Anda di halaman 1dari 48

ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PADA BENCANA

- Amalia Azzahra
- Erika Putri Widyaningtyas
- Rizkoh Amelia
- Tias Novia Amalia
- Julia Rosa Anggraini

1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ............................................................................................... 2


BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................... 3
B. Tujuan ............................................................................................ 4
BAB II TINJAUAN TEORI
A. Definisi Bencana ........................................................................... 5
B. Faktor-faktor yang mempengaruhi bencana ................................. 5
C. Jenis Bencana Alam ...................................................................... 5
D. Kelompok Rentan .......................................................................... 7
E. Peran Perawat dalam Bencana........................................................ 7
F. Permasalahan di Bidang Kesehatan ............................................... 9
G. Pelayanan Medis Bencana berdasarkan Siklus Bencana................ 12
H. Penanggulangan Bencana di Bidang Kesehatan............................. 12
I. Pencegahan dan Mitigasi................................................................ 16
BAB IV ASUHAN KEPERAWATAN PADA BENCANA
A. Pengkajian........................................................................................ 18
B. Diagnosa Keperawatan.................................................................... 20
C. Intervensi Keperawatan.................................................................... 21
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................... 25
B. Saran .............................................................................................. 25

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 26

2
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Setiap wilayah tempat tinggal manusia memiliki resiko bencana. Seringkali resiko
tersebut tidak terbaca oleh komunitas dan karenanya tidak dikelola dengan baik. Hal ini
menyebabkan terkadang, dan mungkin juga sering, bencana terjadi secara tak terduga-duga.
Dampak paling awal dari terjadinya bencana adalah kondisi darurat, dimana terjadi
penurunan drastis dalam kualitas hidup komunitas korban yang menyebabkan mereka tidak
mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya dengan kapasitasnya sendiri. Kondisi ini
harus bisa direspons secara cepat, dengan tujuan utama pemenuhan kebutuhan dasar
komunitas korban sehingga kondisi kualitas hidup tidak makin parah
Perbedaan mendasar ditemukan antara kerja dalam kondisi darurat dengan kerja
penguatan kapasitas masyarakat secara umum. Dalam kondisi darurat, waktu kerusakan
terjadi secara sangat cepat dan skala kerusakan yang ditimbulkan pun biasanya sangat besar.
Hal ini menyebabkan perbedaan dalam karakteristik respon kondisi darurat. Komitmen,
kecekatan dan pemahaman situasi dan kondisi bencana (termasuk konflik) dalam rangka
memahami latar belakang kebiasaan, kondisi fisik maupun mental komunitas korban dan
karenanya kebutuhan mereka, sangat dibutuhkan. Selain itu, sebuah kondisi darurat juga tidak
bisa menjadi legitimasi kerja pemberian bantuan yang asal-asalan. Dalam hal ini perlu
dipahami bahwa sumber daya sebesar apapun yang kita miliki tidak akan cukup untuk
memenuhi seluruh kebutuhan komunitas korban bencana. Di sisi lain, sekecil apapun sumber
daya yang kita miliki akan memberikan arti bila didasarkan pada pemahaman kondisi yang
baik dan perencanaan yang tepat dan cepat, mengena pada kebutuhan yang paling mendesak.
Bencana, apapun sebabnya, merupakan hal yang menganggu tatanan masyarakat
dalam segala aspeknya, baik psikologis, ekonomi, sosial budaya maupun material. Jika kita
mengamini faktum bahwa setiap orang memiliki hak untuk hidup layak maka komunitas
manapun yang mengalami bencana berhak atas bantuan kemanusiaan dalam batas-batas
minimum

3
B.   Tujuan
Tujuan Umum : Mahasiswa mampu memahami tentang berbagai hal yang berhubungan
dengan bencana.

Tujuan Khusus :
a. Mahasiswa mengetahui dan memahami tentang jenis bencana, fase-fase bencana
b. Mahasiswa mengetahui dan memahami tentang peran perawat komunitas dalam
manajemen kejadian bencana
c. Mahasiswa mengetahui dan memahami permasalahan bencana dibidang kesehatan
d. Mahasiswa mengetahui pengkajian keperawatan di area bencana
e. Mahasiswa dapat menyusun asuhan keperawatan pada area bencana .

4
BAB II
KONSEP TEORI
KOMUNITAS PADA AREA BENCANA

A. Definisi Bencana
Bencana adalah suatu fenomena alam yang terjadi yang menyebabkan kerugian
baik materiil dan spiritual pada pemerintah dan masyarakat (Urata, 2008). Fenomena
atau kondisi yang menjadi penyebab bencana disebut hazard ( Urata, 2008).
Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia bencana adalah peristiwa
pada suatu wilayah yang mengakibatkan kerusakan ekologi, kerugian ekologi,
kerugian hidup bagi manusia serta menurunnya derajat kesehatan sehingga
memerlukan bantuan dari pihak luar (Effendy & Mahfudli, 2009). Disaster menurut
WHO adalah setiap kejadian, situasi, kondisi yang terjadi dalam kehidupan ( Effendy
& Mahfudli, 2009).

B. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Bencana


1. Faktor alami
Faktor alami merupakan keadaan mudah terjadinya bencana atau kerentanan
tergantung kondisi alam seperti bentuk geografis, geologi, cuaca, iklim (Urata,
2008).
2. Faktor sosial
Faktor social adalah kerentanan akibat ulah manusia, contohnya: pembangunan
bangunan di daerah yang miring, meningkatnya angka urbanisasi, kemiskinan,
pengendalian bencana yang tidak tepat (Urata, 2008).

C. Jenis Bencana Alam


Jenis-jenis bencana alam terdiri 3 bagian (Urata, 2008)
1. Bencana alam ( natural disaster)
Bencana yang terjadi akibat kerusakan ekosistem dan telah terjadi kelebihan
kapasitas komunitas yang terkena dampaknya.
a. Gempa bumi adalah getaran atau guncangan yang terjadi di permukaan bumi
yang disebabkan oleh tumbukan antar lempeng bumi, patahan aktif, akitivitas
gunung api atau runtuhan batuan. Gempa bumi menyebabkan kerusakan fisik

5
sarana dan prasarana dan menyebabkan banyak korban. Masalah kesehatan
yang sering muncul cacat karena patah tulang dan masalah sanitasi.
b. Letusan gunung api merupakan bagian dari aktivitas vulkanik yang dikenal
dengan istilah "erupsi". Bahaya letusan gunung api dapat berupa awan panas,
lontaran material (pijar), hujan abu lebat, lava, gas racun, tsunami dan banjir
lahar. Masalah kesehatan yang di hasilkan adalah kematian, luka bakar,
gangguan pernafasan akibat gas. Letusan gunung merapi dapat menyebabkan
masalah gizi karena menyebabkan rusaknya tanaman, pohon serta hewan
ternak.
c. Tsunami berasal dari bahasa Jepang yang berarti gelombang ombak lautan
("tsu" berarti lautan, "nami" berarti gelombang ombak). Tsunami adalah
serangkaian gelombang ombak laut raksasa yang timbul karena adanya
pergeseran di dasar laut akibat gempa bumi. Tsunami menyebabkan kerusakan
bangunan, tanah, sarana dan prasarana umum, kerusakan sumber air bersih.
d. Tanah longsor merupakan salah satu jenis gerakan massa tanah atau batuan,
ataupun percampuran keduanya, menuruni atau keluar lereng akibat
terganggunya kestabilan tanah atau batuan penyusun lereng.
e. Banjir adalah peristiwa atau keadaan dimana terendamnya suatu daerah atau
daratan karena volume air yang meningkat.
Banjir bandang adalah banjir yang datang secara tiba-tiba dengan debit air
yang besar yang disebabkan terbendungnya aliran sungai pada alur sungai.
2. Bencana buatan manusia
Bencana buatan manusia adalah penyebabnya ditimbulkan oleh aktivitas manusia
contohnya kecelakaan kereta, kecelakaan kereta, kecelakaan lalulintas, kebocoran
gas.
3. Bencana khusus
Bencana khusus dibedakan menjadi empat kategori yaitu:
a. Tipe menyebar ke wilayah yang luas contohnya radio aktif dan nuklir
b. Tipe komplek jika terjadi bencana pertama di susul bencana kedua dank ke
tiga serta di susul penyebarannya.
c. Tipe gabungan atau campuran, bencana ini terjadi campuran antara bencana
alam dengan bencana akibat ulah manusia.
d. Tipe jangka panjang, tipe ini memerlukan waktu pengecekan lokasi kejadian
dan penyelamatan korban.

6
D. Kelompok Rentan
Memahami akibat dari bencana adalah manusia potensial menjadi korban,
sehingga perlu kita perlu memahami dua hal yang perlu mendapatkan fokus utama
adalah mengenali kelompok rentan dan meningkatkan kapasitas dan kemampuan
masyarakat dalam menanggulangi bencana. Kerentanan adalah keadaan atau sifat
manusia yang menyebaabkan ketidakmampuan menghadapi bencana yang berfokus
pada pencegahan, menjinakkan, mencapai kesiapan, dan dalam menghadapi dampak
tertentu.
Undang-undang penanggulangan bencana pada pasal 56 dan pasal 26 (1)
menjelaskan bahwa masyarakat yang rentan adalah masyarakat yang membutuhkan
bantuan diantaranya bayi, balita, anak-anak, ibu hamil, ibu menyusui, lansia.
Kerentanan dalam masyarakat dapat dikelompokkan menjadi:
1. Kerentanan fisik
Adalah resiko yang dihadapimasyarakat dalam menghadapi ancaman bahaya
tertentu, misalnya kekuatan rekonstruksi bangunan rumah pada daerah rawan
banjir dan gempa.
2. Kerentanan ekonomi
Adalah kemampuan ekonomi individu atau masyarakat dalam mengalokasikan
dana utuk mencegas dan penanggulangan bencana.
3. Kerentanan social
Kerentanan social dilihat dari aspek pendidikan, pengetahuan tentang ancaman
dan penanggulangan bencana, serta ingkat kesehatan yang rendah.
4. Kerentanan lingkungan
Kerentanan yang melihat aspek tempat tinggal masyarakat dan lingkungan
sekitarnya.

E. Peran Perawat Dalam Bencana


Peran perawat diharapkan dalam setiap bencana yang terjadi. Peran perawat
menurut fase bencana:
1. Fase pre impact
a. Perawat mengikuti pendidikan dan pelatihan bagi tenaga kesehatan dalam
penanggulangan ancaman bencana untuk setiap fasenya.

