Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

Dermatofitosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh dermatofita yang


merupakan sekelompok jamur. Pada sebagian besar kondisi memiliki kemampuan
untuk menginfeksi dan bertahan hidup pada kulit keratin yang mati (yaitu, lapisan
atas kulit — lapisan stratum korneum), rambut, dan kuku. Ada bukti bahwa
pengaruh genetik mungkin mempengaruhi terjadinya infeksi dermatofita.1,2,4,6
Adapun klasifikasi genus dari dermatofita yaitu : Microsporum, Trichophyton, dan
Epidermophyton.1
Dermatofita menghasilkan berbagai pola penyakit yang bervariasi sesuai
dengan lokasi dan spesies.1 Tinea berarti infeksi jamur. Secara klinis, infeksi
dermatofita diklasifikasikan berdasarkan daerah tubuh, yaitu2 :
a) Tinea kapitis : dermatofitosis pada kulit kepala dan rambut
b) Tinea barbe : dermatofitosis pada dagu dan jenggot
c) Tinea kruris : dermatofitosis pada daerah genito-krural, sekitar anus,
bokong dan kadang sampai perut bagian bawah
d) Tinea pedis et manum : dermatofitosis pada daerah kaki dan tangan
e) Tinea unguim : dermatofitosis pada daerah kuku
f) Tinea korporis : dermatofitosis pada kulit glabrosa pada bagian lain
tidak termasuk bentuk 5 tinea di atas

Tinea kapitis merupakan dermatofitosis yang mengenai batang tubuh


dengan gambaran klinis adanya ruam eritematosa yang gatal dengan tepi yang
teraba aktif, bersisik, di mana pustula atau vesikel dapat terlihat. Infeksi menyebar
secara sentrifugal dan menghasilkan bercak annular dengan berbagai ukuran,
dengan distribusi asimetris. Tinea capitis biasanya paling sering mengenai anak-
anak dan dewasa muda.3
Infeksi jamur ini pada manusia dapat menyebar dari satu orang ke orang lain
(antropofilik), dari hewan (zoofilik), atau lebih jarang, dari tanah (geofilik).
Dermatofitosis merupakan penyakit infeksi jamur yang paling umum dengan risiko
tertular penyakit ini adalah sekitar 10-20% sepanjang hidup individu.4

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Tinea kapitis adalah kelainan pada kulit dan rambut kepala yang
disebabkan oleh spesies dermatofita. Kelainan ini dapat ditandai dengan
lesi bersisik, kemerah-merahan, alopesia, dan kadang-kadang terjadi
gambaran klinis yang lebih berat, yang disebut kerion.2,4
B. EPIDEMIOLOGI
Tinea capitis dapat ditularkan langsung dari manusia atau hewan
yang terinfeksi, melalui fomites, atau dapat terjadi melalui autoinokulasi
dari reservoir kolonisasi dermatofit pada kaki. Anak-anak lebih
mungkin untuk tertular patogen zoophilic, terutama M. canis, dari anjing
atau kucing.6
Insidens tinea kapitis masih belum diketahui pasti, tersering
dijumpai pada anak-anak 3-14 tahun7 jarang pada dewasa.7,8 Kasus pada
dewasa karena infeksi T. tonsurans dapat dijumpai misalkan pada pasien
AIDS dewasa8. Transmisi meningkat dengan berkurangnya higienis
sanitasi individu, padatnya penduduk, dan status ekonomi rendah.7
Insidens tinea kapitis dibandingkan dermatomikosis di Medan 0,4%
(1996-1998), RSCM Jakarta 0,61-0,87% (1989-1992), Manado 2,2-6%
(1990-1991) dan Semarang 0,2%.9
C. PATOGENESIS
Jamur harus dapat mengatasi pertahanan tubuh non spesifik dan
spesifik untuk dapat menimbulkan suatu penyakit. Jamur harus
mempunyai kemampuan untuk melekat pada kulit dan mukosa pejamu,
serta kemampuan untuk menembus jaringan pejamu, dan juga mampu
bertahan dalam lingkungan pejamu, menyesuaikan diri dengan suhu dan
keadaan biokimia pejamu untuk dapat berkembang biak dan
menimbulkan reaksi jaringan atau radang. Infeksi dermatofit terjadi

