Anda di halaman 1dari 14

PSIKOLINGUISTIK

ANALISIS MAKNA FIGURATIF PUISI ANNABEL LEE


KARYA EDGAR ALLAN POE

Kelompok 2

Almira Ghassani Shabrina R. 15/389016/PSA/07870


Riris Sumarna 15/389048/PSA/07902
Thomas John Tanglaa 15/389052/PSA/07906

Linguistik Kelas B

PROGRAM STUDI S2 ILMU LINGUISTIK


FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2015
ANALISIS MAKNA FIGURATIF PUISI ANNABEL LEE
KARYA EDGAR ALLAN POE

Pendahuluan

Wundt, seperti yang dikutip dalam Chaer (2009: 14) menyatakan bahwa bahasa
adalah alat untuk melahirkan pikiran. Bahasa adalah media yang dipakai untuk melahirkan
segala perasaan, konsep maupun emosi. Leonard Bloomfield mendukung pendapat ini dengan
menyatakan bahwa bahasa merupakan penjelmaan dari adanya tekanan emosi yang sangat
kuat. Tekanan-tekanan emosi inilah, menurutnya, melahirkan ucapan-ucapan atau kalimat.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa bahasa atau kalimat yang dikeluarkan seseorang
mewakili pikiran, emosi dan perasaan orang tersebut. Bahasa merupakan wujud perilaku
manusia yang dapat ditangkap oleh panca indra.

Namun demikian, realitas sehari-hari menunjukkan bahwa dalam berkomunikasi


sering kita tidak mampu menangkap pikiran, konsep ataupun perasaan seseorang walaupun
kita telah mendengar ucapan atau kalimatnya dengan jelas. Fenomena ini menurut Chaer
(2010: 19) merupakan masalah dalam proses berkomunikasi yang lebih dikarenakan oleh
kurangnya kemampuan berbahasa kita, khususnya dalam menangkap makna.

Perlu diketahui bahwa tidak semua ucapan atau kalimat yang kita dengar mewakili
makna secara konseptual, yaitu makna literal yang diwakili rentetan kata-kata yang
menyusun kalimat tersebut. Makna sebuah tuturan atau kalimat tidak boleh dikacaukan
dengan apa yang ditunjukkannya. Miller dan Chomsky, seperti yang dikutip dalam Chaer
(2009: 23-24) menegaskan bahwa makna suatu ujaran bukanlah makna dari kata-kata yang
yang tersusun. Memahami makna suatu ujaran atau kalimat berarti memahami apa yang ada
dalam otak si penutur. Suatu ucapan atau kalimat itu sendiri memiliki dua aspek, yang oleh
Wundt dalam Chaer (2009: 14) disebut sebagai fenomena luar dan fenomena dalam.
Fenomena luar berupa citra bunyi, yaitu ucapan atau kalimat yang kita dengar, sedangkan
fenomena dalam adalah rentetan pikiran atau maksud dari si penutur.

Puisi sebagai bentuk karya sastra merupakan media penyampaian pikiran, konsep dan
emosi dari pengarangnya. Sebagai karya sastra, tentu saja puisi menggunakan gaya bahasa
yang berbeda dengan bahasa sehari-hari. Gaya bahasa dalam sebuah puisi seringkali
dipengaruhi oleh insting seni dan proses psikologis mental dari pengarangnya. Dengan
demikian, makna yang terkandung dalam kalimat-kalimat puisi adalah rentetan pikiran atau

2
maksud dari pengarang atau yang disebut oleh Wundt sebagai fenomena dalam. Oleh karena
itu untuk memahami maksud pikiran dan perasaan dari pengarang, kajian stilistika (gaya
bahasa) dan psikolinguistik perlu diterapkan guna mengungkapkan rentetan pikiran dan
perasaan yang telah diekspresikan dalam rentetan kalimat-kalimat puitis.

Tulisan ini bertujuan untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan dari pengarang
puisi Annabel Lee yaitu Edgar Allan Poe. Pikiran dan perasaaan ini merupakan cerminan atau
gambaran psikologis dari pengarang saat membuat puisi ini. Untuk mencapai tujuan ini
penulis melakukan analisis dengan menggunakan kajian bahasa dan pikiran, stilisitika, dan
konsep makna sebagai landasan teori.

