Anda di halaman 1dari 44

EFEKTIVITAS OZON TOPIKAL SEBAGAI TERAPI ABSES

PERIANAL DITINJAU DARI PENINGKATAN VEGF PADA TIKUS


SPRAGUE DAWLEY

Proposal
Untuk Pengajuan Usulan Penelitian Tesis S2 Magister Ilmu Biomedik

dr . Herry Maha Putra Surbakti


22010117420031

PROGRAM STUDI BIOMEDIK KONSENTRASI ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG 2018
BAB I LEMBAR PENGESAHAN
EFEKTIVITAS OZON TOPIKAL SEBAGAI TERAPI ABSES
PERIANAL DITINJAU DARI PENINGKATAN VEGF PADA TIKUS
SPRAGUE DAWLEY

Disusun Oleh :
dr . Herry Maha Putra Surbakti
22010117420031

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. dr. Renni Yuniati, Sp.KK., FINSDV


NIP. 1972062320090220

Mengetahui,
Ketua Program Studi Magister Ilmu Biomedik
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

Dr. dr. Yan Wisnu Prajoko, M. Kes, Sp. B, K(Onk)


NIP. 19750124200801 1 006
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................


1.1 Latar Belakang ............................................................................................
1.2 Tujuan Penelitian ........................................................................................
1.3 Rumusan Masalah .......................................................................................
1.4 Manfaat Penelitian ......................................................................................
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................
2.1 Kulit Manusia....................................................................................
2.1.1 Epidermis .................................................................................
2.1.2 Dermis ......................................................................................
2.1.3 Jaringan Subkutan....................................................................
2.1.4 Adneksa Kulit ..........................................................................
2.2 Abses Perianal .............................................................................................
2.3. Ozon
2.3.1 Karakteristik Ozon…………………………………………………………..
2.3.2 Efek Reologis ………………………………………………………………….
2.4. VEGF .........................................................................................................
2.5. Peran Ozon sebagai Terapi Penyembuhan Abses Perianal........................
BAB III METODE PENELITIAN ...................................................................
3.1 Rancangan penelitian ..................................................................................
3.2. Penelitian Tahap I ......................................................................................
3.3. Jadwal penelitian ........................................................................................
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................
LAMPIRAN ......................................................................................................
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Struktur mikroskopis kulit.
Gambar 2. Klasifikasi Fistula Perianal Menurut Parks
Gambar 3. Lokasi Abses
Gambar 4. Patofisiologi abses dan fistula perianal
Gambar 5. Daerah penyebaran infeksi pada perianal space
Gambar 6. Lokasi abses dan fistula perianal
Gambar 7. Fistulografi (anteroposterior)
Gambar 8. USG Endoanal
Gambar 9. CT Scan Abses dan Fistula Perianal
Gambar 10. MRI Abses Perianal
Gambar 11. Drainase Abses Perianal
Gambar 12. Fistulotomi
Gambar 13. Fistulektomi
Gambar 14. Placement of a noncutting seton
Gambar 15. Advancement Flap
Gambar 16. Fibrin Glue
Gambar 17. Mekanisme metabolik pada Reaksi Ozon Criegee dan aldehide.
Gambar 18. Diagram fish bone rancangan penelitian .......................................
Gambar 19. Skema alat Reaktor double DBD ..................................................
Gambar 20. Skema alat pembuatan minyak berozon .......................................
Gambar 21. Alur penelitian uji coba minyak berozon pada tikus model abses
perianal ..............................................................................................................
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Klasifikasi ...........................................................................................
Tabel 2. Efek biokimia ozon dalam darah ........................................................
Tabel 3. Dosis ozon secara empiris mempengaruhi kapasitas antioxidant di tubuh
manusia .............................................................................................................
Tabel 4. Dosis pemakaian terapi ozon untuk penyembuhan luka ....................
Tabel 5. Jadwal penelitian.................................................................................
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Abses perianal merupakan infeksi pada jaringan lunak sekitar saluran
anal, dengan pembentukan abses rongga diskrit. Tingkat keparahan dan
kedalaman dari abses cukup variabel, dan rongga abses sering dikaitkan dengan
pembentukan saluran fistulous. Lokasi klasik abses anorectal tercantum dalam
urutan penurunan frekuensi adalah sebagai berikut: perianal 60%, ischiorectal
20%, intersphincteric 5%, supralevator 4%, dan submukosa 1%.1
Kejadian puncak dari abses anorektal adalah di dekade ketiga dan
keempat kehidupan. Pria lebih sering terkena daripada wanita, dengan dominasi
laki-perempuan 2:01-3:01. Sekitar 30% dari pasien dengan abses anorektal
laporan riwayat abses serupa yang baik diselesaikan secara spontan atau
intervensi bedah diperlukan. (Gearheart, Susan L. 2008)
Sebuah insiden yang lebih tinggi dari pembentukan abses tampaknya
sesuai dengan musim semi dan musim panas. Sementara demografi
menunjukkan disparitas yang jelas dalam terjadinya abses anal sehubungan
dengan usia dan jenis kelamin, tidak ada pola yang jelas ada di antara berbagai
negara atau wilayah di dunia. Adapun hubungan langsung antara pembentukan
abses anorektal dan kebiasaan buang air besar, diare sering, dan kebersihan
pribadi yang buruk tetap tidak terbukti. (Gearheart, Susan L. 2008)
Terjadinya abses perianal pada bayi juga cukup umum. Mekanisme yang
tepat adalah kurang dipahami tetapi tidak tampaknya berkaitan dengan sembelit.
Untungnya, kondisi ini cukup jinak pada bayi, jarang memerlukan intervensi
operasi pada pasien ini selain drainase sederhana. (Gearheart, Susan L. 2008)
Fistula perianal merupakan sebuah hubungan yang abnormal antara epitel
dari kanalis anal dan epidermis dari kulit perianal. Fistula perianal adalah
bentuk kronik dari abses anorektal yang tidak sembuh yang membentuk traktus
akibat inflamasi. Prevalensi fistel perianal sebanyak 8,6 kasus tiap 100.000
populasi. Pada pria 12,3% sedangkan pada wanita berkisar 5,6 % pada 100.000
populasi. Rasio pada pria dan wanita adalah 1,8:1 dengan umur rata-rata
penderita adalah 38 tahun. Sebagian besar fistula terbentuk dari sebuah abses
(tapi tidak semua abses menjadi fistula). Sekitar 40% pasien dengan abses akan
terbentuk fistula. Hampir semua fistel perianal disebabkan oleh perforasi atau
penyaliran abses anorektum, sehingga kebanyakan fistel mempunyai satu muara
di kripta diperbatasan anus dan rektum dan lubang lain di perineum kulit
perianal. Sebagian besar fistula ani memerlukan operasi karena fistula ani
jarang sembuh spontan. Setelah operasi risiko kekambuhan fistula termasuk
cukup tinggi yaitu sekitar 21% (satu dari lima pasien dengan fistula post operasi
akan mengalami kekambuhan). (Gearheart, Susan L. 2008)

Ozon diklaim sebagai alternatif yang potensial untuk dijadikan agen yang
berperan dalam penyembuhan luka selain terapi konvensional yang sudah ada.
Hingga saat ini, penggunaan ozon baik secara sistemik berupa autohemoterapi
maupun topikal telah diaplikasikan untuk membantu penyembuhan luka seperti
luka bakar, luka tembak, luka terinfeksi, ulkus gangren diabetikum, ulkus
dekubitus, luka post operasi dll. Terapi ozon untuk luka umumnya diberikan
secara topikal sebagai antimikroba (HTA Indonesia, 2004, dalam Megawati,
Hakimi, & Sumaryani, 2015).
ws
Ozon beroksidasi melibatkan banyak komponen darah, seperti
lipoprotein, protein plasma, limfosit, monosit, granulasi, trombrosit, dan
eritrosit yang berperan dalam penyembuhan luka. Ozon berpotensi sebagai
alternatif yang pontensial untuk dijadikan agen yang membantu penyembuhan
luka pada kulit. Ozon bereaksi pada setiap organ dan permukaan tempat
berkontaknya (misalnya sel endotel). Dalam pertahanan terhadap oksidasi
dan terjadinya ROS, diaktifkan berbagai sistem anti-oksidan dan terjadilah
produksi enzim anti-oksidan. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui efek
pemberian ozon dalam mempercepat waktu penyembuhan luka Abses perianal
pada tikus Sprague Dawley yang diberi ozon .
Penyembuhan luka merupakan suatu rangkaian proses dengan dinamika
yang sangat tinggi dan terdiri dari tahapan yang saling mengikuti yaitu diawali
dari tahap inflamasi, proliferasi sel, deposisi matrik hingga fase remodeling.
Semua fase perbaikan termasuk fase inflamasi, re-epitelisasi dan pembentukan
granulasi jaringan merupakan bagian yang dipengaruhi secara kompleks oleh
growth factor dan sitokin yang secara langsung mengarah ke area luka (Sule
Coskun et al., 2007). Pada kaskade penyembuhan luka secara normal selalu
diawali dengan proses yang berlangsung secara teratur dari proses hemostasis
dan deposisi fibrin lalu mengarah pada kaskade sel-sel inflamasi yang
dikarakterkan oleh netrofil,makrofag dan limfosit pada area luka. Proses ini
kemudian diikuti dengan penarikan dan proliferasi fibroblast dilanjutkan dengan
penumpukan dan remodeling oleh kolagen hingga terjadi pematangan bekas
luka (Robert F. Diegelmann, 2004).
Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) juga dikenal sebagai
vascular permeability factor yang aktifitasnya dapat meningkatkan
vasopermeabel yang memungkinkan perembesan protein seperti fibrinogen dan
fibronektin yang merupakan bentuk essensial dari provisional matrik. VEGF
juga berperan sebagai mitogen potent dari sel endotel yang menginduksi migrasi
dan pertunasan sel endotel dalam pembentukan pembuluh darah baru melalui
pengaturan beberapa reseptor integrin sel endotel (Ricardo Jose de Mendoca,
2012).
Peran VEGF dalam penyembuhan luka adalah sebagai stimulator
terjadinya angiogenesis. Angiogenesis pada proses penyembuhan luka
melibatkan berbagai tahapan yaitu vasodilatasi, degradasi basement membrane,
migrasi sel endotel dan proliferasi sel endotel. Diikuti dengan terjadinya
pembentukan pembuluh kapiler, anastomosis pertunasan parallel capillary dan
diakhiri dengan pembentukan basement membrane baru. Gambaran utama dari
perbaikan luka secara normal adalah terbentuknya jaringan granulasi.
Komponen vaskular yang mempengaruhi penyembuhan luka tergantung pada
proses angiogenesis. Pembentukan pembuluh darah baru terlihat paling awal 3
hari setelah luka. Pertumbuhan pembuluh darah kapiler pada luka berfungsi
untuk menyalurkan nutrisi dan berbagai mediator penyembuhan serta membrane
metabolite. Inhibisi terhadap angiogenesis akan melemahkan proses
penyembuhan luka (Phillip Bao et al., 2009).

