Oleh:
F1D116008
2.6 Terowongan
Terowongan adalah sebuah tembusan di bawah permukaan tanah atau
gunung. Terowongan umumnya tertutup di seluruh sisi kecuali di kedua ujungnya
yang terbuka pada lingkungan luar. Beberapa ahli teknik sipil mendefinisikan
terowongan sebagai sebuah tembusan di bawah permukaan yang memiliki
panjang minimal 0.1 mil, dan yang lebih pendek dari itu lebih pantas disebut
underpass.
1. lalu lintas kendaraan (umumnya mobil atau kereta api) maupun para
pejalan kaki atau pengendara sepeda.
2. mengalirkan air untuk mengurangi banjir, saluran pembuangan,
pembangkit listrik, dan menyalurkan kabel telekomunikasi.
3. Sebagai jalan bagi hewan, umumnya hewan langka, yang habitatnya dilintasi
jalan raya.
4. Beberapa terowongan rahasia juga telah dibuat sebagai metode bagi jalan
masuk ke atau keluar dari suatu tempat yang aman atau berbahaya, seperti
terowongan di jalur Gaza, dan terowongan Cu Chi di Vietnam yang dibangun
dan dipergunakan ketika perang Vietnam.
Berdasarkan fungsinya, terowongan dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu:
Terowongan lalu lintas (traffic)
1. Terowongan kereta api
2. Terowongan jalan raya
3. Terowongan navigasi
4. Terowongan tambang
Terowongan angkutan
1. Terowongan pembangkit tenaga listrik (hydro power)
2. Terowongan water supply
3. Terowongan sewerage water
4. Terowongan untuk utilitas umum, terowongan dibuat melalui berbagai jenis
dan lapisan tanah dan bebatuan sehingga metode konstruksi tergantung
dari keadaan tanah
Hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan terowongan yaitu :
1. Lokasi
2. Metode konstruksi
3. Material
Kegunaan Rancangan terowongan yang perlu memperhatikan :
1. Massa batuan yang komplek
2. Sifat-sifat material di sekitar
Pembuatan terowongan menggunakan mesin bor
Mesin bor memungkinkan terowongan dibuat tanpa harus menggali area di atas
lokasi yang akan di jadikan terowongan. Mesin bor melubangi tanah sepanjang lokasi
terowongan. Mesin bor bisa dioperasikan secara otomatis selama proses konstruksi
terowongan, dan dapat menembus hampir seluruh jenis bebatuan. Mesin bor yang pertama
kali digunakan adalah mesin yang membangun terowongan rel Fréjus antara Prancis dan
Italia melalui pegunungan Alpen tahun 1845.
Penyelidikan Geoteknik
Penyelidikan geoteknik adalah elemen yang sangat penting dalam perencanaan dan
pelaksanaan sebuah terowongan. Dengan data geologi yang memadai dapat ditentukan
desain terowongan yang sesuai, metode pelaksanaan yang paling optimal, biaya
pelaksanaan yang paling rasional serta persiapan yang sebaikbaiknya direncanakan aspek
keamanan pelaksanaan. Biaya pelaksanaan akan sangat berpotensi membengkak karena
kurang tersedianya data geologi.
Pemboran teknik untuk pengambilan sampel batuan adalah cara yang paling umum
dipakai untuk pekerjaan terowongan. Lokasi lokasi yang memerlukan pengeboran secara
detail adalah :
a. Daerah portal
b. Daerah yang secara topografi dekat terowongan, karena biasanya secara
struktur lemah (overburden tipis)
c. Lokasi yang berpotensi mengalami pelapukan berat.
d. Daerah yang berpotensi air tanah tinggi dan dan adanya batuan porous.
