Anda di halaman 1dari 32

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Discharge Planning


2.1.1 Definsi Discharge Planning
Discharge Planning merupakan suatu proses yang dinamis dan
sistematis dari penilaian, persiapan, serta koordinasi yang dilakukan
untuk memberikan kemudahan pengawasan pelayanan kesehatan juga
pelayanan sosial sebelum dan sesudah pulang (Carpenito, 1990 dalam
Nursalam & Ferry Efendi, 2008).

Discharge Planning adalah suatu proses yang sistematis dalam


pelayanan kesehatan untuk membantu pasien dan keluarga dalam
menetapkan kebutuhan, mengimplementasikan serta
mengkoordinasikan rencana perawatan yang akan dilakukan setelah
pasien pulang dari rumah sakit sehingga dapat meningkatkan atau
mempertahankan derajat kesehatannya (Zwicker & Picariello, 2003
dalam Devi Darliana, 2012).

Discharge Planning merupakan suatu proses mempersiapkan pasien


untuk mendapatkan kontinuitas dalam perawatan dan mempertahankan
derajat kesehatannya sampai pasien merasa siap untuk kembali ke
lingkungan keluarganya, proses tersebut dimulai sejak awal pasien
datang kesebuah tempat pelayanan kesehatan (Crawthon, 2005 dalam
Aria Wahyuni dkk 2012).

Dari beberapa pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa


Discharge Planning adalah suatu proses yang diberikan oleh tenaga
kesehatan yang bertujuan untuk mempertahankan derajat kesehatan
pasien, sehingga pasien mampu melakukan perawatan sendiri setelah
keluar dari rumah sakit.

9
10

2.1.2 Tujuan Discharge Planning


Menurut Jipp dan Siras (1986) dalam Nursalam & Ferry Efendi,
2008 tujuan Discharge Planning adalah sebagai berikut:
2.1.2.1 Menyiapkan klien dan keluarga secara fisik, psikologis
dan sosial.
2.1.2.2 Meningkatkan kemandirian klien dan keluarga.
2.1.2.3 Meningkatkan perawatan yang berkelanjutan pada
klien.
2.1.2.4 Membantu rujukan klien pada sistem pelayanan yang
lain.
2.1.2.5 Membantu klien dan keluarga memiliki pengetahuan,
keterampilan, dan sikap dalam memperbaiki serta
mempertahankan status kesehatan klien.
2.1.2.6 Melaksanakan rentang perawatan antar rumah sakit dan
masyarakat.

Rorden dan Traft (1993) dalam Nursalam, 2011 juga menyatakan


bahwa tujuan Discharge Planning adalah sebagai berikut:
2.1.2.1 Membantu klien dan keluarga untuk memahami
permasalahan, pencegahan yang harus dilakukan
sehingga dapat mengurangi angka kambuh, dan
penerimaan kembali di rumah sakit.
2.1.2.2 Terjadi pertukaran informasi antara klien sebagai
penerima pelayanan dengan perawat mulai dari pertama
kali klien masuk rumah sakit sampa keluar rumah sakit.

Naylor (1990) dalam Candra Syah Putra 2016 menerangkan


tujuan Discharge Planning adalah untuk meningkatkan
kontinuitas, kualitas perawatan dan memaksimalkan manfaat
sumber pelayanan kesehatan. Discharge planning dapat
mengurangi hari rawatan pasien, mencegah kekambuhan,
11

mencegah komplikasi, meningkatkan perkembangan kondisi


kesehatan pasien dan menurunkan beban perawatan pada keluarga
dapat dilakukan melalui Discharge Planning.

2.1.3 Manfaat Discharge Planning


Menurut Spath (2003) dalam Nursalam 2008 Discharge Planning
(perencanaan pulang) mempunyai manfaat, diantaranya:
2.1.3.1 Dapat memberikan kesempatan untuk memperkuat
pengajaran kepada klien yang dimuai dari rumah sakit.
2.1.3.2 Dapat memberikan tindak lanjut secara sistematis yang
digunakan untuk menjamin kontinutas perawatan klien.
2.1.3.3 Mengvaluasi pengaruh dari intervnsi yang terencana
pada peneyambuhan klien dan mengidentifkasi
kekambuhan atau kebutuhan perawatan baru.
2.1.3.4 Membantu memandirikan dan kesiapan klien dalam
melakukan perawatan dirumah.

2.1.4 Prinsip-Prinsip Penatalaksanaan Discharge Planning


Prinsip-prinsip yang diterapkan dalam penatalaksanaan Discharge
Planning adalah dalam Nursalam 2015 sebagai berikut:
2.1.4.1 Klien merupakan fokus dalam perencanaan pulang. Nilai
keinginan dan kebutuhan dari klien perlu dikaji dan
dievaluasi.
2.1.4.2 Kebutuhan dari klien diidentifikasi, kebutuhaan ini
dikaitkan dengan masalah yang mungkin muncul pada
saat klien pulang nanti, sehingga kemungkinan masalah
yang muncul di rumah dapat segera diantisipasi.
2.1.4.3 Perencanaan pulang dilakukan secara kolaboratif.
Perencanaan pulang merupakan pelayanan multidisiplin
dan setiap tim harus saling bekerja sama.
2.1.4.4 Perencanaan pulang disesuaikan dengan sumber daya
dan fasilitas yang ada. Tindakan atau rencana yang akan
12

dilakukan setelah pulang disesuaikan dengan


pengetahuan dari tenaga yang tersedia maupun fasilitas
yang tersedia dimasyarakat.
2.1.4.5 Perencanaan pulang dilakukan pada setiap sistem
pelayanan kesehatan. Setiap klien masuk tatanan
pelayanan maka perencanaan tersebut harus dilakukan.

2.1.5 Jenis-Jenis Discharge Planning


Chesca (1982) dalam Nursalam & Ferry Efendi 2008
mengklasifikasikan jenis pemulangan klien sebagai berikut:
2.1.5.1 Pulang Sementara atau Cuti (conditioning
discharge)
Keadaan pulang ini dilakukan apabila kondisi klien
baik dan tidak terdapat komplikasi. Klien untuk
sementara dirawat di rumah namun harus ada
pengawasan dari pihak rumah sakit atau puskesmas
terdekat.
2.1.5.2 Pulang Mutlak atau Selamanya (absolute discharge)
Keadaan ini merupakan akhir dari hubungan klien
dengan rumah sakit. Namun apabila klien perlu
dirawat kembali, maka prosedur perawatan dapat
dilakukan kembali.
2.1.5.3 Pulang Paksa (judicial discharge)
Pada kondisi ini, klien diperbolehkan pulang
walaupun kondisi kesehatan tidak memungkinkan
untuk pulang. Namun klien harus dipantau dengan
melakukan kerja sama dengan perawat puskesmas
terdekat.
13

2.1.6 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pelaksanaan Discharge


Planning
Pelaksanaan perencanaan pulang dipengaruhi oleh berbaga faktor.
Menurut Poglitsch, Emery& Darragh (2011) dalam Muhammad
Rofi’i et.,al 2013, menerangkan bahwa terdapat 5 faktor yang
menentukan keberhasilan pelaksanaan Discharge Planning
(perencanaan pulang), diantaranya yaitu:
1. Faktor Personal Discharge Planning
2. Keterlibatan dan Partisipasi
3. Komunikasi
4. Waktu
5. Perjanjian & Konsensus.

