Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia saat ini sedang dihadapkan pada masalah krusial yang menyangkut
hajat hidup orang banyak. Pertumbuhan manusia yang semakin meningkat
menyebabkan permintaan energi listrik semakin besar sedangkan pasokan sumber
energi listrik semakin menipis. Ketersediaan minyak bumi yang selama ini menjadi
sumber energi utama pada tahun 2013 diperkirakan hanya tersisa 25% dari total
minyak bumi dunia (Bustami, 2017). Konsumsi listrik Indonesia setiap tahunnya
terus meningkat sejalan dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi nasional.
Peningkatan kebutuhan listrik tersebut rata - rata adalah 6,5% per tahun hingga tahun
2020 (Rachmad, 2017).

Krisis energi ini memicu pengembangan sumber energi alternatif untuk


mensubstitusi penggunaan minyak bumi yang selama ini menjadi sumber energi
utama bagi masyarakat. Microbial Fuel Cell (MFC) atau sel elektrokimia berbasis
mikroba merupakan salah satu contoh teknologi alternatif yang berpotensi untuk
dikembangkan sebagai energi substituen karena fuel cell ini mengubah energi kimia
menjadi energi listrik melalui reaksi katalitik menggunakan mikroorganisme. Sistem
ini memanfaatkan air buangan atau limbah sebagai substrat sehingga dapat dijadikan
alat yang ideal untuk mengolah mikroorganisme (Bustami, 2017).

Limbah industri makanan, yang mengandung sejumlah besar karbohidrat,


protein, dan lemak, dapat menimbulkan masalah lingkungan karena menimbulkan
bau yang tidak sedap, dan merupakan polusi berat pada perairan bila pembuangannya
tidak diberi perlakukan yang tepat. Namun dengan bahan-bahan organik dari air
limbah industri makanan tersebut, air limbah dapat dimanfaatkan dalam sistem
MFC sebagai sumber karbon untuk pertumbuhan mikroba. Penggunaan
glukosa yang biasa digunakan sebagai substrat dapat digantikan dengan air
limbah. Penggunaan air limbah dalam sistem MFC ini mempunyai beberapa
keuntungan, seperti kontaminan dalam air limbah dapat menjadi sumber karbon
untuk MFC, dan energi listrik yang dihasilkan cukup untuk digunakan dalam
pengolahan air limbah berikutnya, dan ini berarti mengurangi konsumsi energi ((Li,
2010). Penelitian menggunakan MFC dengan memanfaatkan limbah telah banyak
dilakukan, diantaranya dengan memanfaatkan limbah organik seperti kotoran ternak,
limbah makanan dan endapan lumpur, namun hanya sedikit penelitian yang
memanfaatkan limbah sayur dan buah-buahan (Lisa, 2017).

Pepaya merupakan buah yang umum dikonsumsi masyarakat sebagai


campuran es, jus atau dikonsumsi langsung sedangkan kulit buah pepaya dibuang
tidak dimanfaatkan. Padahal, kulit buah pepaya mengandung enzim papain, pektin,
alkaloid karpina, glukosid, saponin, sakrosa dan selulosa. Adanya kandungan szat-zat
tersebut di dalam kulit buah pepaya, menjadikan kulit buah berpotensi untuk
digunakan sebagai bahan bakar dalam MFC. Polisakarida di dalam kulit buah pepaya
berperan sebagai substrat yang akan dioksidasi oleh mikroorganisme sehingga
dihasilkan aliran elektron di dalam sel (Ester, 2012).

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan, penulis tertarik untuk


menyusun sebuah makalah sebagai syarat menyelesaikan mata kuliah seminar kimia
dengan judul “Microbial Fuel Cells Sebagai Sumber Pembangkit Energi Listrik
Alternatif dan Ramah Lingkungan Berbahan Bakar Limbah Kulit Buah
Pepaya”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, maka yang menjadi


rumusan masalah dalam makalah ini, yaitu:
1. Bagaimanakah proses limbah kulit buah pepaya dapat menjadi bahan bakar
bagi MFC secara kimia?
2. Bagaimanakah sistem kerja MFC sebagai sumber pembangkit energi listrik
alternatif dan ramah lingkungan berbahan bakar limbah kulit buah pepaya?
3. Bagaimanakah power density yang dihasilkan MFC dengan menggunakan
limbah kulit buah pepaya?

1.3 Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan, maka yang menjadi


tujuan dalam penulisan makalah ini, yaitu:

1. Untuk mengetahui proses limbah kulit buah pepaya sehingga dapat menjadi
bahan bakar bagi MFC secara kimia
2. Untuk mengetahui sistem kerja MFC sebagai sumber pembangkit energi
listrik alternatif dan ramah lingkungan berbahan bakar limbah kulit buah
pepaya
3. Untuk mengetahui power density yang dihasilkan MFC dengan menggunakan
limbah kulit buah pepaya
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Limbah

Limbah adalah zat atau bahan buangan yang dihasilkan dari suatu proses
produksi, baik industri maupun domestik, yang kehadirannya pada suatu saat
tertentu tidak dikehendaki lingkungan karena dapat menurunkan kualitas
lingkungan (Zulkifli, 2014).