Cara penggalian permukaan lubang bukaan digolongkan:
a. Cara portal
b. Cara open cut
Cara-cara tersebut dipengaruhi oleh kondisi tanah permukaan yang akan digali. Metoda
penggalian ada 4 cara, yaitu:
a. Full face
b. Heading dan bench
c. Drift
d.Center drift
Metode penggalian lubang bukaan
1. Penggalian
2. Pembersihan asap ledakan jika menggunakan peledakan.
3. Pembersihan atap
4. Pengumpulan dan pembuatan material hasil penggalian.
5. Pengangkutan material
6. Penyanggaan baik permanen atau sementara
2.7 Distribusi Tegangan
Distribusi tegangan disekitar terowongan terbagi atas beberapa bagian.
λθ = λo + λo . R2 / r2
4. Distribusi tegangan disekitar terowongan untuk batuan yang tidak isotrop. Dalam
hal elastic ortotrop dimana ada dua modus yang tegak lurus untuk system
pembongkaran yang aksial. Distribusi tidak dipengaruhi hanya devormasinya, jadi
distribusi tegangan yang didapat dari perhitungan sebelumnya tetap diberlakukan.
Contoh batuan yang tidak isotrop yaitu batuan yang berlapis seperti sekis yang
berfungsi bagaimana perkuatan batuan dan arah perlapisan.
5. Distribusi tegangan disekitar terowongan untuk batuan yang mempunyai perilaku
plastic sempurna. Dicirikan dari akibat tegangan yang diserap oleh devormasi
plastic pada daerah lingkaran yang dibatasi oleh daerah elastic dari lingkaran yang
berjari-jari R dimana jari-jari ini dapat dihitung dengan
RI = R ( 2/ 1+ λ . λo (λ-1 + λoX/ λc) (1/λ-1)
R = Jari-jari lubang bukaan
λc = tegangan sekitar
yang diperkirakan ada jari-jari ini dapat tak terhingga untuk batuan yang tidak
(anu hehehehe) jadi kestabilan tidak akan dicapai untuk dipakai penyangga, rumus
diatas dapat dipermudah jika sudut geser dalam yang diambil 19.5o sehingga λ = 2
hingga R1 = 2 R/3 (λo/ λc H).
6. Distribusi tegangan disekitar terowongan yang dibentuk tidak bulat untuk keadaan
yang paling ideal ini berdasrkan tegangan garis-garis terowongan dengan berbagai
bentuk penampang dan berbagai tegangan mula-mula untuk keadaan paling ideal.
Ritasinya λH = tegangan horizontal, λv = tegangan verikal sebelum penggalian
terowongan, λ Q = tegangan tangensial untuk tiap garis terowongan. Lingkaran mor
untuk mengetahui tegangan yang terjadi pada dinding.
2.7. Klasifikasi Teknis Batuan
Tabel 7.1. Penggolongan Jenis-Jenis Batuan Utama
a. Kekuatan Batuan
b. kualitas inti pemboran (berdasar RQD),
c. kondisi air tanah,
d. jarak dikontinyuitas atau kekar dan rekah (joint and fracture),
e. karakteristik diskonyuitas atau kekar, serta
f. orientasi kekar (yaitu: very favorable, favorable, fair, unvaforable, veri
unvaforble) yang nilai ratingnya berbeda-beda untuk pekerjaan
terowong, fondasi dan tambang.
2.8 Sifat Batuan
Untuk mengetahui sifat fisik batuan biasa dilakukan uji fisik yang
mencakup: berat jenis, porositas batuan, permeabilitas, satuan berat, dan lain
sebagainya, seperti:
a. Uji muai (swelling), untuk mengetahui besarnya pemuaian batuan yang
digali kemudian terendam air; uji dilakukan untuk batuan lapuk,
batuan lunak, tanah dll.
b. Uji serap air, untuk mengetahui ketahanan batuan terhadap air,
khususnya untuk batuan lunak, lapuk, atau selang-seling. Dilakukan
dengan cara mengukur berat contoh batuan sebagai akibat proses
penghancuran atau perusakan dengan cara direndam dan dipanaskan
secara berulang-ulang.
c. Uji sifat kimiawi, dilakukan untuk mengetahui keberadaan mineral-
mineral yang dapat menyebabkan kerusakan pada beton (karena reaksi
alkali atau asam) seperti: opal, apatite, allite; pyrite (mudah teroksidasi),
asam belerang, dll.