7
b. Perawat ikut terlibat dalam berbagai kegiatan pemerintahan, organisasi
lingkungan, Palang Merah Nasinal, maupun lembaga-lembaga
kemasyarakatan dalam memberikan penyuluhan dan simulasi memberikan
tanggap bencana.
c. Perawat terlibat dalam promosi kesehatan dalam rangka meningkatkan
tanggap bencana, meliputi usaha pertolongan diri sendiri, pelatihan
pertolongan pertama dalam keluarga dan menolong anggota keluarga yang
lain, pembekalan informs cara menyimpan makanan dan minuman untuk
persediaan, perawat memberikan nomer telepon penting seperti nomer
telepon pemadam kebakaran, ambulans, rumah sakit, memberikan
informasi peralatan yang perlu dibawa (pakaian, senter).
2. Fase impact
a. Bertindak cepat.
b. Perawat tidak memberikan janji apapun atau memberikan harapan palsu
pada korban bencana.
c. Konsentrasi penuh pada hal yang dilakukan.
d. Berkoordinasi dengan baik dengan tim lain.
e. Bersama pihak yang terkait mendiskusikan dan merancang master plan
revitalizing untuk jangka panjang.
Perawat harus melakukan pengkajian secara cepat untuk memutuskan
tindakan pertolongan pertama. Ada saat dimana ”seleksi” pasien untuk
penanganan segera (emergency) akan lebih efektif. (Triase).
TRIASE :
a. Merah — paling penting, prioritas utama. keadaan yang mengancam
kehidupan sebagian besar pasien mengalami hipoksia, syok, trauma dada,
perdarahan internal, trauma kepala dengan kehilangan kesadaran, luka
bakar derajat I-II.
b. Kuning — penting, prioritas kedua. Prioritas kedua meliputi injury
dengan efek sistemik namun belum jatuh ke keadaan syok karena dalam
keadaan ini sebenarnya pasien masih dapat bertahan selama 30-60 menit.
Injury tersebut antara lain fraktur tulang multipel, fraktur terbuka, cedera
medulla spinalis, laserasi, luka bakar derajat II.

8
c. Hijau — prioritas ketiga. Yang termasuk kategori ini adalah fraktur
tertutup, luka bakar minor, minor laserasi, kontusio, abrasio, dan
dislokasi.
d. Hitam meninggal. Ini adalah korban bencana yang tidak dapat selamat
dari bencana, ditemukan sudah dalam keadaan meninggal.
3. Fase post-impact
a. Memberikan terapi bagi korban bencana untuk mengurangi trauma.
b. Selama masa perbaikan perawat membantu korban bencana alam untuk
kembali ke kehidupan normal.
c. Beberapa penyakit dan kondisi fisik yang memerlukan pemulihan dalam
jangka waktu lama memerlukan bekal informasi dan pendampingan.

F. Permasalahan di Bidang Kesehatan


Berikut ini merupakan akibat – akibat bencana yang dapat muncul baik langsung
maupun tidak langsungterhadap bidang kesehatan.
1. Korban jiwa, luka, dan sakit ( berkaitan dengan angka kematian dan kesakitan)
2. Adanya pengungsi yang pada umumnya akan menjdai rentan dan beresiko
mengalami kurang gizi, tertular penyakit, dan menderita stress.
3. Kerusakan lingkungan sehingga kondisi menjadi darurat dan menyebabkan
keterbatasan air dan sanitasi serta menjadi tempat perindukan vector penyakit.
4. Seringkali system pelayanan kesehatan terhenti, selain karena rusak, besar
kemungkinan tenaga kesehatan setempat juga menjadi korban bencana.
5. Bila tidak diatasi segera, maka derajat kesehatan semakin menurun dan berpotensi
menyebabkan terjadinya KLB.
Penyakit penyakit yang sering kali diderita para pengungsi di Indonesia tidak
lepas dari kondisi kedaruratan lingkungan, antara lain diare, ISPA, campak dan
malaria. WHO mengidentifikasi empat penyakit tersebut sebagai The Big Four.
Kejadian penyakit spesifik sering muncul sesuai dengan bencana yang terjadi. Banjir
di Jakarta pada awal tahun 2007 selain menimbulkan peningkatan kasus Diareyang
tinggi, juga memunculkan kasus leptospirosis yang relative besar, yaitu 248 kasus
dengan 19 kematian (CFR 7,66 %). Sedangkan, gempa di DIY dan jateng pada tahun
2006 mengakibatkan 76 penduduk menderita tetanus dan 29 di antaranya meninggal
dunia.

9
Meskipun dapat dikatakan dengan sepatah kata, ada bermacam-macam penyebab
bencana, kondisi kerusakannya, serta massa-massa terkena dampak, dan lain-lain.
Biasanya dalam menanggulangi bencana, maka bencana tersebut akan dibagi menjadi
4 fase, yaitu :
1. Fase pencegahan dan kesiapsiagaan bencana ( prevention and preparedne phase)
2. Fase tindakan ( response phase) yang terdiri dari fase akut ( acute phase) dan fase
sub akut (sub acute phase)
3. Fase pemulihan ( recovery phase)
4. Fase rehabilitasi / rekonstruksi.
Fase fase ini terjadi secara berurutan sebelum dan sesudah bencana, dan tindakan
terhadap bencana pertama berhubungan dengan kesiapsiagaan untuk bencana
selanjutnya, sehingga hal ini disebut siklus bencana.
1. Fase pencegahan dan kesiapsiagaan bencana
Fase kesiapsiagaan adalah fase dimana dilakukan persiapan yang baik
dengan memikirkan berbagai tindakan untuk meminimalsisir berbagai kerugian
yang ditimbulkan akibat bencanadan menyusun perencanaan agar dapat
melakukan kegiatan pertolongan serta perawatan yang efektif pada saat terjadi
bencana. Tindakan terhadap bencana menurut PBB ada 9 kerangka, yaitu:
a. Pengkajian terhadap kerentanan
b. membuat perencanaan ( pencegahan bencana)
c. Pengorganisasian
d. Sistem informasi
e. Pengumpulan sumber daya
f. Sistem alarm
g. Mekanisme tindakan
h. Pendidikan dan pelatihan penduduk
i. Gladi resik.
2. Fase tindakan
Fase tindakan adalah fase dimana dilakukan berbagai aksi darurat yang
nyata untuk menjaga diri sendiri dan harta kekayaan. Aktivitas yang dilakukan
secara kongkret yaitu :
a. Instruksi pengungsian
b. Pencarian dan penyelamatan korban
c. Menjamin qkeamanan dilokasi bencana

10
d. Pengkajian terhadap kerugian akibat bencana
e. Pembagian dan penggunaan alat perlengkapan pada kondisi darurat,
f. Pengiriman dan penyerahan barang material
g. Menyediakan tempat pengungsian dan lain-lain.
Dari sudut pandang pelayanan medis, bencana lebih dipersempit lagi dengan
membaginya menjadi fase akut dan fase sub akut. Dalam fase akut, 48 jam
pertama sejak bencana terjadi disebut fase penyelamatan dan pertolongan /
pelayanan medis darurat terhadap orang orang yang terluka pada saat mengungsi
atau dievakuasi, serta dilakukan tindakan-tindakan terhadap munculnya
permasalahan kesehatan dalam pengungsian.
3. Fase pemulihan
Fase pemulihan dibedakan secara akurat dari dan sampai kapan, tetapi fase
ini merupakan fase dimana individu atau masyarakat dengan kemampuannya
sendiri dapat memulihkan fungsinya seperti sedia kala, ( sebelum terjadi bencana),
orang-orang melakukan perbaikan darurat tempat tinggalnya, pindah kerumah
sementara, mulai masuk sekolah ataupun bekerja kembali sambil memulihkan
lingkungan tempat tinggalnya. Kemudian mulai dilakukan rehabilitasi lifeline dan
aktivitas untuk membuka kembali usahanya. Institusi pemerintah juga memulai
memberikan kembali pelayanan seqqcara normal serta mulai menyusun rencana-
rencana untuk rekonstruksi sambil terus memberikan bantuan kepada para korban.
Fase ini bagaimanapun juga hanya merupakan fase pemulihan dan tidak sampai
mengembalikan fungsi-fungsi normal seperti sebelum bencana terjadi. Dengan
kata lain, fase ini merupakan masa peralihan dari kondisi darurat ke kondisi
tenang.
4. Fase Rehabilitasi / Rekonstruksi.
Jangka waktu fase Rehabilitasi / Rekonstruksi juga tidak dapat ditentukan,
namun ini merupakan fase dimana individu atau masyarakat berusaha
menegembalikan fungsi-fungsinya seperti sebelum bencana dan merencanakan
rehabilitasi terhadap seluruh komunitas. Tetapi, seseorang atau masyarakat tidak
dapat kembali pada keadaan yang sama seperti sebelum mengalami bencana,
sehingga dengan menggunaan pengalamannya tersebut diharapkan kehidupan
individu serta keadaan komunitas pun dapat dikembangkan secara progresif.

11
G. Pelayanan Medis Bencana berdasarkan Siklus Bencana
Kehidupan dan kondisi fisik serta psikis orang banyak akan mengalami
perubahan saat berhdapan dengan setiap siklus bencana. Oleh karena itu, pelayanan
medis yang dibutuhkan adalah yang juga akan berubah dalam menanggulangi
setiapsiklus bencana. Secara singkat akan diuraikan seperti di bawah ini.
1. Fase akut dalam siklus bencana
Dilokasi bencana, pertolongan terhadap korban luka dan evakuasi dari lokasi
berbahaya ke tempat yang aman adalah hal yang paling diprioritaskan. Untuk
menyelamatkan korban luka sebanyak mungkin, maka sangat diperlukan
lancarnya pelaksanaan Triage ( triase), Treatment ( pertolongan pertama), dan
transportation ( transportasi) pada korban luka, yang dalam pelayanan medis
bencana disebut dengan 3T. selain tindakan penyelamatan secara langsung,
dibutuhkan juga perawatan terhadap mayat dan keluarga yang ditinggalkan, baik
di rumah sakit, lokasi bantuan perawatan darurat maupun ditempat pengungsian
yang menerima korban bencana.
2. Fase menengah dan panjang pada siklus bencana.
Pada fase ini, terjadi perubahan pada lingkungan tempat tinggal yaitu dari
tempat pengungsiam ke rumah sementara dan rumah yang direhabilitasi. Hal-hal
yang dilakukan diantaranya adalah : memperhatikan segi keamanan supaya dapat
menjalankan aktivitas hidup yang nyaman dengan tenang, membantu terapi
kejiwaan korban bencana, membantu kegiatan-kegiatan untuk memulihkan
kesehatan hidup dan membangun kembali komunitas social
3. Fase tenang pada siklus bencana
Pada fase tenang diman tidak terjadi bancana, diperlukan pendidikan
penanggulangan bencana sebagai antisipasi saat bencana terjadi, pelatihan
pencegahan bencana pada komunitas dengan melibatkan penduduk setempat,
pengecekan dan pemeliharaan fasilitas peralatan pencegahan bencana baik di
daerah-daerah maupun pada fasilitas medis, srta membangun sistem jaringan
bantuan.

