CG Pentingnya Konsep Kepercayaan
CG Pentingnya Konsep Kepercayaan
CG Pentingnya Konsep Kepercayaan
Konsepsi kepercayaan (trust) merupakan posisi titik tolak awal yang baik,
sehingga memiliki dasar yang kuat, dalam menemukan paradigma baru Corporate
Governance (CG). Secara lebih eksplisit dalam konteks ini Clarke (2008) menjelaskan
bahwa "trust was at the center of social and economic activity since the birth of
civilization, and before." Dalam kaitan ini terdapat dua sisi trust yang harus dipahami
secara baik; kepercayaan dari sisi pihak yang memberikan amanah, dan kepercayaan
dari yang menerima amanah di sisi lainnya. Konsepsi trust dalam hal ini berhubungan
dengan ekspektasi atau harapan seseorang terhadap perilaku orang lain dalam
melakukan hubungan bisnis. Dari sudut CG, kepercayaan ini berhubungan dengan
perilaku korporasi (corporate behavior) serta perilaku pengurus perseroan (individual
behavior) baik sebagai anggota dewan komisaris atau sebagai direksi. Interaksi
individu di dalam mengelola dan mengawasi berjalannya korporasi secara agregat
akan mempengaruhi kebijakan korporasi serta akhirnya akan membentuk karakter
organisasi dalam perilakunya.
Peranan konsepsi trust dalam pengembangan CG ke depan perlu memperoleh
perhatian, terutama jika dihubungkan dengan prinsip akuntabilitas dalam korporasi
modem, Amanah yang diberikan oleh pemegang saham sebagai pemilik perusahaan
untuk mengawasi manajemen yang akan menjalankan operasional perusahaan,
berada pada kelembagaan BOD khususnya anggota BOD. Menurut Covey (2006)
konsepsi trust merupakan fungsi dari dua komponen utama yang terdiri dari karakter
(character) dan kompetensi (competence). Karakter merupakan kriteria yang
berhubungan dengan doing the right things terdiri dari elemen seperti: integritas, motif
dan niat dalam berhubungan dengan orang lain. Sehingga karakter dalam konteks
trust bersifat konstan (tidak situasional) dan dibutuhkan untuk menjaga kepercayaan
dalam kond isi atau situasi apa pun. Sementara itu, kompetensi berhubungan dengan
upaya get the right things done dengan elemen utama kapabilitas, keahlian, kinerja,
dan track record seorang individu. Namun demikian, berbeda dengan karakter,
kompetensi bersifat situasional dan sangat ditentu kan oleh kebutuhan berdasarkan
situasi atau kondisi tertentu. Dalam kaitan ini maka kedua komponen trust dapat
dianggap sebagai dua sisi dari satu koin yang sama dan akan berpengaruh terhadap
perilaku individu dalam sebuah organisasi atau korporasi. Hal ini pada akhinya
mempengaruhi perilaku korporasi dan persepsi pasar dalam membentuk trust
terhadap korporasi tersebut, sehingga lebih lanjut mempengaruhi efektivitas CG.
Fukuyama (1995) melakukan penelitian yang komprehensif terkait struktur
sosial kemasyarakatan dalam hubungannya dengan konsepsi trust di berbagai
negara. Peneliti ini membagi berbagai negara menjadi dua kelompok berdasarkan
kriteria trust, yaitu: high-trust society dan low-trust society. Kelompok masyarakat
dengan tingkat kepercayaan tinggi ditemukan pada berbagai negara maju seperti
Amerika, Jerman, dan Jepang, ditandai dengan ditemukannya berbagai perusahaan
swasta berskala besar di dalam perekonomian negara tersebut. Sementara itu, pada
kelompok masyarakat dengan karakteristik tingkat kepercayaan rendah, lazimnya
pada perekonomian negara mereka ditemukan banyak perusahaan dengan skala
kecil, serta dikelola dan operasionalisasinya dilakukan oleh keluarga sehingga lazim
ditemukan dominasi perusahaan keluarga. Fukuyama (1995) memberikan contoh
negara memiliki kategori low trust society, dengan karakteristik tersebut sebagaimana
lazim ditemukan pada negara Prancis, Itali, China, Taiwan, dan Korea Selatan.
