Abstrak
Pendahuluan
1
Pencitraan wilayah muncul ketika suatu wilayah menjadi terkenal karena produk
kreatif yang dihasilkannya. Sebagai contoh, Kota Bandung yang saat ini terkenal
karena distro dan factory outlet-nya. Dalam konteks yang lebih luas, pencitraan
wilayah dengan menggunakan ekonomi kreatif juga terkoneksi dengan berbagai
sektor, di antaranya sektor wisata.
Definisi ekonomi kreatif hinggga saat ini masih belum dapat dirumuskan
secara jelas. Kreatifitas, yang menjadi unsur vital dalam ekonomi kreatif sendiri
masih sulit untuk dibedakan apakah sebagai proses atau karakter bawaan manusia.
Departemen Perdagangan Republik Indonesia (2008) merumuskan ekonomi kreatif
sebagai upaya pembangunan ekonomi secara berkelanjutan melalui kreativitas
dengan iklim perekonomian yang berdaya saing dan memiliki cadangan sumber
daya yang terbarukan. Definisi yang lebih jelas disampaikan oleh UNDP (2008) yang
merumuskan bahwa ekonomi kreatif merupakan bagian integratif dari pengetahuan
yang bersifat inovatif, pemanfaatan teknologi secara kreatif, dan budaya. Seperti
dijelaskan pada Gambar 1.
2
adalah industri kreatif berupa distro yang sengaja memproduksi desain produk dalam
jumlah kecil. Hal tersebut lebih memunculkan kesan eksklusifitas bagi konsumen
sehingga produk distro menjadi layak untuk dibeli dan bahkan dikoleksi. Hal yang
sama juga berlaku untuk produk garmen kreatif lainnya, seperti Dagadu dari Jogja
atau Joger dari Bali. Kedua industri kreatif tersebut tidak berproduksi dalam jumlah
besar namun ekslusifitas dan kerativitas desain produknya digemari konsumen.
Walaupun tidak menghasilkan produk dalam jumlah banyak, industri kreatif
mampu memberikan kontribusi positif yang cukup signifikan terhadap perekonomian
nasional. Depertemen Perdagangan (2008) mencatat bahwa kontribusi industri
kreatif terhadap PDB di tahun 2002 hingga 2006 rata-rata mencapai 6,3% atau
setara dengan 152,5 trilyun jika dirupiahkan. Industri kreatif juga sanggup menyerap
tenaga kerja hingga 5,4 juta dengan tingkat partisipasi 5,8%. Dari segi ekspor,
industri kreatif telah membukukan total ekspor 10,6% antara tahun 2002 hingga
2006.
Merujuk pada angka-angka tersebut di atas, ekonomi kreatif sangat potensial
dan penting untuk dikembangkan di Indonesia. Dr. Mari Elka Pangestu dalam
Konvensi Pengembangan Ekonomi Kreatif 2009-2015 menyebutkan beberapa
alasan mengapa industri kreatif perlu dikembangkan di Indonesia, antara lain :
1. Memberikan kontibusi ekonomi yang signifikan
2. Menciptakan iklimbisnis yang positif
3. Membangun citra dan identitas bangsa
4. Berbasis kepada sumber daya yang terbarukan
5. Menciptakan inovasi dan kreativitas yang merupakan keunggulan kompetitif
suatu bangsa
6. Memberikan dampak sosial yang positif
Salah satu alasan dari pengembangan industri kreatif adalah adanya dampak positif
yang akan berpengaruh pada kehidupan sosial, iklim bisnis, peningkatan ekonomi,
dan juga berdampak para citra suatu kawasan tersebut.
Dalam konteks pengembangan ekonomi kreatif pada kota-kota di Indonesia,
industri kreatif lebih berpotensi untuk berkembang pada kota-kota besar atau kota-
kota yang telah “dikenal”. Hal ini terkait dengan ketersediaan sumber daya manusia
yang handal dan juga tersedianya jaringan pemasaran yang lebih baik dibanding
kota-kota kecil. Namun demikian, hal itu tidak menutup kemungkinan kota-kota kecil
di Indonesia untuk mengembangkan ekonomi kreatif. Bagi kota-kota kecil, strategi
pengembangan ekonomi kreatif dapat dilakukan dengan memanfaatkan landmark
kota atau kegiatan sosial seperti festival sebagai venue untuk mengenalkan produk
khas daerah (Susan, 2004). Salah satu contoh yang cukup berhasil menerapkan
strategi ini adalah Jember dengan Jember Fashion Carnival. Festival yang digelar
satu tahun sekali tersebut mampu menarik sejumlah turis untuk berkunjung dan
melihat potensi industri kreatif yang ada di Jember.