H. Penanggulangan Bencana di Bidang Kesehatan


Dengan melihat faktor resiko yang terjadi akibat bencana, maka penanggulangan
bencana sector kesehatan bisa dibagi menjadi aspek medis dan aspek kesehatan
masyarakat. Pelaksanaanya tentu harus melakukan koordinasi dan kloaborasi dengan

12
sector dan program terkait. Berikut ini merupakan ruang lingkup bidang pengendalian
penyakit dan penyehatan lingkungan, terutama saat tanggap darurat dan pasca
bencana.
1. Sanitasi darurat.
Kegiatannya adalah penyediaan serta pengawasan air bersih dan jamban :kualitas
tempat pengungsian, serta pengaturan limbah sesuai standard. Kekurangan jumlah
maupun kualitas sanitasi ini akan meningkatkan resiko penularan penyakit.
2. Pengendalian vector.
Bila tempat pengungsian dikategorikan tidak ramah, maka kemungkinan terdapat
nyamuk dan vector lain disekitar pengungsi. Ini termasuk timbunann sampah dan
genagan air yang memungkinkan tejadinya perindukan vector. Maka kegiatan
pengendalian vector terbatas saat diperlukan baik dalam bentuk spraying, atau
fogging, larvasiding, maupun manipulasi lingkungan.
3. Pengendalian penyakit.
Bila dari laporan pos pos kesehatan diketahui terdapat peningkatan kasus
penyakit, terutama yang berpotensi KLB, maka dilakukan pengendalian melalui
intensifikasi penatalaksanaan kasus serta penanggulangan faktor resikonya.
Penyakit yang memerlukan perhatian adalah diare dan ISPA.
4. Imunisasi terbatas.
Pengungsi pada umumnya rentan terhadap penyakit, terutama orang tua, ibu
hamil, bayi dan balita. Bagi bayi dan balita perlu imunisasi campak bila dalam
catatan program daerah tersebut belum mendapatkan crash program campak. Jenis
imunisasi lain mungkin diperlukan ssuai dengan kebutuhan setempat seperti yang
dilakukan untuk mencegah kolera bagi sukarelawan di Aceh pada tahun 2005 dan
imunisasi tetanus toksoid (TT) bagi sukarelawan di DIY dan jateng apda tahun
2006.
5. Surveilanse Epidemologi.
Kegiatan ini dilakukan untuk memperoleh informasi epidemologi penyakit potensi
KLB dan faktor resiko.atas informasi inilah maka dapat ditentukan pengendalian
penyakit, pengendalian vector, dan pemberian imunisasi, informasi epidemologi
yang harus diperoleh melalui kegiatan surveilens epidemologi adalah :
a. Reaksi social
b. Penyakit menular
c. Perpindahan penduduk

13
d. Pengaruh cuaca
e. Makanan dan gizi
f. Persediaan air dan sanitasi
g. Kesehatan jiwa
h. Kerusakan infrastruktur kesehatan.

Menurut DepKes RI (2006a) manajemen siklus penanggulangan bencana


terdiri dari:
1. impact (saat terjadi bencana)
2. Acute Response (tanggap darurat)
3. Recovery (pemulihan)
4. Development (pembangunan)
5. Prevention (pencegahan)
6. Mitigation (Mitigasi)
7. Preparedness (kesiapsiagaan).
Aktivitas yang dilakukan untuk menangani masalah kesehatan dalam siklus
bencana dibagi menjadi 2 macam, yaitu pada fase akut untuk menyelamatkan
kehidupan dan fase sub-akut sebagai perawatan rehabilitatif. Menurut DepKes RI
(2006a) untuk mengetahui manajemen penanggulangan bencana secara
berkesinambungan, perlu dipahami siklus penanggulangan bencana dan peran tiap
komponen pada setiap tahapan, sebagai berikut:
1. Kejadian bencana (impact)
Kejadian atau peristiwa bencana yang disebabkan oleh alam atau ulah manusia,
baik yang terjadi secara tiba-tiba atau perlahan-lahan, dapat menyebabkan
hilangnya jiwa manusia, trauma fisik dan psikis, kerusakan harta benda dan
lingkungan, yang melampaui kemampuan dan sumberdaya masyarakat untuk
mengatasinya.
2. Tanggap darurat (acute response)
Upaya yang dilakukan segera setelah kejadian bencana yang bertujuan untuk
menanggulangi dampak yang timbul akibat bencana, terutama
penyelamatan korban dan harta benda, evakuasi dan pengungsian.
3. Pemulihan (recovery)
Proses pemulihan kondisi masyarakat yang terkena bencana baik dampak fisik dan
psikis, dengan memfungsikan kembali sarana dan prasarana pada keadaan semula.

14
Hal ini dilakukan dengan memperbaiki prasaran dan pelayanan dasar (jalan,
listrik, air bersih, pasar, Puskesmas dll) dan memulihkan kondisi trauma
psikologis yang dialami anggota masyarakat.
4. Pembangunan (development)
Merupakan fase membangun kembali sarana dan prasarana yang rusak akibat
bencana. Pembangunan ini dapat dibedakan menjadi 2 tahapan. Tahapan yang
pertama yaitu rehabilitasi yang merupakan upaya yang dilakukan setelah
kejadian bencana untuk membantu masyarakat memperbaiki rumah,
fasilitas umum dan fasilitas sosial serta menghidupkan kembali roda
ekonomi. Tahapan yang kedua yaitu rekonstruksi, yang merupakan
program jangka menengah dan jangka panjang yang meliputi program
fisik, sosial dan ekonomi untuk mengembalikan kehidupan masyarakat pada
kondisi yang sama atau lebih baik.
5. Pencegahan (prevention)
Tindakan pencegahan yang harus dilaksanakan antara lain berupa
kegiatan untuk meningkatkan kesadaran/kepedulian mengenai bahaya
bencana. Langkah-langkah pencegahan difokuskan pada intervensi terhadap
gejala-gejala alam dengan tujuan agar menghindarkan terjadinya bencana dan
atau menghindarkan akibatnya dengan cara menghilangkan/memperkecil
kerawanan dan meningkatkan ketahanan/kemampuan terhadap bahaya.
6. Mitigasi (mitigation)
Upaya yang dilakukan untuk mengurangi dampak bencana, baik secara fisik
struktural dengan pembuatan bangunan-bangunan fisik maupun non- fisik
struktural melalui perundang-undangan dan pelatihan. Mitigasi merupakan
semua aktivitas yang dilakukan untuk menghilangkan atau mengurangi derajat
risiko jangka panjang dalam kehidupan manusia yang berasal dari kerusakan alam
dan buatan manusia itu sendiri (Stoltman et al., 2004).
7. Kesiapsiagaan (preparedness)
Upaya yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana, melalui
pengorganisasian langkah-langkah yang tepat guna dan berdaya guna. Persiapan
adalah salah satu tugas utama dalam disaster managemen, karena
pencegahan dan mitigasi tidak dapat menghilangkan vulnerability maupun
bencana secara tuntas

15
I. Pencegahan dan Mitigasi
Upaya atau kegiatan dalam rangka pencegahan dan mitigasi yang dilakukan,
bertujuan untuk menghindari terjadinya bencana serta mengurangi risiko yang
ditimbulkan oleh bencana. Tindakan mitigasi dilihat dari sifatnya dapat digolongkan
menjadi 2 (dua) bagian, yaitu
1. Mitigasi pasif.
Tindakan pencegahan yang tergolong dalam mitigasi pasif antara lain:
a. Penyusunan peraturan perundang-undangan
b. Pembuatan peta rawan bencana dan pemetaan masalah.
c. Pembuatan pedoman/standar/prosedur
d. Pembuatan brosur/leaflet/poster
e. Penelitian / pengkajian karakteristik bencana
f. Pengkajian / analisis risiko bencana
g. Internalisasi PB dalam muatan lokal pendidikan
h. Pembentukan organisasi atau satuan gugus tugas bencana
i. Perkuatan unit-unit sosial dalam masyarakat, seperti forum
j. Pengarus-utamaan PB dalam perencanaan pembangunan
2. Mitigasi aktif
Sedangkan tindakan pencegahan yang tergolong dalam mitigasi aktif antara lain:
a. Pembuatan dan penempatan tanda-tanda peringatan, bahaya, larangan
memasuki daerah rawan bencana dsb.
b. Pengawasan terhadap pelaksanaan berbagai peraturan tentang penataan ruang,
ijin mendirikan bangunan (IMB), dan peraturan lain yang berkaitan dengan
pencegahan bencana.
c. Pelatihan dasar kebencanaan bagi aparat dan masyarakat.
d. Pemindahan penduduk dari daerah yang rawan bencana ke daerah yang lebih
aman.
e. Penyuluhan dan peningkatan kewaspadaan masyarakat
f. Perencanaan daerah penampungan sementara dan jalur-jalur evakuasi jika
terjadi bencana.
g. Pembuatan bangunan struktur yang berfungsi untuk mencegah, mengamankan
dan mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh bencana, seperti: tanggul,
dam, penahan erosi pantai, bangunan tahan gempa dan sejenisnya.

16
Adakalanya kegiatan mitigasi ini digolongkan menjadi mitigasi yang bersifat
non-struktural (berupa peraturan, penyuluhan, pendidikan) dan yang bersifat
struktural (berupa bangunan dan prasarana).

17
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN PASCA BENCANA

A. Pengkajian
1. Umum
 Nama
 Usia
 Jenis Kelamin
 Alamat
 Status
 Pekerjaan
 Agama
2. Khusus
a. Data Subjektif
 Menceritakan kejadian / periatiwa yang traumatis
 Mengatakan takut atas kejadian bencana yang terjadi
 Mengatakan resah saat teringat kembali peristiwa bencana yang dialaminya
 Mengatakan merasa tidak berguna
 Menyatakan was-was
 Merasakan fikiran terganngu
 Tidak ingin mengingat peristiwa itu kembali dengan menceritakannya lagi
 Mengingkari peristiwa trauma
 Merasa malu
 Mengatakan setiap mengingat kejadian bencana merasa jantung berdebar-
debar
b. Data Objektif
 Mengasingkan diri
 Menangis
 Marah
 Gelisah
 Menghindar
 Mengasingkan diri

18
 Depresi
 Sulit berkomunikasi
 Keadaan mood terganggu
 Sesak didada
 Lemah
3. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi yang mempengaruhi kehilangan :
a. Genetik
Individu yang dilahirkan dibesarkan dalam keluarga yang mempunyai riwayat
depresi biasanya sulit mengembangkan sikap optimis dalam menghadapi suatu
permasalahan, termasuk menghadapi kehilangan.
b. Kesehatan fisik
Individu dengan keadaan fisik sehat, cara hidup teratur, cenderung mempunyai
kemampuan mengatasi stress yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu
yang sedang mengalami gangguan fisik
c. Kesehatan mental / jiwa
Individu yang mengalami gangguan jiwa seperti depresi yang ditandai dengan
perasaan tidak berdaya pesimis dan dibayangi dengan masa depan yang suram,
biasanya sangat peka terhadap situasi kehilangan.
d. Pengalaman kehilangan di massa lalu
Kehilangan atau perpisahan dengan orang yang bermakna dimasa kanak-kanak
akan mempengaruhi individu dalam menghadapi kehilangan dimasa dewasa
4. Faktor Presipitasi
Stress yang nyata seperti kehilangan yang bersifat Bio-Psiko-Sosial antara lain
kehilangan kesehatan (sakit), kehilangan fungsi sseksualitas, kehilangan keluarga dan
harta benda. Individu yang kehilangan sering menunjukkan perilaku seperti menangis
atau tidak mampu menangis , marah, putus asa, kadang ada tanda upaya bunuh diri
atau melukai orang lain yang akhirnya membawa pasien dalam keadaan depresi.
5. Spiritual
a. Keyakinan terhadap Tuhan YME
b. Kehadiran ditempat Ibadah
c. Pentingna Agama dalam kehidupan pasien
d. Kepercayaan akan kehidupan setelah kematian