Berdasarkan sumber atau asal limbah, maka limbah dapat dibagi kedalam
beberapa golongan yaitu :
1. Limbah domestik, yaitu semua limbah yang berasal dari kamar mandi,
dapur, tempat cuci pakaian, dan lain sebagainya, yang secara kuantitatif
limbah tadi terdiri atas zat organik baik padat maupun cair, bahan
berbahaya dan beracun (B-3), garam terlarut, lemak.
2. Limbah nondomestik, yaitu limbah yang berasal dari pabrik, industri,
pertanian, peternakan, perikanan, dan transportasi serta sumber-sumber
lainnya. Limbah pertanian biasanya terdiri atas pestisida, bahan pupuk dan
lainnya (Kristianto, 2002).

2.2 Pepaya

Pepaya (Carica papaya) merupakan buah yang berasal dari benua Amerika
yang memiliki banyak manfaat bagi kesehatan. Namun, kebanyakan orang hanya
memanfaatkan daging buahnya saja. Padahal, bagian lain dari pepaya juga
mengandung banyak manfaat, contohnya kulitnya. Pada dasarnya, kulit pepaya
memiliki kandungan gizi yang mirip dengan buahnya. Hanya saja, kulit pepaya
mengandung enzim papain yang lebih dominan terutama pada kulit pepaya muda
karena getahnya yang masih banyak. Pepaya adalah sumber serat yang baik, folat,
vitamin A, karotenoid, lutein, likopen, dan asam amino esensial yang
mempengaruhi fungsi sel yang tepat (Anastasia, 2015).

Gambar 2.1 Buah Pepaya (Masvictor, 2013)

Pepaya merupakan tanaman buah dari famili caricaceae. Tanaman pepaya


banyak ditanam baik di daerah tropis maupun subtropis, di daerah basah dan
kering, atau di daerah dataran rendah dan pegunungan Pepaya merupakan
tanaman yang banyak dibudidayakan di Indonesia. Masyarakat Indonesia biasa
menanam tanaman ini di pekarangan atau di tegalan. Namun, pada umumnya
masyarakat menanam tanaman ini hanya sebatas digunakan untuk memenuhi
kebutuhan sayur atau buah yang dikonsumsi dalam rumah tangga
(Soedarya,2009).

Pepaya memiliki vitamin E empat kali lebih banyak, 33% vitamin C lebih
banyak, 50% kalium lebih banyak, dan kalori lebih sedikit daripada jeruk. Secara
mendetail, kulit maupun buah pepaya mengandung 46 KKal, protein 0.50 gram,
karbohidrat 12.20 gram, kalsium 23 mg, besi 1.7 mg, vitamin A 365 SI, vitamin
B1 0.04 mg, vitamin C 78.9 mg, dan air 86.7 mg. Lebih dari lima puluh jenis
asam amino terkandung dalam getah buah pepaya muda, antara lain asam
aspartat, treonin, serin, asam glutamat, prolin, glisin, alanin, valine, isoleusin,
leusin, tirosin, fenilalanin, histidin, lysine, arginin, triptophan, dan sistein
(Anastasia, 2015).
2.3 Energi Listrik

Energi didefenisikan sebagai suatu kemampuan untuk melakukan kerja. Ada


berbagai jenis energi, misal energi mekanis, energi kimia, energi listrik, juga
energi panas maupun energi cahaya. Energi-energi tersebut tidak dapat diciptakan
ataupun dimusnahkan, namun sangat mudah untuk berubah bentuk. Hal ini sesuai
dengan hukum kekekalan energi. Satuan energi menurut Satuan Internasional
adalah Joule, selain itu energi juga dinyatakan dalam kalori, BTU, atau Watt hour.

Power x Time = Energy

Dimana : Power merupakan daya peralatan listrik (Watt)


Time merupakan waktu selama peralatan digunakan (jam/hour)
Energy merupakan energi listrik yang dikonsumsi peralatan listrik
(Watt hour).
Daya merupakan energi yang diperlukan untuk melakukan usaha/kerja. Daya
listrik biasanya dinyatakan dalam Watt. Secara matematis, besarnya daya listrik
dapat dituliskan sebagai berikut :
P=VI
Dimana : P merupakan daya listrik (Watt)
V merupakan tegangan (volt)
I merupakan arus listrik (ampere)

Energi listrik adalah energi utama yang dibutuhkan bagi peralatan listrik
atau energi yang tersimpan dalam arus listrik dengan satuan amper (A) dan
tegangan listrik dengan satuan Volt (V) dengan ketentuan kebutuhan
konsumsi daya listrik dengan satuan Watt (W)untuk menggerakkan motor,
lampu penerangan, memanaskan, mendinginkan ataupun untuk menggerakkan
kembali suatu peralatan mekanik untuk menghasilkan bentuk energi yang lain.
(Kardiwarman, 2003)
2.4 Fuel Cells

