Anda di halaman 1dari 59

PROPOSAL KERJA PRAKTEK

ANALISIS STABILISASI LUBANG BUKAAN DAN


OPTIMALISASI PELEDAKAN PADA PEMBUATAN
TEROWONGAN PT. KERINCI MERANGIN HIDRO

JOHANES CEVIN GINTING


F1D116008

PROGRAM STUDI TEKNIK PERTAMBANGAN


JURUSAN TEKNIK KEBUMIAN

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI


UNIVERSITAS JAMBI
2019
PROPOSAL KERJA PRAKTEK

ANALISIS STABILISASI LUBANG BUKAAN DAN


OPTIMALISASI PELEDAKAN PADA PEMBUATAN
TEROWONGAN PT. KERINCI MERANGIN HIDRO

Diajukan sebagai salah satu syarat dalam melakukan kerja praktek,


penulisan pada Program Studi Teknik Pertambangan

JOHANES CEVIN GINTING


F1D116008

PROGRAM STUDI TEKNIK PERTAMBANGAN


JURUSAN TEKNIK KEBUMIAN

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS


JAMBI
2019
HALAMAN PENGESAHAN

PROPOSAL KERJA PRAKTEK

ANALISIS STABILISASI LUBANG BUKAAN DAN


OPTIMALISASI PELEDAKAN PADA PEMBUATAN
TEROWONGAN PT. KERINCI MERANGIN HIDRO

Oleh:

JOHANES CEVIN GINTING

F1D116008

Menyetujui : Hormat Saya :

Ketua Program Studi

Wayudi Zahar S.T. M.T Johanes Cevin Ginting

NIP. 196605191991121001 NIM. F1D11608


I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan negara yang mempunyai potensi sumber daya alam
yang melimpah, salah satunya adalah sumber daya air yang dimanfaatkan untuk
salah satu sumber tenaga dalam menghasilkan tenaga listrik. Dimana air akan
memberi tenaga yang sangat besar sebagai sumber listrik. Pada saat ini kebutuhan
pasokan listrik kepada masyarakat sangat meningkat, dimana masyarakat
membutuhkan listrik untuk keperluan rumah tangga, pekerjaan dan aktifitas
lainnya yang memerlukan energi listrik. Sehingga diperlukan keseimbangan antara
kebutuhan masyarakat dengan produksi sumber listrik tenaga air. Produksi yang
dilakukan untuk membuat Pusat Listrik Tenaga Air harus didukung dengan
kegiatan yang efektif dari hulu ke hilir, PT. Kerinci Merangin Hidro merupakan salah
satu industri pembangkit listrik yang menggunakan terowongan dan kegiatan
peledakan sebagai sebuah tembusan dibawah permukan, akses lalu lintas dan
tempat menglirkan air pembangkit listrik. Tujuan utama dibuatnya terowongan dan
kegiatan peledakan yaitu mengoptimalisasi dan mempercepat PT. Kerinci Merangin
Hidro dalam produksi energi listrik.
Masalah dalam pembuatan terowongan ialah kestabilan lubang bukaan dan
kegiatan peledakan, dimana dengan hal ini diperlukan analisis lubang bukaan dan
optimalisasi peledakan untuk mendapatkan terowongan yang stabil dan aman
berproduksi. Penyelidikan geoteknik adalah elemen yang sangat penting dalam
perencanaan dan pelaksanaan sebuah terowongan. Dengan data geologi yang
memadai dapat ditentuikan desain terowongan yang sesuai, metode pelaksanaan
yang optimal, biaya pelaksanaan yang paling rasional serta persiapan yang sebaik-
baiknya direncanakan aspek keamanan pelaksanaan. Biaya pelaksanaan akan
sangat berpotensi membengkak apabila kurangnya menganalisis stabilisasi lubang
bukaan dan optimalisasi peledakan dalam pembuatan terowongan.
1.2 Rumusan Masalah
Permasalahan yang ingin diteliti ialah :
1. Potensi Ketidakstabilan yang terjadi pada batuan di sekitar lubang bukaan
terowongan yang memerlukan penanganan khusus terutama perencanaan
penyanggahan untuk menjamin keselamatan pekerja, kemajuan
terowongan dan peralatan kerja.
2. Sejauh mana optimalnya pola peledakan yang dilakukan terhadap
perubahan-perubahan yang terjai pada area kerja beserta koreksi yang
perlu dilakukan. Demikian juga dengan perubahan pemakaian tipe mesin
bor yang berbeda terhadap pola pemboran dan peledakan.
1.3 Hipotesis
Pada penelitian ini memiliki hipotesis yaitu :

Berdasarkan geologi regional daerah dimana secara umum satuan morfologi


yaitu dataran, perbukitan bergelombang halus, sedang sampai pegunungan.
Terdapat sumber air, mata air, air permukaan dan air tanah yang cukup besar dan
curah hujan yang tinggi. Terdapat sesar dan gejala geologi lainnya morfologi yang
terjal, pola aliran dendritik, lembah yang menunjukkan dapat terjadinya erosi lateral
dan vertikal aktif. Beragam formasi dengan membawa banyak jenis batuan. Keadaan
ini dapat menjelaskan kompleksnya aktivitas geologi serta pengaruh iklim yang
menjadi suatu masalah dalam membuat terowongan yang stabil dan cara peledakan
yang sesuai dilakukan. Dengan itu perlu dilakukan analisis kestabilan pada lubang
bukaan dan optimalisasi peledakan dalam pembuatan terowongan.
1.4 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dalam penelitian ini yaitu :
1. Identifikasi karakteristik masa batuan pada suatu lubang bukaan dengan
melakukan beberapa metode analisis geoteknik.
2. Merancang peledakan yang optimal dilakukan dengan melakukan kajian
pemboran dan peledakan dalam pembuatan terowongan
1.5 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Mendapatkan nilai dan karakteristik masa batuan yang tidak stabil dan
cara penanganan yang tepat untuk mengatasi ketidakstabilan lubang
bukaan agar tetap dalam kondisi aman.
2. Mendapat rancangan peledakan yang sesuai dalam pembuatan kemajuan
terowongan yang diharapkan PT. Kerinci Merangin Hidr
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gambaran Geografis dan Administratif Wilayah


Secara geografis Kabupaten Kerinci terletak antara 1 o40’-2o26’ Lintang
Selatan dan 101o08’-101o50’ Bujur Timur. Kabupaten Kerinci merupakan salah satu
wilayah ujung Barat Propinsi Jambi yang berbatasan langsung dengan Propinsi
Sumatera Barat dan Propinsi Bengkulu. Oleh karena itu Kabupaten Kerinci menjadi
wilayah strategis yang dilalui jalan utama Jambi-Sumatera Barat-Bengkulu. Peta
Administrasi Wilayah Kabupaten Kerinci disajikan pada Gambar 4.1.
Secara umum wilayah Kabupaten Kerinci memiliki batas administrasi
sebagai berikut :
Sebelah Utara : Kabupaten Solok Selatan Propinsi Sumatera Barat;
Sebelah Selatan : Kabupaten Merangin Propinsi Jambi dan
Kabupaten Muko-Muko Propinsi Bengkulu;
Sebelah Barat : Kota Sungai Penuh, Propinsi Jambi dan Kabupaten
Pesisir Selatan Propinsi Sumatera Barat;
Sebelah Timur : Kabupaten Bungo dan Kabupaten Merangin Propinsi Jambi.
Kabupaten Kerinci memiliki luas wilayah 332.814 Ha, Kabupaten Kerinci
terdiri dari 16 Kecamatan dengan jumlah desa sebanyak 285 desa dan 2 kelurahan
dengan 12 wilayah Kecamatan. Kecamatan yang memiliki luas terbesar di
Kabupaten Kerinci adalah Batang Merangin (14,30%), Kecamatan Keliling Danau
(11,00%), Gunung Raya (10,40%) dan diikuti Kabupaten lainnya, dimana luas untuk
masing-masing wilayah kecamatan dalam lingkup wilayah Kabupaten Kerinci secara
rinci disajikan pada Tabel berikut :
Tabel. 1 Luas Wilayah Kecamatan dalam Kabupaten
Kerinci 2013
No Nama Kecamatan Luas (Km2) (%)
1 Gunung Raya 34.763 10,4
2 Bukit Kerman 21.294 6,4
3 Batang Merangin 47.646 14,3
4 Keliling Danau 36.484 11,0
5 Danau Kerinci 22.626 6,8
6 Sitinjau Laut 5.807 1,7
7 Air Hangat 21.087 6,3
8 Air Hangat Timur 18.229 5,5
9 Depati VII 2.913 0,9
10 Air Hangat Barat 1.415 0,4
11 Gunung Kerinci 30.687 9,2
12 Siulak 14.287 4,3
13 Siulak Mukai 27.431 8,5
14 Kayu Aro 11.517 3,5
15 Gunung Tujuh 15.963 4,8
16 Kayu Aro Barat 20.665 6,2
Total 332.814 100
Sumber : Kerinci Dalam Angka,Tahun 2014.
Gambar1. Peta Administrasi Kabupaten Kerinci
2.2 Gambaran Topografi
Kabupaten Kerinci memiliki topografi wilayah yang sangat bervariasi berupa
perbukitan dan pegunungan. Sebagian wilayah (42 %) Kabupaten Kerinci terletak di
ketinggian 500-1.000 mdpl dengan luas 159.583 Ha, sementara daerah berketinggian
diatas 2.000 mdpl seluas 14.267 Ha (4 %), dan wilayah yang berada antara 0-500
mdpl hanya 5.010 Ha (1 %).
Secara umum wilayah Kabupaten Kerinci dapat dikelompokan dalam beberapa
satuan morfologi yaitu dataran, perbukitan bergelombang halus sampai perbukitan
gelombang sedang dan pegunungan. Orientasi ke arah utara dijumpai morfologi yang
lebih tinggi, yaitu morfologi perbukitan gelombang sampai pegunungan, sedangkan ke
arah Selatan dijumpai morfologi dataran rendah dan batuan yang relatif sejenis.
Kondisi tersebut tentunya akan berpengaruh terhadap penyebaran sumberdaya alam
dan sebagai pertimbangan dalam penentuan alokasi ruang di masa datang.

Wilayah Kabupaten Kerinci memiliki 5 klasifikasi lereng. Wilayah datar berada


pada kemiringan 0-8 %, wilayah landai 8-15%, wilayah bergelombang/berbukit 15-25
%, cukup curam 25-40%, dan wilayah curam
>40%. Hampir separuh (35,34 %) dari wilayah Kabupaten Kerinci merupakan dataran
yang curam dengan kemiringan >40%. Sedangkan untuk wilayah datar dan relatif
datar hanya mencapai 4,95 % sampai 17,56 % (terdiri dari kemiringan 0-8 % dan 8-
15%).
Wilayah Kabupaten Kerinci membentang dari Gunung Tujuh sampai Gunung
Raya, sebagian besar (98%) berada pada ketinggian di atas 500 m – 3.805 m di atas
permukaan laut, yang merupakan bagian dari Bukit Barisan. Karakter wilayah
bergelombang dan berbukit-bukit membentuk enclave yang sangat luas dan sebagian
ditutupi hutan lebat yang alami merupakan ciri khas wilayah kabupaten yang
berbeda dengan wilayah lain umumnya. Keadaan topografi yang merupakan dataran
tinggi berbukit-bukit dan dikelilingi gunung-gunung dan hutan lebat, menyebabkan
kabupaten ini memiliki iklim yang sejuk dan nyaman.
Berdasarkan Peta Topografi (Bakosurtanal, 1991) dan Peta Geologi Skala 1 :
250.000, (Pusat penelitian dan pengembangan geologi, 1996), dan citra satelit Landsat
ETM-7 tahun 2005 terlihat Kabupaten Kerinci mempunyai keadaan topografi yang
sangat bervariasi umumnya berupa perbukitan dan pegunungan. Pada bagian barat
dan timur membujur dari utara ke selatan memperlihatkan pola kontur yang rapat
dan meruncing. Hal ini mencerminkan suatu daerah perbukitan dengan lereng yang
terjal. Pada bagian tengah membujur dari utara ke selatan merupakan daerah dengan
kontur merenggang dengan kelerengan landai, karena itu Kabupaten Kerinci memiliki
kawasan lembah raksasa yang landai di bagian tengah yang merupakan celah luas
yang diapit wilayah pegunungan. Celah dan lembah yang luas ini digambarkan
membentuk seperti “mangkok raksasa”.
Sebagian besar (78%) wilayah Kabupaten Kerinci terletak di ketinggian di atas 1000 m
di atas permukaan laut dengan luas 329.422 Ha. Sementara daerah berketinggian
antara 500 – 1000 m di atas permukaan laut seluas 82.422 Ha (20%).
Sedangkan wilayah yang berada di bawah 500 m di atas permukaan laut hanya
8.136 Ha (2%), hanya terdapat di 4 kecamatan, yaitu Gunung Raya, Kumun Debai,
keliling Danau, dan Batang Merangin. Dari ke-4 kecamatan tersebut, Kecamatan
Batang Merangin yang memiliki luas terbesar untuk ketinggian 100-500 meter di atas
permukaan laut.
Berdasarkan dari kriteria ketinggian bahwa kecenderungan efektif
pengembangan wilayah terbangun atau sebagai wilayah perkotaan / permukiman
memungkinkan dapat dialokasikan pada ketinggian wilayah 100- 500 di atas
permukaan laut. Sementara selebihnya pada ketinggian > 1000 m di atas permukaan
laut merupakan kawasan hutan (TNKS).
Dibandingkan dengan lainnya Kecamatan Gunung Kerinci, Gunung Raya dan
Kayu Aro, Batang Merangin, Keliling Danau memiliki ketinggian > 1000 m di atas
permukaan laut yang paling besar. Ditinjau dari kondisi tutupan lahannya, ke-5
kecamatan ini sebagian besar merupakan kawasan hutan.
Tabel 2. Ketinggian Wilayah Kabupaten Kerinci

