Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

PERAWATAN PSIKOLOGIS PADA SAAT BENCANA


Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah keperawatan bencana yang di ampuh oleh

Ns.Zulkifli Pomalango S.Kep,M.Kep

Oleh
Kelompok III Kelas B
Sumarni Lakoro (841416007)

Zeinpita Maseke (841416020)

Nur Rahmatia Kadir (841416042)

Hardiyanto Linggengge (841416049)

Devi Utami Gobel (841416071)

Basilica Clara Baharu(841416074)

Nur Marsenda Pakaya (841416079)

Fratiwi Van Gobel (841416088)

Cindriyanti Ntobuo (841416121)

Suprianto Mamonto (841416138)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS OLAHRAGA DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
2019

1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI....................................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ....................................................................................................... ii
BAB I
PENDAHULUAN ............................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang .......................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................................... 2
1.3 Tujuan ....................................................................................................................... 2
BAB II
TINJAUAN TEORI .......................................................................................................... 3
2.1 Aspek Psikososial ..................................................................................................... 3
2.2 Peran Perawat dalam Keadaan Darurat (Impact Phase) ................................. 4
2.3 Peran perawat di dalam posko pengungsian dan posko bencana ........................... 5
2.4 Peran perawat dalam fase postimpact ................................................................... 6
2.5 Peran MahasiswaKeperawatan Dalam Bencana .................................................... 6
2.6 Peran Perawat dan Aktivitas Psikososial Dalam Menanggulangi Dampak
Psikososial .......................................................................................................................... 7
2.7 Pemulihan ............................................................................................................ 11
BAB III
PENUTUP........................................................................................................................ 20
3.1 Kesimpulan .......................................................................................................... 20
3.2 Saran .................................................................................................................... 20

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya, sehingga kami dapat mengerjakan makalah ini sebagai tugas mata
kuliah “Keperawatan Bencana”. Tanpa ilmu dan kesabaran yang diberikan-Nya
kami tidak bisa menyelesaikan makalah ini. Dalam menyelesaikan makalah ini,
kami juga mendapat banyak pengarahan dan dukungan dari semua pihak yang
sangat berjasa.

Dengan terselesaikannya makalah ini, diharapkan akan dapat bermanfaat


dalam penggunaannya. Baik di lingkungan mahasiswa ataupun masyarakat. Dan
kelompok kami juga menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini terdapat
banyak kesalahan, baik dalam hal penulisan maupun isinya. Oleh karena itu, kami
meminta maaf atas segala kesalahan tersebut. Dan kami juga menerima kritik dan
saran yang bersifat membangun dari pembaca makalah ini. Sehingga kami dapat
membuat makalah yang lebih baik.

Penyusun

Kelompok III

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Setiap bencana pasti meninggalkan duka dan luka. Terbayang
penderitaan yang dialami masyarakat Jepang, khususnya di daerah bencana
(Sendai, Fukushima, dan sekitarnya), bencana gempa bumi dan tsunami yang
menelan korban lebih dari 10.000 jiwa ini tentunya akan membawa
perasaan pilu yang mendalam bagi seluruh keluarganya. Demikian pula
kejadian gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Aceh 6 tahun yang lalu
yang menelan korban sekitar 200.000 jiwa. Tidak hanya itu, selain
kehilangan sanak saudara, para korban gempa juga kehilangan tempat
tinggal. Bangunan rumah mereka hancur, dan rata dengan tanah.
Akibat dari bencana tersebut akan berpengaruh terhadap kehidupan
masyarakat paska bencana, sebagai akibat perubahan yang terjadi dalam
hidup mereka yang terjadi secara drastis dan tiba–tiba, dan pada
akhirnya menimbulkan kelainan atau gangguan pada mental atau gangguan
kejiwaan sebagai buntut bencana.
Pada fase awal bencana, akan membuat para korban menjadi khawatir dan
bahkan mungkin menjadi panik. Kepanikan itu berupa, seseorang akan
merasa sangat down, shock, karena kehilangan harta benda dan
sanak saudara. Demikian pula, mereka akan merasakan berbagai macam emosi
seperti ketakutan, kehilangan orang dan benda yang dicintainya, serta
membandingkan keadaan tersebut dengan kondisi sebelum bencana, mereka
kembali mengingat harta benda yang telah hilang atau rusak sekaligus
merasakan kesedihan yang mendalam. Hingga pada akhirnya merasa kecewa,
frustasi, marah, dan merasakan pahitnya hidup

4
1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang diatas maka rumusan masalah dalam makalah ini
adalah sebagai berikut.

1. Bagaimanakah dampak bencana jika dilihat dari aspek psikososial?


2. Apa peran perawat dalam Keadaan Darurat (Impact Phase)?

3. Apa peran perawat di dalam posko pengungsian dan posko bencana?


4. Seperti apa peran perawat dalam fase postimpact?
5. Apa peran MahasiswaKeperawatan Dalam Bencana?
6. Apa peran Perawat dan Aktivitas Psikososial Dalam Menanggulangi
Dampak Psikososial?
7. Pemulihan seperti apa yang dibutuhkan untuk penanganan korban
dampak bencana?