2
melalui tiga langkah utama, yaitu: perlekatan pada keratinosit, penetrasi
melewati dan di antara sel, serta pembentukan respon pejamu.10
Dermatofit ektotrik (diluar rambut) infeksinya khas di stratum
korneum perifolikulitis, menyebar sekitar batang rambut dan dibatang
rambut bawak kutikula1 dari pertengahan sampai akhir anagen saja7
sebelum turun ke folikel rambut untuk menembus kortek rambut. Hifa-
hifa intrapilari kemudian turun ke batas daerah keratin, dimana rambut
tumbuh dalam keseimbangan dengan proses keratinisasi, tidak pernah
memasuki daerah berinti. Ujung-ujung hifa-hifa pada daerah batas ini
disebut Adamson’s fringe, dan dari sini hifa-hifa berpolifrasi dan
membagi menjadi artrokonidia yang mencapai kortek rambut dan
dibawa keatas pada permukaan rambut. Rambut-rambut akan patah
tepat diatas fringe tersebut, dimana rambutnya sekarang menjadi sangat
rapuh sekali.
Secara mikroskop hanya artrokonidia ektotrik yang tampak pada
rambut yang patah, walaupun hifa intrapilari ada juga.7
Patogenesis infeksi endotrik (didalam rambut) sama kecuali kutikula
tidak terkena11 dan artrokonidia hanya tinggal dalam batang rambut
menggantikan keratin intrapilari dan meninggalkan kortek yang intak.
Akibatnya rambutnya sangat rapuh dan patah pada permukaan kepala
dimana penyanggah dan dinding folikuler hilang meninggalkan titik
hitam kecil (black dot).7
Infeksi endotrik juga lebih kronis karena kemampuannya tetap
berlangsung di fase anagen ke fase telogen.7
D. GEJALA KLINIS
Manifestasi klinis tergantung etiologinya. :
1. Bentuk non inflamasi, manusia atau epidemik/Gray Patch
Ringworm7.
Umumnya karena jamur ektotriks antropofilik, M. audouinii
di Amerika dan Eropa namun sekarang jarang atau M. ferrugineum
di Asia.7,11

3
Lesi mula-mula berupa papula kecil yang eritematus,
mengelilingi satu batang rambut yang meluas sentrifugal
mengelilingi rambut-rambut sekitarnya. Biasanya ada skuama,
tetapi keradangan minimal. Rambut-rambut pada daerah yang
terkena berubah menjadi abu-abu dan kusam sekunder dibungkus
artrokonidia dan patah beberapa milimeter diatas kepala7,11.
Seringkali lesinya tampak satu atau beberapa daerah yang berbatas
jelas pada daerah oksiput atau leher belakang.
Kesembuhan spontan biasanya terjadi pada infeksi
Microsporum. Ini berhubungan dengan mulainya masa puber yang
terjadi perubahan komposisi sebum dengan meningkatnya asam
lemak-lemak yang fungistatik, bahkan asam lemak yang berantai
medium mempunyai efek fungistatik yang terbesar. Juga bahan
wetting (pembasah) pada shampo merugikan jamur seperti M.
audouinii.11
2. Bentuk inflamasi/Kerion7
Biasanya terlihat pada jamur ektotrik zoofilik (M. canis) atau
geofilik (M. gypseum). Keradangannya mulai dari folikulitis pustula
sampai kerion yaitu pembengkakan yang dipenuhi dengan rambut-
rambut yang patah-patah dan lubang-lubang folikular yang
mengandung pus3. Inflamasi seperti ini sering menimbulkan
alopesia yang sikatrik. Lesi keradangan biasanya gatal dan dapat
nyeri, limfadenopati servikal, panas badan dan lesi tambahan pada
kulit halus.7
3. Tinea Kapitis black dot7
Bentuk ini disebabkan karena jamur endotrik antropofilik,
yaitu T. tonsurans atau T. violaceum. Rontok rambut dapat ada atau
tidak. Bila ada kerontokan rambut maka rambut-rambut patah pada
permukaan kepala hingga membentuk gambaran kelompok black
dot. Biasanya disertai skuama yang difus; tetapi keradangannya
bervariasi dari minimal sampai folikulitis pustula atau lesi seperti

