Anda di halaman 1dari 8

LAPORAN KUNJUNGAN MEDIA

(JAKARTA, 10-16 NOVEMBER 2019)


BROADCAST
MATA KULIAH RISET PENYIARAN (TV)

Disusun oleh :
Candra Dewi Januasiwi (362017103)

Dosen Pengampu :
Bonardo Marulitua A.

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

2019
Pada hari pertama kunjungan, kami menuju Unika Atma Jaya untuk mengikuti sesi
bedah buku “Jagad Digital”. Terdapat beberapa pembicara yang memberikan pendapatnya
mengenai buku ini. Ada beberapa poin-poin menarik yang para pembicara sampaikan
mengenai era digital. Era digital merupakan era yang memiliki sisi positif dan negatif, atau
dapat diistilahkan dengan frenemy (diambil dari Friend : memberikan berbagai kemudahan,
dan Enemy : memunculkan disrupsi, salah satunya berupa ketergantungan manusia dengan
teknologi). Disrupsi yang dimaksud pun tidak hanya sesempit itu, namun terdapat beberapa
penjabaran lain, diantaranya adalah disrupsi merupakan sebuah kemudahan, menjadikan
segala sesuatu lebih mudah dan lebih cepat. Disrupsi sendiri juga diartikan sebagai sebuah
inovasi dimana terdapat fenomena disrupter yang juga dapat terdisrupsi. Era digital ini juga
“membiarkan” teknologi tumbuh pesat sehingga tugas manusia tergantikan. Ini jelas akan
menjadi PR bagi pemerintah dan industri untuk dapat menciptakan lapangan pekerjaan.
Selain itu, fokus lain dalam diskusi bedah buku ini juga mengenai media massa di era digital.
Terdapat beberapa catatan penting yang perlu diperhatikan oleh kita semua dalam ber media
sosial, diantara ada Surveillance Capitalism (semakin sering seseorang membuka internet,
maka semakin banyak data pribadi yang diketahui oleh media), adanya etika-etika yang perlu
diperhatikan karena ini merupakan hal penting di era digital, dan juga kita para pengguna
media sosial sebenarnya adalah karyawan/buruh yang tidak dibayar oleh media. Kita
memberikan informasi mengenai apa aja di sosial media pribadi kita yang akhirnya media
mendapatkan data tentang informasi tersebut. Pada akhir diskusi ini, ada satu statement yang
dijadikan sebagai statement penutup, yaitu : Akan menjadi omong kosong ketika suatu
pemerintahan pernah terlibat dalam perang media, menyewa buzzer, dan lain lain, lalu
berkata “ayo tingkatkan literasi media”.

Selanjutnya pada hari kedua, kami mengunjungi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)
dengan narasumber bernama Irvan Priyanto, MH.,M.Si. Disini kami belajar dan berdiskusi
mengenai banyak hal, sehingga informasi yang kami dapatkan pun cukup banyak. Beberapa
informasi yang kami dapatkan dari KPI adalah KPI merupakan lembaga yang berdiri dengan
semangat reformasi. KPI terdiri dari 9 unsur pimpinan yang terbagi menjadi 3 bidang, yaitu
bidang kelembagaan, bidang perizinan dan bidang isi siaran. Untuk KPI pusat, struktur
disahkan oleh DPR RI dan SK Presiden, sedangkan untuk DPR daerah, struktur disahkan
oleh DPR Daerah dan SK Gubernur. KPI memiliki “buku sakti” untuk menjadi dasar
pengambilan keputusan dan regulasi yang ada, yaitu P3SPS tahun 2012. P3SPS tahun 2012
ini berisi mengenai normal dan perlindungan terhadap anak.

