Oleh:
F1D116008
Pada dasarnya kondisi hidrologi Kabupaten Kerinci dapat terlihat dari adanya
sumber-sumber air, baik berupa air permukaan, mata air, maupun air tanah.
a. Air Permukaan (sungai)
Wilayah Kerinci didominasi oleh pegunungan Bukit Barisan, sebagai bagian
dari rangkaian pegunungan Bukit Barisan yang memanjang sepanjang pantai
barat Sumatera. Titik tertinggi adalah puncak Gunung Kerinci. Terdapat banyak
dataran sepanjang lembah Bukit Barisan tersebut. Pegunungan Bukit Barisan
yang berada di sebelah barat dan timur Kerinci ini menjadi titik tertinggi di
wilayah kabupaten ini, sehingga semua sungai yang mengalir di Kabupaten
Kerinci mengalir ke arah tengah dan selatan menuju dan bermuara ke Danau
Kerinci.
Di wilayah Kabupaten Kerinci banyak terdapat sungai dan anak sungai, yang
disebabkan oleh letaknya di dataran tinggi dengan kondisi topografi pegunungan
dan hutan yang lebat. Umumnya sungai dan anak sungai tersebut bermuara ke
Danau Kerinci yang kemudian mengalir sampai ke timur pantai Jambi. Sungai
terbesar di kabupaten ini salah satunya adalah Sungai Batang Merangin yang
mengalir melalui Danau Kerinci. Debit airnya cukup tinggi dan stabil sepanjang
tahun, sehingga sangat potensial dibangun bendungan untuk PLTA Kerinci Tirta
Sakti. Saat ini sungai-sungai yang ada di Kabupaten Kerinci sebagian besar
dimanfaatkan untuk irigasi pertanian dan keperluan rumah tangga.
Sungai lain yang terdapat di kabupaten ini antara lain Sungai Sikai, Rumpun,
Tanduk, Cubadak, Dadap, Simpang Tutup, Siulak Deras, Koto Rendah, Bukit
Sembahyang, Dusun Baru, Pendung Mudik, Air Patah, Terung, Semurup, Tutung,
Bungkal, Jembatan Serong, Renah Kayu Embun, Batu Lumut, Tanah Kampung,
Hiang, Batang Sangir, Betung Kuning, Cupak, Raja Seleman, Talang Kemulun,
Lubuk Pagar, Tapan, Air Jernih, Air Terjun, Air Lintah, Talang Kemuning, Rawa
Air Lingkat, Lempur, dan Sungai Renah Sako. Luas areal potensial untuk
pengembangan pertanian dengan memiliki pelayanan irigasi yang memadai berada
pada Sungai Siulak Deras, Sungai Batang Sangir, Sungai Tanduk dan Sungai
Betung Kuning. Untuk areal pertanian di sekitar Sungai Siulak Deras sudah
terlayani oleh Irigasi Teknis seluas 3.701 Ha. Kawasan ini memang sebagai
kawasan potensial pengembangan pertanian lahan basah (sawah).
b. Mata Air
Di wilayah Kabupaten Kerinci juga dijumpai mata air yang terbentuk dari
dasar lembah atau kaki perbukitan yang disebabkan adanya lapisan batuan
kedap air di bawahnya, sehingga peregangan tidak terus ke dalam, melainkan ke
arah kateral dan muncul di kaki tebing/lembah atau kaki perbukitan. Hal ini
ditunjukkan dengan adanya beberapa danau dan air terjun di daerah
pegunungan.
c. Air tanah
Keberadaan air tanah dipengaruhi oleh curah hujan, luas daerah resapan,
sifat kelulusan bahan permukaan dan batuan yang terdapat di bawahnya serta
morfologi. Potensi air tanah umumnya relatif dalam, sekitar > 60 meter.
Kedalaman > 90 meter mendominasi di kabupaten ini dengan luas mencapai 82%.
Sementara tingkat kedalaman < 60 meter tidak dijumpai dalam wilayah
Kabupaten Kerinci. Hampir seluruh kecamatan atau wilayah Kabupaten Kerinci
mempunyai kedalaman efektif tanah > 90 meter. Kecamatan Gunung Kerinci,
Gunung Raya, Batang Merangin, Kayu Aro, Sungai penuh memiliki kedalaman
efektif tanah > 90 meter yang cukup luas.
Tekstur tanah di Kabupaten Kerinci didominasi oleh tekstur tanah halus,
yaitu mencapai 60% atau sekitar 250.187 Ha, dibandingkan dengan tekstur tanah
sedang yang hanya memiliki 164.003 Ha atau 39%. Kecamatan yang memiliki
tekstur tanah halus terbesar berada di Kecamatan Gunung Kerinci, Gunung Raya,
Kayu Aro, Batang Merangin, dan Air Hangat. Kehalusan tekstur tanah ini
menunjukkan bahwa tingkat permeabilitas atau penyerapan air ke dalam tanah
sangatlah besar, sehingga pada kawasan yang memiliki tekstur tanah yang halus
cenderung memiliki kandungan air tanah yang cukup besar.
Identifikasi dan karakteristik lahan rawa lebak di Kabupaten Kerinci terbagi
menjadi beberapa permasalahan, tantangan, pengertian, luasan yang dapat
dikembangkan dan diusahakan. Permasalahan yang terjadi adalah meningkatnya
kebutuhan pangan dan lapangan kerja serta berkurangnya lahan pertanian
subur. Tantangan yang ada adalah memanfaatkan lahan rawa lebak sebagai
lahan produksi pertanian. Pengertian lahan rawa lebak adalah lahan marjinal
yang rejim airnya dipengaruhi oleh hujan, baik yang turun setempat maupun di
daerah sekitarnya. Luas lahan rawa lebak di Kabupaten Kerinci adalah 5.810 Ha.