4
furunkel sampai kerion. Daerah yang terkena biasanya banyak atau
poligonal dengan batas yang tidak bagus, tepi seperti jari-jari yang
membuka. Rambut-rambut normal biasanya masih ada dalam
alopesianya.7
E. DIAGNOSIS BANDING
a) Alopesia Areata
Alopesia areata mempunyai tepi
yang eritematus pada stadium
permulaan, tetapi dapat berubah
kembali ke kulit normal11. Juga
jarang ada skuama dan rambut-
rambut pada tepinya tidak patah
tetapi mudah dicabut.12
b) Dermatitis Seboroik
Dermatitis seboroik adalah keradangan
yang biasanya terjadi pada sebelum usia
1 tahun atau sesudah pubertas yang
berhubungan dengan rangsangan
kelenjar sebasia12. Tampak eritema
dengan skuama diatasnya sering
berminyak, rambut yang terkena
biasanya difus, tidak setempat11.
Rambut tidak patah. Distribusi umumnya di kepala, leher dan
daerah-daerah pelipatan. Alopesia sementara dapat terjadi dengan
penipisan rambut daerah kepala, alis mata, bulu mata atau belakang
telinga. Sering tampak pada pasien penyakit syaraf atau
immunodefisiensi.12
Dematitis seboroik pada bayi biasanya bersifat swasirna.5
F. DIAGNOSIS
1. Gejala Klinis
Dipertimbangkan diagnosis tinea kapitis bila1,2 :

5
Pada anak-anak dengan kepala berskuama, alopesia, limfadenopati
servikal posterior atau limfadenopati aurikuler posterior atau kerion.
Juga termasuk pustul atau abses, dissecting cellulitis atau black dot.
2. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan Lampu Wood11
Rambut yang tampak dengan jamur M. canis, M. audouinii dan
M. ferrugineum memberikan fluoresen warna hijau terang oleh
karena adanya bahan pteridin.
Jamur lain penyebab tinea kapitis pada manusia memberikan
fluoresen negatif artinya warna tetap ungu1 yaitu M. gypsium
dan spesies Trichophyton (kecuali T. schoenleinii penyebab
tinea favosa memberi fluoresen hijau gelap). Bahan fluoresen
diproduksi oleh jamur yang tumbuh aktif di rambut yang
terinfeksi.
2. Pemeriksaan sediaan KOH
Kepala dikerok dengan objek glas, atau skalpel no.15. Juga kasa
basah digunakan untuk mengusap kepala, akan ada potongan
pendek patahan rambut atau pangkal rambut dicabut yang
ditaruh di objek glas selain skuama, KOH 20% ditambahkan dan
ditutup kaca penutup. Hanya potongan rambut pada kepala harus
termasuk akar rambut, folikel rambut dan skuama kulit. Skuama
kulit akan terisi hifa dan artrokonidia. Yang menunjukkan
elemen jamur adalah artrokonidia oleh karena rambut-rambut
yang lebih panjang mungkin tidak terinfeksi jamur. Pada
pemeriksaaan mikroskop akan tampak infeksi rambut ektotrik
yaitu pecahan miselium menjadi konidia sekitar batang rambut
atau tepat dibawah kutikula rambut dengan kerusakan kutikula.
Pada infeksi endotrik, bentukan artrokonidia yang terbentuk
karena pecahan miselium didalam batang rambut tanpa
kerusakan kutikula rambut11.

6
3. Kultur
Memakai swab kapas steril yang dibasahi akua steril dan
digosokkan diatas kepala yang berskuama atau dengan sikat gigi
steril dipakai untuk menggosok rambut-rambut dan skuama dari
daerah luar di kepala, atau pangkal rambut yang dicabut
langsung ke media kultur11. Spesimen yang didapat dioleskan
di media Mycosel atau Mycobiotic (Sabourraud dextrose
agar + khloramfenikol + sikloheksimid) atau Dermatophyte test
medium (DTM). Perlu 7 - 10 hari untuk mulai tumbuh
jamurnya7. Dengan DTM ada perubahan warna merah pada hari
2-3 oleh karena ada bahan fenol di medianya, walau belum
tumbuh jamurnya berarti jamur dematofit positif.
G. TATALAKSANA
1. Terapi Utama
Pengobatan yang ideal dan cocok untuk anak-anak adalah sediaan
bentuk likuid, terasa enak, terapi singkat, keamanan yang baik dan
sedikit interaksi antar obat.
a. Tablet Griseofulvin
Sebagai Gold Standard3
Dosis :
1) Tablet microsize (125, 250, 500mg)
20 mg / Kg BB/hari, 1-2 kali/hari selama 6-12 minggu
2) Tablet ultramicrosize (330mg)
15 mg/Kg BB/hari, 1-2 kali/hari selama 6-12 minggu
Diminum bersama susu atau es krim oleh karena absorbsinya
dipercepat dengan makanan berlemak.
Semua baik untuk Microsporum maupun Trichophyton.
Pemberian pertama untuk 2 minggu kemudian dilakukan
pemeriksaan lampu Wood, KOH dan kultur. Bila masih ada yang
positif maka sebaiknya dosis dinaikkan. Bila hasil negatif maka
obat diteruskan sampai 6 minggu. Bila hasil kultur negatif terbaik