Untuk perizinan suatu lembaga, KPI memiliki batasan sampai merekomendasikan


saja, selanjutnya keputusan akan diambil oleh Kominfo. Alurnya sebagai berikut :

KPI Pusat (untuk


Lembaga yang KPID (untuk
verifikasi dan
diajukan verifikasi)
rekomendasi)

Kominfo (Rapat
Keputusan
Evaluasi dan
diambil
Dengar Pendapat)

KPI juga dapat memberikan sanksi. Sanki tersebut antara lain :


1. Teguran tertulis
2. Penghentian sementara program siaran
3. Pembatasan durasi program siaran
4. Denda administratif (berkoordinasi dengan KemenKeu)
5. Pencabutan izin
6. Pembekuan
7. Tidak memberikan izin

Pemberian sanksi ini tidak dapat secara tiba-tiba dilakukan, perlu adanya pengawasan
sebagai langkah awal. KPI sendiri memiliki 2 sistem pengawasan. Yang pertama adalah
pengawasan internal. Pengawasan ini dilakukan melalui pemantauan langsung oleh KPI. Alur
pengawasan ini adalah Tim analisis melakukan pengawasan dengan dasar berupa P3SPS.
Selanjutnya hasil pengawasan diserahkan kepada tenaga ahli untuk dilakukan verifikasi, yang
diteruskan kepada koordinator tenaga ahli untuk dilakukan verifikasi yang kedua. Selanjutnya
hasil verifikasi akan diserahkan kepada tenaga ahli penjatuhan sanksi. Sistem pengawasan
yang kedua adalah pengawasan eksternal, yaitu berupa pengaduan dari masyarakat.
Pengaduan ini tidak diterima secara mentah oleh KPI karena ada beberapa prasyarat agar
aduan dari masyarakat dapat diterima dan diolah oleh pihak KPI. Kenapa pengawasan
eksternal penting ? Karena apa yang disajikan di media merupakan “santapan” masyarakat.
Jika “santapan” itu tidak sesuai dengan “lidah” masyarakat, disinilah masyarakat berperan
dalam mengontrol media. Tidak hanya KPI yang dapat melakukan pengawasan dan
menerima aduan, namun KPID pun dapat melakukannya. Yang membedakan adalah cakupan
media yang diawasi. Jika KPI Pusat berfokus pada pengawasan media nasional, KPID
berfokus pada media lokal dimana. Jika terjadi pelanggaran, KPID dapat memberikan
rekomendasi kepada KPI untuk kemudian ditindaklanjuti. Pemberian sanksi pun harus
melihat urgensi dari pelanggaran tersebut, sehingga pemberian sanksi dapat dilakukan
berjenjang(sesuai urutan pemberian sanksi) atau langsung menuju salah satu sanksi tanpa
memperhatian sanksi sebelumnya jika pelanggaran itu sudah dianggap sangat urgent.
Berkaitan dengan sensor, KPI tidak melakukan sensor terhadap suatu program.
Penyensoran itu sendiri dilakukan oleh media yang salah satu faktornya adalah setelah
mendapat teguran dari KPI. Dasar penentuan suatu program dapat mendapatkan teguran atau
tidak dan dasar peletakan sensor adalah dengan melihat hukum adat dan hukum agama.
KPI sendiri juga melakukan diskusi bersama media dan pihak lain untuk mengurangi
adanya berbagai pelanggaran. Salah satu cara yang dilakukan oleh KPI adalah dengan adanya
dialog dengan media. Secara teknis pun, KPI yang akan terjun ke media bukan KPI yang
mengundang media. Hal ini didasarkan dengan fenomena bahwa jika KPI yang mengundang
media, yang akan hadir adalah para petinggi media. Sedangkan harapan dari KPI adalah
adanya pemahaman mengenai P3SPS sampai dasarnya, atau dalam hal ini sampai kepada tim
produksi dan tim kreatif. Sehingga KPI memutuskan untuk mengunjungi media agar seluruh
bagian dalam produksi program media tersebut dapat terlibat dalam diskusi. Selain itu, KPI
juga mengadakan adanya Sekolah P3SPS. Sasaran dari kegiatan ini adalah masyarakat
umum.
KPI perlu bekerjasama dengan beberapa pihak agar pelanggaran terhadap P3SPS
