Anda di halaman 1dari 20

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Pengertian Aksesibilitas


Aksesibilitas adalah konsep yang menggabungkan sistem pengaturan tataguna
lahan secara geografis dengan sistem jaringan transportasi yang menghubungkannya.
Aksesibilitas adalah suatu ukuran kenyamanan atau kemudahan mengenai cara lokasi
tataguna lahan berinteraksi satu sama lain dan mudah atau susahnya lokasi tersebut
dicapai melalui sistem jaringan transportasi. (Black, 1981).
Pernyataan mudah atau susah merupakan hal yang sangat subyektif dan
kualitatif. Mudah bagi sesorang belum tentu mudah bagi orang lain, begitu juga
dengan pernyataan susah. Oleh karena itu diperlukan kinerja kuantitatif (terukur) yang
dapat menyatakan aksesibilitas atau kemudahan.
Ada yang menyatakan bahwa aksesibilitas dinyatakan dengan jarak, jika suatu
tempat berdekatan dengan tempat lainnya, dikatakan aksesibilitas antara kedua
tempat tersebut tinggi. Sebaliknya, jika kedua tempat sangat berjauhan, aksesibilitas
antara keduanya rendah. Jadi, tataguna lahan yang berbeda pasti memiliki
aksesibilitas yang berbeda pula karena aktivitas tataguna lahan tersebut tersebar
dalam ruang secara tidak merata (heterogen). Akan tetapi peruntukan lahan tertentu
seperti bandara, lokasinya tidak bias sembarangan dan biasanya terletak jauh di luar
kota (karena ada batasan dari segi keamanan, pengembangan wilayah, dan lain-lain).
Dikatakan aksesibilitas ke bandara tersebut pasti akan selalu rendah karena letaknya
jauh di luar kota. Namun meskipun letaknya jauh, aksesibilitas ke bandara dapat di
tingkatkan dengan menyediakan sistem transportasi yang dapat dilalui dengan
kecepatan tinggi sehingga waktu tempuhnya menjadi pendek. Oleh sebab itu
penggunaan jarak sebagai ukuran aksesibilitas mulai diragukan orang dan mulai
dirasakan bahwa penggunaan waktu tempuh merupakan kinerja yang lebih baik
dibandingkan dengan jarak dalam menyatakan aksesibilitas. Dapat disimpulkan bahwa
suatu tempat yang berjarak jauh belum tentu dapat dikatakan mempunyai aksesibilitas
rendah atau suatu tempat yang berjarak dekat mempunyai aksesibilitas tinggi karena
terdapat factor lain dalam menentukan aksesibilitas yaitu waktu tempuh.
Beberapa jenis tataguna lahan mungkin tersebar secara meluas (perumahan)
dan jenis lainnya mungkin berkelompok (pusat pertokoan). Beberapa jenis tataguna
lahan mungkin ada di satu atau dua lokasi saja dalam suatu kota seperti rumah sakit
dan bandara. Dari sisi jaringan transportasi, kualitas pelayanan transportasi pasti juga
berbeda – beda, sistem jaringan transportasi di suatu daerah mungkin lebih baik
dibandingkan dengan daerah lainnya dari segi kuantitas (kapasitas) maupun kualitas

II-1
(frekuensi pelayanan). Contohnya, pelayanan angkutan umum biasanya lebih baik di
pusat pertokoan dan beberapa jalan utama transportasi dibandingkan dengan di
daerah pinggiran kota.
Skema sederhana memperlihatkan kaitan antara berbagai hal yang diterangkan
mengenai aksesibilitas dapat dilihat pada tabel dibawah ini (Black, 1981).

2.2 Hubungan Transportasi


Tabel diatas menggunakan faktor “hubungan transportasi” yang dapat diartikan
dalam beberapa hal. Suatu tempat dikatakan “aksesibel” jika sangat dekat dengan
tempat lainnya, dan “tidak aksesibel” jika berjauhan. Ini adalah konsep yang paling
sederhana, hubungan transportasi (aksesibilitas) dinyatakan dalam bentuk “jarak”
(km). Seperti telah dijelaskan , jarak merupakan perubah yang tidak begitu cocok dan
diragukan. Jika sistem transportasi antara kedua buah tempat diperbaiki (disediakan
jalan baru), maka hubungan transportasi dapat dikatakan akan lebih baik karena waktu
tempuhnya akan lebih singkat. Hal ini sudah jelas berkaitan dengan kecepatan sistem
jaringan transportasi tersebut. Oleh karena itu, “waktu tempuh” menjadi ukuran yang
lebih baik dan sering digunakan untuk aksesibilitas.

2.3 Pemilihan Rute Jaringan Jalan


2.3.1 Umum
Jalan adalah salah satu prasarana yang akan mempercepat pertumbuhan dan
pengembangan suatu daerah serta akan membuka hubungan sosial, ekonomi dan
budaya antar daerah. Sedangkan pengertian jaringan adalah suatu kesatuan dari
beberapa sistem yang diciptakan untuk memenuhi suatu bentuk keterkaitan antara
suatu variabel lainnya dalam tatanan yang terstruktur. Dari kedua pengertian di atas
maka dapat disimpulkan bahwa jaringan jalan adalah suatu kesatuan sistem yang
bertujuan sebagai prasarana yang akan mempercepat pertumbuhan dan
pengembangan suatu daerah serta akan membuka hubungan sosial, ekonomi dan
budaya antar daerah. Untuk memenuhi pergerakan manusia atau pergerakan barang
dari satu tempat ke tempat lain maka diperlukan jaringan jalan yang efektif dan
efisien. Proses pengalokasian pergerakan tersebut menghasilkan suatu pola rute
yang arus pergerakannya dapat dikatakan berada dalam keadaan seimbang jika
setiap pelaku perjalanan tidak dapat lagi mencari rute yang lebih baik untuk

