hidup dalam nuansa keimanan kepada Tuhan. Mereka akan memaknai aktivitasnya dalam
kehidupan ini sebagai ibadah kepada Tuhan. Mereka pun akan semakin tegas dan konsisten
dalam sikap dan langkah hidupnya serta semakin terikat dengan aturan Sang Pencipta
dengan perasaan ridha dan tenteram. Perasaan itu akan menjadikannya kuat dalam
menghadapi segala persoalan hidup. Mereka dapat mengambil hikmah atas musibah yang
23

menimpanya, tidak putus asa, dan menjadikan hambatan-hambatan yang ditemui pasca-
bencana sebagai tantangan untuk memulai kehidupan baru. Mereka menganggap bahwa
bencana bukan akhir dari segalanya. Bencana bisa diubah menjadi suatu pengalaman positif
yang memiliki makna.
Identitas spiritual dibutuhkan individu dalam mengkonstruksi makna atas pengalaman
hidup.

Dengan adanya kepercayaan pribadi untuk memberikan makna luar biasa kepada realitas
kehidupan, agama akan mampu mengarahkan individu untuk memberikan penerimaan tulus
atas musibah yang terjadi. Kondisi tersebut memungkinkan individu untuk memaknai
kembali hidupnya dengan membuat perencanaan atas setiap kemungkinan yang terjadi
setelah mengalami musibah untuk mencapai suatu tujuan tertentu pada masa yang datang.

Spiritualitas bermanfaat dalam upaya untuk memecahkan berbagai permasalahan dalam


kehidupan. Spiritualitas dapat memprioritas-ulangkan tujuan-tujuan (reprioritization of
goals). Terlebih lagi, pribadi yang spiritual lebih mudah menyesuaikan diri pada saat
menangani kejadian-kejadian traumatis. Mereka pun lebih bisa menemukan makna dalam
krisis traumatis dan memperoleh panduan untuk memutuskan hal-hal tepat apa saja yang
harus dilakukan .

O. Terapi Psiko-Sosial

Tuhan menciptakan manusia dengan segenap keunikan. Sejak ia dilahirkan, manusia


memiliki potensi yang meliputi sisi psikologis, sosial, dan spiritual. Menurut Hanna
Djumhana Bastaman (1995), untuk dapat memahami manusia seutuhnya, baik dalam
keadaan sehat maupun sakit, pendekatan yang digunakan mestinya tidak lagi memandang
manusia sebagai makhluk bio-psiko-sosial (jasmani, psikologis, dan sosial), melainkan
manusia sebagai makhluk bio-psiko-sosio-spiritual (jasmani, psikologis, sosial, dan
spiritual).

Secara eksplisit, spiritualitas sebagai rangkaian karakteristik motivasional (motivational


trait); kekuatan emosional umum yang mendorong, mengarahkan, dan memilih beragam
24

tingkah laku individu. Sementara itu, mendefinisikan spiritualitas sebagai suatu bagian
dalam diri seseorang yang menghasilkan arti dan tujuan hidup, yang terungkap dalam
pengalaman-pengalaman transendental individu dan hubungannya dengan ajaran-ajaran
ketuhanan (universal order).

Inayat Khan dalam bukunya Dimensi Spiritual Psikologi menyebutkan bahwa kekuatan
psikis yang dimiliki oleh seseorang dapat dikembangkan melalui olah spiritual yang
dilakukan melalui beberapa tahapan.

Pertama, berlatih melakukan konsentrasi. Dengan konsentrasi, seseorang dapat memiliki


kekuatan dan inspirasi karena berada dalam kondisi terpusat serta tercerahkan. Melalui
konsentrasi pula, seseorang belajar dan berlatih untuk menguasai dirinya.

Kedua, berlatih mengungkapkan hasil konsentrasi melalui pikiran. Artinya, setelah


seseorang mendapatkan hasil dalam konsentrasi, maka ia harus berani mengungkapkan
hasil konsentrasi tersebut dalam ungkapan-ungkapan yang sederhana melalui kekuatan
pikiran. Kekuatan pikiran ini nantinya akan mempengaruhi kekuatan perasaan yang
dimiliki. Ketahuilah, sesungguhnya perasaan adalah ruh pemikiran, sebagaimana ucapan
adalah ruh suatu tindakan. Karena itu, konsentrasi merupakan hal penting untuk
mengembangkan kekuatan psikis seseorang.

Ketiga, agar dapat mengekspresikan kekuatan psikis, seseorang harus memiliki kekuatan
tubuh (kesehatan fisik). Artinya, orang yang sehat umumnya memiliki pernafasan dan
sirkulasi darah yang teratur dan lancar, sehingga memberikan efek bagi kemampuan
mengekspresikan dirinya.

Keempat, berlatih menjaga kestabilan dan ketenangan dalam berpikir. Artinya, seseorang
yang terbiasa mengembangkan kebiasaan-kebiasaan buruk dalam berpikir, seperti khawatir,
cemas, takut, atau ragu tentang sesuatu, akan mengurangi daya kekuatan dalam
mengekspresikan diri. Tentang hal ini, saya teringat pada kata-kata yang diungkapkan oleh
seorang pegiat pelatihan manajemen diri di sebuah seminar yang pernah saya ikuti. Kata
beliau, “Pikiranmu adalah awal dari perkataanmu. Perkataanmu adalah awal dari
25

perbuatanmu. Perbuatanmu adalah awal dari kebiasaanmu. Kebiasaanmu adalah awal dari
karaktermu. Karaktermu adalah takdirmu.”