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menambah pengetahuan tentang pengaruh


ozon terhadap waktu penyembuhan luka pada jaringan kulit dan memberikan
informasi ilmiah dalam bidang farmakologi mengenai manfaat pemberian
terapi ozon sebagai alternatif dalam penyembuhan luka pada jaringan kulit
terutama pada abses perianal ,dan untuk memberikan informasi alternatif
baik kepada masyarakat umum maupun dalam penggunaan ozon dan
lama pemaparannya dalam mempercepat waktu penyembuhan luka pada
jaringan kulit.
1.3 Rumusan Masalah

Dari hal-hal yang telah dikemukakan diatas maka dapat kami rangkum
beberapa permasalahan yaitu :
1.3.1. Masalah Umum
Apakah pemakaian salep ozon efektif dalam meningkatkan respon
penyembuhan luka pada luka abses perianal tikus Sprague Dawley?

1.3.2. Masalah Khusus


Apakah pemakaian salep ozon efektif dalam meningkatkan respon
penyembuhan luka pada luka abses perianal tikus Sprague Dawley ditinjau dari
peningkatan sebukan VEGF secara topikal dibandingkan dengan yang tidak
mendapatkan salep ozon?

1.4. Manfaat Penelitian

1. Manfaat akademik dalam penelitian ini ditujukan agar dapat menambah


pengetahuan tentang pengaruh ozon dalam mempercepat waktu
penyembuhan luka abses perianal dan memberikan informasi ilmiah
mengenai pemberian terapi ozon sebagai alternatif dalam penyembuhan
luka

2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi terobosan baru dalam


penanganan luka abses perianal sehingga dapat mengurangi penderitaan
pasien

3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan untuk penelitian-


penelitian lanjutan mengenai efek ozon topikal terhadap penyembuhan
abses perianal.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kulit Manusia


Kulit manusia merupakan organ tipis yang luas, dengan ketebalan antara
0,5 mm – 1,5 mm bergantung pada letak, umur, gizi, jenis kelamin, dan suku,
serta membentuk 15-20% berat badan total. Kulit yang tipis terletak pada
kelopak mata, bagian dalam lengan atas, dan genital; sedangkan kulit yang
lebih tebal terletak pada telapak tangan, telapak kaki, punggung, dan bokong.
Luas permukaan kulit dewasa sekitar 1,5 – 2 m2.(20,21)
Kulit berfungsi sebagai pelindung dari trauma mekanis, radiasi, kimiawi,
dan kuman infeksius melalui asam laktat dalam keringat dan asam amino hasil
perubahan keratinisasi yang mempertahankan pH kulit antara 4-6,
perlindungan imunologik, ekskresi, indera peraba karena mengandung ujung
saraf sensorik di dermis, pengaturan suhu tubuh melalui dua lapis pleksus
pembuluh darah dermis dan penguapan keringat, pembentukan vitamin D3,
yang diperlukan pada metabolisme kalsium dan pembentukan tulang secara
tepat melalui kerja sinar ultraviolet, dan kosmetis.(20,21)
Kulit terdiri dari tiga lapisan, yaitu epidermis dan dermis. Di bawah
dermis, terdapat lemak subkutan.(21)

2.1.1 Epidermis
Lapisan epidermis adalah suatu lapisan kulit yang selalu beregenerasi
setiap sekitar dua setengah bulan dengan ketebalan antara 0,4 mm – 1,5 mm.
Epidermis tidak memiliki aliran darah langsung. Sel-sel epidermis mendapat
makanan melalui difusi dari jaringan vascular padat dermis. Epidermis
terutama terdiri dari epitel berlapis gepeng berkeratin.(22)
Epidermis terdiri dari berbagai lapisan, yaitu :(22)
1) Stratum korneum.
Terdiri atas 15-20 lapis sel gepeng berkeratin tanpa inti dengan sitoplasma
yang dipenuhi keratin filamentosa. Korneosit lebih berperan dalam memberi
penguatan terhadap trauma mekanis, produksi sitokin yang memulai proses
peradangan serta perlindungan terhadap sinar ultraviolet.
2) Stratum lusidum.
Hanya dijumpai pada kulit yang tebal dan terdiri atas lapisan tipis translusen
sel eosinofilik yang sangat pipih.
3) Stratum granulosum.
Terdiri atas 3-5 lapis sel polygonal gepeng yang mengalami diferensiasi
terminal.
4) Stratum spinosum.
Merupakan lapisan epidermis yang paling tebal, terdiri atas sel kuboid atau
agak gepeng dengan inti di tengah. Keratinosit stratum spinosum memiliki
bentuk polygonal.
5) Stratum basalis.
Terdiri atas selapis sel kuboid atau kolumnar basofilik. Keratinosit berjajar di
atas lapisan structural yang disebut basal membrane zone (BMZ). Sitoplasma
keratinosit banyak mengandung melanin, pigmen warna yang tersimpan di
dalam melanosome.
Epidermis secara dominan terusun dari keratinosit, melanosit, sel
Langerhans, dan sel Merkel. Melanosit memproduksi melanin dari tirosin dan
sistein. Melanin akan melindungi kulit dari efek sinar ultraviolet. Sel
Langerhans berfungsi sebagai makrofag dan menghasilkan antibody yang
menjaga tubuh melalui mekanisme reaksi imun terhadap infeksi virus atau
pembentukan neoplasma.(22)

2.1.2 Dermis
Dermis adalah lapisan di bawah epidermis, suatu lapisan jaringan ikat yang
menunjang epidermis dan mengikatnya pada jaringan subkutan
(hypodermis). Dermis tersusun dari fibroblast, sel Mast, histiosit, monosit,
limfosit, dan sel Langerhans. Integritas dermis disokong oleh matriks yang
mengandung substansi dasar dan dua tipe serabut protein, yaitu kolagen
(penyokong utama, untuk kekuatan) dan elastin (untuk peregangan). Pada
dermis juga ditemukan atribut tambahan, seperti folikel rambut, kelenjar
sebaseus, dan kelenjar keringat (apokrin dan ekrin). Pada dermis, terdapat
dua lapis pleksus kapiler dan di antaranya terdapat badan glomus yang
mengandung shunt arteri vena. Terdapat juga reseptor saraf sensorik berupa
badan Pacini (tekanan), Meissner (getaran), dan Rufini (sentuhan), serta
Merkel (suhu, sentuhan, sensasi nyeri dan gatal).(22)
Dermis terdiri dari dua lapisan, yaitu stratum papilare dan stratum
retikulare.(21,22)
Kulit mengandung tiga jenis kelenjar, yaitu kelenjar keringat ekrin di telapak
tangan dan kaki, aksila, serta dahi; kelenjar keringat apokrin di aksila dan
anogenital; serta kelenjar sebaseus. Folikel rambut selain menumbuhkan
rambut juga mengandung sel pluripotent yang dapat bermigrasi dan menjadi
epitel bila terjadi luka, serta dapat melakukan hematopoiesis.(22)
Jika terjadi perlukaan pada kulit, epitel pada kelenjar dan folikel rambut akan
bermitosis dan bermigrasi untuk menutupi luka. Bila tidak ada sisa epitel,
luka yang tidak terlalu luas masih dapat tertutup melalui proses mitosis dan
migrasi epitel dari tepi luka disertai kontraksi luka. Migrasi epitel hanya
dapat berlangsung secara mendatar, tetapi tidak bisa naik (misal pada luka
yang tertutup granuloma).(22)

2.1.3 Jaringan Subkutan


Lapisan subkutan terdiri atas jaringan ikat longgar yang mengikat kulit
secara longgar pada organ-organ di bawahnya. Lapisan ini disebut juga
hypodermis dan sebagian besar sel lemak terdapat di dalam hypodermis.
Suplai vascular yang luas di lapisan subkutan dapat berfungsi untuk
meningkatkan ambilan insulin dan obat yang disuntikkan ke dalam jaringan
ini secara cepat.(22,23)