Walaupun penelitian ini tidak secara eksplisit menyebutkan Indonesia, namun
karakteristik berdasarkan perusahaan yang dijelaskan di atas menempatkan
Indonesia sebagai masyarakat low-trust society. Dalam kaitan ini secara lebih jelas
kelompok masyarakat dengan ciri demikian memiliki sifat lain seperti tidak mudah
untuk memiliki dan memberikan kepercayaan kepada pihak lain di luar keluarga
mereka. Untuk konteks Indonesia, sebagaimana telah dibahas pada bagian
sebelumnya, hal ini juga berhubungan dengan budaya patrimonialisme: memberikan
penekanan kepada hierarki keluarga, pentingnya peranan solidaritas dalam kelompok
keluarga, serta koneksi jaringan sosial berbasiskan kekeluargaan (kin-based). Dalam
konteks CG penelitian Lukviarman (2004) menemukan bahwa kepentingan keluarga
menjadi dasar otoritas legitimasi utama dan nilai-nilai tradisional kekeluargaan
menjadi aturan yang lebih dominan dibandingkan dengan aturan legal-formal yang
ter-institusionalisasi. Dengan dasar demikian maka pada berbagai negara dengan
kategori low-trust society lazim ditemukan berbagai perusahaan, termasuk pada
perusahaan terbuka dengan kepemilikan terkonsentrasi berbasiskan keluarga.
Fenomena serupa dengan uraian tersebut, juga lazim ditemui pada riset terkait CG di
Indonesia. Berbagai penelitian didominasi oleh: (a) penggunaan teori keagenan (the
agency theory), (b) metodologi kuantitatif (quantitative methodology), (c) melalui
pendekatan positivistik (positivist approach), (d) dan dilakukan pada sektor dan konten
terkait dengan perusahaan terbuka yang terdaftar di pasar modal (firm level). Semua
ciri tersebut umumnya ditemukan pada berbagai penelitian yang berhubungan dengan
mekanisme CG di negara maju menggunakan model Anglo-Saxon. Kesamaan
tersebut diduga karena berbagai penelitian CG di Indonesia menggunakan acuan
referensi konseptual maupun metodologikal serta penelitian empirik di berbagai
negara maju. Proses adopsi dan adaptasi terhadap konten dan konteks negara maju
tersebut untuk diaplikasikan pada penelitian di Indonesia, perlu menjadi perhatian
untuk menjaga rigorous research. Dengan struktur governance sebagai konsekuensi
dari legal system yang berbeda, perlu dilakukan penyesuaian dengan memperhatikan
regulasi dan budaya yang akan mempengaruhi perilaku korporasi di Indonesia.
Untuk aktivitas riset dalam bidang CG di masa depan, dipercaya akan terjadi
perkembangan yang progresif dengan cakupan lebih luas serta subjek kajian yang
semakin variatif serta sesuai dengan dinamika perkembangan CG. Menurut Brennan
dan Solomon (2008), perkembangan riset CG untuk masa depan akan tetap
didominasi oleh pendekatan akuntansi dan keuangan (accounting and finance
approach) dengan arah pengembangan kepada penggunaan teori lainnya disamping
dominasi teori keagenan. Dalam kaitan ini mereka menyiapkan kerangka referensi
untuk pengembangan berbagai penelitian governance di masa depan berdasarkan
pemahaman mendalam terhadap berbagai literatur CG sebagai dasar analisis.
Kerangka analitis yang dikembangkan oleh Brennan dan Solomon (2008)
berdasarkan kepada beberapa elemen utama berikut: (a) berdasarkan konsep teori,
(b) mekanisme CG, (c) metodologi, (d) sektor bisnis/industri atau konteks penelitian,
(e) dampak globalisasi, dan rentang waktu. Kerangka yang berisi seperangkat elemen
yang ditawarkan tersebut ditujukan untuk membantu peneliti dalam mengembangkan
pemahaman untuk memperluas perspektif teori, cakupan mekanisme yang semakin
luas, penggunaan pendekatan metodologis yang semakin beragam melalui
seperangkat teknik analisis, memahami mekanisme governance dari sektor/konteks
yang berbeda, serta memperlebar cakupan waktu penelitian. Bagian berikut akan
membahas setiap dimensi yang membentuk kerangka analitis penelitian CG di masa
depan sebagaimana diprediksi oleh Brennan dan Solomon (2008).