Anda di halaman 1dari 47

Ilmu THT

No Materi Dosen
1 Anatomi dan Fisiologi Telinga Rizka Fathoni Perdana
2 Anatomi dan Fisiologi Hidung dan Sinus Paranasal Rizka Fathoni Perdana
3 Rinitis Akut, Ranitis Kronik (RA, RV) Polip Hidung Diar Mia Ardani
4 Rinosinutsitis akut dan kronis Diar Mia Ardani
5 Tumor Sinonasal dan nasofaring Rizka Fathoni Perdana
6 Trauma Wajah Diar Mia Ardani
7 Trauma Wajah dan Maksilofasial Diar Mia Ardani

8 Anatomi rongga mulut, faring, tonsil dan leher dalam Rizka Fathoni Perdana
9 Aphtae, faringitis A & K, adenoiditis A & K Diar Mia Ardani
10 Tonsilitis akut dan kronik, Difteri tonsil dan faring Diar Mia Ardani
11 Abses perotonsil, submandibula, parafaring Diar Mia Ardani
12 Ameloblastoma, kista dentigerus Diar Mia Ardani
13 Benda Asing Esofagus Rizka Fathoni Perdana
14 Trakea-bronkus Rizka Fathoni Perdana

SHAFA – THT
(1) Anatomi dan Fisiologi Telinga
Dr. Rizka Fathoni Perdana

• Telinga : indra yang sangat penting bagi manusia


• Terdiri dari 2 organ:
1. Pendengaran (auditivus / auditus) → untuk komunikasi
2. Keseimbangan (status / vestibuler) → untuk keseimbangan tubuh / orientasi tubuh terhadap
sekitar

Anatomi - Telinga luar (auris eksterna)


A. Daun telinga / aurikula / pinna
1. Kerangka tulang rawan (kartilago atau kondrium), kecuali lobulus
2. Sisi lateral didominasi oleh cekungan
3. Diliputi kulit yang melekat pada perikondrium di sisi lateral, namun lebih longgar
4. Tidak terdapat otot yang bermanfaat
B. Meatus akustikus eksternus / liang terluar telinga / external auditory canal
1. Tabung bengkok bentuk S, penampang ± 0,5 cm, panjang ± 2,5 – 3 cm
2. 1/3 luar (lateral) rangka tulang rawan (pars cartilageneous), mengandung folikel rambut,
kelenjar serumen, kelenjar lemak
3. 2/3 dalam (medial) rangka tulang (pars oseus) : tidak terdapat folikel rambut atau kelenjar
4. Ismus : terletak di sisi medial perbatasan tulang dengan tulang rawan