No KECAMATAN KETINGGI TOTA


AN L
100- % 500- % > 1000 % LUAS
500 1000 (Ha)
1 Kayu Aro - - - - 49.055 14,89 19.055
2 Gunung Tujuh - - - - - - -
3 Air Hangat - - 2.150 2,61 22.003 6,68 24.153
4 Air Hangat Timur - - 1.010 1,23 15.842 4,81 16.852
5 Depati Tujuh - - - - - -27,32 -
6 Gunung Kerinci - - 4.025 4,88 89.995 - 94.020
7 Siulak - - - - - 0,97 -
8 Sitinjau Laut - - 2.640 3,20 3.185 7,84 5.825
9 Keliling Danau 1.300 15,98 3.190 3,87 25.830 7,72 30.320
10 Danau Kerinci - - 4.310 5,23 25.420 9,20 29.730
11 Batang Merangin 4.646 57,10 21.562 26,16 30.302 15,01 56.510
12 Gunung Raya 1.990 24,46 22.945 27,84 49.450 74.385
Total 7.936 61.832 311.082 380.850
Persentase 2,08 16,24 81,68 100,00
Sumber : Kerinci Dalam Angka,Tahun 2013.
Berdasarkan klasifikasi kemiringan, Kabupaten Kerinci memiliki 4 klasifikasi
kemiringan. Wilayah datar berada pada kemiringan 0-2%, wilayah relatif datar 2-15%,
wilayah bergelombang/berbukit 15-40% dan wilayah curam > 40%. Dari data yang
ada, dapat dideskriptifkan bahwa hampir separuh (54,9% atau 230.600 Ha) dari
wilayah Kabupaten Kerinci merupakan dataran yang curam dengan kemiringan >
40%. Diikuti dengan daerah yang berbukit 15- 40% seluas 104.645 Ha atau 24,9%
dari luas total Kabupaten Kerinci. Sedangkan untuk wilayah datar dan relatif datar
yang dapat dilakukan pembangunan fisik hanya mencapai 18,8% (terdiri dari
kemiringan 0-2% dan 2- 15%) dari total luas kabupaten atau sekitar 78.945 Ha.
Kecamatan Sitinjau Laut, Kayu Aro, Hamparan Rawang dan Sungai Penuh
memiliki wilayah datar (0-2%) yang cukup luas, sedangkan Kecamatan Gunung
Kerinci, Gunung Raya, Batang Merangin, memiliki wilayah yang
bergelombang/berbukit sampai curam yang sangat luas. Kawasan ini merupakan
kawasan hutan TNKS. Kriteria sebagai pengembangan kawasan permukiman yang
aman dilihat sisi kemiringan/lereng adalah pada klasifikasi 0-15%.
Tabel 3. Kemiringan Lahan Kabupaten Kerinci

No. Kecamatan Klasifikasi Jumlah


Lereng
0 – 2% 2 – 15% 15 – 40% >40% Danau /
Rawa
1. Gunung Raya 425 19.140 21.210 33.590 30 74.835
2. Batang Merangin - 16.830 19.420 21.260 - 56.510
3. Keliling Danau 715 2.490 9.470 15.510 2.135 30.320
4. Danau Kerinci 695 2.940 9.210 14.990 2.095 27.730
5. Sitinjau Laut 1.630 1.050 2.910 29.985 - 35.475
6. Air Hangat - - - - - -
7. Air Hangat Timur 2.385 3.435 6.705 27.730 - 40.255
8. Depati VII - - - - - -
9. Gunung Kerinci - - - - - -
10. Siulak 695 6.670 21.165 65.355 135 94.020
11. Kayu Aro - - - - - -
12. Gunung Tujuh 7.305 7.725 14.120 18.640 1.265 49.055
13.850 60.280 104.210 227.060 5.660 380.850
Sumber : RTRW Kab. Kerinci, 2012.

Komponen kelerengan > 40% sangat mendominasi di Kabupaten Kerinci


dengan nilai hampir mencapai 60%, merupakan tantangan bagi Pemerintah
Kabupaten Kerinci untuk mengembangkan wilayahnya. Karena komponen kelerengan
ini sangat curam dan terjal, sehingga memiliki potensi terancam bahaya longsor.

Tabel 4. Klasifikasi Lereng di Kabupaten Kerinci


No Klasifikasi Lereng Lereng Luas (Ha) Persentase Luas (%)
1 Datar 0 – 2% 18.520 4,41
2 Landai – agak curam 2 – 15% 60.425 14,39
3 Curam, bergelombang 15 – 40% 104.645 24,92
4 Sangat curam, terjal > 40% 230.600 54,90
Luas Wilayah Kabupaten 420.000
Sumber : RISPAM Tahun 2014
Secara umum wilayah Kabupaten Kerinci dapat dikelompokkan dalam
beberapa satuan morfologi yaitu dataran, perbukitan bergelombang halus sampai
perbukitan gelombang sedang dan pegunungan. Menilik dari bentuk morfologi dan
penyebaran batuannya, maka orientasi ke arah utara akan dijumpai morfologi yang
lebih tinggi yaitu morfologi perbukitan gelombang sampai pegunungan, yang diikuti
dengan variasi dari jenis batuan yang ada. Sedangkan pada orientasi ke arah selatan
akan dijumpai morfologi dataran rendah dan batuan yang relatif sejenis. Pada daerah
yang morfologi rendah memiliki dataran yang sempit, dimana dataran rendah
tersebut merupakan celah-celah dari perbukitan. Kondisi ini tentunya akan
berpengaruh terhadap penyebaran sumberdaya alam dan sebagai pertimbangan
dalam penentuan alokasi ruang di masa mendatang.
Di lain pihak, keadaan morfologi wilayah yang bergelombang dan berbukit-
bukit ini merupakan kendala dalam pembangunan infrastruktur wilayah terutama
pengembangan jaringan jalan. Menghadapi medan yang berat dengan tebing-tebing
yang curam, berbukit-bukit dan sering terjadi longsor menyebabkan perlunya
penerapan teknologi khusus dalam pembangunan jaringan jalan tersebut.
Pengembangan kawasan terbangun pun di samping lahannya terbatas TNKS dan
persawahan produktif, kondisi lahan bergelombang dengan tingkat kecuraman yang
tinggi di daerah perbukitan merupakan salah satu kendala dalam pengembangan
permukiman di luar lahan produktif.
Gambar 2. Peta Ketinggian di Kabupaten Kerinci

Sumber : RISPAM Tahun 2014


2.3 Gambaran Geohidrologi
Pada dasarnya kondisi hidrologi Kabupaten Kerinci dapat terlihat dari adanya
sumber-sumber air, baik berupa air permukaan, mata air, maupun air tanah.
a. Air Permukaan (sungai)
Wilayah Kerinci didominasi oleh pegunungan Bukit Barisan, sebagai bagian
dari rangkaian pegunungan Bukit Barisan yang memanjang sepanjang pantai
barat Sumatera. Titik tertinggi adalah puncak Gunung Kerinci. Terdapat banyak
dataran sepanjang lembah Bukit Barisan tersebut. Pegunungan Bukit Barisan
yang berada di sebelah barat dan timur Kerinci ini menjadi titik tertinggi di
wilayah kabupaten ini, sehingga semua sungai yang mengalir di Kabupaten
Kerinci mengalir ke arah tengah dan selatan menuju dan bermuara ke Danau
Kerinci.
Di wilayah Kabupaten Kerinci banyak terdapat sungai dan anak sungai, yang
disebabkan oleh letaknya di dataran tinggi dengan kondisi topografi pegunungan
dan hutan yang lebat. Umumnya sungai dan anak sungai tersebut bermuara ke
Danau Kerinci yang kemudian mengalir sampai ke timur pantai Jambi. Sungai
terbesar di kabupaten ini salah satunya adalah Sungai Batang Merangin yang
mengalir melalui Danau Kerinci. Debit airnya cukup tinggi dan stabil sepanjang
tahun, sehingga sangat potensial dibangun bendungan untuk PLTA Kerinci Tirta
Sakti. Saat ini sungai-sungai yang ada di Kabupaten Kerinci sebagian besar
dimanfaatkan untuk irigasi pertanian dan keperluan rumah tangga.
Sungai lain yang terdapat di kabupaten ini antara lain Sungai Sikai, Rumpun,
Tanduk, Cubadak, Dadap, Simpang Tutup, Siulak Deras, Koto Rendah, Bukit
Sembahyang, Dusun Baru, Pendung Mudik, Air Patah, Terung, Semurup, Tutung,
Bungkal, Jembatan Serong, Renah Kayu Embun, Batu Lumut, Tanah Kampung,
Hiang, Batang Sangir, Betung Kuning, Cupak, Raja Seleman, Talang Kemulun,
Lubuk Pagar, Tapan, Air Jernih, Air Terjun, Air Lintah, Talang Kemuning, Rawa
Air Lingkat, Lempur, dan Sungai Renah Sako. Luas areal potensial untuk
pengembangan pertanian dengan memiliki pelayanan irigasi yang memadai berada
pada Sungai Siulak Deras, Sungai Batang Sangir, Sungai Tanduk dan Sungai
Betung Kuning. Untuk areal pertanian di sekitar Sungai Siulak Deras sudah
terlayani oleh Irigasi Teknis seluas 3.701 Ha. Kawasan ini memang sebagai
kawasan potensial pengembangan pertanian lahan basah (sawah).
b. Mata Air
Di wilayah Kabupaten Kerinci juga dijumpai mata air yang terbentuk dari
dasar lembah atau kaki perbukitan yang disebabkan adanya lapisan batuan
kedap air di bawahnya, sehingga peregangan tidak terus ke dalam, melainkan ke
arah kateral dan muncul di kaki tebing/lembah atau kaki perbukitan. Hal ini
ditunjukkan dengan adanya beberapa danau dan air terjun di daerah
pegunungan.
c. Air tanah
Keberadaan air tanah dipengaruhi oleh curah hujan, luas daerah resapan,
sifat kelulusan bahan permukaan dan batuan yang terdapat di bawahnya serta
morfologi. Potensi air tanah umumnya relatif dalam, sekitar > 60 meter.
Kedalaman > 90 meter mendominasi di kabupaten ini dengan luas mencapai 82%.
Sementara tingkat kedalaman < 60 meter tidak dijumpai dalam wilayah
Kabupaten Kerinci. Hampir seluruh kecamatan atau wilayah Kabupaten Kerinci
mempunyai kedalaman efektif tanah > 90 meter. Kecamatan Gunung Kerinci,
Gunung Raya, Batang Merangin, Kayu Aro, Sungai penuh memiliki kedalaman
efektif tanah > 90 meter yang cukup luas.
Tekstur tanah di Kabupaten Kerinci didominasi oleh tekstur tanah halus,
yaitu mencapai 60% atau sekitar 250.187 Ha, dibandingkan dengan tekstur tanah
sedang yang hanya memiliki 164.003 Ha atau 39%. Kecamatan yang memiliki
tekstur tanah halus terbesar berada di Kecamatan Gunung Kerinci, Gunung Raya,
Kayu Aro, Batang Merangin, dan Air Hangat. Kehalusan tekstur tanah ini
menunjukkan bahwa tingkat permeabilitas atau penyerapan air ke dalam tanah
sangatlah besar, sehingga pada kawasan yang memiliki tekstur tanah yang halus
cenderung memiliki kandungan air tanah yang cukup besar.
Identifikasi dan karakteristik lahan rawa lebak di Kabupaten Kerinci terbagi
menjadi beberapa permasalahan, tantangan, pengertian, luasan yang dapat
dikembangkan dan diusahakan. Permasalahan yang terjadi adalah meningkatnya
kebutuhan pangan dan lapangan kerja serta berkurangnya lahan pertanian
subur. Tantangan yang ada adalah memanfaatkan lahan rawa lebak sebagai
lahan produksi pertanian. Pengertian lahan rawa lebak adalah lahan marjinal
yang rejim airnya dipengaruhi oleh hujan, baik yang turun setempat maupun di
daerah sekitarnya. Luas lahan rawa lebak di Kabupaten Kerinci adalah 5.810 Ha.
Permasalahan utama pengembangan adalah rejim air yang fluktuatif dan sulit
diduga, serta kebanjiran pada musim hujan dan kekeringan pada musim
kemarau.
Lokasi lahan rawa lebak di Kabupaten Kerinci adalah: rawa bento di
Kecamatan Kayu Aro; Lebak Arah Seratus di Kecamatan Sitinjau Laut; Lebak Air
Kelabu di Kecamatan Danau Kerinci dan Sitinjau Laut; Lebak Kelembak di
Kecamatan Keliling Danau, Lebak Air Lingkat/Lebak Lempur di Kecamatan
Gunung Raya.
Gambar 3. Peta Hidrologi di Kabupaten Kerinci

Sumber : RISPAM Tahun 2014


2.4 Gambaran Geologi

Secara umum keadaan geologi wilayah Kabupaten Kerinci terletak pada


penyebaran beberapa formasi batuan geologi, yaitu formasi asal, formasi pemeta,
formasi bandan, formasi kumun, formasi pengasih, ganodiorit langkup, batuan
gunung api rio-andesit, batuan gunung kuarter, batuan gunung api andesit-basal,
batuan gunung api berksi, batuan gunung api Tuf, endapan alluvium.
Secara lokal pada skala 1 : 100.000, menurut hasil studi pusat geologi yang
berkerjasama dengan Bappeda Kabupaten Kerinci tahun 2003, sesuai dengan
struktur geologinya di Kabupaten Kerinci terdapat sesar berarah ke barat laut-
tenggara, yaitu sesar Siulak. Sesar ini terdiri atas dua sesar yang sejajar dan
membatasi Danau Kerinci. Panjang sesar kurang lebih 37 km dan lebarnya 17 km.
Sesar ini mulai aktif sejak Miosen Tengah, hal ini berhubungan dengan
pembentukkan formasi Kumun dan diaktifkan lagi pada Pilio-Plitosen. Sesar ini
merupakan sesar geser menganan dengan kemiringan hampir tegak.
Geomorfologi
Berdasarkan relief dan batuan penyusunnya, daerah penelitian dapat dibagi menjadi
6 satuan, yaitu pegunungan batuan pra-tersier; pegunungan batuan gunung api
tersier; pegunungan batuan sedimen; pegunungan batuan intrusi; pegunungan
batuan gunung api kuarter dan kipas alluvial dan dataran alluvial.
1. pegunungan batuan pra-tersier
Satuan ini melampar di daerah timur Kabupaten Kerinci. Bentang alam ini
mempunyai lereng cukup terjal (> 16%), dan beda ketinggian titik terendah dan
tertinggi lebih besar 300 m, sehingga disebut morfologi pegunungan. Pola aliran
sungai menunjukkan dendritik, membentuk lembah V dalam dan lebar menunjukkan
erosi lateral dan vertikal aktif. Batuan penyusunnya terdiri atas perselingan sabak,
filit, batu lempung sabakan, batupasir, tuf dan setempat hornfels, yang merupakan
formasi asal, serpih tufan berselingan dengan batu gamping (Formasi Peneta) dan
granit biotit (Granit Tatan). Hampir seluruh satuan ini ditutupi oleh hutan lebat, yang
merupakan TNKS. Namun di luar taman nasional tersebut sebagian telah
dimanfaatkan untuk pertanian dan perkebunan.