Bahasa dan Pikiran

Proses suatu bahasa terbentuk dan diucapkan tidak lain adalah hasil dari hubungan
antara bahasa dan pikiran (language and mind). Saussure menyebutkan konsep bahasa dan
pikiran dengan parole dan langage. Parole adalah bahasa yang konkret yang keluar dari
mulut seorang pembicara (Chaer, 2009: 67). Karena wujudnya yang konkret maka parole
dapat didengar oleh lawan pembicara. Sedangkan langage adalah bahasa tertentu sebagai satu
sistem tertentu seperti bahasa Inggris atau bahasa Jawa (Simanjuntak via Chaer, 2009: 67).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa langage bersifat abstrak yang berupa pikiran
pembicara itu sendiri yang tidak dapat dipahami orang lain.

Terdapat berbagai pendapat mengenai hubungan antara bahasa dan pikiran oleh para
ahli itu sendiri, yakni apakah bahasa dan pikiran berjalan beriringan, apakah bahasa
mendahului pikiran ataukah pikiran yang mendahului bahasa. Humboldt, seorang sarjana
Jerman, menyatakan bahwa adanya ketergantungan pemikiran manusia pada bahasa.
Humboldt berpendapat substansi bahasa terdiri dari dua bagian yaitu bagian pertama berupa
bunyi-bunyi (lautform) sedangkan yang kedua berupa pikiran (indeenform) (Chaer, 2009:
52). Autform adalah bunyi-bunyi konkret dapat diamati dari luar, sedangkan indeenform
adalah pikiran-pikiran dari dalam pembicara yang masih abstrak dan belum terbentuk berupa
ujaran. Pendapat ini sedikit mempunyai persamaan dengan pendapat Saussure mengenai
konsep parole dan langage.

Pendapat lain dikemukakan oleh Whorf (1897-1941) yang menyatakan bahwa bahasa
merupakan cara-cara pernyataan pikiran yang sejajar dan saling dapat diterjemahkan satu
sama lain (Whorf via Chaer, 2009: 5). Terkait dari pendapat Whorf dapat disimpulkan bahwa

3
bahasa mendahului pikiran. Selain itu Whorf juga menyatakan bahwa sistem tata bahasa
suatu bahasa bukan hanya merupakan alat untuk menyuarakan ide-ide, tetapi juga merupakan
pembentuk dari ide-ide itu sendiri dan juga sebagai program mental pembentuk mental
seseorang. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tata bahasalah yang menentukan jalan
pikiran seseorang (Simanjuntak, 1987).

Lain halnya dengan Humboldt dan Whorf, Piaget seorang sarjana Perancis
mengemukakan bahwa pikiranlah yang mendahului bahasa; tanpa pikiran bahasa tidak akan
ada. Pikiranlah yang menentukan aspek-aspek sintaksis, semantik dan fonologi dari suatu
bahasa, sehingga tanpa pikiran aspek kebahasaan tidak dapat terbentuk. Pendapat lain
mengenai hubungan antara bahasa dan pikiran juga dikemukakan oleh ilmuan lain seperti
Chomsky, Brunner dan Lenneberg. Nampaknya teori-teori yang dikemukakan para ahli
tersebut mengalami tumpang tindih. Akhirnya, dari berbagai pendapat tersebut teori
Brunnerlah yang menempatkan posisi yang dianggap hampir benar, dimana bahasa dan
pikiran tersebut berjalan secara beriringan. Brunner menyebutkan bahwa bahasa dapat
membantu pemikiran manusia supaya dapat lebih berfikir secara sistematis (via Chaer, 2009:
59). Dengan demikian bahasa dan pikiran merupakan alat yang digunakan untuk
menunjukkan aksi. Aksi-aksi tersebut dapat berupa berkomunikasi, menyampaikan gagasan
atau ide, menyampaikan ataupun menunjukkan perasaan yang dialami oleh seseorang. Aksi-
aksi tersebut pada dasarnya mengacu pada susunan sebagai berikut :

Berdasarkan bagan diatas, aksi-aksi tersebut terdiri dari dua bentuk, yaitu verbal dan
non verbal. Aksi penyampaian verbal dapat dilakukan dengan berbicara langsung terhadap
lawan berbicara, bernyanyi, berpidato dan lain-lain. Adapun aksi penyampaian non-verbal

4
dapat berupa surat ataupun bentuk-bentuk karya seni yang berupa karya sastra seperti
puisi,prosa, novel, pantun dan lain-lain.