Batuan dasar bisa berupa campuran massa batuan dan/atau pecahan- pecahan
batu. Sifat mekanik massa batuan terutama ditentukan oleh jenis batuan itu
sendiri dan merupakan unsur terpenting dalam mengklasifikasi massa batuan.
Kuat desak, cepat rambat gelombang seismik, kekerasan restitusi, kuat tarik, uji
indeks beban titik, uji tekan tidak terkekang, uji tekan triaksial,dan lain-lain
adalah cara yang umum untuk mengevaluasi sifat-sifat mekanis batuan dan
mengklasifikasi massa batuan.
Uji indeks beban titik merupakan uji sederhana sebagai pengganti uji UCS,
karena dapat digunakan potongan inti batuan tidak teratur. Untuk uji tarik
langsung diperlukan persiapan khusus yang biasanya sulit bagi laboratorium
pabrik. Oleh karena itu, kuat tarik sering kali dievaluasi dengan pembebanan
tekan benda uji silindris yang melintang diameter (dikenal sebagai uji Brazilian).
Uji geser langsung digunakan untuk menyelidiki karakteristik friksi sepanjang
bentuk diskontinuitas batuan.
a. Uji indeks beban titik: untuk menentukan klasifikasi kekuatan batuan.
Indeks batuan biasa digunakan untuk mengevaluasi kekuatan tekan
uniaksial (σu), dan nilai rata-rata σu. Uji ini dilakukan dengan mengacu
pada standar uji SNI 03-2814-1992.
b. Uji tekan uniaksial (UCS = Uniaxial Compression Strength): untuk
mengukur kuat tekan uniaksial batuan (qu, σu , σc). Uji ini dapat
dilakukan dengan mengacu pada standar uji SNI 03-2825-1992.
c. Uji desak bebas Uncinfined Compression Test), untuk mengetahui
kekuatan batuan terhadap tekanan desak.
d. Uji Brasilian, untuk mengetahui kuat tarik batuan.
e. Uji geser langsung, untuk mengetahui kuat geser batuan. Uji ini dapat
dilakukan dengan mengacu pada standar uji SNI 06-2486-1991.
f. Uji kekerasan restitusi, untuk mengetahui kekuatan batuan dengan
mengukur deformasi batuan akibat gaya tertentu pada permukaannya.
Kekerasan restitusi mempunyai korelasi dengan kuat desak bebas, kuat
tarik, laju cepat rambat, gelombang seismik, dll. Hasil yang diperoleh
dapat digunakan untuk mengklasifikasi batuan, pemilihan mesin bor yang
cocok untuk penggaliannya, program kerja penggalian batu dll.
Keterangan :
L = panjang dari bagian core (cm)
Tidak Agak
Sedang Tinggi Terurai
Pelapukan lapuk lapuk
6 5 5 1 0
(Sumber : Bieniawski, Z.T., 1989)
90
RQD (%) 75 - 90 50 - 75 25 - 50 < 25
2 100
Pembobotan 20 17 13 8 3
Pembobotan 20 15 10 8 5
Permuk
aan
sangat Agak Agak Slickensi
kasar kasar kasar de <5 Gauge
tidak renggang rengga mm, lemah,
Kondisi rekahan meneru gan < 1 nggan renggang tebal >5
4
s, tidak mm, <1 mm, an 1-5 mm,
rengga Agak sangat mm, menerus
ng, lapuk kasar menerus
tidak
lapuk
Pembobotan 30 25 20 10 0
Aliran per
10 meter
Tidak
panjang < 10 10 - 25 25 - 125 >125
ada
terowonga
n (L/min)
Air
5 tanah Tekanan
air kekar 0,1 -
0 < 0,1 0,2 0,5 >0,5
tegangan 0,2
utama
Keadaan
Kering Lembab Basah Menetes Mengalir
umum
Pembobotan 15 10 7 4 0
(Sumber : Bieniawski, Z.T., 1989)
Tabel 10. Efek Orientasi Jurus dan Kemiringan Diskontinyu
Tabel 12. Kelas Massa Batuan yang Ditentukan dari Rating Total
Bobot 100 – 81 80 - 61 60 - 41 40 21 < 20
Kelas I II III IV V
Deskripsi Sangat baik Baik Cukup Jelek Sangat jelek
(Sumber : Bieniawski, Z.T., 1989)
Stand-up time adalah jangka waktu dimana terowongan dapat stabil tanpa
penyangga sesudah penggalian. Adapun faktor yang dapat mempengaruhi stand-
up time antara lain orientasi sumbu terowongan, bentuk penampang terowongan,
metode penggalian dan metode penyangga.
