Anda di halaman 1dari 11

KEADILAN HUKUM BAGI ORANG DENGAN GANGGUAN

KESEHATAN MENTAL
(Tinjauan Psikologi Forensik)

DYAH SITI SEPTININGSIH1, ULFA AMALIA2

1
Program Studi Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas
Muhammadiyah Purwokerto
2
Program Studi Bimbingan dan Konseling, Fakultas Pendidikan,
Universitas Teknologi Yogyakarta

Abstrak

Tulisan ini bertujuan untuk mengupas permasalahan keadilan hukum bagi


orang dengan gangguan mental dalam perspektif psikologi forensik. Pemikiran
yang muncul adalah tidak semua orang memiliki kesehatan mental yang sama.
Sebagian orang mengalami gangguan kesehatan psikologis yang mencakup
gangguan mental atau jiwa, dan gangguan emosi. Kondisi itu akan membedakan
perilakunya saat mengalami permasalahan hukum apapun kasusnya.
Kupasan dilakukan dengan mengemukakan dan membandingkan
penerapan hukum bagi orang dengan gangguan mental di negara-negara maju,
kemudian mengemukakan yang ada di Indonesia. Sumber dari kupasan ini lebih
kepada tulisan yang ada di internet dengan analisis kritis dan dikonfirmasi dengan
ilmu psikologi forensik.
Hasil kupasannya adalah masing-masing negara memiliki aturan sendiri
dalam menerapkan hukum bagi orang dengan gangguan kesehatan mental. Untuk
di Indonesia terdapat ilmu psikologi forensik yang dapat dimanfaatkan untuk
mendampingi persidangan bagi orang yang di-asses mengalami gangguan
kesehatan mental sehingga mendapatkan keadilan hukum semestinya.

Kata kunci: keadilan hukum, orang dengan gangguan mental, psikologi


forensik

PENDAHULUAN
Masyarakat hidup dengan norma-norma yang sangat berpengaruh di dalam
menentukan perilakunya. Norma-norma tersebut berfungsi untuk menjaga
ketertiban dan keserasian di dalam kehidupan bersama. Pada norma-norma
tersebut terdapat norma hukum.
Hukum adalah cermin dari manusia yang hidup. Hukum itu lahir oleh
manusia dan untuk menjamin kepentingan dan hak-hak manusia itu sendiri. Pada
dasarnya hukum berfungsi untuk mewujudkan ketertiban, stabilitas, keadilan dan

Dinamika Kontemporer Hukuman Mati di Indonesia -------ISBN 978-602-73912-0-8


Dyah Siti Septiningsih & Ulfa Amalia, Keadilan Hukum bagi Orang dengan Gangguan....

menciptakan masyarakat yang cerdas dan beradab. Kemudian, asas dasar negara
hukum adalah terlindunginya kehidupan individu dan kelompok, tidak adanya
kesewenang-wenangan, serta pemberlakuan hukum yang tidak pandang bulu.
Pada kenyataannya dalam praktek penerapan hukum di Indonesia, masih
sering terdapat ketimpangan yang terwujud dalam diberlakukannya hukum positif
yang sama pada semua orang dengan kasus hukum tanpa melihat kondisi
kejiwaan masing-masing. Misalnya untuk tersangka, apakah orang itu mengalami
gangguan kesehatan mental atau tidak.
Gejala gangguan kesehatan mental mencakup mulai dari gangguan
kecemasan, depresi, panik hingga gangguan jiwa yang berat seperti schizoprenia
hingga pada tindakan bunuh diri, yang saat ini semakin mewabah di tengah
masyarakat. World Health Organization/ WHO mengangkat beberapa jenis
gangguan seperti schizoprenia, alzheimer, epilepsy, keterbelakangan mental dan
ketergantungan alkohol dinyatakan perlu mendapatkan perhatian.
Sururin (2004) mengemukakan, gangguan kesehatan mental akan
menentukan tanggapan seseorang terhadap suatu persoalan dan kemampuannya
untuk menyesuaikan diri. Gangguan kesehatan mental juga akan menentukan,
apakah seseorang akan mempunyai kegairahan untuk hidup, atau akan pasif/tidak
bersemangat. Sebaliknya individu yang sehat mentalnya adalah individu yang
terhindar dari gangguan dan penyakit jiwa, dapat menyesuaikan diri, sanggup
menghadapi masalah-masalah dan kegoncangan-kegoncangan, adanya keserasian
fungsi jiwa, dan merasa bahwa dirinya berharga, berguna, dan berbahagia serta
dapat menggunakan potensi-potensi yang ada semaksimal mungkin.
Jumlah penderita gangguan kesehatan mental berat di Indonesia cukup
memprihatinkan, yakni mencapai 6 juta orang atau sekitar 2,5% dari total
penduduk, yang bukan tidak mungkin dari jumlah tersebut adalah orang dengan
kasus hukum yang akan diproses hukum secara normatif.
Melihat seseorang dengan gangguan kesehatan mental tidak memiliki
kemampuan tanggapan yang baik dalam menghadapi persoalan, tidak mampu
menyesuaikan diri dan memiliki kekurangan-kekurangan lainnya dibandingkan
dengan orang yang sehat secara mental, maka seharusnya hukumpun perlu
mendekatinya dengan perspektif kejiwaannya. Untuk itulah maka pendekatan