Keberhasilan pemulangan adalah hal terpenting dalam menjalin


kerjasamapada pemulangan klien dari rumah sakit sampai pulang
kembali ke rumah.

2.1.7 Pemberi Layanan Discharge Planning


Seorang Discharge Planner bertugas membuat rencana,
mengkoordinasikan, memonitor dan memberikan tindakan proses
kelanjutan perawatan. Discharge planning ini menempatkan
perawat pada posisi yang penting dalam proses pengobatan pasien
dalam team discharge planner rumah sakit, pengetahuan dan
kemampuan perawat dalam proses keperawatan dapat
memberikan kontinuitas perawatan melalui proses Discharge
Planning. Perawat dianggap sebagai seseorang yang memiliki
kompetensi lebih dan punya keahlian dalam melakukan
pengkajian secara akurat, mengelola dan memiliki komunikasi
teraupetik yang baik dan menyadari setiap kondisi dalam
masyarakat (Naylor et.,al dalam Candra Syah Putra 2016).
14

2.1.8 Penerima Discharge Planning


Saat klien masuk ke tempat pelayanan kesehatan, pengkajian
klien dan keluarga selalu menjadi tanggung jawab yang pertama
harus diemban oleh perawat. Pada perencanaan pasien pulang pun
merupakan tatalaksana yang harus dilakukan oleh perawat.

Perencanaan pasien pulang merupakan fungsi utama dari sebagian


besar tugas yang diberikan kepada perawat. Sebelum klien
pulang, prosedur yang dilakukan yaitu proses pengkajian secara
menyeluruh dan pengumpulan data yang dilakukan oleh
koordinator yang bertujuan membantu terlaksananya perawatan
yang berkelanjutan sehingga dapat mempercepat proses
kepulangan klien. Untuk meningkatkan kemandirian klien dalam
menangani masalah kesehatan yang terjadi ketika pulang dari
rumah sakit, maka klien diberikan pendidikan kesehatan agar
klien memahami tentang penyakit yang dialami bahkan dapat
mengambil keputusan tentang rencana perawatan di rumah.
Dalam hal ini tidak hanya klien, seluruh anggota keluarga harus
mendapatkan informasi tentang semua rencana kepulangan klien
agar dapat bekerja sama dalam menangani kegawatanan atau
komplikasi yang terjadi (Patricia A. Potter 2005: 100).

2.1.9 Hal-Hal Yang Harus diKetahui Klien Sebelum Pulang


Hal-hal yang harus diketahui sebelum klien pulang (Nursalam
2015), yaitu:
2.1.9.1 Instruksi tentang penyakit yang diderita, pengobatan
yang harus dijalankan, serta masalah atau komplikasi
yang dapat terjadi.
2.1.9.2 Informasi tertulis tentang perawatan yang harus
dilakukan dirumah
2.1.9.3 Pengaturan diet khusus dan bertahap yang harus
dijalankan.
15

2.1.9.4 Jelaskan masalah yang mungkin muncul dan cara


mengantisipasi.
2.1.9.5 Pendidikan kesehatan yang ditujukan kepada keluarga
maupun klien sendiri dapat digunakan metode ceramah,
demonstrasi dan lain-lain.
2.1.9.6 Informasikan tentang nomor telpon layanan perawat,
dokter, dan kunjungan rumah apabila klien
memerlukan.

2.1.10 Tahap- Tahap Memulangkan Klien


Potter & Perry (2005) menjelaskan tahap-tahap pemulangan klien
terbagi menjadi 3 tahap, yaitu :
a. Perencanaan Pulang
1. Sejak waktu penerimaan klien, lakukan pengkajian
tentang kebutuhan pelayanan kesehatan untuk klien
pulang, dengan menggunakan riwayat keperawatan,
rencana perawatan, dan pengkajian kemampuan fisik dan
fungsi kognitif yang dilakukan secara terus menerus.
2. Kaji kebutuhan pendidikan kesehatan untuk klien dan
keluarga yang berhubungan dengan terapi di rumah, hal-
hal yang harus dihindarlan akibat dari gangguan
kesehatan yang dialami, dan komplikasi yang mungkin
terjadi.
3. Bersama klien dan keluarga kaji factor-factor lingkungan
rumah yang dapat menganggu perawataan diri (contoh:
ukuran kamar, lebar jalan, langkah, fasilitas kamar
mandi). Perawat yang melakukan perawatan di rumah
hadir saat rujukan dilakukan, untuk membantu
pengkajian.
4. Berkolaborasi dengan dokter dan disiplin ilmu yang lain
(contoh terapi fisik) mengkaji perlunya rujukan untuk
16

mendapat perawatan di rumah atau di tempat pelayanan


yang diperluas lainnya.
5. Kaji penerimaan terhadap masalah kesehatan dan
larangan yang berhubungan dengan masalah kesehatan
tersebut.
6. Konsultasidengan anggota tim kesehatan lain tentang
berbagai kebutuhan klien setelah pulang.
7. Tetapkan diagnosa keperawatan dan rencana
perawatan yang tepat.
8. Evaluasi kemajuan secara terus menerus.
9. Tentukan tujuan pulang yang relevan, yaitu sebagai
berikut:
a) Klien akan memahami masalah kesehatan dan
implikasinya.
b) Klien akan mampu memenuhi kebutuhan
individualnya.
c) Lingkungan rumah akan menjadi aman.
d) Tersedia sumber perawatan kesehatan di rumah.
b. Persiapan Sebelum Hari Kepulangan Klien
1. Anjurkan cara-cara untuk merubah pengaturan fisik di
rumah sehingga kebutuhan klien dapat terpenuhi.
2. Berikan informasi tentang sumber-sumber pelayanan
kesehatan di masyarakat kepada klien dan keluarga.
3. Lakukan pendidikan untuk klien dan keluarga sesgera
mungkin setelah klien dirawat di rumah sakit (contoh:
tanda & gejala komplikasi, informasi tentang obat-
obatan yang diberikan, penggunaan peralatan medis
dalam perawatan lanjutan, diet, latihan, hal-hal yang
harus dihindari sehubungan dengan penyakit atau
operasi yang dijalani) klien mungkin dapat diberikan
pamflet atau buku.
17