Stilistika

Setiap pengarang tentu memiliki gaya bahasa tertentu sebagai realisasi dari ekspresi
atas pemikiran dan perasaan mereka. Gaya bahasa seorang pengarang selain dipengaruhi oleh
keartistikan mereka, juga dipengaruhi oleh proses psikologis sehingga mereka bisa
memproduksi gaya bahasa tertentu. Kajian mengenai gaya bahasa tersebut merupakah salah
satu ranah dari kajian stilistika.

Menurut Leech (1969: 20), stilistika adalah pendekatan linguistik terhadap karya
sastra yang menjelaskan hubungan antara bahasa dan fungsi artistiknya dengan mengungkap
lebih kepada ‘mengapa’ dan ‘bagaimana’ dibandingkan dengan ‘apa’. Oleh karena itu, ranah
kajian stilistika dapat digunakan dalam mendukung analisis psikolinguistik seorang
pengarang dalam menggunakan bahasa dalam karya sastranya mengenai apa yang ingin ia
sampaikan dan ekspresikan dan implikasi apa yang terkandung dalam gaya bahasa yang ia
gunakan.

Spesifikasi dari kajian stilistika ini yaitu pada individual style study yaitu kajian
mengenai gaya bahasa seorang pengarang secara individu yaitu korelasi antara konsep kreatif
yang ia bangun dengan bahasa yang digunakan dalam karyanya, dan juga stylistics of
decoding dimana pengarang berperan sebagai encoder, bahasa yang ia gunakan sebagai code
atau informasi yang dibentuk dalam suatu pesan dan juga pembaca sebagai decoder.

Oleh karena itu, gaya bahasa yang digunakan oleh pengarang sangatlah penting dalam
kajian ini karena memiliki fungsi sebagai gambaran dari pikiran dan emosi pengarang yang
dituangkan dalam bentuk bahasa dalam teks dengan berbagai piranti dan fitur linguistik
dalam karya sastra yang tidak hanya sebagai ornamen semata. Hal ini berkaitan dengan
kondisi psikologi pengarang karena proses menulis karya tersebut merupakan proses dari
imitasi atau reduplikasi serta refleksi dari pemikiran dan emosinya ke dalam berbagai macam
penggunaan fitur linguistik yang mencadi ciri khas dari gaya bahasanya.

Konsep Makna: Konotatif, Afektif dan Kiasan

Makna konotatif (connotative meaning) muncul sebagai akibat asosiasi perasaan


pemakai bahasa terhadap kata yang didengar atau dibaca (Pateda, 2010: 112). Makna

5
konotatif merupakan pergeseran makna leksikal. Kata amplop bermakna sampul yang
berfungsi sebagai tempat mengisi surat bisa bermakna konotatif jika muncul dalam kalimat
berilah ia amplop agar urusanmu segera selesai. Kata amplop dalam kalimat ini bermakna
uang pelicin atau uang sogok, bukan sampul. Contoh lainnya dapat dilihat dalam kalimat 1)
Ban mobil saya bocor dan 2) Mulut perempuan itu bocor. Kata bocor dalam kalimat 1)
bermakna denotatif yaitu berlubang, sementara bocor dalam kalimat 2) bermakna konotatif
yaitu tidak bisa menyimpan rahasia.