108
Dyah Siti Septiningsih & Ulfa Amalia, Keadilan Hukum bagi Orang dengan Gangguan....

psikologi forensik menjadi penting untuk ikut menyumbangkan pemikirannya,


menuju keadilan hukum bagi individu dengan gangguan kesehatan mental.
SEKILAS TENTANG GANGGUAN KESEHATAN MENTAL
Gangguan kesehatan mental dapat dipahami sebagai gejala-gejala gangguan
jiwa (neurose), tidak memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan diri
sendiri, dengan orang lain dan masyarakat serta lingkungan dimana seseorang
hidup dan berinteraksi. Selain itu tidak memiliki pengetahuan dan perbuatan yang
bertujuan untuk mengembangkan dan memanfaatkan segala potensi, bakat dan
pembawaan yang ada semaksimal mungkin, sehingga membawa kepada rasa
ketidakbahagiaan diri, orang lain dan terwujudnya ketidakharmonisan yang
sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi jiwa. Juga tidak mempunyai kesanggupan
untuk menghadapi problem-problem yang terjadi dan tidak merasakan secara
positif kebahagiaan dan kemampuan diri.
Jadi, gangguan kesehatan mental adalah tidak adanya keserasian atau
kesesuaian antara seluruh aspek psikologis yang dimiliki oleh seseorang untuk
dikembangkan secara optimal. Akibatnya individu itu tidak mampu melakukan
kehidupan-kehidupan sesuai dengan tuntutan-tuntutan atau nilai-nilai yang
berlaku secara individual, kelompok maupun masyarakat luas sehingga menjadi
tidak sehat baik secara mental maupun secara sosial.
Tiga faktor penyebab timbulnya gangguan kejiwaan, meliputi faktor biologis,
psychoeducational dan sosial budaya. Faktor biologis dapat dilihat dari adanya
perkembangan yang terhambat, sehingga tidak mampu mencapai tiap fase
perkembangan secara optimal. Hal itu dapat memicu gangguan jiwa. Faktor
psychoeducational terjadi karena adanya kesalahan dalam proses pendidikan anak
sejak kecil, adanya konflik-konflik di masa kecil yang tidak terselesaikan, yang
berakibat pada rendahnya mekanisme diri dalam memecahkan masalah. Faktor
sosial atau lingkungan yang dapat memicu timbulnya gangguan jiwa, misalnya
budaya tertentu, kepadatan populasi hingga peperangan (Yusak, 1999).
Ketiga hal ini secara umum menjadi dasar timbulnya gangguan jiwa pada
seseorang walaupun masing-masing individu memiliki perbedaan dalam
penyebabnya. Ketiga faktor tersebut mempunyai keterkaitan satu sama lain.

