KESEHATAN MENTAL
(Tinjauan Psikologi Forensik)
1
Program Studi Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas
Muhammadiyah Purwokerto
2
Program Studi Bimbingan dan Konseling, Fakultas Pendidikan,
Universitas Teknologi Yogyakarta
Abstrak
PENDAHULUAN
Masyarakat hidup dengan norma-norma yang sangat berpengaruh di dalam
menentukan perilakunya. Norma-norma tersebut berfungsi untuk menjaga
ketertiban dan keserasian di dalam kehidupan bersama. Pada norma-norma
tersebut terdapat norma hukum.
Hukum adalah cermin dari manusia yang hidup. Hukum itu lahir oleh
manusia dan untuk menjamin kepentingan dan hak-hak manusia itu sendiri. Pada
dasarnya hukum berfungsi untuk mewujudkan ketertiban, stabilitas, keadilan dan
menciptakan masyarakat yang cerdas dan beradab. Kemudian, asas dasar negara
hukum adalah terlindunginya kehidupan individu dan kelompok, tidak adanya
kesewenang-wenangan, serta pemberlakuan hukum yang tidak pandang bulu.
Pada kenyataannya dalam praktek penerapan hukum di Indonesia, masih
sering terdapat ketimpangan yang terwujud dalam diberlakukannya hukum positif
yang sama pada semua orang dengan kasus hukum tanpa melihat kondisi
kejiwaan masing-masing. Misalnya untuk tersangka, apakah orang itu mengalami
gangguan kesehatan mental atau tidak.
Gejala gangguan kesehatan mental mencakup mulai dari gangguan
kecemasan, depresi, panik hingga gangguan jiwa yang berat seperti schizoprenia
hingga pada tindakan bunuh diri, yang saat ini semakin mewabah di tengah
masyarakat. World Health Organization/ WHO mengangkat beberapa jenis
gangguan seperti schizoprenia, alzheimer, epilepsy, keterbelakangan mental dan
ketergantungan alkohol dinyatakan perlu mendapatkan perhatian.
Sururin (2004) mengemukakan, gangguan kesehatan mental akan
menentukan tanggapan seseorang terhadap suatu persoalan dan kemampuannya
untuk menyesuaikan diri. Gangguan kesehatan mental juga akan menentukan,
apakah seseorang akan mempunyai kegairahan untuk hidup, atau akan pasif/tidak
bersemangat. Sebaliknya individu yang sehat mentalnya adalah individu yang
terhindar dari gangguan dan penyakit jiwa, dapat menyesuaikan diri, sanggup
menghadapi masalah-masalah dan kegoncangan-kegoncangan, adanya keserasian
fungsi jiwa, dan merasa bahwa dirinya berharga, berguna, dan berbahagia serta
dapat menggunakan potensi-potensi yang ada semaksimal mungkin.
Jumlah penderita gangguan kesehatan mental berat di Indonesia cukup
memprihatinkan, yakni mencapai 6 juta orang atau sekitar 2,5% dari total
penduduk, yang bukan tidak mungkin dari jumlah tersebut adalah orang dengan
kasus hukum yang akan diproses hukum secara normatif.
Melihat seseorang dengan gangguan kesehatan mental tidak memiliki
kemampuan tanggapan yang baik dalam menghadapi persoalan, tidak mampu
menyesuaikan diri dan memiliki kekurangan-kekurangan lainnya dibandingkan
dengan orang yang sehat secara mental, maka seharusnya hukumpun perlu
mendekatinya dengan perspektif kejiwaannya. Untuk itulah maka pendekatan
108
Dyah Siti Septiningsih & Ulfa Amalia, Keadilan Hukum bagi Orang dengan Gangguan....
109
Dyah Siti Septiningsih & Ulfa Amalia, Keadilan Hukum bagi Orang dengan Gangguan....
110
Dyah Siti Septiningsih & Ulfa Amalia, Keadilan Hukum bagi Orang dengan Gangguan....
1. Tidak ada yang diberi hak untuk membela diri, kecuali pihak yang
bersangkutan adalah seorang pengacara hukum yang memenuhi syarat untuk
praktek hukum;
2. Apapun transaksi antara pengacara, pembela dan jaksa dilarang;
3. Seseorang memiliki sikap benar-benar pasif yaitu dibela oleh pengacara, dan
terdapat fakta bahwa tidak dalam kondisi secara aktif bekerja sama dengan
pembela;
4. Seseorang dapat didakwa dan diadili, atau dapat melarikan diri serta absen dari
gedung pengadilan.
Kanada
Suatu prinsip dasar hukum pidana Kanada adalah bahwa terdakwa harus
kompeten atau cocok untuk diadili. Tujuan utama ketentuan kesehatan mental
adalah secara substansial menurunkan jumlah waktu terdakwa dalam tahanan.