1.3 Tujuan

Dari rumusan maslaah diatas maka tujuan dari pembuatan makalah ini
adalah sebagai berikut.

1. Menjelaskan dampak bencana jika dilihat dari aspek psikososial


2. Mendeskripsikan peran Perawat dalam Keadaan Darurat (Impact Phase)

3. Menjelaskan peran perawat di dalam posko pengungsian dan posko


bencana
4. Mendeskripsikan peran perawat dalam fase postimpact
5. Mendeskripsikan peran MahasiswaKeperawatan Dalam Bencana
6. Mendeskripsikan peran Perawat dan Aktivitas Psikososial Dalam
Menanggulangi Dampak Psikososial
7. Mendeskripsikan pemulihan seperti apa yang dibutuhkan untuk
penanganan korban dampak bencana

5
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Aspek Psikososial


Dari Aspek Psikososial, Bencana Dapat Berdampak Pada:
2.1.1 Extreme peritraumatic stress reactions (reaksi stres &
trauma).
Gejala ini muncul pada masa kurang dari 2 hari. Gejala ini
ditandai dengan simptom-simptom yang muncul setelah bencana,
di antaranya:
a. Dissosiasi (depersonalisasi, derelisasi, amnesia).
b. Menghindar (menarik diri dari situasi sosial).
c. Kecemasan (cemas berlebihan, nervous, gugup, merasa tidak
berdaya).
d. Intrusive re-experiencing (flashback, mimpi buruk).
2.1.2 Acute stress disorder (ASD)
Gejala ini muncul pada masa 2 s.d 30 hari/4 minggu yang
ditandai dengan:

a. Individu/korban mengalami peristiwa traumatik yang


mengancam jiwa diri sendiri maupun orang lain, atau
menimbulkan kengerian luar biasa bagi dirinya (horor).
b. Peningkatan keterbangkitan psikologis, misalnya
kewaspadaan tinggi, mudah kaget, sulit konsentrasi, sulit
tidur, mudah tersinggung dan gelisah.
c. Gangguan efektifitas diri di area sosial dan pekerjaan.

2.1.3 Post traumatic stress disorder (PTSD)

Gejala ini muncul di atas 30 hari/1 bulan yang ditandai


dengan:

6
a. Gangguan muncul akibat suatu peristiwa hebat yang
mengejutkan, bahkan sering tidak terduga dan akibatnya pun
tidak tertahankan oleh orang yang mengalaminya.
b. Terulangnya bayangan mental akibat peristiwa traumatik
yang pernah dialami.
c. Ketidakberdayaan/ke-”tumpul”an emosional dan “menarik
diri”.
d. Terlalu siaga/waspada yang disertai
ketergugahan/keterbangkitan secara kronis.
e. Terjadi gangguan yang menyebabkan kegagalan untuk
berfungsi secara efektif dalam kehidupan sosial (pekerjaan,
rumah tangga, pendidikan, dll).

2.2 Peran Perawat dalam Keadaan Darurat (Impact Phase)


Biasanya pertolongan pertama pada korban bencana dilakukan
tepat setelah keadaan stabil. Setelah bencana mulai stabil, masing-masing
bidang tim survey mulai melakukan pengkajian cepat terhadap kerusakan-
kerusakan, begitu juga perawat sebagai bagian dari tim kesehatan.
Perawat harus melakukan pengkajian secara cepat untuk
memutuskan tindakan pertolongan pertama. Ada saat dimana ”seleksi”
pasien untuk penanganan segera (emergency) akan lebih efektif. (Triase).

TRIASE :

a. Merah — paling penting, prioritas utama. keadaan yang mengancam


kehidupan sebagian besar pasien mengalami hipoksia, syok, trauma
dada, perdarahan internal, trauma kepala dengan kehilangan
kesadaran, luka bakar derajat I-II.
b. Kuning — penting, prioritas kedua. Prioritas kedua meliputi injury
dengan efek sistemik namun belum jatuh ke keadaan syok karena
dalam keadaan ini sebenarnya pasien masih dapat bertahan selama
30-60 menit. Injury tersebut antara lain fraktur tulang multipel,

7
fraktur terbuka, cedera medulla spinalis, laserasi, luka bakar derajat
II.
c. Hijau — prioritas ketiga. Yang termasuk kategori ini adalah fraktur
tertutup, luka bakar minor, minor laserasi, kontusio, abrasio, dan
dislokasi.
d. Hitam — meninggal. Ini adalah korban bencana yang tidak dapat
selamat dari bencana, ditemukan sudah dalam keadaan meninggal.