2. pegunungan batuan gunung api kuarter


Bentang alam ini tersusun oleh batuan gunung api kuarter, beberapa di
antaranya masih aktif, yaitu Gunung api Kerinci, Gunung api Raya, Gunung api
Kunyit. Sebagian besar bentang alam ini masih menunjukkan kerucut gunung api
dan bentuk kawahnya masih terlihat. Pada umumnya menunjukkan morfologi
pegunungan dengan lereng cukup terjal. Pola aliran yang berkembang radial,
dengan membentuk lembah sempit dan dalam yang menunjukkan proses erosi
vertikal lebih dominan daripada erosi lateral. Proses pelapukan sangat intensif,
sehingga membentuk soil tebal dan sebagian dimanfaatkan untuk kebun, hutan
kayu manis. Tetapi sebagian besar merupakan hutan kawasan TNKS.
3. kipas alluvial dan dataran alluvial
kipas alluvial
Bentang alam ini sangat terbatas sebarannya, yaitu kipas alluvial Pulau
Tengah dan kipas alluvial Lujun. Bentuknya seperti kipas dan batuan
penyusunnya merupakan endapan alluvial, sehingga disebut sebagai kipas
alluvial. Lahan ini banyak digunakan untuk permukiman khususnya kipas
alluvial Sungai penuh. Sedangkan yang lain merupakan permukiman,
persawahan dan perkebunan, karena bentang alam seperti ini biasanya
tanahnya subur dan air tanahnya sangat melimpah.
dataran alluvial
Bentang alam ini menunjukkan morfologi dataran, yang membentuk di
lembah Kerinci, lembah Bento, dan lembah Nasi. Sungai membentuk lembah
U lebar dan dalam. Proses yang berkembang adalah erosi lateral, pengendapan
dan pelapukan. Di daerah bentang alam ini cukup subur dan air sangat
melimpah, sehingga banyak digunakan untuk persawahan, permukiman.
Khusus lembah Bento dan lembah Nasi, dimana air menggenang sehingga
membentuk suatu danau atau rawa.
Struktur Geologi
Struktur geologi yang berkembang di daerah Kabupaten Kerinci adalah struktur
sesar dan beberapa kelurusan. Kondisi struktur batuan di wilayah Kabupaten
Kerinci umumnya ditandai dengan adanya sesar/patahan dan gejala-gejala
perlipatan. Patahan-patahan yang ada merupakan segmen dari sistem patahan besar
Sumatera yang dikenal dengan Patahan Semangko. Patahan/sesar yang ada di
Kabupaten Kerinci terdapat 3 jenis sesar utama, yaitu:
a. Sesar Siulak
Sesar ini berada ke arah baratlaut-tenggara. Sesar ini melalui Sungai
Siulak. Pelamparan sesar ini cukup panjang dari barat laut sampai bagian
selatan membatasi Danau Kerinci, dan menerus melampar sampai Sungai
Memping. Di daerah Semurup terdapat mata air panas dan aktivitas fumarola
yang’M membentuk suatu kelurusan. Sesar ini sangat panjang, diduga sesar
ini merupakan bagian dari sesar Sumatera, dimana gaya utama
pembentukkan sesar dari lajur tunjaman (tempat lempeng Samudera Hindia
dan Lempeng Benua Asia) yang terletak di sebelah timur Pulau Sumatera.
Sesar ini mungkin mulai aktif sejak miosen tengah. Hal ini berhubungan
dengan pembentukkan formasi Kumun dan kemudian diaktifkan lagi pada
periode tektonik pilio-plitosen.
b. Sesar Air anget
Sesar ini melintasi bagian barat dari lembah Kerinci. Pada citra landsat
menunjukkan adanya kelurusan sangat jelas. Di daerahnya dijumpai mata air
panas yang membentuk garis lurus berimpit dengan zona sesar. Mata air
tersebut terdapat di Kampung Sungai labu, Kampung Sungai tutung, dan
Kampung Air anget. Di bagian selatan Danau Kerinci membentuk lembah
lurus. Sesar ini diduga masih merupakan sesar Sumatera.
c. Sesar Pelayang gedang
Sesar ini melintasi timur laut-barat daya, yang melalui Sungai
Pelayang gedang. Sesar ini memotong batuan gunung api Kuarter, sehingga
diduga juga merupakan sesar aktif. Jenis sesar ini masih perlu penelitian
lebih lanjut. Wilayah Kabupaten Kerinci merupakan bagian dari Pulau
Sumatera, yaitu terletak di tepi bagian muka Lempeng Benua Asia yang
berbenturan dengan Lempeng Samudera Hindia. Akibatnya daerah ini sering
dilanda bencana geologi seperti gempa bumi. Letusan gunung api serta
pergerakan tanah. Lokasi bencana tersebut umumnya terkonsentrasi di
sepanjang lajur gunung api barisan. Hal ini disebabkan oleh lajur ini
membentuk bentang alam pegunungan dan dilalui sesar aktif Sumatera.
Kabupaten Kerinci yang terletak pada lajur gunung api barisan dimana
lajur ini berhimpit dengan sesar aktif Sumatera. Secara fisik morfologi wilayah
ini merupakan daerah pegunungan dan lembah terbanan tektonik Kerinci.
Lembah tektonik ini diisi oleh endapan sungai, endapan kipas alluvial dan
danau. Daerah ini sangat subur karena material asalnya adalah batuan
gunung api dan airnya cukup banyak. Dengan kesuburan tanahnya, daerah
ini menjadi penghasil beras di Provinsi Jambi dan ditempati oleh lebih kurang
312.000 jiwa, yang mata pencaharian utamanya sebagai petani dan
perkebunan kayumanis. Menurut catatan kegempaan, dalam kurun waktu
100 tahun terakhir, paling tidak telah dua kali bencana gempa bumi tektonik
yang cukup signifikan melanda daerah ini. Akibat bencana tersebut, telah
merubah tatanan geologi di wilayah ini yang meliputi bentang alam, struktur
geologi, sifat fisik batuan, tataguna lahan dan memicu bencana lainnya.
Bencana gempa bumi yang terjadi tahun 1908 berpusat di daerah pertemuan
antara segmentasi Dikit dan segmentasi Siulak- Batang Merangin. Sedangkan
bencana yang terjadi pada tahun 1995 terjadi antara segmentasi Siulak-
Batang Merangin dengan Batang Saliti. Pengamatan mikrosesimetik pada
kejadian itu menunjukkan bahwa daerah kerusakan yang berat dijumpai di 3
lokasi, yaitu Semurup, Jujun, dan Hiang.
Alam Kabupaten Kerinci yang memiliki luas lebih kurang 4.200 km2
memiliki karakteristik biogeofisika yang khas dengan sumberdaya alam yang
berlimpah dan beraneka ragam. Selain alamnya yang eksotis pertanian dan
perkebunannya yang subur berkat hutan hujan tropika yang kaya akan
plasma nutfah, kawasan ini juga potensial dengan sumberdaya mineral dan
sumber panas bumi. Di samping merupakan roda utama penggerak laju
pertumbuhan pembangunan wilayah Kerinci, kekayaan alam ini merupakan
peluang usaha yang amat potensial untuk dikembangkan. Kabupaten Kerinci
memiliki bahan galian berupa batu gamping dengan cadangan 98.000.000 m 3
di Desa Koto Baru, Kecamatan Sitinjau laut. Di kecamatan ini juga terdapat
potensi batu marmer dengan cadangan 138.000.000 m 3 kaolin serta bahan
galian lempung yang jumlah cadangan dan kualitasnya belum terukur.
Potensi obsidian ditemukan di Bukit Cermin, Kecamatan Air Hangat
Timur dengan cadangan teridentifikasi 404.000.000 m 3. Di Kecamatan Keliling
Danau terdapat 2.237.000 m3 trass dengan warna abu-abu. Sejumlah bahan
galian lain seperti granit, perlit dan andesit saat ini sedang dieksplorasi di
beberapa tempat di antaranya di Kecamatan Gunung Raya, Air Hangat dan
Danau Kerinci.
Potensi pertambangan dan bahan galian Kabupaten Kerinci juga
merupakan potensi unggulan di Kabupaten Kerinci. Hal ini dibuktikan dari
hasil perhitungan LQ bahwa subsektor semen dan bahan galian non logam
merupakan sektor basis di Kabupaten Kerinci.
Di Kecamatan Gunung Kerinci terdapat potensi bahan galian antara lain
kwarsa, batu gamping, batubara, belerang, gamping kristal, kaolin dan gneis.
Kecamatan ini merupakan kawasan yang memiliki deposit bahan tambang
yang besar selain Kecamatan Air Hangat yang memiliki deposit bahan
tambang antara lain endapan sinter, emas, granit, obsidian, tras, air raksa,
dan panas bumi.

Berdasarakan analisis geologi dapat digambarkan bahwa Kabupaten


Kerinci memiliki patahan/sesar yang menyebabkan terjadinya bencana
longsor dan gempa. Hampir di semua bagian wilayah, terutama pada
ketinggian di atas 15% terdapat patahan yang cukup dalam Sumber daya
alam lainnya yang terdapat di Kabupten Kerinci adalah tersedianya lahan
pertanian dan perkebunan yang cukup luas dan subur, yakni seluas 122.048
Ha. Dari jumlah tersebut 32.611 Ha telah dimanfaatkan untuk lahan tanaman
pangan, 70.015 Ha sebagai lahan perkebunan dan peternakan. Sedangkan
sisanya merupakan lahan tidur yang sangat potensial untuk dikembangkan
sebagai lahan pertanian, perkebunan dan peternakan yang produktif.
Dukungan curah hujan yang hampir merata sepanjang tagun, variasi
temperatur antara musim hujan dan musim kemarau yang tidak terlalu besar,
serta budaya masyarakat Kerinci yang agraris, merupakan aset yang amat
layak untuk dipertimbangkan sebagai peluang investasi yang menjanjikan.
Gambar 4. Peta Geologi di Kabupaten
Kerinci

Sumber : RISPAM Tahun 2014


Sumber : RISPAM Tahun 2014
2.5 Gambaran Klimatologi
Kabupaten Kerinci beriklim tropis dengan suhu rata-rata 22,6° C
dengan suhu Maksimum sebesar29,3°Cterjadi pada bulan Maret dan April,
serta suhu minimum sebesar 18,3° C terjadi pada bulan november.
Curah hujan rata-rata per bulan sebesar 121,4 mm3 dengan curah
hujan terendah sebesar 52,0 mm3 terjadi pada bulan Agustus dan curah
hujan tertinggi sebesar 239,7 mm3 terjadi pada bulan Februari.
Kelembapan relatif udara rata-rata per bulan sebesar 82 persen
dengan kelembapan udara terendah sebesar 78 persen terjadi pada bulan
Juni dan kelembapan udara tertinggi sebesar 84 persen terjadi pada bulan
Maret dan November.
Tabel 5. Curah Hujan dan Kelembaban

No. Bulan Curah Hari Hujan Kelembaban Penyinaran


Hujan (%) Mataha
( mm3 ) ri ( % )
1 Januari 168,90 16 80,00 42,00
2 Februari 239,70 16 79,00 38,00
3 Maret 131,50 16 84,00 46,00
4 April 137,30 14 82,00 49,00
5 Mei 66,00 12 81,00 46,00
6 Juni 55,00 13 78,00 57,00
7 Juli 111,90 15 82,00 38,00
8 Agustus 52,00 9 82,00 68,00
9 September 122,20 17 80,00 43,00
10 Oktober 113,50 19 83,00 55,00
11 November 131,70 24 84,00 48,00
12 Desember 127,60 17 83,00 35,00
Rata-rata 2013 121,40 16 82,00 47,00
Sumber : Kerinci Dalam Angka, 2014.

2.6 Terowongan
Terowongan adalah sebuah tembusan di bawah permukaan tanah atau
gunung. Terowongan umumnya tertutup di seluruh sisi kecuali di kedua ujungnya
yang terbuka pada lingkungan luar. Beberapa ahli teknik sipil mendefinisikan
terowongan sebagai sebuah tembusan di bawah permukaan yang memiliki
panjang minimal 0.1 mil, dan yang lebih pendek dari itu lebih pantas disebut
underpass.