SHAFA – THT
C. Membran Timpani
1. Selaput putih mutiara
2. Bentuk oval – kerucut
3. Diameter 9 – 10 mm
4. Terdiri dari :
a. Pars flaksida
• Lapisan kutaneus
• Lapisan dalam
b. Pars tensa (tebal 0.1 mm)
• Lapisan kutaneus, epitel skuamus
• Middle layer (pars propria) consist of :
• Radiate fibrous layer
• Circular fibrous layer
Lapisan dalam, mukosa rongga telinga tengah
Telinga tengah (auris media)
A. Kavum Timpani
1. Kavum timpani, bagian terpenting dari auris media, bentuk kotak dengan dinding enam
2. Isi kavum timpani
a. Osikule : maleus, inkus, stapes
b. Muskulus : tensor timpani, stapedius
c. Ligamen
d. Nervus (korda timpani)
3. Arterialisasi :
a. Anterior tympanic a (maxillary a)
b. Posterior tympanic a (stylomastoid a)
c. Inferior tympanic a (external carotid a)
d. Superficial petrosal a, superior tympanic a ( middle meningeal a)
e. Caroticotympanic a (internal carotid a)
4. Vena :
a. Superior petrosal dural sinus
b. Pterigoidal plexus
5. Persarafan :
a. Tympanic branch of glossopharyngeal nerve (Jacobson’s nerve)
b. Modalities :
c. greatest portion: sensory of mucosa of me, air cells and auditory tube
d. Parasympathetic : no function in me
e. Sympathetic fibers : internal carotid plexus
6. Batas-batas :
a. Superior : tulang sangat tipis, merup batas dg fosa kranii media (lobus temporalis)
b. Inferior : bulbus vena jugularis
c. Posterior : aditus ad antrum, sel-sel mastoid, N VII pars vertikalis
d. Anterior : muara tuba Eustachius, arteri karotis
e. Medial : promontorium → labirin
f. Lateral : membran timpani
B. Tulang Pendengaran
Rantai tulang pendengaran : Malleus – Incus – Stapes
C. Otot
1. Tensor tympanic
a. Dipersarafi oleh N. V
b. Origo : kartilago padaTuba Eustachius
c. Tendon : mengitari prosesus kokleirofmis, melalui kavum timpani – leher bagian medial,
manubrium of malleus
SHAFA – THT
2. Stapedius
a. Berjalan vertikal pada dinding posterior dekat dengan N. VII
b. Tendon : traversus eminensia piramid melekat pada krus posterior
D. Tuba Eusthacius
1. Menghubungkan kavum timpani dengan nasofaring
2. Pada bayi : lebih pendek, horizonyal & lumen lebih lebar → mudah terjadi radang pd kavum
timpani
3. Muara pada kavum timpani selalu terbuka, sedangkan muara pada nasofaring selalu tertutup
4. Terbuka bila ada kontraksi m. levator & tensor veli palatini pada saat menguap atau menelan
5. Fungsi :
a. drainase
b. ventilasi
c. mempertahankan tekanan udara dlm kav timpani sama dengan luar / 1 atm)
6. Panjang sekitar 35 mm
7. Mukosa : sel mukosilier fungsi klirens
8. 2/3 anteromedial : fibrokartilaginous
9. 1/3 posterolateral : tulang
10. Fat pad of Ostmann – maintaining resting closure
E. Nervus Fasialis (N. VII)
5 segments :
1. Intrakranial : pons → kanalis akustikus internus; 24 mm
2. Intrakanal : IAC bergabung dengan N.itermedius
3. Labirinthine : kanal fallopii → ganglion geniculatum ; 4 mm
4. Timpani : ganglion genikulatum → eminensia piramidal (2nd genu) ;13 mm
5. Mastoid : genu kedua → foramen stilomastoid; 20 mm
F. Antrum Mastoid
1. Berhubungan dengan kavum timpani lewat aditus ad antrum
2. Pneumatisasi :
a. Proses pembentukan sel-sel mastoid
b. Jenis → tergantung jumlah sel mastoid : normal, hiper, hipo-pneumatik dan sklerotik
Anatomi - Telinga dalam (auris interna)
A. Organ auditivus (Koklea)
1. Rumah siput : 2½ lingkaran, panjang 3,5 cm
2. Tiga ruangan :
a. Skala vestibuli : berisi cairan perilimfe
b. Skala timpani
c. Skala media : berisi cairan endolimfe dan organ Corti
3. Scala media dibatasi oleh :
a. Membran Reissner
b. Membran Basilar : organ Corti
c. Berisi endolimf
4. Organ of Corti berisi :
a. Outer and Inner hair cells
b. Supporting cells (Deiters, Hansen, Claudius)
c. Membran tektorial
d. Reticular lamina-cuticular plate complex
B. Organ status (vestibuler)
Kanal Semisirkularis
1. Scala media dibatasi oleh :
a. Membran Reissner
b. Membran Basilar : organ Corti
c. Berisi endolimf
SHAFA – THT
2. Organ of Corti berisi :
a. Outer and Inner hair cells
b. Supporting cells (Deiters, Hansen, Claudius)
c. Membran tektorial
d. Reticular lamina-cuticular plate complex

Fisiologi Telinga
A. Pendahuluan
1. Seseorang dapat mendengar melalui
a. Hantaran udara → koklea
b. Hantaran tulang → koklea
2. Suara melalui udara lebih baik daripada tulang
3. Telinga menangkap rangsang bunyi (energi mekanis) impuls syaraf (energi listrik) otak
(disadari & dimengerti)

B. Mekanisme

C. Sistem Pendengaran
1. Perifer → telinga luar (auris eksterna)
a. telinga tengah (auris media)
b. telinga dalam (auris interna)
2. Sentral → nukleus koklearis, nukleus olivarius superior, lemniskus lateralis, kolikulus inferior
& korteks.
D. Sensitivitas Telinga
1. Frekuensi :
a. 20 – 20.000 Hz → audio sound
b. <20 Hz → infra sound
c. >20.000 Hz → ultra sound
2. Telinga manusia plg sensitif pd frek 500 – 2000 Hz → disbt frekuensi bicara
3. Intensitas (dynamic range) 130 dB