Fuel Cellaaadalah teknologi elektrokimia yang secara berkelanjutan


mengkonversiaadari energi kimiaaamenjadi energi listrik selamaaaterdapat bahan
bakar danaapengoksidan. Fuel cell tersusunaaatas 3 komponen utama
yaituaaanoda, katoda dan elektrolit (membran). Anoda berperanaasebagai tempat
terjadinya pemecahan hidrogen (H2) menjadi proton danaaelektron. Katoda
berperanaasebagai tempataaterjadinya reaksi penggabungan antara proton,
elektronaadan oksigen untuk membentukaaair. Elektrolitaaadalah suatu media
untuk mengalirkanaaproton. Padaaafuel cells berbahan bakar hidrogen,aaketika
molekul hidrogen melakukan kontakaadengan anoda, molekul tersebut terpisah
menjadi ion hidrogen dan elektron. Elektronaamengaliraamelalui sirkuit luar
menuju katoda dan menimbulkan aliran listrik. Ionaahidrogen
melewatiaaelektrolit (membran) menuju katoda,aalalu bergabung dengan elektron
dan oksigen dari udara kemudian membentukaamolekul air (Hendrata,
2001).aaSecara umum,aaprinsip kerja fuel cell dapat dilihat pada gambar 2.2
berikut ini.

Gambar 2.2 Desain Fuel Cell (Serdiukigor, 2015)


2.5 Mikroba

Mikroba merupakan organisme yang berukuran kecil (mikro), dapat


melakukan aktifitas untuk hidup, dapat tergolong dalam prokaryot seperti
mikroba dan virus, dan eukaryot seperti alga, protozoa. Mikroba sangat berperan
dalam kehidupan. Mikroba terdiri dari mikroba, jamur, dan virus. Secara umum,
tiap mikroba mempunyai morfologi dan struktur anatomi yang berbeda (Waluyo,
2004).
Peranan utama mikroba adalah sebagai (pengurai) bahan-bahan organik.
Selain merugikan, mikroba juga mempunyai banyak keuntungan bagi manusia.
Mikroba tidak perlu tempat yang besar, mudah ditumbuhkan dalam media buatan,
dan tingkat pembiakannya relatif cepat. Oleh karena itu, setiap mikroba memiliki
peran dalam kehidupan (Darkuni, 2001).
Fase pertumbuhan mikroba dapat dibagi menjadi 4 fase, yaitu fase lag, fase
logaritma (eksponensial), fase stasioner dan fase kematian yang digambarkan
pada gambar 2.3.

Gambar 2.3 Kurva Pertumbuhan Mikroba (Sastrawiyana, 2011)


Fase lag merupakan fase penyesuaian mikroba dengan lingkungan yang baru.
Lama fase lag pada mikroba sangat bervariasi, tergantung pada komposisi media,
pH, suhu, aerasi, jumlah sel pada inokulum awal dan sifat fisiologis
mikroorganisme pada media sebelumnya.

Fase eksponensial ditandai dengan terjadinya periode pertumbuhan yang


cepat. Variasi derajat pertumbuhan mikroba pada fase eksponensial ini sangat
dipengaruhi oleh sifat genetik yang diturunkannya. Selain itu, derajat
pertumbuhan juga dipengaruhi oleh kadar nutrien dalam media, suhu inkubasi,
kondisi pH dan aerasi. Ketika derajat pertumbuhan mikroba telah menghasilkan
populasi yang maksimum, maka akan terjadi keseimbangan antara jumlah sel
yang mati dan jumlah sel yang hidup.

Fase stasioner merupakan saat laju pertumbuhan mikroba sama dengan laju
kematiannya, sehingga jumlah mikroba keseluruhan akan tetap. Keseimbangan
jumlah keseluruhan mikroba ini terjadi karena adanya pengurangan derajat
pembelahan sel. Hal ini disebabkan oleh kadar nutrisi yang berkurang dan terjadi
akumulasi produk toksik sehingga mengganggu pembelahan sel.

Fase stasioner ini dilanjutkan dengan fase kematian yang ditandai dengan
peningkatan laju kematian yang melampaui laju pertumbuhan.
(Waluyo, 2004)

2.6 Microbial Fuel Cells (MFC)


Sel volta (sel galvani) adalah sel elektrokimia di mana energi kimia dari reaksi
redoks spontan diubah menjadi energi listrik. Prinsip kerja sel volta dalam
menghasilkan arus listrik adalah aliran transfer elektron dari reaksi oksidasi di
anode ke reaksi reduksi di katode melalui rangkaian luar. Secara sederhana ,
prinsip MFC ini hampir sama dengan prinsip dari Sel Volta (Galvani).
Perbedaannya hanya pada elektrolit dan penambahan substrat untuk bakteri.
MFCaadalah sistem bioelekrokimia yang mampu membangkitkan energi
listrik dari oksidasi substrat organik dan anorganik dengan bantuan katalis
mikroorganisme.AMFC memiliki komponen yang sama seperti fuel cell, yang
tersusun dari beberapa komponen seperti anoda,Akatoda, dan elektrolit.
PadaAMFC, komponen anoda yang digunakanAadalah kultur mikroorganisme.
PenggunaanAmikroorganismeSdalam MFC ini memeiliki tujuan yaitu untuk
menggantikan fungsi enzim sehingga dihasilkan substrat yangAlebih murah (----).