Adapun Fungsi Terowongan ialah :

1. lalu lintas kendaraan (umumnya mobil atau kereta api) maupun para
pejalan kaki atau pengendara sepeda.
2. mengalirkan air untuk mengurangi banjir, saluran pembuangan,
pembangkit listrik, dan menyalurkan kabel telekomunikasi.
3. Sebagai jalan bagi hewan, umumnya hewan langka, yang habitatnya dilintasi
jalan raya.
4. Beberapa terowongan rahasia juga telah dibuat sebagai metode bagi jalan
masuk ke atau keluar dari suatu tempat yang aman atau berbahaya, seperti
terowongan di jalur Gaza, dan terowongan Cu Chi di Vietnam yang dibangun
dan dipergunakan ketika perang Vietnam.
Berdasarkan fungsinya, terowongan dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu:
Terowongan lalu lintas (traffic)
1. Terowongan kereta api
2. Terowongan jalan raya
3. Terowongan navigasi
4. Terowongan tambang
Terowongan angkutan
1. Terowongan pembangkit tenaga listrik (hydro power)
2. Terowongan water supply
3. Terowongan sewerage water
4. Terowongan untuk utilitas umum, terowongan dibuat melalui berbagai jenis
dan lapisan tanah dan bebatuan sehingga metode konstruksi tergantung
dari keadaan tanah
Hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan terowongan yaitu :
1. Lokasi
2. Metode konstruksi
3. Material
Kegunaan Rancangan terowongan yang perlu memperhatikan :
1. Massa batuan yang komplek
2. Sifat-sifat material di sekitar
Pembuatan terowongan menggunakan mesin bor
Mesin bor memungkinkan terowongan dibuat tanpa harus menggali area di atas
lokasi yang akan di jadikan terowongan. Mesin bor melubangi tanah sepanjang lokasi
terowongan. Mesin bor bisa dioperasikan secara otomatis selama proses konstruksi
terowongan, dan dapat menembus hampir seluruh jenis bebatuan. Mesin bor yang pertama
kali digunakan adalah mesin yang membangun terowongan rel Fréjus antara Prancis dan
Italia melalui pegunungan Alpen tahun 1845.

Penyelidikan Geoteknik
Penyelidikan geoteknik adalah elemen yang sangat penting dalam perencanaan dan
pelaksanaan sebuah terowongan. Dengan data geologi yang memadai dapat ditentukan
desain terowongan yang sesuai, metode pelaksanaan yang paling optimal, biaya
pelaksanaan yang paling rasional serta persiapan yang sebaik–baiknya direncanakan aspek
keamanan pelaksanaan. Biaya pelaksanaan akan sangat berpotensi membengkak karena
kurang tersedianya data geologi.
Pemboran teknik untuk pengambilan sampel batuan adalah cara yang paling umum
dipakai untuk pekerjaan terowongan. Lokasi – lokasi yang memerlukan pengeboran secara
detail adalah :
a. Daerah portal
b. Daerah yang secara topografi dekat terowongan, karena biasanya secara
struktur lemah (overburden tipis)
c. Lokasi yang berpotensi mengalami pelapukan berat.
d. Daerah yang berpotensi air tanah tinggi dan dan adanya batuan porous.
Cara penggalian permukaan lubang bukaan digolongkan:
a. Cara portal
b. Cara open cut
Cara-cara tersebut dipengaruhi oleh kondisi tanah permukaan yang akan digali. Metoda
penggalian ada 4 cara, yaitu:
a. Full face
b. Heading dan bench
c. Drift
d.Center drift
Metode penggalian lubang bukaan

1. Metode penggalian bebas dilakukan dengan cara sederhana dengan menggunakan


alat yang sederhana seperti ganco, linggis, dan sekop.
2. Metode mekanis sudah lebih canggih dengan menggunakan tunnel boring machine,
koadheader, drum seader.
3. Metode pemboran dan peledakan. Pemilihan metode ini juga memperhatikan
karakteristik dari batuan itu sendiri.
Siklus penggalian suatu lubang bukaan.

1. Penggalian
2. Pembersihan asap ledakan jika menggunakan peledakan.
3. Pembersihan atap
4. Pengumpulan dan pembuatan material hasil penggalian.
5. Pengangkutan material
6. Penyanggaan baik permanen atau sementara
2.7 Distribusi Tegangan
Distribusi tegangan disekitar terowongan terbagi atas beberapa bagian.

1. Distribusi tegangan sebelum dibuat terowongan terbagi atas 3 yaitu :


a. Tegangan grafitasi yaitu tegangan yang terjadi karena berat dari tanah/
batuan yang berada diatasnya.
b. Tegangan tektonik, terjadi akibat geseran-geseran pada kulit bumi yang
trjadi pada waktu lampau maupun saat ini.
c. Tegangan sisa adalah tegangan yang masih tersisa walaupun penyebab
tegangan tersebut sudah hilang yang berupa panas ataupun pembengkakan
pada kulit bumi. Secara teoritis tegangan mula-mula dirumuskan dengan :
λo = λ.H KET : λ = Density (ton/m2 )

H = Kedalaman/ tinggi (m)

λo = Tegangan mula-mula (ton/m2 )

2. Distribusi tegangan disekitar pada terowongan untuk keadaan paling deal


a. Geometri dari terowongan adalah yang diperhatikan terowongan adalah
sebuah lingkaran dengan jari-jari r. terowongan berada pd bidang horizontal,
terowongan terletak pada kedalaman H > r, dengan syarat reaksinya H>20 r,
terowongan sangat panjang sehingga dapat digunakan hipotesa tegangan
bidang (plain strain).
b. Keadaan batuan adalah kontinu, homogeny dan isotrop.
c. Keadaan tegangan mula-mula atau inisial stress hidroblastik atau
diasumsikan ^o = 0
λo = = λo = λ . H

λθ = λo + λo . R2 / r2

yang bekerja tegangan radial dan tegangan tangensial

3. Distribusi tegangan terowongan mula-mula tegangan hidrostatik, dimana tegangan


vertical ≠ 0 dan tegangan horizontal = 0, dimana tegangan horizontal = k tegangan
vertical
Λh = k. λv dimana λv = ^. H

KET. K = - R2 x tegangan mula-mula λo

R= Dinotasikan dengan jari-jari linkaran

r = jarak antar permukaan.

4. Distribusi tegangan disekitar terowongan untuk batuan yang tidak isotrop. Dalam
hal elastic ortotrop dimana ada dua modus yang tegak lurus untuk system
pembongkaran yang aksial. Distribusi tidak dipengaruhi hanya devormasinya, jadi
distribusi tegangan yang didapat dari perhitungan sebelumnya tetap diberlakukan.
Contoh batuan yang tidak isotrop yaitu batuan yang berlapis seperti sekis yang
berfungsi bagaimana perkuatan batuan dan arah perlapisan.
5. Distribusi tegangan disekitar terowongan untuk batuan yang mempunyai perilaku
plastic sempurna. Dicirikan dari akibat tegangan yang diserap oleh devormasi
plastic pada daerah lingkaran yang dibatasi oleh daerah elastic dari lingkaran yang
berjari-jari R dimana jari-jari ini dapat dihitung dengan
RI = R ( 2/ 1+ λ . λo (λ-1 + λoX/ λc) (1/λ-1)
R = Jari-jari lubang bukaan

λ = 1 + sin q/ 1 – sin q (q = sudut geser dalam)

λc = tegangan sekitar

yang diperkirakan ada jari-jari ini dapat tak terhingga untuk batuan yang tidak
(anu hehehehe) jadi kestabilan tidak akan dicapai untuk dipakai penyangga, rumus
diatas dapat dipermudah jika sudut geser dalam yang diambil 19.5o sehingga λ = 2
hingga R1 = 2 R/3 (λo/ λc H).

6. Distribusi tegangan disekitar terowongan yang dibentuk tidak bulat untuk keadaan
yang paling ideal ini berdasrkan tegangan garis-garis terowongan dengan berbagai
bentuk penampang dan berbagai tegangan mula-mula untuk keadaan paling ideal.
Ritasinya λH = tegangan horizontal, λv = tegangan verikal sebelum penggalian
terowongan, λ Q = tegangan tangensial untuk tiap garis terowongan. Lingkaran mor
untuk mengetahui tegangan yang terjadi pada dinding.
2.7. Klasifikasi Teknis Batuan
Tabel 7.1. Penggolongan Jenis-Jenis Batuan Utama

Sumber: Pedoman Investigasi Geoteknik untuk Bangunan Air Dept PU

Langkah awal dalam kegiatan investigasi, jenis batuan utama digolongkan


sebagai batuan dasar seperti disajikan pada tabel 2-2. Kemudian bedasar hasil uji
lapangan dan laboratorium dilakukan pengklasifikasian lebih rinci berdasar sifat-
sifat tekniknya agar dapat dievaluasi mengenai cocok tidaknya batuan sebagai
pondasi dan sebagai bahan bangunan serta agar dapat diperkirakan perilakunya
setelah bangunan dikonstruksi.
Batuan dasar adalah merupakan campuran massa batuan dan/ atau
pecahan- pecahan batuan. Jaringan rekahan membagi massa batuan menjadi
blok- blok prismatik atau pecahan-pecahan yang mempengaruhi respon dan
kinerjanya. Pada umumnya sifat teknik batuan dapat diperkirakan pertama- tama
berdasar: diskontinuitas, rekahan, kekar, celah-celah, retakan dan bidang
perlemahan. Blok batuan utuh diantara diskontinuitas biasanya cukup kuat,
kecuali untuk jenis batuan lunak dan porus serta yang mudah lapuk.

Secara garis besar sistem klasifikasi batuan menggolongkan batuan menjadi


dua macam, yaitu:
1. batuan utuh yang padat, dan
2. massa batuan.
Alternatif sistem klasifikasi lain, dibuat berdasarkan aspek-aspek: perilaku
atau komposisi dan tekstur. Banyak ahli yang telah mengusulkan metode klasifikasi
teknis untuk massa batuan, namun masih selalu dibutuhkan penyempurnaan-
penyempurnaan agar dapat diterapkan untuk semua kondisi lokasi bangunan.
Didalam praktek investigasi geoteknik, pemilihan metode klasifikasi yang digunakan
hendaknya mempertimbangkan desain serta konstruksinya (misal bendungan,
terowong).
Diantara beberapa metode klasifikasi yang ada, adalah metode klasifikasi yang
dikembangkan oleh: Tanaka; Barton, Lien and Lunde (1974); Bieniawski (1974, 1984),
and Wickham, Tiedemann, and Skinner (1974). Metode Tanaka biasa digunakan
untuk klasifikasi batuan fondasi, sedang metode lainnya (yang tersebut diatas)
memiliki keunggulan dalam pengklasifikasi batuan untuk terowong.
1. Klasifikasi batuan menurut Tanaka:
Metode Tanaka adalah merupakan metode klasifikasi batuan fondasi yang tertua
yang diterapkan di Jepang. Pada tabel 2.4 disajikan klasifikasi menurut Tanaka yang
disusun dengan mempertimbangkan faktor-faktor sbb:
a. kekerasan, dinilai berdasar rekasi bunyi sewaktu dipalu dengan palu
geologi
b. tingkat pelapukan mineral/ batuan
c. karakteristik kekar
2. Klasifikasi batuan menurut Rock Mass Rating =RMR (Bieniawski). Nilai
batuan dari yang terjelek = 0 sampai yang terbaik =100. System ini disusun
berdasar enam parameter umum batuan, yaitu:

a. Kekuatan Batuan
b. kualitas inti pemboran (berdasar RQD),
c. kondisi air tanah,
d. jarak dikontinyuitas atau kekar dan rekah (joint and fracture),
e. karakteristik diskonyuitas atau kekar, serta
f. orientasi kekar (yaitu: very favorable, favorable, fair, unvaforable, veri
unvaforble) yang nilai ratingnya berbeda-beda untuk pekerjaan
terowong, fondasi dan tambang.
2.8 Sifat Batuan

Untuk mengetahui sifat fisik batuan biasa dilakukan uji fisik yang
mencakup: berat jenis, porositas batuan, permeabilitas, satuan berat, dan lain
sebagainya, seperti:
a. Uji muai (swelling), untuk mengetahui besarnya pemuaian batuan yang
digali kemudian terendam air; uji dilakukan untuk batuan lapuk,
batuan lunak, tanah dll.
b. Uji serap air, untuk mengetahui ketahanan batuan terhadap air,
khususnya untuk batuan lunak, lapuk, atau selang-seling. Dilakukan
dengan cara mengukur berat contoh batuan sebagai akibat proses
penghancuran atau perusakan dengan cara direndam dan dipanaskan
secara berulang-ulang.
c. Uji sifat kimiawi, dilakukan untuk mengetahui keberadaan mineral-
mineral yang dapat menyebabkan kerusakan pada beton (karena reaksi
alkali atau asam) seperti: opal, apatite, allite; pyrite (mudah teroksidasi),
asam belerang, dll.

Batuan dasar bisa berupa campuran massa batuan dan/atau pecahan- pecahan
batu. Sifat mekanik massa batuan terutama ditentukan oleh jenis batuan itu
sendiri dan merupakan unsur terpenting dalam mengklasifikasi massa batuan.
Kuat desak, cepat rambat gelombang seismik, kekerasan restitusi, kuat tarik, uji
indeks beban titik, uji tekan tidak terkekang, uji tekan triaksial,dan lain-lain
adalah cara yang umum untuk mengevaluasi sifat-sifat mekanis batuan dan
mengklasifikasi massa batuan.
Uji indeks beban titik merupakan uji sederhana sebagai pengganti uji UCS,
karena dapat digunakan potongan inti batuan tidak teratur. Untuk uji tarik
langsung diperlukan persiapan khusus yang biasanya sulit bagi laboratorium
pabrik. Oleh karena itu, kuat tarik sering kali dievaluasi dengan pembebanan
tekan benda uji silindris yang melintang diameter (dikenal sebagai uji Brazilian).
Uji geser langsung digunakan untuk menyelidiki karakteristik friksi sepanjang
bentuk diskontinuitas batuan.
a. Uji indeks beban titik: untuk menentukan klasifikasi kekuatan batuan.
Indeks batuan biasa digunakan untuk mengevaluasi kekuatan tekan
uniaksial (σu), dan nilai rata-rata σu. Uji ini dilakukan dengan mengacu
pada standar uji SNI 03-2814-1992.
b. Uji tekan uniaksial (UCS = Uniaxial Compression Strength): untuk
mengukur kuat tekan uniaksial batuan (qu, σu , σc). Uji ini dapat
dilakukan dengan mengacu pada standar uji SNI 03-2825-1992.
c. Uji desak bebas Uncinfined Compression Test), untuk mengetahui
kekuatan batuan terhadap tekanan desak.
d. Uji Brasilian, untuk mengetahui kuat tarik batuan.
e. Uji geser langsung, untuk mengetahui kuat geser batuan. Uji ini dapat
dilakukan dengan mengacu pada standar uji SNI 06-2486-1991.
f. Uji kekerasan restitusi, untuk mengetahui kekuatan batuan dengan
mengukur deformasi batuan akibat gaya tertentu pada permukaannya.
Kekerasan restitusi mempunyai korelasi dengan kuat desak bebas, kuat
tarik, laju cepat rambat, gelombang seismik, dll. Hasil yang diperoleh
dapat digunakan untuk mengklasifikasi batuan, pemilihan mesin bor yang
cocok untuk penggaliannya, program kerja penggalian batu dll.