2.3 Peran Perawat Di Dalam Posko Pengungsian Dan Posko Bencana


a. Memfasilitasi jadwal kunjungan konsultasi medis dan cek kesehatan
sehari-hari.
b. Tetap menyusun rencana prioritas asuhan keperawatan harian.
c. Merencanakan dan memfasilitasi transfer pasien yang memerlukan
penanganan kesehatan di RS.
d. Mengevaluasi kebutuhan kesehatan harian.
e. Memeriksa dan mengatur persediaan obat, makanan, makanan khusus
bayi, peralatan kesehatan.
f. Membantu penanganan dan penempatan pasien dengan penyakit
menular maupun kondisi kejiwaan labil hingga membahayakan diri
dan lingkungannya berkoordinasi dengan perawat jiwa.
g. Mengidentifikasi reaksi psikologis yang muncul pada korban
(ansietas, depresi yang ditunjukkan dengan seringnya menangis dan
mengisolasi diri) maupun reaksi psikosomatik (hilang nafsu makan,
insomnia, fatigue, mual muntah, dan kelemahan otot).
h. Membantu terapi kejiwaan korban khususnya anak-anak, dapat
dilakukan dengan memodifikasi lingkungan misal dengan terapi
bermain.
i. Memfasilitasi konseling dan terapi kejiwaan lainnya oleh para
psikolog dan psikiater.
j. Konsultasikan bersama supervisi setempat mengenai pemeriksaan
kesehatan dan kebutuhan masyarakat yang tidak mengungsi.

8
2.4 Peran Perawat Dalam Fase Postimpact
Bencana tentu memberikan bekas khusus bagi keadaan fisik, sosial,
dan psikologis korban. Selama masa perbaikan perawat membantu
masyarakat untuk kembali pada kehidupan normal. Beberapa penyakit
dan kondisi fisik mungkin memerlukan jangka waktu yang lama untuk
normal kembali bahkan terdapat keadaan dimana kecacatan terjadi.

2.5 Peran Mahasiswa Keperawatan Dalam Bencana


Peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang
lain terhadap seseorang sesuai kedudukannya dalam suatu sistem. Peran
dipengaruhi oleh keadaan nalge baik dari dalam maupun dari luar dan
bersifat stabil. Peran adalah bentuk dari perilaku yang diharapkan dari
seesorang pada situasi nalge tertentu. (Kozier Barbara, 1995:21).

Peran mahasiswa perawat yang dimaksud adalah cara untuk menyatakan


aktifitas mahasiswa keperawatan dalam membantu praktik, dimana telah
mendapatkan pendidikan formalnya yang sesuai dengan kode etik
keperawatan. Dimana setiap peran yang dinyatakan sebagai nalg terpisah
demi untuk kejelasan.

Seorang perawat, khususnya perawat komunitas memiliki tanggung jawab


peran dalam membantu mengatasi ancaman bencana baik selama tahap
preimpact, impact/emergency, dan postimpact. Dalam melakukan tugasnya
tentu perawat tidak bisa berjalan sendiri. Koordinasi dan persiapan yang
baik mulai dari pemerintah atas hingga ke cabang-cabang di bawahnya
mutlak diperlukan. Dimulai dari pusat studi bencana, badan nalgesic,
pemerintah pusat dan daerah, para teknisi, departemen kesehatan, palang
merah nasional yang didalamnya terdiri dari mahasiswa-mahasiswa peduli
bencana, tenaga-tenaga kesehatan, departemen penerangan, dinas
transportasi hingga dinas kebakaran dan lembaga-lembaga swadaya

9
masyarakat, semua ikut terlibat dalam perencanaan persiapan
penanggulangan bencana.

Tujuan utama dari tindakan keperawatan bencana ini adalah untuk


mencapai kemungkinan tingkat kesehatan terbaik masyarakat yang terkena
bencana tersebut. Jika seorang mahasiswa keperawatan beserta para
perawat lainnya berada di pusat area bencana, ia akan dibutuhkan untuk
ikut mengevakuasi dan nalge pertolongan pertama pada korban.
Sedangkan di lokasi-lokasi penampungan seorang perawat bertanggung
jawab pada evaluasi kondisi korban, melakukan tindakan keperawatan
berkelanjutan, dan mengkondisikan lingkungan terhadap perawatan
korban-korban dengan penyakit menular.

2.6 Peran Perawat dan Aktivitas Psikososial Dalam Menanggulangi


Dampak Psikososial
2.6.1 Aktivitas Psikososial Berdasarkan Tahap Bencana
Tahap Tanggap Darurat : Pasca dampak-langsung
- Menyediakan pelayanan intervensi krisis untuk pekerja
bantuan, misalnya defusing dan debriefing untuk mencegah
secondary trauma
- Memberikan pertolongan emosional pertama (emotional first
aid), misalnya berbagai macam teknik relaksasi dan terapi
praktis
- Berusahalah untuk menyatukan kembali keluarga dan
masyarakat.
- Menghidupkan kembali aktivitas rutin bagi anak
- Menyediakan informasi, kenyamanan, dan bantuan praktis.
Tahap Pemulihan: Bulan pertama, Lanjutkan tahap
tanggap darurat
- Mendidik profesional lokal, relawan, dan masyarakat
sehubungan dengan efek trauma
- Melatih konselor bencana tambahan