Makna afektif (affective meaning) merupakan makna yang muncul akibat reaksi
pendengar atau pembaca terhadap penggunaan kata atau kalimat (Pateda, 2010: 96). Makna
ini berhubungan dengan rasa sehingga secara tidak langsung berkiatan juga dengan gaya
bahasa. Sesorang berkata Datanglah ke pondok kecil kami. Frasa pondok kecil mengandung
makna afektif yakni merendahkan diri. Di sini terlihat bahwa makna afektif berhubungan
dengan perasaan pendengar atau pembaca setelah mendengar atau membaca sesuatu. Penulis
karya sastra seringkali memilih kata-kata yang mengandung makna afektif sehingga pembaca
terharu, jengkel, sedih, gembira atau tertawa membaca karya sastra tersebut.

Makna kiasan (figurative meaning) menurut Kridalaksana (1982: 103) adalah


pemakaian kata yang maknanya tidak sebenarnya. Makna kiasan tidak sesuai lagi dengan
konsep yang terdapat dalam kata tersebut. Makna kiasan banyak terdapat di dalam idiom,
peribahasa, dan ungkapan. Kata bintang yang bermakna sesuatu di langit yang berkelip-kelip
di malam hari mengambil makna kiasan dalam frasa-frasa seperti bintang lapangan, bintang
film, bintang sinetron, dan lain-lain.

Analisis Puisi Annabel Lee Karya Edgar Allan Poe

Annabel Lee adalah puisi terakhir yang dengan lengkap dikarang oleh Edgar Allan
Poe, seorang penyair Amerika. Walaupun telah dituliskan beberapa waktu sebelumnya, puisi
tersebut dipublikasikan beberapa waktu setelah kematian Poe pada tanggal 7 Oktober 1849.
Selain berkecimpung di dunia sastra khususnya puisi dan cerita pendek, Edgar Allan Poe
yang lahir pada 19 Januari 1809 merupakan penulis, editor, dan juga kritikus sastra yang amat
terkenal pada masanya. Dia dikenal dengan genre misteri dan gotik dalam setiap karyanya.
Poe juga disebut sebagai pelopor dalam genre fiksi detektif (detective fiction) dan juga
dipandang berkontribusi dalam perkembangan awal genre fiksi ilmiah (science fiction).

6
Seperti kebanyakan puisi Poe yang lain, puisi Annabel Lee ini mengeksplorasi tema
kematian seorang gadis muda yang cantik. Narator dalam puisi ini jatuh cinta kepada Annabel
Lee ketika mereka masih sangat muda dan cinta mereka sangatlah kuat dan tidak tergoyahkan
sehingga para malaikat pun menjadi cemburu akan kekuatan cinta mereka. Narator (biasa
disebut juga dengan speaker atau persona dalam puisi) dalam puisi ini juga diceritakan tetap
mempertahankan cintanya bahkan setelah kepergian Annabel Lee. Siapa yang menjadi
inspirasi utama dalam pembuatan Annabel Lee masih menjadi perdebatan, namun kandidat
yang paling kredibel dan telah banyak disetujui oleh para ahli yaitu istri dari Edgar Allan Poe
itu sendiri, Virginia Eliza Clemm Poe. Banyak bukti kuat yang dipaparkan para ahli yang
mendukung klaim dan pendapat tersebut. Virginia adalah satu-satunya gadis yang Poe cintai
sedari muda, yang kemudian menjadi istrinya dan juga satu-satunya yang meninggal karena
sakit.

Virginia Eliza Clemm Poe dan Edgar Allan Poe merupakan saudara sepupu dan
mereka menikah ketika Virginia Clemm berusia tiga belas tahun dan Poe menginjak usia dua
puluh tujuh tahun. Sayangnya, setelah sebelas tahun usia pernikahan mereka, pada 30 Januari
1847, Virginia akhirnya meninggal di usia dua puluh empat tahun karena penyakit
tuberculosis yang telah ia derita selama lebih dari lima tahun. Penyakit dan kematian istrinya,
membuat dampak yang sangat signifikan terhadap Edgar Allan Poe. Dia menjadi depresi
berat dan menyebabkannya kecanduan alkohol. Perjuangan melawan penyakit dan kematian
Virginia diyakini mengilhami penulisan beberapa puisi dan prosa karya Poe, di mana
kematian seorang gadis muda menjadi ide utamanya, seperti pada Ligeia, The Raven, dan
juga Annabel Lee.

