Anda di halaman 1dari 12

Review Paper

Gut Microbiota dan Malnutrisi, serta Intervensi Ready to Use Therapeutic Food sebagai
Diet Management

Disusun oleh
Rafli Zulfa Kamil
18/436470/STP/00243

PROGRAM STUDI ILMU PANGAN


DEPARTEMEN TEKNOLOGI PANGAN DAN HASIL PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA

2018
Gut Microbiota dan Malnutrisi, serta Intervensi Ready to Use Therapeutic Food sebagai
Diet Management

Rafli Zulfa Kamil


Jurusan Ilmu Pangan, Departemen Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas
Gadjah Mada
Jl. Flora No 1 Bulaksumur, Sleman Yogyakarta

Abstrak

Malnutrisi adalah penyebab kematian terbesar pada anak-anak berumur dibawah lima tahun.
Penyebab malnutrisi pada anak-anak sendiri sangat beragam, mulai dari factor ketersediaan bahan
pangan, status social ekonomi dan politik, hingga status kesehatan saluran cernanya. Diketahui
terdapat hubungan antara malnutrisi dengan gut microbiota, dimana pada penderita malnutrisi
didominasi oleh pathogen dari phylum phylum Proteobacteria, Fusobacteria dan Streptococcus
gallolyticus. Bakteri pathogen tersebut dapat menyebabkan inflamasi epitel yang menghambat
penyerapan zat gizi dalam tubuh. WHO menyarankan treatment menggunakan Ready to Use
Therapeutic Food (RUTF) dalam diet management penderita malnutrisi. RUTF harus mampu
mendukung asupan energi harian. Intervensi RUTF sendiri terbuktu mampu membantu
mempercepat recovery penderita malnutrisi. Pada review ini akan didiskusikan mengenai
malnutrisi dan hubungannya dengan gut microbiota serta RUTF sebagai diet management
malnutrisi.

Kata kunci: Malnutrisi, gut microbiota, RUTF

Pendahuluan

Malnutrisi sendiri dapat didefinisikan sebagai kondisi dimana terjadi ketidakseimbangan zat gizi
pada jaringan tubuh. Hal tersebut termasuk gizi kurang maupun gizi berlebih. Malnutrisi
merupakan salah satu penyebab kematian di dunia, terutama pada anak-anak berumur dibawah
lima tahun. Selain kematian, malnutrisi juga dapat menyebabkan keterlambatan pertumbuhan,
penurunan intelegensia, terhambatnya kemampuan motorik, dan perekmbangan penyakit
degenerative dimasa yang akan dating. Penyebab dari malnutrisi sendiri sangat luas, seperti
kekurangan ketersediaan pangan, kondisi social ekonomi dan politik, rendahnya tingkat
pendidikan, dan infeksi. Seperempat dari penderita malnutrisi pada anak terjadi pada negara
berkembang khususnya pada benua Afrika dan Asia. Oleh sebab itu, etiologic malnutrisi pada anak
dan strategi sebagai langkah preventif dan treatment terhadap malnutrisi merupakan sebuah
permasalahn global.

WHO menyarankan treatment menggunakan Ready to Use Therapeutic Food (RUTF) dalam diet
management penderita malnutrisi. Tujuan dari RUTF adalah memenuhi kecukupan gizi tubuh
untuk menghasilkan energi secara cepat, dan mencegah terjadinya malnutrisi. Namun, saat ini trent
medis telah beralih menuju gut microbiota sebagai target. Diketahui jika terdapat hubungan antara
malnutrisi dan gut microbiota, meskipun penelitian terkait hal tersebut belum banyak dilakukan
terkait kekurangan gizi. Namun informasi tersebut dapat menjadi peluang dalam mencegah dan
mengatasi terjadinya malnutrisi khususnya kekurangan gizi. Pada review ini akan didiskusikan
mengenai malnutrisi dan hubungannya dengan gut microbiota serta RUTF sebagai diet
management malnutrisi.