7
diteruskan 4-6 minggu. Pemeriksaan laboratorioum rutin tidak
diperlukan.
Kegagalan pengobatan tinea kapitis dengan griseofuvin dapat
disebabkan karena :
- dosis tidak adekuat (sebab tersering), maka sebaiknya dosis
dinaikkan dapat sampai 25 mg/Kg BB/ hari terutama untuk
kasus sulit sembuh,
- pasien tidak patuh,
- gangguan absorbsi pencernaan,
- Interaksi obat;bersamaan phenobarbital mengurangi absorbsi
griseofuvin menyebabkan kegagalan terapi,
- jenis dermatofit yang resisten terhadap griseofuvin,
- terjadi reinfeksi terutama dari anggota keluarga atau teman
bermain.
2. Kapsul Itrakonazol (100 mg)
1) dosis 3-5 mg/Kg BB/hari selama 4-6 minggu
2) Terapi denyut
dosis 5 mg/Kg BB/ hari selama 1 minggu, istirahat 2
minggu/siklus bila belum sembuh diulang dapat sampai 2-3
siklus. Bersifat fungisidal sekunder oleh karena terjadi
fungitoksik

Minumnya kapsul bersama mentega kacang, atau saus apel dan


dilanjutkan dengan jus buah. Sama efektifnya untuk karena
Microsporum canis maupun Trichophyton.

Tidak boleh diminum bersama antasida atau H2 blocker oleh karena


absorbsinya perlu suasana asam.

Bila diberikan bersama phenytoin dan H2 antagonis akan


meningkatkan kadar kedua obat tersebut. Sedang kadar Itrakonazol
akan lebih rendah bila diberikan bersamaan rifampisin, isoniasid,
phenytoin dan karbamazepin.

8
Monitor laboratorium fungsi hepar dan darah lengkap bila
pemakaian lebih 4 minggu.

3. Tablet Terbinafin (tablet 250 mg)

- bersifat fungisidal primer terhadap dermatofit


- dosis 3-6mg/KgBB/ hari selama 4 minggu :
< 20 mg : 62,5 mg (1/4 tablet)/ hari

20-40 mg : 125 mg (1/2 tablet)/ hari

> 40 mg : 250 mg/ hari

Bila karena M. canis perlu 6-8 minggu, lebih sukar untuk dibasmi
daripada karena Trichophyton oleh karena virulensinya atau karena
infeksi ektotriknya masih belum diketahui.

Diberikan untuk anak umur > 2 tahun. Monitor laboratorium fungsi


liver dan darah lengkap diperiksa bila pemakaian lebih 6 minggu.

2. Terapi Ajuvan
a. Shampo
Shampo obat berguna untuk mempercepat penyembuhan, mencegah
kekambuhan dan mencegah penularan, serta membuang skuama dan
membasmi spora viabel, diberikan sampai sembuh klinis dan
mikologis :
1) Shampo selenium zulfit 1% - 1,8%
dipakai 2-3 kali/ minggu didiamkan 5 menit baru dicuci.
2) Shampo Ketokonazole 1% - 2%
dipakai 2-3 kali/ minggu didiamkan 5 menit baru dicuci
3) Shampo povidine iodine
dipakai 2 kali / minggu selama 15 menit

Setelah menggunakan shampo diatas maka dianjurkan memakai


Hair Conditioner dioleskan dirambutnya dan didiamkan satu menit
baru dicuci air. Hal ini untuk membuat rambut tidak kering.