c. Pada Hari Kepulangan Klien


Biarkan klien dan keluarga bertanya atau berdiskusi
tentang berbagai isu yang berkaitan dengan perawatan di
rumah.
1. Periksa order pulang dari dokter tentang resep,
perubahan tindakan pengobatan, atau alat-alat khusus
yang diperlukan (pesan harus ditulis sedini mungkin).
2. Tentukan apakah klien atau keluarga telah mengatur
transportasi untuk pulang ke rumah.
3. Tawarkan bantuan ketika klien berpakaian dan
mempersiapkan seluruh barang-barangg pribadinya
untuk dibawa pulang. Berikan privasi bila diperlukan.
4. Periksa seluruh kamar mandi dan lemari bila ada
barang klien yang masih tertinggal.
5. Carilah salinan daftar barang-baraang berharga milik
klien yang telah ditanda tangani dan minta satpam
atau administrator yang tepat untuk mengembalikan
barang-barang berharga milik klien tersebut. Hitung
semua barang-barang berharga yang ada.
6. Berikan klien resep atau obat-obatan sesuai dengan
pesan dokter. Periksa kembali instruksi sebelumnya.
7. Hubungi kantor keuangan lembaga untuk menentukan
apakah klien masih perlu membayar sisa tagihan
biaya. Atur klien atau keluarga untuk pergi ke kantor
tersebut.
8. Gunakan alat pengangkut barang untuk membawa
barang-barang klien. Berikan kursi roda untuk klien
untuk klien yang tidak bisa berjalan sendiri. Klien
yang meninggalkan rumah sakit dengan mobil
ambulans akan dipindahkan dengan kereta dorong
ambulans.
18

9. Bantu klien pindah ke kursi roda atau kereta dorong


dengan menggunakan mekanika tubuh dan teknik
pemindahan yang benar. Iringi klien masuk ke dalam
lembaga dimana sumber transportasi merupakan hal
yang diperhatikan (lihat kebijakan lembaga).
10. Kunci kursi roda. Bantu klien pindah k mobil atau alat
transportasi lain. Bantu keluarga memindahkan
barang-barang pribadi klien ke dalam kendaraan
tersebut.
11. Kembali ke unit dan beritahukan departemen lain
yang berwenang mengenai waktu kepulangan klien.
12. Catat kepulangan klien pada format ringkasan pulang.
Pada beberapa institusi, klien akan menerima salinan
dan format tersebut.
13. Dokumentasikan status masalah kesehatan saat klien
pulang.

Nursalam (2015) menjelaskan beberapa tindakan


keperawatan yang dapat diberikan pada pasien sebelum
pasien diperbolehkan pulang antara lain sebagai berikut:
a. Pendidikan Kesehatan
Hal ini diharapkan mengurangi angka kambuh atau
komplikasi dan meningkatkan pengetahuan pasien
serta keluarga tentang penyakit yang dialami oleh
klien. Pendidikan kesehatan terkait dengan
keperawatan yang perlu diberikan pada pasien
meliputi (Long, 1996):
1. Kontrol (waktu dan tempat)
2. Lanjutan Keperawatan
3. Diet/nutrisi yang harus dikonsumsi
4. Aktivitas dan istirahat, kontrol
5. Keperawatan diri (personal hygine).
19

b. Program pulang bertahap


Program ini bertujuan untuk melatih pasien untuk
kembali ke lingkungan keluarga dan masyarakat
antara lain apa yang harus dilakukan pasien di rumah
sakit dan apa yang harus dilakukan oleh keluarga.
c. Rujukan
Integritas pelayanan kesehatan harus mempunyai
hubungan langsung antara keperawatan komunitas
atau praktik mandiri keperawatan dengan rumah sakit,
sehingga dapat mengetahui perkembangan pasien di
rumah.

2.1.11 Evaluasi
Evaluasi merupakan suatu proses yang dilakukan secara terus
menerus. Aspek penting dari evaluasi adalah menentukan
kebutuhan klien yang berkelanjutan saat klien pulang ke rumah.
Diagnosa keperawatan yang masih tersisa mungkin menuntut
keluarga untuk lebih bertanggung jawab terhadap perawatan diri
klien. Perawat melakukan evaluasi terhadap pendidikan
kesehatan, konseling, dan rujukan yang diperlukan untuk
memastikan keberhasilan pemindahan perawatan klien kepada
pemberi pelayanan lainnya.

Tantangan yang dihadapi pelayanan kesehatan saat ini adalah


bagaimana cara memberikan pelayanan yang tepat pada klien
secepat mungkin. Perawat memainkan peran kunci untuk
membantu klien menyesuaikan dan mengetahui apa yang harus
diharapkan dari beraneka macam pemberi pelayanan kesehatan.
Sejak klien masuk sampai pulang, perawat melakukan koordinasi
perawatan klien sehingga proses transisi dari rumah sakit ke
rumah dapat berjalan dengan lancar. Perencanaan pulang
20

memastikan adanya suatu perawatan yang berkelanjutan setelah


klien meninggalkan rumah sakit (Potter & Perry 2005).

2.1.12 Alur Discharge Planning

P
D
K
L
M
oeareP
n
niorak
y
ingedt
e
t-rnaie
l
olacbr
e
n
ram
s
inda
akti
(nH
alun
saE
en:i
-beP
TK
io
aap
nA
d n
gu:m
t
m
al r
io
iaK1. K
nl
ne l
i i
pgs d
sa n
ret i
n
r o(h s
ag o
aD d
b
srit a a
n
ias t
/
cn
m p
p
he e
m
sa r e
a
er w r
i
rg a
k
t
ve s
a
in a
a
-cPG
n
21

2.2 Konsep Kepatuhan


2.2.1 Definisi Kepatuhan
Kepatuhan adalah tingkatan perilaku seseorang yang mendapatkan
pengobatan, mengikuti diet, dan melaksanakan gaya hidup sesuai
dengan rekomendasi pemberi pelayanan kesehatan (WHO, 2003 dalam
Farida Ilmah & Thinni Nurul Rochmah 2015).

Kepatuhan atau Compliance yang juga dikenal dengan ketaatan


(Adherence) adalah derajat dimana pasien mengikuti anjuran klinis dari
dokter yang mengobatinya (Kaplan, 1997 dalam Indra Nofriani Safitri,
2013).

Kepatuhan adalah kesesuaian pasien terhadap anjuran atas medikasi


yang telah diresepkan yang terkait dengan waktu, dosis, dan frekuensi
(dalam Nur Rasdianah et.,al 2016).