19
6. Orang-orang terdekat
a. Status perkawinan
b. Siapa orang terdekat
c. Anak-anak
d. Kebiasaan pasien dalam tugas-tugas keluarga dan fungsi-fungsinya
e. Bagaimana pengaruh orang-orang terdekat terhadap penyakit atau masalah
f. Proses interaksi apakah yang terdapat dalam keluarga
a. Gaya hidup keluarga, misal: Diet, mengikuti pengajian
7. Sosioekonomi
a. Pekerjaan: keuangan
b. Faktor-faktor lingkungan: rumah,pekeerjaan dan rekreasi
c. Penerimaan sosial terhadap penyakit / kondisi, misal : PMS,HIV,Obesitas,dll
8. Kultural
a. Latar belakang etnis
b. Tingkah laku mengusahakan kesehatan, rujuk penyakit
c. Faktor-faktor kultural yang dihubngkan dengan penyakit secara umum dan
respon terhadap rasa sakit
d. Kepercayaan mengenai perawatan dan pengobatan

B.      Diagnosa Keperawatan


1. Berduka berhubungan dengan Aktual atau perasaan
2. Kecemasan berhubungan dengan krisis situasional, stress, perubahan status
lingkungan, ancaman kematian, kurang pengetahuan.
3. Takut berhubungan dengan perubahan status lingkungan ( bencana alam)
4. Harga diri rendah situasional berhubungan dengan kehilangan  (keluarga dan harta
benda)
5. Resiko distress spiritual dengan faktor resiko perubahan lingkungan bencana alam.

20
C. Intervensi Keperawatan
Dari beberapa diagnosa maka intervensi yang dapat kita lakukan adalah:

Diagnosa Keperawatan/ Masalah Rencana keperawatan


Kolaborasi
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Berduka berhubungan dengan aktual atau NOC: NIC:
perasaan kehilangan, ditandai dengan Kontrol Koping  Bina dan jalin hubungan saling percaya.
DO/DS: Setelah dilakukan asuhan  Identifikasi kemungkinan faktor yang
 penolakan terhadap kehilangan, keperawatan selama 3 kali menghambat proses berduka
 menangis pertemuan diharapkan   Kurangi atau hilangkan faktor penghambat

 menghindar individu  mengalami proses  proses berduka.


 marah berduka secara normal,  Beri dukungan terhadap respon kehilangan
melakukan koping terhadap pasien
 Mengatakan bersedih
kehilangan secara bertahap dan  Tingkatkan rasa kebersamaan antara anggota
menerima kehilangan sebagai keluarga.
bagian dari kehidupan yang  Identifikasi tingkat rasa duka pada fase
nyata dan harus dilalui, dengan berikut:
kriteria hasil: Fase pengingkaran
 Individu mampu  Memberi kesempatan kepada pasien untuk
mengungkapkan perasaan mengungkapkan perasaannya.
21
21
duka.  Menunjukkan sikap menerima,ikhlas dan
 Menerima kenyataan mendorong pasien untuk berbagi rasa.
kehilangan dengan perasaan  Memberikan jawaban yang jujur terhadap
damai pertanyaan pasien tentang sakit,
 Membina hubungan baru pengobatan dan kematian.
yang bermakna dengan   Fase marah
objek atau orang yang baru.  Mengizinkan dan mendorong pasien
mengungkapkan rasa marahnya secara
verbal tanpa melawan dengan kemarahan.
c.       Fase tawar menawar
 Membantu pasien mengidentifikasi rasa
bersalah ddan perasaan takutnya.
Fase depresi
 Mengidentifikasi tingkat depresi dan
resiko merusak diri pasien
 Membantu pasien mengurangi rasa
bersalah.
Fase penerimaan
 Membantu pasien untuk menerima
NOC : kehilangan yang tidak bisa dielakkan
Kecemasan berhubungan dengan - Kontrol kecemasan NIC :
krisis situasional, stress, perubahan status
22
22
lingkungan, ancaman kematian, kurang - Koping Anxiety Reduction (penurunan kecemasan)
pengetahuan. Setelah dilakukan asuhan  Gunakan pendekatan yang menenangkan
selama 3 kali pertemuan klien  Nyatakan dengan jelas harapan terhadap
DO/DS: kecemasan teratasi dgn kriteria pelaku pasien
- Insomnia hasil:  Temani pasien untuk memberikan keamanan
- Kontak mata kurang  Klien mampu dan mengurangi takut
- Kurang istirahat mengidentifikasi dan  Libatkan keluarga untuk mendampingi klien
- Berfokus pada diri sendiri mengungkapkan gejala  Instruksikan pada pasien untuk menggunakan
- Iritabilitas cemas tehnik relaksasi
- Takut  Mengidentifikasi,  Dengarkan dengan penuh perhatian
- Nyeri perut mengungkapkan dan  Identifikasi tingkat kecemasan
- Penurunan TD dan denyut nadi menunjukkan tehnik untuk
 Bantu pasien mengenal situasi yang
- Diare, mual, kelelahan mengontol cemas
menimbulkan kecemasan
- Gangguan tidur  Vital sign dalam batas
 Dorong pasien untuk mengungkapkan
- Gemetar normal
perasaan, ketakutan, persepsi
- Anoreksia, mulut kering  Postur tubuh, ekspresi
 Kelola pemberian obat anti cemas
- Peningkatan TD, denyut nadi, RR wajah, bahasa tubuh dan
- Kesulitan bernafas tingkat aktivitas
- Bingung menunjukkan
- Bloking dalam pembicaraan berkurangnya kecemasan
- Sulit berkonsentrasi

23
23
Takut berhubungan dengan perubahan
status lingkungan ( bencana alam), NOC :Anxiety control
ditandai dengan Fear control NIC:
DS : Peningkatan ketegangan,panik, Setelah dilakukan tindakan Coping Enhancement
penurunan kepercayaan diri, cemas keperawatan selama 3 kali  Bina dan jalin hubungan saling percaya.
DO : pertemuan takut klien teratasi  Sediakan reinforcement positif ketika pasien
 penurunan produktivitas kemampuan dengan kriteria hasil : melakukan perilaku untuk mengurangi takut
belajar  Memiliki informasi untuk  Sediakan perawatan yang berkesinambungan
 penurunan kemampuan menyelesaikan mengurangi takut  Kurangi stimulasi lingkungan yang dapat
masalah  Menggunakan tehnik menyebabkan misinterprestasi
 mengidentifikasi obyek ketakutan, relaksasi  Dorong mengungkapkan secara verbal
 peningkatan kewaspadaan  Mempertahankan hubungan perasaan, persepsi dan rasa takutnya
 Anoreksia sosial dan fungsi peran  Perkenalkan dengan orang yang mengalami
 mulut kering  Mengontrol respon takut kejadian bencana yang sama
 diare, mual  Dorong klien untuk mempraktekan tehnik
 pucat, muntah relaksasi

 perubahan tanda-tanda vital

24

24
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Di beberapa daerah di Indonesia merupakan daerah yang rawan bencana. Dengan
banyaknya bencana, kesiagaan dan pelaksanaan tanggap bencana harus dilakukan
dengan baik. Karena dampak yang ditimbulkan bencana tidaklah sederhana, maka
penanganan korban bencana harus dilakukan dengan terkoordinasi dengan baik
sehingga korban yang mengalami berbagai sakit baik fisik, sosial, dan emosional
dapat ditangani dengan baik dan manusiawi.
Perawat sebagai kaum yang telah dibekali dasar-dasar kejiwaan kebencanaan
dapat melakukan berbagai tindakan tanggap bencana. Seharusnya modal itu
dimanfaatkan oleh mahasiswa keperawatan agar secara aktif turut melakukan
tindakan tanggap bencana.

B. Saran
Perawat adalah tenaga kesehatan yang sangat berkompeten untuk melakukan
pelayanan kesehatan di daerah yang sedang mengalami bencana, oleh karena itu
diharapkan bagi mahasiswa keperawatan maupun perawat yang sudah berpengalaman
dalam praktik pelayanan kesehatan mau untk berperan dalam penanggulangan
bencana yang ada di sekitar kita. Karena ilmu yang didapat di bangku perkuliahan
sangat relevan dengan yang terjadi di masyarakat, yaitu fenomena masalah kesehatan
yang biasanya muncul di tempat yang sedang terjadi bencana.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Blackwell, Wiley,2015-2017. Nanda International, Inc. Nursing Diagnoses :


Definitions & Classification. 10th Ed. The atrium, shouter Gate, Chichester, West
Sussex
2. Bencana, Pujiono. 2007. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007
Tentang Penanggulangan Bencana Paragdima Penanggulangan.
3. Blogspot.
2010.  Bencana. http://keperawatankomunitas.blogspot.com/2010/04/bencana.html.
Diakses Pada Tanggal 2 September 2016. Pukul 08.45 WIB.
4. Bulechek, Gloria M & Butcher, Howard, K, 2013. Nursing Interventions
Classification (NIC). 6th Ed. St Louis : Missouri
5. Efendi, Ferry. 2009. Keperawatan Kesehatan Komunitas Teori dan Praktik dalam
Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika
6. Keliat,B.A, dkk. 2006. Manajemen Kasus Gangguan Jiwa Dalam Keperawatan
Kesehatan Jiwa Komunitas. Jakarta : Modul IC CMHN.FIKUI
7. Moorhead, Sue & Johnson Marion. 2013. Nursing Outcomes Classification (NOC). 5th
Ed. St Louis :Missouri
8. Munawar. 2011. Pengertian dan Istilah-istilah Bencana.
www. kangmunawar.com/bencana/pengertian-dan-istilah-istilah-bencana. Diakses
Pada Tanggal 2 September 2016. Pukul 08.15 WIB
9. Suliswati. 2004. Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC
10. Weenbee. 2011.  Peran Perawat Dalam Manajemen
Bencana.http://weenbee.wordpress.com/2011/08/23/peran-perawat-dalam-
manajemen-bencana/#more-94. Diakses Pada Tanggal 2 September 2016. Pukul
09.00 WIB.
11. Wikipedia. 2011. Bencana. www.id.wikipedia.org/wiki/bencana. Diakses Pada
Tanggal 21 Maret 2012. Pukul 08.30 WIB.
12. Yosep, Iyus. 2007. Keperawatan Jiwa. Bandung: PT Refika Aditama

26
A. Definisi Bencana

Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana menyebutkan


Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu
kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau
faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa
manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
(http://www.bnpb.go.id)

Definisi tersebut menyebutkan bahwa bencana disebabkan oleh faktor alam, non alam,
dan manusia. Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tersebut juga
mendefinisikan mengenai bencana alam, bencana nonalam, dan bencana sosial.
1. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian
peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami,
gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.
2. Bencana nonalam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian
peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi,
epidemi, dan wabah penyakit.
3. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian
peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antarkelompok
atau antarkomunitas masyarakat, dan teror.