II-2
mencapai zona tujuannya karena mereka telah bergerak pada rute terbaik yang telah
tersedia. Kondisi ini disebut kondisi keseimbangan jaringan jalan
2.3.2 Proses pemilihan rute
Arus lalu lintas pada suatu ruas jalan dalam suatu jaringan dapat diperkirakan
sebagai hasil proses pengkombinasian informasi pemilihan rute, deskripsi sistem
jaringan dan pemodelan pemilihan rute. Prosedur pemilihan rute bertujuan memodel
perilaku pelaku pergerakan dalam memilih rute yang menurut mereka merupakan
rute terbaiknya. Dengan kata lain, dalam proses pemilihan rute, pergerakan antara
dua zona (yang didapat dari sebaran pergerakan) untuk moda tertentu (yang didapat
dari tahap sebaran pergerakan) untuk moda tetentu (yang didapat dari pemilihan
moda) dibebankan ke rute tertentu yang terdiri ruas jaringan tertentu (atau angkutan
umum).
Tujuan tahapan ini adalah mengalokasikan setiap pergerakan antarzona
kepada berbagai rute yang paling sering digunakan oleh seseorang yang bergerak
dari zona asal ke zona tujuan. Keluaran tahapan ini adalah informasi arus lalu lintas
pada setiap ruas jalan, termasuk biaya (waktu) antar zonanya.
Dengan mengasumsikan setiap pengguna jalan memilih rute yang
meminimumkan biaya perjalanannya (rute tercepat jika dia lebih mementingkan
waktu dibandingkan dengan jarak dan biaya), maka adanya pengguna ruas yang lain
mungkin disebabkan oleh perbedaan persepsi pribadi tentang biaya atau mungkin
juga disebabkan oleh perbedaan persepsi pribadi tentang keinginan menghindari
kemacetan.
Hal utama dalam proses pembebanan rute adalah memperkirakan asumsi
penggunan jalan mengenai pilihan yang terbaik. Terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi dalam pemilihan rute pada saat kita melakukan perjalanan.
Beberapanya adalah waktu tempuh, jarak biaya (bahan bakar dan lainnya),
kemacetan dan antrian, jenis manuver yang dibutuhkan, jenis jalan raya (jalan tol,
arteri), pemandangan, kelengkapan rambu lalu lintas dan marka jalan, serta
kebiasaan.
Sangat sukar untuk menghasilkan persamaan biaya gabungan yang
menggabungkan semua faktor tersebut. Selain itu, tidaklah praktis memodel semua
faktor sehingga harus digunakan beberapa asumsi atau pendekatan. Salah satu
pendekatan yang paling sering digunakan adalah mempertimbangkan dua faktor
utama dalam pemilihan rute, yaitu pergerakan, dan nilai waktu biaya pergerakan
dianggap proporsional dengan jarak tempuh .Dalam beberapa model pemilihan rute
dimungkinkan penggunaan bobot yang berbeda bagi faktor waktu tempuh dan faktor
jarak tempuh untuk menggambarkan persepsi pengendara dalam kedua faktor

II-3
tersebut. Menurut Ofyar (2000), Terdapat bukti kuat yang menunjukkan bahwa waktu
tempuh mempunyai bobot lebih dominan daripada jarak tempuh bagi pergerakan
dalam kota.
Model pemilihan rute dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa faktor
pertimbangan yang didasari pengamatan bahwa tidak setiap pengendara yang
berasal dari zona asal ke zona tujuan akan memilih rute yang persis sama,
khususnya di daerah perkotaan . Hal ini disebabkan oleh adanya:
a. Perbedaan persepsi pribadi tentang apa yang diartikan dengan biaya
perjalanan karena adanya perbedaan kepentingan atau informasi yang tidak
jelas dan tidak tepat mengenai kondisi lalu lintas pada saat itu.
b. Peningkatan biaya karena adanya kemacetan pada suatu ruas jalan yang
menyebabkan kinerja beberapa rute lain menjadi lebih tinggi sehingga
meningkatkan peluang untuk memilih rute tersebut.
Jadi tujuan pemodelan pemilihan rute adalah untuk mendapatkan setepat
mungkin arus yang didapat pada saat survey yang dilakukan untuk setiap ruas jalan
dalam jaringan jalan tersebut. Analisis pemilihan rute tersebut terdiri dari beberapa
bagian utama yaitu:
1. Alasan pemakai jalan memilih suatu rute dibandingkan dengan rute lainnya
2. Pengembangan model yang menggabungkan sistem transportasi dengan
alasan pemakai jalan memilih rute tertentu
3. Kemungkinan pengendara berbeda persepsinya mengenai ‘rute terbaik’
beberapa pengendara mungkin mengasumsikan sebagai rute dengan jarak
tempuh terpendek, rute dengan waktu tempuh tersingkat, atau mungkin juga
kombinasi keduanya.
4. Kemacetan dan ciri fisik ruas jalan membatasi jumlah arus lalu-lintas di jalan
tersebut.
Di lain hal waktu tempuh dan jarak sesungguhnya dalam kejadian sehari – hari
di lapangan sering dijumpai tidak selalu sebanding, ini disebabkan oleh adanya jarak
yang panjang, waktu tempuhnya cepat, tetapi ada pula jarak yang pendek justru
sebaliknya (waktu tempuhnya lama). Penyebabnya barangkali terletak pada kondisi
ruas jalan atau rute yang dilewati seperti, ruas jalannya padat atau macet, atau ruas
jalannya jelek (permukaannya berlubang-lubang, jalan tanah, kerikil, dan lain-lain).
2.3.3 Metode pemilihan rute
Faktor yang dipertimbangkan dalam pemilihan rute adalah:
a) Waktu tempuh
Faktor utama
b) Jarak
c) Jumlah persimpangan yang dilalui

II-4
d) Kemacetan
e) Rambu lalulintas
f) Kondisi permukaan jalan
g) Keselamatan Dll.
Model pemilihan rute dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa faktor:
1) Perbedaan persepsi pribadi tentang apa yang diartikan dengan biaya
perjalanan karena adanya perbedaan kepentingan atau informasi yang tidak
jelas dan tidak tepat mengenai kondisi lalu lintas.
2) Apakah pengaruh kemacetan di ruas jalan diperhitungkan dalam pemodelan.
Tabel 2.1 Efek batasan kapasitas
Kriteria Efek stokastik (kesalah pahaman) disertakan?
Efek batasan Tidak Ya
kapasitas
(kemacetan) Tidak All –or-Nothing Stokastik murni (Dial, Burrel)
dipertimbangkan Ya Wardrop Equilibrium) Stochastic User Equilibrium

