- Amalia Azzahra
- Erika Putri Widyaningtyas
- Rizkoh Amelia
- Tias Novia Amalia
- Julia Rosa Anggraini
1
DAFTAR ISI
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap wilayah tempat tinggal manusia memiliki resiko bencana. Seringkali resiko
tersebut tidak terbaca oleh komunitas dan karenanya tidak dikelola dengan baik. Hal ini
menyebabkan terkadang, dan mungkin juga sering, bencana terjadi secara tak terduga-duga.
Dampak paling awal dari terjadinya bencana adalah kondisi darurat, dimana terjadi
penurunan drastis dalam kualitas hidup komunitas korban yang menyebabkan mereka tidak
mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya dengan kapasitasnya sendiri. Kondisi ini
harus bisa direspons secara cepat, dengan tujuan utama pemenuhan kebutuhan dasar
komunitas korban sehingga kondisi kualitas hidup tidak makin parah
Perbedaan mendasar ditemukan antara kerja dalam kondisi darurat dengan kerja
penguatan kapasitas masyarakat secara umum. Dalam kondisi darurat, waktu kerusakan
terjadi secara sangat cepat dan skala kerusakan yang ditimbulkan pun biasanya sangat besar.
Hal ini menyebabkan perbedaan dalam karakteristik respon kondisi darurat. Komitmen,
kecekatan dan pemahaman situasi dan kondisi bencana (termasuk konflik) dalam rangka
memahami latar belakang kebiasaan, kondisi fisik maupun mental komunitas korban dan
karenanya kebutuhan mereka, sangat dibutuhkan. Selain itu, sebuah kondisi darurat juga tidak
bisa menjadi legitimasi kerja pemberian bantuan yang asal-asalan. Dalam hal ini perlu
dipahami bahwa sumber daya sebesar apapun yang kita miliki tidak akan cukup untuk
memenuhi seluruh kebutuhan komunitas korban bencana. Di sisi lain, sekecil apapun sumber
daya yang kita miliki akan memberikan arti bila didasarkan pada pemahaman kondisi yang
baik dan perencanaan yang tepat dan cepat, mengena pada kebutuhan yang paling mendesak.
Bencana, apapun sebabnya, merupakan hal yang menganggu tatanan masyarakat
dalam segala aspeknya, baik psikologis, ekonomi, sosial budaya maupun material. Jika kita
mengamini faktum bahwa setiap orang memiliki hak untuk hidup layak maka komunitas
manapun yang mengalami bencana berhak atas bantuan kemanusiaan dalam batas-batas
minimum
3
B. Tujuan
Tujuan Umum : Mahasiswa mampu memahami tentang berbagai hal yang berhubungan
dengan bencana.
Tujuan Khusus :
a. Mahasiswa mengetahui dan memahami tentang jenis bencana, fase-fase bencana
b. Mahasiswa mengetahui dan memahami tentang peran perawat komunitas dalam
manajemen kejadian bencana
c. Mahasiswa mengetahui dan memahami permasalahan bencana dibidang kesehatan
d. Mahasiswa mengetahui pengkajian keperawatan di area bencana
e. Mahasiswa dapat menyusun asuhan keperawatan pada area bencana .
4
BAB II
KONSEP TEORI
KOMUNITAS PADA AREA BENCANA
A. Definisi Bencana
Bencana adalah suatu fenomena alam yang terjadi yang menyebabkan kerugian
baik materiil dan spiritual pada pemerintah dan masyarakat (Urata, 2008). Fenomena
atau kondisi yang menjadi penyebab bencana disebut hazard ( Urata, 2008).
Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia bencana adalah peristiwa
pada suatu wilayah yang mengakibatkan kerusakan ekologi, kerugian ekologi,
kerugian hidup bagi manusia serta menurunnya derajat kesehatan sehingga
memerlukan bantuan dari pihak luar (Effendy & Mahfudli, 2009). Disaster menurut
WHO adalah setiap kejadian, situasi, kondisi yang terjadi dalam kehidupan ( Effendy
& Mahfudli, 2009).
5
sarana dan prasarana dan menyebabkan banyak korban. Masalah kesehatan
yang sering muncul cacat karena patah tulang dan masalah sanitasi.
b. Letusan gunung api merupakan bagian dari aktivitas vulkanik yang dikenal
dengan istilah "erupsi". Bahaya letusan gunung api dapat berupa awan panas,
lontaran material (pijar), hujan abu lebat, lava, gas racun, tsunami dan banjir
lahar. Masalah kesehatan yang di hasilkan adalah kematian, luka bakar,
gangguan pernafasan akibat gas. Letusan gunung merapi dapat menyebabkan
masalah gizi karena menyebabkan rusaknya tanaman, pohon serta hewan
ternak.
c. Tsunami berasal dari bahasa Jepang yang berarti gelombang ombak lautan
("tsu" berarti lautan, "nami" berarti gelombang ombak). Tsunami adalah
serangkaian gelombang ombak laut raksasa yang timbul karena adanya
pergeseran di dasar laut akibat gempa bumi. Tsunami menyebabkan kerusakan
bangunan, tanah, sarana dan prasarana umum, kerusakan sumber air bersih.
d. Tanah longsor merupakan salah satu jenis gerakan massa tanah atau batuan,
ataupun percampuran keduanya, menuruni atau keluar lereng akibat
terganggunya kestabilan tanah atau batuan penyusun lereng.
e. Banjir adalah peristiwa atau keadaan dimana terendamnya suatu daerah atau
daratan karena volume air yang meningkat.
Banjir bandang adalah banjir yang datang secara tiba-tiba dengan debit air
yang besar yang disebabkan terbendungnya aliran sungai pada alur sungai.
2. Bencana buatan manusia
Bencana buatan manusia adalah penyebabnya ditimbulkan oleh aktivitas manusia
contohnya kecelakaan kereta, kecelakaan kereta, kecelakaan lalulintas, kebocoran
gas.
3. Bencana khusus
Bencana khusus dibedakan menjadi empat kategori yaitu:
a. Tipe menyebar ke wilayah yang luas contohnya radio aktif dan nuklir
b. Tipe komplek jika terjadi bencana pertama di susul bencana kedua dank ke
tiga serta di susul penyebarannya.
c. Tipe gabungan atau campuran, bencana ini terjadi campuran antara bencana
alam dengan bencana akibat ulah manusia.
d. Tipe jangka panjang, tipe ini memerlukan waktu pengecekan lokasi kejadian
dan penyelamatan korban.
6
D. Kelompok Rentan
Memahami akibat dari bencana adalah manusia potensial menjadi korban,
sehingga perlu kita perlu memahami dua hal yang perlu mendapatkan fokus utama
adalah mengenali kelompok rentan dan meningkatkan kapasitas dan kemampuan
masyarakat dalam menanggulangi bencana. Kerentanan adalah keadaan atau sifat
manusia yang menyebaabkan ketidakmampuan menghadapi bencana yang berfokus
pada pencegahan, menjinakkan, mencapai kesiapan, dan dalam menghadapi dampak
tertentu.