Dari beberapa pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa


kepatuhan merupakan perilaku yang menggambarkan tentang ketaatan
seseorang terhadap suatu anjuran ataupun prosedur yang diberikan oleh
tenaga ahli dengan tujuan agar tidak terjadi komplikasi yang
membahayakan sehingga tidak memperparah keadaan.

2.2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan


Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan (Notoadmojo (2012)
dalam Ilham 2015), adalah sebagai berikut:
2.2.2.1 Motivasi
Motivasi merupakan keadaan dalam pribadi seseorang yang
mendorong keinginan tertentu untuk mencapai suatu tujuan
sehingga merasakan suatu dorongan dalam diri manusia yang
menyebabkan seseorang berbuat sesuatu.
22

2.2.2.2 Sikap
Sikap adalah reaksi atau respon yang masih tertutup dari
seseorang terhadap suatu objek. Sikap secara nyata
menunjukan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap
keadaan tertentu. Sikap terdiri dari berbagai tingkatan, yaitu:
a. Menerima (receiving)
Menerima diartikan bahwa seseorang (subjek) mau dan
memperhatikan stimulasi yang diberikan objek.
b. Merespon (responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan
menyelesaikan tugas.
c. Menghargai (valuing)
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau
mendiskusikan suatu masalah. Hal ini merupakan suatu
indikasi sikap tingkat tiga. Menghargai juga diartikan
sebagai suatu usaha untuk mencari suatu keselarasan,
manfaat dan dengan menghubungkan prosedur tindakan.

Menurut Brunner & Suddarth (2009) dalam Ilham (2015)


menjelaskan bahwa ada beberapa variabel yang mempengaruhi
tingkat kepatuhan, diantaranya adalah:
2.2.3.1 Faktor Demografi, seperti: usia, jenis kelamin, status
sosio-ekonomi dan pendidikan.
2.2.3.2 Faktor Penyakit, seperti: keparahan penyakit dan
hilangnya gejala akibat terapi.
2.2.3.3 Faktor Program Pelayanan, seperti: kompleksitas
program dan efek samping yang tidak menyenangkan.
2.2.3.4 Faktor Psikososial, seperti: tingkat pengetahuan, sikap
terhadap tenaga kesehatan, penerimaan atau
penyangkalan terhadap penyakit, keyakinan agama
atau budaya dan biaya finansial lainnya.
23

2.2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ketidakpatuhan


Niven (2002) dalam Farida Ilmah & Thinni Nurul Rochmah (2015),
menjelaskan bahwa ketidakpatuhan pasien dipengaruhi oleh 4 faktor,
diantaranya:
2.2.3.1 Keyakinan, Sikap dan Kepribadian
Keyakinan, sikap, dan kepribadian muncul berdasarkan
pengetahuan dan persepsi pada diri sendiri. Pasien yang tidak
patuh adalah orang yang lebih mudah mengalami depresi,
ansietas, memiliki kekuatan ego yang lebih lemah dan yang
kehidupan sosialnya lebih memusatkan perhatian kepada
dirinya sendiri. Ciri kepribadian di atas menyebabkan
seseorang tidak patuh terhadap pengobatan. Terdapat 2 faktor
yang mendasari keyakinan seseorang yaitu kerentanan dan
keparahan.
Kerentanan merupakan hal yang berhubungan tentang
keyakinan individu apakah dirinya menderita sakit. Sedangkan
keyakinan hal yang berhubungan tehadap keparahan yaitu
pikiran individu terhadap seberapa berat penyakit yang
dideritanya.
2.2.3.2 Pemahaman Terhadap Instruksi
Pasien akan patuh menjalankan instruksi sesuai dengan yang
diperintakan kepadanya jikaklien paham terhadap instruksi
yang diperintahkan. Klien yang tidak paham terhadap instruksi
yang diberikan maka, tidak dapat mematuhi instruksi tersebut
dengan baik. Penyebab ketidakpahaman dapat disebabkan oleh
tenaga kesehatan sebagai komunikator, dan klien sebagai
penerima pesan.
Tappen (1995) dalam Nursalam 2015 mendefinisikan bahwa
komunikasi adalah suatu pertukaran pikiran, perasaan,
pendapat, dan pemberian nasehat yang terjadi antara 2 orang
atau lebih yang bekerja sama. Dalam hal ini perawat berperan
penting dalam hal penyampaian informasi kepada klien, dan
24

komunikator dituntut memberikan pelayanan keperawatan


dalam hal berkomunikasi secara lengkap, adekuat, dan cepat.
Artinya, setiap melakukan komunikasi, komunikator dalam
penyampaiannya harus jelas, sederhana, dan tepat. Gunakan
bahasa yang mudah dimengerti oleh klien agar tidak terjadi
kesalahpahaman informasi (Nursalam, 2008).
2.2.3.3 Isolasi Sosial
Niven (2002) pun menegaskan bahwa derajat seseorang
terisolasi dari pendampingan orang lain, isolasi sosial, secara
negatif berhubungan dengan kepatuhan. Berdasarkan teori
tersebut maka sebesar apapun dukungan yang diberikan
kepada pasien, peluang ketidakpatuhan pasien dalam
pengobatan akan tetap terjadi apabila pasien merasa terisolasi.
Keluarga dapat menjadi faktor yang sangat berpengaruh dalam
menentukan keyakinan dan nilai kesehatan individu serta
dapat menentukan program pengobatan yang dapat mereka
terima.
2.2.3.4 Keluarga dan Kualitas Terhadap Instruksi
Keluarga merupakan orang terdekat yang berperan penting
dalam tahap pengobatan klien. Melalui dukungan serta
motivasi yang diberikan akan membantu klien mematuhi
dalam menjalani pengobatan yang dilakukan. Dukungan
emosional seperti memberikan perhatian, mengingatkan jadwal
pengobatan, ataupun menemani pasien saat berobat akan
membuat klien merasa diperhatikan dan dapat mengurangi
isosolasi sosial yang di alami klien sehingga dapat
meningkatkan kepatuhan pada klien (Niven, 2002).
Kualitas interaksi antara profesional kesehatan dan klien
merupakan bagian yang penting dalam menentukan derajat
kepatuhan. Terdapat hubungan yang kuat antara kepuasan
konsultasi dengan derajat kepatuhan pada klien. Kualitas
interkasi dipengaruhi oleh empat hal yaitu:
25

a. Lama
b. Arah
c. Frekuensi
d. Isi pesan dalam interkasi.

