Anda di halaman 1dari 2

GANGGUAN JIWA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA

Ilmu kedokteran jiwa (Psikiatri) sebagai ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia (human behavior)
dalam hal-hal yang abnormal dengan berbagai motifnya kian lama menduduki tempat yang paling
penting. Ilmu ini mengkhususkan diri pada kasus gangguan jiwa yang berhubungan dengan tindak
criminal yang dilakukan oleh yang disangka atau didakwa melakukan tindak criminal tersebut dimana
yang bersangkutan itu dalam keadaan terganggu jiwanya.

Dalam perkembangan pembentukan kepribadian seorang manusia, maka peranan orang tua amat
penting di samping lingkungan dimana individu itu dibesarkan. Untuk pertumbuhan jasmani yang
sempurna dibutuhkan gizi makanan yang cukup dan bergizi. Karena sejatinya jiwa yang sehat terdapat
didalam tubuh yang sehat pula. Salah satu gizi mental atau emosional bagi pertumbuhan jiwa anak yang
sehat adalah kebutuhan akan perasaan aman dan terlindungi, apabila anak merasa kurang aman dan
kurang terlindungi maka anak tersebut akan mengalami insecurity feeling, dimana ia berada pada fase
deprivasi emosional (menurut ilmu jiwa). Keadaan demikian tidak jarang menjurus kepada terjadinya
berbagai bentuk kelainan kepribadian yang menjelma dalam bentuk tingkah laku dari yang ringan
sampai kepada yang berat, seperti mengganggu ketertiban umum dan melakukan tindak pidana.

Salah satu kelainan kepribadian sebagai akibat deprivasi emosional misalnya disebut dengan corak
kepribadian psikoptik (psychopathic personality) atau individu yang mengalami cacat kepribadian
psikopatik itu tidak dapat dikatakan sakit, tapi juga tidak dapat dikatakan sehat. Mereka pada umumnya
menunjukan tingkah laku anti social dan besar kemungkinan mereka menjadi calon pelaku tindak
pidana.1

Orang yang menderita psikosa atau gangguan jiwa pada saat melakukan tindak pidana, dalam hukum
pidana ada istilah “alas an pemaaf” yang dapat menghilangkan kesalahan seseorang yang melakukan
suatu tindak pidana sehingga tidak dapat dipidana. Mengenai alasan pemaaf dapat dilihat dari bunyi
Pasal 44 ayat (1) KUHP: “Tiada dapat dipidana barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan yang tidak
dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, sebab kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal.” 2
Menurut R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta
Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 60-61) sebab tidak dapat dihukumnya terdakwa
berhubung perbuatannya tidak dapat dipertanggung-jawabkan kepadanya adalah karena

a. Kurang sempurna akalnya. Yang dimaksud dengan perkataan “akal” di sini ialah kekuatan
pikiran, daya pikiran, dan kecerdasan pikiran. Orang dapat dianggap kurang sempurna akalnya,
misalnya: idiot, imbicil, buta-tuli, dan bisu mulai lahir. tetapi orang-orang semacam ini
sebenarnya tidak sakit, tetapi karena cacat-cacatnya sejak lahir, maka pikirannya tetap sebagai
kanak-kanak.

1
Abdul Mun’im Idries, cs.(1985) Ilmu Kedokteran Kehakiman. Jakarta. Gunung Agung. Hal 104
2
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 44 Ayat (1)
b. sakit berubah akalnya. yang dapat dimasukkan dalam pengertian ini misalnya: sakit gila, histeri
(sejenis penyakit saraf terutama pada wanita), epilepsi, dan bermacam-macam penyakit jiwa
lainnya.3

Sebagaimana dikatakan Abdul Mun’im Idries bahwa orang yang menderita psikosa melakukan tindak
pidana tanpa disadari dapat dibagi dalam :4

a. Mereka yang melakukan tindak pidana karena menderita penyakit syaraf, yaitu epilepsy. Taraf
kesadarannya berubah, dalam kesadaran yang berubah itu yang bersangkutan dapat melakukan
tindak pidana, misalnya membunuh. Jika kesadarannya kembali maka ia tidak ingat apa yang
telah dilakukannya. Gejalanya tampak seperti psikosa
b. Mereka yang melakukan tindak pidana tanpa disadari karena taraf kesadarannya menurun,
biasanya yang sedang menderita penyakit jasmani dimana suhu tubuh amat tinggi, sehingga
menurunkan taraf kesadarannya dalam stadium delirium. Keadaan ini disebut “amentia” yaitu
suatu keadaan halusinatorik akut, dengan kesadaran yang merendah dan yang biasanya
disebabkan karena etiologi organo-biologik, kacau balau fungsi kepribadiannya.
c. Golongan orang yang melakukan tindak pidana yang disebabkan gangguan jiwa yang tergolong
psikosa fungsionil atau istilah lainnya “gila”. Dalam hal ini taraf kesadaran fisik masih baik
(compos mentis), tetapi kesadaran mental nya terganggu.

Kesimpulannya ialah ilmu jiwa criminal mempelajari tingkah laku yang abnormal karena didukung oleh
pikiran yang tidak sehat, yang pada anak terjadi karena perkembangan pembentukan kepribadiannya
tidak baik karena peran orang tua tidak maksimal dalam membentuk karaktek kepribdian dan perilaku
anak.

3
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt515e437b33751/apakah-seorang-yang-gila-bisa-dipidana.
Diakses pada tanggal 5 Agustus 2019. Pukul 23.12 WIB
4
Abdul Mun’im Idries, cs.(1985) Ilmu Kedokteran Kehakiman. Jakarta. Gunung Agung. Halaman 104-106

Anda mungkin juga menyukai