Undang-undang penanggulangan bencana pada pasal 56 dan pasal 26 (1)
menjelaskan bahwa masyarakat yang rentan adalah masyarakat yang membutuhkan
bantuan diantaranya bayi, balita, anak-anak, ibu hamil, ibu menyusui, lansia.
Kerentanan dalam masyarakat dapat dikelompokkan menjadi:
1. Kerentanan fisik
Adalah resiko yang dihadapimasyarakat dalam menghadapi ancaman bahaya
tertentu, misalnya kekuatan rekonstruksi bangunan rumah pada daerah rawan
banjir dan gempa.
2. Kerentanan ekonomi
Adalah kemampuan ekonomi individu atau masyarakat dalam mengalokasikan
dana utuk mencegas dan penanggulangan bencana.
3. Kerentanan social
Kerentanan social dilihat dari aspek pendidikan, pengetahuan tentang ancaman
dan penanggulangan bencana, serta ingkat kesehatan yang rendah.
4. Kerentanan lingkungan
Kerentanan yang melihat aspek tempat tinggal masyarakat dan lingkungan
sekitarnya.
7
b. Perawat ikut terlibat dalam berbagai kegiatan pemerintahan, organisasi
lingkungan, Palang Merah Nasinal, maupun lembaga-lembaga
kemasyarakatan dalam memberikan penyuluhan dan simulasi memberikan
tanggap bencana.
c. Perawat terlibat dalam promosi kesehatan dalam rangka meningkatkan
tanggap bencana, meliputi usaha pertolongan diri sendiri, pelatihan
pertolongan pertama dalam keluarga dan menolong anggota keluarga yang
lain, pembekalan informs cara menyimpan makanan dan minuman untuk
persediaan, perawat memberikan nomer telepon penting seperti nomer
telepon pemadam kebakaran, ambulans, rumah sakit, memberikan
informasi peralatan yang perlu dibawa (pakaian, senter).
2. Fase impact
a. Bertindak cepat.
b. Perawat tidak memberikan janji apapun atau memberikan harapan palsu
pada korban bencana.
c. Konsentrasi penuh pada hal yang dilakukan.
d. Berkoordinasi dengan baik dengan tim lain.
e. Bersama pihak yang terkait mendiskusikan dan merancang master plan
revitalizing untuk jangka panjang.
Perawat harus melakukan pengkajian secara cepat untuk memutuskan
tindakan pertolongan pertama. Ada saat dimana ”seleksi” pasien untuk
penanganan segera (emergency) akan lebih efektif. (Triase).
TRIASE :
a. Merah — paling penting, prioritas utama. keadaan yang mengancam
kehidupan sebagian besar pasien mengalami hipoksia, syok, trauma dada,
perdarahan internal, trauma kepala dengan kehilangan kesadaran, luka
bakar derajat I-II.
b. Kuning — penting, prioritas kedua. Prioritas kedua meliputi injury
dengan efek sistemik namun belum jatuh ke keadaan syok karena dalam
keadaan ini sebenarnya pasien masih dapat bertahan selama 30-60 menit.
Injury tersebut antara lain fraktur tulang multipel, fraktur terbuka, cedera
medulla spinalis, laserasi, luka bakar derajat II.
8
c. Hijau — prioritas ketiga. Yang termasuk kategori ini adalah fraktur
tertutup, luka bakar minor, minor laserasi, kontusio, abrasio, dan
dislokasi.
d. Hitam meninggal. Ini adalah korban bencana yang tidak dapat selamat
dari bencana, ditemukan sudah dalam keadaan meninggal.
3. Fase post-impact
a. Memberikan terapi bagi korban bencana untuk mengurangi trauma.
b. Selama masa perbaikan perawat membantu korban bencana alam untuk
kembali ke kehidupan normal.
c. Beberapa penyakit dan kondisi fisik yang memerlukan pemulihan dalam
jangka waktu lama memerlukan bekal informasi dan pendampingan.
9
Meskipun dapat dikatakan dengan sepatah kata, ada bermacam-macam penyebab
bencana, kondisi kerusakannya, serta massa-massa terkena dampak, dan lain-lain.
Biasanya dalam menanggulangi bencana, maka bencana tersebut akan dibagi menjadi
4 fase, yaitu :
1. Fase pencegahan dan kesiapsiagaan bencana ( prevention and preparedne phase)
2. Fase tindakan ( response phase) yang terdiri dari fase akut ( acute phase) dan fase
sub akut (sub acute phase)
3. Fase pemulihan ( recovery phase)
4. Fase rehabilitasi / rekonstruksi.
Fase fase ini terjadi secara berurutan sebelum dan sesudah bencana, dan tindakan
terhadap bencana pertama berhubungan dengan kesiapsiagaan untuk bencana
selanjutnya, sehingga hal ini disebut siklus bencana.
1. Fase pencegahan dan kesiapsiagaan bencana
Fase kesiapsiagaan adalah fase dimana dilakukan persiapan yang baik
dengan memikirkan berbagai tindakan untuk meminimalsisir berbagai kerugian
yang ditimbulkan akibat bencanadan menyusun perencanaan agar dapat
melakukan kegiatan pertolongan serta perawatan yang efektif pada saat terjadi
bencana. Tindakan terhadap bencana menurut PBB ada 9 kerangka, yaitu:
a. Pengkajian terhadap kerentanan
b. membuat perencanaan ( pencegahan bencana)
c. Pengorganisasian
d. Sistem informasi
e. Pengumpulan sumber daya
f. Sistem alarm
g. Mekanisme tindakan
h. Pendidikan dan pelatihan penduduk
i. Gladi resik.
2. Fase tindakan
Fase tindakan adalah fase dimana dilakukan berbagai aksi darurat yang
nyata untuk menjaga diri sendiri dan harta kekayaan. Aktivitas yang dilakukan
secara kongkret yaitu :
a. Instruksi pengungsian
b. Pencarian dan penyelamatan korban
c. Menjamin qkeamanan dilokasi bencana
10
d. Pengkajian terhadap kerugian akibat bencana
e. Pembagian dan penggunaan alat perlengkapan pada kondisi darurat,
f. Pengiriman dan penyerahan barang material
g. Menyediakan tempat pengungsian dan lain-lain.
Dari sudut pandang pelayanan medis, bencana lebih dipersempit lagi dengan
membaginya menjadi fase akut dan fase sub akut. Dalam fase akut, 48 jam
pertama sejak bencana terjadi disebut fase penyelamatan dan pertolongan /
pelayanan medis darurat terhadap orang orang yang terluka pada saat mengungsi
atau dievakuasi, serta dilakukan tindakan-tindakan terhadap munculnya
permasalahan kesehatan dalam pengungsian.
3. Fase pemulihan
Fase pemulihan dibedakan secara akurat dari dan sampai kapan, tetapi fase
ini merupakan fase dimana individu atau masyarakat dengan kemampuannya
sendiri dapat memulihkan fungsinya seperti sedia kala, ( sebelum terjadi bencana),
orang-orang melakukan perbaikan darurat tempat tinggalnya, pindah kerumah
sementara, mulai masuk sekolah ataupun bekerja kembali sambil memulihkan
lingkungan tempat tinggalnya. Kemudian mulai dilakukan rehabilitasi lifeline dan
aktivitas untuk membuka kembali usahanya. Institusi pemerintah juga memulai
memberikan kembali pelayanan seqqcara normal serta mulai menyusun rencana-
rencana untuk rekonstruksi sambil terus memberikan bantuan kepada para korban.