109
Dyah Siti Septiningsih & Ulfa Amalia, Keadilan Hukum bagi Orang dengan Gangguan....

TERSANGKA DENGAN GANGGUAN KESEHATAN MENTAL DI


BEBERAPA NEGARA, SEBAGAI PEMBANDING
Australia
Kesehatan Mental menurut undang-undang di Australia menjadi tanggung
jawab negara. Di negara Australia, kewajiban untuk menentukan pidana terletak
pada pengadilan Mental Health Queensland.
Pemeriksaaan jiwa dilakukan oleh seorang hakim senior, dan dua psikiater.
Tujuan menangani penyakit jiwa dan cacat intelektual dari sistem peradilan
pidana untuk menempatkan mereka dalam sistem kesehatan mental.
Kompetensi seseorang dalam sidang pengadilan diteliti oleh layanan
kesehatan mental, untuk melihat kasus-kasus dimana terdakwa mengklaim telah
menderita sakit jiwa pada saat pelanggaran. Sebuah aplikasi untuk layanan
kesehatan mental dapat ditingkatkan pada setiap saat selama suatu hukum
diterapkan kepada terdakwa, anggota keluarga, pegawai pengadilan, dan
sejenisnya. Pengadilan dapat menolak keputusan bersalah pada terdakwa dan
merujuk ke mental health.
Amerika Serikat
Penilaian keadaan mental seseorang dengan kasus hukum di Amerika Serikat
pada saat pelanggaran, hanya dapat terjadi jika terdakwa sepenuhnya imputable
pada saat kejahatan. Pembebasan berdasarkan imputability ''terdakwa'' terjadi
ketika terdakwa dinilai telah imputability dan tidak bertanggung jawab di waktu
tindak pidana. Dalam hal ini, terdakwa akan menjalani perawatan dengan cara
pengurungan di rumah sakit jiwa. Pembebasan terjadi apabila tersangka terbukti
imputability.
Brazil
Tersangka di Brazil yang mengalami sakit mental, tidak akan ditindaklanjuti,
sebab tidak ada konsep kompetensi untuk diadili dalam sistem peradilan pidana.
Beberapa aspek dari sistem peradilan pidana Brazil membantu menjelaskan
mengapa tidak ada konsep kompetensi untuk diadili di pengadilan kriminal sistem
mereka. Beberapa kekhususan sistem di Brasil sebagai berikut:

110
Dyah Siti Septiningsih & Ulfa Amalia, Keadilan Hukum bagi Orang dengan Gangguan....

1. Tidak ada yang diberi hak untuk membela diri, kecuali pihak yang
bersangkutan adalah seorang pengacara hukum yang memenuhi syarat untuk
praktek hukum;
2. Apapun transaksi antara pengacara, pembela dan jaksa dilarang;
3. Seseorang memiliki sikap benar-benar pasif yaitu dibela oleh pengacara, dan
terdapat fakta bahwa tidak dalam kondisi secara aktif bekerja sama dengan
pembela;
4. Seseorang dapat didakwa dan diadili, atau dapat melarikan diri serta absen dari
gedung pengadilan.
Kanada
Suatu prinsip dasar hukum pidana Kanada adalah bahwa terdakwa harus
kompeten atau cocok untuk diadili. Tujuan utama ketentuan kesehatan mental
adalah secara substansial menurunkan jumlah waktu terdakwa dalam tahanan.
Berdasarkan hukum Kanada, penilaian kesehatan mental mengevaluasi hal
berikut:
1. Kondisi mental terdakwa untuk menentukan apakah ia memiliki gangguan
mental atau tidak;
2. Adanya gangguan dalam satu atau lebih kapasitas fungsional yang berkaitan
dengan kemampuan hukum yang diperlukan untuk diadili. Jika penilaian
menentukan bahwa terdakwa saat diperiksa memiliki gangguan kemampuan
psikologis, gangguan mental, dan gangguan kemampuan sebagai hasil dari
gangguan mental, maka terdakwa dapat dikategorikan tidak layak untuk diadili.
Indonesia
Di Indonesia terdapat Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 4
tahun 1997 tentang Gangguan Kesehatan Mental atau disebut dengan penyandang
cacat. Undang-undang ini menyebutkan bahwa penyandang cacat adalah setiap
orang yang mempunyai kelainan fisik dan atau mental, yang dapat mengganggu
atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara
selayaknya yang terdiri dari penyandang cacat fisik; penyandang cacat mental;
dan penyandang cacat fisik dan mental. Pasal 4, menyatakan bahwa upaya yang
diselenggarakan melalui pemberdayaan penyandang cacat bertujuan terwujudnya
kemandirian dan kesejahteraan.