2.4 Arus Lalu Lintas


Arus lalu lintas merupakan gabungan dari beberapa kendaraan bermotor. Tidak
bermotor dan pejalan kaki yang bergerak melalui lintasan yang sama. Dalam
pengendalian salah satu aspek yang penting adalah kapasitas jalan serta
hubungannya dengan kecepatan dan volume lalu lintas, kendaraan maksimum yang
dapat melewati jalan persatuan waktu dalam kondisi tertentu. Besarnya kapasitas jalan
tergantung khususnya pada lebar jalan dan gangguana terhadap lalu lintas yang
melewati jalan tersebut. (MKJI, 1997 dalam bina sistem lalu lintas dan angkutan kota
kapasitas lalu lintas, 1999).

2.5 Karakteristik utama Lalu Lintas


Tiga karakteristik utama lalu lintas adalah volume, kecepatan dan kepadatan lalu
lintas. Selain ketiga karakteristik primer ini ada satu karakreristik sekunder yaitu antara
kendaraan (headway) yang terdiri dari jarak anatara kendaraan dan waktu antara
kendaraan. (MKJI, 1997 Dalam bina sistem lalu lintas dan angkutan kota, kapasitas
lalu lintas, 1999).
2.5.1 Volume Arus Lalu Lintas
Sebagai pengukur arus alau lintas di gunakan volume. Volume lalu lintas
menunjukan jumlah kendaraan yang melintasi satu tittik pengamatan dalam satu
satuan waktu, di hitung dalam kendaraan per hari atau kendaraan per jam. Volume
dapat dihitung pula dalam periode-periode yang lai, tetapi periode pemecahannya

II-5
harus cukup panjang untuk menjamin bahwa variasi – variasi yang pendek tidak
sampai mempengaruhi angka rata-rata.
Volume arus lalu lintas dapat dihitung menggunakan persamaan sebagai
berikut :
Q = N/T ......................................................................................................(2.1)
Keterangan :
Q = Volume kendaraan (kendaraan/jam)
N = Jumlah kendaraan (kendaraan)
T = Waktu tempuh (jam)
2.5.2 Kecepatan
Manual menggunakan kecepatan tempuh sebagai ukuran utama kinerja
segmen jalan, karena mudah dimengerti dan diukur, dan merupakan masukan yang
penting untuk biaya pemakai jalan dalam analisa ekonomi. Kecepatan tempuh
didefinisikan dalam manual ini sebagai kecepatan rata-rata ruang dari kendaraan
ringan (LV) sepanjang segmen jalan :
V = L/TT......................................................................................................(2.2)
Keterangan:
V = Kecepatan rata-rata ruang LV (km/jam)
L = Panjang segmen (km)
TT = Waktu tempuh rata-rata LV sepanjang segmen (jam)
2.5.3 Kecepatan arus lalu lintas
Kecepatan adalah tingkat perrubahan jarak per satuan waktu. Kecepatan
dapat diukur sebagai kecepatan setempat atau sebagai angka rata-rata waku atau
jarak. Ukuraran-ukuran yang terpenting adalah kecepatan setempat (spot speed),
kecepatan perjalanan (journey speed), kecepatan berjalan (running speed),
hambatan (delay) adalah waktu yang hilang pada saat kendaraan berhenti
(mengurangi kecepatan) dimana kendaraan tidak dapat berjalan sesuai kecepatan
yang diinginkannya karena adanya sistem pengendali atau kemacetan lalu lintas.
Hambatan mempengaruhi perjalanan dan mengurangi kualitas serta meningkatkan
biaya transportasi. Hambtan yang terjadi akan menyebabkan kondisi lalu intas tidak
nyaman karena kendaraan sering mengerem kendaraannya.
Berdasarkan Direktorat Bina Sistem Lalu Lintas dan Angkutan kota, Kapasitas
Lalu lintas, 1999, kecepatan dapat dihitung dengan menggunakan persamaan
sebagai berikut :
V = S/T .........................................................................................................(2.3)
Keterangan :
V = Kecepatan (Km/jam)

II-6
S = Jarak Tempuh (Km)
T = Waktu Tempuh (Jam)
2.5.4 Kepadatan arus Lalu lintas (Density)
Kepadatan (Density) adalah pemusatan kendaraan-kendaraan di suatu jalan.
Kepadatan dinyatakan dalam kendaraan per kilometer. Jumlah kendaraan per
satuan panjang jalan dapat dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai
berikut :
K = N/L ........................................................................................................(2.4)
Keterangan :
K = Kepadatan (Kendaraan/Km)
N = Jumlah kendaraan pada lintasan sepanjang L (Kendaraan)
L = Pnjang Lintasan (Km)
K = Q/V ........................................................................................................(2.5)
Keterangan :
K = Kepadatan (Kendaraan/Km)
N = Volume Total (Kendaraan/jam)
V = Kecepatan Rata-rata (Km)
Pada saat arus lalu lintas berjalan, karakteristik-karakteristik ini akan
bervariasi secara berkesinambungan atau terus menerus disebabkan oleh acaknya
jarak antara kendaraan-kendaraan tersebut. Untuk merangkum dan menganalisis
arus alau lintas, maka nilai rata-rata dari volume, kecepatan dan kepadatan harus
dihitung dalam suatu periode yang sama.
2.5.5 Karakteristik Sekunder Arus Lalu lintas
Karakterisik sekunder yang terpenting adalah Headway (antara kendaraan)
yang terdiri dari dua jenis yaitu waktu antara kendaraan (Time Headway) dan jarak
antara kendaraan (Distance Headway)
Waktu antara kendaraan (Time Headway) adalah waktu yang diperlukan satu
kendaraan dengan kendaraan berikutnya ntuk melalui satu titik tertentu yang tetap.
Waktu antara kendaraan rata-rata (Mean Time Headway) dapat dihitung dengan
persamaan sebagai berikut :
Dh = 1/Q ......................................................................................................(2.6)
Keterangan :
Dh = Jarak antara kendaraan rata-rata
1 = Konstanta
K = Kepadatan (Kendaraan/Km)