Untuk menentukan nilai dari stand-up time maka data parameter yang
dibutuhkan adalah kelas massa batuan RMR dan lebar terowongan (span)
(Gambar 10). Lebar terowongan tanpa penyanggaan didefinisikan sebagai lebar
terowongan atau jarak antara muka dan posisi terdekat dengan penyangga, jika
jarak tersebut lebih panjang dari lebar terowongan (Bieniawski, Z.T.,1989).
P = beban runtuh
(ton/m2)
2 Beban runtuh P = ht x γ
γ = densitas batuan
(ton/m3)
(Sumber : Bieniawski, Z.T., 1989)
Pada dasarnya pola pengeboran pada tambang bawah tanah ada beberapa
macam yang kesemuanya itu digunakan sesuai dengan karakteristik dari pada
batuan dan adanya joint dan bidang lemah, tetapi juga kemampuan pada
operator, peralatan, ukuran peralatan, dan panjang lubang bukaan yang
kesemuanya itu dibagi menjadi 4 type utama yaitu :
1) Centre Cut, disebut juga PIRAMID atau DIAMOND CUT. Dimana semua lubang
bor ditemukan pada satu titik dengan kedalaman satu titik dari round
(permukaan kerja) .
Depan Samping
2) Widge Cut, kadang disamakan dengan VEE CUT. Dimana semua lubang bor
dengan ujung -ujungnya bertemu, tetapi tidak pada titik.
Depan Samping
3) Draw Cut, hampir sama dengan Wedge Cut. Dimana digunakan dalam batuan
berlapis. (dalam arti tidak digunakan pada batuan yang keras)
Depan Samping
4) Burn Cut, pada tipe ini sesuai untuk batuan keras brittle seperti batu pasir atau
batu beku tetapi tidak efektif pada batuan yang bersifat pecah.
Depan Samping
Metode Heading adalah penggalian Tunnel/ Adit yang selalu diawali atau
didahului dengan pembongkaran awal berpenampang oval kecil. Dimana pada
metode ini digunakan khusus untuk menggali Tunnel yang berdiameter besar.
Pada metode Heading dibagi dalam 4 (empat) macam metode yaitu :
1) Pilot Heading, dimana peledakan awal dilakukan pada terowongan yang sudah
ada dengan cara membuat 2 (dua) buah lubang awal pada bagian atas
terowongan.
Depan Samping
2) Top Heading, dimana peledakan awal dilakukan pada terowongan yang sudah
ada dengan cara membuat lubang awal pada bagian atas terowongan.
Depan Samping
Depan Samping
4) Bottom Heading, dimana peledakan awal dilakukan pada terowongan yang sudah
ada dengan cara membuat lubang awal pada bagian bawah terowongan.
Depan Samping
a. Mesin Bor yang tersedia yang digunakan sesuai dengan masa batuan pada daerah
yang akan dibuat terowongan tersebut.
b. Rock Behavior atau karakteristik batuan tersebut.
c. Diameter penampang terowongan, tergantung seberapa besar luas terowongan
yang akan dubuat.