B. Fase-fese Bencana

Menurut Barbara Santamaria (1995), ada 3 fase dalam terjadinya suatu bencana, yaitu
diantaranya :

1. Fase preimpact merupakan warning phase, tahap awal dari bencana. Informasi didapat
dari badan satelit dan meteorologi cuaca. Seharusnya pada fase inilah segala
persiapan dilakukan baik oleh pemerintah, lembaga, dan warga masyarakat.

27
2. Fase impact merupakan fase terjadinya klimaks dari bencana. Inilah saat-saat dimana
manusia sekuat tenaga mencoba untuk bertahan hidup (survive). Fase impact ini
terus berlanjut hingga terjadi kerusakan dan bantuan-bantuan darurat dilakukan.
3. Fase postimpact adalah saat dimulainya perbaikan dan penyembuhan dari fase
darurat, juga tahap dimana masyarakat mulai berusaha kembali pada fungsi
komunitas normal. Secara umum dalam fase postimpact ini para korban akan
mengalami tahap respon psikologis mulai penolakan, marah, tawar-menawar,
depresi hingga penerimaan.

C. Evolusi Pandangan Terhadap Bencana


1. Pandangan Konvensional
Bencana merupakan sifat alam. Terjadinya bencana : Kecelakaan (accident) ; tidak
dapat diprediksi, tidak menentu, tidak terhindarkan, dan tidak terkendali. Masyarakat
dipandang sebagai ‘korban’ dan ‘penerima bantuan’ dari pihak luar.

2. Pandangan Ilmu Pengetahuan Alam


Bencana merupakan unsur lingkungan fisik yang membahayakan kehidupan
manusia. Karena kekuatan alam yang luar biasa. Proses geofisik, geologi dan
hidrometeorologi. Tidak memperhitungkan manusia sebagai penyebab bencana.

3. Pandangan Ilmu Terapan


Besaran (magnitude) bencana tergantung besarnya ketahanan atau kerusakan akibat
bencana. Pengkajian bencana ditujukan pada upaya meningkatkan kekuatan fisik
struktur bangunan untuk memperkecil kerusakan.

4. Pandangan Progresif
Menganggap bencana sebagai bagian dari pembangunan masyarakat yang ‘normal’.
Bencana adalah masalah yang tidak pernah berhenti. Peran sentral dari masyarakat
adalah mengenali bencana itu sendiri.

5. Pandangan Ilmu Sosial

28
Fokus pada bagaimana tanggapan dan kesiapan masyarakat menghadapi bahaya.
Ancaman adalah alami, tetapi bencana bukan alami. Besaran bencana tergantung
perbedaan tingkat kerawanan masyarak.

6. Pandangan Holistik
Menekankan pada ancaman (threat) dan kerentanan (vulnerability), serta
kemampuan masyarakat dalam menghadapi risiko. Gejala alam menjadi ancaman
jika mengancam hidup dan harta-benda. Ancaman akan berubah menjadi bencana
jika bertemu dengan kerentanan.

D. Paradigma-paradigma Penanggulangan Bencana

1. Pandangan Konvensional
Bencana merupakan sifat alam. Terjadinya bencana : Kecelakaan (accident) ; tidak
dapat diprediksi, tidak menentu, tidak terhindarkan, dan tidak terkendali. Masyarakat
dipandang sebagai ‘korban’ dan ‘penerima bantuan’ dari pihak luar.

2. Pandangan Ilmu Pengetahuan Alam


Bencana merupakan unsur lingkungan fisik yang membahayakan kehidupan
manusia. Karena kekuatan alam yang luar biasa. Proses geofisik, geologi dan
hidrometeorologi. Tidak memperhitungkan manusia sebagai penyebab bencana.

3. Pandangan Ilmu Terapan


Besaran (magnitude) bencana tergantung besarnya ketahanan atau kerusakan akibat
bencana. Pengkajian bencana ditujukan pada upaya meningkatkan kekuatan fisik
struktur bangunan untuk memperkecil kerusakan.

29
4. Pandangan Progresif
Menganggap bencana sebagai bagian dari pembangunan masyarakat yang ‘normal’.
Bencana adalah masalah yang tidak pernah berhenti. Peran sentral dari masyarakat
adalah mengenali bencana itu sendiri.

5. Pandangan Ilmu Sosial


Fokus pada bagaimana tanggapan dan kesiapan masyarakat menghadapi bahaya.
Ancaman adalah alami, tetapi bencana bukan alami. Besaran bencana tergantung
perbedaan tingkat kerawanan masyarak.

6. Pandangan Holistik
Menekankan pada ancaman (threat) dan kerentanan (vulnerability), serta
kemampuan masyarakat dalam menghadapi risiko. Gejala alam menjadi ancaman
jika mengancam hidup dan harta-benda. Ancaman akan berubah menjadi bencana
jika bertemu dengan kerentanan.

E. Permasalaahan Dalam Penanggulangan Bencana

Secara umum masyarakat Indonesia  termasuk aparat pemerintah didaerah memiliki


keterbatasan pengetahuan tentang bencana seperti berikut :
1. Kurangnya pemahaman terhadap karakteristik bahaya
2. Sikap atau prilaku yang mengakibatkan menurunnya kualitas SDA
3. Kurangnya informasi atau peringatan dini yang mengakibatkan ketidaksiapan
4. Ketidakberdayaan atau ketidakmampuan dalam menghadapi ancaman bahaya

F. Kelompok Rentan Bencana

Kerentanan adalah keadaan atau sifat (perilaku) manusia atau masyarakat yang
menyebabkan ketidakmampuan menghadapi bahaya atau ancaman dari potensi bencana
untuk mencegah, menjinakkan, mencapai kesiapan dan menanggapi dampak bahaya
tertentu. Kerentanan terbagi atas:

30
1. Kerentanan fisik, kerentanan yang dihadapi masyarakat dalam menghadapi ancaman
bahaya tertentu, misalnya kekuatan rumah bagi masyarakat yang tinggal di daerah
rawan gempa.
2. Kerentanan ekonomi, kemampuan ekonomi individu atau masyarakat dalam
pengalokasian sumber daya untuk pencegahan serta penanggulangan bencana.
3. Kerentanan social, kondisi social masyarakat dilihat dari aspek pendidikan,
pengetahuan tentang ancaman bahaya dan rsiko bencana.
4. Kerentanan lingkungan, keadaan disekitar masyarakat tinggal. Misalnya masyarakat
yang tinggal di lereng bukit atau pegunungan rentan terhadap ancaman bencana
tanah longsor. 

G. Pengurangan Resiko Bencana

Tahapan penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi:


1. Pra bencana, pada tahapan ini dilakukan kegiatan perencanaan penanggulangan
bencana, pengurangan risiko bencana, pencegahan, pemaduan dalam perencanaan
pembangunan, persyaratan analisis risiko bencana, penegakan rencana tata ruang,
pendidikan dan peletahihan serta penentuan persyaratan standar teknis
penanggulangan bencana (kesiapsiagaan, peringatan dini dan mitigasi bencana).
2. Tanggap darurat, tahapan ini mencakup pengkajian terhadap loksi, kerusakan dan
sumber daya; penentuan status keadan darurat; penyelamatan dan evakuasi korban,
pemenuhan kebutuhan dasar;  pelayanan psikososial dan kesehatan.
3. Paska bencana, tahapan ini mencakup kegiatan rehabilitasi (pemulihan daerah
bencana, prasaranan dan saran umum, bantuan perbaikan rumah, social, psikologis,
pelayanan kesehatan, keamanan dan ketertiban) dan rekonstruksi (pembangunan,
pembangkitan dan peningkatan sarana prasarana termasuk fungsi pelayanan
kesehatan.

31
H. Trauma Pasca Bencana

1. Stress

Secara sederhana, stres dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana individu
terganggu keseimbangannya. Stres terjadi akibat adanya situasi dari luar ataupun
dari dalam diri yang memunculkan gangguan, dan menuntut individu berespon
secara sesuai.

Stress merupakan sesuatu yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia, bahkan
seperti merupakan bagian dari kehidupan itu sendiri. Setiap hari kadang kita harus
tergesa bangun, membereskan pekerjaan rumah kadang hingga lupa atau tidak
sempat sarapan, lari mengejar kendaraan umum untuk Sekolah atau menjalani
aktivitas, berkonflik dengan teman atau orang lain, kehabisan uang padahal harus
membeli keperluan harian dan seterusnya. Semua kejadian itu dapat memunculkan
stres.

Mereka yang mengalami stres mungkin merasa lebih gelisah, tegang, cemas,
mengalami kelelahan, ketegangan otot dan sulit tidur. Ada pula yang tekanan darah
dan detak jantungnya nmeningkat, sakit kepala, perut mulas, gatal-gatal atau diare.
Stres juga dapat merubah perilaku kita. Misalnya kita menjadi lebih cepat marah,
lebih suka sendirian, menjadi tidak enak makan, merasa tidak berdaya, tidak
bersemangat, frustrasi, atau merasa tidak percaya diri.

Meski cukup sering menganggu, stres tidak perlu selalu dilihat sebagai hal negatif.
Dalam hal tertentu ,stres memiliki dampak positif. Eustress adalah stres dalam artian
positif yakni keadaan yang dapat memotivasi, dan berdampak menguntungkan.
Sebagai contohnya, ada orang-orang yang bila sudah terdesak waktu, tiba-tiba akan
terbangkitkan kreativitasnya. Ada pula yang karena merasa tertinggal, memotivasi
diri sendiri dan dapat berprestasi gemilang.

2. Trauma

32
Secara sederhana, trauma berarti luka atau kekagetan (syok/shock). Penyebab
trauma adalah peristiwa yang sangat menekan, terjadi secara tiba-tiba dan di luar
kontrol/kendali seseorang, bahkan seringkali membahayakan kehidupan atau
mengancam jiwa. Peristiwa ini begitu mengagetkan, menyakitkan dan melebihi
situasi stres yang kita alami sehari-hari. Peristiwa ini dinamakan sebagai peristiwa
traumatis.

Ciri-ciri peristiwa traumatis adalah :


a. Terjadi secara tiba-tiba.
b. Mengerikan, menimbulkan perasaan takut yang amat sangat.
c. Mengancam keutuhan fisik maupun mental.
d. Dapat menimbulkan dampak fisik, pikiran, perasaan, dan perilaku yang amat
membekas bagi mereka yang mengalami ataupun yang menyaksikan.

Bencana alam seperti gempa bumi jelas merupakan peristiwa traumatis, karena tidak
pernah ada yang bisa meramalkan kapan akan datang dan menimbukan perasaan
takut dan mengerikan. Sehingga dapat menimbukan trauma bagi yang
mengalaminya. Kondisi seperti stres yang kita rasakan setelah munculnya peristiwa
traumatis disebut sebagai stres traumatis. Kondisi inilah yang biasa kita kenal
sebagai trauma.

