Jaringan Pelayanan
Rute
Kualitas dan memadainya suatu penyelenggaraan pelayanan sistem angkutan kota adalah
dengan tersedianya jaringan rute pelayanan yang ideal untuk suatu wilayah tertentu. Di banyak kota
sistem jaringan angkutan kota menggunakan beberapa tipe secara kombinasi yang sesuai dengan
karakteristik kota yang bersangkutan. Tipe utama jaringan angkutan umum (Grey dan Hoel, 1979:
126) adalah:
Jaringan angkutan kota yang berpola grid bercirikan jalur utama yang relatif lurus, rute-
rute paralel bertemu dengan interval yang tetartur dan bersilangan dengan kelompok rute-rute lainnya
yang mempunyai karakteristik serupa. Pola demikian pada umumnya hanya dapat terjadi pada
wilayah dengan geografi yang datar atau topografi yang rintangannya sedikit. Berikut gambar ilustrasi
pola jaringan grid
Keuntungan dari pola dengan sistem demikian, untuk wilayah dengan aktifitas kegiatan
yang tersebar di berbagai tempat, pengendara
dapat bergerak dari suatu tempat ke tempat
lainnya tanpa harus melalui titik pusat
(melewati CBD).
Jaringan rute angkutan umum ditentukan oleh pola tata guna tanah. Adanya perubahan
pada perkembangan kota maka diperlukan penyesuaian terhadap rute untuk menampung demand
(permintaan) agar terjangkau oleh pelayanan umum. Untuk angkutan umum, rute ditentukan
berdasarkan moda transportasi. Seperti pemilihan moda, pemilihan rute tergantung pada alternatif
terpendek, tercepat, dan termurah, dan juga diasumsikan bahwa pemakai jalan mempunyai informasi
Dalam sistem jaringan rute, Setijowarno dan Frazila (2001: 212) menyatakan bahwa
aspek yang berkaitan dengan jarak antar rute merupakan aspek yang cukup penting untuk diperhatikan
karena jarak antar rute berpengaruh langsung terhadap penumpang dan operator. Terdapat empat
faktor yang perlu diperhatikan yaitu lebar koridor daerah pelayanan, frekuensi pelayanan, jarak
tempuh penumpang ke lintasan rute, dan waktu tunggu rata-rata di perhentian.
Lebih lanjut oleh Direktorat BSLLAK Dirjen Perhubungan Darat (1998: 29), disarankan
agar trayek yang melalui pusat kota tidak berhenti dan mangkal di pusat kota tetapi jalan terus, karena
hal ini akan berdampak kepada kemacetan lalu lintas disekitar disekitar terminal pusat kota.
Daerah pelayanan rute angkutan umum adalah daerah dimana seluruh warga dapat
menggunakan atau memanfaatkan rute tersebut untuk kebutuhan perjalanannya. Daerah tersebut dapat
dikatakan sebagai daerah dimana orang masih cukup nyaman untuk berjalan ke rute angkutan umum
untuk selanjutnya menggunakan jasa pelayanan angkutan tersebut untuk maksud perjalanannya.
Besarnya daerah pelayanan suatu rute sangat tergantung pada seberapa jauh berjalan kaki itu masih
nyaman. Jika batasan jarak berjalan kaki yang masih nyaman untuk penumpang adalah sekitar 400
meter atau 5 menit berjalan kaki, maka daerah pelayanan adalah koridor kiri kanan rute dengan lebar
sekitar 800 meter.
Route directness berkaitan dengan daerah pelayanan rute angkutan umum. Route direcness
adalah nilai perbandingan antara jarak yang ditempuh oleh rute dari titik asal ke titik tujuan terhadap
jarak terdekat kedua titik tersebut jika berupa garis lurus. Nilai route direcness suatu rute angkutan
umum yang besar menunjukkan berbelok-beloknya rute tersebut dan kondisi ini menunjukkan
semakin jauh dan lama perjalanan yang harus ditempuh sesorang.
Nilai route directness selalu diusahakan sekecil mungkin agar penumpang nagkutan umum
dapat melakukan perjalanan dari asal ke tujuannya seefisien mungkin. Biasanya nilai route directness
4.4. Aksesibilitas
Pernyataan mudah atau susah merupakan hal yang sangat subyektif dan kualitatif. Mudah
bagi sesorang belum tentu mudah bagi orang lain, begitu juga dengan pernyataan susah. Oleh karena
itu diperlukan kinerja kuantitatif (terukur) yang dapat menyatakan aksesibilitas atau kemudahan. Ada
yang menyatakan bahwa aksesibilitas dinyatakan dengan jarak, jika suatu tempat berdekatan dengan
tempat lainnya, dikatakan aksesibilitas antara kedua tempat tersebut tinggi. Sebaliknya, jika kedua
tempat sangat berjauhan, aksesibilitas antara keduanya rendah. Jadi, tataguna lahan yang berbeda pasti
memiliki aksesibilitas yang berbeda pula karena aktivitas tataguna lahan tersebut tersebar dalam ruang
secara tidak merata (heterogen). Akan tetapi peruntukan lahan tertentu seperti bandara, lokasinya
tidak bias sembarangan dan biasanya II-2 terletak jauh di luar kota (karena ada batasan dari segi
keamanan, pengembangan wilayah, dan lain-lain).