Evaluasi ketahanan batuan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor alami,


seperti cuaca musiman dan siklus ulang temperatur (misalnya aliran air,
pembasahan dan pengeringan, kegiatan gelombang, pembekuan dan pencairan,
dan lain-lain). Oleh karena itu, sebaiknya dilakukan uji ketahanan bahan.
Prinsip dasar uji ketahanan adalah cara empirik dan hasilnya merupakan
petunjuk atau indikasi ketahanan batuan terhadap proses alami. Perilaku batuan
dalam aplikasi sebenarnya dapat berbeda dengan hasil uji. Oleh karena itu, uji
Ketahanan batuan merupakan cara uji mutu yang handal dan terpercaya. Selain
hasil uji ini, kesesuaian berbagai jenis batuan dan penggunaannya bergantung
pada kinerja aplikasi awal. Sebagai contoh penggunaan uji ketahanan batuan
adalah pada evaluasi serpih dalam bendungan urugan batuan.
a) Uji tahan lekang (slake durability test) batuan adalah untuk mengetahui
ketahanan serpih atau batuan lunak lainnya yang mengalami siklus
pembasahan dan pengeringan. Uji ini dapat dilakukan dengan mengacu
pada standar uji SNI 03-3406-1994.
b) Uji keawetan (soundness) adalah untuk menentukan keawetan batuan
rip- rap yang mengalami erosi. Uji ini dapat dilakukan dengan mengacu
pada standar uji ASTM D 5240.
2.9 Klasifikasi Massa Batuan Sistem Rock Mass Rating (RMR)
Klasifikasi massa batuan menggunakan sistem Rock Mass Rating (RMR)
merupakan klasifikasi geomekanika yang dikembangkan oleh Bieniawski pada
tahun 1974. Klasifikasi massa batuan ini memiliki 6 (enam) parameter yang
digunakan untuk mengklasifikasi massa batuan. Keenam parameter tersebut
adalah Uniaxial Compressive Strength (UCS), rock quality designation, spasi bidang
diskontinyu, kondisi bidang diskontinyu, kondisi air tanah serta orientasi/arah
bidang diskontinyu. Alasan penggunaan dari keenam parameter tersebut
dikarenakan parameter tersebut dapat diperoleh dari lubang bor, penyelidikan di
lapangan baik di permukaan maupun di bawah tanah. (Brady dan Brown, 1985 :
77-78).
Uniaxial Compressive Strength (UCS)
Uniaxial Compressive Strength (UCS) adalah kekuatan dari batuan utuh
(intact rock) yang diperoleh dari hasil uji UCS. Uji UCS menggunakan mesin tekan
untuk menekan sampel batuan dari satu arah (uniaxial). Nilai UCS merupakan
besar tekanan yang harus diberikan sehingga membuat batuan pecah. Sedangkan
point load index merupakan kekuatan batuan batuan lainnya yang didapatkan
dari uji point load. Jika UCS memberikan tekanan pada permukaan sampel, pada
uji point load, sampel ditekan pada satu titik. Untuk sampel dengan ukuran 50
mm, Bieniawski (1989) mengusulkan hubungan antara nilai point load strength
index (Is) dengan UCS adalah UCS = 23 Is. Pada umumnya satuan yang dipakai
untuk UCS adalah MPa (Bieniawski, Z.T., 1989).

Rock Quality Designation (RQD)


Rock Quality Designation dikembangkan oleh Deere (1989) untuk
memberikan analisis kuantitatif terhadap kualitas masa batuan berdasarkan
perolehan hasil inti pemboran. Rock Quality Designation (RQD) merupakan
persentase massa batuan utuh yang didapat dari hasil inti pengeboran. RQD
dapat diperoleh dengan membandingkan jumlah inti bor yang memiliki panjang
lebih dari 10 cm dengan kedalaman lubang bor (core run) (Bieniawski, Z.T., 1989).
Adapun prosedur pengukuran dan perhitungan RQD (Deere, 1989) dilihat pada
Gambar 8. dibawah ini.

Keterangan :
L = panjang dari bagian core (cm)

Gambar 5. Prosedur Pengukuran dan Perhitungan RQD, Deere (1989)


(Sumber : Bieniawski, Z.T., 1989)
Walaupun RQD adalah indeks yang sederhana, tetapi parameter tersebut
tidak cukup untuk melakukan deskripsi yang baik dari suatu massa batuan
tersebut. Hal ini dikarenakan parameter tersebut tidak memperhatikan orientasi
kekar, keketatan (tightness), dan material pengisi. Oleh karena itu, Priest dan
Hudson (1976) mengusulkan agar RQD dapat pula ditentukan berdasarkan
frekuensi kekar jika tidak adanya bor inti dengan menggunakan persamaan
sebagai berikut :
RQD = 100 e-0,1λ(0,1λ+1)
Dimana, λ adalah frekuensi diskontinyu per meter.
Palmstrom (1982) mengusulkan jika suatu inti tidak tersedia, maka nilai
dari RQD dapat diperkirakan dari jumlah kekar-kekar (joints) per satuan volume,
dimana jumlah kekar per meter untuk tiap kekar akan ditambahkan. Adapun
perumusan konversi untuk massa batuan yang bebas lempung adalah sebagai
berikut :
RQD = 115 - 3.3 Jv
Dimana, Jv adalah jumlah total kekar per m3.
Hubungan antara indeks RQD dan kualitas dari batuan (Deere, 1989)
dapat dilihat pada Tabel 2. dibawah ini.
Tabel 6. Hubungan RQD dan Kualitas
RQD (%) Klasifikasi Batuan
< 25 Sangat Jelek (Very Poor)
25 – 50 Jelek (Poor)
50 – 75 Sedang (Fair)
75 – 90 Baik (Good)
90 – 100 Sangat Baik (Excellent)
(Sumber : Bieniawski, Z.T., 1989)

Spasi Bidang Diskontinyu


Spasi bidang diskontinyu didefinisikan sebagai jarak antarbidang yang
diukur secara tegak lurus dengan bidang diskontinyu yang mempunyai kesamaan
arah yang berurutan sepanjang garis pengukuran yang dibuat sembarang. Jarak
diskontinyu ini dapat menentukan ukuran blok batuan utuh yang terbentuk,
tingkat kekuatan kohesi massa batuan, model runtuhan massa batuan, dan
mempengaruhi permeabilitas, serta karakter rembesan (Bieniawski, Z.T., 1989).

Kondisi Bidang Diskontinyu


Menurut Bieniawski (1989), kondisi bidang diskontinyu merupakan
parameter yang sangat kompleks dan terdiri dari sub-sub parameter yakni
kemenerusan bidang diskontinyu (persistence), lebar rekahan bidang diskontinyu
(aperture), kekasaran permukaan bidang diskontinyu (roughness), material pengisi
bidang diskontinyu, dan tingkat pelapukan permukaan bidang diskontinyu
(weathered) seperti yang terlihat pada Gambar 9 dibawah ini.
Gambar 6. Kondisi Bidang Diskontinyu
(Sumber : Bieniawski, Z.T., 1989)

Kemenerusan Bidang Diskontinyu. Panjang dari suatu kekar dapat


dikuantifikasi secara kasar dengan mengamati panjang jejak kekar pada suatu
bukaan. Pengukuran ini masih sangat kasar dan belum mencerminkan kondisi
kemenerusan kekar sesungguhnya. Seringkali panjang jejak kekar pada suatu
bukaan lebih kecil dari panjang kekar sesungguhnya, sehingga kemenerusan yang
sesungguhnya hanya dapat ditebak. Jika jejak sebuah kekar pada suatu bukaan
berhenti atau terpotong kekar lain atau terpotong oleh solid/massive rock, ini
menunjukkan adanya kemenerusan (Bieniawski, Z.T., 1989).

Lebar Rekahan Bidang Diskontinyu. Merupakan jarak tegak lurus antar


dinding batuan yang berdekatan pada bidang diskontinyu.

Kekasaran Permukaan Bidang Diskontinyu. Kekasaran permukaan


bidang diskontinyu merupakan parameter yang penting untuk menentukan
kondisi bidang diskontinyu. Suatu permukaan yang kasar akan dapat mencegah
terjadinya pergeseran antara kedua permukaan bidang diskontinyu. Tingkat
kekasaran permukaan kekar dapat dilihat dari bentuk gelombang permukaannya.
Gelombang ini diukur relatif dari permukaan datar dari kekar. Semakin besar
kekasaran dapat menambah kuat geser kekar dan dapat juga mengubah
kemiringan pada bagian tertentu dari kekar tersebut (Bieniawski, Z.T., 1989).

Tingkat Pelapukan. Tingkat pelapukan menunjukkan derajat kelapukan


permukaan diskontinyu. Penentuan tingkat kelapukan kekar didasarkan pada
perubahan warna pada batuannya dan terdekomposisinya batuan atau tidak.

Material Pengisi Bidang Diskontinyu. Material pengisi berada pada celah


antara dua dinding bidang kekar yang berdekatan. Sifat material pengisi biasanya
lebih lemah dari sifat batuan induknya. Beberapa material yang dapat mengisi
celah diantaranya breccia, clay, silt, mylonite, gouge, sand, quartz dan calcite
(Bieniawski, Z.T., 1989).

Menurut Bieniawski (1989), berdasarkan kelima sub parameter yang


dijelaskan diatas, terdapat parameter nilai yang digunakan untuk kondisi bidang
diskontinyu yang tercantum pada Tabel 3. dibawah ini.

Tabel 7. Petunjuk Klasifikasi Kondisi Bidang Diskontinyu


Parameter Rating
<1m 1–3m 3 - 10 m 10 - 20 m >20 m
Panjang 6 4 2 1 0
Sangat Sangat
Kemenerusan Pendek Sedang Tinggi
pendek tinggi
0,1 – 1
0 < 0,1 mm 1 – 5 mm >5 mm
mm
Bukaan /
6 5 4 1 0
rekahan
Sangat Sangat
Tidak ada Sedang Lebar
rapat lebar
6 5 4 1 0
Kekasaran
permukaan Sangat Agak
Kasar Halus Licin
joint kasar kasar

0 < 5 mm >5 mm < 5 mm >5 mm


Isian 6 5 4 1 0
Tidak ada Keras Keras Lunak Lunak

Tidak Agak
Sedang Tinggi Terurai
Pelapukan lapuk lapuk
6 5 5 1 0
(Sumber : Bieniawski, Z.T., 1989)

Kondisi Air Tanah


Menurut Erick Alan Deratama (2015), kondisi air tanah (groundwater
conditions) yang ditemukan pada pengukuran kekar dapat diidentifikasikan
sebagai salah satu kondisi dibawah ini yaitu :
a. Inflow per 10 m tunnel length : merupakan banyaknya aliran air yang
teramati di setiap 10 m panjang terowongan. Semakin banyak aliran air
mengalir maka nilai yang dihasilkan untuk RMR akan semakin kecil.
b. Joint Water Pressure : semakin besar nilai tekanan air yang terjebak dalam
kekar (bidang diskontinyu) maka nilai yang dihasilkan untuk RMR akan
semakin kecil.
c. General condition : mengamati atap dan dinding terowongan secara visual
sehingga secara umum dapat dinyatakan dengan keadaaan umum dari
permukaan seperti kering, lembab, basah, menetes ataupun mengalir.
Selain itu, penentuan mengenai kondisi air tanah dapat dilakukan dengan
cara mengamati atap dan dinding terowongan secara visual dan meraba
permukaan rekahan. Kemudian kondisi air tanah dapat dinyatakan secara umum
pada Tabel 4 yaitu kering (dry), lembab (damp), basah (wet), menetes (dripping),
dan mengalir (flowing) (Goodman R, Taylor R dan Brekke T, 1968).

Tabel 8. Kondisi Air Tanah


Kekar Tidak Terisi Kekar Terisi
Deskripsi
Kekar Aliran Pengisi Aliran
Kering Kering Tidak ada Kering Tidak ada
Lembab Pengotor Tidak ada Lembab Tidak ada
Beberapa
Basah Lembab Tidak ada Basah
menetes
Kadang-
Menetes Basah Tergerus Menetes
kadang
Mengalir Basah Menerus Tercuci Menerus
(Sumber : Goodman R, Taylor R dan Brekke T, 1968)

Orientasi Bidang Diskontinyu


Parameter ini merupakan penambahan terhadap kelima parameter
sebelumnya. Bobot yang diberikan untuk parameter ini sangat tergantung pada
hubungan antara orientasi kekar-kekar yang ada dengan metode penggalian yang
dilakukan (Deratama, Erick Alan, 2015).

2.9.1 Penentuan Klasifikasi Geomekanika RMR


Menurut Bieniawski (1989), terdapat 4 (empat) langkah yang digunakan
dalam penentuan klasifikasi geomekanika menggunakan sistem RMR yaitu :
1. Langkah pertama adalah dengan menghitung rating total dari lima
parameter yang terdapat di dalam Tabel 2.9.4 sesuai dengan kondisi
lapangan yang sebenarnya.
2. Langkah kedua adalah menilai kedudukan sumbu terowongan terhadap
jurus (strike) dan kemiringan (dip) pada bidang diskontinyu (Tabel 2.9.5).
3. Setelah menentukan kedudukan sumbu terowongan terhadap jurus dan
kemiringan bidang diskontinyu, maka rating dapat ditetapkan berdasarkan
Tabel 2.9.6. Langkah ini disebut sebagai penyesuaian rating.
4. Langkah keempat adalah menjumlahkan rating yang telah didapatkan dari
langkah pertama dengan rating yang telah didapatkan dari langkah ketiga
sehingga akan didapatkan rating total sesudah penyesuaian. Dari rating total
ini maka akan dapat diketahui kelas dari massa batuan berdasarkan Tabel
2.9.7.