Gejala trauma sebenarnya dapat juga dialami oleh orang yang tidak mengalami
langsung peristiwa traumatis. Misalnya, seseorang yang menonton berita bencana
secara terus menerus. Ia kemudian menjadi sulit tidur, mengalami rasa takut dan
waspada berlebihan. Hal semacam ini disebut sebagai trauma sekunder, yaitu stres
traumatis yang dialami oleh orang yang tidak mengalami secara langsung.

Siapapun orangnya, sekuat dan sehebat apapun dia, biasanya akan menunjukkan
respon tertentu. Respon yang muncul mungkin berbeda-beda bagi tiap orang,
namun umumnya respon yang muncul adalah:
a. Memiliki ingatan atau bayangan yang sulit dilupakan, seperti mencengkeram,
atau ingatan lainnya tentang traumanya
b. Merasakan peristiwa seperti terjadi lagi (flashback)
c. Merasa terganggu bila diingatkan, atau teringat peristiwa

33
d. traumatis karena sesuatu yang dilihat, didengar, dirasakan, atau diciumnya.
e. Ketakutan, merasa kembali berada dalam bahaya
f. Kesulitan mengendalikan perasaan karena tidak mampu mengendalikan
ingatan tentang peristiwa traumatis.

Selain respon-respon tersebut, kita mungkin akan mengalami perubahan perasaan


ataupun perilaku. Perubahan perasaan yang mungkin dialami antara lain:
a. Cepat sedih
b. Cepat marah
c. Ingin menangis
d. Merasa bersalah
e. Merasa tidak berdaya
f. Suasana hati tidak menentu atau mudah berubah
g. Merasa tidak dipahami oleh orang-orang disekitarnya

Sementara perubahan perilaku yang mungkin terjadi antara lain :


a. Lebih banyak menyendiri
b. Gemetar
c. Tidak mau keluar rumah
d. Mudah tersinggung
e. Mengalami gangguan tidur, seperti: sering mimpi buruk,
f. susah tidur atau justru terlalu banyak tidur.
g. Gelisah
h. Kewaspadaan berlebih, sangat ingin menjaga dan melindungi diri
i. Mengalami gangguan makan, seperti : mual, muntah, tidak mau makan, atau
justru terlalu banyak makan
j. Mudah merasa was-was
k. Tiba-tiba dicekam bayangan menakutkan
l. Sulit berkonsentrasi atau berpikir jernih
m. Badan sering terasa lemas dan keluar keringat dingin
n. Sesak napas

Biasanya perubahan perilaku maupun perasaan tersebut akan berkurang seiring


dengan berjalannya waktu. Namun, kita perlu mewaspadai apabila perubahan

34
tersebut dirasakan lebih dari 6-8 minggu dan mengganggu kehidupan kita sehari-
hari. Dampak yang kita alami mungkin lebih besar daripada yang kita bayangkan.

I. Dari Aspek Psikososial, Bencana Dapat Berdampak Pada:

1. Extreme peritraumatic stress reactions (reaksi stres & trauma)


Gejala ini muncul pada masa kurang dari 2 hari. Gejala ini ditandai dengan
simptom-simptom yang muncul setelah bencana, di antaranya:

a. Dissosiasi (depersonalisasi, derelisasi, amnesia).

b. Menghindar (menarik diri dari situasi sosial).

c. Kecemasan (cemas berlebihan, nervous, gugup, merasa tidak berdaya).

d. Intrusive re-experiencing (flashback, mimpi buruk).

2. Acute stress disorder (ASD)

Gejala ini muncul pada masa 2 s.d 30 hari/4 minggu yang ditandai dengan:

a. Individu/korban mengalami peristiwa traumatik yang mengancam jiwa diri


sendiri maupun orang lain, atau menimbulkan kengerian luar biasa bagi dirinya
(horor).

b. Peningkatan keterbangkitan psikologis, misalnya kewaspadaan tinggi, mudah


kaget, sulit konsentrasi, sulit tidur, mudah tersinggung dan gelisah.

c. Gangguan efektifitas diri di area sosial dan pekerjaan.

3. Post traumatic stress disorder (PTSD)

Gejala ini muncul di atas 30 hari/1 bulan yang ditandai dengan:

a. Gangguan muncul akibat suatu peristiwa hebat yang mengejutkan, bahkan


sering tidak terduga dan akibatnya pun tidak tertahankan oleh orang yang
mengalaminya.

35
b. Terulangnya bayangan mental akibat peristiwa traumatik yang pernah dialami.

c. Ketidakberdayaan/ke-”tumpul”an emosional dan “menarik diri”.

d. Terlalu siaga/waspada yang disertai ketergugahan/keterbangkitan secara kronis.

e. Terjadi gangguan yang menyebabkan kegagalan untuk berfungsi secara efektif


dalam kehidupan sosial (pekerjaan, rumah tangga, pendidikan, dll).

J. Peran Perawat Komunitas Dalam Manajemen Kejadian Bencana

Perawat komunitas dalam asuhan keperawatan komunitas memiliki tanggung jawab


peran dalam membantu mengatasi ancaman bencana baik selama tahap preimpact,
impact/emergency, dan post impact.

Peran perawat disini bisa dikatakan multiple; sebagai bagian dari penyusun


rencana,  pendidik, pemberi asuhan keperawatan bagian dari tim pengkajian kejadian
bencana.

Tujuan utama : Tujuan tindakan asuhan keperawatan komunitas pada bencana ini adalah
untuk mencapai kemungkinan tingkat kesehatan terbaik masyarakat yang terkena
bencana tersebut.

1. Peran dalam Pencegahan Primer

Ada beberapa hal yang dapat dilakukan perawat dalam masa pra bencana ini, antara
lain:

a. Mengenali instruksi ancaman bahaya,


b. Mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan saat fase emergency (makanan, air,
obat-obatan, pakaian dan selimut, serta tenda),
c. Melatih penanganan pertama korban bencana, dan

36
d. Merkoordinasi berbagai dinas pemerintahan, organisasi lingkungan, palang
merah nasional maupun lembaga-lembaga kemasyarakatan dalam memberikan
penyuluhan dan simulasi persiapan menghadapi ancaman bencana kepada
masyarakat.

Pendidikan kesehatan diarahkan kepada :

a. Usaha pertolongan diri sendiri (pada masyarakat tersebut).


b. Pelatihan pertolongan pertama dalam keluarga seperti menolong anggota
keluarga dengan kecurigaan fraktur tulang , perdarahan, dan pertolongan
pertama luka bakar.
c. Memberikan beberapa alamat dan nomor telepon darurat seperti dinas
kebakaran, rs dan ambulans.
d. Memberikan informasi tentang perlengkapan yang dapat dibawa (misal pakaian
seperlunya, portable radio, senter, baterai).
e. Memberikan informasi tempat-tempat alternatif penampungan atau posko-
posko bencana.

2. Peran Perawat dalam Keadaan Darurat (Impact Phase)

Biasanya pertolongan pertama pada korban bencana dilakukan tepat setelah keadaan
stabil. Setelah bencana mulai stabil, masing-masing bidang tim survey mulai
melakukan pengkajian cepat terhadap kerusakan-kerusakan, begitu juga perawat
sebagai bagian dari tim kesehatan.

Perawat harus melakukan pengkajian secara cepat untuk memutuskan tindakan


pertolongan pertama. Ada saat dimana ”seleksi” pasien untuk penanganan segera
(emergency) akan lebih efektif. (Triase).

TRIASE :

a. Merah — paling penting, prioritas utama. keadaan yang mengancam kehidupan


sebagian besar pasien mengalami hipoksia, syok, trauma dada, perdarahan
internal, trauma kepala dengan kehilangan kesadaran, luka bakar derajat I-II.
b. Kuning — penting, prioritas kedua. Prioritas kedua meliputi injury dengan efek
sistemik namun belum jatuh ke keadaan syok karena dalam keadaan ini
sebenarnya pasien masih dapat bertahan selama 30-60 menit. Injury tersebut

37
antara lain fraktur tulang multipel, fraktur terbuka, cedera medulla spinalis,
laserasi, luka bakar derajat II.
c. Hijau — prioritas ketiga. Yang termasuk kategori ini adalah fraktur tertutup,
luka bakar minor, minor laserasi, kontusio, abrasio, dan dislokasi.
d. Hitam — meninggal. Ini adalah korban bencana yang tidak dapat selamat dari
bencana, ditemukan sudah dalam keadaan meninggal.

3. Peran perawat di dalam posko pengungsian dan posko bencana


a. Memfasilitasi jadwal kunjungan konsultasi medis dan cek kesehatan sehari-hari.
b. Tetap menyusun rencana prioritas asuhan keperawatan harian.
c. Merencanakan dan memfasilitasi transfer pasien yang memerlukan penanganan
kesehatan di RS.
d. Mengevaluasi kebutuhan kesehatan harian.
e. Memeriksa dan mengatur persediaan obat, makanan, makanan khusus bayi,
peralatan kesehatan.
f. Membantu penanganan dan penempatan pasien dengan penyakit menular
maupun kondisi kejiwaan labil hingga membahayakan diri dan lingkungannya
berkoordinasi dengan perawat jiwa.
g. Mengidentifikasi reaksi psikologis yang muncul pada korban (ansietas, depresi
yang ditunjukkan dengan seringnya menangis dan mengisolasi diri) maupun
reaksi psikosomatik (hilang nafsu makan, insomnia, fatigue, mual muntah, dan
kelemahan otot).
h. Membantu terapi kejiwaan korban khususnya anak-anak, dapat dilakukan
dengan memodifikasi lingkungan misal dengan terapi bermain.
i. Memfasilitasi konseling dan terapi kejiwaan lainnya oleh para psikolog dan
psikiater.
j. Konsultasikan bersama supervisi setempat mengenai pemeriksaan kesehatan
dan kebutuhan masyarakat yang tidak mengungsi.

4. Peran perawat dalam fase postimpact

Bencana tentu memberikan bekas khusus bagi keadaan fisik, sosial, dan psikologis
korban. Selama masa perbaikan perawat membantu masyarakat untuk kembali pada

38
kehidupan normal. Beberapa penyakit dan kondisi fisik mungkin memerlukan
jangka waktu yang lama untuk normal kembali bahkan terdapat keadaan dimana
kecacatan terjadi.

K. Peran MahasiswaKeperawatan Dalam Bencana

Peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap
seseorang sesuai kedudukannya dalam suatu sistem. Peran dipengaruhi oleh keadaan
nalge baik dari dalam maupun dari luar dan bersifat stabil. Peran adalah bentuk dari
perilaku yang diharapkan dari seesorang pada situasi nalge tertentu. (Kozier Barbara,
1995:21).

Peran mahasiswa perawat yang dimaksud adalah cara untuk menyatakan aktifitas
mahasiswa keperawatan dalam membantu praktik, dimana telah mendapatkan
pendidikan formalnya yang sesuai dengan kode etik keperawatan. Dimana setiap
peran yang dinyatakan sebagai nalg terpisah demi untuk kejelasan.