2.2.4 Strategi Meningkatkan Kepatuhan


Menurut Smet dalam Niven (2012) ada beberapa strategi untuk
meningkatkan kepatuhan, diantaranya adalah:
2.2.4.1 Dukungan Profesional Kesehatan
Dukungan profesional kesehatan sangat diperlukan untuk
meningkatkan kepatuhan, misalnya contoh yang paing
sederhana dalam dukungan tersebut adalah dengan adanya
teknik komunikasi. Komunikasi yang baik diberikan oleh
profesional kesehatan, baik dokter ataupun perawat
sehingga dapat menanamkan ketaatan pada pasien.
2.2.4.2 Dukungan Sosial
Dukungan sosial yang dimaksud adalah keluarga. Tenaga
kesehatan profesional yang dapat meyakinkan keluarga
pasien, sehingga dapat menunjang peningkatan kesehatan
pasien maka ketidakpatuhan bisa dikurangi.
2.2.4.3 Perilaku Sehat
Modifikasi gaya hidup dan kontrol secara teratur planning
yang telah diberikan kepada pasien seperti minum obat
dengan teratur.
2.2.4.4 Pemberian Informasi
Berikan informasi yang benar dan jelas kepada pasien dan
keluarga mengenai penyakit yang dideritanya serta cara
pengobatannya.
26

2.3 Konsep Diabetes Mellitus


2.3.1 Definisi Diabetes Mellitus
Diabetes Mellitus merupakan suatu gangguan metabolisme karbohidrat,
protein dan lemak akibat dari ketidakseimbangan antara ketersediaan
insulin dengan kebutuhan insulin. Gangguan tersebut dapat berupa
defisiensi insulin absolut, gangguan pengeluaran insulin oleh beta
pankreas, ketidak adekuatan atau kerusakan pada reseptor insulin,
produksi insulin yang tidak aktif dan kerusakan insulin sebelum bekerja
(Sudoyo.et,al, 2006 dalam Santi Damayanti, 2015).

Diabetes Mellitus merupakan gangguan metabolik yang


dikarakteristikkan dengan hiperglikemia bersama dengan gangguan
metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang disebabkan defek
sekresi insulin dan aksi insulin (Alberti, 2010 dalam Faisalado Candra
Widyanto & Cecep Triwibowo, 2013).

Diabetes Mellitus merupakan gangguan metabolisme yang ditandai


dengan hiperglikemi yang berhubungan dengan abnormalitas
metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang disebabkan oleh
penurunan sekresi insulin atau penurunan sensitivitas insulin atau
keduanya dan menyebabkan komplikasi kronis mikrovaskular,
makrovaskular, dan neuropati (Sudoyo dkk, 2009 dalam Amin Huda &
Hardi Kusuma, 2016).

Dari beberapa pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa


Diabetes Mellitus adalah suatu penyakit metabolisme dimana kadar
glukosa di dalam darah tinggi yang ditandai dengan penurunan sekresi
insulin dan dapat menyebabkan komplikasi yang kronis.
27

2.3.2 Klasifikasi Diabetes Mellitus


Porth (2007) dalam Santi Damayanti (2015) mengklasifikasikan
Diabetes Mellitus menjadi 4 jenis, antara lain:
2.3.2.1 Diabetes Mellitus Tipe I
DM tipe I ditandai oleh destruksi sel beta pankreas, terbagi
dalam 2 sub tipe yaitu tipe IA yaitu Diabetes yang diakibatkan
proses immunologi (Immune-mediated diabetes) dan tipe 1B
yaitu Diabetes idiopatik yang tidak diketahui penyebabnya.
Diabetes 1A ditandai oleh destruksi autoimun sel beta.
Sebelumnya disebut juga dengan diabetes juvenile, terjadi
lebih sering pada orang usia muda tetapi dapat menutup
kemungkinan terjadi pada semua usia. Diabetes tipe 1
merupakan gangguan katabolisme yang ditandai oleh
kekurangan insulin absolut, peningkatan glukosa darah, dan
pemecahan lemak dan protein tubuh.
2.3.2.2 Diabetes Mellitus Tipe 2
DM tipe 2 atau juga dikenal sebagai Non Insulin Dependent
Diabetes (NIDDM). Dalam Diabetes Mellitus tipe 2, jumlah
insulin yang diproduksi oleh pankreas biasanya cukup untuk
mencegah ketoasidosis tetapi tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan tubuh total. Jumlahnya mencapai 90-95% dari
seluruh pasien dengan Diabetes, dan banyak dialami oleh
orang dewasa tua yang berumur >40 tahun serta lebih sering
terjadi pada individu yang mengalami obesitas.
2.3.2.3 Diabetes Pada Kehamilan (Gestational Diabetes)
Diabetes kehamilan terjadi pada intoleransi glukosa yang
diketahui selama kehamilan pertama. Jumlahnya sekitar 2-4%
kehamilan. Wanita dengan Diabetes kehamilan akan
mengalami peningkatan resiko trhadap diabetes setelah 5-10
tahun melahirkan.
28

2.3.2.4 Diabetes Mellitus Tipe Lain


DM tipe lain merupakan gangguan endokrin yang
menimbulkan hiperglikemi akibat peningkatan produksi
glukosa hati atau penurunan glukosa oleh sel. Sebelumnya
dikenal dengan istilah diabetes sekunder,Diabetes tipe ini
menggambarkan Diabetes yang dihubungkan dengan keadaan
dan sindrom tertentu, misalnya Diabetes yang terjadi dengan
penyakit pankreas atau pengangkatan jaringan pankreas dan
penyakit endokrin seperti akromegali atau sindrom chusing,
karena zat kimia atau obat, infeksi dan endokrinopati.

2.3.3 Penyebab Diabetes Mellitus


Menurut Ratna Dewi Pudiastuti (2013), penyebab Diabetes Mellitus
antara lain :
2.3.3.1 Faktor Keturunan (Genetik)
Keturunan (genetik) merupakan faktor yang tidak dapat
diubah. Riwayat keluarga dengan Diabetes Mellitus tipe 2,
akan mempunyai peluang menderita Diabetes Mellitus sebesar
15% dan resiko mngalami intoleransi glukosa yaitu
ketidakmampuan dalam memetabolisme karbohidrat secara
normal sebesar 30%. Faktor genetik dapat langsung
mempengaruhi sel beta untuk mengenali dan menyebarkan
rangsang sekretoris insulin.
2.3.3.2 Usia
Faktor usia yang rentan menderita Diabetes Mellitus tipe 2
adalah usia di atas 30 tahun. Hal ini karena adanya perubahan
anatomis, fisiologis dan biokimia. Perubahan dimulai dari
tingkat sel, kemudian berlanjut pada tingkat jaringan dan
akhirnya pada tingkat organ yang dapat mempengaruhi
hemoestasis. Ketika seseorang mencapai umur 30 tahun, maka
kadar glukosa darah naik 1-2 mg% tiap tahun saat puasa dan
akan naik 6-13% pada 2 jam setelah makan, berdasarkan hal
29

tersebut bahwa umur merupakan faktor utama terjadinya


kenaikan relevansi diabetes serta gangguan toleransi glukosa.