dapat dihindari. Beberapa diantarnya adalah bekerjasama atau berkoordinasi dengan
kementrian keuangan berkaitan dengan denda administratif. Selain itu dapat bekerjasama
dengan Lembaga Sensor Film (LSF) berkaitan dengan perfilman. Jika LSF melakukan
pengawasan film diawal, sebelum film tersebut disebarluaskan, KPI melakukan pengawasan
diakhir, setelah film tersebut ditayangkan. KPI juga dapat bekerjasama dengan dewan
periklanan. Bentuk kerjasamanya adalah dengan tidak menyiarkan iklan terkait program yang
terkena teguran dari KPI. Karena jika tetap ditayangkan dan pada akhirnya program tersebut
harus “bungkus”, dewan periklanan tidak mendapatkan keuntungan.
Masuk kepada hari ketiga, kami mengunjungi Radio Prambors. Radio ini merupakan
radio swasta tertua yang memiliki segmentasi anak muda dengan range usia 15-23 tahun.
Untuk mempertahankan eksistensinya, Prambors melakukan berbagai pendekatan. Diantara
dengan melakukan kegiatan off air dengan melakukan event di luar. Salah satu event yang
dilakukan adalah sharing session. Sharing ini dijadikan sebagai wadah bagi kawula muda
(sebutan untuk pendengar Radio Prambors) untuk berbincang-bincang mengenai kesukaan
dan untuk menambah wawasan.
Di era yang digital ini, Radio Prambors melakukan pendekatan turun ke dunia digital
melalui berbagai hal, salah satunya dengan aktif menggunakan sosial media, yaitu Instagram.
Selain itu Prambors juga memiliki web yang di dalamnya pendengar dapat mendengarkan
live streaming dengan konten yang selalu berubah sehingga tidak akan membosankan. Untuk
teknis lagu yang diputar, Prambors menggunakan patokan Survey Nealson. Dari survey
tersebut munculah beberapa data (yang nantinya akan dieksekusi) seperti 80% lagu barat dan
20% lagu Indonesia, lalu terdapat pengulangan lagu yang sama di beberapa waktu tertentu.
Mengenai konten, Prambors memiliki team digital, team grafis, videographer, team promosi,
PR, dan produser yang akan terjun langsung dan mengeksekusi bahan mentah agar dapat
diolah menjadi konten menarik untuk kawula muda.
Pada saat kunjungan di Prambors, terdapat salah satu pembicara yang memberikan
gambaran besar mengenai radio. Terdapat beberapa hal yang membedakan tiap radio yang
pertama adalah program. Program harus mampu menyesuaikan dengan keinginan audiens
(berkaitan dengan berbagai riset yang disebar). Selanjutnya diperlukan uji coba ke audiens,
Tanya atau memperhatikan program competitor sehingga mengerti cara atau langkah mana
yang perlu diambil untuk bersaing. Yang kedua adalah promosi. Promosi ini dapat dilakukan
secara On Air dan Off Air. Perlu adanya “brand” yang diciptakan agara audiens tertarik untuk
tetap bersama radio tersebut. Sebagai contoh, Prambors sering melakukan bagi-bagi tiket
konser. Lalu perlu adanya pemanfaat sosial media baru agar mempertahankan pendengar
yang sudah ada dan mengakuisisi pendengar baru. Di Prambors sendiri, mengenai promosi,
terdapat Multi O (bentuk promosi ke segala lini). Yang ketiga adalah distribusi. Disini perlu
diperhatikan untuk memastikan suara jernih,dan jika melihat fenomena Prambors sendiri
adalah radio berjaringan (karena sudah di taraf nasional) dan berkorelasi dengan music
karena merupakan radio musik. Selanjutnya mengenai produksi, yang perlu diperhatikan
adalah kreativitas dan teknik potong lagu. Untuk pengiklan, Prambors dapat menggunakan
pengiklan langsung, advertising agensy dan juga Radio Buying House (seperti Aflas, MNI,
dan lain lain).