Fase ini bagaimanapun juga hanya merupakan fase pemulihan dan tidak sampai
mengembalikan fungsi-fungsi normal seperti sebelum bencana terjadi. Dengan
kata lain, fase ini merupakan masa peralihan dari kondisi darurat ke kondisi
tenang.
4. Fase Rehabilitasi / Rekonstruksi.
Jangka waktu fase Rehabilitasi / Rekonstruksi juga tidak dapat ditentukan,
namun ini merupakan fase dimana individu atau masyarakat berusaha
menegembalikan fungsi-fungsinya seperti sebelum bencana dan merencanakan
rehabilitasi terhadap seluruh komunitas. Tetapi, seseorang atau masyarakat tidak
dapat kembali pada keadaan yang sama seperti sebelum mengalami bencana,
sehingga dengan menggunaan pengalamannya tersebut diharapkan kehidupan
individu serta keadaan komunitas pun dapat dikembangkan secara progresif.
11
G. Pelayanan Medis Bencana berdasarkan Siklus Bencana
Kehidupan dan kondisi fisik serta psikis orang banyak akan mengalami
perubahan saat berhdapan dengan setiap siklus bencana. Oleh karena itu, pelayanan
medis yang dibutuhkan adalah yang juga akan berubah dalam menanggulangi
setiapsiklus bencana. Secara singkat akan diuraikan seperti di bawah ini.
1. Fase akut dalam siklus bencana
Dilokasi bencana, pertolongan terhadap korban luka dan evakuasi dari lokasi
berbahaya ke tempat yang aman adalah hal yang paling diprioritaskan. Untuk
menyelamatkan korban luka sebanyak mungkin, maka sangat diperlukan
lancarnya pelaksanaan Triage ( triase), Treatment ( pertolongan pertama), dan
transportation ( transportasi) pada korban luka, yang dalam pelayanan medis
bencana disebut dengan 3T. selain tindakan penyelamatan secara langsung,
dibutuhkan juga perawatan terhadap mayat dan keluarga yang ditinggalkan, baik
di rumah sakit, lokasi bantuan perawatan darurat maupun ditempat pengungsian
yang menerima korban bencana.
2. Fase menengah dan panjang pada siklus bencana.
Pada fase ini, terjadi perubahan pada lingkungan tempat tinggal yaitu dari
tempat pengungsiam ke rumah sementara dan rumah yang direhabilitasi. Hal-hal
yang dilakukan diantaranya adalah : memperhatikan segi keamanan supaya dapat
menjalankan aktivitas hidup yang nyaman dengan tenang, membantu terapi
kejiwaan korban bencana, membantu kegiatan-kegiatan untuk memulihkan
kesehatan hidup dan membangun kembali komunitas social
3. Fase tenang pada siklus bencana
Pada fase tenang diman tidak terjadi bancana, diperlukan pendidikan
penanggulangan bencana sebagai antisipasi saat bencana terjadi, pelatihan
pencegahan bencana pada komunitas dengan melibatkan penduduk setempat,
pengecekan dan pemeliharaan fasilitas peralatan pencegahan bencana baik di
daerah-daerah maupun pada fasilitas medis, srta membangun sistem jaringan
bantuan.
12
sector dan program terkait. Berikut ini merupakan ruang lingkup bidang pengendalian
penyakit dan penyehatan lingkungan, terutama saat tanggap darurat dan pasca
bencana.
1. Sanitasi darurat.
Kegiatannya adalah penyediaan serta pengawasan air bersih dan jamban :kualitas
tempat pengungsian, serta pengaturan limbah sesuai standard. Kekurangan jumlah
maupun kualitas sanitasi ini akan meningkatkan resiko penularan penyakit.
2. Pengendalian vector.
Bila tempat pengungsian dikategorikan tidak ramah, maka kemungkinan terdapat
nyamuk dan vector lain disekitar pengungsi. Ini termasuk timbunann sampah dan
genagan air yang memungkinkan tejadinya perindukan vector. Maka kegiatan
pengendalian vector terbatas saat diperlukan baik dalam bentuk spraying, atau
fogging, larvasiding, maupun manipulasi lingkungan.
3. Pengendalian penyakit.
Bila dari laporan pos pos kesehatan diketahui terdapat peningkatan kasus
penyakit, terutama yang berpotensi KLB, maka dilakukan pengendalian melalui
intensifikasi penatalaksanaan kasus serta penanggulangan faktor resikonya.
Penyakit yang memerlukan perhatian adalah diare dan ISPA.
4. Imunisasi terbatas.
Pengungsi pada umumnya rentan terhadap penyakit, terutama orang tua, ibu
hamil, bayi dan balita. Bagi bayi dan balita perlu imunisasi campak bila dalam
catatan program daerah tersebut belum mendapatkan crash program campak. Jenis
imunisasi lain mungkin diperlukan ssuai dengan kebutuhan setempat seperti yang
dilakukan untuk mencegah kolera bagi sukarelawan di Aceh pada tahun 2005 dan
imunisasi tetanus toksoid (TT) bagi sukarelawan di DIY dan jateng apda tahun
2006.
5. Surveilanse Epidemologi.
Kegiatan ini dilakukan untuk memperoleh informasi epidemologi penyakit potensi
KLB dan faktor resiko.atas informasi inilah maka dapat ditentukan pengendalian
penyakit, pengendalian vector, dan pemberian imunisasi, informasi epidemologi
yang harus diperoleh melalui kegiatan surveilens epidemologi adalah :
a. Reaksi social
b. Penyakit menular
c. Perpindahan penduduk
13
d. Pengaruh cuaca
e. Makanan dan gizi
f. Persediaan air dan sanitasi
g. Kesehatan jiwa
h. Kerusakan infrastruktur kesehatan.
14
Hal ini dilakukan dengan memperbaiki prasaran dan pelayanan dasar (jalan,
listrik, air bersih, pasar, Puskesmas dll) dan memulihkan kondisi trauma
psikologis yang dialami anggota masyarakat.
4. Pembangunan (development)
Merupakan fase membangun kembali sarana dan prasarana yang rusak akibat
bencana. Pembangunan ini dapat dibedakan menjadi 2 tahapan. Tahapan yang
pertama yaitu rehabilitasi yang merupakan upaya yang dilakukan setelah
kejadian bencana untuk membantu masyarakat memperbaiki rumah,
fasilitas umum dan fasilitas sosial serta menghidupkan kembali roda
ekonomi. Tahapan yang kedua yaitu rekonstruksi, yang merupakan
program jangka menengah dan jangka panjang yang meliputi program
fisik, sosial dan ekonomi untuk mengembalikan kehidupan masyarakat pada
kondisi yang sama atau lebih baik.