Permasalahan utama pengembangan adalah rejim air yang fluktuatif dan sulit
diduga, serta kebanjiran pada musim hujan dan kekeringan pada musim
kemarau.
Lokasi lahan rawa lebak di Kabupaten Kerinci adalah: rawa bento di
Kecamatan Kayu Aro; Lebak Arah Seratus di Kecamatan Sitinjau Laut; Lebak Air
Kelabu di Kecamatan Danau Kerinci dan Sitinjau Laut; Lebak Kelembak di
Kecamatan Keliling Danau, Lebak Air Lingkat/Lebak Lempur di Kecamatan
Gunung Raya.
Gambar 3. Peta Hidrologi di Kabupaten Kerinci
dataran alluvial
Bentang alam ini menunjukkan morfologi dataran, yang membentuk di
lembah Kerinci, lembah Bento, dan lembah Nasi. Sungai membentuk lembah
U lebar dan dalam. Proses yang berkembang adalah erosi lateral, pengendapan
dan pelapukan. Di daerah bentang alam ini cukup subur dan air sangat
melimpah, sehingga banyak digunakan untuk persawahan, permukiman.
Khusus lembah Bento dan lembah Nasi, dimana air menggenang sehingga
membentuk suatu danau atau rawa.
Struktur Geologi
Struktur geologi yang berkembang di daerah Kabupaten Kerinci adalah struktur
sesar dan beberapa kelurusan. Kondisi struktur batuan di wilayah Kabupaten
Kerinci umumnya ditandai dengan adanya sesar/patahan dan gejala-gejala
perlipatan. Patahan-patahan yang ada merupakan segmen dari sistem patahan besar
Sumatera yang dikenal dengan Patahan Semangko. Patahan/sesar yang ada di
Kabupaten Kerinci terdapat 3 jenis sesar utama, yaitu:
a. Sesar Siulak
Sesar ini berada ke arah baratlaut-tenggara. Sesar ini melalui Sungai
Siulak. Pelamparan sesar ini cukup panjang dari barat laut sampai bagian
selatan membatasi Danau Kerinci, dan menerus melampar sampai Sungai
Memping. Di daerah Semurup terdapat mata air panas dan aktivitas fumarola
yang’M membentuk suatu kelurusan. Sesar ini sangat panjang, diduga sesar
ini merupakan bagian dari sesar Sumatera, dimana gaya utama
pembentukkan sesar dari lajur tunjaman (tempat lempeng Samudera Hindia
dan Lempeng Benua Asia) yang terletak di sebelah timur Pulau Sumatera.
Sesar ini mungkin mulai aktif sejak miosen tengah. Hal ini berhubungan
dengan pembentukkan formasi Kumun dan kemudian diaktifkan lagi pada
periode tektonik pilio-plitosen.
b. Sesar Air anget
Sesar ini melintasi bagian barat dari lembah Kerinci. Pada citra landsat
menunjukkan adanya kelurusan sangat jelas. Di daerahnya dijumpai mata air
panas yang membentuk garis lurus berimpit dengan zona sesar. Mata air
tersebut terdapat di Kampung Sungai labu, Kampung Sungai tutung, dan
Kampung Air anget. Di bagian selatan Danau Kerinci membentuk lembah
lurus. Sesar ini diduga masih merupakan sesar Sumatera.
c. Sesar Pelayang gedang
Sesar ini melintasi timur laut-barat daya, yang melalui Sungai
Pelayang gedang. Sesar ini memotong batuan gunung api Kuarter, sehingga
diduga juga merupakan sesar aktif. Jenis sesar ini masih perlu penelitian
lebih lanjut. Wilayah Kabupaten Kerinci merupakan bagian dari Pulau
Sumatera, yaitu terletak di tepi bagian muka Lempeng Benua Asia yang
berbenturan dengan Lempeng Samudera Hindia. Akibatnya daerah ini sering
dilanda bencana geologi seperti gempa bumi. Letusan gunung api serta
pergerakan tanah. Lokasi bencana tersebut umumnya terkonsentrasi di
sepanjang lajur gunung api barisan. Hal ini disebabkan oleh lajur ini
membentuk bentang alam pegunungan dan dilalui sesar aktif Sumatera.
Kabupaten Kerinci yang terletak pada lajur gunung api barisan dimana
lajur ini berhimpit dengan sesar aktif Sumatera. Secara fisik morfologi wilayah
ini merupakan daerah pegunungan dan lembah terbanan tektonik Kerinci.
Lembah tektonik ini diisi oleh endapan sungai, endapan kipas alluvial dan
danau. Daerah ini sangat subur karena material asalnya adalah batuan
gunung api dan airnya cukup banyak. Dengan kesuburan tanahnya, daerah
ini menjadi penghasil beras di Provinsi Jambi dan ditempati oleh lebih kurang
312.000 jiwa, yang mata pencaharian utamanya sebagai petani dan
perkebunan kayumanis. Menurut catatan kegempaan, dalam kurun waktu
100 tahun terakhir, paling tidak telah dua kali bencana gempa bumi tektonik
yang cukup signifikan melanda daerah ini. Akibat bencana tersebut, telah
merubah tatanan geologi di wilayah ini yang meliputi bentang alam, struktur
geologi, sifat fisik batuan, tataguna lahan dan memicu bencana lainnya.