Gambar 2.4 Desain MFC (Frederick, 2008)


MFC memiliki keuntungan yang lebih banyak dibandingkan fuel cell. Hal
iniAkarena MFC dapatAmenghasilkan energiAlistrik dari sampah organik dan
biomassa terbarui.ABakteri mampuAmenjadi katalis dan beradaptasi dengan baik
terhadap bahan-bahan organikAberbeda yang terdapat pada limbah lingkungan
sehinggaAmenghasilkan elektron. Penggunaan katalis yang digunakan pada fuel
cellAbiasa berupaSplatina merupakan investasi yang mahal, sedangkan pada
MFC dapatAdigantikan oleh pertumbuhan mikroorganisme didalamnya.
BerbagaiAmacam bentuk bahanAorganik dapat digunakan sebagai substrat
dalamA MFC, sepertiAasam lemak, pati, glukosa, protein dan asam amino, serta
air limbah dari hewan dan manusia (Patra, 2008).
2.6.1 Prinsip Kerja MFC
Prinsip kerjaAMFC adalah dengan memanfaatkan mikroba yang
melakukan metabolisme terhadapaamedium yang ada di anoda untuk
mengkatalis pengubahan materi organik menjadi energi listrik dengan
mentransfer elektron dari anoda melalui kabel dan menghasilkan arus ke
katoda. Transfer elektron dari anoda diterima oleh ion kompleks di katoda
yang memiliki elektron bebas. Dalam MFC, yangadapat digunakan sebagai
donoraelektron adalah zat hasil metabolisme mikroba atau elektron yang
dilepaskan mikroba saat melakukanaametabolismenya.aaZat hasil
metabolisme mikroba umumnya merupakan senyawaaayang mengandung
nitrogen, seperti etanol, metanol, atau gas metana. Senyawaaaini dapat
digunakanaasebagai sumber hidrogen melalui serangkaian proses untuk
memproduksi elektron dan menghasilkan arus listrik (Hendrata, 2001).
Setiapaaaktivitas metabolisme yang dilakukan mikrobaaaumumnya
melibatkan pelepasan elektron bebas ke medium. Elektron ini dapat
dimanfaatkan langsung pada anoda dalam MFC untuk menghasilkan arus
listrik. Secaraaaumum mekanisme prosesnya adalah substrataadioksidasi
oleh bakteri menghasilkan elektronaadan proton pada anoda.
Elektronaaditransfer melalui sirkuit eksternal, sedangkanaaproton
didifusikan melalui separator membran menujuaakatoda.aaPada katoda,
reaksi elektron dan proton terhadap oksigenaakan menghasilkan air
(Sastrawiyana, 2011).

2.6.2 Faktor yang Mempengaruhi Kinerja MFC


Kinerja MFC dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, faktor-faktor yang
mempengaruhi antara lain kecepatan degradasi substrat oleh bakteri, transfer
proton dalam larutan danAkecepatan transfer elektronZdari bakteri
keAanoda. Selain itu, kinerja MFCAjuga dapat dipengaruhi oleh aktivitas
mikroba dan substrat yang digunakan. KinerjaAMFC dapat juga
dipengaruhi oleh temperatur karena berkaitanAlangsung dengan kinetik
bakteri, kecepatan reaksi oksigen yang di katoda dan kecepatan transfer
proton melalui larutan. Faktor lainnya adalah komponen penyusun MFC,
seperti elektroda (anoda dan katoda) dan membran penukar proton,Aserta
kelengkapan alatApada membran. (Liu, 2004)

2.7 Larutan Elektrolit KMnO4

Kalium permanganat merupakan senyawa kimia anorganik dengan rumus


KMnO4. Garam yang terdiri dari K+ dan MnO4- ion. Kalium permanganat
(KMnO4) merupakan alkali kaustik yang akan tersdisosiasi dalam air membentuk
ion permanganat (MnO4-) dan juga mangan oksida (MnO2) bersamaan dengan
terbentuknya molekul oksigen elemental.

2KMnO4 (s) → 2K+(aq) + MnO4-(aq) + MnO2 + O2(g)

Kalium permanganat, selain bersifat sebagai larutan elektrolit juga merupakan


senyawa yang bersifat oksidator. Elektrolit adalah suatu senyawa yang bila
dilarutkan dalam pelarut (misalnya air) akan menghasilkan larutan yang dapat
menghantarakan arus listrik. Elektrolit sering diklasifikasikan berdasrkan
kemampuannya dalam menghantarkan arus listrik. Elektrolit yang dapat
menghantarkan arus listrik dengan baik digolongkan ke dalam elektrolit kuat,
sedangkan elektrolit yang sifat penghantaran listriknya buruk digolongkan ke
dalam elektrolit lemah. Suatu elektrolit dapat berupa larutan asam, basa mapun
garam (Syukri, 1999).

Apabila kontak dengan senyawa yang mudah menyala akan menyebabkan


kebakaran dan dijauhkan dari senyawa pereduksi, asam kuat, material organik,
peroksida, alkohol dan senyawa kimia logam aktif. Kalium permanganat
merupakan oksidator kuat. Sifat fisik dari kalium permangant yaitu berwarna
kristal ungu seperti kristal perunggu dan titk leburnya 1050C (terdekomposisi)
(Ihsan, 2014).

