Anda di halaman 1dari 10

Modul 4.

Jaringan Pelayanan
Rute

4.1. Tipe Jaringan Rute Pelayanan

Kualitas dan memadainya suatu penyelenggaraan pelayanan sistem angkutan kota adalah
dengan tersedianya jaringan rute pelayanan yang ideal untuk suatu wilayah tertentu. Di banyak kota
sistem jaringan angkutan kota menggunakan beberapa tipe secara kombinasi yang sesuai dengan
karakteristik kota yang bersangkutan. Tipe utama jaringan angkutan umum (Grey dan Hoel, 1979:
126) adalah:

4.1.1. Pola Radial

Di kota-kota dengan aktifitas


utamanya terkonsentrasi di kawasan pusat kota
akan membentul pola jaringan jalan tipe radial,
yaitu dari kawasan CBD (Central Bussiness
District) ke wilayah pinggiran kota. Pola jalan
seperti ini akan berpengaruh pada rute angkutan
kota dalam pelayanannya, yaitu melayani
perjalanan menuju pusat kota dimana
terkonsentrasinya berbagai macam aktifitas
utama seperti tempat kerja, fasilitas kesehatan, pendidikan, perbelanjaan, dan hiburan. Pola jaringan
angkutan kota yang bersifat radial adalah
seperti ditunjukkan pada gambar:

Perkembangan dan perubahan guna lahan


di kota dengan pola jaringan angkutan
kota yang orientasinya bersifat radial akan
mengalami kesulitan dalam menyediakan
pelayanan yang layak dan memadai dalam
mewadahi perkembangan aktifitas
penduduk, sehingga diperlukan suatu
pendekatan baru untuk mengatasi
permasalahan tersebut.

‘13 Rekayasa Lingkungan


1 Ir. Zainal Arifin, MT
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
4.1.2. Pola Grid

Jaringan angkutan kota yang berpola grid bercirikan jalur utama yang relatif lurus, rute-
rute paralel bertemu dengan interval yang tetartur dan bersilangan dengan kelompok rute-rute lainnya
yang mempunyai karakteristik serupa. Pola demikian pada umumnya hanya dapat terjadi pada
wilayah dengan geografi yang datar atau topografi yang rintangannya sedikit. Berikut gambar ilustrasi
pola jaringan grid

Keuntungan dari pola dengan sistem demikian, untuk wilayah dengan aktifitas kegiatan
yang tersebar di berbagai tempat, pengendara
dapat bergerak dari suatu tempat ke tempat
lainnya tanpa harus melalui titik pusat
(melewati CBD).

Kerugian dari sistem ini yaitu jika akan


bergerak dari suatu tempat ke berbagai tempat
lainnya kerap diperlukan perpindahan
angkutan.

Pelayanan yang baik pada pola


grid dipengaruhi oleh headway yang tinggi.
Dalam suatu wilayah dengan populasi tinggi,
pelayanan angkutan kota yang jarang dengan
headway rendah tidak memungkinkan
penggunaan pola grid.
‘13 Sistem Angkutan Umum Pusat Bahan Ajar dan eLearning
2 Ir. Zainal Arifin, MT http://www.mercubuana.ac.id
4.1.3. Pola Radial Criss-Cross

Satu cara untuk mendapatkan


karakteristik tertentu dari sistem grid dan tetap
mempertahankan keuntungan dari sistem radial
adalah dengan menggunakan garis criss-cross
dan menyediakan point tambahan untuk
mempertemukan garis garis tersebut, seperti
pusat perbelanjaan atau pusat pendidikan

Gambar diatas menggambarkan


empat jalur yang beroperasi langsung dari
CBD ke pusat perbelanjaan dikawasan
pinggiran kota. Pada pola grid murni tidak ada
pelayanan yang menghubungkan langsung dari
CBD ke kawasan pinggiran kota. Dengan criss-
cross, jalur tersebut menyediakan tipe grid
untuk memberi kesempatan melakukan transfer
ke wilayah diantara keduanya

4.1.4. Pola Jalur Utama dengan Feeder

Pola jalur utama


dengan feeder didasarkan pada
jaringan jalan arteri yang melayani
perjalanan utama yang sifatnya
koridor. Dikarenakan faktor
topografi, hambatan geografi, dan
pola jaringan jalan, sistem dengan
pola ini lebih disukai. Kerugian pola
ini adalah penumpang akan
memerlukan perpindahan moda,
keuntungannya adalah tingkat
pelayanan yang lebih tinggi pada
jalan-jalan utama. Berikut ilustrasi
pola jalur utama dengan feeder:

Jaringan rute angkutan umum ditentukan oleh pola tata guna tanah. Adanya perubahan
pada perkembangan kota maka diperlukan penyesuaian terhadap rute untuk menampung demand
(permintaan) agar terjangkau oleh pelayanan umum. Untuk angkutan umum, rute ditentukan
berdasarkan moda transportasi. Seperti pemilihan moda, pemilihan rute tergantung pada alternatif
terpendek, tercepat, dan termurah, dan juga diasumsikan bahwa pemakai jalan mempunyai informasi

‘13 Sistem Angkutan Umum


3 Ir. Zainal Arifin, MT
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
yang cukup (misalnya tentang kemacetan jalan) sehingga mereka dapat menentukan rute yang terbaik
(Tamin, 2000: 45).

Dalam sistem jaringan rute, Setijowarno dan Frazila (2001: 212) menyatakan bahwa
aspek yang berkaitan dengan jarak antar rute merupakan aspek yang cukup penting untuk diperhatikan
karena jarak antar rute berpengaruh langsung terhadap penumpang dan operator. Terdapat empat
faktor yang perlu diperhatikan yaitu lebar koridor daerah pelayanan, frekuensi pelayanan, jarak
tempuh penumpang ke lintasan rute, dan waktu tunggu rata-rata di perhentian.

Pengoperasian angkutan kota sedapat mungkin menghindari kemacetan. Penyusunan


rute harus lebih mempertimbangkan kemampuan dan kapasitas tiap ruas jalan karena volume lalu
lintas dalam kota umumnya padat. Beberapa literatur menurut Tamin (1993: 7) memberikan
gambaran, bahwa angkutan umum jenis fixed-route dengan pola pergerakan yang memusat (radial)
akan berakumulasi di kawasan pusat kota dan jika tidak dibarengi dengan sistem jaringan yang baik,
maka akan merupakan penyebab kemacetan yang sangat kronis. Studi penelitian lain mengungkapkan
bahwa pengurangan jumlah kendaraan di kawasan CBD menunjukkan pengurangan kemacetan lalu
lintas di kawasan bersangkutan.

Lebih lanjut oleh Direktorat BSLLAK Dirjen Perhubungan Darat (1998: 29), disarankan
agar trayek yang melalui pusat kota tidak berhenti dan mangkal di pusat kota tetapi jalan terus, karena
hal ini akan berdampak kepada kemacetan lalu lintas disekitar disekitar terminal pusat kota.

4.2. Daerah Pelayanan Rute Angkutan Umum

Daerah pelayanan rute angkutan umum adalah daerah dimana seluruh warga dapat
menggunakan atau memanfaatkan rute tersebut untuk kebutuhan perjalanannya. Daerah tersebut dapat
dikatakan sebagai daerah dimana orang masih cukup nyaman untuk berjalan ke rute angkutan umum
untuk selanjutnya menggunakan jasa pelayanan angkutan tersebut untuk maksud perjalanannya.
Besarnya daerah pelayanan suatu rute sangat tergantung pada seberapa jauh berjalan kaki itu masih
nyaman. Jika batasan jarak berjalan kaki yang masih nyaman untuk penumpang adalah sekitar 400
meter atau 5 menit berjalan kaki, maka daerah pelayanan adalah koridor kiri kanan rute dengan lebar
sekitar 800 meter.

4.3. Route Directness

Route directness berkaitan dengan daerah pelayanan rute angkutan umum. Route direcness
adalah nilai perbandingan antara jarak yang ditempuh oleh rute dari titik asal ke titik tujuan terhadap
jarak terdekat kedua titik tersebut jika berupa garis lurus. Nilai route direcness suatu rute angkutan
umum yang besar menunjukkan berbelok-beloknya rute tersebut dan kondisi ini menunjukkan
semakin jauh dan lama perjalanan yang harus ditempuh sesorang.

Nilai route directness selalu diusahakan sekecil mungkin agar penumpang nagkutan umum
dapat melakukan perjalanan dari asal ke tujuannya seefisien mungkin. Biasanya nilai route directness

‘13 Sistem Angkutan Umum


4 Ir. Zainal Arifin, MT
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
yang kecil sangat sulit dicapai yang disebabkan karena adanya keterbatasan-keterbatasan seperti
kondisi struktur jaringan jalan dan kondisi geografis yang tidak menguntungkan.