Bencana gempa bumi yang terjadi tahun 1908 berpusat di daerah pertemuan
antara segmentasi Dikit dan segmentasi Siulak- Batang Merangin. Sedangkan
bencana yang terjadi pada tahun 1995 terjadi antara segmentasi Siulak-
Batang Merangin dengan Batang Saliti. Pengamatan mikrosesimetik pada
kejadian itu menunjukkan bahwa daerah kerusakan yang berat dijumpai di 3
lokasi, yaitu Semurup, Jujun, dan Hiang.
Alam Kabupaten Kerinci yang memiliki luas lebih kurang 4.200 km2
memiliki karakteristik biogeofisika yang khas dengan sumberdaya alam yang
berlimpah dan beraneka ragam. Selain alamnya yang eksotis pertanian dan
perkebunannya yang subur berkat hutan hujan tropika yang kaya akan
plasma nutfah, kawasan ini juga potensial dengan sumberdaya mineral dan
sumber panas bumi. Di samping merupakan roda utama penggerak laju
pertumbuhan pembangunan wilayah Kerinci, kekayaan alam ini merupakan
peluang usaha yang amat potensial untuk dikembangkan. Kabupaten Kerinci
memiliki bahan galian berupa batu gamping dengan cadangan 98.000.000 m3
di Desa Koto Baru, Kecamatan Sitinjau laut. Di kecamatan ini juga terdapat
potensi batu marmer dengan cadangan 138.000.000 m3 kaolin serta bahan
galian lempung yang jumlah cadangan dan kualitasnya belum terukur.
Potensi obsidian ditemukan di Bukit Cermin, Kecamatan Air Hangat
Timur dengan cadangan teridentifikasi 404.000.000 m3. Di Kecamatan Keliling
Danau terdapat 2.237.000 m3 trass dengan warna abu-abu. Sejumlah bahan
galian lain seperti granit, perlit dan andesit saat ini sedang dieksplorasi di
beberapa tempat di antaranya di Kecamatan Gunung Raya, Air Hangat dan
Danau Kerinci.
Potensi pertambangan dan bahan galian Kabupaten Kerinci juga
merupakan potensi unggulan di Kabupaten Kerinci. Hal ini dibuktikan dari
hasil perhitungan LQ bahwa subsektor semen dan bahan galian non logam
merupakan sektor basis di Kabupaten Kerinci.
Di Kecamatan Gunung Kerinci terdapat potensi bahan galian antara lain
kwarsa, batu gamping, batubara, belerang, gamping kristal, kaolin dan gneis.
Kecamatan ini merupakan kawasan yang memiliki deposit bahan tambang
yang besar selain Kecamatan Air Hangat yang memiliki deposit bahan
tambang antara lain endapan sinter, emas, granit, obsidian, tras, air raksa,
dan panas bumi.
2.6 Terowongan
Terowongan adalah sebuah tembusan di bawah permukaan tanah atau
gunung. Terowongan umumnya tertutup di seluruh sisi kecuali di kedua ujungnya
yang terbuka pada lingkungan luar. Beberapa ahli teknik sipil mendefinisikan
terowongan sebagai sebuah tembusan di bawah permukaan yang memiliki
panjang minimal 0.1 mil, dan yang lebih pendek dari itu lebih pantas disebut
underpass.
1. lalu lintas kendaraan (umumnya mobil atau kereta api) maupun para
pejalan kaki atau pengendara sepeda.
2. mengalirkan air untuk mengurangi banjir, saluran pembuangan,
pembangkit listrik, dan menyalurkan kabel telekomunikasi.
3. Sebagai jalan bagi hewan, umumnya hewan langka, yang habitatnya dilintasi
jalan raya.
4. Beberapa terowongan rahasia juga telah dibuat sebagai metode bagi jalan
masuk ke atau keluar dari suatu tempat yang aman atau berbahaya, seperti
terowongan di jalur Gaza, dan terowongan Cu Chi di Vietnam yang dibangun
dan dipergunakan ketika perang Vietnam.
Berdasarkan fungsinya, terowongan dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu:
Terowongan lalu lintas (traffic)
1. Terowongan kereta api
2. Terowongan jalan raya
3. Terowongan navigasi
4. Terowongan tambang
Terowongan angkutan
1. Terowongan pembangkit tenaga listrik (hydro power)
2. Terowongan water supply
3. Terowongan sewerage water
4. Terowongan untuk utilitas umum, terowongan dibuat melalui berbagai jenis
dan lapisan tanah dan bebatuan sehingga metode konstruksi tergantung
dari keadaan tanah
Hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan terowongan yaitu :
1. Lokasi
2. Metode konstruksi
3. Material
Kegunaan Rancangan terowongan yang perlu memperhatikan :
1. Massa batuan yang komplek
2. Sifat-sifat material di sekitar
Pembuatan terowongan menggunakan mesin bor
Mesin bor memungkinkan terowongan dibuat tanpa harus menggali area di atas
lokasi yang akan di jadikan terowongan. Mesin bor melubangi tanah sepanjang lokasi
terowongan. Mesin bor bisa dioperasikan secara otomatis selama proses konstruksi
terowongan, dan dapat menembus hampir seluruh jenis bebatuan. Mesin bor yang pertama
kali digunakan adalah mesin yang membangun terowongan rel Fréjus antara Prancis dan
Italia melalui pegunungan Alpen tahun 1845.