2.1.4 Adneksa Kulit


Yang tergolong dalam adneksa kulit adalah rambut, kelenjar ekrin dan
apokrin, kelenjar sudorifera, serta kuku. Folikel rambut sering disebut
sebagai unit pilosebasea karena terdiri atas bagian rambut dan kelenjar
sebasea yang bermuara ke bagian folikel rambut yang disebut ismus.(22,23)
a) Kelenjar keringat
Kelenjar keringat tersebar hampir di seluruh tubuh. Kelenjar ini
mengeluarkan larutan garam encer melalui pori ke permukaan kulit.
Penguapan keringat penting dalam mengatur suhu.(22,23)
a. Kelenjar sebasea
Terdapat sekitar 100 kelenjar/cm2; pada muka dan kulit kepala dapat
mencapai 400-900 kelenjar/cm2. Kelenjar sebasea merupakan kelenjar
asinar bercabang dengan sejumlah asini yang bermuara ke dalam saluran
pendek dan biasanya berakhir di atas folikel rambut. Sel kelenjar sebasea
menghasilkan sebum, suatu sekresi yang berminyak.(22,23)
b. Folikel rambut
Setiap folikel rambut dilapisi oleh sel penghasil keratin khusus, yang
mengeluarkan keratin dan protein lain yang membentuk batang rambut.
Folikel rambut merupakan invaginasi epitel epidermis.(22,22)
Gambar 1. Struktur mikroskopis kulit. Sumber : Junquiera, 2014.(22)

2.2. Abses Perianal

Abses perianal meruakan merupakan infeksi jaringan lunak di sekitar


kanalis analis, dengan pembentukan rongga abses. Keparahan dan kedalaman
abses cukup variable dan rongga abses sering dikaitkan dengan pembentukan
saluran fistula (fistula tract). Fistula perianal adalah suatu hubungan yang
abnormal antara epitel dari kanalis anal dan epidermis dari kulit perianal. Fistula
perianal merupakan bentuk kronik dari abses anorektal yang tidak sembuh
sehingga membentuk traktus. (Hebra, Andre. 2014)
Abses dan fistula Perirectal merupakan gangguan anorektal yang timbul
didominasi dari obstruksi kriptus dubur. Infeksi dari hasil sekresi kelenjar
sekarang statis di nanah dan pembentukan abses dalam kelenjar dubur.
Biasanya, abses bentuk awalnya dalam ruang intersphincteric dan kemudian
menyebar di sepanjang ruang potensial yang berdekatan. (Hebra, Andre. 2014)
Hampir semua fistel perianal disebabkan oleh perforasi atau penyaliran
abses anorektum, sehingga kebanyakan fistel mempunyai satu muara di kripta
di perbatasan anus dan rektum dan lubang lain di perineum kulit perianal.
Kadang fistel disebabkan colitis yang disertai proktitis, seperti TBC,
amubiasis, atau morbus crohn. Fistel dapat terletak di subkutis, submukosa,
antarsfingter atau menembus sfingter. Mungkin fistel terletak anterior, posterior,
lateral. Bentuknya mungkin lurus, bengkok, atau mirip sepatu kuda. Umumnya
fistel ditemukan tunggal atau kadang-kadang ditemukan kompleks. (Hebra,
Andre. 2014)
Hipotesis yang paling jelas adalah kriptoglandular. Fistula perianal
merupakan abses anorektum tahap akhir yang telah didrainase dan membentuk
traktus. Kanalis anal mempunyai 6-14 kelenjar kecil yang terproyeksi melalui
sfingter anal dan menuju kripta pada linea dendata. Kelenjar dapat terinfeksi
dan menyebabkan penyumbatan dan terperangkapnya feses dan bakteri
dalam kelenjar. Penyumbatan ini juga dapat terjadi setelah trauma, pengeluaran
feses yang keras, atau inflamasi. Apabila kripta tidak kembali membuka ke
kanalis anal maka akan terbentuk abses di dalam rongga intersfingteric. Abses
lama kelamaan akan meninggalkan jalan keluar dengan meninggalkan fistula.
(Hebra, Andre. 2014)
Aturan Goodsall dapat membantu untuk mengantisipasi keadaan anatomi
dari fistula perianal. Fistel dengan lubang kripta di sebelah anterior umumnya
berbentuk lurus. Fistel dengan lubang yang berasal dari kripta di sebelah
dorsal umumnya tidak lurus tetapi bengkok ke depan karena radang dan pus
terdorong ke anterior disekitar m.pubrorektalis dan dapat membentuk satu
lubang perforasi atau lebih di sebelah anterior. (Hebra, Andre. 2014)
Klasifikasi fistula perianal menurut Parks dibagi atas :
1. Intersfingteric : lebih sering terjadi sekitar 70% kasus, melewati internal
sfingter ke celah intersfingteric lalu ke perineum. Fistula jenis ini
diakibatkan oleh abses perianal. Pada fistula intersfingteric juga bisa
didapatkan traktus buntu yang tinggi dengan arah ke atas ruang
intersfingteric menuju ke ruang supralevator. Bukaan eksternalnya
biasanya pada kulit perianal yang dekat dengan pinggiran anal.
2. Transfingteric : pada 25% kasus, berjalan dari ruang intersfingteric
melewati sfingter eksternal ke fossa ischiorectal lalu ke perineum. Fistula
jenis ini banyak diakibatkan oleh abses ischiorektal. Fistula jenis ini dapat
mempunyai traktus buntu yang tinggi dan dapat mencapai apeks dari
fossa ischiorectal atau dapat memanjang melalui otot levator ani dan ke
dalam pelvis.
3. Suprasfingteric : pada 5% kasus, melalui ruang intersfingteric superior
diatas otot puborectalis ke fossa ischiorectalis dan perineum. Traktus
buntu dapat juga timbul pada jenis ini dan mengakibatkan pemanjangan
bentuk tapal kuda.
4. Extrasfingteric : hanya pada 1% kasus, dari kulit perianal melalui otot-
otot levator ani pada dinding rectum tanpa melewati mekanisme sfingter.
Biasanya terjadi karena penetrasi benda asing pada rektum, Morbus
Crohn, paling sering karena iatrogenic sekunder setelah pemeriksaan
yang terlalu berlebih saat operasi. (Hebra, Andre. 2014)
Gambar 2. Klasifikasi Fistula Perianal Menurut Parks

Gambar 3. Lokasi Abses


Sebagaimana disebutkan di atas, abses dan fistula mewakili perirectal
gangguan anorektal yang muncul didominasi dari obstruksi kriptus dubur.
Anatomi normal menunjukkan di mana saja 4-10 kelenjar dubur dikeringkan
oleh kriptus masing pada tingkat linea dentata. Kelenjar dubur biasanya
berfungsi untuk melumasi lubang anus. Obstruksi dubur kriptus hasil dalam
stasis sekresi kelenjar dan, ketika kemudian terinfeksi, supurasi dan
pembentukan abses dalam hasil kelenjar dubur. Abses biasanya terbentuk di
ruang intersphincteric dan dapat menyebar di sepanjang ruang berbagai potensi.

Gambar 4. Patofisiologi abses dan fistula perianal (A=Infeksi dari usus


menyerang kriptus analis atau kelenjar analis lain. Proses primer ini terjadi pada
linea dentata ; B dan C=Infeksi menyebar ke jaringanperianal dan perirektal
secara tidak langsung melalui system limfatik atau secara langsung melalui
struktur kelenjar ; D=Terbentuk abses ; E=Abses pecah spontan, menorehkan
lubang pada permukaan kulit perianal dan terbentuk fistula komplit ;
F=Terbentuk fistula.
Organisme umum terlibat dalam pembentukan abses termasuk
Escherichia coli, spesies Enterococcus, dan spesies Bacteroides, namun, tidak
ada bakteri tertentu telah diidentifikasi sebagai penyebab unik dari abses.
Penyebab kurang umum dari abses perianal yang harus dipertimbangkan dalam
diagnosis diferensial meliputi TBC, karsinoma sel skuamosa, adenokarsinoma,
actinomycosis, venereum limfogranuloma, penyakit Crohn, trauma, leukemia,
dan limfoma. Ini dapat mengakibatkan pengembangan atipikal fistula-in-ano
atau fistula rumit yang gagal untuk merespon perawatan bedah konvensional.
(Gearheart, Susan L. 2008)
Seiring membesarnya abses, abses dapat menyebar ke beberapa arah.
Abses perianal adalah manifestasi paling umum dan muncul sebagai
pembengkakan yang nyeri di ambang analis. Menyebar melalui sphincter
eksternal di bawah tingkat puborectalis menghasilkan abses iskiorektalis. Abses
ini dapat menjadi sangat besar dan mungkin tidak terlihat di daerah perianal.
Pemeriksaan digital rektal dapat ditemukan pembengkakan yang nyeri di lateral
fossa iskiorektalis. Abses Intersfingterik terjadi di ruang intersfingterik dan
sangat sulit untuk didiagnosa, sering membutuhkan pemeriksaan di bawah
anestesi. Abses pelivik dan supralevator jarang terjadi dan mungkin hasil dari
perpanjangan abses intersfingterik atau iskiorektalis ke atas, atau perpanjangan
abses intraperitoneal ke bawah. (Hebra, Andre. 2014)

Gambar 5. Daerah penyebaran infeksi pada perianal space

Gambar 6. Lokasi abses dan fistula perianal

Pasien dengan abses perianal biasanya mengeluhkan ketidaknyamanan


perianal kusam dan pruritus. Nyeri perianal mereka sering diperburuk oleh
gerakan dan tekanan perineum meningkat dari duduk atau buang air besar.
Pemeriksaan fisik menunjukkan eritematosa, kecil, didefinisikan dengan baik,
berfluktuasi, subkutan massa di dekat lubang anus. (Hebra, Andre. 2014)
Pasien dengan abses iskiorektalis sering hadir dengan demam sistemik,
menggigil, dan sakit parah dan kepenuhan perirectal konsisten dengan sifat
lebih maju dari proses ini. Tanda-tanda eksternal yang minimal dan dapat
mencakup eritema, indurasi, atau fluctuancy. Pada pemeriksaan dubur digital
(DRE), massa, berfluktuasi indurated mungkin ditemui. Penilaian fisik yang
optimal dari suatu abses iskiorektalis mungkin memerlukan anestesi untuk
mengurangi ketidaknyamanan pasien yang dinyatakan akan membatasi tingkat
pemeriksaan. (Hebra, Andre. 2014)

Pasien dengan abses intersphincteric hadir dengan nyeri rektum dan


kelembutan menunjukkan terlokalisasi pada Dre. Pemeriksaan fisik mungkin
gagal untuk mengidentifikasi abses intersphincteric. Meskipun jarang, abses
supralevator menyajikan sebuah tantangan diagnostik yang sama. Akibatnya,
kecurigaan klinis abses intersphincteric atau supralevator mungkin memerlukan
konfirmasi melalui dihitung (CT) scan tomografi, magnetic resonance imaging
(MRI), atau ultrasonografi dubur. Penggunaan modalitas terakhir adalah
terbatas untuk mengkonfirmasikan adanya abses intersphincteric. (Hebra,
Andre. 2014)

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien dengan fistel


perianal harus dilengkapi dengan rektoskopi untuk menentukan adanya
karsinoma atau proktitis TB, amuba, morbus Crohn. Fistulografi berguna pada
keadaan kompleks. Fistulografi dilakukan dengan injeksi kontras melalui
pembukaan internal, diikuti dengan anteroposterior, lateral dan gambaran X-ray
oblik untuk melihat jalur fistula.