111
Dyah Siti Septiningsih & Ulfa Amalia, Keadilan Hukum bagi Orang dengan Gangguan....

Terkait dengan hal tersebut, Pasal 5 menjelaskan, bahwa setiap penyandang


cacat mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan
dan penghidupan. Setiap penyandang cacat berhak memperoleh pendidikan pada
semua satuan, jalur, jenis, dan jenjang pendidikan; pekerjaan dan penghidupan
yang layak sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan, pendidikan, dan
kemampuannya; perlakuan yang sama untuk berperan dalam pembangunan dan
menikmati hasil-hasilnya; aksesibilitas dalam rangka kemandiriannya;
rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial; dan hak
yang sama untuk menumbuhkembangkan bakat, kemampuan, dan kehidupan
sosialnya, terutama bagi penyandang cacat anak dalam lingkungan keluarga dan
masyarakat.
Di Indonesia perangkat peraturan yang secara tegas melindungi orang cacat
(disabilitas) sudah ada, misalnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang
Penyandang Cacat, dan Undang-Undang Nomor 28 tahun 2002 tentang Bangunan
Gedung. Indonesia juga negara peserta gerakan dasawarsa untuk orang cacat Asia
Pasifik sejak 1993. Sejumlah instrumen hak asasi manusia internasional dan
regional sudah memberi ruang yang sama kepada penyandang cacat, salah satunya
adalah mengenai fasilitas pendidikan.
Dalam kenyataannya terdapat kecenderungan, perlindungan yuridis itu tidak
didukung oleh implementasi yang baik. Perlindungan hukum itu hanya berhenti di
atas kertas dan masih kurangnya penghargaan kepada para orang yang mengalami
handicap. Dapat dikatakan, aturan-aturan yang melindungi orang cacat tak
dilaksanakan sepenuhnya (Irwanto, 2006).
Sebagai contoh, pengadilan di Indonesia pernah memeriksa perkara yang
terindikasi pelakunya sebenarnya bisa dilacak meggunakan pendekatan psikologi.
Sawito, misalnya, ketika itu merasa menerima wangsit di puncak gunung Muria
untuk menjadi pemimpin negara untuk membenarkan perilakunya, yang secara
hukum dianggap bersalah. Kemudian pengadilan juga pernah memeriksa suami
isteri yang membunuh bayi mereka sendiri, karena pada saat itu mereka merasa
bukan memotong bayi, melainkan seekor kambing.
Pada 2 contoh kasus hukum tersebutlah psikologi forensik bisa mengambil
peran. Anamnesa psikologis perlu dilakukan untuk kemudian dilanjutkan dengan

112
Dyah Siti Septiningsih & Ulfa Amalia, Keadilan Hukum bagi Orang dengan Gangguan....

pendekatan hukum, tentunya setelah diketahui bahwa secara kejiwaan memang


tidak bermasalah. Apabila ada indikasi mengalami gangguan kesehatan mental,
maka “dibereskan” dulu dengan perseptif psikologi. Sebaliknya apabila secara
psikologis tidak mengalami gangguan kesehatan mental, perilaku
“menyimpangnya” hanya merupakan kemasan untuk mengecoh peradilan, maka
pihak psikologi akan menyerahkan sepenuhnya ke pihak hukum.
DINAMIKA PSIKOLOGIS PERAN PSIKOLOGI FORENSIK
Berdasarkan Survei Kesehatan Mental Rumah Tangga (SKMRT) yang
dilakukan pada penduduk di 11 Kotamadya oleh jaringan Epidemiologi Psikiatri
Indonesia ditemukan 185 dari 1000 penduduk menunjukkan adanya gejala
gangguan kesehatan jiwa. Hal ini berarti, dalam setiap rumah tangga dengan
perkiraan penduduk Indonesia 185 juta jiwa, paling tidak terdapat satu orang yang
mengalami gejala gangguan kesehatan jiwa, dan membutuhkan pelayanan
kesehatan jiwa.
Gangguan kesehatan jiwa terbesar dialami oleh usia produktif yaitu 15-50
tahun, yang itu sangat memprihatinkan. Di kota-kota besar diprediksi satu dari
empat penduduk Indonesia, mengalami gangguan jiwa, tapi bukan berarti mereka
gila.
Masalah kesehatan jiwa merupakan masalah kesehatan masyarakat yang
demikian tinggi dibandingkan dengan masalah kesehatan lain yang ada di
masyarakat. Karena itu penyelesaian masalah gangguan kesehatan jiwa ini tidak
dapat hanya diselesaikan oleh profesi kedokteran jiwa saja, tetapi juga harus
melibatkan semua pihak, baik pemerintah maupun swasta, dan kelompok lain
yang ada di masyarakat.
Jenis gangguan kesehatan jiwa yang banyak diderita masyarakat Indonesia
antara lain psikosis, demensia, retardasi mental, mental emosional usia 4-15
tahun, mental emosional usia lebih dari 15 tahun dan gangguan kesehatan jiwa
lainnya. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap masyarakat di
negara-negara Asia Timur menunjukkan adanya peningkatan jumlah pasien
dengan kelainan psikiatri syaraf. Pada waktu bersamaan, kemiskinan dan tidak
adanya akses kepada asuransi kesehatan membuat masalah ini makin parah.