Kelima, berlatih mengumpulkan kekuatan psikis yang selanjutnya digunakan untuk


bertindak. Artinya, hasrat dan daya tarik kekuatan psikis yang dimiliki seseorang harus
ditunda sebelum betul-betul terkumpul dan berkembang melimpah. Saat itulah kekuatan
psikis mampu dimanfaatkan untuk menolong diri sendiri maupun orang lain. Kekuatan
psikis yang timbul dari energi spiritual bagaikan mata air yang tercurah, melimpah secara
konstan dan stabil. Karna itu, tinggal pemanfaatannya tergantung pada kesediaan dan
kemauan seseorang untuk mengumpulkan dan mengembangkannya menjadi energi yang
bersifat menyembuhkan (terapeutik).

Sebuah penelitian bertajuk “Religion and Spirituality in Coping with Stress” yang
dipublikasikan oleh Journal of Counseling and Values beberapa tahun lalu, menunjukkan
bahwa semakin penting spiritualitas bagi seseorang, maka semakin besar kemampuannya
dalam mengatasi masalah yang dihadapi. Penelitian ini menyarankan bahwa spiritualitas
bisa memiliki peran yang penting dalam mengatasi stres. Spiritualitas bisa melibatkan
sesuatu di luar sumber-sumber yang nyata atau mencari terapi untuk mengatasi situasi-
situasi yang penuh tekanan di dalam hidup.

Dalam konteks ini, penting untuk diperhatikan bagaimana kondisi spiritualitas para korban
pasca-bencana. ada hubungan positif yang sangat signifikan antara spiritualitas dengan
proactive coping pada korban bencana . Semakin tinggi tingkat spiritualitas, semakin baik
pula proactive coping yang dilakukan oleh korban. Konsep proactive coping diarahkan oleh
sikap yang proaktif. Sikap tersebut merupakan kepercayaan yang relatif terus menerus ada
pada setiap individu. Di mana apabila terjadi perubahan-perubahan yang berpotensi
mengganggu keseimbangan emosional individu, maka sikap tersebut mampu memperbaiki
diri dan lingkungannya.

Terapi psiko-spiritual ini terdiri dari tiga tahapan, yaitu tahapan penyadaran diri (self
awareness), tahapan pengenalan jati diri dan citra diri (self identification), dan tahapan
pengembangan diri (self development). Pada fase penyadaran diri, para korban akan melalui
26

proses pensucian diri dari bekasan atau hal-hal yang menutupi keadaan jiwa melalui cara
penyadaran diri, penginsyafan diri, dan pertaubatan diri. Fase ini akan menguak hakikat
persoalan, peristiwa, dan kejadian yang dialami oleh para korban. Pun menjelaskan hikmah
atau rahasia dari setiap peristiwa tersebut.

Selanjutnya, pada fase pengenalan diri, para korban akan dibimbing kepada pengenalan
hakikat diri secara praktis dan holistik dengan menanamkan nilai-nilai ketuhanan dan
moral. Melalui fase ini, individu diajak untuk menyadari potensi-potensi yang ada di dalam
dirinya. Setelah diidentifikasi, pelbagai potensi itu perlu segera dimunculkan. Kemudian
mengelola potensi diri yang menonjol tersebut agar terus berkembang dan dicoba untuk
diaktualisasikan. Adalah sebuah riwayat yang menyebutkan, “Barangsiapa mengenal
dirinya, maka dia pun akan mengenal Tuhannya.”

Terakhir, pada fase pengembangan diri, para korban akan didampingi dan difasilitasi untuk
tidak hanya sehat fisikal, namun juga sehat mental dan spiritual. Kesehatan mental terwujud
dalam bentuk keharmonisan yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi jiwa, serta
mempunyai kesanggupan untuk menghadapi masalah yang terjadi, dan merasakan secara
positif kebahagiaan dan kemampuan dirinya. Adapun kesehatan spiritual mencakup
penemuan makna dan tujuan dalam hidup seseorang, mengandalkan Tuhan (The Higher
Power), merasakan kedamaian, dan merasakan hubungan dengan alam semesta.

Harapannya, terapi psiko-spiritual akan memberikan penerimaan yang tulus atas musibah
yang menimpa para korban gempa. Selain itu, terapi ini dapat pula mengurangi kesedihan
dan tekanan psikologis, serta membantu para korban dalam menemukan makna yang positif
27

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Bencana alam merupakan sebuah musibah yang tidak dapat diprediksi kapan
datangnya. Apabila bencana tersebut telah datang maka akan menimbulkan kerugian dan
kerusakan yang membutuhkan upaya pertolongan melalui tindakan tanggap bencana yang
dapat dilakukan oleh perawat.

Adapun peran serta mahasiswa keperawatan dalam menolong korban bencana


dikelompokkan menjadi 4 yaitu :

1. Peran dalam Pencegahan Primer


2. Peran dalam Keadaan Darurat (Impact Phase)
3. Peran di dalam posko pengungsian dan posko bencana
4. Peran dalam fase postimpact
28

DAFTAR PUSTAKA
Azizah,Lilik Ma’rifahtul.2011.Keperawatan Jiwa Amplikasi.Yogyakarta : Graham Ilmu.
Dalami, Ermawati.2010.Konsep Dasar Keperawatan Jiwa.Jakarta : Trans Info Media
Iyus, Yosep. 2010.Keperawatan Jiwa. Bandung : Refia Aditama

Kaliet, Budi Anna.2012.Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas:CMHN (BASIC COURSE).


Jakarta:Penerbit buku kedokteran.

Keliat, Farida Kusumawat.2010.Buku Ajar Keperawatan Jiwa, Jakarta : Salemba Medika.


29

Anda mungkin juga menyukai