II-7
2.5.6 Kondisi Geometrik jalan
a. Tipe Jalan
Berbagai tipe jalan akan menunjukan kinerja yang berbeda pada
polapembebanan lalu lintas, misalnya jalan terbagi dan jalan satu arah.
b. Lebar lajur lalu lintas
Kecepatan arus bebas dan kapasitas berbanding lurus dengan pertambahan
lebar jalur lalu lintas.
c. Kereb
Kereb berfungsi sebagai batas antara jalur lalu lintas dengan trotoar berpengaruh
terhadap dampak hambatan samping pada kapasitas dan kecepatan. Kapasitas
jalan dengan kereb adalah kecil dari jalan dengan bahu jalan. Selanjutnya
kapasitas berkurang apabila terdapat penghalang tetap dekat tepi jalur lalu lintas
tergantung apakah jalan mempunyai kereb atau bahu.
d. Bahu jalan
Jalan perkotaan tanpa kereb umumnya memiliki bahu jalan pada kedua sisi jalur
lalu lintasnya. Lebar dan kondisi permukaan bahu jalan berpengaruh pada
peningkatan kapasitas, terutama karena pengurangan hambatan samping.
e. Median
Median yang direncanakan penempatanya dengan baik akan meningkatkan
kapasitas.
f. Alinyemen jalan
Lengkungan horisontal dengan radius yang kecil akan mengurangi kecepatan
bebas. Tanjakan yang curam juga akan mengurangi kecepatan bebas. Apabila
kecepatan bebas berkurang, maka akan sangat mungkin terjadi penambahan
volume arus Lalu lintas.

2.6 Konsep Kapasitas Arus Lalu lintas


Kapasitas adalah jumlah kendaraan maksimum yang dharapakan dapat melalui
suatu potongan badan jalan (dalam 1 arah maupun 2 arah) dalam periode waktu
tertentudaam keadaan kondisi jalan (kondisi cuaca) serta lalu lintas yang ideal.
Kapasitas merupakan ukuran kinerja (performance). Ada beberapa faktor yang
mempengaruhi kapasitas anatara lain ; lebar jalan, kebebasan samping, kendaraan
serta kondisi permukaan jalan.
a. Kondisi ideal
Kondisi ini dapat dinyatakan sebagai kondisi peningkatan kondisi lebih lanjut dan
kondisi perubahan kondisi cuaca tidak akan menghasilkan pertambahan kapasitas.
Kondisi ini meliputi :

II-8
1. Tipe kelas jalan (fasilitas)
2. Lingkungan sekitar
3. Kebebasan jalan (fasilitas pelengkap lalu lintas)
4. Keepatan rencana
5. Alinyemen horisontal dan vertikal
6. Kondisi permukaan jalan
b. Populasi Pengemudi
Karakteristik arus lalu lintas ada hubungannya dengan kondisi lalu lintas pada hari
kerja yang teratur, seperti komuter (pengemudi yang secara rutin melewati jalan
tersebut) dan pemakai lainnya yang rutin. Kapasitas di luar hari kerja atau di luar
jam sibuk mungkin akan lebih rendah.
c. Kondisi pengendalian lalu lintas
Kondisi ini mempuunyai pengaruh yang nyata terhadap kapasitas jalan, tingkat
pelayanan dan arus jalan. Beberapa hal yang termasuk yaitu :
1. Lmpu Lalu lintas
2. Lampu atau marka jalan
3. Rambu atau marka jalan
2.6.1 Jenis Kendaraan dan Batasannya
Berdasarkan manual kapasitas jalan indonesia (MKJI, 1997 dalam bina sistem
lalu lintas dan angkutan kota, kapasitas lalu lintas, 1999), maka kendaraan dibagi
dalam beberapa jenis :
a. Kendaraan Ringan
Kendaraan bermotor dua as beroda empat dengan jarak as 2,0 m – 3,0
mtermasuk ; mobil penumpang, oplet, mikrobis, pick up, dan truck kecil dengan
panjang total kendaraan 4,7 m, lebar 2,5 m dan tinggi 2,0 m.
b. Kendaraan berat
Kendaraan bermotor dengan jarak as lebih dari 3,5 m (>3,5 m) biasanya beroda
lebih dari empat termasuk ; bis, truck 2 as, truck 3 as dan truck kombinasi
panjang kendaraan 12,16,5 m, lebar 2,5 m dan tinggi 4,0 m.
c. Sepeda motor
Kendaraan bermotor roda dua atau tiga termasuk ; sepeda motor dan kendaraan
roda tiga.
2.6.2 Konsep Kapasitas jalan kota
Berdasarkan definisi di atas maka manual kapasitas jalan indonesia (MKJI,
1997 dalam bina sistem lalu lintas dan angkutan kota, kapasitas lalu lintas, 1999)
menetapkan kondisi ideal terjadi apabila :
1. Lebar jalan tidak kurang dari 3,5 m