Malnutrisi

Malnutrisi merupakan salah satu penyebab kematian di dunia, terutama pada anak-anak berumur
dibawah lima tahun. Sebanyak satu hingga enam anak di dunia meninggal karena menderita
malnutrisi. Malnutrisi sendiri dapat didefinisikan sebagai kondisi dimana terjadi
ketidakseimbangan zat gizi pada jaringan tubuh. Hal tersebut termasuk gizi kurang maupun gizi
berlebih (Million, Diallo, and Raoult 2017). Pada kasus kekurangan gizi sendiri mencakup
defisiensi dari asupan makronutrien khususnya protein dan asupan micronutrient seperti zink,
selenium dan vitamin. Pada tahun 2011, WHO mengestimasi secara global jika sebanyak 115 juta
(18%) anak-anak dibawah lima tahun memiliki berat badan dibawah normal dan sebanyak 178
juta (28%) menderita stunting (UNICEF, WHO, and Bank 2014). Stunting merupakan salah satu
ciri terjadinya malnutrisi pada anak kaitannya karena kekurangan gizi. Walaupun prevalensi
stunting menurun, 159 juta anak-anak diseluruh dunia tetap menderita stunting. Seperempat dari
penderita malnutrisi pada anak terjadi pada negara berkembang khususnya pada benua Afrika dan
Asia.

Penyebab dari malnutrisi sendiri sangat luas, seperti kekurangan ketersediaan pangan, kondisi
social ekonomi dan politik, rendahnya tingkat pendidikan, dan infeksi. Identifikasi terjadinya
malnutrisi dapat diketahui melalui pengukuran antropometri maupun secara biokimia. Namun
pengukuran secara biokimia seperti profil lipid, glukosa darah, level vitamin dan status protein
(kreatinin dalam otot, nitrogen balance) membutuhkan waktu yang lebih lama dan cenderung lebih
sulit dilakukan mengingkat sampel yang diperlukan dapat berupa darah ataupun urin anak-anak.
Oleh karena itu, pengukuran secara antropometri masih dilakukan sebagai identifikasi awal
penderita malnutrisi. Pengukuran antropometri tubuh sendiri dapat berupa Body Mass Index
(BMI), Z-score, skinfold measurement, mid-arm circumference serta head and chest
circumference yang dapat dilakukan pada balita untuk mengukur laju pertumbuhannya.

Berdasarkan pengukuran antropometri sendiri, kurang gizi dapat dikategorikan sebagai stunting
(z-score low height for age <-2 standard deviation), wasting (z-score low weight for age <-2SD)
dan underweight (z-score low weight for height <-2SD). Dari kategori tersebut dapat
diklasifikasikan kembali sebagai moderate (-2 < SD < -3) dan severe (Z-score < -3 SD). Kombinasi
pengukuran antara data antropometri dan biokimia tetap dianjurkan. Marasmus merupakan
wasting syndrome tanpa pertanda spesifik, sedangkan kwashiorkor merupakan salah satu bentuk
severe malnutrition, dimana data antropometri tidak dapat dijadikan sebagai rujukan utama.
Perbedaan ciri antara marasmus dan kwashiorkor dapat dilihat pada gambar 1.

Gambar 1. Perbedaan kenampakan fisik antara marasmus dan kwashiorkor

Severe malnutrition (SAM) merupakan kondisi yang paling parah, dan diperkirakan sebanyak 29
juta anak-anak dibawah 5 tahun mengalaminya. SAM telah diasosiasikan dengan tingginya
probabilitas kematian pada anak-anak dibawah 5 tahun (10-30%) dan disertai resiko terjadinya
diare, pneumonia, infeksi sistematis oleh bakteri pathogen seperti Staphylococcus aureus,
Streptococcus, Salmonella, Klebsiella dan Escherichia coli (Black et al. 2008). Infeksi terutama
diare merupakan salah satu penyebab terjadinya kurang gizi baik makronutrien maupun
mikronutrien melalui beberapa mekanisme yang berbeda. Zat gizi tersebut sangat penting untuk
kecukupan pertumbuhan anak, apabila terjadi kekurangan asupan gizi akan menyebabkan
pertumbuhan yang terhambat. Selain kematian sebagai resiko terbesar dari malnutrisi, malnutrisi
pada anak juga dapat menyebabkan keterlambatan pertumbuhan, terhambatnya kemampuan
intelegensia, social dan ekonomi.