Penyelidikan Geoteknik
Penyelidikan geoteknik adalah elemen yang sangat penting dalam perencanaan dan
pelaksanaan sebuah terowongan. Dengan data geologi yang memadai dapat ditentukan
desain terowongan yang sesuai, metode pelaksanaan yang paling optimal, biaya
pelaksanaan yang paling rasional serta persiapan yang sebaik–baiknya direncanakan aspek
keamanan pelaksanaan. Biaya pelaksanaan akan sangat berpotensi membengkak karena
kurang tersedianya data geologi.
Pemboran teknik untuk pengambilan sampel batuan adalah cara yang paling umum
dipakai untuk pekerjaan terowongan. Lokasi – lokasi yang memerlukan pengeboran secara
detail adalah :
a. Daerah portal
b. Daerah yang secara topografi dekat terowongan, karena biasanya secara
struktur lemah (overburden tipis)
c. Lokasi yang berpotensi mengalami pelapukan berat.
d. Daerah yang berpotensi air tanah tinggi dan dan adanya batuan porous.
Cara penggalian permukaan lubang bukaan digolongkan:
a. Cara portal
b. Cara open cut
Cara-cara tersebut dipengaruhi oleh kondisi tanah permukaan yang akan digali. Metoda
penggalian ada 4 cara, yaitu:
a. Full face
b. Heading dan bench
c. Drift
d. Center drift
Metode penggalian lubang bukaan
1. Penggalian
2. Pembersihan asap ledakan jika menggunakan peledakan.
3. Pembersihan atap
4. Pengumpulan dan pembuatan material hasil penggalian.
5. Pengangkutan material
6. Penyanggaan baik permanen atau sementara
2.7 Distribusi Tegangan
Distribusi tegangan disekitar terowongan terbagi atas beberapa bagian.
λθ = λo + λo . R2 / r2
4. Distribusi tegangan disekitar terowongan untuk batuan yang tidak isotrop. Dalam
hal elastic ortotrop dimana ada dua modus yang tegak lurus untuk system
pembongkaran yang aksial. Distribusi tidak dipengaruhi hanya devormasinya, jadi
distribusi tegangan yang didapat dari perhitungan sebelumnya tetap diberlakukan.
Contoh batuan yang tidak isotrop yaitu batuan yang berlapis seperti sekis yang
berfungsi bagaimana perkuatan batuan dan arah perlapisan.
5. Distribusi tegangan disekitar terowongan untuk batuan yang mempunyai perilaku
plastic sempurna. Dicirikan dari akibat tegangan yang diserap oleh devormasi
plastic pada daerah lingkaran yang dibatasi oleh daerah elastic dari lingkaran yang
berjari-jari R dimana jari-jari ini dapat dihitung dengan
RI = R ( 2/ 1+ λ . λo (λ-1 + λoX/ λc) (1/λ-1)
R = Jari-jari lubang bukaan
λc = tegangan sekitar
yang diperkirakan ada jari-jari ini dapat tak terhingga untuk batuan yang tidak
(anu hehehehe) jadi kestabilan tidak akan dicapai untuk dipakai penyangga, rumus
diatas dapat dipermudah jika sudut geser dalam yang diambil 19.5o sehingga λ = 2
hingga R1 = 2 R/3 (λo/ λc H).
6. Distribusi tegangan disekitar terowongan yang dibentuk tidak bulat untuk keadaan
yang paling ideal ini berdasrkan tegangan garis-garis terowongan dengan berbagai
bentuk penampang dan berbagai tegangan mula-mula untuk keadaan paling ideal.
Ritasinya λH = tegangan horizontal, λv = tegangan verikal sebelum penggalian
terowongan, λ Q = tegangan tangensial untuk tiap garis terowongan. Lingkaran mor
untuk mengetahui tegangan yang terjadi pada dinding.
2.7. Klasifikasi Teknis Batuan
Tabel 7.1. Penggolongan Jenis-Jenis Batuan Utama
a. Kekuatan Batuan
b. kualitas inti pemboran (berdasar RQD),
c. kondisi air tanah,
d. jarak dikontinyuitas atau kekar dan rekah (joint and fracture),
e. karakteristik diskonyuitas atau kekar, serta
f. orientasi kekar (yaitu: very favorable, favorable, fair, unvaforable, veri
unvaforble) yang nilai ratingnya berbeda-beda untuk pekerjaan
terowong, fondasi dan tambang.
2.8 Sifat Batuan
Untuk mengetahui sifat fisik batuan biasa dilakukan uji fisik yang
mencakup: berat jenis, porositas batuan, permeabilitas, satuan berat, dan lain
sebagainya, seperti:
a. Uji muai (swelling), untuk mengetahui besarnya pemuaian batuan yang
digali kemudian terendam air; uji dilakukan untuk batuan lapuk,
batuan lunak, tanah dll.
b. Uji serap air, untuk mengetahui ketahanan batuan terhadap air,
khususnya untuk batuan lunak, lapuk, atau selang-seling. Dilakukan
dengan cara mengukur berat contoh batuan sebagai akibat proses
penghancuran atau perusakan dengan cara direndam dan dipanaskan
secara berulang-ulang.
c. Uji sifat kimiawi, dilakukan untuk mengetahui keberadaan mineral-
mineral yang dapat menyebabkan kerusakan pada beton (karena reaksi
alkali atau asam) seperti: opal, apatite, allite; pyrite (mudah teroksidasi),
asam belerang, dll.
Batuan dasar bisa berupa campuran massa batuan dan/atau pecahan- pecahan
batu. Sifat mekanik massa batuan terutama ditentukan oleh jenis batuan itu
sendiri dan merupakan unsur terpenting dalam mengklasifikasi massa batuan.