Puisi Annabel Lee ini terdiri dari enam stanza atau bait, dengan tiga stanza terdiri dari
enam bait, satu terdiri dari tujuh baris, dan dua stanza lainnya terdiri dari delapan baris
dengan pola rima yang sedikit berbeda satu sama lain. Walaupun puisi ini bukan termasuk
dalam kategori balada, Poe menganggap Annabel Lee sebagai balada karena puisi ini
menggunakan pengulangan kata dan frasa yang bertujuan untuk menciptakan efek merana
yang bisa dirasakan oleh para pembacanya. Selanjutnya analisis puisi Annabel Lee secara
lengkap dipaparkan sebagai berikut

7
Annabel Lee

Stanza 1 (baris 1 – 6)

It was many and many a year ago,


In a kingdom by the sea,
That a maiden there lived whom you may know
By the name of ANNABEL LEE;
And this maiden she lived with no other thought
Than to love and be loved by me.

Puisi ini dimulai dengan frasa yang mirip dengan awal cerita dongeng seperti ‘Once
upon a time’ yaitu pada ‘It was many and many a year ago, In a kingdom by the sea’. Poe
menggunakan frasa tersebut karena ia ingin mengawali narasi yang menceritakan tentang
kehidupan cintanya yang ia gambarkan seperti cerita dongeng. Selain itu, penulisan nama
ANNABEL LEE menggunakan huruf kapital memperlihatkan bahwa Annabel Lee tersebut
menjadi kata kunci dan topik utama yang sangat penting dalam puisi ini. Ia ingin menegaskan
bahwa cerita dongeng yang akan ia ceritakan adalah mengenai Annabel Lee dan juga betapa
besarnya cinta dan pemujaannya terhadap sosok Annabel Lee tersebut. Poe selanjutnya
menuliskan ‘And this maiden she lived with no other thought, Than to love and be loved by
me’ untuk menggambarkan bagaimana Annabel Lee hidup dengan cintanya, bagaimana Poe
mencurahkan segala cintanya kepada Annabel Lee dan begitu juga sebaliknya dengan
menggambarkan bahwa tidak ada hal lain yang terpikirkan selain mencintai dan dicintai.

Stanza 2 (baris 7 – 12)

I was a child and she was a child,


In this kingdom by the sea;
But we loved with a love that was more than love-
I and my Annabel Lee;
With a love that the winged seraphs of heaven
Coveted her and me.

Dalam stanza kedua, Poe mengungkapkan ‘I was a child and she was a child’ dan
‘But we loved with a love that was more than love’ untuk menunjukkan kemurnian dan
kekuatan cinta mereka walaupun nampak kekanak-kanakan. Frasa tersebut mendeskripsikan
emosi kekanakan dari Poe yang sejalan dengan idealisme pada masa Romantisisme. Pada

8
masa tersebut abad ke-18 dan 19, kedewasaan dianggap sebagai keburukan atau kerusakan
sementara kekanakan dipandang sebagai insting yang lebih murni dan tanpa cela. Sejalan
dengan perspektif tersebut, Poe menggambarkan cinta untuk Annabel Lee yang tumbuh
sedari kanak-kanak pada diri narator dalam puisinya lebih berharga dan lebih abadi daripada
cinta orang dewasa. Annabel Lee juga digambarkan lembah lembut dan persisten dalam
cintanya, dimana dia tidak mempunyai emosi yang kompleks yang dapat menggelapkan atau
mengkomplekskan cinta mereka. Pernyataan mengenai kemurnian cinta mereka pada stanza
kedua ini juga dipertegas pada stanza kelima.

Stanza 3 (baris 13 – 20)

And this was the reason that, long ago,


In this kingdom by the sea,
A wind blew out of a cloud, chilling
My beautiful Annabel Lee;
So that her highborn kinsman came
And bore her away from me,
To shut her up in a sepulchre
In this kingdom by the sea.