Gut Microbiota dan Malnutrisi

Malnutrisi dapat menyebabkan kerusakan organ tubuh, termasuk mukosa usus. Perubahan
histologi usus yang terjadi antara lain pemendekan vili, penipisan mukosa, percabangan crypt, dan
penyempitan pada brush border seperti dapat dilihat pada gambar 2 (Thaxton et al. 2018). Kerusan
epitel usus tersebut dapat disebabkan karena invasi dari bakteri pathogen yang menghuni saluran
cerna. Selain itu dilihat dari sisi gut microbiota, pada malnutrisi terjadi perubahan komposisi dan
keberagaman gut microbiota. Bakteri enteropatogen dapat menginduksi terjadinya malnutrisi,
karena dapat menyebabkan inflamasi pada epitel yang berakibat penyerapan zat gizi yang tidak
optimal. Pada umumnya microbiota yang menghuni saluran cerna merupakan bakteri an-aerobik
yang termasuk dalam 3 kategori yaitu: Gram-negative Bacteroidetes, dan Gram-positive
Firmicutes dan Actinobacteria. Phylum Firmicutes merupakan microbiota usus dengan populasi
terbesar yaitu sekitar 60% dari total keseluruhan microbiota usus (Arumugam, Raes, Pelletier,
Paslier, et al. 2011; Ley et al. 2006). Sedangkan Bacteroidetes dan Actinobacteria hanya berkisar
10% dan ±30% merupakan spesies lain (Arumugam, Raes, Pelletier, Le Paslier, et al. 2011).
Didalam saluran cerna, gut microbiota berperan dalam meningkatkan pertahanan epitel terhadap
pathogen, mempercepat aktivasi sistem imun, dan membantu absorbsi nutrisi dari makanan yang
diasup.

Beberapa penelitian menunjukan adanya perubahan taksonomi gut microbiota pada anak-anak
penderita malnutrisi. Pada penelitian cross sectional anak-anal malnutrisi di Bangladesh, diketahui
bahwa memiliki keragaman gut microbiota yang rendah dengan tingginya jumlah Proteobacteria
dan rendahnya Bacteroidetes jika dibandingkan dengan anak-anak sehat. Selain itu, Klebsiella dan
Escherichia juga juga ditemukan dalam jumlah yang banyak pada anak-anak malnutrisi (Monira
et al. 2011). Hal tersebut juga mendukung bahwa gut microbiota penderita kwashiorkor didominasi
oleh bakteri pathogen dari phylum Proteobacteria, Fusobacteria dan Streptococcus gallolyticus
(Alou et al. 2017). Lebih lanjut, stunting juga dapat diasosiasikan dengan penurunan jumlah
Prevotella, Bacteroides, Eubacterium, dan Blautia pada kelompok Malawai (Smith et al. 2013),
serta Lactobacillus, Olsenella, Dorea, dan Blautia pada kelompok Bangladesh (Monira et al.
2011). Kemudian berdasarkan data dari (Velly, Britton, and Preidis 2017), gut microbiota pada
anak-anak kurang gizi terjadi peningkatan jumlah phylum Proteobacteria, yaitu Enterobacter,
Escherichia, Klebsiellam dan Shigella. Hal tersebut juga disertai penurunan jumlah bakteri prositif
seperti Bifidobacterium, Butyrivibrio, Faecalibacterium, Lactobacillus dan Roseburia.

Gambar 2. Efek malnutrisi terhadap fungsi intestinal (Thaxton et al. 2018)