10
- Memberikan bantuan praktis jangka pendek dan dukungan
kepada penyintas
- Menghidupkan kembali aktivitas sosial dan ritual masyarakat
Tahap Pemulihan akhir: Bulan kedua, Lanjutkan tugas
tanggap bencana.
- Memberikan pendidikan dan pelatihan masyarakat tentang
reseliensi atau ketangguhan.
2.6.2 Aktivitas Psikososial Berdasarkan Kelompok Usia
2.6.2.1 Anak-anak
Dukungan psikososial dapat diberikan dalam berbagai
bentuk kegiatan dan program, namun perlu diingat bahwa
segala bentuk interaksi dengan anak berpotensi untuk
memulihkan anak secara psikologis. Hal utama yang perlu
dilakukan adalah bersikap tenang saat bersama dengan anak-
anak, karena reaksi orang dewasa akan mempengaruhi reaksi
anak. Mulailah membuat kegiatan yang teratur dan rutin bagi
anak. Kegiatan yang teratur adalah salah satu kebutuhan
psikososial utama bagi anak-anak. Anak-anak akan merasa
aman jika segera melakukan aktivitas yang sama/mirip dengn
aktivitas rutin yang dilakukan sebelum bencana. Oleh karena
itu penting sekali, untuk segera menyelenggarakan sekolah
darurat, mencari tempat yang aman bagi anak-anak untuk
bermain di sore hari, mengajak anak untuk mengaji di sore
hari (atau bible study untuk anak-anak Nasrani).
2.6.2.2 Remaja
a) Mengajaknya Sholat dan Zikir untuk relaksasi
b) Melakukan aktifitas sosial
c) Melakukan aktifitas olahraga
d) Melakukan aktifitas kesenian seperti menari, menyanyi,
main musik, drama, melukis, dan lain-lain
e) Menulis

11
f) Menonton film
2.6.2.3 Dewasa
a) Ajak untuk perbanyak melakukan kegiatan agama
b) Temani mereka
c) Ajak bicara tentang apa saja sehingga ia tidak merasa
sendiri
d) Menjadi pendengar yang baik terutama saat ia
menceritakan perasaannya tentang bencana yang
menimpa
e) Dorong korban untuk banyak beristirahat dan makan
yang cukup
f) Ajak korban melakukan aktifitas yang positif
g) Ajak korban untuk melakukan kegiatan rutin sehari-hari
h) Ajak bercanda dengan menggunakan humor ringan
i) Ajak berbincang-bincang tentang kondisi saat ini diluar
j) Membantu menemukan sanak saudara yang masih
terpisah
k) Memberikan informasi yang dibutuhkan sehingga
menimbulkan harapan
2.6.2.4 Wanita
Dalam memulihkan diri sendiri :
1. Mengungkap masalah yang dirasakan kepada orang yang
dipercayai
2. Merawat dan menjaga kesehatan diri, baik fisik maupun
psikis
3. Melakukan aktivitas-aktivitas yang disukai yang dapat
mengalihkan dari pikiranpikiran akan kejadian, baik
dilakukan sendiri maupun secara berkelompok
4. Belajar Ketrampilan Baru
5. Mencoba iklas dan mendekatkan diri kepada-Nya

12
Membantu keluarganya dalam memulihkan kondisi
pasca bencana
1. Memberikan pengetahuan dan informasi mengenai
bencana (gempa, banjir,tsunami, longsor dll) kepada
anak dan keluarga
2. Saling mendukung dan memperhatikan sesama anggota
keluarga, serta memberikan perhatian lebih kepada
anggota keluarga yang masih memiliki masalah akibat
bencana dan peristiwa sulit
3. Memberikan dukungan kepada anak untuk melakukan
kegiatan baik di sekolah maupun di luar sekolah
4. Apabila dia berperan sebagai orang tua tunggal, maka
dia bekerja untukmencari nafkah bagi keluarga sesuai
dengan kemampuan/ketrampilan yang dimiliki.
Memulihkan sesama perempuan dalam komunitas :
1. Saling memberikan perhatian kepada sesama
perempuan korban bencana yang tinggal di sekitarnya.
2. Saling bercerita dan berbagi perasaan antar sesama
perempuan di komunitas
3. Saling memberi informasi kepada sesama perempuan
baik dalam hal mengembangkan usaha (industri kecil)
bersama-sama dan dapat berupa informasi lainnya.
4. Mengajak rekan perempuan dalam komunitas agar lebih
percaya diri, dan aktif dalam kegiatan-kegiatan
kelompok
5. Bersama-sama ikut memberikan pendapat dalam rapat
atau pertemuan penyelesaian masalah karena suara
perempuan juga penting.