2.3.4 Faktor-Faktor Resiko Diabetes Mellitus


Faktor-faktor resiko Diabetes Mellitus antara lain (Santi Damayanti,
2015):
2.3.4.1 Obesitas
Obesitas atau kegemukan yaitu kelebihan berat badan ≥20%
dari berat badan ideal atau BMI (Body Mass Index) ≥27 kg/m².
Kegemukan menyebabkan berkurangnya jumlah reseptor
insulin yang dapat bekerja di dalam sel pada otot skeletal dan
jaringan lemak. Hal ini dinamakan resistensi insulin perifer.
Kegemukan merusak sel beta untuk melepas insulin saat terjadi
peningkatan glukosa darah.
2.3.4.2 Tekanan Darah
Seseorang yang beresiko menderita Diabetes Mellitus adalah
yang mempunyai tekanan darah tinggi (Hipertensi) yaitu
tekanan darah ≥140/90 mmHg. Pada umumnya Diabetes
Mellitus menderita tekanan darah tinggi. Hipertensi yang tidak
dikelola dengan baik akan mempercepat kerusakan pada ginjal
dan kelainan kardiovaskuler. Sebaiknya apabila tekanan darah
dapat dikontrol maka akan memproteksi terhadap komplikasi
mikro dan makrovaskuler yang disertai pengelolaan
hiperglikemia yang terkontrol.
2.3.4.3 Gaya Hidup (Life Style)
Menurut ketua Indonesia Diabetes Association (Persadia),
Soegondo menjelaskan bahwa Diabetes Mellitus dapat juga
dipicu oleh perubahan gaya hidup yang tidak sehat, seperti,
makanan ataupun minuman dengan kadar gula berlebih (coklat,
tart,ice cream,soft drink dan sebagainya) makanan siap saji
(junk food), kurangnya aktivitas fisik (olahraga) dan stress.
30

2.3.4.4 Stres
Potter & Perry (2005) mengatakan stres adalah segala situasi
dimana tuntutan non-spesifik mengharuskan individu untuk
berespon atau melakukan tindakan. Respon ini sangat
individual karna individu mempunyai sifat yang multidimensi.
Stres muncul ketika ada ketidakcocokan antara tuntutan yang
dihadapi dengan kemampuan yang dimiliki. Penderita Diabetes
yang mengalami stres dapat merubah pola makan, aktivitas
yang biasanya dilakukan secara teratur dan hal ini dapat
menyebabkan terjadinya hiperglikemia. Stres memicu reaksi
biokimia tubuh melalui 2 jalur yaitu neural dan neuroendokrin.
Reaksi pertama respon stres yaitu sekresi sistem saraf simpatis
untuk mengeluarkan norepinefrin yang menyebabkan
peningkatan frekuensi jantung. Kondisi ini dapat menyebabkan
glukosa darah meningkat guna sumber energi untuk perfusi.
Bila stres menetap akan melibatkan hipotalamus-pituitari.
Hipotalamus mensekresi corticotropin-relesingfactor, yang
menstimulasi pituitari anterior untuk memproduksi
Adrenocortocotropic Hormone (ACTH) kemudian ACTH
menstimulasi pituitari anterior untuk memproduksi
glukokortikoid, terutama kortisol. Peningkatan kortisol
mempengaruhi peningkatan glukosa darah melalui
glukoneogenesis, katabolisme protein dan lemak. Selain itu
kortisol juga dapat menginhibisi ambilan glukosa oleh sel
tubuh.

2.3.5 Manifestasi Klinis Diabetes Mellitus


Faisalado Candra Widyanto & Cecep Tribowo (2013) menjelaskan
bahwa tanda & gejala Diabetes Mellitus antara lain:
2.3.5.1 Glikosuria
Yaitu kehilangan glukosa dalam urine karena ambang ginjal
untuk meabsorbsi glukosa membesar.
31

2.3.5.2 Poliuria
Yaitu kehilangan natrium dan air dalam jumlah besar pada
urine karena tekanan osmotik yang dibentuk oleh glukosa
berlebih dalam tubulus ginjal yang dapat mengurangi
reabsorbsi air.
2.3.5.3 Polidipsia
Yaitu perasaan haus dengan konsumsi air yang berlebihan
yang terjadi karna penurunan volume darah mengaktivasi
pusat haus di hipotalamus.
2.3.5.4 Polifagia
Yaitu nafsu makan besar dan lahap yang terjadi karena
kekurangan karbohidrat dalam sel-sel tubuh.
2.3.5.5 Ketonemia dan Ketonuria
Yaitu penumpukan asam lemak dan keton dalam darah dan
urine yang terjadi akibat katabolisme abnormal lemak
sebagai sumber energi
Gejala lain yang mungkin timbul adalah kesemutan, gatal
atau bisul, penglihatan kabur, rasa tebal dikulit dan
gangguan fungsi seksual.

2.3.6 Pemeriksaan Penunjang Diabetes Mellitus


Sudoyo dkk (2009) dalam Amin Huda & Hardhi Kusuma, (2016)
menjelaskan pemeriksaan penunjang DM untuk menegakkan
diagnosis dapat dilakukan dengan:
2.3.6.1 Pemeriksaan Kadar Glukosa Darah
Tabel 2.1 Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa dengan
metode enzimatik sebagai patokan penyaring.

Kadar Glukosa Darah Sewaktu (mg/dl)


Kadar Glukosa Darah Sewaktu DM Belum Pasti DM
Plasma Vena >200 100-200
Darah Kapiler >200 80-100
Kadar Glukosa Darah Puasa (mg/dl)
Kadar Glukosa Darah Puasa DM Belum Pasti DM
Plasma Vena >120 110-120
Darah Kapiler >110 90-110
32

2.3.6.2 Kriteria Diagnostik WHO (Paling sedikit 2x pemeriksaan)


a. Glukosa plasma sewaktu >200 mg/dl (11,1 mmol/L)
b. Glukosa plasma puasa >140 mg/dl (7,8 mmol/L)
c. Glukosa plasma dari sampel diambil 2 jam kemudian
sesudah mengkonsumsi 75 gr karbohidrat (2 jam post
pradial (pp) >200 mg/dl).