Beberapa tahun terakhir, gut microbiota banyak dipealajari sebagai target pengobatan karena
adanya korelasi antar komposisi gut microbiota dengan kesehatan. Penggunaan probiotik,
prebiotic, maupun gabungan keduanya (sinbiotik) mampu memodulasi keragaman gut microbiota.
Probiotik merupakan kelompok bakteri hidup yang dapat memberikan berbagai manfaat kesehatan
terhadap tubuh apabila dikonsumsi dalam jumlah cukup (FAO/WHO, 2001), diantaranya seperti
mampu menjaga keseimbangan mikrobiota saluran pencernaan, memiliki senyawa antibakteri dan
mampu meningkatkan sistem kekebalan tubuh. Lactobacillus dan Biffidobacterium merupakan
genus dari bakteri asam laktat yang umumnya memiliki karakteristik sebagai probiotik. Efek
intervensi probiotik, prebiotik maupun sinbiotik terkait nutritional disorder sudah banyak
dilaksanakan terutama kaitannya dengan obesita. Sedangkan untuk kaitan dengan malnutrisi
belum banyak dipelajari. Campuran dari 12 spesies Firmicutes, Bacteroidetes dan Actinobacteria,
dapat menggantikan komposisi bakteri minor pada penderita kwashiorkor di Nigeria dan Senegal,
namun efeknya pada perbaikan status gizi belum dilakukan (Alou et al. 2017).
Intervensi probiotik sendiri dimungkinkan mampu menghambat adesi pathogen yang dapat
menyebabkan inflamasi pada epitel usus, sehingga dapat meningkatkan proteksi usus. Selain itu,
juga mampu menginduksi kerja sistem imun. Namun, peran dari probiotik, prebiotic dan sinbiotik
dalam mengatasi nutritional disorder dikaitkan dengan produksi Short Chain Fatty Acid (SCFA).
Di dalam kolon, SCFA dapat tersereap oleh epitel usus secara efektif dan hanya 5-10% SCFA
yang terbuang bersama feses. Dengan dihasilkannya SCFA, mampu mempengaruhi metabolisme
baik dari gut maupun inangnya melalui aktivasi reseptor G-protein coupled cell (GPR) yaitu
GPR41 dan GPR43. Aktivasi GPR41,43 juga mampu meningkatkan respon imun tubuh. Aktivasi
GPR41 oleh SCFA pada sel enteroendocrine yang berada pada usus akan menstimulasi sekresi
hormone peptide YY (PYY), yang berfungsi untuk induksi satiety effect. Sedangkan SCFA
dependent GPR43 diperkirakan berperan untuk induksi sensitifitas insulin melalui sekresi GLP-1.
Selain itu, SCFA juga berperan dalam induksi hormone leptin.

Salah satu jenis SCFA yaitu butirat, memiliki fungsi dalam membantu energy harvesting pada sel
kolon. Butirat secara langsung menginduksi gen-gen yang berperan dalam gluconeogenesis
melalui aktivasi AMPK (Activated Protein Kinase), β-cell pancreas untuk sekresi insulin sehingga
meningkatkan protein transporter GLUT4. Dengan meningkatnya aktivitas GLUT4 glukosa darah
akan lebih mudah dimetabolisme menjadi energi. Namun, mekanisme kaitan SCFA mampu
memperbaiki status gizi penderita malnutrisi masih belum jelas dan belum banyak penelitian yang
mengekspolrnya lebig dalam.
Gambar 3. Kemungkinan peran SCFA terhadap metabolisme enrgi (Pekmez, Dragsted, and
Brahe 2018)

Ready to Use Therapeutic Food

Istilah protein energy malnutrition merujuk pada kondisi acute malnutrition, yang meliputi
marasmus, kwashiorkor, dan intermediate marasmus-kwashiorkor. Marasmus merupakan respon
adaptif tubuh terhadap kelaparan, sedangkan kwashiorkor kondisi dimana tubuh tidak dapat
beradaptasi dengan kelaparan. Sama halnya dengan makronutrient lain, kualitas dan daya cerna
protein sangat penting terkait penderita malnutrisi. Ketidakcukupan protein memiliki korelasi
dengan prevalensi terjadinya stunting, dan hal tersebut banyak dijumpai pada benua Afrika dan
Asia (Ghosh 2013). Berdasarkan penelitian (Semba et al. 2016), anak-anak penderita malnutrisi
mengalami defisiensi asam amino, terutama asam amino arginin, glisin, glutamin, asparagin,
glutamate dan serin (Semba, 2016). Dimana, asam amino tersebut berperan penting dalam system
metabolisme tubuh seperti sintesis protein, konjugasi garam empedu, fungsi proteksi usus, dan
biosintesis neurotransmitter (Laplante and Sabatini 2012). Pada penderita SAM, sintesis protein,
proteolysis, dan pertumbuhan tulang akan terhambat, hal ini karena dibutuhkan lipolysis dan
oksidasi lemak yang lebih besar untuk memenuhi kebutuhan energi. Sehingga sebagian besar
protein digunakan sebagai alternative lain untuk produksi energi.