Berdasarkan hukum Kanada, penilaian kesehatan mental mengevaluasi hal
berikut:
1. Kondisi mental terdakwa untuk menentukan apakah ia memiliki gangguan
mental atau tidak;
2. Adanya gangguan dalam satu atau lebih kapasitas fungsional yang berkaitan
dengan kemampuan hukum yang diperlukan untuk diadili. Jika penilaian
menentukan bahwa terdakwa saat diperiksa memiliki gangguan kemampuan
psikologis, gangguan mental, dan gangguan kemampuan sebagai hasil dari
gangguan mental, maka terdakwa dapat dikategorikan tidak layak untuk diadili.
Indonesia
Di Indonesia terdapat Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 4
tahun 1997 tentang Gangguan Kesehatan Mental atau disebut dengan penyandang
cacat. Undang-undang ini menyebutkan bahwa penyandang cacat adalah setiap
orang yang mempunyai kelainan fisik dan atau mental, yang dapat mengganggu
atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara
selayaknya yang terdiri dari penyandang cacat fisik; penyandang cacat mental;
dan penyandang cacat fisik dan mental. Pasal 4, menyatakan bahwa upaya yang
diselenggarakan melalui pemberdayaan penyandang cacat bertujuan terwujudnya
kemandirian dan kesejahteraan.
111
Dyah Siti Septiningsih & Ulfa Amalia, Keadilan Hukum bagi Orang dengan Gangguan....
112
Dyah Siti Septiningsih & Ulfa Amalia, Keadilan Hukum bagi Orang dengan Gangguan....
113
Dyah Siti Septiningsih & Ulfa Amalia, Keadilan Hukum bagi Orang dengan Gangguan....
114
Dyah Siti Septiningsih & Ulfa Amalia, Keadilan Hukum bagi Orang dengan Gangguan....
Fungsi dan tujuan Visum et Repertum Psychiatricum sama dengan alat bukti,
yaitu merupakan alat bantu untuk memperjelas keadaan kesehatan mental
terdakwa sehingga penegak hukum dapat memperoleh suatu keyakinan seadil-
adilnya, juga keyakinan yang diperoleh hakim dapat dibuktikan secara ilmiah,
dengan kata lain para penegak hukum tidak dapat ditipu dengan akal licik
terdakwa untuk dapat terhindar dari pidana. Untuk memasukkan terdakwa yang
diduga jiwanya tidak sehat, maka digunakan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan. Pasal
26 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 berbunyi:
1. Penderita gangguan jiwa yang dapat menimbulkan gangguan terhadap
keamanan dan ketertiban umum wajib diobati dan dirawat di sarana pelayanan
kesehatan jiwa atau sarana kesehatan lainnya.
2. Pengobatan dan perawatan penderita gangguan jiwa dapat dilakukan atas
permintaan suami atau istri atau wali atau anggota keluarga penderita atau atas
prakarsa pejabat yang bertanggung jawab atas keamanan dan ketertiban di
wilayah setempat atau hakim pengadilan bilamana dalam suatu perkara timbul
persangkaan bahwa yang bersangkutan adalah penderita gangguan jiwa.
Dalam hal ini, psikologi forensik memiliki kewajiban yang jelas dengan
perundang-undangan yang relevan dan kondisi psikologis di wilayah hukum.
Selain itu, adalah penting bahwa psikolog melakukan atau memiliki kompetensi
atau tanggung jawab dan evaluasi berhubungan deskripsi gejala atau diagnosis
penyakit mental untuk kapasitas fungsional hukum yang digariskan dalam hukum.
Psikologi forensik menguji kompetensi seseorang untuk diadili dengan harus
mengingat bahwa penentuan kesehatan mental relatif penting dilakukan terhadap
tuntutan kasus tertentu.
PENUTUP
Gangguan kesehatan mental diartikan sebagai adanya gejala-gejala penyakit
mental dan gangguan, tidak memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri
dengan dirinya sendiri dan dengan masyarakat lingkungannya, tidak dapat
menerima dirinya dan terdapat tanda-tanda yang menunjukkan tidak keserasian
sosial, serta melakukan hal-hal yang tidak wajar.
115
Dyah Siti Septiningsih & Ulfa Amalia, Keadilan Hukum bagi Orang dengan Gangguan....
DAFTAR PUSTAKA
Irwanto, 2006, Aturan Hukum Terhadap Orang Cacat Masih Laksana Macan di
Atas Kertas, http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol15838/aturan-
hukum-terhadap-orang-cacat-masih-laksana-macan-di-atas-kertas,
diakses pada 21 April 2010.
KBI Gemari, 2001, 450 Juta Jiwa Penduduk Dunia Menderita Gangguan
Kesehatan Jiwa, http://kbi.gemari.or.id/beritadetail.php?id=1691, diakses
pada 20 April 2010.
Peraturan Perundang-undangan
116
Dyah Siti Septiningsih & Ulfa Amalia, Keadilan Hukum bagi Orang dengan Gangguan....
117