13
2.6.2.5 Lansia
a) Berikan keyakinan yang positif
b) Dampingi pemulihan fisiknya dengan melakukan
kunjungan berkala
c) Berikan perhatian yang khusus untuk
mendapatkan kenyamanan pada lokasi penampungan
d) Bantu untuk membangun kembali kontak dengan
keluarga maupun lingkungan sosial lainnya
e) Dampingi untuk menapatkan pengobatan dan bantuan
keuangan

2.7 Pemulihan
2.7.1 Pemulihan kesehatan mental
Para korban suatu bencana biasanya akan mengalami
trauma psikologis akibat kejadian yang menimpanya. Trauma
tersebut bisa berupa kesedihan yang mendalam, ketakutan dan
kehilangan berat. Tidak sedikit trauma ini menimpa wanita, ibu
ibu, dan anak anak yang sedang dalam massa pertumbuhan.
Sehingga apabila hal ini terus berkelanjutan maka akan
mengakibatkan stress berat dan gangguan mental bagi para
korban bencana. Hal yang dibutukan dalam penanganan situasi
seperti ini adalah pemulihan kesehatan mental yang dapat
dilakukan oleh perawat. Pada orang dewasa, pemulihannya bisa
dilakukan dengan sharing dan mendengarkan segala keluhan
keluhan yang dihadapinya, selanjutnya diberikan sebuah solusi
dan diberi penyemangat untuk tetap bangkit. Sedangkan pada
anak anak, cara yang efektif adalah dengan mengembalikan
keceriaan mereka kembali, hal ini mengingat sifat lahiriah anak
anak yang berada pada masa bermain. Perawat dapat mendirikan
sebuah taman bermain, dimana anak anak tersebut akan

14
mendapatkan permainan, cerita lucu, dan lain sebagainnya.
Sehinnga kepercayaan diri mereka akan kembali seperti sedia
kala.

2.7.2 Pemberdayaan masyarakat


Kondisi masyarakat di sekitar daerah yang terkena musibah
pasca bencana biasanya akan menjadi terkatung katung tidak jelas
akibat memburuknya keaadaan pasca bencana., akibat kehilangan
harta benda yang mereka miliki. sehinnga banyak diantara
mereka yang patah arah dalam menentukan hidup selanjutnya.
Hal yang bisa menolong membangkitkan keadaan tersebut adalah
melakukan pemberdayaan masyarakat. Masyarakat perlu
mendapatkan fasilitas dan skill yang dapat menjadi bekal bagi
mereka kelak. Perawat dapat melakukan pelatihan pelatihan
keterampilan yang difasilitasi dan berkolaborasi dengan instansi
ataupun LSM yang bergerak dalam bidang itu. Sehinnga
diharapkan masyarakat di sekitar daerah bencana akan mampu
membangun kehidupannya kedepan lewat kemampuan yang ia
miliki.
Untuk mewujudkan tindakan di atas perlu adanya beberapa
hal yang harus dimiliki oleh seorang perawat, diantaranya:
a. Perawatan harus memilki skill keperawatan yang baik.
Sebagai perawat yang akan memberikan pertolongan dalam
penanaganan bencana, haruslah mumpunyai skill
keperawatan, dengan bekal tersebut perawat akan mampu
memberikan pertolongan medis yang baik dan maksimal.
b. Perawat harus memiliki jiwa dan sikap kepedulian.
Pemulihan daerah bencana membutuhkan kepedulian dari
setiap elemen masyarakat termasuk perawat, kepedulian
tersebut tercemin dari rasa empati dan mau berkontribusi
secara maksimal dalam segala situasi bencana. Sehingga

15
dengan jiwa dan semangat kepedulian tersebut akan mampu
meringankan beban penderitaan korban bencana.
c. Perawatan harus memahami managemen siaga bencana
Kondisi siaga bencana membutuhkan penanganan yang
berbeda, segal hal yang terkait harus didasarkan pada
managemen yang baik, mengingat bencana datang secara tak
terduga banyak hal yang harus dipersiapkan dengan matang,
jangan sampai tindakan yang dilakukan salah dan sia sia.
Dalam melakukan tindakan di daerah bencana, perawat
dituntut untuk mampu memilki kesiapan dalam situasi
apapun jika terjadi bencana alam. Segala hal yang
berhubungan dengan peralatan bantuan dan pertolongan
medis harus bisa dikoordinir dengan baik dalam waktu yang
mendesak. Oleh karena itu, perawat harus mengerti konsep
siaga bencana.

2.7.3 Pemulihan Korban Pasca Bencana


Penanganan korban stres akibat bencana memang tidak
mudah. Pengalaman traumatis karena bencana telah
menggoncangkan dan melemahkan pertahanan individu dalam
menghadapi tantangan dan kesulitan hidup sehari-hari. Apalagi
kondisi trauma, kondisi fisik dan mental, aspek kepribadian
masing-masing korban tidak sama.
Masyarakat yang menjadi korban dari suatu bencana
cenderung memiliki masalah penyesuaian perilaku dan
emosional. Perubahan mendadak sering membawa dampak
psikologis yang cukup berat. Beban yang dihadapi oleh para
korban tersebut dapat mengubah pandangan mereka tentang
kehidupan dan menyebabkan tekanan pada jiwa mereka.
Munculnya gejala-gejala stres, seperti rasa takut, cemas,
duka cita yang mendalam, tidak berdaya, putus asa, kehilangan