4.4. Aksesibilitas

4.4.1. Pengertian Aksesibilitas Aksesibilitas

Pengertian Aksesibilitas Aksesibilitas adalah konsep yang menggabungkan sistem pengaturan


tataguna lahan secara geografis dengan sistem jaringan transportasi yang menghubungkannya.
Aksesibilitas adalah suatu ukuran kenyamanan atau kemudahan mengenai cara lokasi tataguna lahan
berinteraksi satu sama lain dan mudah atau susahnya lokasi tersebut dicapai melalui sistem jaringan
transportasi. (Black, 1981). Menurut Tamin (2000 ; 39), aksesibilitas merupakan alat untuk mengukur
potensial dalam melakukan perjalanan dengan menggabungkan sebaran geografis tata guna lahan
dengan kualitas sistem jaringan transportasi yang menghubungkannya. Konsep ini juga dapat
digunakan untuk mengidentifikasi suatu daerah di dalam suatu wilayah perkotaan atau sekelompok
manusia yang mempunyai masalah aksesibilitas atau mobilitas terhadap aktivitas tertentu.

Pernyataan mudah atau susah merupakan hal yang sangat subyektif dan kualitatif. Mudah
bagi sesorang belum tentu mudah bagi orang lain, begitu juga dengan pernyataan susah. Oleh karena
itu diperlukan kinerja kuantitatif (terukur) yang dapat menyatakan aksesibilitas atau kemudahan. Ada
yang menyatakan bahwa aksesibilitas dinyatakan dengan jarak, jika suatu tempat berdekatan dengan
tempat lainnya, dikatakan aksesibilitas antara kedua tempat tersebut tinggi. Sebaliknya, jika kedua
tempat sangat berjauhan, aksesibilitas antara keduanya rendah. Jadi, tataguna lahan yang berbeda pasti
memiliki aksesibilitas yang berbeda pula karena aktivitas tataguna lahan tersebut tersebar dalam ruang
secara tidak merata (heterogen). Akan tetapi peruntukan lahan tertentu seperti bandara, lokasinya
tidak bias sembarangan dan biasanya II-2 terletak jauh di luar kota (karena ada batasan dari segi
keamanan, pengembangan wilayah, dan lain-lain).

Dikatakan aksesibilitas ke bandara tersebut pasti akan selalu rendah karena letaknya jauh di
luar kota. Namun meskipun letaknya jauh, aksesibilitas ke bandara dapat di tingkatkan dengan
menyediakan sistem transportasi yang dapat dilalui dengan kecepatan tinggi sehingga waktu
tempuhnya menjadi pendek. Oleh sebab itu penggunaan jarak sebagai ukuran aksesibilitas mulai
diragukan orang dan mulai dirasakan bahwa penggunaan waktu tempuh merupakan kinerja yang lebih
baik dibandingkan dengan jarak dalam menyatakan aksesibilitas.

Untuk mendefinsikan aksesibilitas meliputi indikator :

a. Waktu perjalanan penumpang angkutan umum, dengan formulasi :T = t1 + t2 + t3, dimana, T


= total waktu perjalanan sampai di tujuan, t1= waktu berjalan kaki ke rute terdekat angkutan
umum, t2= waktu menunggu kendaraan angkutan umum, t3= waktu perjalanan di atas
kendaraan.

b. Waktu Berjalan Kaki, dengan formulasi t1 = S/V , dimana S = jarak dan V = kecepatan
berkalan kaki, yang diasumsikan sebesar 71,76 m/menit (Nursyamsu, 1998).

c. Waktu tunggu adalah waktu yang diperlukan oleh penumpang angkutan umum untuk
menunggu angkutan umum. Untuk memudahkan menentukan waktu tunggu penumpang (2 t ),
‘13 Sistem Angkutan Umum
5 Ir. Zainal Arifin, MT
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
digunakan rumus yang disarankan oleh Departemen Perhubungan (1999), seperti berikut : t2=
½ headway Headway (waktu antara) adalah selang waktu kedatangan antara kendaraan yang
satu dengan kendaraan berikutnya. Berdasarkan Pedoman Teknis Penyelenggaraan Angkutan
Penumpang Umum di Wilayah Perkotaan Dalam Trayek Tetap dan Teratur yang ditetapkan
oleh Departemen Perhubungan Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, standar waktu tunggu
di pemberhentian rata-rata 5-10 menit dan maksimum 10-20 menit.