9
Juga shampo ini dipakai untuk karier asimptomatik yaitu kontak
dekat dengan pasien, seminggu 2 kali selama 4 minggu. Karena
asimptomatik lebih menyebarkan tinea kapitis disekolah atau
penitipan anak yang kontak dekat dengan karier daripada anak-anak
yang terinfeksi jelas.

b. Terapi Kerion
Pengobatan optimal kerion tidak jelas apakah perlu dengan obat oral
antibiotika dan kortikosteroid sebagai terapi ajuvan dengan
griseofulvin. Beberapa penelitian menyatakan :
1) kerion lebih cepat kempes dengan kelompok yang menerima
griseofulvin saja
2) sedangkan skuama dan gatal lebih cepat bersih / hilang dengan
kelompok yang menerima ke 3 obat yaitu griseofuvin,
antibiotika dan kortikosteroid oral7
3) Kortikosteroid oral mungkin menurunkan insiden sikatrik. Juga
bermanfaat menyembuhkan nyeri dan pembengkakan. Dosis
prednison 1 mg/Kg BB/pagi untuk 10-15 hari pertama terapi
4) Pemberian antibiotika dapat dipertimbangkan terutama bila
dijumpai banyak krusta.
H. PROGNOSIS
Tinea kapitis tipe Gray patch sembuh sendirinya dengan waktu,
biasanya permulaan dewasa. Semakin meradang reaksinya, semakin
dini selesainya penyakit, yaitu yang zoofilik (M. canis, T.
mentagrophytes dan T. verrucosum)11. Infeksi ektotrik sembuh
selama perjalanan normal penyakit tanpa pengobatan. Namun pasien
menyebarkan jamur penyebab kelain anak selama waktu infeksi.
Sebaliknya infeksi endotrik menjadi kronis dan berlangsung
sampai dewasa. T. violacaum, T. tonsurans menyebabkan infeksi tetap,
pasien menjadi vektor untuk menyebarkan penyakit dalam keluarga dan
masyarakat1, pasien seharusnya cepat diobati secara aktif untuk
mengakhiri infeksinya dan mencegah penularannya.

10
I. EDUKASI
1. Mencari binatang penyebab dan diobati di dokter hewan untuk
mencegah infeksi pada anak-anak lain.
2. Mencari kontak manusia atau keluarga, dan bila perlu dikultur
3. Anak-anak tidak menggunakan bersama sisir, sikat rambut atau topi,
handuk, sarung bantal dan lain yang dipakai dikepala.
4. Anak-anak kontak disekolah atau penitipan anak diperiksakan ke
dokter/ rumah sakit bila anak-anak terdapat kerontokan rambut yang
disertai skuama. Dapat diperiksa dengan lampu Wood.
5. Pasien diberitahukan bila rambut tumbuh kembali secara pelan, sering
perlu 3-6 bulan. Bila ada kerion dapat terjadi beberapa sikatrik dan
alopesia permanen.
6. Mencuci berulang kali untuk sisir rambut, sikat rambut, handuk,
boneka dan pakaian pasien, dan sarung bantal pasien dengan air panas
dan sabun atau lebik baik dibuang12.
7. Begitu pengobatan dimulai dengan obat anti jamur oral dan shampo,
pasien dapat pergi ke sekolah.
8. Tidak perlu pasien mencukur gundul rambutnya atau memakai
penutup kepala.

11
BAB III
LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien
Nama : MGB
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 9 tahun
Pekerjaan : Siswa
Tanggal Periksa : 25-10-2019
Alamat : Kab. Soppeng
B. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada pasien dan alloanamnesis
ke ibu pasien pada tanggal 25-10-2019 di Balai Kesehatan Kulit, Kelamin,
dan Kosmetika Makassar.
1. Keluhan Utama :
Gatal di area kepala
Riwayat Penyakit

Pasien laki-laki berusia 9 tahun datang ke Balai Kesehatan Kulit,


Kelamin, dan Kosmetika, Kota Makassar, bersama ibunya dengan
keluhan gatal dan terjadi kebotakan di area kepala yang gatal sejak 2
minggu yang lalu. Keluhan gatal hanya muncul ketika penderita berada
di tempat spesifik saja (tempat mengaji penderita). Menurut ibunya, awal
munculnya 6 bulan yang lalu, pernah sembuh dengan pemberian obat
antijamur, berobat di RS Daerah tempat tinggalnya, bahkan rambut
sempat tumbuh kembali. Kedatangannya hari ini karena keluhan
penyakit kembali untuk yang ketiga kalinya.

2. Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat penyakit seperti ini : pernah dua kali sembuh total
tetapi terjadi relapse
 Riwayat Alergi : disangkal
 Riwayat Pengobatan : Pernah

12
3. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada.
C. Pemeriksaan Fisik
Status Dermatologis :
Lokasi : Skalp
Effloresensi : Skuama (+), Alopesia areata

D. Pemeriksaan kerokan kulit (KOH)


Dilakukan pengambilan kerokan kulit pada pasien, lalu di beri
tetesan KOH 20% diatas kaca objek, kemudian dilakukan pemeriksaan di
bawah mikroskop, dan di dapatkan hasil adanya hifa panjang dan spora yang
tersebar pada sediaan kerokan kulit pasien.

13
E. Tatalaksana
1. Ketokonazole 1x100 mg
2. Cetirizine 1x1/2 10mg
3. Asam salisilat
F. Diagnosis
Tinea Capitis
G. Diagnosis Banding
1. Alopesia Areata
2. Dermatitis Seboroik
3. Psoriasis
H. Resume
Pasien laki-laki berusia 9 tahun datang ke Balai Kesehatan Kulit,
Kelamin, dan Kosmetika, Kota Makassar, bersama ibunya dengan keluhan
gatal dan terjadi kebotakan di area kepala yang gatal. Keluhan gatal hanya
muncul di tempat spesifik saja (tempat mengaji penderita). Lesi berupa
skuama yang terbatas di regio skalp. Sebelumnya pasien telah mendapatkan
terapi antijamur dan sempat sembuh (bagian yang botak ditumbuhi kembali
rambut), tetapi menurut Ibunya, ini ketiga kali pasien rambut rontok dan
kembali gatal, dengan membawa penderita ke dokter pertama kali enam
bulan yang lalu. Riwayat penyakit keluarga dengan keluhan yang sama tidak
ada dan pasien juga mengaku tidak memiliki riwayat alergi.
I. Prognosis
1. Ad vitam : bonam
2. Ad Functionam : bonam
3. Ad sanationam : bonam
J. Edukasi
Menjaga kebersihan diri (menggunakan shampoo ketika mandi),
tidak menggunakan pemakaian handuk bersama dengan orang lain,
menggunting kuku.

14
BAB IV

PEMBAHASAN

Dermatofitosis adalah penyakit yang disebabkan oleh dermatofita yang


merupakan sekelompok jamur yang menghasilkan berbagai pola penyakit yang
bervariasi sesuai dengan lokasi dan spesies.1 Tinea capitis merupakan
dermatofitosis yang mengenai batang tubuh dengan gambaran klinis adanya ruam
eritematosa dengan tepi yang teraba aktif, bersisik, bagian tengah nampak normal
“central healing”, di mana pustula atau vesikel dapat terlihat. Pasien juga akan
mengeluhkan gatal terutama saat berkeringat.3,5
Sesuai dengan kepustakaan, hasil anamnesis dan pemeriksaan pada pasien
ini didapatkan adanya keluhan gatal sejak 2 minggu yang lalu, Lesi pada regio
skalp, dengan keluhan gatal saat di tempat tertentu saja. Effloresensi didapatkan
adanya lesi yang berbatas tegas eritema dengan skuama tipis di bagian tepi lesi.

Untuk menegakkan diagnosis diperlukan pemeriksaan kerokan kulit (KOH)


untuk mengetahui penyebab penyakit. Pada hasil pemeriksaan akan di dapatkan
gambaran hifa panjang dan spora.2 Pada kasus ini, pasien dilakukan pengambilan
kerokan kulit pada lesi di regio skalp, kemudian diperiksa di bawah mikroskop
setelah ditetesi dengan larutan KOH. Hasil yang didapatkan pada pemeriksaan
kerokan kulit pasien yaitu adanya gambaran hifa dan spora yang tersebar pada
sedian kerokan kulit pasien.