5. Pencegahan (prevention)
Tindakan pencegahan yang harus dilaksanakan antara lain berupa
kegiatan untuk meningkatkan kesadaran/kepedulian mengenai bahaya
bencana. Langkah-langkah pencegahan difokuskan pada intervensi terhadap
gejala-gejala alam dengan tujuan agar menghindarkan terjadinya bencana dan
atau menghindarkan akibatnya dengan cara menghilangkan/memperkecil
kerawanan dan meningkatkan ketahanan/kemampuan terhadap bahaya.
6. Mitigasi (mitigation)
Upaya yang dilakukan untuk mengurangi dampak bencana, baik secara fisik
struktural dengan pembuatan bangunan-bangunan fisik maupun non- fisik
struktural melalui perundang-undangan dan pelatihan. Mitigasi merupakan
semua aktivitas yang dilakukan untuk menghilangkan atau mengurangi derajat
risiko jangka panjang dalam kehidupan manusia yang berasal dari kerusakan alam
dan buatan manusia itu sendiri (Stoltman et al., 2004).
7. Kesiapsiagaan (preparedness)
Upaya yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana, melalui
pengorganisasian langkah-langkah yang tepat guna dan berdaya guna. Persiapan
adalah salah satu tugas utama dalam disaster managemen, karena
pencegahan dan mitigasi tidak dapat menghilangkan vulnerability maupun
bencana secara tuntas
15
I. Pencegahan dan Mitigasi
Upaya atau kegiatan dalam rangka pencegahan dan mitigasi yang dilakukan,
bertujuan untuk menghindari terjadinya bencana serta mengurangi risiko yang
ditimbulkan oleh bencana. Tindakan mitigasi dilihat dari sifatnya dapat digolongkan
menjadi 2 (dua) bagian, yaitu
1. Mitigasi pasif.
Tindakan pencegahan yang tergolong dalam mitigasi pasif antara lain:
a. Penyusunan peraturan perundang-undangan
b. Pembuatan peta rawan bencana dan pemetaan masalah.
c. Pembuatan pedoman/standar/prosedur
d. Pembuatan brosur/leaflet/poster
e. Penelitian / pengkajian karakteristik bencana
f. Pengkajian / analisis risiko bencana
g. Internalisasi PB dalam muatan lokal pendidikan
h. Pembentukan organisasi atau satuan gugus tugas bencana
i. Perkuatan unit-unit sosial dalam masyarakat, seperti forum
j. Pengarus-utamaan PB dalam perencanaan pembangunan
2. Mitigasi aktif
Sedangkan tindakan pencegahan yang tergolong dalam mitigasi aktif antara lain:
a. Pembuatan dan penempatan tanda-tanda peringatan, bahaya, larangan
memasuki daerah rawan bencana dsb.
b. Pengawasan terhadap pelaksanaan berbagai peraturan tentang penataan ruang,
ijin mendirikan bangunan (IMB), dan peraturan lain yang berkaitan dengan
pencegahan bencana.
c. Pelatihan dasar kebencanaan bagi aparat dan masyarakat.
d. Pemindahan penduduk dari daerah yang rawan bencana ke daerah yang lebih
aman.
e. Penyuluhan dan peningkatan kewaspadaan masyarakat
f. Perencanaan daerah penampungan sementara dan jalur-jalur evakuasi jika
terjadi bencana.
g. Pembuatan bangunan struktur yang berfungsi untuk mencegah, mengamankan
dan mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh bencana, seperti: tanggul,
dam, penahan erosi pantai, bangunan tahan gempa dan sejenisnya.
16
Adakalanya kegiatan mitigasi ini digolongkan menjadi mitigasi yang bersifat
non-struktural (berupa peraturan, penyuluhan, pendidikan) dan yang bersifat
struktural (berupa bangunan dan prasarana).
17
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN PASCA BENCANA
A. Pengkajian
1. Umum
Nama
Usia
Jenis Kelamin
Alamat
Status
Pekerjaan
Agama
2. Khusus
a. Data Subjektif
Menceritakan kejadian / periatiwa yang traumatis
Mengatakan takut atas kejadian bencana yang terjadi
Mengatakan resah saat teringat kembali peristiwa bencana yang dialaminya
Mengatakan merasa tidak berguna
Menyatakan was-was
Merasakan fikiran terganngu
Tidak ingin mengingat peristiwa itu kembali dengan menceritakannya lagi
Mengingkari peristiwa trauma
Merasa malu
Mengatakan setiap mengingat kejadian bencana merasa jantung berdebar-
debar
b. Data Objektif
Mengasingkan diri
Menangis
Marah
Gelisah
Menghindar
Mengasingkan diri
18
Depresi
Sulit berkomunikasi
Keadaan mood terganggu
Sesak didada
Lemah
3. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi yang mempengaruhi kehilangan :
a. Genetik
Individu yang dilahirkan dibesarkan dalam keluarga yang mempunyai riwayat
depresi biasanya sulit mengembangkan sikap optimis dalam menghadapi suatu
permasalahan, termasuk menghadapi kehilangan.
b. Kesehatan fisik
Individu dengan keadaan fisik sehat, cara hidup teratur, cenderung mempunyai
kemampuan mengatasi stress yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu
yang sedang mengalami gangguan fisik
c. Kesehatan mental / jiwa
Individu yang mengalami gangguan jiwa seperti depresi yang ditandai dengan
perasaan tidak berdaya pesimis dan dibayangi dengan masa depan yang suram,
biasanya sangat peka terhadap situasi kehilangan.
d. Pengalaman kehilangan di massa lalu
Kehilangan atau perpisahan dengan orang yang bermakna dimasa kanak-kanak
akan mempengaruhi individu dalam menghadapi kehilangan dimasa dewasa
4. Faktor Presipitasi
Stress yang nyata seperti kehilangan yang bersifat Bio-Psiko-Sosial antara lain
kehilangan kesehatan (sakit), kehilangan fungsi sseksualitas, kehilangan keluarga dan
harta benda. Individu yang kehilangan sering menunjukkan perilaku seperti menangis
atau tidak mampu menangis , marah, putus asa, kadang ada tanda upaya bunuh diri
atau melukai orang lain yang akhirnya membawa pasien dalam keadaan depresi.