Tabel 9. Parameter Klasifikasi RQD dan Parameter Bobotnya

Parameter Selang nilai


1 Kekuat Indeks >10 4 – 10 2-4 1-2 Untuk
an kekuatan nilai
yang
Point Load kecil
batuan
(MPa) dipakai
UCS
Kuat 5
1
tekan 100 – 50 - - <
Utuh >250 25 - 50 -
uniaksial 250 100 2 1
5
(MPa) 5
Pembobotan 15 12 7 4 2 1 0

90 –
RQD (%) 75 - 90 50 - 75 25 - 50 < 25
2 100

Pembobotan 20 17 13 8 3

0,6 – 2 0,2 – 60 – 200


Spasi rekahan >2 m < 60 mm
3 m 0,6 mm

Pembobotan 20 15 10 8 5
Permuk
aan
sangat Agak Agak Slickensi
kasar kasar kasar de <5 Gauge
tidak renggang rengga mm, lemah,
Kondisi rekahan meneru gan < 1 nggan renggang tebal >5
4
s, tidak mm, <1 mm, an 1-5 mm,
rengga Agak sangat mm, menerus
ng, lapuk kasar menerus
tidak
lapuk
Pembobotan 30 25 20 10 0
Aliran per
10 meter
Tidak
panjang < 10 10 - 25 25 - 125 >125
ada
terowonga
n (L/min)
Air
5 tanah Tekanan
air kekar 0,1 -
0 < 0,1 0,2 – 0,5 >0,5
tegangan 0,2
utama
Keadaan
Kering Lembab Basah Menetes Mengalir
umum
Pembobotan 15 10 7 4 0
(Sumber : Bieniawski, Z.T., 1989)
Tabel 10. Efek Orientasi Jurus dan Kemiringan Diskontinyu

Jurus tegak lurus terhadap sumbu terowongan


Searah dengan dip Berlawanan dengan dip
Dip 45 - 90° Dip 20 - 45° Dip 45 - 90° Dip 20 - 45°
Sangat Tidak
Menguntungkan Sedang
menguntungkan menguntungkan

Jurus sejajar terhadap sumbu Irrespective of


terowongan Strike
Dip 20 – 45° Dip 45 - 90° Dip 0 - 20°
Sangat tidak
Sedang Fair
menguntungkan
(Sumber : Bieniawski, Z.T., 1989)

Tabel 11. Penyesuaian Rating untuk Orientasi Bidang Diskontinyu


Orientasi Sangat Tidak Sangat tidak
Mengunt-
strike dan dip mengunt- Cukup mengun- menguntung-
Ngkan
dari kekar ngkan ungkan kan
B Terowongan 0 -2 -5 -10 -12
Sipil 0 -2 -7 -15 -25
o
b
Lereng 0 -5 -25 -50 -60
o
t
(Sumber : Bieniawski, Z.T., 1989)

Tabel 12. Kelas Massa Batuan yang Ditentukan dari Rating Total
Bobot 100 – 81 80 - 61 60 - 41 40 – 21 < 20
Kelas I II III IV V
Deskripsi Sangat baik Baik Cukup Jelek Sangat jelek
(Sumber : Bieniawski, Z.T., 1989)

Selain itu, Bieniawski (1989) juga mengklasifikasikan rekomendasi


penyanggaan berdasarkan sistem RMR yang telah didapatkan untuk setiap
ekskavasi bukaan yang terdapat pada Tabel 9. dibawah ini.

Tabel 13 Panduan Rekomendasi Penyanggan Berdasarkan Sistem RMR


Kelas Penyanggaan
Massa Penggalian
Rockbolt Shotcrete Steel sets
Batuan
Batuan Full face, Umumnya, tidak diperlukan penyanggaan
sangat kemajuan 3 m kecuali spot bolting
baik (I)
RMR : 81
– 100
Secara lokal,
Full face, bolt di atap
Batuan 50 mm di
kemajuan 1 – 1,5 panjang 3 m,
baik (II) atap di
m, penyangga spasi 2,5 m, Tidak perlu
RMR : 61 tempat yang
lengkap 20 m dari dengan
– 80 dibutuhkan
muka tambahan
wire mesh
Top heading and
bench, kemajuan Sistematik
1,5 – 3 m di top bolt panjang
Batuan
heading, 4 m, spasi 50 – 100 mm
sedang
penyangga 1,5 – 2 m di di atap dan
(III) Tidak perlu
dipasang setiap atap dan 30 mm di
RMR : 41
setelah peledakan, dinding dinding
– 60
penyangga dengan wire
lengkap 10 m dari mesh di atap
muka
Top heading and Sistematik Rangka
bench, kemajuan 1 bolt panjang ringan
Batuan – 1,5 m di top 4 – 5 m, 100 – 150 sampai
buruk (IV) heading, spasi 1 – 1,5 mm di atap sedang
RMR : 21 pemasangan m di atap dan 100 mm spasi 1,5 m
– 40 penyangga dengan dan dinding di dinding di tempat
penggalian, 10 m dengan wire yang
dari muka mesh diperlukan
Drift berganda Rangka
dengan kemajuan Sistematik berat
0,5 – 1,5 m di top bolt panjang sampai
150 – 200
Batuan heading, 5 - 6 m, ringan spasi
mm di atap,
sangat pemasangan spasi 1 – 1,5 0,75 m
150 mm di
buruk (V) penyangga seiring m di atap dengan
dinding, dan
RMR : < dengan dan dinding steel lagging
50 mm di
20 penggalian, dengan wire dan
muka
shotcrete perlu mesh, bolt forepoling
segera setelah invert jika perlu,
peledakan close invert
(Sumber : Bieniawski, Z.T., 1989)

2.10 Klasifikasi Stand-up Time

Stand-up time adalah jangka waktu dimana terowongan dapat stabil tanpa
penyangga sesudah penggalian. Adapun faktor yang dapat mempengaruhi stand-
up time antara lain orientasi sumbu terowongan, bentuk penampang terowongan,
metode penggalian dan metode penyangga.
Untuk menentukan nilai dari stand-up time maka data parameter yang
dibutuhkan adalah kelas massa batuan RMR dan lebar terowongan (span)
(Gambar 10). Lebar terowongan tanpa penyanggaan didefinisikan sebagai lebar
terowongan atau jarak antara muka dan posisi terdekat dengan penyangga, jika
jarak tersebut lebih panjang dari lebar terowongan (Bieniawski, Z.T.,1989).

Gambar 7. Lebar Terowongan (Span)


Menurut Bieniawski (1989), besarnya nilai stand-up time akan didapatkan
juga nilai kohesi dan sudut geser dalamnya berdasarkan arti kelas massa batuan
seperti diperlihatkan pada Tabel 10. Hubungan antara waktu stabil tanpa
penyangga (stand-up time) dengan span untuk berbagai kelas massa batuan dan
nilai dari maximum unsupported span dapat dilihat pada Gambar 11.

Tabel 14. Arti dari Kelas Massa Batuan


Kelas I II III IV V
20 tahun 1 minggu 1 minggu 1 jam 30 menit
Stand-up time
untuk 15 untuk 10 untuk 5 m untuk 2,5 untuk 1
rata-rata
m span m span span m span m span
Kohesi dari
masa batuan >400 300 – 400 200 - 300 100 - 200 < 100
(kPa)
Sudut geser
dalam dari
>45 35 – 45 25 - 35 15 – 25 < 15
masa batuan
(deg)
(Sumber : Bieniawski, Z.T., 1989)
Gambar 8. Hubungan antara stand-up time dengan lebar span RMR
(Sumber : Bieniawski, Z.T., 1989)

2.11 Tinggi Runtuh dan Beban Keseluruhan


Menurut Bieniawski (1989), dalam melakukan analisis runtuhan, tinggi
runtuhan dan besarnya beban runtuhan merupakan komponen yang sangat
penting untuk diketahui dalam merekomendasikan penguatan. Menurut
klasifikasi geomekanika sistem RMR, tinggi runtuh (ht) dan beban runtuh (PRMR)
yang akan diterima penyangga dapat dirumuskan seperti yang tercantum pada
Tabel 11 dibawah ini.

Tabel 15. Rumus Tinggi dan Besar Beban Runtuh


No Rekomendasi Rumus Keterangan

ht = tinggi beban (m)


RMR = Rock Mass
Tinggi beban
1 ht = ((100 – RMR)/100) x B Rating
runtuh
B = lebar terowongan
(m)

P = beban runtuh
(ton/m2)
2 Beban runtuh P = ht x γ
γ = densitas batuan
(ton/m3)
(Sumber : Bieniawski, Z.T., 1989)

2.12 Rancangan Sistem Penyanggaan Dengan Baut batuan


Menurut Bieniawski (1989), terdapat faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi penentuan dalam pemilihan metode rancangan sistem
penyanggaan dengan baut batuan yaitu sebagai berikut :
a. Rancangan harus terus dijalankan pada periode konstruksi dengan menggunakan
hasil pemantauan.
b. Suatu pertimbangan faktor ekonomi dan faktor keselamatan harus dijaga pada
saat pemilihan metode penguatan batuan yang akan digunakan.
c. Percobaan teoritik harus diimbangi dengan pengalaman dan pertimbangan teknis.

Pada baut batuan dengan sistem pengikatan geser tidak direkomendasikan


untuk kondisi sebagai berikut :
a. Pada daerah yang sempit dan tertekan
b. Pada diameter lubang bor yang sulit dikontrol
c. Pada batuan yang sangat terkekarkan

2.13 Pemakaian splitset dan shotcrete pada lubang bukaan


Dalam melakukan pemilihan jenis splitset dan shotcrete yang digunakan,
terdapat rekomendasi penggunaan penyanggaan yang ditunjukkan pada Tabel 12
yang merekomendasikan pemasangan splitset dan pada Tabel 13 yang
merekomendasikan pemasangan shotcrete berdasarkan ketebalan yang
digunakan. Dimana rekomendasi yang diterapkan pada pemasangan splitset
didasarkan pada lebar terowongan dan nilai ESR (excavation support ratio) dengan
rumus seperti yang tercantum dibawah ini.
L = (2 + 0,15 B) / (ESR)
dengan L adalah panjang rockbolt, B adalah lebar terowongan, dan ESR adalah
excavation support ratio (Alfathoni, F., Syamsul, K., Fuad, R.S., 2017).

Tabel 16. Rumus rekomendasi pemasangan splitset


No Rekomendasi Rumus Keterangan
I = panjang baut (m)
1. Panjang baut I = ht + 0.5
ht = tinggi beban
b = jarak baut (m)
2. Jarak/spasi baut b = 2/9 x S
S = lebar terowongan (m)
R = beban baut yang diizinkan (ton)
Beban baut yang
3. R = Rmax / FK Rmax = beban baut maksimum (ton)
diizinkan
FK = faktor keamanan
Panjang Imax = Rmax / Imax = panjang baut maksimum (m)
4.
maksimum baut b2 . γ γ = density batuan (ton/m3)
(Sumber : Barton, 1974)

Tabel 17. Rumus rekomendasi pemasangan shotcrete


No Rekomendasi Rumus Keterangan
δ = ketebalan shotcrete (m)
Ketebalan δ = 0,434 x ((P
1. P = beban runtuh (ton/m2)
shotcrete x S)/τ)
S = lebar terowongan (m)
τ = shear stress shotcrete (ton/m2)
Shear stress τ = 0,2 x
2. LB = UCS shotcrete (ton/m2)
shotcrete (LB/FK)
FK = faktor keamanan
(Sumber : Barton, 1974)

2.14 Faktor keamanan (safety factor)


Menurut Bieniawski (1989), faktor keamanan merupakan besarnya nilai
yang menyatakan tingkat keamanan dari suatu lubang bukaan tambang bawah
tanah per blok grid radius pengamanan. Nilai dari faktor keamanan harus sesuai
dengan spesifikasi penyanggaan yang digunakan dan mampu untuk
mengamankan lubang bukaan tambang. Besarnya nilai faktor keamanan yang
direkomendasikan berdasarkan pengalaman dilapangan adalah sebesar 1,5
sampai dengan 2,0 untuk lubang bukaan sementara maupun lubang bukaan
permanen.
Besarnya nilai dari faktor keamanan berasal dari hubungan antara gaya
penahanan terhadap terhadap beban yang diterima. Dalam penggunakan splitset
sebagai penguatan, maka kapasitas dan jumlah dari splitset harus diperhitungkan
sebagai faktor gaya penahan untuk menahan beban yang akan disangga
sementara (Gambar 12). Nilai suatu faktor keamanan dikatakan tidak stabil atau
runtuh jika nilainya kurang dari 1,0 berdasarkan perhitungan. Rumus yang
digunakan untuk menentukan faktor keamanan dapat dilihat pada Tabel 14.
Dalam menentukan faktor keamanan rencana untuk menahan runtuhan
baji, maka harus diperhitungkan spesifikasi splitset dan shotcrete yang sesuai
dengan keadaan runtuhan, berupa data tinggi runtuhan, tinggi spesifikasi splitset,
besarnya span, kemampuan menahan splitset (kapasitas), dan beban dari
runtuhan yang diterima.
Gambar 9. Mekanisme perhitungan faktor keamanan splitset
(Sumber : Hoek, Kaiser, dan Bawden, 1995: 9)

Tabel 18. Rumus perhitungan faktor keamanan menggunakan splitset


No Rekomendasi Rumus Keterangan
FK = faktor keamanan (1.5-2.0)
C = kapasistas splitset (ton)
1. Faktor keamanan FK = (C x n)/W
n = jumlah splitset
W = beban luas atap (ton)
W = beban luas atap (ton)
S1 = span (m)
2. Beban luas atap W = S1 x S2 x P
S2 = kemajuan (m)
P = beban runtuh (ton/m2)
n = jumlah splitset
FK = faktor keamanan
3. Jumlah splitset n = (FK x W)/C
W = beban luas atap (ton)
C = kapasistas splitset (ton)
(Sumber : Hoek, Kaiser, dan Bawden, 1995)

2.15 Pengeboran dan Peledakan

Pada dasarnya pola pengeboran pada tambang bawah tanah ada beberapa
macam yang kesemuanya itu digunakan sesuai dengan karakteristik dari pada
batuan dan adanya joint dan bidang lemah, tetapi juga kemampuan pada
operator, peralatan, ukuran peralatan, dan panjang lubang bukaan yang
kesemuanya itu dibagi menjadi 4 type utama yaitu :

1) Centre Cut, disebut juga PIRAMID atau DIAMOND CUT. Dimana semua lubang
bor ditemukan pada satu titik dengan kedalaman satu titik dari round
(permukaan kerja) .