2.8 Methylene Blue

Methylene blue adalah nama dagang dari senyawa 3,7-bis(dimetilamino)-5-


fenotiazinium klorida yang memiliki rumus kimia C16H18ClN3S, adalah senyawa
hidrokarbon aromatik yang beracun dan merupakan zat warna kationik dengan
daya adsorpsi yang sangat kuat. Pada umumnya methylene blue digunakan
sebagai pewarna sutra, wool, tekstil, kertas, peralatan kantor dan kosmetik.
Senyawa ini berupa kristal berwarna hijau gelap. Ketika dilarutkan, methylene
blue dalam air atau alkohol akan menghasilkan larutan berwarna biru. Methylene
blue memiliki berat molekul 319,86 gr/mol, dengan titik lebur di 105°C dan daya
larut sebesar 4,36 x 104 mg/L (Endang, 2006).
BAB III
MICROBIAL FUEL CELLS SEBAGAI SUMBER PEMBANGKIT ENERGI
LISTRIK ALTERNATIF DAN RAMAH LINGKUNGAN BERBAHAN
BAKAR LIMBAH KULIT PEPAYA

3.1 Preparasi Limbah Kulit Buah Pepaya

Limbah kulit buah pepaya merupakan zat organik yang mengandung


karbohidrat jenis selulosa. Limbah ini akan menjadi substrat yang nantinya
dioksidasi oleh mikroba. Untuk mendapatkan glukosa dari limbah kulit buah
pepaya ini dapat dilakukan dengan cara fermentasi. Senyawa selulosa yang
terdapat di dalam limbah akan mengalami fermentasi menghasilkan glukosa.
Selulosa adalah polisakarida yang merupakan polimer glukosa. Glukosa yang
dihasilkan merupakan sumber bahan bakar bagi MFC (Liu, 2005).

Tahap pertama dalam fermentasi limbah kulit buah pepaya adalah


menghancurkan limbah kulit buah pepaya hingga halus menggunakan blender
kemudian disaring dan diambil intisarinya. Penghancuran dengan blender ini
bertujuan untuk mengeluarkan intisarinya berupa polisakarida jenis selulosa yang
banyak dan murni dari kulit buah pepaya. Sampel kulit pepaya yang sudah halus
dimasukkan ke dalam kain lalu dibungkus untuk membuat kondisi hampa
oksigen. Hal ini dikarenakan proses fermentasi hanya dapat berlangsung dalam
kondisi anaerob. Kain yang berisi sampel kulit buah pepaya ini dimasukkan ke
dalam bejana cokelat berukuran 30 cm x 20 cm x 20 cm. (Lisa, 2018). Proses ini
yang terjadi saat fermentasi ini adalah reaksi hidrolisis yang digambarkan pada
gambar 3.1.

Pada tahap ini, reaksi hidrolisis yang terjadi pada sampel kulit buah pepaya
adalah

Gambar 3.1 Reaksi Fermentasi Selulosa (Chun, 2013)

Selulosa terdegrasi dengan bantuan utama dari enzim endoglukanase (EGs),


eksoglukanase, dan 𝛽-glukosidase yang bekerja secara sinergis untuk
mendegradasi selulosa menjadi monomer-monomernya yaitu glukosa. Enzim
endoglukanase menghidrolisis selulosa sehingga menghasilkan oligosakarida
dengan panjang berbeda-beda dan terbentuknya unjung rantai baru selulosa.
Enzim eksoglukanase bekerja terhadap ujung-ujung rantai polisakarida tersebut
dan menghasilkan selobiosa yang merupakan disakarida. Selanjutnya enzim β-
glukosidase memecah selobiosa menjadi molekul glukosa yang merupakan
produk utama hidrolisis selulosa (Kusmiati, 2010).

3.2 Mekanisme Kerja MFC

Sistem yang digunakan dalam MFC ini adalah sistem dua bejana, yang terdiri
atas bejana anoda dan bejana katoda yang dipisahkan oleh Proton Exchange
Membran (PEM) dan mediator metilen blue dengan lama waktu operasi 20 hari.
PEM dibutuhkan untuk menghindari difusi aseptor elektron yang beracun seperti
permanganat ke dalam ruang anoda sekaligus untuk memfasilitasi transfer proton
atau kation lainnya ke ruang katoda. Ruang anoda merupakan ruangan yang berisi
substrat dan bakteri tempat terjadinya oksidasi, sementara ruang katoda berisi
larutan elektrolit. Elektroda yang digunakan adalah elektroda grafit karena
memiliki tingkat kestabilan (inert) yang cukup baik. Luas permukaan elektroda
yang digunakan adalah 1,46 x 10-3 m2 (Lisa, 2018). bakteri yang digunakan
bersifat elektrokimia aktif untuk mentransfer elektron ke elektroda, dimana
elektron dibawa langsung dari enzim bakteri ke elektroda. Contoh bakteri yang
bersifat elektrokimia aktif seperti Shewanella putrefaciens dan
Aeromonashydrophila (Li, 2010).