5. Spiritual
a. Keyakinan terhadap Tuhan YME
b. Kehadiran ditempat Ibadah
c. Pentingna Agama dalam kehidupan pasien
d. Kepercayaan akan kehidupan setelah kematian
19
6. Orang-orang terdekat
a. Status perkawinan
b. Siapa orang terdekat
c. Anak-anak
d. Kebiasaan pasien dalam tugas-tugas keluarga dan fungsi-fungsinya
e. Bagaimana pengaruh orang-orang terdekat terhadap penyakit atau masalah
f. Proses interaksi apakah yang terdapat dalam keluarga
a. Gaya hidup keluarga, misal: Diet, mengikuti pengajian
7. Sosioekonomi
a. Pekerjaan: keuangan
b. Faktor-faktor lingkungan: rumah,pekeerjaan dan rekreasi
c. Penerimaan sosial terhadap penyakit / kondisi, misal : PMS,HIV,Obesitas,dll
8. Kultural
a. Latar belakang etnis
b. Tingkah laku mengusahakan kesehatan, rujuk penyakit
c. Faktor-faktor kultural yang dihubngkan dengan penyakit secara umum dan
respon terhadap rasa sakit
d. Kepercayaan mengenai perawatan dan pengobatan
20
C. Intervensi Keperawatan
Dari beberapa diagnosa maka intervensi yang dapat kita lakukan adalah:
23
23
Takut berhubungan dengan perubahan
status lingkungan ( bencana alam), NOC :Anxiety control
ditandai dengan Fear control NIC:
DS : Peningkatan ketegangan,panik, Setelah dilakukan tindakan Coping Enhancement
penurunan kepercayaan diri, cemas keperawatan selama 3 kali Bina dan jalin hubungan saling percaya.
DO : pertemuan takut klien teratasi Sediakan reinforcement positif ketika pasien
penurunan produktivitas kemampuan dengan kriteria hasil : melakukan perilaku untuk mengurangi takut
belajar Memiliki informasi untuk Sediakan perawatan yang berkesinambungan
penurunan kemampuan menyelesaikan mengurangi takut Kurangi stimulasi lingkungan yang dapat
masalah Menggunakan tehnik menyebabkan misinterprestasi
mengidentifikasi obyek ketakutan, relaksasi Dorong mengungkapkan secara verbal
peningkatan kewaspadaan Mempertahankan hubungan perasaan, persepsi dan rasa takutnya
Anoreksia sosial dan fungsi peran Perkenalkan dengan orang yang mengalami
mulut kering Mengontrol respon takut kejadian bencana yang sama
diare, mual Dorong klien untuk mempraktekan tehnik
pucat, muntah relaksasi
24
24
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Di beberapa daerah di Indonesia merupakan daerah yang rawan bencana. Dengan
banyaknya bencana, kesiagaan dan pelaksanaan tanggap bencana harus dilakukan
dengan baik. Karena dampak yang ditimbulkan bencana tidaklah sederhana, maka
penanganan korban bencana harus dilakukan dengan terkoordinasi dengan baik
sehingga korban yang mengalami berbagai sakit baik fisik, sosial, dan emosional
dapat ditangani dengan baik dan manusiawi.
Perawat sebagai kaum yang telah dibekali dasar-dasar kejiwaan kebencanaan
dapat melakukan berbagai tindakan tanggap bencana. Seharusnya modal itu
dimanfaatkan oleh mahasiswa keperawatan agar secara aktif turut melakukan
tindakan tanggap bencana.
B. Saran
Perawat adalah tenaga kesehatan yang sangat berkompeten untuk melakukan
pelayanan kesehatan di daerah yang sedang mengalami bencana, oleh karena itu
diharapkan bagi mahasiswa keperawatan maupun perawat yang sudah berpengalaman
dalam praktik pelayanan kesehatan mau untk berperan dalam penanggulangan
bencana yang ada di sekitar kita. Karena ilmu yang didapat di bangku perkuliahan
sangat relevan dengan yang terjadi di masyarakat, yaitu fenomena masalah kesehatan
yang biasanya muncul di tempat yang sedang terjadi bencana.
25
DAFTAR PUSTAKA
26
A. Definisi Bencana
Definisi tersebut menyebutkan bahwa bencana disebabkan oleh faktor alam, non alam,
dan manusia. Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tersebut juga
mendefinisikan mengenai bencana alam, bencana nonalam, dan bencana sosial.
1. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian
peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami,
gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.
2. Bencana nonalam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian
peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi,
epidemi, dan wabah penyakit.
3. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian
peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antarkelompok
atau antarkomunitas masyarakat, dan teror.
B. Fase-fese Bencana
Menurut Barbara Santamaria (1995), ada 3 fase dalam terjadinya suatu bencana, yaitu
diantaranya :
1. Fase preimpact merupakan warning phase, tahap awal dari bencana. Informasi didapat
dari badan satelit dan meteorologi cuaca. Seharusnya pada fase inilah segala
persiapan dilakukan baik oleh pemerintah, lembaga, dan warga masyarakat.
27
2. Fase impact merupakan fase terjadinya klimaks dari bencana. Inilah saat-saat dimana
manusia sekuat tenaga mencoba untuk bertahan hidup (survive). Fase impact ini
terus berlanjut hingga terjadi kerusakan dan bantuan-bantuan darurat dilakukan.
3. Fase postimpact adalah saat dimulainya perbaikan dan penyembuhan dari fase
darurat, juga tahap dimana masyarakat mulai berusaha kembali pada fungsi
komunitas normal. Secara umum dalam fase postimpact ini para korban akan
mengalami tahap respon psikologis mulai penolakan, marah, tawar-menawar,
depresi hingga penerimaan.
4. Pandangan Progresif
Menganggap bencana sebagai bagian dari pembangunan masyarakat yang ‘normal’.
Bencana adalah masalah yang tidak pernah berhenti. Peran sentral dari masyarakat
adalah mengenali bencana itu sendiri.
28
Fokus pada bagaimana tanggapan dan kesiapan masyarakat menghadapi bahaya.
Ancaman adalah alami, tetapi bencana bukan alami. Besaran bencana tergantung
perbedaan tingkat kerawanan masyarak.
6. Pandangan Holistik
Menekankan pada ancaman (threat) dan kerentanan (vulnerability), serta
kemampuan masyarakat dalam menghadapi risiko. Gejala alam menjadi ancaman
jika mengancam hidup dan harta-benda. Ancaman akan berubah menjadi bencana
jika bertemu dengan kerentanan.
1. Pandangan Konvensional
Bencana merupakan sifat alam. Terjadinya bencana : Kecelakaan (accident) ; tidak
dapat diprediksi, tidak menentu, tidak terhindarkan, dan tidak terkendali. Masyarakat
dipandang sebagai ‘korban’ dan ‘penerima bantuan’ dari pihak luar.
29
4. Pandangan Progresif
Menganggap bencana sebagai bagian dari pembangunan masyarakat yang ‘normal’.
Bencana adalah masalah yang tidak pernah berhenti. Peran sentral dari masyarakat
adalah mengenali bencana itu sendiri.
6. Pandangan Holistik
Menekankan pada ancaman (threat) dan kerentanan (vulnerability), serta
kemampuan masyarakat dalam menghadapi risiko. Gejala alam menjadi ancaman
jika mengancam hidup dan harta-benda. Ancaman akan berubah menjadi bencana
jika bertemu dengan kerentanan.
Kerentanan adalah keadaan atau sifat (perilaku) manusia atau masyarakat yang
menyebabkan ketidakmampuan menghadapi bahaya atau ancaman dari potensi bencana
untuk mencegah, menjinakkan, mencapai kesiapan dan menanggapi dampak bahaya
tertentu. Kerentanan terbagi atas:
30
1. Kerentanan fisik, kerentanan yang dihadapi masyarakat dalam menghadapi ancaman
bahaya tertentu, misalnya kekuatan rumah bagi masyarakat yang tinggal di daerah
rawan gempa.