II-9
2. Kebebasan lateral tidak dari 1,75 m
3. Standar geometrik baik
4. Hanya kendaraan ringan atau light vehicle yang menggunakan jalan
Satuan mobil penumpang (smp) passanger car unit (pcu) digunakan jalan kota
berdasarkan IHCM, 1997 (Indonesia highway capacity manual atau manual
kapasitas jalan indonesia, 1997) dalam tabel sebagai berikut :
Tabel 2.2 Satuan Mobil penumpang unuuk berbagai jenis jalan
SMP
Arus Lalu lintas
Tipe jalan Kota Sepeda Motor
total dua arah Kendaraan berat
≤ 6m ≥ 6m
0 1.3 0.50 0.40
2 lajur tidak terpisah
>1800 1.2 0.35 0.25
0 1.3 0.40
4 Lajur tidak terpisah
>3700 1.2 0.25
2 lajur 1 arah lajur 0 1.3 0.40
atau 4 lajur terpisah >1050 1.2 0.25
3 lajur 1 arah dan 6 0 1.3 0.40
lajur dipisah >1100 1.2 0.25
Sumber : MKJ, 1997 dalam bina sistem lalu lintas dan angkutan kota, 1999
Untuk menghitung kapasitas jalan kota digunakan persamaan sebagai berikut :
C = Co x FCcw x FCsp x FCsf x FCcs.......................................................(2.7)
Keterangan :
C = Kapasitas (smp/jam)
Co = Kapasitas dasar (smp/jam)
FCcw = Faktor penyesuaian lebar jalan
FCsp = Faktor penyesuaian arus lalu lintas
FCsf = Faktor penyesuaian gesekan samping dan kerb
FCcs = Faktor ukuran kota
2.6.2.1 Kapasitas Dasar (Co)
Kapasitas dasar ini tergantung pada tipe jalan, jumlah jalur dan apakah jalan
di pisah-pisah atau tidak. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 2.2 sebagai
berikut :
Tabel 2.3 Kapasitas jalan Perkotaan
Kapasitas
Tipe jalan Keterangan
Dasar(smp/jam)
4 lajur dipisah atau jalan 1 arah 1.650 per lajur
4 lajur tidak dipisah 1.500 perl ajur
2 lajur tidak dipisah 2.900 kedua arah
Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia 1997

II-10
2.6.2.2 Fakor Penyesuaian Lebar Jalan (FCcw)
Jarak lajur kendaraan sangat dipengaruhi oleh lebar jalan efektif. Lebar
badan jalan sangat mempengaruhi kapasitas jalan. Hal ini dapat dilihat pada tabel
2.3 sebagai berikut :
Tabel 2.4 Faktor Penyesuaian Lebar Jalan (FCcw)

Sumber : Manual Kapasitas jalan Indonesia 1997


Catatan : untuk nilai di antaranya dapat diinterpolasi
2.6.2.3 Faktor Penyesuaian Arah Lalu Lintas
Pada jalan tanpa pemisah besarnya faktor penyesuaian tergantung pada
besarnya split kedua arah. Hal inni dapat dilihat pada tabel 2.4 sebagai berikut :
Tabel 2.5 Faktor Penyesuaian Arah Lalu lintas
Split Arah 50-50 55-45 60-40 65-45 70-30
2/2 1,00 0,97 0,94 0,91 0,88
FCsp
4/2 Tidak dipisah 1,00 0,985 0,97 0,955 0,94
Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia 1997
2.6.2.4 Faktor penyesuaian Kerb dan Bahu jalan (FCsf)
Kapasitas di pengaruhi oleh lebar bahu jalan. Faktor penyesuaian kerb dan
bahu jalan (FCsf) dapat dilihat pada tabel 2.5 sebagai berikut :
Tabel 2.6 Faktor penyesuaian Keb dan Bahu jalan (FCsf)
Faktor penyesuaian bahu jalan dengan jarak ke
penghalang
gesekan
Tipe Jalan (FCsf)
samping
Lebar Efektif bahu jalan
≤ 0,5 1,00 1,5 ≥2,0
VL 0,96 0,98 1,01 1,03
L 0,94 0,97 1,00 1,02
4/2 dipisah median M 0,92 0,95 0,98 1,00
H 0,88 0,92 0,95 0,98
VH 0,84 0,88 0,92 0,96

II-11
Sambungan…….
VL 0,96 0,99 1,01 1,03
L 0,94 0,97 1,00 1,02
4/2 tidak dipisah M 0,92 0,95 0,98 1,00
H 0,87 0,91 0,94 0,98
VH 0,86 0,86 0,90 0,95
VL 1,94 0,96 0,99 1,01
2/2 tidak dipisah L 0,92 0,94 0,97 1,00
atau jalan 1 arah M 0,89 0,92 0,95 0,98
H 0,82 0,86 0,90 0,95
VH 0,73 0,79 0,85 0,91
Sumber : Manual kapasitas jalan Indonesia
Catatan :
a. Tabel tersebut di atas bahwa lebar bahu kiri dan sama, bila lebar bahu kiri
dan kanan berbeda maka lebar efektif adalah setengahnya.
b. Lebar efektif bahu adalah lebar yang bebas dari segala rintangan, bila
ditengah terdapat pohon maka lebar efektif adalah setengahnya.
Kapasitas dipengaruhi oleh kerb. Faktor penyesuaian kerb adalah pada
tabel 2.6 sebagai berikut :
Tabel 2.7 Faktor penyesuaian kerb (FCsf)
Faktor penyesuaian bahu jalan dengan jarak ke
penghalang
gesekan (FCsf)
Tipe Jalan
samping
jarak Kerb - penghalang Wk (m)
≤ 0,5 1,0 1,5 ≥2,0
VL 0,95 0,97 0,99 1,01
L 0,94 0,96 0,98 1,00
4/2 dipisah M 0,21 0,93 0,95 0,98
median
H 0,86 0,89 0,92 0,95
VH 0,81 0,85 0,88 0,92
VL 0,95 0,97 0,99 1,01
L 0,93 0,95 0,97 1,00
4/2 tidak dipisah M 0,9 0,92 0,95 0,97
H 0,84 0,87 0,90 0,93
VH 0,77 0,81 0,85 0,9
VL 1,93 0,95 0,97 0,99
L 0,90 0,92 0,95 0,97
2/2 tidak dipisah
M 0,86 0,88 0,91 0,94
atau jalan 1 arah
H 0,78 0,81 0,84 0,88
VH 0,68 0,72 0,77 0,82
sumber : Manual Kapasitas jalan Indonesia 1997