Stanza 4 (baris 21 – 26)

The angels, not half so happy in heaven,


Went envying her and me-
Yes!- that was the reason (as all men know,
In this kingdom by the sea)
That the wind came out of the cloud by night,
Chilling and killing my Annabel Lee

Stanza ketiga dan keempat berisi tragedi yang menimpa pengarang. Bersamaan dengan itu
kita juga bisa melihat reaksi emosional pengarang terhadap pihak-pihak yang telah
merenggut kebahagiaannya. Bahwa kekuatan dan kesucian cinta mereka seperti yang
tergambar dalam stanza kedua, menurut pengarang, menjadi alasan pihak-pihak lain
merampas Annabel Lee dari kehidupannya. Kalimat-kalimat “The angels, not half so happy
in heaven, Went envying her and me, Yes!- that was the reason (as all men know, In this
kingdom by the sea”, yang kemudian diikuti “That the wind came out of the cloud by night,

9
Chilling and killing my Annabel Lee” (stanza 4) menunjukkan perasaan marah dari
pengarang sekaligus mempersalahkan ‘tuhan’ yang telah merenggut kekasihnya Annabel Lee.
Perasaan marah tidak hanya kepada ‘tuhan’ tetapi juga ditujukan kepada orang-orang yang
disebut ‘highborn kinsman’ yang mewakili kelompok bangsawan. Lewat kalimat ‘So that her
highborn kinsman came, And bore her away from me, To shut her up in a sepulchre’,
pengarang juga menuduh mereka sebagai orang-orang yang menyebabkan kesengsaraan
orang lain. Hal ini mungkin juga sebagai protes sosial dimana bahwa di jaman itu pria atau
wanita biasa (diwakili tokoh ‘I’) tidak boleh bergaul, apalagi memiliki hubungan cinta
dengan pria atau wanita dari golongan bangsawan (diwakili tokoh ‘Annabel Lee’)

Stanza 5 (baris 27 – 33)

But our love it was stronger by far than the love


Of those who were older than we-
Of many far wiser than we-
And neither the angels in heaven above,
Nor the demons down under the sea,
Can ever dissever my soul from the soul
Of the beautiful Annabel Lee.

Walaupun, pada beberapa stanza sebelumnya, Poe menggambarkan ketidak relaannya


terhadap kematian Annabel Lee. Pada stanza kelima dia menunjukan optimismenya bahwa
cinta mereka lebih kuat dari apapun dan dari siapapun, serta tidak akan bisa terpisahkan
bahkan oleh para malaikat dan iblis. Jiwanya dan Annabel Lee diceritakan tidak akan bisa
terpisahkan oleh siapapun, menunjukkan keterikatan antara Poe dan istrinya sangat kuat.

Stanza 6 (baris 34 – 37)


For the moon never beams without bringing me dreams
Of the beautiful Annabel Lee;
And the stars never rise but I feel the bright eyes
Of the beautiful Annabel Lee;
And so, all the night-tide, I lie down by the side
Of my darling- my darling- my life and my bride,
In the sepulchre there by the sea,
In her tomb by the sounding sea.

10
Kemudian, pada stanza terakhir, menggambarkan kehilangan Poe akan istrinya namun
ia selalu merasakan bahwa istrinya selalu berada di dekatnya dengan menggambarkan ia
selalu memimpikan dan merasakan cerahnya mata dari Annabel Lee. Penggunaan kata ‘tomb’
pada stanza ini juga merupakan simbol. Simbol yaitu atribut dari sebuah objek yang
menyajikan ide rasional sebagai substitusi dari representasi logis (Childs dan Fowler, 2006:
232). Jika diinterpretasikan secara literal, narator mengunjungi makam Annabel Lee setiap
hari untuk berbaring menemaninya untuk menunjukkan cintanya. Akan tetapi, hal tersebut
juga dapat ditafsirkan bahwa narator tersebut juga akan meninggal tidak lama kemudian dan
akhirnya dapat bersatu kembali dengan Annabel Lee terkasihnya. Hal yang menjadi suatu
kebetulan adalah Edgar Allan Poe benar-benar meninggal dunia tidak lama setelah ia
menuliskan puisi ini di tahun yang sama.