Pemeriksaan lain yang bisa dilakukan adalah EUA (Examination Under


Anasthesia), CT Scan, USG endoanal (digunakan untuk menentukan hubungan
antara traktus primer dengan sfingter anal, untuk menentukan apakah simpel
atau kompleks dengan perpanjangan, dan untuk menentukan lokasi bukaan
primer) dan MRI (sangat akurat dalam mengidentifikasi bukaan internal dan
traktus fistula). MRI menjadi pilihan utama dalam mengidentifikasi fistula yang
kompleks.
Gambar 7. Fistulografi (anteroposterior)

Gambar 8. USG Endoanal

Gambar 9. CT Scan Abses dan Fistula Perianal

Pemeriksaan colok dubur dibawah anestesi dapat membanru dalam kasus-


kasus tertentu, karena ketidaknyamanan pasien yang signifikan dapat
menghalangi penilaian terhadap pemeriksaan fisik yang menyeluruh.
Contohnya, evaluasi terhadap abses ischiorektal yang optimal dapat dilakukan
dengan hanya menggunakan pemeriksaan colok dubur. Dengan adanya obat
anestesi, fistula dapat disuntikkan larutan peroksida untuk memfasilitasi
visualisasi pembukaan fistula internal. Bukti menunjukkan bahwa penggunaan
visualisasi endoskopik (transrektal dan transanal) adalah cara terbaik untuk
mengevaluasi kasus yang kompleks abses perianal dan fistula. Dengan teknik
endoskopik, tingkat dan konfigurasi dari abses dan fistula dapat jelas
divisualisasikan. Visualisasi endoskopi telah dilaporkan sama efektifnya seperti
fistulografi. Jika ditangani dengan dokter yang berpengalaman, evaluasi secara
endoskopik adalah prosedur diagnostik pilihan pada pasien dengan kelainan
perirektal karena rendahnya risiko infeksi serta kenyamanan pasien tidak
terganggu. Evaluasi secara endoskopik setelah pembedahan juga efektif untuk
memeriksa respon pasien terhadap terapi. (Gearheart, Susan L. 2008)

Pemeriksaan Laboratorium
Belum ada pemeriksaan laboratorium khusus yang dapat dilakukan untuk
mengevaluasi pasien dengan abses perianal atau anorektal, kecuali pada pasien
tertentu, seperti individu dengan diabetes dan pasien dengan imunitas tubuh
yang rendah karena memiliki risiko tinggi terhadap terjadinya sepsis bakteremia
yang dapat disebabkan dari abses anorektal. Dalam kasus tersebut, evaluasi
laboratorium lengkap adalah penting. (Gearheart, Susan L. 2008)
Gambar 10. MRI Abses Perianal

Pada kebanyakan pasien dengan abses anorektal, terapi medikamentosa


dengan antibiotik biasanya tidak diperlukan. Namun, pada pasien dengan
peradangan sistemik, diabetes, atau imunitas rendah, antibiotik wajib diberikan.
(Hebra, Andre. 2014)
Abses anorektal harus diobati dengan drainase sesegera mungkin setelah
diagnosis ditegakkan. Jika diagnosis masih diragukan, pemeriksaan di bawah
anestesi sering merupakan cara yang paling tepat baik untuk mengkonfirmasi
diagnosis serta mengobati. Pengobatan yang tertunda atau tidak memadai
terkadang dapat menyebabkan perluasan abses dan dapat mengancam nyawa
apabila terjadi nekrosis jaringan yang besar, atau bahkan septikemia. Antibiotik
hanya diindikasikan jika terjadi selulitis luas atau apabila pasien
immunocompromised, menderita diabetes mellitus, atau memiliki penyakit
katub jantung. Namun, pemberian antibiotik secara tunggal bukan merupakan
pengobatan yang efektif untuk mengobati abses perianal atau perirektal. (Hebra,
Andre. 2014)
Kebanyakan abses perianal dapat didrainase di bawah anestesi lokal di
kantor, klinik, atau unit gawat darurat. Pada kasus abses yang besar maupun
pada lokasinya yang sulit mungkin memerlukan drainase di dalam ruang
operasi. Insisi dilakukan sampai ke bagian subkutan pada bagian yang paling
menonjol dari abses. Eksisi “Dog ear" yang timbul setelah insisi dipotong untuk
mencegah penutupan dini. Luka dibiarkan terbuka dan Sitz bath dapat dimulai
pada hari berikutnya. (Hebra, Andre. 2014)

Gambar 11. Drainase Abses Perianal

Skema Penatalaksanaan Abses Perianal


Penatalaksanaan pada pasien dengan fistel perianal adalah dengan
konservatif dan pembedahan. Terapi konservatif medikamentosa dengan
pemberian analgetik, antipiretik serta profilaksis antibiotik jangka panjang
untuk mencegah fistula rekuren. Pembedahan yang dianjurkan sedapat mungkin
dilakukan fistulotomi artinya fistel dibuka dari lubang asalnya sampai ke lubang
kulit. Luka dibiarkan terbuka sehingga menyembuh mulai dari dasar per
sekundam intentionem. Luka biasanya akan sembuh dalam waktu agak singkat.
Kadang dibutuhkan operasi dua tahap untuk menghindari terpotongnya sfingter
anus. (Hebra, Andre. 2014)

Terapi pembedahan
Fistulotomi: Fistel di insisi dari lubang asalnya sampai ke lubang
kulit, dibiarkan terbuka, sembuh per sekundam intentionem. Fistulotomy
merupakan tindakan bedah untuk mengobati anal fistula dengan cara membuka
saluran yang menghubungkan anal canal dan kulit kemudian mengalirkan pus
keluar. Fistulotomy dikerjakan bila saluran fistula melewati spingter ani, dan
bila tidak melewati spingter ani maka dilakukan Fistulectomy. (Zollinger R.M,
2011)
Teknik Operasi
Posisi pasien litotomi atau knee chest :
1. Dilakukan anestesi regional atau general
2. Sebelum melakukan operasi sangat penting untuk meraba adanya jaringan
fibrotik saluran fistel di daerah perianal maupun dekat linea dentata,
sehingga dapat ditentukan asal dari fistel
3. Dengan tuntunan rektoskopi dicari internal opening dengan cara
memasukkan methilen blue yang dapat dicampuri perhidrol
4. Bila internal opening belum terlihat dilakukan sondage secara perlahan
dengan penggunaan sonde tumpul yang tidak kaku kedalam fistula dan
ujung sonde diraba dengan jari tangan operator yang ditempatkan dalam
rektum
5. Bila internal opening telah ditemukan, dengan tuntunan sonde, dapat
dilakukan fistulotomi yaitu dengan cara insisi fistula searah panjang
fistula dan dinding fistula dilakukan curettage untuk pemeriksaan
patologi. Hati-hati jangan sampai memotong sfingter eksterna.
6. Luka operasi ditutup dengan tampon
Gambar 12. Fistulotomi

Fistulektomi: Jaringan granulasi harus dieksisi keseluruhannya untuk


menyembuhkan fistula. Terapi terbaik pada fistula ani adalah membiarkannya
terbuka.

Gambar 13. Fistulektomi

Seton: benang atau karet diikatkan melalui saluran fistula. Terdapat dua macam
Seton, cutting Seton, dimana benang Seton ditarik secara gradual untuk
memotong otot sphincter secara bertahap, dan loose Seton, dimana benang
Seton ditinggalkan supaya terbentuk granulasi dan benang akan ditolak oleh
tubuh dan terlepas sendiri setelah beberapa bulan.
Gambar 14. Placement of a noncutting seton

Advancement Flap: Menutup lubang dengan dinding usus, tetapi


keberhasilannya tidak terlalu besar.