2.3.7 Tes Laboratorium


Jenis tes pada pasien DM dapat berupa tes saring, terdiagnostik, tes
pemantauan terapi dan tes untuk mendeteksi komplikasi.
2.3.7.1 Mikroalbuminuria: Urin
2.3.7.2 Ureum, Kreatinin, Asam Urat
2.3.7.3 Kolestrol Total: Plasma Vena (puasa)
2.3.7.4 Kolestrol LDL: Plasma Vena (puasa)
2.3.7.5 Kolestrol HDL: Plasma Vena (puasa)
2.3.7.6 Trigliserida: Plasma Vena (puasa)

2.3.8 Komplikasi Diabetes Mellitus


Menurut Black & Hawks (2005); Smeltzer, et.al (2008) dalam Santi
Damayanti: 2015, mengklasifikasikan Diabetes Mellitus menjadi 2
kelompok besar, yaitu:
2.3.8.1 Akut
Terjadi akibat ketidaksinambungan akut kadar glukosa
darah, yaitu: hipoglikemia, diabetik ketoasidosis dan
hiperglikemia hiperosmolar non ketosis. Hipoglikemia
merupakan komplikasi akut Diabetes Mellitus yang dapat
terjadi secara berulang dan dapat memperberat penyakit
Diabetes bahkan menyebabkan kematian.
Berdasarkan penjelasan di atas, hipoglikemia diabetik dapat
dibagi menjadi 4 kriteria, antara lain:
33

a. Hipoglikemia Ringan
Simptomatik, dapat di atasi sendiri, tidak ada gangguan
aktivitas sehari-hari yang nyata.
b. Hipoglikemia Sedang
Simptomatik dapat di atasi sendiri, dan menimbulkan
gangguan aktivitas sehari-hari yang nyata.
c. Hipoglikemia Berat
Sering (tidak selalu) tidak simptomatik, gangguan
kognitif. Pasien tidak mampu mengatasi sendiri
(bahkan di sertai koma atau kejang).
Maka dalam hal seperti pasien membutuhkan:
1. Membutuhkan bantuan orang lain
2. Memerlukan terapi parenteral

2.3.8.2 Kronis
Faisalado Candra Widyanto & Cecep Tribowo (2013) membagi
komplikasi kronis menjadi 2 bagian, yaitu:
a. Mikrovaskuler
1. Penyakit Ginjal
Salah satu akibat utama dari perubahan mikrovaskuler
adalah perubahan pada struktural dan fungsi ginjal. Bila
kadar glukosa dalam darah meningkat, maka mekanisme
filtrasi ginjal akan mengalami stres yang menyebabkan
kebocoran protein dalam darah urine.
2. Penyakit Mata
Penderita Diabetes Mellitus akan mengalami gejala
penglihatan sampai kebutaan, keluhan penglihatan kabur
tidak selalu disebabkan neuropati. Katarak disebabkan
karena hiperglikmia yang berkepanjangan menyebabkan
pembengkakan lensa dan kerusakan lensa.
34

3. Neuropati
Diabetes Mellitus dapat mempengaruhi saraf-saraf
perifer, sistem saraf otonom medulla spinallis atau
sistem saraf pusat. Akumulasi sorbitol dan perubahan-
perubahan metabolik lain dalam sintesa fungsi nyein
yang dikaitkan dengan hiperglikemia dapat menimbulkan
perubahan kondisi saraf.
b. Makrovaskuler
1. Penyakit Jantung Koroner
Kelainan fungsi jantung yang diakibatkan Diabetes
Mellitus maka terjadi penurunan kerja jantung untuk
memompakan darah ke seluruh tubuh sehingga tekanan
darah akan meningkat. Lemak yang menumpuk dalam
pembuluh darah menyebabkan mengerasnya arteri
(arteriosclerosis) dengan resiko penderita jantung
koroner atau stroke.
2. Pembuluh Darah Kaki
Hal ini timbul karena adanya anestesis fungsi saraf-saraf
sensorik. Keadaan ini menyebabkan gangren infeksi
dimulai dari celah-celah kulit yang mengalami
hipertropi, padaa sel-sel kuku kaki yang menebal dan
halus demikian juga daerah-daerah yang terkena trauma.
3. Pembuluh Darah Ke Otak
Pada pembuluh darah otak dapat terjadi penyumbatan
sehingga suplaay darah ke otak menurun.

2.3.9 Penatalaksanaan Diabetes Mellitus


Penatalaksanaan Diabetes Mellitus bertujuan untuk mengurangi
gejala-gejala, mempertahankan berat badan ideal dengan mengatur
pola makan dan mencegah terjadinya komplikasi (Faisalado Candra
Widyanto & Cecep Triwibowo, 2013).
35

2.3.9.1 Manajemen Diet


Tujuan umum pelaksanaan diet pasien Diabetes Mellitus
yaitu untuk mencapai dan mempertahankan kadar glukosa
darah dan lipid mendekati normal, mempertahankan berat
badan ideal, mencegah komplikasi akut dan kronik, serta
meningkatkan kualitas hidup (Suyono, 2009 dalam Santi
Damayanti, 2015). Bagi pasien obesitas, penurunan berat
badan merupakan kunci dalam penanganan Diabetes
Mellitus. Penatalaksaan nutrisi dimulai dari menilai kondisi
pasien, salah satunya menilai status gizi. Penilaian status
gizi dengan menghitung Indeks Masa Tubuh (IMT)=
BB(kg)/ TB² (meter).

IMT = BB (kg) / TB (m²)

a. IMT Normal Wanita = 18,5 – 23,5


b. IMT Normal Pria = 22,5 – 25
c. BB Kurang = < 18,5

BB Lebih (Obesitas)

a. Resiko = 23,0 – 24,9


b. Obesitas I = 25,0 – 29,9
c. Obesitas II = > 30

Standar komposisi makanan untuk pasien Diabetes Mellitus


adalah:
a. Karbohidrat: 45-65%
b. Protein: 10-2-%
c. Lemak: 20-25%
d. Serat: 25g/dl
e. Garam dan pemanis digunakan
secukupnya.
36