Kuat desak, cepat rambat gelombang seismik, kekerasan restitusi, kuat tarik, uji
indeks beban titik, uji tekan tidak terkekang, uji tekan triaksial,dan lain-lain
adalah cara yang umum untuk mengevaluasi sifat-sifat mekanis batuan dan
mengklasifikasi massa batuan.
Uji indeks beban titik merupakan uji sederhana sebagai pengganti uji UCS,
karena dapat digunakan potongan inti batuan tidak teratur. Untuk uji tarik
langsung diperlukan persiapan khusus yang biasanya sulit bagi laboratorium
pabrik. Oleh karena itu, kuat tarik sering kali dievaluasi dengan pembebanan
tekan benda uji silindris yang melintang diameter (dikenal sebagai uji Brazilian).
Uji geser langsung digunakan untuk menyelidiki karakteristik friksi sepanjang
bentuk diskontinuitas batuan.
a. Uji indeks beban titik: untuk menentukan klasifikasi kekuatan batuan.
Indeks batuan biasa digunakan untuk mengevaluasi kekuatan tekan
uniaksial (σu), dan nilai rata-rata σu. Uji ini dilakukan dengan mengacu
pada standar uji SNI 03-2814-1992.
b. Uji tekan uniaksial (UCS = Uniaxial Compression Strength): untuk
mengukur kuat tekan uniaksial batuan (qu, σu , σc). Uji ini dapat
dilakukan dengan mengacu pada standar uji SNI 03-2825-1992.
c. Uji desak bebas Uncinfined Compression Test), untuk mengetahui
kekuatan batuan terhadap tekanan desak.
d. Uji Brasilian, untuk mengetahui kuat tarik batuan.
e. Uji geser langsung, untuk mengetahui kuat geser batuan. Uji ini dapat
dilakukan dengan mengacu pada standar uji SNI 06-2486-1991.
f. Uji kekerasan restitusi, untuk mengetahui kekuatan batuan dengan
mengukur deformasi batuan akibat gaya tertentu pada permukaannya.
Kekerasan restitusi mempunyai korelasi dengan kuat desak bebas, kuat
tarik, laju cepat rambat, gelombang seismik, dll. Hasil yang diperoleh
dapat digunakan untuk mengklasifikasi batuan, pemilihan mesin bor yang
cocok untuk penggaliannya, program kerja penggalian batu dll.
Keterangan :
L = panjang dari bagian core (cm)
Isian 6 5 4 1 0
Tidak Agak
Sedang Tinggi Terurai
Pelapukan lapuk lapuk
6 5 5 1 0
(Sumber : Bieniawski, Z.T., 1989)
Selain itu, penentuan mengenai kondisi air tanah dapat dilakukan dengan
cara mengamati atap dan dinding terowongan secara visual dan meraba
permukaan rekahan. Kemudian kondisi air tanah dapat dinyatakan secara umum
pada Tabel 4 yaitu kering (dry), lembab (damp), basah (wet), menetes (dripping),
dan mengalir (flowing) (Goodman R, Taylor R dan Brekke T, 1968).
90 –
RQD (%) 75 - 90 50 - 75 25 - 50 < 25
2 100
Pembobotan 20 17 13 8 3
0,2 – 60 – 200
Spasi rekahan >2 m 0,6 – 2 m < 60 mm
3 0,6 mm
Pembobotan 20 15 10 8 5
Permuk
aan
sangat Agak Agak Slickensi
kasar kasar kasar de <5 Gauge
tidak renggang rengga mm, lemah,
Kondisi rekahan meneru gan < 1 nggan renggang tebal >5
4
s, tidak mm, <1 mm, an 1-5 mm,
rengga Agak sangat mm, menerus
ng, lapuk kasar menerus
tidak
lapuk
Pembobotan 30 25 20 10 0
Aliran per
10 meter
Tidak
panjang < 10 10 - 25 25 - 125 >125
ada
terowonga
n (L/min)
Air
Tekanan
5 tanah
air kekar 0,1 -
0 < 0,1 0,2 – 0,5 >0,5
tegangan 0,2
utama
Keadaan
Kering Lembab Basah Menetes Mengalir
umum
Pembobotan 15 10 7 4 0
(Sumber : Bieniawski, Z.T., 1989)
P = beban runtuh
(ton/m2)
2 Beban runtuh P = ht x γ
γ = densitas batuan
(ton/m3)
1) Centre Cut, disebut juga PIRAMID atau DIAMOND CUT. Dimana semua lubang bor
ditemukan pada satu titik dengan kedalaman satu titik dari round (permukaan
kerja) .
Depan Samping
2) Widge Cut, kadang disamakan dengan VEE CUT. Dimana semua lubang bor dengan
ujung -ujungnya bertemu, tetapi tidak pada titik.
Depan Samping
3) Draw Cut, hampir sama dengan “Wedge Cut”. Dimana digunakan dalam batuan
berlapis. (dalam arti tidak digunakan pada batuan yang keras)
Depan Samping
4) Burn Cut, pada tipe ini sesuai untuk batuan keras brittle seperti batu pasir atau
batu beku tetapi tidak efektif pada batuan yang bersifat pecah.
Depan Samping
Metode Heading adalah penggalian Tunnel/ Adit yang selalu diawali atau
didahului dengan pembongkaran awal berpenampang oval kecil. Dimana pada
metode ini digunakan khusus untuk menggali Tunnel yang berdiameter besar.