II-12
Kerb berpengaruh terhadap :
a. Pengurangan kecepatan dan kapasitas walaupun tidak terdapat rintangan
pada kerb
b. Bila terdapat rintangan yang terletak diatas kerb maka akan dikuragi
gesekan sampingnya sedikit.
2.6.2.5 Gesekan Samping
Penilaian terhadap besarnya gesekan samping dapat dilihat pada tabel 2.7
berikut ini:
Tabel 2.8 Penilaian Besarnya Faktor Gesekan Samping
Jumlah gesekan samping
No Komponen gesekan sangat Sangat
Rendah Sedang Tinggi
rendah tinggi
1 Pejalan kaki (Pjlkk/jam) 0 0-80 80-120 120-220 >220
Pjlkk menyeberang
2 0 0-200 200-500 500-1300 >1300
(Pjlkk/jam/km)
Angkot berhenti
3 0 0-100 100-300 300-700 >700
(Kendaraan Berhenti)
Kendaraan masuk
4 0 0-200 200-500 500-800 >800
keluar(Persil (kend/jam/km)
Sumber : Direktorat bina sistem lalu lintas dan angkutan kota,1999
Nilai yang digunakan kelas gesekan samping mulai dari sangat rendah
sampai dengan sangat tinngi ditunjukan seperti pada Tabel 2.8 sebagai berikut :
Tabel 2.9 Penilaian Besarnya Faktor gesekan Samping (daam skor)
Jumlah gesekan samping
Komponen gesekan
No sangat Sangat
samping Rendah Sedang Tinggi
rendah tinggi
1 pergerakan pejalan kaki 0 1 2 4 7
2 Angkot berhenti dijalan
0 1 3 6 9
(Kendaraan parkir)
3 Kendaraan masuk keluar
0 1 3 5 8
Persilangan
Sumber : Manual Kapasitas jalan Indonesia, 1997
Angka yang terdapat pada tabel di jumlahkan bila terdapat kombinasi dari
ketiga komponen gesekan samping maka diperoleh nilai total vs gesekan samping
seperti yang ditunjukan pada tabel 2.9 sebagai berikut :
Tabel 2.10 Nilai Total vs Kelas Gesekan Samping
Nilai Total Kelas Gesekan Samping
0−1 Sangat Rendah
2−5 Rendah
6−11 Sedang
12−18 Tinggi
19−24 Sangat Tinggi
Sumber : Direktorat Bina Sistem Lalu Lintas Dan Angkutan Kota, 1999

II-13
2.6.2.6 Faktor Ukuran Kota (city size)
Faktor ukuran kota juga mempengaruhi kapaitas seperti ditunjukan dalam
tabel berikut ini :
Tabel 2.11 Faktor Ukuran Kota
Ukuaran Kota juta orang Faktor Ukuran Kota Fcs
< 0.1 0.86
0.1-0.5 0.90
0.5-3.0 0.94
1.0-3.0 1.00
≥3.0 1.04
Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia, 1997
2.7 Menentukan Kecepatan Aktual (actual speed)
Berdasarkan manual kapasitas jalan indonesia, 1997 kecepatan aktual atau
kecepatan arus bebas dapat dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai
berikut :
FV = (Fvo + FVcw) x FVsF x FVcs..................................................................(2.8)
Keterangan :
FV = Kecepatan arus bebas sesungguhnya (Km/jam)
Fvo = Kecepatan arus bebas dasar (Km/jam)
FVcw = Faktor penyesuaian untuk lebar bada jalan efektif (Km/jam)
FVsf = Faktor penyesuaian untuk gesekan samping (m)
FVcs = Faktor penyesuaian untuk ukuran kota (jiwa)
2.7.1 Menentukan Nilai Kecepatan Arus Bebas Dasar (Fvo)
Untuk mementukan Fvo di pakai Tabel 2.11 dibawah ini :
Tabel 2.12 Kecepatan Arus Bebas Dasar (Fvo) Untuk jalan Perkotaan
Kecepatan Arus Bebas Dasar Fvo (Km/jam)
Tipe Jalan Kendaraan Kendaraan Semua
Sepeda motor
Ringan Berat Kendaraan
(MC)
(LV) (HV) (Rata-rata)
6 Lajur terbagi (6/2 D)
61 52 48 57
atau3 Lajur 1 Arah (3/1)
4 Lajur 2 Arah terbagi (4/2)
57 50 47 55
atau 2 Lajur 1 Arah (2/1)
4 Lajur 2 Arah tak terbagi
53 46 43 51
(4/2 UD)
2 Lajur 2 Arah tak terbagi
44 40 40 42
(2/2 UD)
Sumber : Direktorat Bina Sistem Lalu Lintas dan Angkutan Kota, 1999
2.7.2 Menentukan Kecepatan Arus Bebas Berdasarkan Penyesuaian Lebar Jalur Lalu
Lintas Efektif FVcw (Km/Jam)
Perhitungan FVcw, berdasarkan lebar badan jalan dapat dilihat pada tabel 2.12
berikut ini :

II-14
Tabel 2.13 Faktor Penyesuaian Untuk Lebar Badan Jalan Efektif (FVcw)
Lebar Badan Jalan
Jenis Jalan FVcw (Km/jam)
Efektif (m)
Per Lajur
3,00 -4
4 Lajur dipisah atau 3,25 -2
jalan 1 arah 3,50 0
3,75 2
4,0 4
Per Lajur
3,00 -4
3,25 -2
4 Lajur tidak dipisah
3,5 0
3,75 2
4,00 4
Jumah 2 Lajur -9,5
5 -3
6 0
7 3
2 Lajur tidak dipisah
8 4
9 5
10 6
11 7
Sumber : Direktorat Bina Sistem Lalu Lintas dan Angkutan Kota, 1999
2.7.3 Menentukan Besarnya Nilai Gesekan Samping (FVsf)
1. Jalan dengan bahu jalan Untuk menentukan besarnya FVsf digunakan tabel 2.13
2. Jalan dan trotoar perhitngan untuk jalan dengan trotoar faktor penyesuaian
gesekan samping dapat dilihat pada tabel 2.14
Tabel 2.14 Faktor FVsf untuk Jalan dengan Bahu Jalan
Faktor Penyesuaian untuk Gesekan
Gesekan Samping Dengan
Samping Bahu Jalan (FVsf)
Tipe Jalan
9SFC0
Lebar Bahu Efektif Rata rata Ws(m)
≤ 0,5 1,0 1,5 ≥2,0
Sangat Ringan 1,02 1,03 1,03 1,04
Ringan 0,98 1,00 1,02 1,03
4 Lajur Terpisah
(4/2D) Sedang 0,94 0,97 1,00 1,02
Berat 0,89 0,93 0,96 0,99
Sangat Berat 0,84 0,88 0,92 0,96
Sangat Ringan 1,02 1,03 1,03 1,04
Ringan 0,98 1,00 1,02 1,03
4 lajur tidak terpisah
(4/2UD) Sedang 0,93 0,96 0,99 1,02
Berat 0,87 0,91 0,94 0,98
Sangat Berat 0,80 0,86 0,90 0,96
Sangat Ringan 1,00 1,01 1,01 1,01
2 Lajur tidak terpisah Ringan 0,96 0,98 0,99 1,00
(2/2UD) Sedang 0,90 0,93 0,96 0,99
1 Arah
Berat 0,82 0,86 0,90 0,95
Sangat Berat 0,73 0,79 0,85 0,91
Sumber : Direktorat Bina Sistem Lalu Lintas dan Angkutan Kota, 1999