Seorang perawat, khususnya perawat komunitas memiliki tanggung jawab peran


dalam membantu mengatasi ancaman bencana baik selama tahap preimpact,
impact/emergency, dan postimpact. Dalam melakukan tugasnya tentu perawat tidak
bisa berjalan sendiri. Koordinasi dan persiapan yang baik mulai dari pemerintah atas
hingga ke cabang-cabang di bawahnya mutlak diperlukan. Dimulai dari pusat studi
bencana, badan nalgesic, pemerintah pusat dan daerah, para teknisi, departemen
kesehatan, palang merah nasional yang didalamnya terdiri dari mahasiswa-mahasiswa
peduli bencana, tenaga-tenaga kesehatan, departemen penerangan, dinas transportasi
hingga dinas kebakaran dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat, semua ikut
terlibat dalam perencanaan persiapan penanggulangan bencana.

Tujuan utama dari tindakan keperawatan bencana ini adalah untuk mencapai
kemungkinan tingkat kesehatan terbaik masyarakat yang terkena bencana tersebut.
Jika seorang mahasiswa keperawatan beserta para perawat lainnya berada di pusat
area bencana, ia akan dibutuhkan untuk ikut mengevakuasi dan nalge pertolongan
pertama pada korban. Sedangkan di lokasi-lokasi penampungan seorang perawat

39
bertanggung jawab pada evaluasi kondisi korban, melakukan tindakan keperawatan
berkelanjutan, dan mengkondisikan lingkungan terhadap perawatan korban-korban
dengan penyakit menular.

L. Jenis Kegiatan Siaga Bencana

Kegiatan penanganan siaga bencana memang berbeda dibandingkan pertolongan medis


dalam keadaan normal lainnya. Ada beberapa hal yang menjadi perhatian penting.
Berikut beberapa tnidakan yang bisa dilakukan oleh perawat dalam situasi tanggap
bencana:
1. Pengobatan dan pemulihan kesehatan fisik
Bencana alam yang menimpa suatu daerah, selalu akan memakan korban dan
kerusakan, baik itu korban meninggal, korban luka luka, kerusakan fasilitas pribadi
dan umum,  yang mungkin akan menyebabkan isolasi tempat, sehingga sulit
dijangkau oleh para relawan. Hal yang paling urgen dibutuhkan oleh korban saat itu
adalah pengobatan dari tenaga kesehatan. Perawat bisa turut andil dalam aksi ini, baik
berkolaborasi dengan tenaga perawat atau pun tenaga kesehatan profesional, ataupun
juga melakukan pengobatan bersama perawat lainnya secara cepat, menyeluruh dan
merata di tempat bencana. Pengobatan yang dilakukan pun bisa beragam, mulai dari
pemeriksaan fisik, pengobatan luka, dan lainnya sesuai dengan profesi keperawatan.

2. Pemberian bantuan
Perawatan dapat melakukan aksi galang dana bagi korban bencana, dengan
menghimpun dana dari berbagai kalangan dalam berbagai bentuk, seperti makanan,
obat obatan, keperluan sandang dan lain sebagainya. Pemberian bantuan tersebut bisa
dilakukan langsung oleh perawat secara langsung di lokasi bencana dengan
memdirikan posko bantuan. Selain itu,  Hal yang harus difokuskan dalam kegiatan ini
adalah pemerataan bantuan di tempat bencana sesuai kebutuhan yang di butuhkan
oleh para korban saat itu, sehinnga tidak akan ada lagi para korban yang tidak
mendapatkan bantuan tersebut dikarenakan bantuan yang menumpuk ataupun tidak
tepat sasaran.

3. Pemulihan kesehatan mental


40
Para korban suatu bencana biasanya akan mengalami trauma psikologis akibat
kejadian yang menimpanya. Trauma tersebut bisa berupa kesedihan yang mendalam,
ketakutan dan kehilangan berat. Tidak sedikit trauma ini menimpa wanita, ibu ibu,
dan anak anak yang sedang dalam massa pertumbuhan. Sehingga apabila hal ini terus
berkelanjutan maka akan mengakibatkan stress berat dan gangguan mental bagi para
korban bencana. Hal yang dibutukan dalam penanganan situasi seperti ini adalah
pemulihan kesehatan mental yang dapat dilakukan oleh perawat. Pada orang dewasa,
pemulihannya bisa dilakukan dengan sharing dan mendengarkan segala keluhan
keluhan yang dihadapinya, selanjutnya diberikan sebuah solusi dan diberi
penyemangat untuk tetap bangkit. Sedangkan pada anak anak, cara yang efektif
adalah dengan mengembalikan keceriaan mereka kembali, hal ini mengingat sifat
lahiriah anak anak yang berada pada masa bermain. Perawat dapat mendirikan sebuah
taman bermain, dimana anak anak tersebut akan mendapatkan permainan, cerita lucu,
dan lain sebagainnya. Sehinnga kepercayaan diri mereka akan kembali seperti sedia
kala.

4. Pemberdayaan masyarakat
Kondisi masyarakat di sekitar daerah yang terkena musibah pasca bencana biasanya
akan menjadi terkatung katung tidak jelas akibat memburuknya keaadaan pasca
bencana., akibat kehilangan harta benda yang mereka miliki. sehinnga banyak
diantara mereka  yang patah arah dalam menentukan hidup selanjutnya. Hal yang bisa
menolong membangkitkan keadaan tersebut adalah melakukan pemberdayaan
masyarakat. Masyarakat perlu mendapatkan fasilitas dan skill yang dapat menjadi
bekal bagi mereka kelak. Perawat dapat melakukan pelatihan pelatihan keterampilan
yang difasilitasi dan berkolaborasi dengan instansi ataupun LSM yang bergerak dalam
bidang itu. Sehinnga diharapkan masyarakat di sekitar daerah bencana akan mampu
membangun kehidupannya kedepan lewat kemampuan yang ia miliki.

Untuk mewujudkan tindakan di atas perlu adanya beberapa hal yang harus dimiliki
oleh seorang perawat, diantaranya:
a. Perawatan harus memilki skill keperawatan yang baik.
Sebagai perawat yang akan memberikan pertolongan dalam penanaganan
bencana, haruslah mumpunyai skill keperawatan, dengan bekal tersebut perawat
akan mampu memberikan pertolongan medis yang baik dan maksimal.

41
b. Perawat harus memiliki jiwa dan sikap kepedulian.
Pemulihan daerah bencana membutuhkan kepedulian dari setiap elemen
masyarakat termasuk perawat, kepedulian tersebut tercemin dari rasa empati dan
mau berkontribusi secara maksimal dalam segala situasi bencana. Sehingga
dengan jiwa dan semangat kepedulian tersebut akan mampu meringankan beban
penderitaan korban bencana.

c. Perawatan harus memahami managemen siaga bencana


Kondisi siaga bencana membutuhkan penanganan yang berbeda, segal hal yang
terkait harus didasarkan pada managemen yang baik, mengingat bencana datang
secara tak terduga banyak hal yang harus dipersiapkan dengan matang, jangan
sampai tindakan yang dilakukan salah dan sia sia. Dalam melakukan tindakan di
daerah bencana, perawat dituntut untuk mampu memilki kesiapan dalam situasi
apapun jika terjadi bencana alam. Segala hal yang berhubungan dengan peralatan
bantuan dan pertolongan medis harus bisa dikoordinir dengan baik dalam waktu
yang mendesak. Oleh karena itu, perawat harus mengerti konsep siaga bencana.

M. Management Bencana

Ada 3 aspek mendasar dalam management bencana, yaitu:


1. Respons terhadap bencana
2. Kesiapsiagaan menghadapi bencana
3. Mitigasi efek bencana

Managemen siaga bencana membutuhkan kajian yang matang dalam setiap tindakan
yang akan dilakukan sebelum dan setelah terjun kelapangan. Ada beberapa hal yang bisa
dijadikan pedoman, yaitu:
1. Mempersiapkan bentuk kegiatan yang akan dilakukan
Setelah mengetahui sebuah kejadian bencana alam beserta situasi di tempat kejadian,
hal yang terlebih dahulu dilakukan adalah memilih bentuk kegiatan yang akan
diangkatkan, seperti melakukan pertolongan medis, pemberian bantuan kebutuhan
korban, atau menjadi tenaga relawan. Setelah ditentukan, kemudian baru dilakukan

42
persiapan mengenai alat alat, tenaga, dan juga keperluan yang akan dibawa
disesuaikan dengan alur dan kondisi masyarakat serta medan yang akan ditempuh.

2. Melakukan tindakan yang telah direncanakan sebelumnya.


Hal ini merupakan pokok kegiatan siaga bencana yang dilakukan, segala hal yang
dipersiapkan sebelumnya, dilakukan dalam tahap ini, sampai jangka waktu yang
disepakati.

3. Evaluasi kegiatan
Setiap selesai melakukan kegiatan, perlu adanya suatu evaluasi kegiatan yang
dilakukan, evaluasi bisa dijadikan acuan, introspeksi, dan pedoman melakukan
kegiatan selanjutnya. Alhasil setiap kegiatan yang dilakukan akan berjalan lebih baik
lagi dari sebelumnya.

N. Pemulihan Korban Pasca Bencana

Penanganan korban stres akibat bencana memang tidak mudah. Pengalaman traumatis
karena bencana telah menggoncangkan dan melemahkan pertahanan individu dalam
menghadapi tantangan dan kesulitan hidup sehari-hari. Apalagi kondisi trauma, kondisi
fisik dan mental, aspek kepribadian masing-masing korban tidak sama.

Masyarakat yang menjadi korban dari suatu bencana cenderung memiliki masalah
penyesuaian perilaku dan emosional. Perubahan mendadak sering membawa dampak
psikologis yang cukup berat. Beban yang dihadapi oleh para korban tersebut dapat
mengubah pandangan mereka tentang kehidupan dan menyebabkan tekanan pada jiwa
mereka.

Munculnya gejala-gejala stres, seperti rasa takut, cemas, duka cita yang mendalam, tidak
berdaya, putus asa, kehilangan kontrol, frustrasi sampai depresi semuanya bermuara pada
kemampuan individu dalam memaknai suatu musibah secara lebih realistis. Gejala-gejala
tersebut adalah reaksi wajar dari pengalaman yang tidak wajar. Tentunya hal ini tidak
bisa dibiarkan begitu saja. Mereka memerlukan cara yang tepat untuk mengatasi masalah
yang dialami
43
Dalam hal ini, konsep coping merupakan hal yang penting untuk dibicarakan. Konsep
coping menunjuk pada berbagai upaya, baik mental maupun perilaku, untuk menguasai,
mentoleransi, mengurangi, atau meminimalisasikan suatu situasi atau kejadian yang
penuh tekanan. Dengan kata lain, coping merupakan suatu proses di mana individu
berusaha untuk menanggani dan menguasai situasi yang menekan akibat dari masalah
yang sedang dihadapinya. Beragam cara dilakukan. Namun, semua bermuara pada
perubahan kognitif maupun perilaku guna memperoleh rasa aman dalam dirinya.