Pada metode Heading dibagi dalam 4 (empat) macam metode yaitu :
1) Pilot Heading, dimana peledakan awal dilakukan pada terowongan yang sudah
ada dengan cara membuat 2 (dua) buah lubang awal pada bagian atas
terowongan.
Depan Samping
2) Top Heading, dimana peledakan awal dilakukan pada terowongan yang sudah ada
dengan cara membuat lubang awal pada bagian atas terowongan.
Depan Samping
3) Central Heading, dimana peledakan awal dilakukan pada terowongan yang sudah
ada dengan cara membuat lubang awal pada bagian tengah terowongan.
Depan Samping
4) Bottom Heading, dimana peledakan awal dilakukan pada terowongan yang sudah
ada dengan cara membuat lubang awal pada bagian bawah terowongan.
Depan Samping
a. Mesin Bor yang tersedia yang digunakan sesuai dengan masa batuan pada daerah
yang akan dibuat terowongan tersebut.
b.Rock Behavior atau karakteristik batuan tersebut.
c. Diameter penampang terowongan, tergantung seberapa besar luas terowongan yang
akan dubuat.
Dalam kegiatan peledakan biasanya terdapat 2 atau lebih bidang bebas. Maka
dalam melakukan kegiatan peledakan tambang bawah tanah perlu dibuat bidang
bebas kedua yang dinamakan cut. Cut itu sendiri dapat dibagi menjadi beberapa
persegiempat.
Cut digunakan sebagai bidang bebas kedua yang biasanya dipakai dalam
peledakan tambang bawah tanah. Charlos lopez jimeno dalam bukunya membagi
cut menjadi 4 persegiempat, dimana masing-masing persegi terdapat 4 buah lubang
ledak dan pada persegiempat pertama terdapat 1 buah lubang kosong (Empty Hole)
yang tidak diisi bahan peledak.
Charlos lopez jimeno dalam bukunya yang berjudul “Drilling And Blasting Of
Rock” membuat persamaan dalam perhitungan cut.
Apabila lubang kosong yang dipakai lebih dari satu buah lubang kosong,
maka diameter lubang samaran (D2) dapat dihitung dengan persamaan berikut ini
(Jimeno,1995):
D2=D'1x √N
a=1,7ɸ
Dimana:
A = Burden Maksimum(m)
F=1,7ɸ-(αH+ β)
Dimana :
Deviasi Maksimum Lubang Tembak (m)
B1= a-F
Dimana :
B1 = Burden Pertama (m
Panjang Yang Tidak Diisi Bahan Peledak/ Stemming (T)
Besarnya panjang yang tidak diisi bahan peledak dapat dihitung dengan
menggunakan persamaan sebagai berikut:
T=10 d
Dimana :
T= Stemming (m)
b. Segiempat Kedua
𝑊2 = (𝐵1 − 𝐹)√2
𝑊2𝑥 𝐼 𝑥 𝑆𝐴𝑁𝐹𝑂
𝐵′′ = 8,8 𝑥 10−2 𝑥√
𝑑𝑥𝑐
Burden Kedua (B2)
𝐵2 = 𝐵′ − 𝐹
c. Segiempat Ketiga
W3 = (B2 + (W1/2) – F) x √2
−2 √ 𝑊3𝑥 𝐼 𝑥 𝑆𝐴𝑁𝐹𝑂
𝐵′′′ = 8,8 𝑥 10 𝑥
𝑑𝑥𝑐
Burden Ketiga (B3)
𝐵3 = 𝐵′′′ − 𝐹
W3 = (B3 + (W2’/2) x √2
d. Segiempat Keempat
W3 = (B3 + (W2’/2) – F) x √2
Burden Maksimum Ketiga (B’’’’)
𝑑𝑥𝑐
Burden Keempat (B4)
𝐵4 = 𝐵′′′′ − 𝐹
W4 = (B3 + (W2’/2) x √2
Setelah perhitungan dilakukan maka akan mendapatkan design pola peledakan
pada cut sebagai berikut (Gambar 1) :
Keterangan:
sLFB = Weight strength relatif terhadap bahan peledak acuan (dynamite)
Qv = Panas akibat peledakan 1 kg bahan peledak yang dinilai, MJ
Gambar 11. C (rock constant) merupakan ukuran empiris jumlah peledak yang
Setelah perhitungan cut hole sudah dilakukan. Maka dilakukan perhitungan lifter,
wall, roof, dan stoping dalam pola peledakan. Menurut jimenno,1995(Lihat Gambar 3).