Dalam kegiatan peledakan biasanya terdapat 2 atau lebih bidang bebas. Maka
dalam melakukan kegiatan peledakan tambang bawah tanah perlu dibuat bidang
bebas kedua yang dinamakan cut. Cut itu sendiri dapat dibagi menjadi beberapa
persegiempat.
Cut digunakan sebagai bidang bebas kedua yang biasanya dipakai dalam
peledakan tambang bawah tanah. Charlos lopez jimeno dalam bukunya membagi
cut menjadi 4 persegiempat, dimana masing-masing persegi terdapat 4 buah lubang
ledak dan pada persegiempat pertama terdapat 1 buah lubang kosong (Empty Hole)
yang tidak diisi bahan peledak.
Charlos lopez jimeno dalam bukunya yang berjudul Drilling And Blasting Of
Rock membuat persamaan dalam perhitungan cut.
Apabila lubang kosong yang dipakai lebih dari satu buah lubang kosong,
maka diameter lubang samaran (D2) dapat dihitung dengan persamaan berikut ini
(Jimeno,1995):
D2=D'1x √N
a. Segiempat Pertama
Pembuatan design cut dibuat terlebih dahulu pada segiempat pertama sebagai
patokan untuk membuat segiempat selanjutnya. Letak lubang kosong (Empty Hole )
diletakkan di persegi pertama. Berikut ini merupakan komponen- komponen yang
dihitung dalam pembuatan segiempat pertama cut :
a=1,7ɸ
Dimana:
A = Burden Maksimum(m)
F=1,7ɸ-(αH+ β)
Dimana :
Deviasi Maksimum Lubang Tembak (m)
B1= a-F
Dimana :
B1 = Burden Pertama (m
Panjang Yang Tidak Diisi Bahan Peledak/ Stemming (T)
Besarnya panjang yang tidak diisi bahan peledak dapat dihitung dengan
menggunakan persamaan sebagai berikut:
T=10 d
Dimana :
T= Stemming (m)
b. Segiempat Kedua
�2 = (�1 − �)√2
�2𝑥 𝐼 𝑥 𝑆𝐴𝑁��
�′′ = 8,8 𝑥 10−2 𝑥√
𝑑𝑥�
Burden Kedua (B2)
�2 = �′ − �
c. Segiempat Ketiga
Bukaan Segiempat Ketiga ( W3)
W3 = (B2 + (W1/2) – F) x √2
�3𝑥 𝐼 𝑥 𝑆𝐴𝑁��
−2
�′′′ = 8,8 𝑥 10 𝑥√
𝑑𝑥�
Burden Ketiga (B3)
�3 = �′′′ − �
W3 = (B3 + (W2’/2) x √2
d. Segiempat Keempat
W3 = (B3 + (W2’/2) – F) x √2
�′′′′ = 8,8 𝑥 10
−2
𝑥 √
�4𝑥 𝐼 𝑥 𝑆𝐴𝑁��
𝑑𝑥�
Burden Keempat (B4)
�4 = �′′′′ − �
W4 = (B3 + (W2’/2) x √2
Keterangan:
sLFB = Weight strength relatif terhadap bahan peledak acuan (dynamite)
Qv = Panas akibat peledakan 1 kg bahan peledak yang dinilai, MJ
0.5 3
C = 0.50 + 2.60(σt/σc) + 13σt/σc, kg/m Untuk percobaan pertama C=0.4 kg/m3
Setelah perhitungan cut hole sudah dilakukan. Maka dilakukan perhitungan lifter,
wall, roof, dan stoping dalam pola peledakan. Menurut jimenno,1995(Lihat Gambar 3).