Bertolak dari kasus Jember dengan Jember Fashion Carnival, sejatinya
sejumlah kota di Indonesia berpotensi untuk mengembangkan ekonomi kreatif.
Indonesia dikenal sebagai negara dengan banyak suku bangsa dan budaya. Sebuah
kota dapat merepresentasikan budayanya melalui cara-cara yang unik, inovatif, dan
kreatif. Pada gilirannya, pengembangan ekonomi kreatif tersebut juga akan
berdampak pada perbaikan lingkungan kota, baik secara estetis ataupun kualitas
lingkungan.
3
tujuan tujuan lainnya (UNESCO, 2009). Sedangkan menurut UU No.10/2009 tentang
Kepariwisataan, yang dimaksud dengan pariwisata adalah berbagai macam kegiatan
wisata dan didukung oleh berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan
masyarakat, pengusaha, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah. Seseorang atau lebih
yang melakukan perjalanan wisata serta melakukan kegiatan yang terkait dengan
wisata disebut Wisatawan. Wisatawan dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu
wisatawan nusantara dan wisatawan mancanegara. Wisatawan nusantara adalah
wisatawan warga negara Indonesia yang melakukan perjalanan wisata sementara
wisatawan mancanegara ditujukan bagi wisatawan warga negara asing yang
melakukan perjalanan wisata.
Untuk mengembangkan kegiatan wisata, daerah tujuan wisata setidaknya
harus memiliki komponen-komponen sebagai berikut (UNESCO, 2009) :
1. Obyek/atraksi dan daya tarik wisata
2. Transportasi dan infrastruktur
3. Akomodasi (tempat menginap)
4. Usaha makanan dan minuman
5. Jasa pendukung lainnya (hal-hal yang mendukung kelancaran berwisata
misalnya biro perjalanan yang mengatur perjalanan wisatawan, penjualan
cindera mata, informasi, jasa pemandu, kantor pos, bank, sarana penukaran
uang, internet, wartel, tempat penjualan pulsa, salon, dll)
4
New Zealand mengadakan paket wisata berikut pelatihan kerajinan tanah liat,
pelatihan membuat kerajinan perak, dan pembuatan anggur (wine). Dalam paket
wisata tersebut, wisatawan dapat berpartisipasi aktif dan membawa pulang hasil
kerajinannya sebagai memorabilia pribadi (Yozcu dan İçöz, 2010). Sementara
Singapura mengembangkan ekonomi kreatif melalui pusat perbelanjaan sehingga
dikenal sebagai daerah tujuan wisata belanja (Ooi, 2006).
Dalam pengembangan ekonomi kreatif melalui sektor wisata yang dijelaskan
lebih lanjut oleh Yozcu dan İçöz (2010), kreativitas akan merangsang daerah tujuan
wisata untuk menciptakan produk-produk inovatif yang akan memberi nilai tambah
dan daya saing yang lebih tinggi dibanding dengan daerah tujuan wisata lainnya.
Dari sisi wisatawan, mereka akan merasa lebih tertarik untuk berkunjung ke daerah
wisata yang memiliki produk khas untuk kemudian dibawa pulang sebagai souvenir.
Di sisi lain, produk-produk kreatif tersebut secara tidak langsung akan melibatkan
individual dan pengusaha enterprise bersentuhan dengan sektor budaya.
Persentuhan tersebut akan membawa dampak positif pada upaya pelestarian
budaya dan sekaligus peningkatan ekonomi serta estetika lokasi wisata. Contoh
bentuk pengembangan ekonomi kreatif sebagai penggerak sektor wisata dapat dilihat
pada Tabel 1.
5
Pada hakikatnya, hampir sebagian besar kota/kabupaten di Indonesia
memiliki potensi untuk mengembangkan ekonomi kreatif sebagai penggerak sektor
wisata. Kota/kabupaten di Indonesia memiliki daya tarik wisata yang berbeda untuk
dapat diolah menjadi ekonomi kreatif. Purworejo, sebagai salah satu kota tertua di
Indonesia, memiliki potensi yang cukup besar untuk pengembangan ekonomi kreatif.
Alun-alun Purworejo dengan sentra kuliner dan bedug sebagai atraksi wisata
membutuhkan sentuhan kreatifitas, di antaranya dengan menciptakan souvenir khas
Purworejo. Potensi kerajinan di Kabupaten Purworejo dapat dilihat pada Tabel 2.