Untuk menangani protein defisiensi atau


malnutrisi, maka WHO mengembangkan produk
suplementasi makanan untuk membantu
management penanganan SAM. Ready to Use
Therapeutic Food (RUTF) merupakan produk
pangan tinggi energi, tinggi fortifikasi lipid, dan
protein yang cocok digunakan untuk treatment
SAM (Hendricks 2010). RUTF harus memiliki
karakteristik lembut/mudah ditelan dan memiliki
rasa yang dapat diterima oleh anak-anak lebih dari
6 bulan tanpa penambahan air. Selain itu, sebagian
besar sumber protein dari RUTF harus berasal dari
susu (Rice et al. 2000). WHO sendiri telah
memiliki formula kusus yang digunakan sebagai
acuan dalam produksi RUTF (Tabel 1)(World
Health Organization et al. 2007). Anak-anak
pasien rawat inap dengan nafsu makan yang
rendah dan tidak memiliki komplikasi medis,
harus ditreatment dengan susu terapeutik (F75 dan kemudian F100) yang disertai dengan
antibiotic. Apabila kondisi menjadi lebih parah, pasien anak tersebut dianjurkan mengkonsumsi
RUTF (Thaxton et al. 2018). Hal tersebut merupakan salah satu langkah management diet untuk
mencegah terjadinya SAM pada anak-anak.

Beberapa penelitian terkait intervensi RUTF terhadap subjek malnutrisi telah dilakukan, meskipun
terdapat hasil yang berdampak positif maupun tidak memberikan efek sama sekali. Pada penelitian
yang dilakukan oleh (Amthor, Cole, and Manary 2009) yang menggunakan RUTF pada home-
based therapy, diketahui bahwa dari total 826 penderita malnutrisi, sebanyak 775 (93.7%)
mengalami perbaikan status gizi, 13 (1.8%) tetap menderita malnutrisi, 30 (3.6%) dieksklusi dan
8 (0,9%) mengalami kematian. Pasien merupakan anak-anak berumur 6-60 bulan dengan kondisi
SEM ataupun nafsu makan yang rendah, dengan total energi pada RUTF sebesar 175 kcal/kg/d
dan 5.3 g protein/kg/d. Intervensi RUTF dilakukan selama 10 minggu, dengan tiap 2 minggu
sekalai dilakukan pengukuran antropometri. Program lain juga dilakukan di Dhaka, Bangladesh
dengan intervensi milk-based therapeutic food, dari total 264 anak penderita SEM 82%
diantaranya mengalami perbaikan status gizi (Ashraf et al. 2007).

Penelitian lain mengenai pengembangan RUTF dilakukan oleh Heather 2016, pada penelitian
tersebut dibandingkan antara RUTF soy based dengan whey based terhadap perbaikan status gizi
anak penderita moderate acute malnutrition (MAM). Dari hasil penelitian diketahui bahwa
perbaikan status gizi pada kelompok whey based RUTF lebih baik jika dibandingkan dengan soy
based RUTF, yaitu 83,9% pada whey based RUTF dan 80,5% pada soy based RUTF. Hal tersebut
diperkirakan akibat perbedaan komposisi asam amino dan bioavailabilitasnya. Namun, pada
penelitian yang dilakukan oleh (Fatima et al. 2018), tidak mendapatkan hasil perbaikan status gizi
yang signifikan antara treatment RUTF dan ONS pada anak-anak mildly underweight. ONS (oral
nutritional supplements) sering digunakan untuk treatment penyakit yang diasosiasikan dengan
malnutrisi, dan efikasinya hanya pada pasien lanjut usia. Penelitian tersebut menunjukkan jika
RUTF dan ONS memiliki efikasi yang sama terhadap anak-anak mildly underweight, namun dari
segi manfaat dan efek keberlanjutan ONS kurang efektif untuk treatment pada anak-anak mildly
underweight.

Kesimpulan

Malnutrisi khususnya kasus kekurangan gizi masih menjadi permasalahan global, terutama pada
negara berkembang. Langkah-langkah terkait pencegahan dan treatment malnutrisi terus
dikembangkan termasuk diet management untuk malnutrisi. Dalam diet management tersebut
WHO menyarankan treatment menggunakan RUTF yang berdasarkan hasil penelitian mampu
meningkatakn status gizi penderita malnutrisi. Era baru gut microbiota sebagai target pengobatan
menemukan adanya hubungan antara malnutrisi dengan keragaman gut microbiota. Hal tersebut
membuka peluang baru sebagai langkah untuk pencegahan dan treatment terjadinya malnutrisi.