Limbah kulit pepaya yang sudah di inkubasi selama tiga hari, ditempatkan
dalam bejana anoda. Bejana anoda dibuat dalam kondisi anaerob, bejana ditutup
rapat dengan kaca penutup. Dual chamber MFC memiliki dua ruang sehingga
substrat dan larutan elektrolit tidak saling bercampur. Mikroba yang berasal dari
pembusukan limbah kulit pepaya akan mengoksidasi substrat limbah kulit pepaya
dalam bejana anoda untuk menghasilkan elektron, proton beserta karbon dioksida
sebagai produk oksidasi (Ester, 2012).
Reaksi kimia yang terjadi di Anoda (mengalami oksidasi)

2C6H12O6 + 9H2O mikroba 6CO2 + 24e- + 24H+ + 3C2H5OH


0 oksidasi +4

C2H5OH + CO2 mikroba CH3COOH

Pada reaksi di atas, zat yang mengalami oksidasi merupakan senyawa organik
C6H12O6. Senyawa organik tidak memiliki biloks, tetapi hanya pernyataan
terjadinya reaksi reduksi atau oksidasi. Pada anoda, terjadi respirasi anaerobik
seperti pada gambar 3.2 berikut.

Senyawa Organik teroksidasi


(Donor Elektron)

e- energi

Senyawa Anorganik
tereduksi
(Aseptor Elektron)
Gambar 3.2 Respirasi Anaerobik (Winarno, 1993)

Elektron yang dihasilkan ditransfer dengan bantuan dari larutan metilen blue
yang berada di bejana anoda. Metilen blue bertindak sebagai mediator yang
mampu melewati membran sel, yang akan menerima elektron lalu meninggalkan
sel dalam bentuk tereduksi dan kemudian mengeluarkan elektron ke permukaan
elektroda. Metilen blue bersifat oksidator yang akan tereduksi menjadi
leukometilen blue. Metilen blue dalam proses ini mengalami reaksi oksidasi-
reduksi seperti pada gambar 3.3 berikut:
Gambar 3.3 Redoks Metilen Blue (Qian, 2015)

Reaksi di Katoda (mengalami reduksi)

6O2 + 24H+ + 24e− 12H2O


0 reduksi -2

Pada reaksi di atas, zat yang mengalami reduksi adalah atom Oksigen, dimana
biloks O pada O2 adalah 0, sedangkan biloks O pada H2O adalah -2. Suatu proses
reduksi ditandai dengan berkurangnya harga biloks suatu unsur. Reaksi yang
terjadi pada katoda, dengan menggunakan KMnO4 sebagai katodik dalam
lingkungan asam diberikan dibawah ini:

MnO4- + 4H+ + 3e- → MnO2 + 2H2O

Menurut Shijie You dan kawan-kawan, permanganat dapat digunakan sebagai


efektif katodik aseptor elektron untuk MFC, dengan menggunakan permanganat
sebagai aseptor elektron dibawah kondisi asam dapat meningkatkan power
density 11 kali lipat dibandingkan menggunakan ferrycyanida dan oksigen.
Reaksi keseluruhan yang tejadi di dalam MFC adalah:

Gambar 3.4 Bioremediasi Limbah Organik (Serdiukigor, 2015)


MFC diisi dengan limbah yang mengandung molekul biodegradabel dan
mikroba. Mikroba yang terdapat dalam limbah tersebut kemudian akan
mengoksidasi molekul biodegradabel menghasilkan elektron, proton dan CO2.
Proton menuju ke katoda melalui larutan elektrolit dan melewati PEM.
Sedangkan elektron akan bergerak ke anoda, kemudian mengalir melalui sirkuit
listrik ke katoda. Adanya perbedaan jumlah elektron antara anoda dan katoda
inilah yang menghasilkan daya listrik karena adanya beda potensial diantara
kutub anoda dan kutub katoda.
Perbedaan potensial atau tegangan listrik adalah perbedaan jumlah elektron
yang berada dalam suatu arus listrik. Arus listrik dapat didefinisikan sebagai
banyaknya elektron yang berpindah dalam waktu tertentu. Pada waktu yang sama,
potensial di bejana katoda meningkat ketika mereduksi reagen. Perbedaan
potensial yang disebabkan oleh oksidasi substrat di anoda dan reduksi di katoda
menghasilkan arus listrik. Pada katoda elektron, proton dan oksigen bergabung
membentuk H2O.
Hasil sampingan degradasi senyawa organik adalah CO2. Namun, CO2 yang
dihasilkan ini tidak berbahaya dan diemisikan langsung ke lingkungan. CO2 yang
ada pada anoda digunakan kembali oleh mikroba untuk metabolismenya karena
mikroba pada bejana anoda hidup secara anaerob. Skema proses yang terjadi
dalam MFC digambarkan oleh gambar 3.5.
Gambar 3.5 Skema Kerja MFC (Arungovind, 2017)

3.3 Penentuan Power Density

Nilai tegangan diukur menggunakan digital multimeter Sanwa CD800a dan


multitester Sunway SW360TRn untuk mengukur kuat arus yang diperoleh. Alat
ini kemudian dihubungkan dengan hambatan 5 Ω. Perhitungan power density
yang diperoleh juga dapat di cari melalui persamaan berikut (Lisa, 2018).