Sementara menurut hasil survei potensi wisata yang dilakukan pada bulan
April 2004 berhasil mengidentifikasi sejumlah aset wisata yang dimiliki oleh
Purworejo, yaitu :
1. Aset Bangunan Bersejarah : Mesjid Kauman, Gereja, Bangunan Kawasan
Pusat Kota (Stasiun-SPG/SMU-2), Kerkop, dan Benteng Pendem.
2. Aset Wisata Spiritual/Makam : Cokro Negoro, Gagak Handoko, Romo
Sumono, Imampuro, Gagak Pranolo, Nyai Bagelen, dan Mesjid Satren.
6
3. Aset Wisata Pahlawan : Taman Makam Pahlawan, A. Yani,
Sarwo Edhi, Urip Sumoharjo, dan WR Supratman
7
Gambar 2: Bagan Model Sinergitas Stakeholders Ekonomi Kreatif Sub-Sektor
Kerajinan (sumber: Departemeni Perdagangan Rep. Indonesia, 2008)
Venue Supply
EKONOMI
WISATA OUTLET KREATIF
Memorabilia Penyerapan
produk kreatif
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam implementasi model linkage tersebut
adalah penetapan lokasi outlet yang harus diusahakan berada di tempat stratgis dan
dekat dengan tempat wisata. Upaya ini telah dilakukan sejumlah industri kreatif, di
antaranya Dagadu yang meletakkan outlet-nya di pusat perbelanjaan. Contoh lain
adalah industri batik di Kampung Laweyan, Solo. Wisatawan dapat melihat proses
pembuatan batik, beberapa paket wisata malah menawarkan wisatawan untuk
mencoba membatik, dan setelah melihat proses pembatikan wisatawan dapat
berkunjung ke outlet penjualan batik untuk membeli batik sebagai souvenir.
8
Pengembangan Industri Kreatif untuk mendukung Pariwisata Purworejo
Potensi batik sebagai industri kreatif saat ini sangat tinggi. Batik telah diakui
sebagai warisan budaya oleh UNESCO di tahun 2009 dan telah dikenal oleh
masyarakat internasional sebagai produk khas Indonesia. Dalam penyelenggaraan
INACRAFT tahun 2009, batik tercatat sebagai komoditas yang paling diminati (Warta
Ekspor, 2009). Persebaran motif batik di Indonesia cukup luas dan masing-masing
daerah memiliki motif khas yang berbeda antara satu dengan lainnya. Kekayaan
motif batik Indonesia juga bertambah dengan munculnya motif-motif baru yang
umumnya berwarna lebih cerah dan memiliki corak yang lebih modern.
Purworejo memiliki sejumlah UMKM yang bergerak di bidang produksi batik
namun belum digarap secara optimal sebagai bagian dari industri kreatif ataupun
wisata. Di kabupaten Purworejo terdapat dua jenis batik dari segi produksinya, yaitu
batik tulis dan batik cap. Sejumlah kelompok sentra kerajinan batik tulis di Purworejo
yaitu (1) Laras Driyo di Kecamatan dan Wahyuningsih di kecamatan Grabag, (2)
Lung Kenongo di kecamatan Banyuurip, (3) Wijoyo Kusumo dan Sidoluhur di
kecamatan Bayan, dan (4) Limaran di kecamatan Bagelen. Batik cap di Purworejo
sempat mengalami masa jaya di tahun 1970an namun saat ini tengah mengalami
“mati suri”, khususnya di keluraahan Baledono yang sudah tidak berproduksi lagi.
Alat cap batik sebagian besar telah dijual dan ruang produksinya telah
dialihfungsikan.
Jika dikomparasikan dengan model pengembangan ekonomi kreatif sebagai
penggerak ekonomi wisata, Purworejo telah memiliki sejumlah modal utama. Alun-
alun Purworejo yang terkenal dengan bedug terbesar yang dibuat dari satu batang
pohon utuh merupakan sebuah landmark dan lokasi di sekitarnya berpotensi menjadi
outlet untuk industri kreatif. Sentra kuliner di sekeliling alun-alun juga memiliki
potensi untuk dikembangkan lebih lanjut menjadi industri kreatif, antara lain dengan
menyajikan kulier tradisional, menciptakan kuliner baru, atau bahkan dengan
menciptakan kemasan baru. Untuk industri kreatif kuliner, Bandung merupakan salah
satu contoh sukses karena berhasil mengembangkan kuliner-kuliner dengan
penyajian yang kreatif serta rasa yang inovatif, seperti pisang molen, roti unyil,
ataupun cireng aneka rasa. Untuk lebih jelas pola adaptasi pengembangan ekonomi
kreatif sebagai penggerak sektor wisata yang di terapkan di Purworejo, perhatikan
Tabel 4.