16
kontrol, frustrasi sampai depresi semuanya bermuara pada
kemampuan individu dalam memaknai suatu musibah secara
lebih realistis. Gejala-gejala tersebut adalah reaksi wajar dari
pengalaman yang tidak wajar. Tentunya hal ini tidak bisa
dibiarkan begitu saja. Mereka memerlukan cara yang tepat untuk
mengatasi masalah yang dialami
Dalam hal ini, konsep coping merupakan hal yang penting
untuk dibicarakan. Konsep coping menunjuk pada berbagai
upaya, baik mental maupun perilaku, untuk menguasai,
mentoleransi, mengurangi, atau meminimalisasikan suatu situasi
atau kejadian yang penuh tekanan. Dengan kata lain, coping
merupakan suatu proses di mana individu berusaha untuk
menanggani dan menguasai situasi yang menekan akibat dari
masalah yang sedang dihadapinya. Beragam cara dilakukan.
Namun, semua bermuara pada perubahan kognitif maupun
perilaku guna memperoleh rasa aman dalam dirinya.
Ketika seseorang tertimpa suatu musibah, biasanya ia akan
mendekat kepada Tuhan dengan meningkatkan ibadah dan
perbuatan baik lainnya. Hal ini diperlihatkan oleh sebagian besar
rakyat Bantul yang mengaku tawakal dengan memasrahkan
segalanya kepada Tuhan. Ekspresi sikap pasrah itu gampang
dijumpai di lokasi bencana, “Matur nuwun, Gusti, kawula tasih
dipunparingi keselametan...” (Terima kasih, Tuhan, saya masih
diberi keselamatan).
Mereka bersyukur masih diberi keselamatan. Pengalaman
tersebut menjadikan mereka semakin dekat kepada Tuhan.
Idealnya, mereka harus memaknai bencana sebagai sebuah
musibah, bukan petaka atau azab. Bencana gempa ditafsirkan
sebagai peringatan keras Tuhan kepada manusia yang telah lama
berkubang dalam dosa dan dusta. Karena itu, sebagai sebuah
musibah, bencana bukan akhir segala-galanya. Bencana dapat

17
diubah menjadi sesuatu yang memiliki makna, bukan kesia-siaan
apalagi keterkutukan.

Korban bencana yang tingkat spiritualitasnya tinggi akan


menjadikan mereka senantiasa hidup dalam nuansa keimanan
kepada Tuhan. Mereka akan memaknai aktivitasnya dalam
kehidupan ini sebagai ibadah kepada Tuhan. Mereka pun akan
semakin tegas dan konsisten dalam sikap dan langkah hidupnya
serta semakin terikat dengan aturan Sang Pencipta dengan
perasaan ridha dan tenteram. Perasaan itu akan menjadikannya
kuat dalam menghadapi segala persoalan hidup. Mereka dapat
mengambil hikmah atas musibah yang menimpanya, tidak putus
asa, dan menjadikan hambatan-hambatan yang ditemui pasca-
bencana sebagai tantangan untuk memulai kehidupan baru.
Mereka menganggap bahwa bencana bukan akhir dari segalanya.
Bencana bisa diubah menjadi suatu pengalaman positif yang
memiliki makna.
Identitas spiritual dibutuhkan individu dalam
mengkonstruksi makna atas pengalaman hidup. Dengan adanya
kepercayaan pribadi untuk memberikan makna luar biasa kepada
realitas kehidupan, agama akan mampu mengarahkan individu
untuk memberikan penerimaan tulus atas musibah yang terjadi.
Kondisi tersebut memungkinkan individu untuk memaknai
kembali hidupnya dengan membuat perencanaan atas setiap
kemungkinan yang terjadi setelah mengalami musibah untuk
mencapai suatu tujuan tertentu pada masa yang datang.
Robert A. Emmons (2000) mengungkapkan bahwa
spiritualitas bermanfaat dalam upaya untuk memecahkan berbagai
permasalahan dalam kehidupan. Spiritualitas dapat memprioritas-
ulangkan tujuan-tujuan (reprioritization of goals). Terlebih lagi,
pribadi yang spiritual lebih mudah menyesuaikan diri pada saat