113
Dyah Siti Septiningsih & Ulfa Amalia, Keadilan Hukum bagi Orang dengan Gangguan....

Untuk menentukan adanya gangguan kesehatan mental dibutuhkan kerjasama


antar pihak yang terkait, yaitu ahli dalam ilmu jiwa (dokter jiwa atau kesehatan
jiwa), yang dalam persidangan muncul dalam bentuk Visum et Repertum
Psychiatricum. Visum digunakan untuk mengungkapkan keadaan pelaku
perbuatan (tersangka) sebagai alat bukti surat yang dapat dipertanggungjawabkan.
Bantuan ahli kedokteran jiwa sangat diperlukan dalam membantu upaya
menemukan kebenaran material suatu perkara pidana, terutama dalam hal
terdapatnya gangguan mental dari seorang terdakwa yang telah melakukan tindak
pidana. Hal tersebut sangat berkaitan dengan tujuan dari proses peradilan pidana,
karena apabila putusan berdasarkan pada dugaan saja, kebenaran material tidak
akan terlaksana.
Psikologi forensik sangat penting, sebab pada kenyataannya tidak semua
kasus kejahatan dilakukan oleh seseorang yang mempunyai mental yang sehat,
terkadang suatu tindak pidana dilakukan oleh seseorang yang mengalami
gangguan mental. Apabila gangguan mental tersebut telah diketahui dalam tahap
penyidikan, maka tidak akan dilanjutkan dalam tahap pengadilan. Biasanya
gangguan mental dapat diketahui setelah terdakwa diproses di pengadilan.
Jadi apabila seorang aparat penegak hukum yang menangani kasus
mengalami ketidakpastian atau ragu-ragu tentang seseorang atau keadaan mental
terdakwa, maka aparat penegak hukum yang menangani kasus tersebut akan
meminta bantuan seorang dokter ahli jiwa (psikiater) untuk membantu memeriksa
dan menentukan seberapa parah keadaan mental terdakwa sesungguhnya.
Setelah terdakwa melalui proses pemeriksaan psikiater dinyatakan menderita
gangguan mental, selanjutnya dokter ahli jiwa yang menangani terdakwa
memberikan hasil berupa Visum et Repertum Psychiatricum yang diserahkan
kepada hakim. Kemudian aparat yang menangani kasus tersebut dapat mengetahui
bahwa terdakwa mengalami gangguan mental, sehingga terdakwa tidak dapat
dipidana.
Visum et Repertum Psychiatricum, digunakan sebagai alat bukti surat, hal ini
diatur dalam Pasal 187 huruf (c) KUHAP, yang berbunyi: “Surat keterangan dari
seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu
hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya”.