d. Waktu Perjalanan di Atas Kendaraan Waktu perjalanan di atas kendaraan adalah waktu pada
saat berada di dalam kendaraan sampai mencapai tempat tujuan. Waktu di atas kendaraan (3 t)
didapat dari perbandingan jarak tempuh (S) dengan kecepatan perjalanan (Vp) dan
dirumuskan sebagai berikut : t3 = S/Vp Dari analisis data, dilanjutkan dengan uji statistik
menggunakan Z-Score (Hasan, 1998), dengan formulasi S X X Z i i   dimana S = standar
deviasi, X = total waktu perjalanan dari suatu zona ke pusat kota dengan angkutan umum, X =
nilai rata-rata total waktu perjalanan ke pusat kota dengan angkutan umum, i = 1,2,3,........n

Dapat disimpulkan bahwa suatu tempat yang berjarak jauh belum tentu dapat dikatakan
mempunyai aksesibilitas rendah atau suatu tempat yang berjarak dekat mempunyai aksesibilitas tinggi
karena terdapat factor lain dalam menentukan aksesibilitas yaitu waktu tempuh. Beberapa jenis
tataguna lahan mungkin tersebar secara meluas (perumahan) dan jenis lainnya mungkin berkelompok
(pusat pertokoan). Beberapa jenis tataguna lahan mungkin ada di satu atau dua lokasi saja dalam suatu
kota seperti rumah sakit dan bandara.

Dari sisi jaringan transportasi, kualitas pelayanan transportasi pasti juga berbeda – beda,
sistem jaringan transportasi di suatu daerah mungkin lebih baik dibandingkan dengan daerah lainnya
dari segi kuantitas (kapasitas) maupun kualitas (frekuensi pelayanan). Contohnya, pelayanan angkutan
umum biasanya lebih baik di pusat pertokoan dan beberapa jalan utama transportasi dibandingkan
dengan di daerah pinggiran kota. II-3 Skema sederhana memperlihatkan kaitan antara berbagai hal
yang diterangkan mengenai aksesibilitas dapat dilihat pada tabel 2.1 (Black, 1981).