a. Perhitungan Lifter
Burden Maksimum
𝐼 𝑆𝑎𝑛𝑓𝑜
𝐵𝑚𝑎𝑥 = 0,9
√ C F (S/B)
𝐿𝑒𝑏𝑎𝑟 𝑇𝑒𝑟𝑜𝑤𝑜𝑛𝑔𝑎𝑛
𝑁𝐵 = +2
𝐵
Spacing (S)
𝑆𝐿′ = 𝑆 − 𝐻 𝑆𝑖𝑛 𝛾
Partical Burden Lifter (BL’)
′
𝐵𝐿 = 𝐵 − (𝐻 𝑥 𝑆𝑖𝑛𝛾 )
hb = 1,25 Bl
hc = H − hb − T
Keterangan:
C = Corrected rock constant (0,4)
F = Fixation factor
ɣ = Lookout (degree)
𝑆=𝑘𝑥𝑑
Burden ( B)
S/B = 0,8
B = S/(S/B)
𝐼𝑟 = 90 𝑥 𝑑2
Keterangan :
K = Konstanta (15-16)
D = Diameter (m)
Tinggi Abutment – Bl – Br
Spasi
𝑆=𝑘𝑥𝑑
Burden Maksimum ( B)
I x SAnFo
𝐵 = 0,9
√ 𝑆
𝐶 𝐹 ( B)
Burden Wall (Bw)
𝐵𝑤 = 𝐵 − 𝐻 𝑠𝑖𝑛𝛾 − 𝐹
Jumlah Lubang (NB)
Spasi wall ( Sw )
d. Perhitungan Stoping
Stoping Horizontal
F= 1,45
S/B = 1,25
C’ = 0,4
𝐼 𝑥 𝑆𝑎𝑛𝑓𝑜
𝐵 = 0,9
√ 𝑆
𝐶′ 𝑥 𝑓 𝑥 (𝐵 )
𝐵 = 𝐵 − 𝑓
Stoping Downword
F = 1,2
S/B = 1,25
C’ = 0,4
𝐼 𝑥 𝑆𝑎𝑛𝑓𝑜
𝐵 = 0,9
√ 𝑆
𝐶′ 𝑥 𝑓 𝑥 ( )
𝐵
𝐵 = 𝐵 − 𝑓
Dimana,
C. Blasting Ratio
“Blasting Ratio” adalah perbandingan berat batuan yang terbongkar dengan berat bahan
peledak yang digunakan. Angka ini Bisa dipakai sebagai salah satu parameter untuk
menentukan tingkat keekonomisan pemakaian suatu bahan peledak.
Menurut GOUR S.SEN, 1995 dalam buku “Blasting Technology For Civil and mining “
perhitungan burden dan spasi peledakan Pada metode Cut Drilling dapat dibuat dengan
persamaan :
Dimana :
B = burden (m)
Lch = Hb – 0,02 D.
Qc = (ρ x D2) / 1273
SxB = 1,3 B2
dimana S = 1,3 B.
III. METODOLOGI PENELITIAN
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2
2 Konfirmasi Kegiatan
3 Studi Literatur
4 Pengambilan Data
(*) Catatan : Jadwal dapat disesuaikan dengan kesepakatan dan ketentuan dari PT.
Kerinci Merangin Hidro
Tahap Persiapan
Pada tahap ini dilakukan penyusunan kerja praktek. Sasaran utama studi
pendahuluan ini adalah gambaran umum daerah penelitian. Studi literatur dilakukan
dengan mencari bahan-bahan pustaka yang menunjang kegiatan penelitian, yang diperoleh
dari :
a. Instansi terkait
b. Perpustakaan
c. Informasi penunjang lainnya
Pengamatan Lapangan
Pengamatan di lapangan ditujukan untuk mendapatkan data-data yang diperlukan
secara langsung di lapangan. Pengambilan data dilakukan dengan pengamatan dan
pengukuran secara langsung.
Pengolahan Data
Pengolahan data hasil penelitian dilakukan dengan perhitungan berdasarkan teori
yang ada dan data hasil penelitian.
Analisa Data
Dari rumusan-rumusan yang telah didapat kemudian dilakukan analisa untuk
menemukan jawaban atas pertanyaan perihal rumusan dan hal-hal yang diperoleh dalam
kerja praktek.
Kesimpulan
Hasil sintesis data keseluruhan dirangkum ke dalam laporan tertulis untuk
dipertanggungjawabkan dalam bentuk laporan hasil kerja praktek.
Pengolahan Data
Adapun pengolahan data-data yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi :
1. Klasifikasi massa batuan menggunakan sistem RMR serta analisis kestabilan
terowongan.
2. Perhitungan geometri pengeboran dan peledakan serta pola peledakan.
3. Pemodelan Geometri pengeboran dan peledakan
Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang dipergunakan yaitu analisis kualitatif, kuantitatif, dan
deskriptif. Berupa pengamatan dan melakukan analisis kestabilan terowongan dan
perhitungan geometri pengeboran dan peledakan. Adapun data yang akan diolah yaitu :
Data Primer. Data primer merupakan data yang penulis dapat langsung dari
observasi dilapangan dengan bimbingan pembimbing lapangan beserta karyawan yang
terkait. Data primer yang dikumpulkan yaitu :
1. Data klasifikasi massa batuan menggunakan sistem RMR yang terdiri dari nilai
kuat tekan uniaksial batuan, Rock Quality Designation (RQD), spasi bidang
diskontinyu, kondisi bidang diskontinyu, kondisi air tanah, serta orientasi
bidang diskontinyu yang dilakukan dengan cara sebagai berikut :
a. Nilai kuat tekan uniaksial batuan didapatkan dari perusahaan berupa data
sifat mekanik batuan.
b. Rock Quality Designation (RQD) didapatkan dengan pengukuran langsung
dilapangan menggunakan metode scanline. Parameter yang diukur berupa
data panjang scanline dan data banyak kekar pada lokasi penelitian.
c. Spasi bidang diskontinyu didapatkan dengan pengukuran langsung
dilapangan dengan cara melakukan pengukuran jarak dua bidang kekar tegak
lurus yang terdekat.
d. Kondisi bidang diskontinyu didapatkan dari pengukuran secara langsung
dilapangan berupa panjang kemenerusan/rekahan, lebar bukaan kekar,
kekasaran permukaan kekar, material pengisi antar kekar dan tingkat
pelapukan.
e. Kondisi air tanah didapatkan dengan pengamatan secara langsung
dilapangan.
f. Setelah diketahui semua data pada parameter klasifikasi massa batuan
tersebut, maka dapat ditentukan nilai RMR pada batuan tersebut
berdasarkan bobot nilai yang didapatkan.
g. Data berupa data kemajuan terowongan, data volume batuan yang akan
diledakkan data geometri pengeboran dan peledakan yang sesuai dilapangan
setelah seluruh data yang diinginkan sudah didapat maka dikaji maka
dilakukan pembuatan rencana geometri pola pengeboran dan peledakan.