2. Kerentanan ekonomi, kemampuan ekonomi individu atau masyarakat dalam
pengalokasian sumber daya untuk pencegahan serta penanggulangan bencana.
3. Kerentanan social, kondisi social masyarakat dilihat dari aspek pendidikan,
pengetahuan tentang ancaman bahaya dan rsiko bencana.
4. Kerentanan lingkungan, keadaan disekitar masyarakat tinggal. Misalnya masyarakat
yang tinggal di lereng bukit atau pegunungan rentan terhadap ancaman bencana
tanah longsor.
31
H. Trauma Pasca Bencana
1. Stress
Secara sederhana, stres dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana individu
terganggu keseimbangannya. Stres terjadi akibat adanya situasi dari luar ataupun
dari dalam diri yang memunculkan gangguan, dan menuntut individu berespon
secara sesuai.
Stress merupakan sesuatu yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia, bahkan
seperti merupakan bagian dari kehidupan itu sendiri. Setiap hari kadang kita harus
tergesa bangun, membereskan pekerjaan rumah kadang hingga lupa atau tidak
sempat sarapan, lari mengejar kendaraan umum untuk Sekolah atau menjalani
aktivitas, berkonflik dengan teman atau orang lain, kehabisan uang padahal harus
membeli keperluan harian dan seterusnya. Semua kejadian itu dapat memunculkan
stres.
Mereka yang mengalami stres mungkin merasa lebih gelisah, tegang, cemas,
mengalami kelelahan, ketegangan otot dan sulit tidur. Ada pula yang tekanan darah
dan detak jantungnya nmeningkat, sakit kepala, perut mulas, gatal-gatal atau diare.
Stres juga dapat merubah perilaku kita. Misalnya kita menjadi lebih cepat marah,
lebih suka sendirian, menjadi tidak enak makan, merasa tidak berdaya, tidak
bersemangat, frustrasi, atau merasa tidak percaya diri.
Meski cukup sering menganggu, stres tidak perlu selalu dilihat sebagai hal negatif.
Dalam hal tertentu ,stres memiliki dampak positif. Eustress adalah stres dalam artian
positif yakni keadaan yang dapat memotivasi, dan berdampak menguntungkan.
Sebagai contohnya, ada orang-orang yang bila sudah terdesak waktu, tiba-tiba akan
terbangkitkan kreativitasnya. Ada pula yang karena merasa tertinggal, memotivasi
diri sendiri dan dapat berprestasi gemilang.
2. Trauma
32
Secara sederhana, trauma berarti luka atau kekagetan (syok/shock). Penyebab
trauma adalah peristiwa yang sangat menekan, terjadi secara tiba-tiba dan di luar
kontrol/kendali seseorang, bahkan seringkali membahayakan kehidupan atau
mengancam jiwa. Peristiwa ini begitu mengagetkan, menyakitkan dan melebihi
situasi stres yang kita alami sehari-hari. Peristiwa ini dinamakan sebagai peristiwa
traumatis.
Bencana alam seperti gempa bumi jelas merupakan peristiwa traumatis, karena tidak
pernah ada yang bisa meramalkan kapan akan datang dan menimbukan perasaan
takut dan mengerikan. Sehingga dapat menimbukan trauma bagi yang
mengalaminya. Kondisi seperti stres yang kita rasakan setelah munculnya peristiwa
traumatis disebut sebagai stres traumatis. Kondisi inilah yang biasa kita kenal
sebagai trauma.
Gejala trauma sebenarnya dapat juga dialami oleh orang yang tidak mengalami
langsung peristiwa traumatis. Misalnya, seseorang yang menonton berita bencana
secara terus menerus. Ia kemudian menjadi sulit tidur, mengalami rasa takut dan
waspada berlebihan. Hal semacam ini disebut sebagai trauma sekunder, yaitu stres
traumatis yang dialami oleh orang yang tidak mengalami secara langsung.
Siapapun orangnya, sekuat dan sehebat apapun dia, biasanya akan menunjukkan
respon tertentu. Respon yang muncul mungkin berbeda-beda bagi tiap orang,
namun umumnya respon yang muncul adalah:
a. Memiliki ingatan atau bayangan yang sulit dilupakan, seperti mencengkeram,
atau ingatan lainnya tentang traumanya
b. Merasakan peristiwa seperti terjadi lagi (flashback)
c. Merasa terganggu bila diingatkan, atau teringat peristiwa
33
d. traumatis karena sesuatu yang dilihat, didengar, dirasakan, atau diciumnya.
e. Ketakutan, merasa kembali berada dalam bahaya
f. Kesulitan mengendalikan perasaan karena tidak mampu mengendalikan
ingatan tentang peristiwa traumatis.
34
tersebut dirasakan lebih dari 6-8 minggu dan mengganggu kehidupan kita sehari-
hari. Dampak yang kita alami mungkin lebih besar daripada yang kita bayangkan.
Gejala ini muncul pada masa 2 s.d 30 hari/4 minggu yang ditandai dengan:
35
b. Terulangnya bayangan mental akibat peristiwa traumatik yang pernah dialami.
Tujuan utama : Tujuan tindakan asuhan keperawatan komunitas pada bencana ini adalah
untuk mencapai kemungkinan tingkat kesehatan terbaik masyarakat yang terkena
bencana tersebut.
Ada beberapa hal yang dapat dilakukan perawat dalam masa pra bencana ini, antara
lain:
36
d. Merkoordinasi berbagai dinas pemerintahan, organisasi lingkungan, palang
merah nasional maupun lembaga-lembaga kemasyarakatan dalam memberikan
penyuluhan dan simulasi persiapan menghadapi ancaman bencana kepada
masyarakat.
Biasanya pertolongan pertama pada korban bencana dilakukan tepat setelah keadaan
stabil. Setelah bencana mulai stabil, masing-masing bidang tim survey mulai
melakukan pengkajian cepat terhadap kerusakan-kerusakan, begitu juga perawat
sebagai bagian dari tim kesehatan.
TRIASE :
37
antara lain fraktur tulang multipel, fraktur terbuka, cedera medulla spinalis,
laserasi, luka bakar derajat II.
c. Hijau — prioritas ketiga. Yang termasuk kategori ini adalah fraktur tertutup,
luka bakar minor, minor laserasi, kontusio, abrasio, dan dislokasi.
d. Hitam — meninggal. Ini adalah korban bencana yang tidak dapat selamat dari
bencana, ditemukan sudah dalam keadaan meninggal.
Bencana tentu memberikan bekas khusus bagi keadaan fisik, sosial, dan psikologis
korban. Selama masa perbaikan perawat membantu masyarakat untuk kembali pada
38
kehidupan normal. Beberapa penyakit dan kondisi fisik mungkin memerlukan
jangka waktu yang lama untuk normal kembali bahkan terdapat keadaan dimana
kecacatan terjadi.
Peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap
seseorang sesuai kedudukannya dalam suatu sistem. Peran dipengaruhi oleh keadaan
nalge baik dari dalam maupun dari luar dan bersifat stabil. Peran adalah bentuk dari
perilaku yang diharapkan dari seesorang pada situasi nalge tertentu. (Kozier Barbara,
1995:21).
Peran mahasiswa perawat yang dimaksud adalah cara untuk menyatakan aktifitas
mahasiswa keperawatan dalam membantu praktik, dimana telah mendapatkan
pendidikan formalnya yang sesuai dengan kode etik keperawatan. Dimana setiap
peran yang dinyatakan sebagai nalg terpisah demi untuk kejelasan.
Tujuan utama dari tindakan keperawatan bencana ini adalah untuk mencapai
kemungkinan tingkat kesehatan terbaik masyarakat yang terkena bencana tersebut.
Jika seorang mahasiswa keperawatan beserta para perawat lainnya berada di pusat
area bencana, ia akan dibutuhkan untuk ikut mengevakuasi dan nalge pertolongan
pertama pada korban. Sedangkan di lokasi-lokasi penampungan seorang perawat
39
bertanggung jawab pada evaluasi kondisi korban, melakukan tindakan keperawatan
berkelanjutan, dan mengkondisikan lingkungan terhadap perawatan korban-korban
dengan penyakit menular.
2. Pemberian bantuan
Perawatan dapat melakukan aksi galang dana bagi korban bencana, dengan
menghimpun dana dari berbagai kalangan dalam berbagai bentuk, seperti makanan,
obat obatan, keperluan sandang dan lain sebagainya. Pemberian bantuan tersebut bisa
dilakukan langsung oleh perawat secara langsung di lokasi bencana dengan
memdirikan posko bantuan. Selain itu, Hal yang harus difokuskan dalam kegiatan ini
adalah pemerataan bantuan di tempat bencana sesuai kebutuhan yang di butuhkan
oleh para korban saat itu, sehinnga tidak akan ada lagi para korban yang tidak
mendapatkan bantuan tersebut dikarenakan bantuan yang menumpuk ataupun tidak
tepat sasaran.
4. Pemberdayaan masyarakat
Kondisi masyarakat di sekitar daerah yang terkena musibah pasca bencana biasanya
akan menjadi terkatung katung tidak jelas akibat memburuknya keaadaan pasca
bencana., akibat kehilangan harta benda yang mereka miliki. sehinnga banyak
diantara mereka yang patah arah dalam menentukan hidup selanjutnya. Hal yang bisa
menolong membangkitkan keadaan tersebut adalah melakukan pemberdayaan
masyarakat. Masyarakat perlu mendapatkan fasilitas dan skill yang dapat menjadi
bekal bagi mereka kelak. Perawat dapat melakukan pelatihan pelatihan keterampilan
yang difasilitasi dan berkolaborasi dengan instansi ataupun LSM yang bergerak dalam
bidang itu. Sehinnga diharapkan masyarakat di sekitar daerah bencana akan mampu
membangun kehidupannya kedepan lewat kemampuan yang ia miliki.
Untuk mewujudkan tindakan di atas perlu adanya beberapa hal yang harus dimiliki
oleh seorang perawat, diantaranya:
a. Perawatan harus memilki skill keperawatan yang baik.
Sebagai perawat yang akan memberikan pertolongan dalam penanaganan
bencana, haruslah mumpunyai skill keperawatan, dengan bekal tersebut perawat
akan mampu memberikan pertolongan medis yang baik dan maksimal.
41
b. Perawat harus memiliki jiwa dan sikap kepedulian.
Pemulihan daerah bencana membutuhkan kepedulian dari setiap elemen
masyarakat termasuk perawat, kepedulian tersebut tercemin dari rasa empati dan
mau berkontribusi secara maksimal dalam segala situasi bencana. Sehingga
dengan jiwa dan semangat kepedulian tersebut akan mampu meringankan beban
penderitaan korban bencana.
M. Management Bencana
Managemen siaga bencana membutuhkan kajian yang matang dalam setiap tindakan
yang akan dilakukan sebelum dan setelah terjun kelapangan. Ada beberapa hal yang bisa
dijadikan pedoman, yaitu:
1. Mempersiapkan bentuk kegiatan yang akan dilakukan
Setelah mengetahui sebuah kejadian bencana alam beserta situasi di tempat kejadian,
hal yang terlebih dahulu dilakukan adalah memilih bentuk kegiatan yang akan
diangkatkan, seperti melakukan pertolongan medis, pemberian bantuan kebutuhan
korban, atau menjadi tenaga relawan. Setelah ditentukan, kemudian baru dilakukan
42
persiapan mengenai alat alat, tenaga, dan juga keperluan yang akan dibawa
disesuaikan dengan alur dan kondisi masyarakat serta medan yang akan ditempuh.
3. Evaluasi kegiatan
Setiap selesai melakukan kegiatan, perlu adanya suatu evaluasi kegiatan yang
dilakukan, evaluasi bisa dijadikan acuan, introspeksi, dan pedoman melakukan
kegiatan selanjutnya. Alhasil setiap kegiatan yang dilakukan akan berjalan lebih baik
lagi dari sebelumnya.
Penanganan korban stres akibat bencana memang tidak mudah. Pengalaman traumatis
karena bencana telah menggoncangkan dan melemahkan pertahanan individu dalam
menghadapi tantangan dan kesulitan hidup sehari-hari. Apalagi kondisi trauma, kondisi
fisik dan mental, aspek kepribadian masing-masing korban tidak sama.
Masyarakat yang menjadi korban dari suatu bencana cenderung memiliki masalah
penyesuaian perilaku dan emosional. Perubahan mendadak sering membawa dampak
psikologis yang cukup berat. Beban yang dihadapi oleh para korban tersebut dapat
mengubah pandangan mereka tentang kehidupan dan menyebabkan tekanan pada jiwa
mereka.
Munculnya gejala-gejala stres, seperti rasa takut, cemas, duka cita yang mendalam, tidak
berdaya, putus asa, kehilangan kontrol, frustrasi sampai depresi semuanya bermuara pada
kemampuan individu dalam memaknai suatu musibah secara lebih realistis. Gejala-gejala
tersebut adalah reaksi wajar dari pengalaman yang tidak wajar. Tentunya hal ini tidak
bisa dibiarkan begitu saja. Mereka memerlukan cara yang tepat untuk mengatasi masalah
yang dialami
43
Dalam hal ini, konsep coping merupakan hal yang penting untuk dibicarakan. Konsep
coping menunjuk pada berbagai upaya, baik mental maupun perilaku, untuk menguasai,
mentoleransi, mengurangi, atau meminimalisasikan suatu situasi atau kejadian yang
penuh tekanan. Dengan kata lain, coping merupakan suatu proses di mana individu
berusaha untuk menanggani dan menguasai situasi yang menekan akibat dari masalah
yang sedang dihadapinya. Beragam cara dilakukan. Namun, semua bermuara pada
perubahan kognitif maupun perilaku guna memperoleh rasa aman dalam dirinya.