18
menangani kejadian-kejadian traumatis. Mereka pun lebih bisa
menemukan makna dalam krisis traumatis dan memperoleh
panduan untuk memutuskan hal-hal tepat apa saja yang harus
dilakukan.
2.7.4 Terapi Psiko-Sosial
Tuhan menciptakan manusia dengan segenap keunikan.
Sejak ia dilahirkan, manusia memiliki potensi yang meliputi sisi
psikologis, sosial, dan spiritual. Menurut Hanna Djumhana
Bastaman (1995), untuk dapat memahami manusia seutuhnya,
baik dalam keadaan sehat maupun sakit, pendekatan yang
digunakan mestinya tidak lagi memandang manusia sebagai
makhluk bio-psiko-sosial (jasmani, psikologis, dan sosial),
melainkan manusia sebagai makhluk bio-psiko-sosio-spiritual
(jasmani, psikologis, sosial, dan spiritual).
Secara eksplisit, Ralph L. Piedmont (2001) memandang
spiritualitas sebagai rangkaian karakteristik motivasional
(motivational trait); kekuatan emosional umum yang mendorong,
mengarahkan, dan memilih beragam tingkah laku individu.
Sementara itu, Susan Folkman, dkk (1999) mendefinisikan
spiritualitas sebagai suatu bagian dalam diri seseorang yang
menghasilkan arti dan tujuan hidup, yang terungkap dalam
pengalaman-pengalaman transendental individu dan hubungannya
dengan ajaran-ajaran ketuhanan (universal order).
Inayat Khan dalam bukunya Dimensi Spiritual Psikologi
menyebutkan bahwa kekuatan psikis yang dimiliki oleh seseorang
dapat dikembangkan melalui olah spiritual yang dilakukan
melalui beberapa tahapan.
Pertama, berlatih melakukan konsentrasi. Dengan
konsentrasi, seseorang dapat memiliki kekuatan dan inspirasi
karena berada dalam kondisi terpusat serta tercerahkan. Melalui

19
konsentrasi pula, seseorang belajar dan berlatih untuk menguasai
dirinya.
Kedua, berlatih mengungkapkan hasil konsentrasi melalui
pikiran. Artinya, setelah seseorang mendapatkan hasil dalam
konsentrasi, maka ia harus berani mengungkapkan hasil
konsentrasi tersebut dalam ungkapan-ungkapan yang sederhana
melalui kekuatan pikiran. Kekuatan pikiran ini nantinya akan
mempengaruhi kekuatan perasaan yang dimiliki. Ketahuilah,
sesungguhnya perasaan adalah ruh pemikiran, sebagaimana
ucapan adalah ruh suatu tindakan. Karena itu, konsentrasi
merupakan hal penting untuk mengembangkan kekuatan psikis
seseorang.
Ketiga, agar dapat mengekspresikan kekuatan psikis,
seseorang harus memiliki kekuatan tubuh (kesehatan fisik).
Artinya, orang yang sehat umumnya memiliki pernafasan dan
sirkulasi darah yang teratur dan lancar, sehingga memberikan
efek bagi kemampuan mengekspresikan dirinya.
Keempat, berlatih menjaga kestabilan dan ketenangan
dalam berpikir. Artinya, seseorang yang terbiasa mengembangkan
kebiasaan-kebiasaan buruk dalam berpikir, seperti khawatir,
cemas, takut, atau ragu tentang sesuatu, akan mengurangi daya
kekuatan dalam mengekspresikan diri. Tentang hal ini, saya
teringat pada kata-kata yang diungkapkan oleh seorang pegiat
pelatihan manajemen diri di sebuah seminar yang pernah saya
ikuti. Kata beliau, “Pikiranmu adalah awal dari perkataanmu.
Perkataanmu adalah awal dari perbuatanmu. Perbuatanmu adalah
awal dari kebiasaanmu. Kebiasaanmu adalah awal dari
karaktermu. Karaktermu adalah takdirmu.”
Kelima, berlatih mengumpulkan kekuatan psikis yang
selanjutnya digunakan untuk bertindak. Artinya, hasrat dan daya
tarik kekuatan psikis yang dimiliki seseorang harus ditunda

20
sebelum betul-betul terkumpul dan berkembang melimpah. Saat
itulah kekuatan psikis mampu dimanfaatkan untuk menolong diri
sendiri maupun orang lain. Kekuatan psikis yang timbul dari
energi spiritual bagaikan mata air yang tercurah, melimpah secara
konstan dan stabil. Karna itu, tinggal pemanfaatannya tergantung
pada kesediaan dan kemauan seseorang untuk mengumpulkan dan
mengembangkannya menjadi energi yang bersifat
menyembuhkan (terapeutik).
Sebuah penelitian bertajuk “Religion and Spirituality in
Coping with Stress” yang dipublikasikan oleh Journal of
Counseling and Values beberapa tahun lalu, menunjukkan bahwa
semakin penting spiritualitas bagi seseorang, maka semakin besar
kemampuannya dalam mengatasi masalah yang dihadapi.
Penelitian ini menyarankan bahwa spiritualitas bisa memiliki
peran yang penting dalam mengatasi stres. Spiritualitas bisa
melibatkan sesuatu di luar sumber-sumber yang nyata atau
mencari terapi untuk mengatasi situasi-situasi yang penuh tekanan
di dalam hidup.
Dalam konteks ini, penting untuk diperhatikan bagaimana
kondisi spiritualitas para korban pasca-bencana. ada hubungan
positif yang sangat signifikan antara spiritualitas dengan
proactive coping pada korban bencana . Semakin tinggi tingkat
spiritualitas, semakin baik pula proactive coping yang dilakukan
oleh korban. Konsep proactive coping diarahkan oleh sikap yang
proaktif. Sikap tersebut merupakan kepercayaan yang relatif terus
menerus ada pada setiap individu. Di mana apabila terjadi
perubahan-perubahan yang berpotensi mengganggu
keseimbangan emosional individu, maka sikap tersebut mampu
memperbaiki diri dan lingkungannya.
Terapi psiko-spiritual ini terdiri dari tiga tahapan, yaitu
tahapan penyadaran diri (self awareness), tahapan pengenalan jati