Mengenai radio berjejaring, Prambors memberikan cabang Prambors di berbagai
daerah di Indonesia. Mengenai teknis, konten dibentuk di tiap daerah, namun untuk accnya
tetap di pusat. Selalu ada laporan yang perlu dilaporkan di tiap bulan. Di tiap tahun juga
dilaksanakan rapat besar yang melibatkan seluruh Prambors di tiap daerah.
Pada hari keempat, kami mengunjungi Trans TV. Untuk Trans TV sendiri, terutama
untuk program Insert, tim kreatif dituntut untuk mampu menyajikan berita terupdate dan jika
tidak mampu menyajikan berita terupdate maka berita harus diganti. Tim kreatif dituntut
untuk mampu menyajikan 18 info dalam satu hari. Hal ini berlaku untuk tayangan sore.
Sebagai contoh ketika pagi ada berita artis A melahirkan, sore diharuskan sudah ada data
mengenai nama, jenis kelamin dan lain lain dari anak artis A tersebut. Jika dalam
pemberitaannya tidak/belum ada berita terbaru, maka alternative yang dilakukan oleh tim
kreatif Insert adalah melihat sosial media dan mencari kasus viral yang bukan artis. Jika hal
tersebut juga tidak ada, maka solusi lain adalah menayangkan berita lama.
Untuk pembuatan program, dibutuhkan waktu yang cukup lama, yaitu sekitar 3-6
bulan. Pra produksinya pun harus melakukan riset untuk melihat interest dari masyarakat dan
survey untuk memikirkan program jangka panjang. Dalam survey ini terdapat tim survey
yang diambil dari tim produksi dari program yang akan dilaksanakan tersebut. Survey ini
juga tidak hanya digunakan untuk menentukan 1 program saja, namun terdapat backup plan
sehingga ketika 1 program tidak disetujui, maka ada program lain yang siap untuk diajukan.
Jika program tersebut sudah dianggap baik dan diterima, maka selanjutnya dilakukan dummy,
yaitu uji coba program. Jadi suatu program itu akan dicoba dilaksanakan 1 kali tayangan
namun yang terlibat di dalamnya adalah para crew. Ini digunakan untuk melihat alur dari
program tersebut. Jika hal tersebut juga sudah lolos, maka akan dilakukan pengetesan dengan
menayangkan secara on air selama 1 bulan dan menunggu hasil rating dari Nealson.
Dalam eksekusi program pun masih sering ditemukan berbagai kendala. Para crew
dituntut harus mampu menyediakan alternatif jika hal tersebut sampai terjadi, apalagi jika
mendadak. Sebagai contoh, ketika artis yang diundang salah suatu program tiba-tiba cancel,
maka program harus tetap berjalan dengan tampil apa adanya atau mencari artis pengganti.
Untuk menentukan artis siapa yang akan diambil, tim produksi akan melihat kelas dari artis
tersebut. Biasanya artis yang dipakai sebagai artis pengganti adalah kelas C atau D. Lalu
bagaimana TV menentukan kelas dari artis tersebut ? Itu merupakan pembagian dari pihak
internal TV. Seperti Trans TV, mereka memiliki kelas-kelas artis yang mereka bagi sendiri.
Bagi Trans TV sendiri, untuk menghadirkan artis kelas A di acara Insert adalah hal yang
sulit. Yang memungkinkan artis-artis kelas atas untuk menghadiri program Insert adalah
ketika mereka mempromosikan film mereka. Pihak Production House akan menghubungi
pihak TV sebagai bentuk kerjasama dalam mempromosikan film mereka.
Trans TV sendiri tidak terlepas dari teguran KPI. Selain dari konsep acara, teguran
tersebut juga sering kali didapatkan karena tingkah laku dari artis dalam program tersebut.
Seperti yang sudah dijelaskan diatas mengenai teguran dan sanksi dari KPI, maka pihak TV
harus memiliki beberapa plan cadangan. Beberapa rencana yang akan dilakukan oleh Trans