114
Dyah Siti Septiningsih & Ulfa Amalia, Keadilan Hukum bagi Orang dengan Gangguan....

Fungsi dan tujuan Visum et Repertum Psychiatricum sama dengan alat bukti,
yaitu merupakan alat bantu untuk memperjelas keadaan kesehatan mental
terdakwa sehingga penegak hukum dapat memperoleh suatu keyakinan seadil-
adilnya, juga keyakinan yang diperoleh hakim dapat dibuktikan secara ilmiah,
dengan kata lain para penegak hukum tidak dapat ditipu dengan akal licik
terdakwa untuk dapat terhindar dari pidana. Untuk memasukkan terdakwa yang
diduga jiwanya tidak sehat, maka digunakan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan. Pasal
26 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 berbunyi:
1. Penderita gangguan jiwa yang dapat menimbulkan gangguan terhadap
keamanan dan ketertiban umum wajib diobati dan dirawat di sarana pelayanan
kesehatan jiwa atau sarana kesehatan lainnya.
2. Pengobatan dan perawatan penderita gangguan jiwa dapat dilakukan atas
permintaan suami atau istri atau wali atau anggota keluarga penderita atau atas
prakarsa pejabat yang bertanggung jawab atas keamanan dan ketertiban di
wilayah setempat atau hakim pengadilan bilamana dalam suatu perkara timbul
persangkaan bahwa yang bersangkutan adalah penderita gangguan jiwa.
Dalam hal ini, psikologi forensik memiliki kewajiban yang jelas dengan
perundang-undangan yang relevan dan kondisi psikologis di wilayah hukum.
Selain itu, adalah penting bahwa psikolog melakukan atau memiliki kompetensi
atau tanggung jawab dan evaluasi berhubungan deskripsi gejala atau diagnosis
penyakit mental untuk kapasitas fungsional hukum yang digariskan dalam hukum.
Psikologi forensik menguji kompetensi seseorang untuk diadili dengan harus
mengingat bahwa penentuan kesehatan mental relatif penting dilakukan terhadap
tuntutan kasus tertentu.
PENUTUP
Gangguan kesehatan mental diartikan sebagai adanya gejala-gejala penyakit
mental dan gangguan, tidak memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri
dengan dirinya sendiri dan dengan masyarakat lingkungannya, tidak dapat
menerima dirinya dan terdapat tanda-tanda yang menunjukkan tidak keserasian
sosial, serta melakukan hal-hal yang tidak wajar.

115
Dyah Siti Septiningsih & Ulfa Amalia, Keadilan Hukum bagi Orang dengan Gangguan....

Dalam undang-undang telah diatur, bahwa setiap individu dengan segala


kondisinya mendapatkan perlindungan hukum. Hukum menetapkan apa yang
harus dilakukan dan atau apa yang boleh dilakukan serta beroperasi melalui orang
yang memperhatikan batas antara perbuatan yang menurut hukum, dan perbuatan
dan melawan hukum. Sasaran hukum yang hendak dituju bukan saja kepada orang
yang nyata-nyata berbuat melawan hukum melainkan juga perbuatan melawan
hukum yang mungkin akan terjadi, dan kepada alat perlengkapan negara untuk
bertindak menurut hukum.
Dalam upaya menanggulangi kejahatan yang dilakukan oleh seseorang dalam
masyarakat, terutama seseorang yang memiliki gangguan kesehatan mental,
terkadang para penegak hukum belum mampu mendapatkan hasil yang maksimal,
misalnya dengan adanya kasus-kasus yang berkaitan dengan pemeriksaan
kesehatan mental atau jiwa pelaku. Selain itu penting juga adanya pemeriksaan
kesehatan mental pada saksi, atau pihak-pihak yang berkepentingan dengan
perkara hukum sehingga dapat memberikan keterangan yang akurat. Untuk
kepentingan itu semua, psikologi forensik bisa diajak bekerjasama.

DAFTAR PUSTAKA

Irwanto, 2006, Aturan Hukum Terhadap Orang Cacat Masih Laksana Macan di
Atas Kertas, http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol15838/aturan-
hukum-terhadap-orang-cacat-masih-laksana-macan-di-atas-kertas,
diakses pada 21 April 2010.

KBI Gemari, 2001, 450 Juta Jiwa Penduduk Dunia Menderita Gangguan
Kesehatan Jiwa, http://kbi.gemari.or.id/beritadetail.php?id=1691, diakses
pada 20 April 2010.

Jalaluddin, 2004, Psikologi Agama, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada.

Sururin, 2004, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada.

Tanubroto, 1989, Dasar-dasar Hukum Acara Pidana, Bandung, CV. Armico.

B., Yusak, 1999, Kesehatan Mental, Bandung, CV Pustaka Setia.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

116
Dyah Siti Septiningsih & Ulfa Amalia, Keadilan Hukum bagi Orang dengan Gangguan....

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat.

Undang-Undang Nomor 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.

117

Anda mungkin juga menyukai