Gambar 12 Letak Pola Peledakan Bawah Tanah
(Sumber: Drilling and blasting of rock)
a. Perhitungan Lifter
Burden Maksimum
𝐼 𝑆𝑎𝑛𝑓𝑜
�𝑚𝑎𝑥 = 0,9
√ C F (S/B)
G
𝐿𝑒𝑏𝑎𝑟 𝑇𝑒𝑟𝑜𝑤𝑜𝑛𝑔𝑎𝑛
𝑁� = � +2
Spacing (S)
′
A𝑆𝐿 = 𝑆 − 𝐻 𝑆𝑖𝑛 �
′
�𝐿 = � − (𝐻 𝑥 𝑆𝑖𝑛� )
hb = 1,25 Bl
hc = H − hb − T
Keterangan:
C = Corrected rock constant (0,4)
F = Fixation factor
ɣ = Lookout (degree)
𝑆=�𝑥𝑑
Burden ( B)
S/B = 0,8
B = S/(S/B)
2
𝐼𝑟 = 90 𝑥 𝑑
Keterangan :
K = Konstanta (15-16)
D = Diameter (m)
Tinggi Abutment – Bl – Br
Spasi
𝑆=�𝑥𝑑
Burden Maksimum ( B)
I x SAnFo
𝑆
� = 0,9
√ 𝐶�( )
B
Burden Wall (Bw)
�𝑤 = � − 𝐻 𝑠𝑖𝑛� − �
Jumlah Lubang (NB)
Spasi wall ( Sw )
d. Perhitungan Stoping
Stoping Horizontal
F= 1,45
S/B = 1,25
C’ = 0,4
𝐼 𝑥 𝑆𝑎𝑛𝑓𝑜
� = 0,9 √
𝑆
𝐶′ 𝑥 𝑓 𝑥 (� )
�ℎ = � − 𝑓
Stoping Downword
F = 1,2
S/B = 1,25
C’ = 0,4
𝐼 𝑥 𝑆𝑎𝑛𝑓𝑜
𝑆
� = 0,9
√ 𝐶′ 𝑥 𝑓 𝑥 ( )
�
�ℎ = � − 𝑓
Dimana,
C. Blasting Ratio
Blasting Ratio adalah perbandingan berat batuan yang terbongkar dengan berat bahan
peledak yang digunakan. Angka ini Bisa dipakai sebagai salah satu parameter untuk
menentukan tingkat keekonomisan pemakaian suatu bahan peledak.
Menurut GOUR S.SEN, 1995 dalam buku Blasting Technology For Civil and mining
perhitungan burden dan spasi peledakan Pada metode Cut Drilling dapat dibuat dengan
persamaan :
B = burden (m)
Lch = Hb 0,02 D.
Qc = (ρ x D2) / 1273
SxB = 1,3 B2
dimana S = 1,3 B.
III. METODOLOGI PENELITIAN
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2
2 Konfirmasi Kegiatan
3 Studi Literatur
4 Pengambilan Data
( Catatan : Jadwal dapat disesuaikan dengan kesepakatan dan ketentuan dari PT.
Kerinci Merangin Hidro
Tahap Persiapan
Pada tahap ini dilakukan penyusunan kerja praktek. Sasaran utama studi
pendahuluan ini adalah gambaran umum daerah penelitian. Studi literatur dilakukan
dengan mencari bahan-bahan pustaka yang menunjang kegiatan penelitian, yang diperoleh
dari :
a. Instansi terkait
b. Perpustakaan
c. Informasi penunjang lainnya
Pengamatan Lapangan
Pengamatan di lapangan ditujukan untuk mendapatkan data-data yang diperlukan
secara langsung di lapangan. Pengambilan data dilakukan dengan pengamatan dan
pengukuran secara langsung.
Pengolahan Data
Pengolahan data hasil penelitian dilakukan dengan perhitungan berdasarkan teori
yang ada dan data hasil penelitian.
Analisa Data
Dari rumusan-rumusan yang telah didapat kemudian dilakukan analisa untuk
menemukan jawaban atas pertanyaan perihal rumusan dan hal-hal yang diperoleh dalam
kerja praktek.