Tabel 4: Adaptasi Pengembangan Ekonomi Kreatif sebagai Penggerak Sektor Wisata
di Purworejo
Wisata Ekonomi Kreatif
1. Something to see Alun-alun Purworejo (bedug terbesar)
2. Something to do Wisata kuliner
Proses pembuatan batik tulis ataupun batik cap
3. Something to buy Souvenir :
Kuliner khas
Batik Purworejo
Sementara di sisi lain, batik Purworejo yang belum tergarap juga merupakan
potensi ekonomi kreatif. Bercermin dari Laweyan, Solo, indsutri batik Purworejo
dapat dikemas dalam paket-paket wisata atraktif. Wisatawan dapat melihat proses
pembuatan batik tulis ataupun batik cap Purworejo. Untuk batik cap, karena proses
pembuatannya relatif lebih mudah dan cepat dibanding batik tulis, dapat dikemas
paket wisata yang menawarkan wisatawan untuk berkerasi dengan batik cap dan
setelahnya hasil kreasi wisatawan tersebut dapat dikirim sebagai souvenir (dengan
ongkos pembayaran tertentu). Pola-pola industri kreatif tersebut akan dapat
menghidupkan lagi kerajinan batik cap yang saat ini sedang mati suri,
9
Venue Supply
EKONOMI
WISATA OUTLET KREATIF
Memorabilia Penyerapan
produk kreatif
10
Santren, dan Banyu-urip pesantren kilat) dan Outlet souvenir
Kesimpulan
11
Perda perlu disiapkan dengan instansi terkait untuk mengembangkan produksi batik
cap secara bertahap sesuai dengan kebutuhan seragam.
Setelah akes cukup jelas, maka usaha kerajinan perlu ditingkatkan pada
aspek ketrampilan SDM perajin, akases teknologi dan financial atau permodalan.
Sehingga peran pemerintah, perguruan tinggi dan dana bergulir dari BUMN sangat
dibutuhkan.
Daftar Pustaka
Barringer, Richard, et.al., (tidak ada tahun). “The Creative Economy in Maine:
Measurement & Analysis”, The Southern Maine Review, University of
Southern Maine
Christopherson, Susan (2004). “Creative Economy Strategies For Small and Medium
Size Cities: Options for New York State”, Quality Communities Marketing and
Economics Workshop, Albany New York, April 20, 2004
Departemen Perdagangan Republik Indonesia (2008). “Pengembangan Ekonomi
Kreatif Indonesia 2025 : Rencana Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia
2009 – 2025”
Evans, Graeme L (2009). “From Cultural Quarters to Creative Clusters – Creative
Spaces in The New City Economy”
Kanazawa City Tourism Association, 2010, “Trip to Kanazawa, City of Crafts 2010
Dates: Jan. 1 - March 31, 2010,” accessed on May 12, 2010 from
http://www.kanazawa-tourism.com/eng/campaign/images/VJY_winter.pdf
Ooi, Can-Seng (2006). ”Tourism and the Creative Economy in Singapore”
Pangestu, Mari Elka (2008). “Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia 2025”,
disampaikan dalam Konvensi Pengembangan Ekonomi Kreatif 2009-2015
yang diselenggarakan pada Pekan Produk Budaya Indonesia 2008, JCC, 4 -8
Juni 2008
Rencana Induk Pengembangan Pariwisata (RIPP) Purworejo, (1996)
Salman, Duygu (2010). “Rethinking of Cities, Culture and Tourism within a Creative
Perspective” sebuah editorial dari PASOS, Vol. 8(3) Special Issue 2010-06-16
Sumantra, I Made (tidak ada tahun). ”Peluang Emas Seni Kriya Dalam Ekonomi
Kreatif”
Syahra, Rusydi (2000). “Pengelolaan Sumber Daya Manusia Pendukung Produksi
Produk Kerajinan Sebagai Daya Saing Dalam Menghadapi Persaingan”,
makalah yang disampaikan dalam Seminar Nasional Kerajinan 2000, Balai
Sidang, Jakarta
UNDP (2008). “Creative Economy Report 2008”
UNESCO (2009). Pamduan Dasar Pelaksanaan Ekowisata
Warta Ekspor (2009) edisi April 2009, didownload dari
http://www.nafed.go.id/docs/warta_ekspor/file/Warta_Ekspor_2009_04.pdf
Yoeti, Oka A. (1985). Pengantar Ilmu Pariwisata, Bandung: Angkasa
Yozcu, Özen Kırant dan İçöz, Orhan (2010). “A Model Proposal on the Use of
Creative Tourism Experiences in Congress Tourism and the Congress
Marketing Mix”, PASOS, Vol. 8(3) Special Issue 2010
12