Depan Samping
2) Widge Cut, kadang disamakan dengan VEE CUT. Dimana semua lubang bor
dengan ujung -ujungnya bertemu, tetapi tidak pada titik.

Depan Samping

3) Draw Cut, hampir sama dengan “Wedge Cut”. Dimana digunakan dalam batuan
berlapis. (dalam arti tidak digunakan pada batuan yang keras)

Depan Samping

4) Burn Cut, pada tipe ini sesuai untuk batuan keras brittle seperti batu pasir atau
batu beku tetapi tidak efektif pada batuan yang bersifat pecah.

Depan Samping

Metode Heading adalah penggalian Tunnel/ Adit yang selalu diawali atau
didahului dengan pembongkaran awal berpenampang oval kecil. Dimana pada
metode ini digunakan khusus untuk menggali Tunnel yang berdiameter besar.
Pada metode Heading dibagi dalam 4 (empat) macam metode yaitu :

1) Pilot Heading, dimana peledakan awal dilakukan pada terowongan yang sudah
ada dengan cara membuat 2 (dua) buah lubang awal pada bagian atas
terowongan.

Depan Samping
2) Top Heading, dimana peledakan awal dilakukan pada terowongan yang sudah
ada dengan cara membuat lubang awal pada bagian atas terowongan.

Depan Samping

3) Central Heading, dimana peledakan awal dilakukan pada terowongan yang


sudah ada dengan cara membuat lubang awal pada bagian tengah terowongan.

Depan Samping

4) Bottom Heading, dimana peledakan awal dilakukan pada terowongan yang sudah
ada dengan cara membuat lubang awal pada bagian bawah terowongan.

Depan Samping

Metode penggalian dan pengeboran pada metode Heading tergantung pada :

a. Mesin Bor yang tersedia yang digunakan sesuai dengan masa batuan pada daerah
yang akan dibuat terowongan tersebut.
b. Rock Behavior atau karakteristik batuan tersebut.
c. Diameter penampang terowongan, tergantung seberapa besar luas terowongan
yang akan dubuat.

Dalam kegiatan peledakan biasanya terdapat 2 atau lebih bidang bebas. Maka
dalam melakukan kegiatan peledakan tambang bawah tanah perlu dibuat bidang
bebas kedua yang dinamakan cut. Cut itu sendiri dapat dibagi menjadi beberapa
persegiempat.

A. Perhitungan Cut Hole

Cut digunakan sebagai bidang bebas kedua yang biasanya dipakai dalam
peledakan tambang bawah tanah. Charlos lopez jimeno dalam bukunya membagi
cut menjadi 4 persegiempat, dimana masing-masing persegi terdapat 4 buah lubang
ledak dan pada persegiempat pertama terdapat 1 buah lubang kosong (Empty Hole)
yang tidak diisi bahan peledak.

Charlos lopez jimeno dalam bukunya yang berjudul “Drilling And Blasting Of
Rock” membuat persamaan dalam perhitungan cut.

Apabila lubang kosong yang dipakai lebih dari satu buah lubang kosong,
maka diameter lubang samaran (D2) dapat dihitung dengan persamaan berikut ini
(Jimeno,1995):

D2=D'1x √N

Dimana : D2 = Diameter Lubang Samaran (mm)

D’1 = Diameter Lubang Kosong (mm)

N = Jumlah Lubang Kosong (Buah)

Perhitungan cut dalam masing-masing persegiempat dapat dihitung


dalam persamaan berikut (Jimeno,1995) :

a. Segiempat Pertama
Pembuatan design cut dibuat terlebih dahulu pada segiempat pertama sebagai
patokan untuk membuat segiempat selanjutnya. Letak lubang kosong (Empty Hole )
diletakkan di persegi pertama. Berikut ini merupakan komponen- komponen yang
dihitung dalam pembuatan segiempat pertama cut :

Jarak antara lubang ledak dan lubang kosong (a)


Burden maksimum merupakan jarak maksimum yang diperbolehkan
antara diameter lubang kosong ( Empty Hole, ɸ ) dengan lubang ledak (d).

a=1,7ɸ
Dimana:

A = Burden Maksimum(m)

ɸ = Diameter Lubang Kosong (m)

Deviasi Maksimum Lubang Tembak (F)


Penyimpangan maksimum yang diizinkan dalam lubang tembak
dinamakan deviasi maksimum lubang tembak (F). Dimana deviasi maksimum lubang
tembak dapat dicari dengan persamaan:

F=1,7ɸ-(αH+ β)
Dimana :
Deviasi Maksimum Lubang Tembak (m)

ɸ = Diameter Lubang Kosong (m)

A = Angular Deviasi (mm)

H = Kedalaman Pemboran (m)


B = Colarring Deviasi (mm/m)

Burden Pertama (B1)


Jarak tegak lurus antara lubang kosong (Empty Hole) dengan lubang
tembak dalam segiempat pertama.

B1= a-F

Dimana :

B1 = Burden Pertama (m)

a= Jarak antara lubang ledak dan lubang kosong (m)

F= Deviasi Maksimum Lubang Tembak (m)


Jarak
Lubang Ledak Segiempat Pertama (W1’)
Jarak antara lubang ledak pada segiempat pertama dapat dicari dengan
persamaan dibawah ini:
W1'=B1√2
Dimana :
W1’ = Jarak antar lubang ledak pada segiempat pertama (m)

B1 = Burden Pertama (m
Panjang Yang Tidak Diisi Bahan Peledak/ Stemming (T)
Besarnya panjang yang tidak diisi bahan peledak dapat dihitung dengan
menggunakan persamaan sebagai berikut:

T=10 d
Dimana :

T= Stemming (m)

d= Diameter lubang ledak (m)

b. Segiempat Kedua

Bukaan Segiempat Kedua ( W2)

�2 = (�1 − �)√2

Burden Maksimum Kedua (B’’)

�2𝑥 𝐼 𝑥 𝑆𝐴𝑁��
�′′ = 8,8 𝑥 10−2 𝑥√
𝑑𝑥�
Burden Kedua (B2)

�2 = �′ − �

Jarak Lubang Ledak Dalam Segiempat Kedua (W2’)

W2’ = (B2 + (W1/2) ) x √2

c. Segiempat Ketiga
Bukaan Segiempat Ketiga ( W3)

W3 = (B2 + (W1/2) – F) x √2

Burden Maksimum Ketiga (B’’’)

�3𝑥 𝐼 𝑥 𝑆𝐴𝑁��
−2
�′′′ = 8,8 𝑥 10 𝑥√
𝑑𝑥�
Burden Ketiga (B3)

�3 = �′′′ − �

Jarak Lubang Ledak Dalam Segiempat Ketiga (W3’)

W3 = (B3 + (W2’/2) x √2

d. Segiempat Keempat

Bukaan Segiempat Keempat ( W4)

W3 = (B3 + (W2’/2) – F) x √2

Burden Maksimum Ketiga (B’’’’)

�′′′′ = 8,8 𝑥 10
−2
𝑥 √
�4𝑥 𝐼 𝑥 𝑆𝐴𝑁��

𝑑𝑥�
Burden Keempat (B4)

�4 = �′′′′ − �

Jarak Lubang Ledak Dalam Segiempat Keempat (W4’)

W4 = (B3 + (W2’/2) x √2

Setelah perhitungan dilakukan maka akan mendapatkan design pola peledakan


pada cut sebagai berikut (Gambar 1) :
Gambar 10. Cut Hole
(Sumber: Drilling and Blasting Of Rock, 1995)

Dengan menggunakan Tabel 1 maka I dan SANFO dapat dihitung


sebagai berikut,
2
𝐼 (�ℎ𝑎𝑟𝑔𝑖𝑛𝑔 �𝑜𝑛�𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑡𝑖𝑜𝑛) = ¼ 𝜋𝑑 𝑥 𝐷𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡� 𝐻𝑎𝑛𝑑𝑎�

S LFB bahan peledak yang dipakai


𝑆𝐴𝑁�� = S LFB ANFO

Tabel 19. Density Untuk Berbagai Bahan Peledak (Holmberg-Persson, 1994)


Bahan Peledak Qv (MJ/kg) V sLFB Sanfo Berat
3
(m /kg) Jenis
(kg/m3)
Dynamite 5 0.850 1 1.19 1450
Dynamex M 4.7 0.88 0.94 1.13 1400
ANFO5.1 0.610 0.97 1.15 1 900
TNT 5.1 0.610 0.97 1.15 1640
Nabit 4.42 0.904 0.91 1.08 1200
Gurit A 3.8 0.400 0.71 0.85 1000
NG 6.27 0.716 1.19 1.42 1590
Emulite 150 4.1 0.84 0.85 1.42 1200
Iremite 62 3.75 0.852 0.79 0.94 1180
Iregel RX 2.68 0.941 0.63 0.75 1200
Dynex 205 4 0.863 0.84 1 1170
”Powergel” 3.29 0.810 0.71 0.84 1150
Kimit 80 4.1 0.74 0.89 1.06 1100
Emulet 20 2.4 1.12 0.61 0.73 220
PETN 6.38 0.717 1.2 1.43 1670

Keterangan:
sLFB = Weight strength relatif terhadap bahan peledak acuan (dynamite)
Qv = Panas akibat peledakan 1 kg bahan peledak yang dinilai, MJ

Qv0 = Panas akibat peledakan 1 kg LFB (kekuatan bahan peledak) Dynamite


(5MJ)
V = Volume gas yang dilepaskan 1 kg bahan peledak yang dinilai pada STP, m3
V0 = Volume gas yang dilepaskan 1 kg FLB dynamite pada suhu dan tekanan Standar
(0.85 m3)
sANFO = Weight strength relatif ANFO terhadap bahan peledak acuan
(dynamite)
Gambar 11. C (rock constant) merupakan ukuran empiris jumlah peledak yang

dibutuhkan untuk melonggarkan 1 m3 batuan.

0.5 3
C = 0.50 + 2.60(σt/σc) + 13σt/σc, kg/m Untuk percobaan pertama C=0.4 kg/m3

B. Perhitungan Geometri Pola Peledakan Tambang Bawah Tanah

Setelah perhitungan cut hole sudah dilakukan. Maka dilakukan perhitungan lifter,
wall, roof, dan stoping dalam pola peledakan. Menurut jimenno,1995(Lihat Gambar 3).
Gambar 12 Letak Pola Peledakan Bawah Tanah
(Sumber: Drilling and blasting of rock)

Perhitungan geometri pemboran dan peledakan dapat dihitung


dengan menggunakan persamaan berikut :

a. Perhitungan Lifter

Burden Maksimum

𝐼 𝑆𝑎𝑛𝑓𝑜
�𝑚𝑎𝑥 = 0,9
√ C F (S/B)
G

Jumlah Lubang Ledak Lifter

𝐿𝑒𝑏𝑎𝑟 𝑇𝑒𝑟𝑜𝑤𝑜𝑛𝑔𝑎𝑛
𝑁� = � +2

Spacing (S)

𝐿𝑒𝑏𝑎𝑟 𝑇𝑒𝑟𝑜𝑤𝑜𝑛𝑔𝑎𝑛 + 2 𝐻 𝑆𝑖𝑛 �


𝑆= 𝑁� − 1

Spasi Lifter, dengan lubang ledak diujung


A𝑆𝐿 = 𝑆 − 𝐻 𝑆𝑖𝑛 �

Partical Burden Lifter (BL’)


�𝐿 = � − (𝐻 𝑥 𝑆𝑖𝑛� )

Panjang Isian Dasar (hb)

hb = 1,25 Bl

Panjang Isian Column (hc)

hc = H − hb − T

Keterangan:
C = Corrected rock constant (0,4)

F = Fixation factor

NB = Jumlah Lubang (Buah)

H = Kedalama pemboran (m)

ɣ = Lookout (degree)

S = Jarak antar lubang (m)


SL’ = Jarak antar lubang pada ujung lifter (m)

Hb = Panjang Isian Dasar (m)

hc = Panjang Isian Column (m)

b. Perhitungan Countour, Roof


Spacing (S)

𝑆=�𝑥𝑑

Burden ( B)

S/B = 0,8

B = S/(S/B)

Konsentrasi Muatan Roof (Ir)

2
𝐼𝑟 = 90 𝑥 𝑑

Keterangan :

K = Konstanta (15-16)

D = Diameter (m)

c. Perhitungan Countour, Wall

Panjang yang Ditempati oleh wall hole

Tinggi Abutment – Bl – Br

Spasi

𝑆=�𝑥𝑑

Burden Maksimum ( B)

I x SAnFo
𝑆
� = 0,9
√ 𝐶�( )
B
Burden Wall (Bw)

�𝑤 = � − 𝐻 𝑠𝑖𝑛� − �
Jumlah Lubang (NB)

𝑃𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔 �𝑎𝑛𝑔 𝐷𝑖𝑡𝑒𝑚𝑝𝑎𝑡𝑖 �𝑎𝑙𝑙


𝑁� = 𝑆 +2

Spasi wall ( Sw )

𝑃𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔 �𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑡𝑒𝑚𝑝𝑎𝑡𝑖 �𝑎𝑙𝑙


𝑆𝑤 =
𝑁� − 1

d. Perhitungan Stoping

Stoping Horizontal

F= 1,45

S/B = 1,25

C’ = 0,4

𝐼 𝑥 𝑆𝑎𝑛𝑓𝑜
� = 0,9 √
𝑆
𝐶′ 𝑥 𝑓 𝑥 (� )
�ℎ = � − 𝑓

Stoping Downword

F = 1,2

S/B = 1,25

C’ = 0,4

𝐼 𝑥 𝑆𝑎𝑛𝑓𝑜
𝑆
� = 0,9
√ 𝐶′ 𝑥 𝑓 𝑥 ( )

�ℎ = � − 𝑓

Dimana,

F= Devisiasi maksimum Pemboran

C. Blasting Ratio

“Blasting Ratio” adalah perbandingan berat batuan yang terbongkar dengan berat bahan
peledak yang digunakan. Angka ini Bisa dipakai sebagai salah satu parameter untuk
menentukan tingkat keekonomisan pemakaian suatu bahan peledak.