Dikatakan aksesibilitas ke bandara tersebut pasti akan selalu rendah karena letaknya jauh di
luar kota. Namun meskipun letaknya jauh, aksesibilitas ke bandara dapat di tingkatkan dengan
menyediakan sistem transportasi yang dapat dilalui dengan kecepatan tinggi sehingga waktu
tempuhnya menjadi pendek. Oleh sebab itu penggunaan jarak sebagai ukuran aksesibilitas mulai
diragukan orang dan mulai dirasakan bahwa penggunaan waktu tempuh merupakan kinerja yang lebih
baik dibandingkan dengan jarak dalam menyatakan aksesibilitas.
b. Waktu Berjalan Kaki, dengan formulasi t1 = S/V , dimana S = jarak dan V = kecepatan
berkalan kaki, yang diasumsikan sebesar 71,76 m/menit (Nursyamsu, 1998).
c. Waktu tunggu adalah waktu yang diperlukan oleh penumpang angkutan umum untuk
menunggu angkutan umum. Untuk memudahkan menentukan waktu tunggu penumpang (2 t ),
‘13 Sistem Angkutan Umum
5 Ir. Zainal Arifin, MT
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
digunakan rumus yang disarankan oleh Departemen Perhubungan (1999), seperti berikut : t2=
½ headway Headway (waktu antara) adalah selang waktu kedatangan antara kendaraan yang
satu dengan kendaraan berikutnya. Berdasarkan Pedoman Teknis Penyelenggaraan Angkutan
Penumpang Umum di Wilayah Perkotaan Dalam Trayek Tetap dan Teratur yang ditetapkan
oleh Departemen Perhubungan Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, standar waktu tunggu
di pemberhentian rata-rata 5-10 menit dan maksimum 10-20 menit.
d. Waktu Perjalanan di Atas Kendaraan Waktu perjalanan di atas kendaraan adalah waktu pada
saat berada di dalam kendaraan sampai mencapai tempat tujuan. Waktu di atas kendaraan (3 t)
didapat dari perbandingan jarak tempuh (S) dengan kecepatan perjalanan (Vp) dan
dirumuskan sebagai berikut : t3 = S/Vp Dari analisis data, dilanjutkan dengan uji statistik
menggunakan Z-Score (Hasan, 1998), dengan formulasi S X X Z i i dimana S = standar
deviasi, X = total waktu perjalanan dari suatu zona ke pusat kota dengan angkutan umum, X =
nilai rata-rata total waktu perjalanan ke pusat kota dengan angkutan umum, i = 1,2,3,........n
Dapat disimpulkan bahwa suatu tempat yang berjarak jauh belum tentu dapat dikatakan
mempunyai aksesibilitas rendah atau suatu tempat yang berjarak dekat mempunyai aksesibilitas tinggi
karena terdapat factor lain dalam menentukan aksesibilitas yaitu waktu tempuh. Beberapa jenis
tataguna lahan mungkin tersebar secara meluas (perumahan) dan jenis lainnya mungkin berkelompok
(pusat pertokoan). Beberapa jenis tataguna lahan mungkin ada di satu atau dua lokasi saja dalam suatu
kota seperti rumah sakit dan bandara.
Dari sisi jaringan transportasi, kualitas pelayanan transportasi pasti juga berbeda – beda,
sistem jaringan transportasi di suatu daerah mungkin lebih baik dibandingkan dengan daerah lainnya
dari segi kuantitas (kapasitas) maupun kualitas (frekuensi pelayanan). Contohnya, pelayanan angkutan
umum biasanya lebih baik di pusat pertokoan dan beberapa jalan utama transportasi dibandingkan
dengan di daerah pinggiran kota. II-3 Skema sederhana memperlihatkan kaitan antara berbagai hal
yang diterangkan mengenai aksesibilitas dapat dilihat pada tabel 2.1 (Black, 1981).
1.1. PENDAHULUAN.......................................................................................................................1
a. Siklus Hidrologi............................................................................................................4
b. Manfaat........................................................................................................................5