2.3.9.2 Latihan Fisik


Manfaat latihan fisik yaitu untuk menurunkan kadar glukosa
darah dengan meningkatkan pengambilan glukosa oleh otot
dan memperbaiki pemakaian insulin, memperbaiki sirkulasi
darah dan tonus otot, mengubah kadar lemak darah yaitu
meningkatkan kadar HDL-kolesterol dan menurunkan kadar
trigliserida. Santoso (2006) menjelaskan bahwa salah satu
latihan fisik yang dianjurkan untuk pasien dengan Diabetes
Mellitus yaitu senam diabetic. Senam diabetic adalah senam
aerobic low impact dan ritmis dengan gerakan yang
menyenangkan, tidak membosankan dan dapat diikuti smua
kelompok umur sehingga menarik antusiasme keelompok
dalam klub-klub diabetes. Senam diabetes dapat
meningkatkan kebugaran jasmani dan nilai aerobik yang
optimal.
2.3.9.3 Pemantauan (Monitoring) Gula Darah
Pemantauan kadar glukosa darah mandiri atau self-monitoring
blood glucose (SMBG) memungkinkan untuk deteksi dan
mencegah hiperglikemia atau hipoglikemia dan pada akhirnya
akan mengurangi komplikasi diabetik jangka panjang.
Beberapa hal yang harus dimonitoring secara berkala adalah
glukosa darah, glukosa urine, keton darah, keton urine. Selain
itu juga pengkajian tambahan seperti cek berat badan secara
reguler, pemeriksaan fisik teratur, dan pendidikan tentang
diet, kemampuan monitoring diri, injeksi, pengetahuan umum
tentang Diabetes dan perubahan-perubahan dalam Diabetes.
2.3.9.4 Terapi Farmakologi
Terapi farmakologi untuk penderita Diabetes Mellitus salah
satunya adalah terapi insulin. Tujuan terapi insulin adalah
untuk menjaga kadar gula darah normal atau mendekati
normal. Pada Diabetes Mellitus tipe 2, insulin
terkadangdiperlukan sebagai terapi jangka panjang untuk
37

mengendalikan kadar glukosa darah jika dengan diet, latihan


fisik dan obat hipoglikmia oral (OHO) tidak dapat menjaga
gula darah dalam rentang normal. Berdasarkan cara kerja,
OHO terbagi menjadi 3 golongan:
a. Memicu Produksi Insulin
1. Sulfonilurea
Cara kerja obat ini merangsang sel β pankreas untuk
mengeluarkan insulin, jadi hanya bekerja pada bila
sel-sel β utuh. Obat ini juga mampu menghalangi
pengikatan insulin, mempertinggi kepekaan jaringan
terhadap insulin dan menekan pengeluaran glukogen.
Efek samping yang ditimbulkan adalah mual, muntah,
sakit kepala, vertigo dan demam. Selain itu dapat juga
terjadi dermatitis, pruritus, leopeni, trombositopeni,
dan anemia. Kontraindikasi pemberian obat golongan
ini adalah pada penyakit hati, ginjal dan typoid
(Faisalado & Candra, 2013).
2. Golongan Glinid
Meglitinide merupakan bagian dari kelompok yang
meningkatkan produksi insulin (selain sulfonilurea).
Maka dari itu ia membutuhkan sel β yang masih
berfungsi baik. Repaglinid dan Nataglinid termasuk
dalam kelompok ini, mempunyai efek kerja cepat,
lama kerja sebentar, dan digunakan untuk mengontrol
kadar glukosa darah setelah makan.

b. Meningkatkan Kerja Insulin (Sensitivitas Terhadap


Insulin)
1. Biguanid
Golongan biguanid tidak sama dengan sulfonilurea
karena tidak merangsang sekresi insulin. Biguanid
menurunkan kadar glukosa darah menjadi normal dan
38

istimewanya tidak menyebabkan hipoglikemia. Efek


samping penggunaan obat ini adalah nausea, muntah,
dan diare.
2. Tiazolidinedion
Obat golongan ini memperbaiki kadar glukosa darah
dan menurunkan hiperinsulinaeia (tingginya kadar
insulin) dengan meningkatkan kerja insulin. Obat
golongan ini juga menurunkan kadar trigliserida asam
lemak bebas.
3. Rosiglitazone (Avandia)
Efek samping obat ini dari obat golongan dapat berupa
bengkak di daerah perifer (misalnya kaki), yang
disebabkan oleh peningkatan volume cairan dalam
tubuh. Oleh karena itu obat ini tidak dapat diberikan
kepada penderita gagal jantung.
c. Penghambat Enzim Alfa Glukosidase
Penghambat kerja enzim alfa-glukosidase seperti
akarbose, menghambat penyerapan karbohidrat dengan
menghambat enzim disakarida di usus (enzim ini
bertanggung jawab dalam pencernaan karbohidrat). Obat
ini terutama menurunkan kadar glukosa darah setelah
makan. Efek sampingnya yaitu kembung, buang angin
dan diare. Supaya lebih efektif obat ini harus dikonsumsi
bersama dengan makanan bahkan obat ini sangat efektif
sebagai obat tunggal pada Diabetes tipe 2 dengan kadar
glukosa darah puasanya <200 mg/dl.
2.3.9.5 Pendidikan Kesehatan
Santi Damayanti (2015) Pendidikan kesehatan pada pasien
Diabetes Mellitus diperlukan karena penatalaksanaaan Diabetes
Mellitus memerlukan perilaku penanganan yang khusus seumur
hidup. Pasien tidak hanya belajar keterampilan untuk merawat
diri sendiri guna menghindari fluktuasi kadar glukosa darah
39

yang mendadak, tetapi juga harus memiliki perilaku preventif


dalam gaya hidup untuk menghindari komplikasi diabetik jangka
panjang. Pasien harus mengerti mengenai nutrisi, manfaat, dan
efek samping terapi, latihan, perkembangan penyakit, strategi
pncegahan, teknik pengontrolan gula darah dan penyesuaian
terhadap terapi. Sebagaimana yang dikemukakan Thiebaud, et.al
(2008) dalam Santi Damayanti, (2015) bahwa penatalaksanaan
Diabetes Mellitus adalah selama hidupnya pasien harus rutin
melakukan kunjungan ke dokter untuk melakukan pemeriksaan
laboratorium serial, pemeriksaan fisik, perawatan kaki,
melakukan diet, olahraga, serta mendapatkan pendidikan
kesehatan dalam upaya merawat Diabetes Mellitus secara
mandiri.

2.4 Kerangka Konsep


Berdasarkan paparan teori di atas, maka kerangka konsep yang peneliti
ajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Variabel Independen Variabel Dependen

Discharge Planning Sikap Kepatuhan Pasien Diabetes


Mellitus

Gambar 2.1 Kerangka Konsep Penelitian Hubungan Penatalaksanaan Discharge


Planning Dengan Sikap Kepatuhan Pasien Diabetes Mellitus Di RSUD Idaman
Banjarbaru Tahun 2018.

2.5 Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini adalah Hubungan antara Penatalaksanaan
Discharge Planning dengan Sikap Kepatuhan Pasien Diabetes Mellitus Di
RSUD Idaman Banjarbaru Tahun 2018.
40

Dari uraian konsep yang telah dipaparkan pada penelitian ini, maka hipotesis
yang peneliti gunakan adalah:
Ha: Ada Hubungan antara Penatalaksaan Discharge Planning dengan Sikap
Kepatuhan Pasien Diabetes Mellitus Di RSUD Idaman Banjarbaru Tahun
2018.

Anda mungkin juga menyukai