‘13 Sistem Angkutan Umum


6 Ir. Zainal Arifin, MT
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Daftar Pustaka

1. Anonim, 1999. Penyelenggaraan Angkutan Orang di Jalan Dengan Kendaraan Umum


(Keputusan Menteri
2. Perhubungan No. 84/1999), Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, Jakarta.
3. Biro Pusat Statistik, 2008, Kecamatan Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kota Denpasar.
4. Black, J. and Conroy, M,1977. Accessibility Measures and the Social Evaluation of Urban
Structure, Environment and Planning A, 9, pp. 1013-1031.
5. Black, J.A ,1987. Dynamics of Accessibility to Employment and Travel Behaviour: A Case
Study of the
6. Journey to Work in Sydney, 1961-2011. Proceedings of International Symposium on
Transport,
7. Communication and Urban Form, Part 2, pp.129. Monash University.
8. Dinas Perhubungan Kota Denpasar,2009. Data Trayek Angkutan Kota di Kota Denpasar.
Denpasar. Bali
9. Hansen, W.G., 1959.How Accessibility Shapes Land-use. Journal of the American Institute of
Planners, 25 (2),
10. pp. 73-6.
11. Hasan, M.I. 1998, Pokok-pokok Materi Statistik 1 (Statistik Deskriptif), Edisi Kedua,
Penerbit Bumi Aksara.
12. Isfandiar, Wahyu dan Dewanti, 2001, Tinjauan Aksesibilitas Penumpang Angkutan Umum
Menuju dan
13. Meninggalkan Pusat Kota (Studi Kasus Kota Yogyakarta), Simposium Transportasi ke-4,
Denpasar.
14. Newman, P. and Kenworthy, J,1999. Sustainability and Cities: Overcoming Automobile
Dependence. Island
15. Press. Washington, D.C.
16. Nursyamsu, H., 1998. Pengaruh Prasarana Berjalan Kaki Terhadap Karakteristik Berjalan
Kaki, Studi Kasus
17. Jalan Malioboro, TA, Jurusan Teknik Sipil FT UGM, Yogyakarta.
18. OECD,1996. Towards Sustainable Transportation. Conference Proceedings, 24-27 March.
Vancouver. British
19. Columbia.
20. Tamin, O.Z., 2000. Perencanaan dan Pemodelan Transportasi, Penerbit ITB, Bandung.
21. B. G. Hutchinson (1974) Principles of Urban Trandport System Planning. Washington D. C:
Scripta Book Company.
22. Black, J.A., (1981) Urban Transport Planning: Theory and Practise. London: Cromm Helm.
23. Boris S. Pushkarev (1977) Public Transportation and Land Use Policy. Bloomington: Indiana
University Press.
24. Bruton, M.J., (1985) Introduction to Transport Planning. Third Edition. London: Anchor
Brendon Ltd.
25. Chapin, F. Stuart Jr., and (1979) Urban Land Use Planning, Third Edition. Chicago:
University of Illinois Press.
26. Effendi dan Manning (1989) “Prinsip-prinsip Analisisi Data”. Dalam Masri Singarimbun dan
Sofian Effendi. Metode Penelitian Survai. Edisis Revisi. Jakarta: LP3ES, hal. 263-298.
‘13 Sistem Angkutan Umum
7 Ir. Zainal Arifin, MT
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
27. Hadi Sabari Yunus (2000) Struktur Tata Ruang Kota. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
28. Idwan Santoso (1996). Perencanaan Prasarana Angkutan Umum. Pusat Studi Transportasi &
Komunikasi, Institut Teknologi Bandung. Bandung.
29. Levinson, Hebert S. (1982) Urban Transportasion. New York.
30. Morlok, Edward K. (1978) Pengantar Teknik dan Perencanaan Transportasi. Alih Bahasa
Johan Kelanaputra Hainim. Editor Yani Sianipar. Jakarta: Penerbit Erlangga.
31. Nazir, Mohamad (1988) Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.
32. Nobert Oppenheim (1975) Urban Travel Demand Modeling. John Wiley & Sons, Inc.
33. Peter R. Stopher, Arnim H. Meyburg (1975) Urban Transportation Modeling and Planning.
Forth edition. D. C. Health and Company.
34. Perencanaan Transportasi (1996). Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat, Institut
Teknologi Bandung. Bandung
35. Perencanaan Sistem Angkutan Umum (1997). Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat,
Institut Teknologi Bandung, Bandung.
36. Setjowarno, D. dan Frazila, R.B (2001) Pengantar Sistem Transportasi. Edisi pertama.
Semarang: Penerbit Universitas Katolik Soegijapranata.
37. Tesis Susanto Adi Wibowo, Kajian Kinerja dan Pengembangan Rute Angkutan Umum
Penumpang Dalam Kota di Kota Salatiga (Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro
Semarang Tahun 2003)
38. Tamin, Ofyar Z. (2000) Perencanaan dan Permodelan Transportasi. Edisi ke-2. Bandung:
Penerbit ITB.
39. Warpani, Suwarjoko (1990) Merencanakan Sistem Perangkutan. Bandung: Penerbit ITB.
40. Wells, GR (1975) Comprehensive Transport Planning. London: Charles Griffin & Comp. Ltd
41. Wright, PH (1989). Transportation Engineering Planning and Design. New York: John Wiley
& Sons, Inc

‘13 Sistem Angkutan Umum


8 Ir. Zainal Arifin, MT
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Daftar Isi

1.1. PENDAHULUAN.......................................................................................................................1

1.2. HUBUNGAN TIMBAL BALIK ANTARA MANUSIA DAN LINGKUNGANNYA,................1

1.2.1. Hubungan timbal balik antara manusia dan Atmosfir (udara)............................................1

1.2.2. Hubungan timbal batik antar manusia dan hidrosfir (air)..................................................4

a. Siklus Hidrologi............................................................................................................4

b. Manfaat........................................................................................................................5

c. Perubahan Kualitas Fisik Perairan..............................................................................6

1.3. KESEHATAN MASYARAKAT DAN KESEHATAN LINGKUNGAN.....................................7

1.4. REKAYASA LINGKUNGAN.....................................................................................................8

1.4.1. Usaha Rekayasa Pencemaran Atmosfir (Udara)................................................................8

1.4.2. Usaha Rekayasa pencemaran Hidrosfir (Air)....................................................................8

1.4.3. Usaha Rekayasa Pencemaran Litosfir (tanah)...................................................................9

Daftar Pustaka .....................................................................................................................................10

‘13 Sistem Angkutan Umum


9 Ir. Zainal Arifin, MT
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Daftar Gambar

Gambar 1.1. Bagan Utama Atmosfer Bumi.........................................................................................3

Gambar 1.2. Siklus Hidrologi..............................................................................................................4

‘13 Sistem Angkutan Umum


10 Ir. Zainal Arifin, MT
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id

Anda mungkin juga menyukai