Gambar 15. Advancement Flap

Fibrin Glue: Menyuntikkan perekat khusus (Anal Fistula Plug/AFP) ke dalam


saluran fistula yang merangsang jaringan alamiah dan diserap oleh tubuh.
Penggunaan fibrin glue memang tampak menarik karena sederhana, tidak
sakit, dan aman, namun keberhasilan jangka panjangnya tidak tinggi, hanya
16%. (Zollinger R.M, 2011)
Gambar 16. Fibrin Glue

Pasca Operasi
Pada operasi fistula simple, pasien dapat pulang pada hari yang sama
setelah operasi. Namun pada fistula kompleks mungkin membutuhkan rawat
inap beberapa hari. Setelah operasi mungkin akan terdapat sedikit darah ataupun
cairan dari luka operasi untuk beberapa hari, terutama sewaktu buang air besar.
Perawatan luka pasca operasi meliputi sitz bath (merendam daerah pantat
dengan cairan antiseptik), dan penggantian balutan secara rutin. Obat-obatan
yang diberikan untuk rawat jalan antara lain antibiotika, analgetik dan laksatif.
Aktivitas sehari hari umumnya tidak terganggu dan pasien dapat kembali
bekerja setelah beberapa hari. Pasien dapat kembali menyetir bila nyeri sudah
berkurang. Pasien tidak dianjurkan berenang sebelum luka sembuh, dan tidak
disarankan untuk duduk diam berlama-lama. (Tabry Helena, 2011)

Prognosis pada pasien dengan fistel perianal adalah fistel dapat kambuh
bila lubang dalam tidak turut dibuka atau dikeluarkan, cabang fistel tidak turut
dibuka atau kulit sudah menutup luka sebelum jaringan granulasi mencapai
permukaan. Setelah operasi risiko kekambuhan fistula termasuk cukup tinggi
yaitu sekitar 21% (satu dari lima pasien dengan fistula post operasi akan
mengalami kekambuhan). (Tabry Helena, 2011)
Fistula anorektal terjadi pada 30-60% pasien dengan abses anorektal.
Fistula Anorectal muncul sebagai akibat obstruksi dari kripta anal dan atau
kelenjar anal, yang teridentifikasi dengan adanya drainase dari kanal anal atau
dari kulit disekitar perianal. Penyebab lainnya dari fistula perianal merupakan
multi faktor, termasuk penyakit divertikular, inflammatory bowel disease,
keganasan dan infeksi, seperti tuberkulosis dan actinomikosis. (Tabry Helena,
2011)

2.3. Ozon

Ozon merupakan suatu allotropi oksigen dengan rumus kimia O3. Berada
di udara bebas dengan konsentrasi kecil, kurang lebih 0,00006%. Ozon dapat
ditimbulkan secara alamiah di bumi dengan adanya energi petir, sinar ultraviolet,
radiasi sinar kosmis atau sinar radioaktif yang dapat mengubah O2 menjadi O3.
Selain itu ozon juga dapat terbentuk karena proses reaksi kimiawi.

2.3.1. Karakteristik Ozon


Atom oksigen di alam terdapat dalam beberapa bentuk: (1) sebagai
partikel atom bebas (O), atom ini sangat reaktif dan tidak stabil (2) oksigen
(O2), paling banyak, lebih stabil, dalam bentuk gas tidak berwarna dan
dalam bentuk cair berwarna biru (3) ozon (O3), memiliki berat molekul 48,
kepadatan gas ini satu setengah kali lebih padat dari oksigen, memiliki energi
yang sangat besar (3/2 O2 + 143 KJ/mol), dalam bentuk gas berwarna biru dan
dalam bentuk padat berwarna biru tua (4) O4, gas biru pucat nonmagnetik,
sangat tidak stabil, jarang terdapat, biasanya sudah dipecah menjadi 2
molekul oksigen.
Beberapa literatur menyebutkan saat ini diketahui bahwa ozon dapat
larut dalam plasma atau air atau serum atau salin fisiologis dan menghasilkan
ROS (radical oxygen species). Lipid yang ada di plasma menyerupai yang
ada di lipoprotein, dapat mengalami peroksidasi yang prosesnya tergantung
pada dosis ozon. Produksi H2O2 (yang berkaitan dengan ozon) dikatakan
penting dalam mengaktivasi tubuh baik secara biokimia maupun imunologis.
Ozon menginduksi sitokin (TNF-alfa, IFN-gamma dan IL-2) ketika darah
secara langsung terpapar ozon. Hal ini terjadi secara konsisten walaupun sedikit.
Dalam pertahanan terhadap oksidasi dan terjadinya ROS, berbagai
sistem anti-oksidan diaktifkan dan terjadilah produksi enzim anti-oksidan serta
pembersih racun. Karena efek oksidasi ozon hampir berbanding lurus dengan
konsentrasinya di dalam darah maka di atas kadar tertentu, ozon bisa bersifat
sangat sitotoksik dan menyebabkan terjadinya hemolisis. Rentang terapeutik
ozon sempit namun jendela kadar aman telah diketahui dengan jelas saat ini.
Waktu paruh ozon tergolong pendek. Secara cepat, ozon akan berubah
menjadi oksigen melalui reaksi endotermik dan reaksi ini hanya berlangsung
selama 10 menit. Proses stres oksidasi oleh ozon terjadi dalam waktu singkat,
namun reaksi antioksidan yang berlangsung diyakini dapat bertahan lebih
lama dari bentuk awalnya. Berikut reaksi sistem anti-oksidan terhadap stres
oksidasi oleh ozon yang meliputi eritrosit, trombosit, leukosit, endotel dan
hemostasis yang diadaptasi dari Bocci.

Tabel 3. Efek biokimia ozon dalam darah (Sastroasmoro,2004)


Eritrosit Trombosit Leukosit Endotel Hemostasis
ATP, EC, TGF ↑ PGE2 ↑ NO ↑ VWF ↑
2,3 DPG ↑
O2 ↑ PDGF ↑ TNF-α ↑ VEGF ? (t-PA) ↑
SR↓ MF ↑ TXB2 ↑ INF-γ ↑ APTT ↑
PO2 arteri IL2, IL6, Edema ↓ TT ↑
↑→ IL8 ↑
PO2 vena ↑ BK,
histamin ?
Keterangan: ATP (adenosine triphosphate), EC (energy charge), 2,3 DPG (2,3
diphosphoglicerate), TGF(Transforming Growth Factor), PGE2 (prostaglandin
E2), NO (nitrit oxide), Vwf (von Willebrand Factor), PDGF (platelet derived
growth factor), TNF(tumor necrosis factor), VEGF, t-PA (tissue plasminogen
activator), SR (sedimentation rate), MF (membrane fluidity), TXB2, APTT
(activated partial thromboplastine time), IL (interleukin), TT (thrombine time)
2.3.2 Efek Reologis
Terapi ozon dikatakan merupakan terapi yang efektif pada beberapa
kelainan karena secara positif bisa mempengaruhi mikrosirkulasi. Studi ozon
pada filtrabilitas darah memperlihatkan adanya peningkatan yang
diperkirakan berhubungan dengan meningkatnya membrane fluidity (MF)
serta penurunan pada laju endap darah. Efek reologis tersebut diyakini
memiliki peran penting dalam memperbaiki mikrosirkulasi.
Penemuan-penemuan tersebut ditampilkan dalam tabel 2 yang diadaptasi
dari Coppola dkk. yang telah dikolaborasi dengan penemuan dari peneliti
lain. Parameter tersebut diperkirakan memiliki kontribusi dalam penyembuhan
ulkus kronik pada pasien, berdasarkan perbaikan pada mikrosirkulasi,
oksigenasi, fasilitasi pelepasan oksigen dan antioksidan yang juga diperankan
oleh eritrosit.
Tabel 2. Efek Reologis Ozon dalam Darah
Time post Hematokrit Filterability Viskositas Viskositas Fibrinogen
Ozone whole blood Darah Plasma
0 menit
15 menit ↑ ↓
60 menit ↑ ↓

Ozon merupakan suatu germisida kuat, hanya dibutuhkan beberapa


mikrogram per liter saja untuk bisa membunuh kuman. Pada konsentrasi H2O
1 g/m3 suhu 10C, ozon dapat menginaktivasi Coliform, Staphylococcus aureus
dan Aeromonas hydrophilia dengan cepat. Dimana kecepatan inaktivasi
enterovirus lebih cepat lagi dibandingkan dengan E. Coli. Pada bakteri, akan
mengganggu integritas kapsul sel bakteri melalui oksidasi fosfolipid dan
lipoprotein. Ozon juga terbukti dapat berinteraksi dengan protein. Pada suatu
studi yang menyelidiki efek ozon terhadap E.Coli, ditemukan bukti bahwa ozon
dapat berpenetrasi ke dalam membran sel, bereaksi dengan substansi sitoplasma
dan mengubah circular plasmid DNA tertutup menjadi circular DNA terbuka
sehingga dapat mengurangi efisiensi proliferasi bakteri.
Ozon juga dapat berpenetrasi ke kapsul sel bakteri, mempengaruhi secara
langsung integritas cytoplasmic, dan mengganggu beberapa tingkat kompleksitas
metabolik. Pada jamur, mekanisme efek fungisidal ozon
belum dipahami. Ozon dikatakan dapat menghambat pertumbuhan sel jamur
pada beberapa tahap. Pada suatu studi, penghambatan pertumbuhan Candida
utilis dengan ozon tergantung dari fase pertumbuhannya dan adanya budding cell.
Selain itu, ozon juga dapat menginduksi stress oksidatif dengan dosis yang
tepat dengan cara menginduksi anti oksidan. Stress oksidatif ini digunakan untuk
mengindikasikan rangkaian kompleks proses biokimia yang dapat mengenai
makhluk hidup pada kondisi tertentu yang jelas berbeda dan memiliki efek
fisiologi maupun patologi. Substansi penting untuk ozon adalah lipid, protein,
karbohidrat, dan DNA di mana lipid dan protein merupakan target utama reaksi
ozon di dalam plasma darah, mukosa rektum, ataupun cairan biologis. Jika
berekasi dengan lipid akan terjadi Criagee reaction, lalu akan menghasilkan
produk akhir Thiobarbituric Acid Reactive Substance (TBARS) yang dapat
diukur sebagai stress oksidatif jaringan. (Bocci 2005, WFOT 2015)