Dalam hal ini, pasien diberikan terapi sistemik yaitu ketokonazole sediaan 100
mg, di mana obat tersebut merupakan obat golongan antijamur. Selain itu, pasien
juga diberikan certirize untuk mengatasi keluhan gatal yang dirasakan. Certirizine
merupakan anti histamin 1 generasi kedua. Anti histamin ini bekerja long acting
dan memiliki efek nonsedasi, walaupun di beberapa orang dapat menyebabkan
kantuk. Menurut kepustakaan, pengobatan yang ideal dan cocok untuk anak-anak
adalah sediaan bentuk likuid, terasas enak, terapi singkat, dengan pilihan obat first
line adalah Griseofulvin, kemudian Itrakonazol atau Terbinafin, serta pneggunaan
shampo selenium sebagai terapi tambahan.

15
Selanjutnya pasien diberikan edukasi untuk senantiasa menjaga kebersihan
diri, tidak menggunakan pemakaian sisir secara bersama, mendeteksi jika ada
kemungkinan kontak dengan binatang di tempatnya beraktivitas.

16
BAB V
KESIMPULAN
Tinea capitis merupakan kelainan kulit yaitu adanya lesi bulat atau
lonjong, berbatas tegas yang terdiri atas eritema, skuama, kadang-kadang dengan
vesikel dan papul di bagian tepinya. Daerah tengah biasanya terdapat central
healing. Bila terjadi garukan, kadang-kadang akan ditemukan erosi dan krusta.2
Untuk menunjang diagnosis tinea capitis, dilakukan pemeriksaan KOH
untuk melihat adanya jamur. Selain pemeriksaan KOH, kultur juga dapat dilakukan
untuk mengetahui spesies jamur apa yang menyerang pasien.

Pemberian terapi topikal dan sistemik dilakukan dalam pengobatan


penyakit dermatofitosis, kemudian dilakukan kontrol untuk melihat apakah ada
perubahan atau tidak.

17
DAFTAR PUSTAKA
1. Habif TP. Clinical dermatology A Color Guide to Diagnosis and Therapy -
Sixth Edition. Elsevier; 2016. p : 487-490, 504-515.
2. Widaty S., Budimuja U. Dermatofitosis. dalam: Menaldi SLSW, Bramono
K, Indriatmi W (editors). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, edisi ke 7.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2018. Hal : 109-16.
3. Moriarty, B., Hay, R., Morris-Jones, R. The diagnosis and management of
tinea. BMJ, Vol 345; 2012. p : 37-42
4. Welsh O., M. Gonzalez G. Dermatophytosis (Tinea) and Other Superficial
Fungal Infections. Springer International Publishing Switzerland; 2015. p :
245-57
5. Widaty S, Soebono H, Nilasari H dkk. Panduan Praktis Klinis Bagi Dokter
Spesialis Kulit dan Kelamin di Indonesia. PERDOSKI; 2017 Hal: 15-8, 50-
5,
6. Lauren N, Craddock & Stefan M, Schieke. Superficial fungal infection, In :
Kang S, Amagai M, Bruckner AL, et al (editors). Fitzpatrick’s Dermatology
9th Ed. McGraw Hill Companies. New York; 2019. P : 2925-49.
7. Kurniati, Rosita SP. Etiopatogenesis Dermatofitosis. Vol. 20 No. 3. Dept.
SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK Unair/RSU Dr. Soetomo
Surabata. 2008. Hal : 243-50.
8. Nelson MM, Martin AG, Heffernan MP. Superficial Fungal Infection :
Dermatophytosis. Dalam : Freedberg IM, Eisen AZ, Woff K, dll.
Fitzpatrick’s Dermatology 9th Ed. McGraw Hill Companies. New York. P.
1989-2005
9. Jacoeb TNA. Dermatitis Seboroik dalam : Menaldi SLSW, Bramono K,
Indriatmi W (editors). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, edisi ke 7. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2018. Hal. 232-3
10. Soepardiman L, Legiawati L. Kelainan Rambut, Alopesia Areata (AA)
dalam : Menaldi SLSW, Bramono K, Indriatmi W (editors). Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin, edisi ke 7. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2018. Hal. 374-7.

18
11. Kwatra SG, Loss M. Other Topical Medications. Dalam : Freedberg IM,
Eisen AZ, Woff K, dll. Fitzpatrick’s Dermatology 9th Ed. McGraw Hill
Companies. New York. Hal. 3619-20.
12. Otberg N, Shapiro J. Dalam : Freedberg IM, Eisen AZ, Woff K, dll.
Fitzpatrick’s Dermatology 9th Ed. McGraw Hill Companies. New York.
Hal. 1517-22.

19

Anda mungkin juga menyukai