TV antara lain, yang pertama, jika teguran itu berkaitan dengan artis, maka pihak Trans TV
akan berbicara dengan artis yang terlibat. Namun jika itu berkaitan dengan program, tim
produksi akan “diakalin” dengan program jalan-jalan.
Dalam perkembangannya, Trans Corp (Induk perusahaan dari Trans TV dan Trans 7)
mulai menjamah media digital. Salah satu langkah yang diambil adalah dengan hadirnya
media sosial dari Trans Corp. Trans Media Social adalah bagian dari perusahaan Trans Corp
yang bertugas mengolah sosial media. Pengolahan di dalamnya pun tidak sederhana. Selain
mengolah sosial media, mereka menggunakan pengolahan data statistic untuk mengamati
masyarakat dan perusahaan pesaing selama 24/7. Sehingga output dari Trans Media Social
berupa data dan suggestion untuk mengolah sosial media mereka. Data yang diolah pun
sangat detail, seperti sosial media yang paling banyak dibuka dari tiap individu dan berbagai
macamnya.
Pada hari kelima atau hari terakhir, kami berkunjung ke TVRI. TV ini merupakan
TV publik, karena dibiayai oleh rakyat. TVRI public berbeda dengan TV pemerintah karena
ketika TVRI berubah menjadi TV public, pemerintah tidak lagi punya kuasa untuk otak-atik
TVRI. Dalam regulasi yang baru diputuskan bahwa TVRI merupakan TV independen
sehingga tidak lagi diatur oleh pemerintah, namun dalam hal ini bertanggung jawab kepada
rakyat. TVRI memiliki harapan bahwa dapat mencerdaskan penonton lewat siaran namun
tidak menggurui dan juga memberikan pencerahan kepada penonton melalui dialog.
Untuk sumber dana, TVRI mendapatkan dana dari RAPBN dan juga iklan. Untuk
iklan, terdapat aturan yang perlu diperhatikan, seperti kaidah TVRI. Di dalam kaidah tersebut
juga mengatur bahwa iklan komersial dapat beriklan namun dengan catatan di jam manapun
tayang, harga tetap sama. Namun, TVRI tidak perlu memperhatikan rating karena TV ini
tidak memerlukan sponsorship. Sehingga hasil rating yang muncul tidak akan mempengaruhi
TVRI dalam menentukan atau menayangkan program. Tanggung jawab tayangan sepenuhnya
berada di TVRI. Hal tersebut lah yang membedakan TVRI dengan TV swasta. Selain itu,
TVRI juga mendapat ijin dari Kominfo untuk mengakses informasi. Namun yang menjadi
catatan adalah TVRI dituntut untuk mampu menyajikan acara yang tidak dilirik TV swasta
tapi informatif namun dana masih kurang.
TVRI sendiri sedang mengikuti perkembangan zaman di era digital. Pada tayangan
TV konvensional, siaran TVRI sudah dirubah ke digital, yang artinya beberapa kanal dapat
digabungkan menjadi 1 channel TV. Selain itu, TVRI juga melakukan rebranding untuk
menggaet anak muda dan juga sebagai bentuk menyikapi perubahan era, dalam hal ini
masuknya media sosial. Selain itu, digitalisasi yang dilakukan oleh TVRI adalah dengan
share program ke Youtube. Namun yang masih menjadi PR adalah tentang promosi akun
Youtube dari TVRI ini.
Selain mengunjungi beberapa tempat yang sudah dibahas diatas, kami juga ikut
menyaksikan Indonesia Idol dan juga Mata Najwa. Terdapat perbedaan yang cukup
signifikan dalam eksekusi kedua program live ini. Pada Indonesia Idol, floor director sangat
sibuk mengatur penonton agar memeriahkan program dan mengatur kebutuhan teknis dalam
rangkaian program, namun berbeda dengan Mata Najwa, dimana floor director tidak terlalu
sibuk mengatur penonton karena penonton lebih rapi daripada di Indonesia Idol. Untuk
setting ruangan, studio Indonesia Idol lebih bervariatif dibandingkan dengan studio Mata
Najwa.

Anda mungkin juga menyukai