Gambar 17. Mekanisme metabolik pada Reaksi Ozon Criegee dan aldehide.
(Bocci, 2005).
Pemberian ozon pada konsentrasi 50 g/cc akan meningkatkan produksi
interferon. Tumor necrosis factor (TNF) akan dilepas dalam jumlah besar pada
konsentrasi 30-55 g/cc. Produksi interleukin 2 memulai seluruh kaskade reaksi
imunologi. Ozon dalam darah adalah oksidator kuat dan menyebabkan: 1.
Stimulasi produksi antioksidan 2. Vasodilatasi dan hiperemi (NO) 3. Mengurangi
viskositas darah dan plasma 4. Meningkatkan erythroyte membrane fluidity 5.
Hiperoksigenasi dan fasilitasi pelepasan oksigen di jaringan

2.4 VEGF

Vascular Endothelial Growth Factor merupakan kelompok faktor


pertumbuhan yang mempunyai peran potensial dalam proses angiogenesis
(Tonnesen et al., 2000). Vascular endothelial growth factor yang dikenali
terdapat tujuh isoform homodimerik, seperti 121,145,148,165,183,189, dan 206
(Hoebenetal.,2004). Beberapa sel yang dapat menghasilkan VEGF untuk
penyembuhan luka adalah sel endothelial, sel otot polos, platelet, neutrofil dan
makrofag (Nissen et al., 1998). Frank et al.(1995) melaporkan mengenai
tingginya ekspresi mRNA VEGF selama proses penyembuhan luka, akan tetapi
hal ini tidak terjadi pada tikus dengan diabetes. Proses penyembuhan luka secara
normal terjadi dengan adanya pembentukan granulasi jaringan. Jaringan ini
mengandung fibroblas, kolagen dan pembuluh darah (Bao et al., 2010). Wilgus
dan DiPietro (2012) telah melaporkan pentingnya peran VEGF dalam proses
penyembuhan luka.
Kadar VEGF yang meningkat berhubungan dengan adanya perubahan
bekas luka sampai pada pemulihan fibrosis pada kulit janin serta menurunkan
ukuran bekas luka dan meningkatkan kualitas kolagen. Vascular Endothelial
Growth Factor pada luka diabetes dapat berfungsi dalam meningkatkan
penyembuhan dan memicu terjadinya kemotaksis dan angiogenesis. Nitrit Oksida
(NO) yang merupakan salah satu mediator aktivitas VEGF berfungsi dalam
meningkatkan desposisi kolagen dan mengembalikan fungsi endothel untuk
meningkatkan konduksi saraf dan oksigenasi jaringan (Bao et al., 2010).
Penghambatan terhadap angiogenesis dapat mengganggu proses penyembuhan
luka (Wilgus&DiPietro,2012).
Vascular endothelial growth factor berperan dalam merangsang beberapa
komponen dalam angiogenesis pada proses penyembuhan luka (Baoetal,2010).
Angiogenesis pada proses penyembuhan luka meliputi vasodilatasi, degradasi
membran basement, migrasi sel endothel, dan ploriferasi sel endothel (Folkman
&Brem, 1992).Vascular endothelial growth factor berperan dalam
meningkatkan permeabilitas vaskular pada vasodilatasi (Murohara,1998).
.Famili VEGF yang sudah dikenal antara lain VEGF-A, VEGF-B,
VEGF-C, VEGF-D, VEGF-E dan placental growth factor (PIGF) dimana tiap 98
isoform mempunyai fungsi yang berbeda didalam sel. Semua isoform ini
memiliki domain homolog (Baoetal.,2010;Hoebenetal.,2004)
.a.. Vascular endothelial Growth Factor-A merupakan faktor angiogenik yang
telah dikarakterisasi dengan baik yang terlibat dalam fisiologi dan patologi
pertumbuhan pembuluh darah (Ferrara,2009). Vascular Endothelial Growth
Factor-A merupakan kelompok faktor pertumbuhan platelet-derived growth
factor (PDGF) yang mempunyai peran potensial dalam proses angiogenesis
(Tonnesen et al., 2000). Vascular endothelial growth factor-A didalam sel
merupakan suatu glikoprotein homodimerik yang telah diketahui mempunyai
kemampuan dalam menginduksi proses angiogenesis untuk meningkatkan
permeabilitas vaskular, dan merangsang dalam menghasilkan faktor jaringan
protein trombogenik (Becketal,1997;Baoetal.,2010). Beberapa sel yang berperan
dalam proses penyembuhan luka dapat menghasilkan VEGF, seperti sel
endothelial, fibroblas, sel otot polos, platelet, neutrofil dan makrofag (Nissen
et al., 1998).
b.Vascular Endothelial Growth Factor-B (VEGF-B)
Vascular Endothelial Growth Factor-B (VEGF-B) diekspresikan secara
melimpah di myocardium dewasa, otot skelet dan pankreas. Ekspresi tertinggi
dapat dilihat pada perkembangan hati, brown fat, otot dan saraf tulang belakang
dari jaringan embrional tikus (Hoebenet al., 2004). Vascular endothelial growth
factor-B belum diketahui fungsi biologinya secara jelas. Dhondt et al. (2011)
melaporkan bahwa VEGF-B dapat berfungsi untuk melindungi saraf sensorik
dari degenerasi.
c. Vascular Endothelial Growth Factor-C (VEGF-C)
Vascular Endothelial Growth Factor-C (VEGF-C) diekspresikan secara menonjol
di hati, plasenta, ovarium, usus halus dan kelenjar tiroid. Vascular endothelial
growth factor-D ini diekspresikan selama embrio genesis (Shibuya,2011). Pada
jaringan embrionik, ekspresi terjadi ketika pembuluh darah limfatik tumbuh dari
vena embrionik (Hoeben et al.,2004).
d. Vascular Endothelial Growth Factor-D (VEGF-D)
Vascular Endothelial Growth Factor-D ditemukan pada jaringan dewasa, seperti
paru-paru, hati, otot skelet, usus besar dan usus halus (Hoeben et al., 2004).
Vascular endothelial growth factor-D ini juga diketahui sebagai c-Fos-induced
growth factor (FIGF). Vascular endothelial growth factor-D ini diekspresikan
setelah lahir dan pada tahap-tahap dewasa (Shibuya,2011).
e. Vascular Endothelial Growth Factor-E (VEGF-E)
Vascular Endothelial Growth Factor-E dikode oleh virus paparox Orf (non-
humanfactor). Vascular endothelial growth factor-E dapat memicu kemotaksis,
proliferasi dan pertumbuhan kultur sel endotel vaskular dan angiogenesis in vivo.
Faktor pertumbuhan ini berhubungan dengan angiogenesis yang berhubungan
dengan lesi yang terinfeksi oleh virus paparox (Roskoski)

2.5. Peran Ozon sebagai Terapi Penyembuhan Abses Perianal


Ozon pada berbagai literatur dinyatakan memiliki efek dalam mengobati
luka terinfeksi. Hal ini dihubungkan dengan sifat ozon sebagai bakterisida, dapat
membersihkan luka dan imunoaktifasi sehingga dapat mempercepat
penyembuhan luka. Ozon diklaim memiliki efek antiseptik, dilatasi pembuluh
darah, aktivasi jaringan granulasi dan neoangiogenesis. Beberapa penelitian
sebelumnya menyebutkan ozon memiliki efek signifikan pada proses
penyembuhan ulkus kronik. Pada terapi tahap awal penyembuhan luka, ozon
menstimulasi ekspresi growth factor yaitu PDGF, VEGF dan TNF-ß yang
berperan dalam proses penyembuhan luka. (Sastroasmoro,2004; Jing
Zhang,2014, Nasruddin,2017).
Penelitian lain menyebutkan bahwa terapi ozon pada abses menunjukkan
hasil yaitu penurunan kadar glukosa yang signifikan dibandingkan kelompok
kontrol dan terjadi reduksi lesi ulkus yang bermakna pada kelompok perlakuan
dengan terapi ozon. Pada penelitian tersebut juga dilakukan pengukuran
biomarker keseimbangan antioksidan dan pro-oksidan dan nitrit oxide yang
berperan dalam proses penyembuhan abses. Pada penelitian tersebut didapatkan
hasil bermakna pada kelompok perlakuan terapi ozon berupa tidak terjadi
penurunan kadar glutation, penurunan potensi peroksida, peningkatan aktivitas
superoxide dismutase, peningkatan aktivitas katalase, dan penurunan rasio
katalase/superoxide dismutase ratio. Beberapa penelitian eksperimental dan bukti
klinis menyebutkan bahwa peningkatan Reactive Oxygen Species (ROS) terjadi
pada pasien diabetes. Terdapat hubungan langsung antara stres oksidatif dan
kegagalan pengambilan glukosa jaringan. Adiposit dan sel otot yang merupakan
tempat aktivasi Insulin Receptor Substrate I (IRS-I) dan phosphatidyl inositol 3
kinase berperan pada pembentukan α-lipoic acid yang dapat meningkatkan
penggunaan glukosa dan resistensi insulin. Efek terapi ozon pada adiposit dapat
menurunkan pengambilan glukosa secara cepat dengan adanya hidrogen
peroksida (H2O2). H2O2 merupakan ROS yang diproduksi selama autoksidasi
glukosa yang berperan untuk mengkativasi faktor transkripsi nuclear factor kB
(NF- kB) yang memicu adhesi molekul sel, sitokin, dan faktor pro-koagulan
jaringan. Partisipasi stress oksidatif pada aktivasi NF- kB dapat berlangsung
dengan baik apabila diinhibisi dengan baik oleh antioksidan seperti vitamin E dan
α-lipoic acid. Penurunan glukosa juga disertai penurunan aktivitas phosphatidyl
inositol 3 kinase dan translokasi glucose transport 4 (GLUT4). Terapi ozon pada
penelitian tersebut dapat mengontrol ekspresi enzim antioksidan, dan hasil
penelitian menyebutkan ozon dapat menurunkan kadar glukosa dengan
menginduksi streptozosin, meningkatkan pertahanan antioksidan, dan
meningkatkan sensitivitas insulin. Selain itu ozon juga menginhibisi deplesi
glikogen dan menurunkan availabilitas glukosa bebas (Damir, 2011; Martinez
dkk,2005).
Ozon memiliki rentang aksi terapeutik. Pemakaian ozon dalam konsentrasi
rendah hanya menghasilkan efek terapeutik yang kecil, dan dalam konsentrasi
tinggi menimbulkan efek toksik. Campuran ozon-oksigen terapeutik memerlukan
kontrol secara kuantitatif (dosis, konsentrasi) dan kualitatif (kemurnian)
(Sastroasmoro dkk, 2004). Campuran yang digunakan 0,05-5% O3 dan 95-99%
O2 (Sekse, 2008). Kisaran therapeutic window adalah 20-80 μg/ml ozon per gram
darah, berdasarkan hasil empiris (Sastroasmoro dkk, 2004; Jing Zhang,2014).