Pengulangan frasa ‘Of the beautiful Annabel Lee’ secara konstan bukanlah tanpa
maksud dari pengarang puisi Annabel Lee ini. Hal ini menunjukkan bagaimana Poe selalu
memikirkan Annabel Lee dan bagaimana ia begitu terobsesi dan begitu cintanya kepada
Annabel Lee. Penggunaan bahasa figuratif ini menggambarkan betapa cantiknya Annabel Lee
dan narator digambarkan tidak dapat menemukan cela dan hanya melihat kecantikan dan
kebaikannya. Sementara itu, frasa ‘In this kingdom by the sea’ merupakan imagery yang
memberikan gambaran mengenai latar dari puisi yang diceritakan bagaikan dongeng ini.
Imagery merupakan gambaran mental yang biasanya membentuk keseluruhan konsep dari
semua komponen yang membentuk suatu puisi dengan tujuan menandai deskripsi spesifik
dari benda yang dapat terlihat secara nyata terutama jika deskripsi yang diberikan secara
khusus (Abrams, 1999: 121). Penggambaran ini dapat diasumsikan sebagai sebuah kastil di
tepi laut yang memberikan nuansa keindahan dan romantisme dalam puisi ini. Menurut Sova
(2001: 25), Poe menggunakan simbol ‘the sea’ untuk merepresentasikan memori dan
kenangan dan dikaitkan ke kehidupan narator dengan Annabel Lee. Sementara itu,
penggunaan ‘In this kingdom by the sea’ menurut Pifer (2003: 4) adalah untuk menyajikan
atmosfer romantis yang dideskripsikan dengan tempat yang terpagar dengan tembok atau
bahkan tidak terjangkau oleh narator. Oleh karena itu, penggunaan frasa tersebut untuk
menggambarkan memori indah dari pengarang yang hanya ia sendiri yang benar-benar paham
dan terjadi di suatu tempat atau situasi yang romantis yang selalu diingat dalam pikiran, hati
atau suatu tempat tersendiri yang eksklusif dibuat oleh pengarang khusus sebagai pengingat
memori indah dengan Annabel Lee. Akan tetapi, penggunaan frasa ‘In this kingdom by the
sea’ juga menyiratkan kesendirian dan kesunyian yang dialami oleh pengarang yang

11
ditinggalkan oleh istrinya. Menggambarkan suatu laut yang sangat luas dapat dipahami
sebagai suatu penggambaran kedamaian, namun hal tersebut juga menyiratkan keterasingan
karena dalam konteks ini, ‘the sea’ identik dengan kesepian, kekosongan, dan kehampaan.
Hal ini merupakan refleksi jiwa dari pengarang.

Poe menunjukkan betapa tragisnya kehilangan orang terkasihnya dengan


menyalahkan ‘seraphs of heaven’, ‘angels’ dan ‘demons’ sebagai pelaku yang merenggut
Annabel Lee darinya. Poe mengaitkan malaikat dengan iblis merupakan degaradasi yang
sangat jelas terlihat dan merupakan sebuah celaan terhadap malaikat yang dipandang sebagai
sosok makhluk yang suci dan tanpa dosa untuk menunjukkan betapa marah dan tidak
terimanya ia akan keadaan yang ia alami.

Tentu saja, penggunaan kata Annabel Lee juga merupakan simbol terbesar dalam puisi
ini yang sangat jelas merupakan gambaran dari sosok yang sangat dicintai oleh
pengarangnya, Edgar Allan Poe. Ia menggunakan nama Annabel Lee semata-mata karena
aspek estetisnya daripada jika ia menggunakan nama asli istrinya yaitu Virginia Clemm yang
akan lebih sulit dalam membentuk rima-rima indah pada puisinya.

Penggunaan narator orang pertama atau sudut pandang orang pertama (I) merupakan
penegasan bahwa semua yang digambarkan dalam puisi Annabel Lee secara implisit
merupakan refleksi dari pengalaman batin dari pengarang di kehidupan nyata. Selain itu,
penggunaan sudut pandang orang pertama juga bertujuan agar para pembaca lebih mendalami
dan memahami apa yang dirasakan oleh pengarang. Di samping itu, mereka juga diajak
masuk ke dalam dimensi imajinasi pengarang, seakan-akan mereka menjadi aktor utama
dalam perkembangan plot di puisi Annabel Lee ini.