Ketika seseorang tertimpa suatu musibah, biasanya ia akan mendekat kepada Tuhan
dengan meningkatkan ibadah dan perbuatan baik lainnya. Hal ini diperlihatkan oleh
sebagian besar rakyat Bantul yang mengaku tawakal dengan memasrahkan segalanya
kepada Tuhan. Ekspresi sikap pasrah itu gampang dijumpai di lokasi bencana, “Matur
nuwun, Gusti, kawula tasih dipunparingi keselametan...” (Terima kasih, Tuhan, saya
masih diberi keselamatan).

Mereka bersyukur masih diberi keselamatan. Pengalaman tersebut menjadikan mereka


semakin dekat kepada Tuhan. Idealnya, mereka harus memaknai bencana sebagai sebuah
musibah, bukan petaka atau azab. Bencana gempa ditafsirkan sebagai peringatan keras
Tuhan kepada manusia yang telah lama berkubang dalam dosa dan dusta. Karena itu,
sebagai sebuah musibah, bencana bukan akhir segala-galanya. Bencana dapat diubah
menjadi sesuatu yang memiliki makna, bukan kesia-siaan apalagi keterkutukan.

Korban bencana yang tingkat spiritualitasnya tinggi akan menjadikan mereka senantiasa
hidup dalam nuansa keimanan kepada Tuhan. Mereka akan memaknai aktivitasnya
dalam kehidupan ini sebagai ibadah kepada Tuhan. Mereka pun akan semakin tegas dan
konsisten dalam sikap dan langkah hidupnya serta semakin terikat dengan aturan Sang
Pencipta dengan perasaan ridha dan tenteram. Perasaan itu akan menjadikannya kuat
dalam menghadapi segala persoalan hidup. Mereka dapat mengambil hikmah atas
musibah yang menimpanya, tidak putus asa, dan menjadikan hambatan-hambatan yang
ditemui pasca-bencana sebagai tantangan untuk memulai kehidupan baru. Mereka
menganggap bahwa bencana bukan akhir dari segalanya. Bencana bisa diubah menjadi
suatu pengalaman positif yang memiliki makna.

Identitas spiritual dibutuhkan individu dalam mengkonstruksi makna atas pengalaman

44
hidup. Dengan adanya kepercayaan pribadi untuk memberikan makna luar biasa kepada
realitas kehidupan, agama akan mampu mengarahkan individu untuk memberikan
penerimaan tulus atas musibah yang terjadi. Kondisi tersebut memungkinkan individu
untuk memaknai kembali hidupnya dengan membuat perencanaan atas setiap
kemungkinan yang terjadi setelah mengalami musibah untuk mencapai suatu tujuan
tertentu pada masa yang datang.

Robert A. Emmons (2000) mengungkapkan bahwa spiritualitas bermanfaat dalam upaya


untuk memecahkan berbagai permasalahan dalam kehidupan. Spiritualitas dapat
memprioritas-ulangkan tujuan-tujuan (reprioritization of goals). Terlebih lagi, pribadi
yang spiritual lebih mudah menyesuaikan diri pada saat menangani kejadian-kejadian
traumatis. Mereka pun lebih bisa menemukan makna dalam krisis traumatis dan
memperoleh panduan untuk memutuskan hal-hal tepat apa saja yang harus dilakukan .

O. Terapi Psiko-Sosial

Tuhan menciptakan manusia dengan segenap keunikan. Sejak ia dilahirkan, manusia


memiliki potensi yang meliputi sisi psikologis, sosial, dan spiritual. Menurut Hanna
Djumhana Bastaman (1995), untuk dapat memahami manusia seutuhnya, baik dalam
keadaan sehat maupun sakit, pendekatan yang digunakan mestinya tidak lagi
memandang manusia sebagai makhluk bio-psiko-sosial (jasmani, psikologis, dan sosial),
melainkan manusia sebagai makhluk bio-psiko-sosio-spiritual (jasmani, psikologis,
sosial, dan spiritual).

Secara eksplisit, Ralph L. Piedmont (2001) memandang spiritualitas sebagai rangkaian


karakteristik motivasional (motivational trait); kekuatan emosional umum yang
mendorong, mengarahkan, dan memilih beragam tingkah laku individu. Sementara itu,
Susan Folkman, dkk (1999) mendefinisikan spiritualitas sebagai suatu bagian dalam diri
seseorang yang menghasilkan arti dan tujuan hidup, yang terungkap dalam pengalaman-
pengalaman transendental individu dan hubungannya dengan ajaran-ajaran ketuhanan
(universal order).

45
Inayat Khan dalam bukunya Dimensi Spiritual Psikologi menyebutkan bahwa kekuatan
psikis yang dimiliki oleh seseorang dapat dikembangkan melalui olah spiritual yang
dilakukan melalui beberapa tahapan.

Pertama, berlatih melakukan konsentrasi. Dengan konsentrasi, seseorang dapat


memiliki kekuatan dan inspirasi karena berada dalam kondisi terpusat serta tercerahkan.
Melalui konsentrasi pula, seseorang belajar dan berlatih untuk menguasai dirinya.

Kedua, berlatih mengungkapkan hasil konsentrasi melalui pikiran. Artinya, setelah


seseorang mendapatkan hasil dalam konsentrasi, maka ia harus berani mengungkapkan
hasil konsentrasi tersebut dalam ungkapan-ungkapan yang sederhana melalui kekuatan
pikiran. Kekuatan pikiran ini nantinya akan mempengaruhi kekuatan perasaan yang
dimiliki. Ketahuilah, sesungguhnya perasaan adalah ruh pemikiran, sebagaimana ucapan
adalah ruh suatu tindakan. Karena itu, konsentrasi merupakan hal penting untuk
mengembangkan kekuatan psikis seseorang.

Ketiga, agar dapat mengekspresikan kekuatan psikis, seseorang harus memiliki kekuatan
tubuh (kesehatan fisik). Artinya, orang yang sehat umumnya memiliki pernafasan dan
sirkulasi darah yang teratur dan lancar, sehingga memberikan efek bagi kemampuan
mengekspresikan dirinya.

Keempat, berlatih menjaga kestabilan dan ketenangan dalam berpikir. Artinya, seseorang
yang terbiasa mengembangkan kebiasaan-kebiasaan buruk dalam berpikir, seperti
khawatir, cemas, takut, atau ragu tentang sesuatu, akan mengurangi daya kekuatan dalam
mengekspresikan diri. Tentang hal ini, saya teringat pada kata-kata yang diungkapkan
oleh seorang pegiat pelatihan manajemen diri di sebuah seminar yang pernah saya ikuti.
Kata beliau, “Pikiranmu adalah awal dari perkataanmu. Perkataanmu adalah awal dari
perbuatanmu. Perbuatanmu adalah awal dari kebiasaanmu. Kebiasaanmu adalah awal
dari karaktermu. Karaktermu adalah takdirmu.”

Kelima, berlatih mengumpulkan kekuatan psikis yang selanjutnya digunakan untuk


bertindak. Artinya, hasrat dan daya tarik kekuatan psikis yang dimiliki seseorang harus
ditunda sebelum betul-betul terkumpul dan berkembang melimpah. Saat itulah kekuatan
psikis mampu dimanfaatkan untuk menolong diri sendiri maupun orang lain. Kekuatan
psikis yang timbul dari energi spiritual bagaikan mata air yang tercurah, melimpah secara

46
konstan dan stabil. Karna itu, tinggal pemanfaatannya tergantung pada kesediaan dan
kemauan seseorang untuk mengumpulkan dan mengembangkannya menjadi energi yang
bersifat menyembuhkan (terapeutik).

Sebuah penelitian bertajuk “Religion and Spirituality in Coping with Stress” yang
dipublikasikan oleh Journal of Counseling and Values beberapa tahun lalu, menunjukkan
bahwa semakin penting spiritualitas bagi seseorang, maka semakin besar kemampuannya
dalam mengatasi masalah yang dihadapi. Penelitian ini menyarankan bahwa spiritualitas
bisa memiliki peran yang penting dalam mengatasi stres. Spiritualitas bisa melibatkan
sesuatu di luar sumber-sumber yang nyata atau mencari terapi untuk mengatasi situasi-
situasi yang penuh tekanan di dalam hidup.

Dalam konteks ini, penting untuk diperhatikan bagaimana kondisi spiritualitas para
korban pasca-bencana. ada hubungan positif yang sangat signifikan antara spiritualitas
dengan proactive coping pada korban bencana . Semakin tinggi tingkat spiritualitas,
semakin baik pula proactive coping yang dilakukan oleh korban. Konsep proactive
coping diarahkan oleh sikap yang proaktif. Sikap tersebut merupakan kepercayaan yang
relatif terus menerus ada pada setiap individu. Di mana apabila terjadi perubahan-
perubahan yang berpotensi mengganggu keseimbangan emosional individu, maka sikap
tersebut mampu memperbaiki diri dan lingkungannya.

Terapi psiko-spiritual ini terdiri dari tiga tahapan, yaitu tahapan penyadaran diri (self
awareness), tahapan pengenalan jati diri dan citra diri (self identification), dan tahapan
pengembangan diri (self development). Pada fase penyadaran diri, para korban akan
melalui proses pensucian diri dari bekasan atau hal-hal yang menutupi keadaan jiwa
melalui cara penyadaran diri, penginsyafan diri, dan pertaubatan diri. Fase ini akan
menguak hakikat persoalan, peristiwa, dan kejadian yang dialami oleh para korban. Pun
menjelaskan hikmah atau rahasia dari setiap peristiwa tersebut.

Selanjutnya, pada fase pengenalan diri, para korban akan dibimbing kepada pengenalan
hakikat diri secara praktis dan holistik dengan menanamkan nilai-nilai ketuhanan dan
moral. Melalui fase ini, individu diajak untuk menyadari potensi-potensi yang ada di
dalam dirinya. Setelah diidentifikasi, pelbagai potensi itu perlu segera dimunculkan.
Kemudian mengelola potensi diri yang menonjol tersebut agar terus berkembang dan

47
dicoba untuk diaktualisasikan. Adalah sebuah riwayat yang menyebutkan, “Barangsiapa
mengenal dirinya, maka dia pun akan mengenal Tuhannya.”

Terakhir, pada fase pengembangan diri, para korban akan didampingi dan difasilitasi
untuk tidak hanya sehat fisikal, namun juga sehat mental dan spiritual. Kesehatan mental
terwujud dalam bentuk keharmonisan yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi jiwa,
serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi masalah yang terjadi, dan merasakan
secara positif kebahagiaan dan kemampuan dirinya. Adapun kesehatan spiritual
mencakup penemuan makna dan tujuan dalam hidup seseorang, mengandalkan Tuhan
(The Higher Power), merasakan kedamaian, dan merasakan hubungan dengan alam
semesta.

Harapannya, terapi psiko-spiritual akan memberikan penerimaan yang tulus atas musibah
yang menimpa para korban gempa. Selain itu, terapi ini dapat pula mengurangi
kesedihan dan tekanan psikologis, serta membantu para korban dalam menemukan
makna yang positif

48

Anda mungkin juga menyukai