Tabel 5. Dosis pemakaian terapi ozon untuk penyembuhan luka (Sastroasmoro dkk, 2004)
Indikasi Bentuk aplikasi Konsentrasi Lama Frekuensi
ozon (μg/ml) (menit)
Pembersihan Setiap hari,
luka Plastic bag 80-100 10-20 dilanjutkan dengan
Kompres dengan air 1-2x/minggu
Penyembuhan yang telah diozonisasi 20 20 Beberapa kali sehari
luka
1-2
Luka bakar Plastic bag atau 20-30 10-20 1-2 kali per hari
stadium I atau kompres dengan air yang 1-2 beberapa kali sehari
II telah diozonisasi
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Fish Bone Diagram

Karakteristik Pengujian Uji minyak PENELITIAN


generator minyak berozon pada TAHAP 1
ozon, berozon dari tikus model
pembuatan 3 sampel, abses
minyak ozon, Pengujian perianal
dan kompres konsentrasi
ozon ozon PRODUK:
1. Sedian topikal
Minyak
berozon
sebagai terapi
PROSES adjuvan abses
perianal
2. Bagging
berteknologi
plasma sebagai
Karakteristik Pengujian Pengujian Uji klinis terapi adjuvan
generator bagging konsentrasi ozon sebagai abses perianal
ozon dan ozone dengan ozon dengan terapi
bagging ozon variasi dosis dosis adjuvan pada
dan optimasi optimum pasien abses
rangkaian perianal
fisis minyak PENELITIAN
ozon TAHAP 2

Gambar 18. Diagram fish bone rancangan penelitian

3.2 Rancangan Penelitian

3.2.1 Penelitian Tahap I


3.2.1.1 Waktu dan Tempat Penelitian

3.2.1.2.Jenis dan Rancangan Penelitian

Jenis penelitian adalah eksperimental dengan uji manfaat menggunakan rancangan


post-test control design.

3.2.1.3 Sampel Penelitian

Sampel penelitian ini adalah 30 tikus jantan jenis BALB/c dewasa dengan berat 250±50
gram.
Kriteria inklusi : tikus BALB jantan, kondisi sehat (bergerak aktif).

Kriteria ekslusi : tikus BALB jantan menunjukkan perubahan perilaku (aktivitasnya


tampak lemah dan malas).

Sampel kemudian dilakukan pembuatan model lukaA diawali dengan anestesi


chloroform 0.05 ml pada kapas lalu diletakkan ke gelas beaker yang sudah diberikan
hewan coba. Anestesi dilakukans secara aerosol dan berlangsung selama 2 menit
Setelah hipoestesia tercapai, rambut pada regio perianal dicukur, kemudian dilakukan
insisi sepanjang 2 cm sampai seluruh ketebalan kulit (epidermin sampai hipodermis)
terpisah. Dengan kedalaman 0,5 cm.Lalu diinjeksi bakteri A.actinomycetem-comitans
sehingga akan terjadi abses perianal.

3.2.1.4 Besar Sampel


Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah tikus laki-laki jenis BALB/c dewasa
dengan berat 250±50 gram. Pengulangan yang dilakukan dihitung berdasarkan rumus
Federer berikut:
(t-1) (r-1) ≥ 15

Dimana t adalah jumlah perlakuan dan r adalah jumlah pengulangan, sehingga


(5– 1) (r – 1) ≥ 15
4r – 4 ≥ 15
r ≥ 4,75

Setelah dihitung menggunakan rumus Federer, didapatkan jumlah pengulangan yang


harus dilakukan harus lebih dari 4,75. Sehingga pada penelitian ini pengulangan yang
dilakukan sebanyak 6 kali, dengan total jumlah sampel 30 sampel penelitian.

Keterangan:
Kelompok K :Kelompok kontrol, kelompok yang mendapatkan perlakuan secara
konvensional berupa (drainase air + ditutup kassa+antibiotik)
Kelompok P1 : Kelompok perlakuan 1, Subjek memperoleh perlakuan secara
kompres ozon + terapi minyak ozon dengan dosis 0,2 μg/ ml
Kelompok P2 : Kelompok perlakuan 2, Subjek memperoleh perlakuan secara
kompres ozon + terapi minyak ozon dengan dosis 0,25 μg/ ml
Kelompok P3 : Kelompok perlakuan 3, Subjek memperoleh perlakuan secara
kompres ozon + terapi minyak ozon dengan dosis 0,3 μg/ ml
Kelompok P4 : Kelompok perlakuan 4, Subjek memperoleh perlakuan secara kompres
ozon + terapi minyak ozon dengan dosis 0,35 μg/ ml
3.2.1.5 Definisi Operasional

 Abses Perianal adalah infeksi jaringan lunak di sekitar kanalis analis, dengan
pembentukan rongga abses.

 Fistula perianal adalah suatu hubungan yang abnormal antara epitel dari kanalis
anal dan epidermis dari kulit perianal.

 Konsentrasi dosis ozon adalah dosis ozon yang diberikan secara bervariasi terhadap
masing masing sampel.

 Waktu penyembuhan luka adalah waktu yang dibutuhkan masing-masing sampel


untuk mengalami penyembuhuan luka ulkus.

 Gula darah sewaktu adalah pengukuran kadar gula darah melalui pemeriksaan
laboratorium.

 VEGF adalah suatu protein yang membantu proses angiogenesis. Diperiksa secara
imunohistokimia menggunakan antibodi monoklonal terhadap VEGF dan
divisualisasi menggunakan DAB . Dihitung dengan melihat 20 lapangan pandang
dengan perbesaran 1000x

 Superoxide dismutase merupakan enzim yang mengkatalisis dismutasi radikal


superoxide (O2-) menjadi molekul O2 atau H2O2. Superoxide (O2-) diproduksi dari
metabolisme oksigen dan meregulasi kerusakan jaringan.

 H2O2 merupakan salah satu ROS yang berperan pada kerusakan jaringan sampai
struktur sel, dan secara kumulatif disebut dengan stres oksidatif.

 Malondialdehida (MDA) adalah salah satu produk akhir dari peroksidasi asam
lemak tak jenuh dalam sel. Peningkatan radikal bebas menyebabkan produksi MDA
berlebih. Tingkat Malondialdehid umumnya dikenal sebagai penanda stres oksidatif
dan status antioksidan.

3.2.1.6 Cara Pengumpulan Data


3.2.1.6.1 Proses Pembuatan Minyak Berozon
A. Karakteristik Generator Ozon
- Karakterisasi Arus dan Tegangan
Pengukuran arus dan tegangan dari Generator Ozon dilakukan untuk
mengetahui karakteristik Generator Ozon.
Alat yang digunakan antara lain:
1. Generator Ozon, terdiri dari 3 komponen utama, yaitu HV power supply
sebagai penyedia tegangan AC dengan kisaran (V)=200-500 Volt; frekuensi
(f)=50 Hz, reaktor double DBD (dielectric barrier discharge) dengan
konfigurasi silinder-silinder merupakan tempat produksi ozon, dan sumber
aliran gas Oksigen (O2) murni sebagai bahan yang akan di rubah menjadi
ozon (O3).
2. Multimeter digunakan untuk mengukur nilai tegangan reaktor.
3. Clamp meter digunakan untuk mengukur nilai arus reaktor.
4. Probe berfungsi untuk melemahkan tegangan hingga 1000 kali sehingga
dapat dibaca oleh Multimeter.
5. Selang oksigen, digunakan untuk mengalirkan oksigen kedalam reaktor.
- Karakterisasi Konsentrasi Ozon
Pengukuran konsentrasi gas ozon O3 dengan metode titrasi iodometri dan
konsentrasi ozon terlarut dalam air dilakukan dengan alat spektrometer/kit
Dissolved Ozone Meter.
Alat yang digunakan antara lain :
1. Buret untuk melakukan titrasi.
2. Tabung erlenmeyer sebagai tempat zat yang dititrasi.
3. Gelas ukur untuk mengukur volume zat fase cair.
4. Labu ukur untuk membuat larutan tertentu dengan volume tertentu.
Bahan yang digunakan antara lain :
2. Kalium Iodida (KI) 0,2 M sebagai larutan absorber ozon.
3. Disodium tiosulphate (Na2S2O3) 0,4 M digunakan sebagai zat penitrasi.
- Deskripsi
Reaktor yang digunakan adalah double DBD dengan konfigurasi silinder-
silinder (Gambar 7). Terdiri dari elektroda dalam (positif) dan elektroda luar
(negatif) yang terbuat dari lempeng tembaga, ketebalan (KT) masing-masing
0,01 cm, panjang (LT) masing-masing 9 cm dan 8,5 cm. Tabung pyrex
(Diameter (DP) dan ketebalan (Kp) masing-masing adalah 2,7 cm dan 0,63 cm;
panjang (LP) 15 cm) berfungsi sebagai penghalang (barrier) diberikan pada
elektroda luar dan elektroda dalam (double DBD).
Tegangan tinggi AC diberikan pada kisaran (V) = 200-500 Volt dan frekuensi
(f) = 50 Hz. Polaritas positif dihubungkan dengan elektroda positif yaitu
lempeng tembaga dalam dan polaritas probe, sedangkan polaritas negatif
dihubungkan dengan polaritas negatif multimeter (Sanwa CD772). Pada
polaritas positif multimeter dihubungkan dengan elektroda negatif yaitu
lempeng tembaga dan ground probe. Sedangkan polaritas negatif probe
dihubungkan dengan Clamp meter (Kyoritsu, KEW SNAP 2433).
Sumber aliran oksigen murni diberikan kedalam reaktor dengan laju aliran gas
(flow rate) yang diukur menggunakan flowmeter (WEIBROCK). Ozon yang
dihasilkan diukur konsentrasinya dengan menggunakan metode titrimetri atau
volumetri.