II-15
Tabel 2,15 Faktor FVsf Untuk Jalan Dengan Trotoar
Faktor Penyesuaian untuk Gesekan
Gesekan
Samping Dengan Bahu Jalan (FVsf)
Tipe Jalan Samping
Lebar Bahu Efektif Rata rata Ws (m)
9SFC0
≤ 0,5 1,0 1,5 ≥2,0
Sangat Ringan 1,00 1,01 1,01 1,02
Ringan 0,97 0,98 0,99 1,00
4 Lajur Terpisah
Sedang 0,93 0,95 0,97 0,99
(4/2D)
Berat 0,87 0,9 0,93 0,96
Sangat Berat 0,81 0,85 0,88 0,92
Sangat Ringan 1,00 1,01 1,01 1,02
Ringan 0,96 0,98 0,99 1,01
4 lajur tidak terpisah
Sedang 0,91 0,93 0,96 0,98
(4/2UD)
Berat 0,84 0,87 0,90 0,94
Sangat Berat 0,77 0,81 0,85 0,90
Sangat Ringan 0,98 0,99 0,99 1,00
2 Lajur tidak
Ringan 0,93 0,95 0,96 0,98
terpisah
Sedang 0,87 0,89 0,92 0,95
(2/2UD)
Berat 0,78 0,81 0,84 0,88
1 Arah
Sangat Berat 0,68 0,72 0,77 0,82
Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia, 1997
2.8 Perhitungan Kecepatan Aktual dan Waktu Tempuh (trip time – TT)
2.8.1 Kecepatan Aktual Rata-rata
Kecepatan aktual rata-rata dapat diperoleh dengan menghubungkan tingkat
kejenuhan (degree of saturation – QC) dan aktual free flow speed (FV)
2.8.2 Waktu Tempuh
Waktu tempuh dapat dihitung dengan rumus :
TT = L/V ........................................................................................................(2.9)
Keterangan :
TT = Trip Time (jam)
L = Panjang (km)
V = Kecepatan (Km/jam)

2.9 Konsep Tingkat Pelayanan


Ukuran Tinghkat pelayanan dinyatakan sebagai refleksi dari hubungan antara
besarnya arus lalu lintas dengan kecepatan perjalanan (arus bebas), yang oleh Morlok
(1986) menyatakan dalam tngkat kualitatif A hingga F. A menunjukan tingkat
pelayanan yang paling baik, sedangkan berada di B maka ruas jalan tersebut sudah
mulai mengalami masalah keterbatasan kapasitas dan kecepatan sedangkan tingkat
pelayanan F menunjukan kondisi macet total.
MKJI 1997 sendiri menyatakan bahwa ukuran tingkat pelayanan tersebut dinilai
berdasarkan derajat kejenuhan atau Degree Of Saturation (V/C) dimana bila besarnya
rasio antara volume terhadap kapasitas ruas jalan tersebut sudah melebihi angka 0,75

II-16
maka hal itu berarti ruas jalan yang bersangkutan sudah menunjukan kinerja yang
jelek, sudah mengalami masalah keterbatasan kapasitas dan kecepatan dan sudah
harus di tangani penyebab permasalahannya.

2.10 Derajat Kejenuhan


Derajat kejenuhan (DS) didefinisikan sebagai rasio arus terhadap kapasitas,
digunakan sebagai faktor utama dalam penentuan kinerja ruas jalan dan
persimpangan. Nilai DS menunjukan apakah ruas jalan tersebut mempunyai masalah
kapasitas atau tidak. Derajat kejenuhan dapat dihitung dengan rumus :
DS = Q/C ........................................................................................................(2.10)
Keterangan :
DS = Derajat Kejenuhan
Q = Arus Lalu lintas (smp/jam)
C = Kapasitas berdasarkan perhitungan kapasitas
Nilai dari derajat kejenuhan yang didapat, dijadikan salah satu parameter untuk
menilai kinerja ruas jalan yang ditinjau, dengan menggolongkan nilai derajat kejenuhan
dalam tabel berikut :
Tabel 2.16 Tingkat Pelayanan Ruas Jalan
Tingkat Batas Lingkup
Karakteristik
Pelayanan Q/C
Arus bebas, volume rendah dan kecepatan tinggi ;
A pengemudi dapat 0,00-0,19
memilih bebas kecepatan yang diingnkannya
Arus stabil, kecepatan sedikit dibatasi oleh lalu lintas,
B volume pelayanan dapat 0,20-0,44
dipakai untuk mendesain jalan luar kota
Arus stabil, kecepatan dikontrol oleh lalu lintas, volume
C pelayanan dapat dipakai 0,45-0,74
untuk mendesain jalan perkotaan
Arus mulai terganggu, kecepatan rendah, volume
D pelayanan berkaitan dengan 0,75-0,84
kapasitas maksimal
Arus tidak stabil, kecepatan rendah dan berbeda-beda
E bahkan sering 0,85-1,00
berhenti sama sekal, volume mendekati kapasitas
Arus mulai terhambat (dipaksakan) atau macet pada
kecepatan-kecepatan yang
F rendah dan sering berhenti, antrian yang panjang terjadi,
>1,00
dan hambatan
yang besar
Sumber : Morlok, 1986

