Anda di halaman 1dari 3

AEROTROPOLIS: TREND ATAU KEBUTUHAN ?

Transportasi udara sekarang sudah menjadi pilihan masyarakat untuk melakukan


pergerakan. Efisiensi waktu salah satunya yang menjadikan alasan masyarakat lebih memilih
menggunakan transportasi udara. Seiring berjalannya waktu, muncul konsep mengenai kota
bandara (airport city) yang merupakan awal terbentuknya konsep aerotropolis. Kota bandara
terbentuk karena banyaknya kegiatan usaha atau jasa komersial di sekitar kawasan bandara.
Pengembangan konsep aerotropolis ini mulai dikembangkan di Eropa dan Amerika
Serikat pada tahun 1990-an. Konsep pengembangan kawasan sekitar bandara dengan konsep
aerotropolis semakin banyak diimplementasikan di lokasi pengembangan bandara dunia.
Bahkan sudah menampakkan keberhasilannya pada beberapa negara.
Bandara-bandara dunia yang telah berhasil menerapkan konsep aerotropolis
diantaranya Amsterdam Airport Schipol di Belanda, Piedmot Triad Internasional Airport di
Amerika Serikat, Incheon International Airport di kota New Songdo Korea Selatan, Shenzen
China, Dubai airport di Dubai, dan Schipol Airport di Eropa. Beberapa bandara di atas menjadi
percontohan dalam menerapkan konsep aerotropolis yang atraktif, fungsional dan
berkelanjutan. Bandara-bandara tersebut mampu mengintegrasikan kota, bandara, dan kawasan
bisnis.
Seperti yang ada di Belanda, konsep aerotropolis dikembangkan didekat bandara
Schiphol Amsterdam yang membentuk distrik bisnis Zuidas. Bebagai macam perusahaan skala
global berkantor di distrik Zuidas. Hal ini menarik munculnya tempat-tempat hiburan, café,
mall, dan restoran. Sehingga membuka lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat. Selain itu,
wilayah ini juga menyediakan kawasan hunian pegawai perusahaan yang bekerja di distrik
Zuidas.
Keberhasilan dalam penerapan konsep aerotropolis ini membuat pemerintah Indonesia
tertarik untuk mengembangkan konsep aerotropolis. Pemerintah Indonesia mulai mengadopsi
konsep aerotropolis untuk beberapa lokasi bandara baik yang sudah beroperasi maupun
bandara baru yang sedang dibangun. Beberapa bandara tersebut diantaranya Yogyakarta
Internasional Airport yang terletak di Kabupaten Kulon Progo, Kualanamu International
Airport di Deli di Sumatera Utara, Soekarno-Hatta Internasional Airport di Banten, dan
Sepingan Internasional Airport di Balikpapan.
Pengembangan konsep aerotropolis di Indonesia diadopsi dalam pengembangan
wilayah. Pengembangan gaya aerotropolis ini disebut sebagai “mesin ekonomi” yang
membangkitkan pertumbuhan wilayah bahkan dapat menimbulkan spreed effect bagi wilayah
sekitarnya. Dengan diterapkan konsep ini, baik itu masyarakat lokal maupun pengunjung dapat
dengan mudah mengakses semua kebutuhan, karena dalam konsep aerotropolis ini sarana dan
prasarana terkonsentrasi dalam satu lokasi dan saling terintegrasi satu dengan yang lainnya.
Selain itu, efek sebaran ekonomi dari pengembangan aerotropolis diharapkan juga dapat
meningkatkan perekonomian dan kesejahtaraan bagi masyarakat yang tinggal di kawasan
aerotropolis tersebut.
Pembangunan dengan konsep aerotropolis yang digadang akan memberikan dampak
positif bagi perkembangan wilayah tidak serta merta dapat diimplementasikan di suatu
wilayah. Akan tetapi terdapat berbagai aspek lain yang perlu dipertimbangkan. Hal ini lah yang
menimbulkan berbagai kontra di masyarakat terkait pengembangan kota berbasis bandara ini.
Bahkan terdapat artikel yang meluncurkan Gerakan Global Anti Aerotropolis (GGAA).
Gerakan ini menilai bahwa pengembangan aerotropolis hanya akan memberikan dampak
pertumbuhan ekonomi yang hanya akan dirasakan oleh perusahaan besar. Sedangkan
perusahaan kecil dan menengah akan terpinggirkan. Hal ini karena perkembangannya lebih
mengarah pada pertumbuhan dan keuntungan perusahaan-perusahaan besar seperti produsen
pesawat, penerbangan, kontruksi, pariwisata internasional, hotel, ritel global, dan lain-lain.
Selain itu, konsep aerotropolis juga dianggap sebagai mega proyek yang merusak.
Salah satu negara yang menerapkan konsep aerotropolis adalah Istanbul. Dalam proyek
pembangunan bandara berkonsepkan aerotropolis telah menghancurkan hutan dan pantai utara
kota yang digunakan untuk pembangunan jembatan di atas Bosphorus, jalan raya dan kanal
yang menghubungkan Laut Hitam dengan Laut Marmara dengan luas 53.000 m2.
Kehilangan lahan pertanian, hutan dan habitat satwa liar menjadikan GGAA menolak
akan pengembangan bandara dengan konsep aerotropolis. Pembangunan besar-besaran di atas
lahan besar di daerah pertanian mengakibatkan penggusuran masyarakat pedesaan, hilangnya
tanah subur dan produksi pangan dan mengikis kedaulatan pangan di wilayah yang lebih luas.
Situs lahan hijau yang tidak ditanami cenderung menjadi habitat satwa liar termasuk hutan,
sehingga konstruksi mengancam kerugian besar keanekaragaman hayati dan deforestasi.
Proyek Aerotropolis juga meningkatkan kerusakan lingkungan lokal yang ditimpakan pada
masyarakat dan lingkungan sekitar bandara, kebisingan dan kerusakan kesehatan akibat
polutan yang dipancarkan oleh pesawat hingga tambahan polusi udara dari tinggi lalu-lintas
jalan.
Berdasarkan dualisme pandangan di atas, seharunya pengembangan aerotropolis tidak
hanya menjadi pilihan pengembangan kawasan yang dipilih berdasarkan trend semata. Akan
tetapi benar-benar harus mempertimbangkan dampak positif dan negatif yang akan diterima
baik pada masyarakat maupun lingkungan. Konsep ini juga tidak serta merta diadopsi, akan
tetapi juga perlu mempertimbangkan aspek-aspek kearifan lokal pada wilayah yang dipilih
nantinya. Sehingga apabila konsep ini dipilih sebagai konsep pengembangan suatu kota, aspek
–aspek keberlanjutan meliputi masyarakat, ekonomi, dan lingkungannya tetap dapat terjaga.

“The progress of the state is not only seen from physical development, the most important
thing is how to make the community prosperous and empowered” (IPI/KP).

Sumber: aerotropolis.com; beritabumi.or.id; kompas.com

Anda mungkin juga menyukai