Daftar Pustaka

Alou, Maryam Tidjani et al. 2017. “Gut Bacteria Missing in Severe Acute Malnutrition, Can We
Identify Potential Probiotics by Culturomics?” Frontiers in Microbiology.
Amthor, Rachel E., Stephanie M. Cole, and Mark J. Manary. 2009. “The Use of Home-Based
Therapy with Ready-to-Use Therapeutic Food to Treat Malnutrition in a Rural Area during a
Food Crisis.” Journal of the American Dietetic Association.
Arumugam, Manimozhiyan, Jeroen Raes, Eric Pelletier, Denis Le Paslier, et al. 2011. “Enterotypes
of the Human Gut Microbiome.”
Arumugam, Manimozhiyan, Jeroen Raes, Eric Pelletier, Denis Le Paslier, et al. 2011. “Enterotypes
of the Human Gut Microbiome.” Nature 473(7346):174–80.
Ashraf, H. et al. 2007. “Day-Care Management of Children with Severe Malnutrition in an Urban
Health Clinic in Dhaka, Bangladesh.” Journal of Tropical Pediatrics.
Black, Robert E. et al. 2008. “Maternal and Child Undernutrition: Global and Regional Exposures
and Health Consequences.” The Lancet.
Fatima, Sadia, Dalia Malkova, Charlotte Wright, and Konstantinos Gerasimidis. 2018. “Impact of
Therapeutic Food Compared to Oral Nutritional Supplements on Nutritional Outcomes in
Mildly Underweight Healthy Children in a Low-Medium Income Society.” Clinical
Nutrition.
Ghosh, Shibani. 2013. “Assessment of Protein Adequacy in Developing Countries: Quality
Matters.” in Food and Nutrition Bulletin.
Hendricks, Kristy M. 2010. “Ready-to-Use Therapeutic Food for Prevention of Childhood
Undernutrition.” Nutrition Reviews.
Laplante, Mathieu and David M. Sabatini. 2012. “MTOR Signaling in Growth Control and
Disease.” Cell.
Ley, Ruth E., Peter J. Turnbaugh, Samuel Klein, and Jeffrey I. Gordon. 2006. “Microbial Ecology:
Human Gut Microbes Associated with Obesity.” Nature.
Million, Matthieu, Aldiouma Diallo, and Didier Raoult. 2017. “Microbial Pathogenesis Gut
Microbiota and Malnutrition.” Microbial Pathogenesis 106:127–38.
Monira, Shirajum et al. 2011. “Gut Microbiota of Healthy and Malnourished Children in
Bangladesh.” Frontiers in Microbiology.
Pekmez, Ceyda Tugba, Lars Ove Dragsted, and Lena Kirchner Brahe. 2018. “Gut Microbiota
Alterations and Dietary Modulation in Childhood Malnutrition - The Role of Short Chain
Fatty Acids.” Clinical Nutrition (Edinburgh, Scotland).
Rice, Amy L., Lisa Sacco, Adnan Hyder, and Robert E. Black. 2000. “Malnutrition as an
Underlying Cause of Childhood Deaths Associated with Infectious Diseases in Developing
Countries.” Bulletin of the World Health Organization.
Semba, Richard D. et al. 2016. “Child Stunting Is Associated with Low Circulating Essential
Amino Acids.” EBioMedicine.
Smith, Michelle I. et al. 2013. “Gut Microbiomes of Malawian Twin Pairs Discordant for
Kwashiorkor.” Science.
Thaxton, Grace E., Peter C. Melby, Mark J. Manary, and Geoffrey A. Preidis. 2018. “N e w I n s
i g h t s in t o t h e P a t h o g e n e s i s an d Tre a t m e n t of Malnutrition.”
UNICEF, WHO, and World Bank. 2014. “Levels and Trends in Child Malnutrition.” Midwifery.
Velly, Helene, Robert A. Britton, and Geoffrey A. Preidis. 2017. “Mechanisms of Cross-Talk
between the Diet, the Intestinal Microbiome, and the Undernourished Host.” Gut Microbes.
World Health Organization, World Food Programme, United Nations System Standing Committee
on Nutrition, and United Nations Children’s Fund. 2007. “Community-Based Management
of Severe Acute Malnutrition.” A Joint Statement by the World Health Organization, the
World Food Programme, the United Nations System Standing Committee on Nutrition and
the United Nations Children’s Fund.

Anda mungkin juga menyukai