Kesimpulan

Berdasarkan analisis kalimat-kalimat puisi Annabel Lee yang telah dilakukan di atas,
penulis mengambil kesimpulan bahwa secara garis besar ada tiga macam perasaan atau
pikiran yang ingin disampaikan oleh pengarang. Perasaan yang pertama adalah perasaan yang
penuh cinta dan bahagia. Pengarang sedang memuja cinta dan kekuatan cinta sebagai sesuatu
yang murni dan suci sekaligus ia ingin membuktikan bahwa cinta yang mereka miliki
mempunyai makna yang luhur. Hal ini terlihat pada kalimat-kalimat seperti ‘And this maiden
she lived with no other thought, Than to love and be loved by me’ (stanza 1) dan ‘I was a

12
child and she was a child, In this kingdom by the sea; But we loved with a love that was more
than love-‘ (stanza 2).

Hal kedua yang berkecamuk dalam pikiran pengarang adalah kemarahan dan frustasi
terhadap orang atau keadaan yang dianggap merenggut kehidupan bahagianya (cintanya).
Pengarang melakukan protes dan mempersalahkan pihak-pihak yang telah merenggut
kebahagiaanya. Hal ini ditunjukkan dalam kalimat-kalimat seperti The angels, not half so
happy in heaven, Went envying her and me-‘ (stanza 3) dan ‘That the wind came out of the
cloud by night, Chilling and killing my Annabel Lee’ (stanza 4).

Hal ketiga adalah sikap optimis dan komitmen pengarang untuk tidak mengalah dan
tetap mempertahankan cinta dan kebahagiannya. Perasaan pengarang tersebut direalisasikan
dalam kalimat-kalimat seperti, ‘And neither the angels in heaven above, Nor the demons
down under the sea, Can ever dissever my soul from the soul, Of the beautiful Annabel Lee’
(stanza 5) dan ‘For the moon never beams without bringing me dreams, Of the beautiful
Annabel Lee; And the stars never rise but I feel the bright eyes, Of the beautiful Annabel Lee’
(stanza 6).

Dari sini kita dapat melihat bahwa pikiran dan perasaan yang berkecamuk dalam diri
seorang pengarang melahirkan jenis pilihan kata dan kalimat yang sesuai atau mewakili
pikiran-pikiran dan perasaan tersebut.. Hal tersebut sesuai yang diutarakan oleh Wundt,
seperti yang dikutip dalam Chaer (2009: 14) yang menyatakan bahwa bahasa adalah alat
untuk melahirkan pikiran. Bahasa adalah media yang dipakai untuk melahirkan segala
perasaan, konsep maupun emosi.

Referensi

Abrams, M. H. 1999. A Glossary of Literary Terms (edisi VII). Boston: Heinle & Heinle,
Thomson Learning, Inc.
Chaer, Abdul. 2010. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Rineka Cipta: Jakarta.
___________. 2009. Psikolinguistik: Kajian Teoritik. Rineka Cipta: Jakarta.
Childs, Peter dan Roger Fowler. 2006. The Routledge Dictionary of Literary Terms (edisi II).
New York: Routledge.
Crystal, David. 1979. Investigating English Style. London: Longman.
Leech, Geoffrey N. 1969. A Linguistic Guide to English Poetry. London: Longman.

13
_______________. 1974. Semantics (diterjemahkan oleh Drs. Paina Partana, M.Hum.).
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
_______________ dan Mick Short. 2007. Style in Fiction: A Linguistic Introduction to
English Fictional Prose (edisi II). London: Longman.
Pateda, Mansoer. 2010. Semantik Leksikal. Jakarta: Rineka Cipta.
Pifer, Ellen. 2003. Vladimir Nobokov’s Lolita: A Casebook. Oxford: Oxford University
Press.
Sova, Dawn B. 2007. Critical Companion to Edgar Allan Poe: A Literary Reference to His
Life and Work. New York: Facts on File.

14

Anda mungkin juga menyukai