21
diri dan citra diri (self identification), dan tahapan pengembangan
diri (self development). Pada fase penyadaran diri, para korban
akan melalui proses pensucian diri dari bekasan atau hal-hal yang
menutupi keadaan jiwa melalui cara penyadaran diri,
penginsyafan diri, dan pertaubatan diri. Fase ini akan menguak
hakikat persoalan, peristiwa, dan kejadian yang dialami oleh para
korban. Pun menjelaskan hikmah atau rahasia dari setiap
peristiwa tersebut.
Selanjutnya, pada fase pengenalan diri, para korban akan
dibimbing kepada pengenalan hakikat diri secara praktis dan
holistik dengan menanamkan nilai-nilai ketuhanan dan moral.
Melalui fase ini, individu diajak untuk menyadari potensi-potensi
yang ada di dalam dirinya. Setelah diidentifikasi, pelbagai potensi
itu perlu segera dimunculkan. Kemudian mengelola potensi diri
yang menonjol tersebut agar terus berkembang dan dicoba untuk
diaktualisasikan. Adalah sebuah riwayat yang menyebutkan,
“Barangsiapa mengenal dirinya, maka dia pun akan mengenal
Tuhannya.”
Terakhir, pada fase pengembangan diri, para korban akan
didampingi dan difasilitasi untuk tidak hanya sehat fisikal, namun
juga sehat mental dan spiritual. Kesehatan mental terwujud dalam
bentuk keharmonisan yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi
jiwa, serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi masalah
yang terjadi, dan merasakan secara positif kebahagiaan dan
kemampuan dirinya. Adapun kesehatan spiritual mencakup
penemuan makna dan tujuan dalam hidup seseorang,
mengandalkan Tuhan (The Higher Power), merasakan
kedamaian, dan merasakan hubungan dengan alam semesta.
Harapannya, terapi psiko-spiritual akan memberikan
penerimaan yang tulus atas musibah yang menimpa para korban
gempa. Selain itu, terapi ini dapat pula mengurangi kesedihan dan

22
tekanan psikologis, serta membantu para korban dalam
menemukan makna yang positif

23
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Bencana alam merupakan sebuah musibah yang tidak dapat


diprediksi kapan datangnya. Apabila bencana tersebut telah datang maka akan
menimbulkan kerugian dan kerusakan. Tentunya hal ini tidak bisa dibiarkan
begitu saja. Merekamembutuhkan upaya pertolongan melalui tindakan
tanggap bencana yang dapat dilakukan oleh perawat.

3.2 Saran
Pemulihan daerah bencana membutuhkan kepedulian dari setiap
elemen masyarakat termasuk perawat,Sebagai perawat yang akan memberikan
pertolongan dalam penanaganan bencana, haruslah mumpunyai skill
keperawatan, dengan bekal tersebut perawat akan mampu memberikan
pertolongan medis yang baik dan maksimal.

24
DAFTAR PUSTAKA

Lamuslah, Siti, dkk. (Desember, 2018).Psikososial Sebagai Bentuk Trauma


Healing Untuk Anak-Anak Terdampak Gempa Di Dusun Tanjung, KLU,
NTB. Universitas Muhamadyah Mataram. Vol 1 Nomor1

Erwina, Ira. 2015. Pengaruh Cognitive Behavior Therapy Terhadap Post


Traumatic Stress Disorder Pada Penduduk Pasca Gempa Dikelurahan Air
Tawar Barat Kecamatan Padang Utara Propinsi Sumatera Barat. FIK
program magister keperawatan. FKUI

Nugroho, Dwi Utari, dkk. 2014. Sekolah Petra (Penanganan Trauma ) Bagi
Anak Korban Bencana Alam. Jurnal Ilmiah Mahasiswa. Vol. 2 No.2

Hikmawati, Enny. 2014. Penanganan Dampak Sosial PsikologisKorban


Bencana Merapi (Sosial Impact of Psychological Treatment Merapi
Disaster Victims). Vol 17 No. 02

Indah, Kartika Lenni, dkk. (September, 2012). Evaluasi Sistem Mitigasi


Penanganan Bencana GempaBumi di Kecamatan Bantul Propinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta.Universitas Gajah Mada. No XVIII/3

Adeney, Farsijana. (2015). Perempuan dan Bencana. Yogyakara : Selendang


Ungu Press

Kharismawan, Kuriake. Panduan Program Psikososial Paska Bencana. Diakses


tanggal 24 Oktober 2019

Lubis, Misran. (2015). Perlindungan Anak Dalam Situasi Bencana. Diakses


tanggal 24 Oktober 2019

Martam, Irma S. (2015). Pemulihan Psikososial Berbasis Komunitas. Diakses


tanggal 24 Oktober 2019

25

Anda mungkin juga menyukai