High Voltage Discharge


Electrode

Dielectric
Barrier

High Voltage
AC
Generator

Ground Electrode

Gambar 19. Skema alat Reaktor double DBD

B. Optimasi Generator Ozon


Optimasi generator ozon dilakukan dengan memvariasi tegangan (V), laju alir gas
(flow rate) diameter dan panjang elektroda sehingga didapatkan konsentrasi dan
kapasitas ozon yang dapat diaplikasikan untuk terapi medis.

Variabel yang digunakan :

1. Variasi tegangan (V) untuk membangkitkan plasma double DBD adalah 20 V,


40 V, 60 V, 80 V, 100 V, 200 V, dan 400 V.
2. Variasi kecepatan aliran (flow rate) gas sumber oksigen O2 murni (P) adalah 2
L/min, 4 L/min, 6 L/min, 8 L/min, 10 L/min, 12 L/min, 14 L/min, 16 L/min, 18
L/min, 20 L/min, 22 L/min, 24 L/min.
3. Variasi Diameter dan Panjang elektroda pada reaktor sangat mempengaruhi
produksi ozon yang dihasilkan. Diameter dan panjang elektroda mengikuti
bentuk, panjang, dan diameter pyrex (barrier) yang digunakan. Variasi pyrex
(barrier) yang digunakan antara lain :
 Panjang 18 cm, diameter luar 5 cm (gap 0,5 cm dan 1 cm) dan diameter luar
7 cm (gap 2 cm).
 Panjang 36 cm, diameter luar 5 cm (gap 1 cm) dan diameter luar 7 cm (gap
2 cm).

C. Pembuatan Minyak Berozon

Alat yang digunakan untuk pembuatan minyak berozon adalah generator ozon dan
pengaduk magnetis (magnetic stirrer). Saluran keluaran ozon menggunakan selang
anti oksidasi yang diberikan diffuser yang berfungsi untuk menambah efektivitas
penyerapan ozon ke dalam minyak. Pengaduk magnetis digunakan untuk
memudahkan melarutkan ozon dengan minyak.

Generator ozon digunakan dengan kapasitas 50 gr/jam selama 30 menit. Minyak


yang digunakan adalah minyak zaitun dan minyak wijen murni sebanyak 250 ml.
Variasi dosis konsentrasi ozon adalah 0,2 μg/ml, 0,25 μg/ml, 0,3 μg/ml, 0,35 μg/ml.

Pengaduk magnetis digunakan untuk memudahkan pencampuran ozon dengan minyak.


Sampel minyak berozon diambil untuk diuji dengan menggunakan spektrometer atau kit
dissolved ozone meter.

Diffuser

Magnetik Stirrer
Gambar 20. Skema alat pembuatan minyak berozon

3.2.1.6.2 Perlakuan Pada Proses Penyembuhan Luka


Perlakuan proses penyembuhan luka :
a. Perlakuan konvensional (drainase air + ditutup kassa+antibiotik) (K)
b. Perlakuan terapi
Terapi diberikan dengan pemberian kompres air berozon dan minyak ozon yang
dibiarkan terbuka. Sebelumnya, akan dilakukan perlakuan debydrement pada
seluruh kelompok, baik kelompok kontrol dan perlakuan sebelum diberikan terapi.
Minyak ozon diaplikasikan pada luka sehari sekali, tipis-tipis menutupi seluruh
permukaan luka. Luka dibiarkan terbuka, tidak ditutup apapun. Pengaplikasian
minyak ozon dilakukan sampai hewan coba mendapatkan perlakuan eksisi.

3.2.1.6.3 Pemeriksaan Jaringan dan Patologis

1. Jaringan diambil dari area luka dengan ukuran 2 mm dibandingkan dengan lebar
luka dan kulit sekitarnya pada hari 2, 10, dan hari 20.

2. Pengukuran parameter inflamasi meliputi pemeriksaan imunohistokimia untuk


VEGF dilakukan setelah pemberian perlakuan.

Jaringan luka dan pengambilan darah dari sampel difiksasi di formalin lalu diblok
dengan paraffin kemudian dipanaskan selama 20 menit pada suhu 105 C di
antigen retrieval buffer. Setelah diblocking, slides yang sudah diinkubasi
menggunakaan antibody polyclonal lalu diberikan Diaminobenzidine
Tetrahydrochloride (DAB) lalu pengecatan menggunakan hematoxylin yang
kemudian dianalisis dengan pembesaran 400c mikroskop. Dikatakan positif
apabila terdepat sel yang tercat dengan antibody.

3.2.1.6.4 Pemeriksaan Parameter Biokimia

Pemeriksaan parameter biokimia seperti fructolysine serum, nitric oxide,


glutathione, glutathione peroxidase, catalase, superoxide dismutase, H2O2, dan
MDA diukur dengan metode spektrofotometer pada hari ke 2, 10, dan hari ke 20.

3.2.1.6.5 Parameter dan Data

Parameter dan data yang digunakan

1. Dosis ozon konstan (D) adalah 0,2 μg/ml, 0,25 μg/ml, 0,3 μg/ml, 0,35 μg/ml.
2. Konsentrasi kompres ozon konstan 0,25 μg/ml.
3. Waktu eksposur konstan yang diberikan pada kompres ozon (te) selama 2 menit.
4. Sedangkan variabel yang digunakan adalah variasi konsentrasi ozon dan
kecepatan penyembuhan luka. (C).
Data yang diperoleh dari penelitian ini adalah:
1. Karakterisasi arus-tegangan
2. Pengaruh tegangan terhadap konsentrasi ozon
3. Pengaruh flowrate terhadap konsentrasi ozon
4. Pengaruh diameter dan panjang elektroda terhadap konsentrasi ozon
5. Karakteristik waktu penyembuhan luka (tp) terhadap dosis konsentrasi ozon O3
melalui faktor konversi variasi tegangan reaktor terhadap konsentrasi ozon O3.
6. Kecepatan penyembuhan luka pada masing-masing perlakuan. Penyembuhan
luka ulkus berdasarkan kriteria berikut ini.
Grade 0 : Tidak ada perubahan
Grade 1 : Ukuran luka mengecil kurang dari ½ luka sebelumnya
Grade 2 : Ukuran luka mengecil kurang dari ½ luka sebelumnya tetapi sudah
tampak adanya granulasi .
Grade 3 : luka sudah menutup sempurna.
7. Peningkatan ekspresi VEGF pada pemeriksaan jaringan hasil biopsi.
Jaringan diambil dari luka berukuran 5mm x 5mm x 1 mm pada hari ke 2,10,
dan ke 20. Setengah dari jaringan diukur dan dihomogenikan pada 3 ml PHS
(pH 7,4) lalu diikuti sentrifugasi yang kemudian disimpan pada -80 C freezer
dengan ELISA kit. Setiap spesimen akan diekspresikan pada pg/mg dengan
mean ± SD.
8. Pengukuran parameter biokimia nitric oxide, glutathione peroxidase, catalase,
superoxide dismutase, H2O2, dan MDA.
9. Analisis Data menggunakan SPSS v.16.0 menggunakan T test tidak
berpasangan digunakan untuk membandingkan distribusi dari variabel dengan
membandingkan data dari kelompok perlakuan. T tes berpasangan digunakan
dengan membandingkan data sebelum dans etelah terapi pada grup yang sama
yang dilanjutkan dengan Chi square test. Signifikansi positif apabila P<0,05.
3.2.1.7 Alur Penelitian

Sampel penelitian

K P1,2,3,4

6 sampel @6 sampel

Melakukan pemeriksaan jaringan dan patologi dengan pengecatan imunohistokimia


dan menilai VEGF melalui serum pada hari ke 2

Pengukuran parameter biokimia nitric oxide, glutathione peroxidase, catalase,


superoxide dismutase, H2O2, dan MDA hari ke 2

Melakukan pengukuran variasi dosis pemberian minyak ozon

Memberikan perlakuan yang sama pada objek setiap hari


selama 20 hari

Melakukan pemeriksaan jaringan dan patologi kembali dengan pengecatan


imunohistokimia dan menilai VEGF,PDGF, TNF- ß melalui serum pada hari ke 10
dan 20 selama perlakuan diberikan

Pengukuran parameter biokimia nitric oxide, glutathione peroxidase, catalase,


superoxide dismutase, H2O2, dan MDA hari ke 10 dan 20 selama perlakuan
diberikan

Melakukan analisis data

Gambar 21. Alur penelitian uji coba minyak berozon pada tikus model abses perianal

3.2.1.8 Hasil yang Diharapkan

Hasil yang diharapkan pada penelitian tahap 1 adalah didapatkan sediaan minyak ozon
dengan dosis yang optimum sebagai terapi adjuvan abses perianal.

Anda mungkin juga menyukai