2.11 Analisis Lalu Lintas Harian Rencana (LHR)


Dalam penyajian data lalu lintas jalan, diperoleh dari hasil observasi dan
pencatatan angka-angka volume lalu lintas yang melintasi suatu ruas jalan, data
tersebut menyatakan jumlah kendaraan yang melewati ruas jalan dalam kurun waktu

II-17
24 jam untuk kedua jurusan (jalan tanpa median) atau masing masing arah pada jalan
dengan median disebu lalu lintas harian rata-rata (LHR). Dalam waktu umur rencana
LHR sudah meningkat sesuai dengan tingkat perkembangan lalu lintas tiap tahun.
(i%). LHR dapat dihitung dengan rumus :
LHR = (1+i)n x LHR Survei .................................................................(2.11)
Keterangan :
LHR = Jumlah Kendaraan Lalu lintas
I = Perkembangan Lalu Lintas
N = Jumlah Tahun Survei
LHR Survei = Jumlah Kendaraan Hasi Survei

2.12 Lalu Lintas Harian Rata-Rata (LHR) = Average Daily Traffic (ADT)
Dihitung dengan cara menjumlahkan volume lalu lintas dalam suatu
periode tertentu, yang lebih dari 1 hari dan kurang dari 1 tahun
(misalnya: dalam satu bulan) dibagi dengan jumlah hari di dalam periode tersebut

2.13 Model Keseimbangan equilibrium


Asumsi dasar dari pemodelan equilibrium adalah masing-masing pengemudi
mencoba untuk meminimumkan ongkos perjalanannya. Bagi pengemudi, ongkos dari
semua pilihan yang ada diasumsikan diketahui secara implisit dalam pemodelan.
Ongkos disini menunjukkan ongkos untuk penggunaan perjalanan, terkadang ongkos
ini untuk menunjukkan generalised cost, yakni kombinasi dari waktu tempuh, jarak dan
ongkos perjalanan lainnya seperti ongkos parkir, terminal, transit, ongkos operasi,
kenyamanan, kemudahan dan lain-lain.
Dalam konteks dengan pemilihan rute, pernyataan yang sama dengan asumsi
dasar diatas secara singkat telah dibahas oleh Wardrop (1952). Pada tulisan tersebut
diuraikan bahwa terdapat dua perilaku intuitif yang menjelaskan bagaimana lalu-lintas
dapat didistribusikan kedalam rute yang dikenal dengan Prinsip Wardrop Equilibrium.
Dua prinsip tersebut dinyatakan sebagai berikut:
(1) ”Under equilibrium condition traffic arranges itself in congested networks in such a
way that no individual trip maker can reduce his path cost by switching routes.”
(2) “Under social equlibrium condition traffic should be arranged in congested
networks in such a way that average (or total) travel is minimised.”
Dari prinsip Wardrop yang pertama dapat disimpulkan bahwa dalam kondisi
equilibrium tidak ada pengguna jalan yang dapat mengubah rutenya untuk
mendapatkan biaya perjalanan yang lebih murah, karena semua rute yang tidak
digunakan mempunyai biaya perjalanan yang sama atau lebih besar dari pada rute

II-18
yang dilaluinya sekarang. Sehingga dapat dikatakan sistem tersebut mencapai kondisi
seimbang menurut pandangan pengguna. Oleh karena itu prinsip ini disebut user’s
equilibrium. Sedangkan pada prinsip Wardrop yang kedua menyatakan bahwa dalam
kondisi optimum, total biaya sistem yang terjadi adalah minimum. Prinsip ini kemudian
dikenal dengan system optimal. Keduanya saat ini telah menjadi standar praktis dalam
setiap evaluasi perencanaan transportasi yang didasarkan pada metode equilibrium.
Pada umumnya arus yang dihasilkan dari dua prinsip tersebut tidak sama, tetapi
dalam prakteknya, lalu lintas mengatur dirinya sendiri mengikuti pendekatan prinsip
wardrop yang pertama (user’s equilibrium).

2.13.1 Metode Titik Keseimbangan (Equilibrium)


Dalam metode keseimbangan (Equilibirium method) mempunyai karakteristik rute
angkutan yang menghubungan zona asal dan zona tujuan yaitu:
1. Rute perjalanan yang dilalui
2. Panjang rute (Km)
3. Zero-flow (mins/Km)
4. Indeks tingkat pelayanan
5. Kapasitas kendaraan (SMP/Jam)
Skenario yang dibuat dalam penelitian ini ada 7 yaitu:
1. Jika hanya rute 1 yang beroprasi dari zona asal ke zona tujuan
2. Jika hanya rute 2 yang beroprasi dari zona asal ke zona tujuan
3. Jika hanya rute 3 yang beroprasi dari zona asal ke zona tujuan
4. Jika hanya rute 1 dan 2
5. Jika hanya rute 2 dan rute 3
6. Jika hanya rute 1 dan 3
7. Jika rute 1, 2, dan 3 beroprasi bersama
Berdasarkan skenario dan permasalahan yang ada maka untuk
menyelesaikanya diperlukan beberapa asumsi antara lain:
1. Dianggap tercapai kondisi equilibrium
2. Model Trip generation
 PA = 0,4×LA………………………………………..……………………………..(3.1)
Dimana:
PA = bangkitan perjalanan
LA = jumlah mahasiswa di Kampus II UNWIRA
 AB = 1×LB…………………….………………………………………….………(3.2)
Dimana:
AB = tarikan perjalanan

II-19
LB = jumlah mahasiswa di Kampus I UNWIRA
3. Model Distribusi perjalanan

= , ………………………………………..…………………. (3.3)

Gambarr 2.1 Kurva Distribusi Perjalanan


4. Aksesibilitas
= ..………………………………........................................................................... (3.4)

Kemudian berdasarkan persamaan diatas akan dibuat grafik kebutuhan


transportasi QAB (Demand) dan grafik hubungan antara arus lalulintas (SMP/Jam)
dengan trevel time (Menit) untuk setiap skenario yang dibuat.

II-20

Anda mungkin juga menyukai