Kesimpulan
Hasil sintesis data keseluruhan dirangkum ke dalam laporan tertulis untuk
dipertanggungjawabkan dalam bentuk laporan hasil kerja praktek.
Alfathoni, F., Syamsul, K., Fuad, R.S. 2017. Evaluasi Teknis Sistem Penyanggaan
Menggunakan Metode Rock Mass Rating (RMR) System Pada Development Area
(CKN_DC) Tambang Emas Bawah Tanah PT Cibaliung Sumber Daya, 1(2), 1-10.
Anggara, Rochsyid. 2017. Sistem Penambangan Bawah Tanah Edisi II. Kementerian Energi
dan Sumber Daya Mineral : Balai Pendidikan dan Pelatihan Tambang Bawah Tanah
Anonim. 2004. PT Freeport Indonesia. Tembagapura : Papua.
Barton N, Lien R and Lunde J. 1974. Engineering classification fo rock masses for the design
of tunnel support, Rock Mech, Min.
Bieniawski, Z.T. 1989. Engineering rock mass classifications. New York: Wiley.
Brady, B.H.G., Brown, E.T. 1985. Rock Mechanics For Underground Mining. George Allen &
Unwin. London.
Deere, D.U., 1989. Rock Quality Designation (RQD) after 20 years. U.S. Army Corps Engrs.
Contract Report GL-89-1. Vicksburg, MS: Waterways Experimental Station.
Deratama, Erick Alan. 2015. Pengamatan Kegiatan Geoteknik dan Survey Tambang Emas
Bawah Tanah PT Natarang Mining. Universitas Lambung Mangkurat : Banjarbaru.
Dokumen RPI2JH 2016-2020. Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Kerinci
Ginting, A., Purba, A., Sjadat, A. 2017. Inovasi Sistem Penyanggaan Di Tambang Bawah
Tanah DMLZ PT Freeport Indonesia. : Prosiding Simposium II UNIID 2017.
Goodman R., Taylor R. and Brekke T. 1968. A model for the mechanics of jointed rock.
ASCE Journ. Of the soil mech. And found. Div., Vol. 94, pp.637-659
Hemphill b., Gary, Blasting Operation, First Edition, Mc. Graw Hill Inc., New York
Langefors U., and Kihlstrom, B., The Modern Technique of Rock Blasting , Second Edition,
A Heelsted Press Book John Willey & Sons, New York,1973.
Lopez Jimeno C., (1995), “Drilling and Blasting of Rocks, A.A. Balkema, Roterdam,
Nedherlans
Made Astawa Rai, Terowongan, Laboratorium Geoteknik Pusat Antara Universitas Ilmu
Rekayasa, Institut Teknologi Bandung, 1987/1988.
Moelhim Karthodharmo, Irwandy Arif, Suseno Kramadibrata., Teknik Peledakan , Diktat
Kuliah Jilid I, Jurusan Teknik Pertambangan, Fakultas Teknologi Mineral, Institut
Teknologi Bandung, 1984.
M. Simangunsong, Ganda. “Underground Blasting Design Fakultas Teknik Pertambangan
& Perminyakan ITB. Bandung.
Palmstrom A. 1982. The volumetric joint count - A useful and simple measure of the degree of
rock mass jointing. IAEG Congress, New Delhi, 1982. pp. V.221 V.228.
Priest, S. D., Hudson, J. A. 1976. Discontinuity spacings in rock. Int. J. Rock Mech. Min. Sci.
& Geomech. Abstr., 13(5): 13548.
Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Air Dan Konstruksi, Modul Geoteknik
Pelatihan Perencanaan Bendungan Tingkat Dasar. Modul 11.
Samhudi, Teknik Peledakan , Departemen Pertambangan dan Energi, Direktorat
Jenderal Pertambangan Umum, Pusat Pengembangan Tenaga Pertambangan, 1994.
Yanto Indonesianto, M.Sc, Persiapan Pembukaan Tambang Bawah Tanah, Jurusan
1999.