Hubungan power density berbanding lurus dengan hasil perkalian kuat arus
(mA) dengan tegangan listrik (V) dan berbanding terbalik dengan luas permukaan
elektroda yang digunakan (m2). Gambar 3.6 dan gambar 3.7 berturut-turut
menunjukkan nilai dari kuat arus dan tegangan selama 20 hari penelitian.

Gambar 3.6 Perubahan Kuat Arus selama 20 Hari (Lisa, 2018)


Grafik pada gambar 3.6 menunjukkan perolehan nilai kuat arus yang
dihasilkan oleh MFC berbasis limbah kulit buah pepaya. Nilai kuat arus
maksimum diperoleh pada hari ke-17 sebesar 1,79 mA.

Gambar 3.7 Perubahan Tegangan selama 20 Hari (Lisa, 2018)

Grafik pada gambar 3.7 menunjukkan perolehan nilai tegangan yang


dihasilkan oleh MFC berbasis limbah kulit buah pepaya. Nilai tegangan
maksimum diperoleh pada hari ke-17 sebesar 1,08 Volt.

Dengan menggunakan rumus power density di atas, diperoleh:

- Hari ke-1 = 797.26 mW/m2


𝐼𝑥𝑉
P= - Hari ke-3
𝐴
1,69 mA 𝑥 1,04 V 𝐼𝑥𝑉
= P=
1,46 𝑥 10−3 m2 𝐴
0,91 mA 𝑥 0,93 V
= 1203,84 mW/m2 = 1,46 𝑥 10−3 m2

- Hari ke-2 = 579,66 mW/m2


𝐼𝑥𝑉
P= - Hari ke-4
𝐴
1,20 mA 𝑥 0,97 V 𝐼𝑥𝑉
= P=
1,46 𝑥 10−3 m2 𝐴
0,96 mA 𝑥 0,94 V 1,50mA 𝑥 1,04 V
= =
1,46 𝑥 10−3 m2 1,46 𝑥 10−3 m2

= 618.08 mW/m2 = 1068,50 mW/m2

- Hari ke-5 - Hari ke-12 = ke-13


𝐼𝑥𝑉 𝐼𝑥𝑉
P= P=
𝐴 𝐴
1,36 mA 𝑥 1,08 V 1,50 mA 𝑥 1,08 V
= =
1,46 𝑥 10−3 m2 1,46 𝑥 10−3 m2

= 1006,03 mW/m2 = 1109,59 mW/m2

- Hari ke-6 = ke-7 - Hari ke-14


𝐼𝑥𝑉 𝐼𝑥𝑉
P= P=
𝐴 𝐴
1,32 mA 𝑥 0,98 V 1,40 mA 𝑥 1,06 V
= =
1,46 𝑥 10−3 m2 1,46 𝑥 10−3 m2

= 886,03 mW/m2 = 1016,44 mW/m2

- Hari ke-8 - Hari ke-15


𝐼𝑥𝑉 𝐼𝑥𝑉
P= P=
𝐴 𝐴
1,44 mA 𝑥 1,08 V 1,65 mA 𝑥 1,08 V
= =
1,46 𝑥 10−3 m2 1,46 𝑥 10−3 m2

= 1065,21 mW/m2 = 1220,55 mW/m2

- Hari ke-9 - Hari ke-16


𝐼𝑥𝑉
𝐼𝑥𝑉 P= 𝐴
P= 𝐴 1,55 mA 𝑥 1,05 V
1,59 mA 𝑥 1,12 V =
= 1,46 𝑥 10−3 m2
1,46 𝑥 10−3 m2
= 1114,73 mW/m2
= 1219,73 mW/m2
- Hari ke-17
- Hari ke-10 𝐼𝑥𝑉
P=
𝐼𝑥𝑉 𝐴
P= 1,79 mA 𝑥 1,08 V
𝐴 =
1,50 mA 𝑥 1,08 V 1,46 𝑥 10−3 m2
= 1,46 𝑥 10−3 m2
= 1324,11 mW/m2
= 1109,58 mW/m2
- Hari ke-18
- Hari ke-11 𝐼𝑥𝑉
P= 𝐴
𝐼𝑥𝑉
P= 1,30 mA 𝑥 1,08 V
𝐴 = 1,46 𝑥 10−3 m2
= 961,64 mW/m2 - Hari ke-20
- Hari ke-19 𝐼𝑥𝑉
P=
𝐼𝑥𝑉 𝐴
P= 𝐴
1,35 mA 𝑥 1,08 V
1,50 mA 𝑥 1,08 V =
= 1,46 𝑥 10−3 m2
1,46 𝑥 10−3 m2
= 998,63 mW/m2
= 1109,59 mW/m2

Gambar 3.8 Perubahan Power Density selama 20 Hari (Lisa, 2018)