Blasting Ratio = WBATUAN / WPELEDAK

Menurut GOUR S.SEN, 1995 dalam buku “Blasting Technology For Civil and mining “
perhitungan burden dan spasi peledakan Pada metode Cut Drilling dapat dibuat dengan
persamaan :

B= ( Lch / Hb) x(Qc / q ) / 1,3


Dimana :

B = burden (m)

Lch = panjang isian bahan peledak (m)

Hb = panjang rata-rata lubang ledak (m)

D = diameter isian (mm)

Qc = densitas bahan peledak pada lubang ledak (kg/m)

q = powder factor batuan (kg/m3)

q = 1,1 untuk kuat tekan uniaksial >250 Mpa

= 0,6 untuk kuat tekan uniaksial 100 – 200 Mpa.


Nilai Lch dapat dihitung dengan menggunakan persamaan

Lch = Hb – 0,02 D.

D = diameter peledak atau diameter lubang ledak (m)

Sedangkan nilai Qc dihitung dengan menggunakan formula

Qc = (ρ x D2) / 1273

Ρ = densitas bahan peledak (gr/cm3)

Jarak spasi (m) dihitung berdasarkan nisbah S/B yaitu :

SxB = 1,3 B2

dimana S = 1,3 B.
III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu penelitian


Penelitian ini dilakukan di PT. Kerinci Merangin Hidro Tamiai, Batang
Merangin, Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi selama 1 bulan (bulan Oktober 2019 -
November 2019). Kegiatan kerja praktek direncakan berlangsung mulai tanggal 25
Oktober – 25 November 2019. Adapun rencana agenda kegiatan Kerja Praktek yang
akan dilaksanakan adalah sebagai berikut:
Tabel 20. Rencana Kerja Praktek

September Oktober November

No Jenis Kegiatan Kampus Lapangan (Perusahaan)

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2

Pembuatan & Persiapan


1 Proposal/Berkas

2 Konfirmasi Kegiatan

3 Studi Literatur

4 Pengambilan Data

Analisa Data & Pengolahan


5 data

Penyusunan Laporan &


6 Persentasi

( Catatan : Jadwal dapat disesuaikan dengan kesepakatan dan ketentuan dari PT.
Kerinci Merangin Hidro

3.2 Bahan dan Peralatan


Peralatan yang digunakan pada saat melakukan tugas akhir sebagai berikut :
1. Software X, digunakan untuk membuat permodelan rekomendasi geometri
pengeboran dan peledakan.
2. Software Microsoft Exel, digunakan untuk pengolahan data.
3. Kamera, digunakan untuk mengumpulkan dokumentasi sebagai data pendukung.
4. Perangkat keras seperti laptop, digunakan untuk membantu pengolahan data.
5. Kompas Geologi, digunakan untuk mengukur arah orientasi bidang diskontinuitas.
6. Palu Geologi, digunakan untuk mengambil sampel batuan.
7. Meteran, digunakan untuk mengukur data-data yang ada dilapangan berupa
panjang kekar, lebar bukaan rekahan, dan lain-lain.
8. Clipboard, digunakan untuk membantu dalam pengukuran scanline.
9. Kalkulator, digunakan untuk pengolahan perhitungan data dilapangan.
10. Alat tulis, digunakan untuk mencatat semua data yang telah didapatkan.
11. Helm safety, safety shoes, sarung tangan, safety glasses, dan masker yang
digunakan untuk melindungi dari bahaya.

3.3 Prosedur Penelitian


Metode yang digunakan dalam kerja praktek kali ini didasarkan pada perhitungan
aktual lapangan yang beretujuan untuk mendapatkan hasil pada waktu sekarang.
Rancangan kegiatan ini terdiri dari 4 tahapan yaitu tahap persiapan, tahap pengumpulan
data, tahap pengolahan data, dan tahap penyusunan laporan akhir.

Tahap Persiapan

Pada tahap ini dilakukan penyusunan kerja praktek. Sasaran utama studi
pendahuluan ini adalah gambaran umum daerah penelitian. Studi literatur dilakukan
dengan mencari bahan-bahan pustaka yang menunjang kegiatan penelitian, yang diperoleh
dari :
a. Instansi terkait
b. Perpustakaan
c. Informasi penunjang lainnya
Pengamatan Lapangan
Pengamatan di lapangan ditujukan untuk mendapatkan data-data yang diperlukan
secara langsung di lapangan. Pengambilan data dilakukan dengan pengamatan dan
pengukuran secara langsung.
Pengolahan Data
Pengolahan data hasil penelitian dilakukan dengan perhitungan berdasarkan teori
yang ada dan data hasil penelitian.
Analisa Data
Dari rumusan-rumusan yang telah didapat kemudian dilakukan analisa untuk
menemukan jawaban atas pertanyaan perihal rumusan dan hal-hal yang diperoleh dalam
kerja praktek.
Kesimpulan
Hasil sintesis data keseluruhan dirangkum ke dalam laporan tertulis untuk
dipertanggungjawabkan dalam bentuk laporan hasil kerja praktek.

Teknik Pengumpulan Data


Cara pengumpulan data-data yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi:
1. Studi kepustakaan, yaitu pengumpulan data-data dari literatur-literatur dan internet
tentang kestabilan terowongan atau stabilisasi lubang bukaan dan peledakan.
2. Observasi lapangan, yaitu pengamatan di lapangan meliputi kegiatan pembuatan
terowongan dan peledakan.
3. Wawancara dengan instruktur lapangan serta orang-orang yang ahli dibidangnya.
Pengolahan Data
Adapun pengolahan data-data yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi :
1. Klasifikasi massa batuan menggunakan sistem RMR serta analisis kestabilan
terowongan.
2. Perhitungan geometri pengeboran dan peledakan serta pola peledakan.
3. Pemodelan Geometri pengeboran dan peledakan
Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang dipergunakan yaitu analisis kualitatif, kuantitatif, dan
deskriptif. Berupa pengamatan dan melakukan analisis kestabilan terowongan dan
perhitungan geometri pengeboran dan peledakan. Adapun data yang akan diolah yaitu :
Data Primer. Data primer merupakan data yang penulis dapat langsung dari
observasi dilapangan dengan bimbingan pembimbing lapangan beserta karyawan yang
terkait. Data primer yang dikumpulkan yaitu :
1. Data klasifikasi massa batuan menggunakan sistem RMR yang terdiri dari nilai
kuat tekan uniaksial batuan, Rock Quality Designation (RQD), spasi bidang
diskontinyu, kondisi bidang diskontinyu, kondisi air tanah, serta orientasi
bidang diskontinyu yang dilakukan dengan cara sebagai berikut :
a. Nilai kuat tekan uniaksial batuan didapatkan dari perusahaan berupa data
sifat mekanik batuan.
b. Rock Quality Designation (RQD) didapatkan dengan pengukuran langsung
dilapangan menggunakan metode scanline. Parameter yang diukur berupa
data panjang scanline dan data banyak kekar pada lokasi penelitian.
c. Spasi bidang diskontinyu didapatkan dengan pengukuran langsung
dilapangan dengan cara melakukan pengukuran jarak dua bidang kekar tegak
lurus yang terdekat.
d. Kondisi bidang diskontinyu didapatkan dari pengukuran secara langsung
dilapangan berupa panjang kemenerusan/rekahan, lebar bukaan kekar,
kekasaran permukaan kekar, material pengisi antar kekar dan tingkat
pelapukan.
e. Kondisi air tanah didapatkan dengan pengamatan secara langsung
dilapangan.
f. Setelah diketahui semua data pada parameter klasifikasi massa batuan
tersebut, maka dapat ditentukan nilai RMR pada batuan tersebut
berdasarkan bobot nilai yang didapatkan.
g. Data berupa data kemajuan terowongan, data volume batuan yang akan
diledakkan data geometri pengeboran dan peledakan yang sesuai dilapangan
setelah seluruh data yang diinginkan sudah didapat maka dikaji maka
dilakukan pembuatan rencana geometri pola pengeboran dan peledakan.
Setelah dilakukan pembuatan rencana maka dilakukan pengujian hasil dari
perencanaan geometri pola pengeboran dan peledakan yang sudah
direncanakan sesuai perhitungan.
2. Data stand-up time yang ditentukan untuk mengetahui seberapa lama waktu
yang dibutuhkan suatu lubang bukaan dapat tetap stabil tanpa penyangga. Data
ini didapatkan dengan cara yaitu :
a. Diketahui nilai dimensi terowongan berupa lebar terowongan yang
didapatkan dari data perusahaan.
b. Memplot nilai RMR yang telah didapatkan dengan data lebar terowongan
menggunakan grafik nilai stand-up time.
Data Sekunder. Data Sekunder merupakan data pendukung dari data primer
ataupun data yang telah tersedia yang dapat digunakan sebagai acuan untuk menguatkan
data primer yang didapatkan. Data sekunder yang dikumpulkan yaitu sebagai berikut :
1. Data dimensi terowongan didapatkan dari dokumen resmi perusahaan untuk
mengetahui ukuran dari terowongan tersebut berupa data lebar bukaan
terowongan, tinggi terowongan, dan kemajuan terowongan.
2. Data sifat fisik dan mekanik batuan didapatkan dari dokumen resmi perusahaan
untuk membantu dalam mengetahui karakteristik batuan yang ada di
perusahaan.
DAFTAR PUSTAKA

Alfathoni, F., Syamsul, K., Fuad, R.S. 2017. Evaluasi Teknis Sistem Penyanggaan
Menggunakan Metode Rock Mass Rating (RMR) System Pada Development Area
(CKN_DC) Tambang Emas Bawah Tanah PT Cibaliung Sumber Daya, 1(2), 1-10.
Anggara, Rochsyid. 2017. Sistem Penambangan Bawah Tanah Edisi II. Kementerian Energi
dan Sumber Daya Mineral : Balai Pendidikan dan Pelatihan Tambang Bawah Tanah
Anonim. 2004. PT Freeport Indonesia. Tembagapura : Papua.
Barton N, Lien R and Lunde J. 1974. Engineering classification fo rock masses for the design
of tunnel support, Rock Mech, Min.
Bieniawski, Z.T. 1989. Engineering rock mass classifications. New York: Wiley.
Brady, B.H.G., Brown, E.T. 1985. Rock Mechanics For Underground Mining. George Allen &
Unwin. London.
Deere, D.U., 1989. Rock Quality Designation (RQD) after 20 years. U.S. Army Corps Engrs.
Contract Report GL-89-1. Vicksburg, MS: Waterways Experimental Station.
Deratama, Erick Alan. 2015. Pengamatan Kegiatan Geoteknik dan Survey Tambang Emas
Bawah Tanah PT Natarang Mining. Universitas Lambung Mangkurat : Banjarbaru.
Dokumen RPI2JH 2016-2020. Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Kerinci
Ginting, A., Purba, A., Sjadat, A. 2017. Inovasi Sistem Penyanggaan Di Tambang Bawah
Tanah DMLZ PT Freeport Indonesia. : Prosiding Simposium II – UNIID 2017.
Goodman R., Taylor R. and Brekke T. 1968. A model for the mechanics of jointed rock.
ASCE Journ. Of the soil mech. And found. Div., Vol. 94, pp.637-659
Hemphill b., Gary, “Blasting Operation”, First Edition, Mc. Graw Hill Inc., New York
Langefors U., and Kihlstrom, B., “The Modern Technique of Rock Blasting ”, Second Edition,
A Heelsted Press Book John Willey & Sons, New York,1973.
Lopez Jimeno C., (1995), “Drilling and Blasting of Rocks”, A.A. Balkema, Roterdam,
Nedherlans
Made Astawa Rai, “Terowongan”, Laboratorium Geoteknik Pusat Antara Universitas – Ilmu
Rekayasa, Institut Teknologi Bandung, 1987/1988.
Moelhim Karthodharmo, Irwandy Arif, Suseno Kramadibrata., “Teknik Peledakan ”, Diktat
Kuliah Jilid I, Jurusan Teknik Pertambangan, Fakultas Teknologi Mineral, Institut
Teknologi Bandung, 1984.
M. Simangunsong, Ganda. “Underground Blasting Design” Fakultas Teknik Pertambangan
& Perminyakan ITB. Bandung.
Palmstrom A. 1982. The volumetric joint count - A useful and simple measure of the degree of
rock mass jointing. IAEG Congress, New Delhi, 1982. pp. V.221 – V.228.
Priest, S. D., Hudson, J. A. 1976. Discontinuity spacings in rock. Int. J. Rock Mech. Min. Sci.
& Geomech. Abstr., 13(5): 135–48.
Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Air Dan Konstruksi, Modul Geoteknik
Pelatihan Perencanaan Bendungan Tingkat Dasar. Modul 11.
Samhudi, “ Teknik Peledakan “, Departemen Pertambangan dan Energi, Direktorat
Jenderal Pertambangan Umum, Pusat Pengembangan Tenaga Pertambangan, 1994.
Yanto Indonesianto, M.Sc, “Persiapan Pembukaan Tambang Bawah Tanah”, Jurusan

Teknik Pertambangan, Fakultas Teknologi Mineral, UPN “Veteran” Yogyakarta,

1999.

Anda mungkin juga menyukai