Setelah dilakukan pembuatan rencana maka dilakukan pengujian hasil dari
perencanaan geometri pola pengeboran dan peledakan yang sudah
direncanakan sesuai perhitungan.
2. Data stand-up time yang ditentukan untuk mengetahui seberapa lama waktu
yang dibutuhkan suatu lubang bukaan dapat tetap stabil tanpa penyangga. Data
ini didapatkan dengan cara yaitu :
a. Diketahui nilai dimensi terowongan berupa lebar terowongan yang
didapatkan dari data perusahaan.
b. Memplot nilai RMR yang telah didapatkan dengan data lebar terowongan
menggunakan grafik nilai stand-up time.
Data Sekunder. Data Sekunder merupakan data pendukung dari data primer
ataupun data yang telah tersedia yang dapat digunakan sebagai acuan untuk menguatkan
data primer yang didapatkan. Data sekunder yang dikumpulkan yaitu sebagai berikut :
1. Data dimensi terowongan didapatkan dari dokumen resmi perusahaan untuk
mengetahui ukuran dari terowongan tersebut berupa data lebar bukaan
terowongan, tinggi terowongan, dan kemajuan terowongan.
2. Data sifat fisik dan mekanik batuan didapatkan dari dokumen resmi perusahaan
untuk membantu dalam mengetahui karakteristik batuan yang ada di
perusahaan.
DAFTAR PUSTAKA
Alfathoni, F., Syamsul, K., Fuad, R.S. 2017. Evaluasi Teknis Sistem Penyanggaan
Menggunakan Metode Rock Mass Rating (RMR) System Pada Development Area
(CKN_DC) Tambang Emas Bawah Tanah PT Cibaliung Sumber Daya, 1(2), 1-10.
Anggara, Rochsyid. 2017. Sistem Penambangan Bawah Tanah Edisi II. Kementerian Energi
dan Sumber Daya Mineral : Balai Pendidikan dan Pelatihan Tambang Bawah Tanah
Anonim. 2004. PT Freeport Indonesia. Tembagapura : Papua.
Barton N, Lien R and Lunde J. 1974. Engineering classification fo rock masses for the design
of tunnel support, Rock Mech, Min.
Bieniawski, Z.T. 1989. Engineering rock mass classifications. New York: Wiley.
Brady, B.H.G., Brown, E.T. 1985. Rock Mechanics For Underground Mining. George Allen &
Unwin. London.
Deere, D.U., 1989. Rock Quality Designation (RQD) after 20 years. U.S. Army Corps Engrs.
Contract Report GL-89-1. Vicksburg, MS: Waterways Experimental Station.
Deratama, Erick Alan. 2015. Pengamatan Kegiatan Geoteknik dan Survey Tambang Emas
Bawah Tanah PT Natarang Mining. Universitas Lambung Mangkurat : Banjarbaru.
Dokumen RPI2JH 2016-2020. Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Kerinci
Ginting, A., Purba, A., Sjadat, A. 2017. Inovasi Sistem Penyanggaan Di Tambang Bawah
Tanah DMLZ PT Freeport Indonesia. : Prosiding Simposium II – UNIID 2017.
Goodman R., Taylor R. and Brekke T. 1968. A model for the mechanics of jointed rock.
ASCE Journ. Of the soil mech. And found. Div., Vol. 94, pp.637-659
Hemphill b., Gary, “Blasting Operation”, First Edition, Mc. Graw Hill Inc., New York
Langefors U., and Kihlstrom, B., “The Modern Technique of Rock Blasting”, Second Edition,
A Heelsted Press Book John Willey & Sons, New York,1973.
Lopez Jimeno C., (1995), “Drilling and Blasting of Rocks”, A.A. Balkema, Roterdam,
Nedherlans
Made Astawa Rai, “Terowongan”, Laboratorium Geoteknik Pusat Antara Universitas – Ilmu
Rekayasa, Institut Teknologi Bandung, 1987/1988.
Moelhim Karthodharmo, Irwandy Arif, Suseno Kramadibrata., “Teknik Peledakan”, Diktat
Kuliah Jilid I, Jurusan Teknik Pertambangan, Fakultas Teknologi Mineral, Institut
Teknologi Bandung, 1984.
M. Simangunsong, Ganda. “Underground Blasting Design” Fakultas Teknik Pertambangan
& Perminyakan ITB. Bandung.
Palmstrom A. 1982. The volumetric joint count - A useful and simple measure of the degree of
rock mass jointing. IAEG Congress, New Delhi, 1982. pp. V.221 – V.228.
Priest, S. D., Hudson, J. A. 1976. Discontinuity spacings in rock. Int. J. Rock Mech. Min. Sci.
& Geomech. Abstr., 13(5): 135–48.
Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Air Dan Konstruksi, Modul Geoteknik
Pelatihan Perencanaan Bendungan Tingkat Dasar. Modul 11.
Samhudi, “ Teknik Peledakan “, Departemen Pertambangan dan Energi, Direktorat
Jenderal Pertambangan Umum, Pusat Pengembangan Tenaga Pertambangan, 1994.
Yanto Indonesianto, M.Sc, “Persiapan Pembukaan Tambang Bawah Tanah”, Jurusan
1999.