Pada awal pengukuran, nilai power density cenderung rendah dan menurun.
Hal ini disebabkan karena mikroba sedang berada pada fase lag atau fase
adaptasi, dimana pada fase ini mikroba sedang menyesuaikan diri dengan
lingkungan yang baru. Sehingga substrat belum banyak teroksidasi.
Setelah beberapa hari, nilai power density mulai meningkat. Hal ini
menunjukkan mikroba sedang berada pada fase eksponensial, yaitu fase dimana
sel mikroba membelah dengan cepat dan konstan. Nilai power density maksimum
diperoleh pada hari ke-17. Bertambahnya jumlah sel bakteri ini memungkinkan
semakin banyaknya proton dan elektron yang dapat dihasilkan dari proses
metabolisme sehingga kuat arus yang terbaca semakin besar. Pada setelah hari ke-
17 dan seterusnya, nilai power density drastis menurun. Habisnya ketersediaan
bahan bakar substrat dari limbah kulit buah pepaya pada bejana anoda
mengakibatkan nilai power density yang dihasilkan menurun. Proses degradasi
oleh mikroba menjadi berhenti dan tidak ada lagi tranfer elektron dan proton
dalam sel.

Pada jurnal yang penulis bahas ini, power density yang dihasilkan tidak bisa
menghidupkan bola lampu yang dipasang di rangkaian alat MFC karena untuk
menghidupkan lampu LED dibutuhkan tegangan 1,8 V, sedangkan tegangan
maksimum yang diperoleh dari alat ini hanya 1,08 V.

3.4 Kondisi pH

MFC memanfaatkan mikroba atau mikroba untuk mendegradasi substrat di


ruangan anoda. Mikroba dapat hidup dan bekerja dengan baik pada pH tertentu.
pH merupakan faktor kritis untuk semua proses berbasis mikroba. Pada MFC, pH
tidak hanya mempengaruhi metabolisme dan pertumbuhan bakteri tapi juga
terhadap transfer proton, reaksi katoda, sehingga mempengaruhi performa MFC.
Sebagian besar MFC beroperasi pada pH mendekati netral untuk menjaga kondisi
pertumbuhan optimal komunitas mikroba yang terlibat dalam pembentukan
listrik.

Gambar 3.8 Perubahan pH selama 20 Hari (Lisa, 2018)

Berdasarkan gambar 3.8, pH yang terjadi selama 20 hari proses penghasilan


arus listrik berkisar antara pH 4-7 atau kondisi didalam bejana cenderung asam
hingga netral. Hal ini menunjukkan adanya pembentukan asam pada bejana.
Asam yang dihasilkan tersebut berasal dari bioproses pada pembusukan limbah.
Konversi glukosa menjadi asam asetat menghasilkan energi yang besar bagi
pertumbuhan bakteri pembentuk asam. Hal ini terlihat dari peningkatan power
density dari 1109,59 mW/m2 pada hari ke-12 menjadi 1114,73 mW/m2 pada hari
ke-16 dan mencapai puncaknya pada hari ke-17 yaitu 1324,11 mW/m2.

BAB IV

KESIMPULAN

Limbah kulit buah pepaya difermentasi untuk mengubah kandungan


polisakarida menjadi glukosa yang merupakan bahan bakar bagi MFC. Pada
proses fermentasi ini, terjadi hidrolisis selulosa dengan bantuan utama dari enzim
endoglukanase (EGs), eksoglukanase, dan 𝛽-glukosidase yang bekerja secara
sinergis untuk mendegradasi selulosa menjadi monomer-monomernya yaitu
glukosa. Enzim endoglukanase menghidrolisis selulosa sehingga menghasilkan
oligosakarida dengan panjang berbeda-beda dan terbentuknya unjung rantai baru
selulosa. Enzim eksoglukanase bekerja terhadap ujung-ujung rantai polisakarida
tersebut dan menghasilkan selobiosa yang merupakan disakarida. Selanjutnya
enzim β-glukosidase memecah selobiosa menjadi molekul glukosa yang
merupakan produk utama hidrolisis selulosa.

Mikroba dari limbah kulit buah pepaya mendegradasi glukosa menjadi 6


molekul CO2, 24 elektron, dan 24 proton (ion H+). Elektron yang dihasilkan
bergerak ke elektroda pada bejana anoda dan mengalir ke elektroda pada bejana
katoda. Adanya perbedaan jumlah elektron di katoda dan anoda ini menimbulkan
perbedaan potensial dan gradien konsentrasi yang memicu terjadinya arus listrik.
Arus listrik ini akan terbaca dalam bentuk nilai tegangan dan kuat arus. CO2 yang
dihasilkan digunakan kembali oleh mikroba untuk melakukan metabolisme
sehingga emisi CO2 tidak menyebabkan polusi pada lingkungan. Sementara
proton (H+) ditransfer melalui PEM menuju ke katoda. Proton kemudian
bergabung dengan oksigen membentuk molekul H2O.

Power density maksimum yang diperoleh sebesar 1324,11 mW/m2 namun


tidak dapat menghidupkan lampu LED yang dipasang pada rangkaian alat.
Tegangan maksimum yang diperoleh hanya 1,08 V, sedangkan untuk dapat
menghidupkan lampu dibutuhkan tegangan minimal 1,8 V. Untuk itu perlu
perencanaan dan rancangan model reaktor serta susunan rangkaian listrik,
rangkaian reaktor yang disusun secara seri atau paralel antara satu reaktor dengan
reaktor lainnya.

Anda mungkin juga menyukai