Ketika seseorang tertimpa suatu musibah, biasanya ia akan mendekat kepada Tuhan
dengan meningkatkan ibadah dan perbuatan baik lainnya. Hal ini diperlihatkan oleh
sebagian besar rakyat Bantul yang mengaku tawakal dengan memasrahkan segalanya
kepada Tuhan. Ekspresi sikap pasrah itu gampang dijumpai di lokasi bencana, “Matur
nuwun, Gusti, kawula tasih dipunparingi keselametan...” (Terima kasih, Tuhan, saya
masih diberi keselamatan).
Korban bencana yang tingkat spiritualitasnya tinggi akan menjadikan mereka senantiasa
hidup dalam nuansa keimanan kepada Tuhan. Mereka akan memaknai aktivitasnya
dalam kehidupan ini sebagai ibadah kepada Tuhan. Mereka pun akan semakin tegas dan
konsisten dalam sikap dan langkah hidupnya serta semakin terikat dengan aturan Sang
Pencipta dengan perasaan ridha dan tenteram. Perasaan itu akan menjadikannya kuat
dalam menghadapi segala persoalan hidup. Mereka dapat mengambil hikmah atas
musibah yang menimpanya, tidak putus asa, dan menjadikan hambatan-hambatan yang
ditemui pasca-bencana sebagai tantangan untuk memulai kehidupan baru. Mereka
menganggap bahwa bencana bukan akhir dari segalanya. Bencana bisa diubah menjadi
suatu pengalaman positif yang memiliki makna.
44
hidup. Dengan adanya kepercayaan pribadi untuk memberikan makna luar biasa kepada
realitas kehidupan, agama akan mampu mengarahkan individu untuk memberikan
penerimaan tulus atas musibah yang terjadi. Kondisi tersebut memungkinkan individu
untuk memaknai kembali hidupnya dengan membuat perencanaan atas setiap
kemungkinan yang terjadi setelah mengalami musibah untuk mencapai suatu tujuan
tertentu pada masa yang datang.
O. Terapi Psiko-Sosial
45
Inayat Khan dalam bukunya Dimensi Spiritual Psikologi menyebutkan bahwa kekuatan
psikis yang dimiliki oleh seseorang dapat dikembangkan melalui olah spiritual yang
dilakukan melalui beberapa tahapan.
Ketiga, agar dapat mengekspresikan kekuatan psikis, seseorang harus memiliki kekuatan
tubuh (kesehatan fisik). Artinya, orang yang sehat umumnya memiliki pernafasan dan
sirkulasi darah yang teratur dan lancar, sehingga memberikan efek bagi kemampuan
mengekspresikan dirinya.
Keempat, berlatih menjaga kestabilan dan ketenangan dalam berpikir. Artinya, seseorang
yang terbiasa mengembangkan kebiasaan-kebiasaan buruk dalam berpikir, seperti
khawatir, cemas, takut, atau ragu tentang sesuatu, akan mengurangi daya kekuatan dalam
mengekspresikan diri. Tentang hal ini, saya teringat pada kata-kata yang diungkapkan
oleh seorang pegiat pelatihan manajemen diri di sebuah seminar yang pernah saya ikuti.
Kata beliau, “Pikiranmu adalah awal dari perkataanmu. Perkataanmu adalah awal dari
perbuatanmu. Perbuatanmu adalah awal dari kebiasaanmu. Kebiasaanmu adalah awal
dari karaktermu. Karaktermu adalah takdirmu.”
46
konstan dan stabil. Karna itu, tinggal pemanfaatannya tergantung pada kesediaan dan
kemauan seseorang untuk mengumpulkan dan mengembangkannya menjadi energi yang
bersifat menyembuhkan (terapeutik).
Sebuah penelitian bertajuk “Religion and Spirituality in Coping with Stress” yang
dipublikasikan oleh Journal of Counseling and Values beberapa tahun lalu, menunjukkan
bahwa semakin penting spiritualitas bagi seseorang, maka semakin besar kemampuannya
dalam mengatasi masalah yang dihadapi. Penelitian ini menyarankan bahwa spiritualitas
bisa memiliki peran yang penting dalam mengatasi stres. Spiritualitas bisa melibatkan
sesuatu di luar sumber-sumber yang nyata atau mencari terapi untuk mengatasi situasi-
situasi yang penuh tekanan di dalam hidup.
Dalam konteks ini, penting untuk diperhatikan bagaimana kondisi spiritualitas para
korban pasca-bencana. ada hubungan positif yang sangat signifikan antara spiritualitas
dengan proactive coping pada korban bencana . Semakin tinggi tingkat spiritualitas,
semakin baik pula proactive coping yang dilakukan oleh korban. Konsep proactive
coping diarahkan oleh sikap yang proaktif. Sikap tersebut merupakan kepercayaan yang
relatif terus menerus ada pada setiap individu. Di mana apabila terjadi perubahan-
perubahan yang berpotensi mengganggu keseimbangan emosional individu, maka sikap
tersebut mampu memperbaiki diri dan lingkungannya.
Terapi psiko-spiritual ini terdiri dari tiga tahapan, yaitu tahapan penyadaran diri (self
awareness), tahapan pengenalan jati diri dan citra diri (self identification), dan tahapan
pengembangan diri (self development). Pada fase penyadaran diri, para korban akan
melalui proses pensucian diri dari bekasan atau hal-hal yang menutupi keadaan jiwa
melalui cara penyadaran diri, penginsyafan diri, dan pertaubatan diri. Fase ini akan
menguak hakikat persoalan, peristiwa, dan kejadian yang dialami oleh para korban. Pun
menjelaskan hikmah atau rahasia dari setiap peristiwa tersebut.
Selanjutnya, pada fase pengenalan diri, para korban akan dibimbing kepada pengenalan
hakikat diri secara praktis dan holistik dengan menanamkan nilai-nilai ketuhanan dan
moral. Melalui fase ini, individu diajak untuk menyadari potensi-potensi yang ada di
dalam dirinya. Setelah diidentifikasi, pelbagai potensi itu perlu segera dimunculkan.
Kemudian mengelola potensi diri yang menonjol tersebut agar terus berkembang dan
47
dicoba untuk diaktualisasikan. Adalah sebuah riwayat yang menyebutkan, “Barangsiapa
mengenal dirinya, maka dia pun akan mengenal Tuhannya.”
Terakhir, pada fase pengembangan diri, para korban akan didampingi dan difasilitasi
untuk tidak hanya sehat fisikal, namun juga sehat mental dan spiritual. Kesehatan mental
terwujud dalam bentuk keharmonisan yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi jiwa,
serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi masalah yang terjadi, dan merasakan
secara positif kebahagiaan dan kemampuan dirinya. Adapun kesehatan spiritual
mencakup penemuan makna dan tujuan dalam hidup seseorang, mengandalkan Tuhan
(The Higher Power), merasakan kedamaian, dan merasakan hubungan dengan alam
semesta.
Harapannya, terapi psiko-spiritual akan memberikan penerimaan yang tulus atas musibah
yang menimpa para korban gempa. Selain itu, terapi ini dapat pula mengurangi
kesedihan dan tekanan psikologis, serta membantu para korban dalam menemukan
makna yang positif
48