SHAFA – THT
(2) Anatomi dan Fisiologi Hidung dan Paranasal
Dr. Rizka Fathoni Perdana

Anatomi Hidung
A. Hidung Luar (Nasus eksternus) :
1. Radiks nasi
2. Dorsum nasi
3. Apeks nasi
4. Ala nasi
Kerangka Hidung :
1. Tulang Hidung:
a. Os Nasale
2. Tulang Rawan Hidung:
a. Kartilago lateral hidung
b. Kartilago alaris mayor; kaki (crus) medial & lateral
c. Kartilago alaris minor
3. Vaskularisasi : Cabang A. Karotis Eksterna dan Interna. Darah balik melalui V. Fasial Anterior
4. Getah bening : Mengikuti V. Fasial Interior ke limfonoduli submaksila
5. Persarafan :
a. N. Etmoid anterior, N. Suprakoklear, N. Infrakoklear yang merupakan cabang n.
Oftalmikus (cab. N. Trigeminus)
b. N. infraorbital yang merupakan cabang n. Maksila
B. Hidung Dalam (Nasus internus): Rongga hidung dan septum nasi
1. Rongga Hidung – Konka (tonjolan tulang, dilapisi mukosa)
a. Konka nasi inferior (KI)
• Konka terbesar, dibawahnya terdapat meatus nasi inferior
→ muara duktus naso-lakrimalis
b. Konka nasi medius (KM)
• Terletak antara konka nasi inferior dan superior
• Tepat dibawahnya meatus nasi medius
→ muara dari sinus frontal, sinus maksila, sinus etmoid anterior
c. Konka nasi superior (KS)
• Konka terkecil, kadang tidak terlihat
• Tepat dibawahnya meatus nasi superior
→ muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid

SHAFA – THT
Meatus nasi :
a. Meatus nasi inferior: antara dasar rongga hidung dengan konka inferior
b. Meatus nasi medius: antara konka inferior dan medius
c. Meatus nasi superior: antara konka medius dan superior
2. Septum nasi (SPT)
a. Nasal septum
b. Choanae
c. Vomer
d. Os ethmoidale, Lamina perpendicularis
e. Cartilago Septi nasi
f. Pembuluh darah : Plexus Kiesselbach

Anatomi Paranasal

A. Sinus Maksila
1. Terletak di tulang maksila kanan dan kiri
2. Sinus paling besar dan berjumlah sepasang
3. Batas:
a. Superior: dasar orbita
b. Medial: dinding lat rongga hidung
c. Posterior: fosa pterigomaksila
d. Inferior: prosesus alveolaris os maksila (akar gigi geraham atas)
4. Ostium sinus berada di atas dekat atap dan bermuara di meatus nasi medius (KOM)
5. Diameter: 2.4 mm (kanan kiri simetris)
B. Sinus Ethmoid
1. Terdiri banyak sel di dalam tulang etmoid, dibagi : grup anterior dan grup posterior, dipisahkan
oleh lamela basalis
2. Grup anterior drainase ke meatus nasi medius
3. Grup posterior drainase ke meatus nasi superior
4. Batas:
a. Superior: Basis kranii (fosa kranii anterior)
b. Lateral: lamina papirasea (dinding medial orbita)
c. Medial: Konka media dan konda superior
d. Posterior: sinus spenoid
C. Sinus Frontal
1. Pada os frontal (tulang dahi)
2. Sepasang, kanan dan kiri, tidak sama besar, kadang-kadang hanya tumbuh sebelah
3. Ostium diteruskan di meatus nasi medius (di KOM) melalui resesus frontal
4. Batas
a. Superior & posterior berbatasan dengan fosa kranii anterior
b. Inferior berbatasan dengan rongga orbita
SHAFA – THT
D. Sinus Snefoid
1. Di tulang sfenoid, kanan dan kiri
2. Ostium di resesus sfeno-etmoid
3. Batas:
a. Superior dan posterior: hipofise
b. Lateral : fosa kranii medius
c. Struktur penting: a. Carotis interna, n. Optikus, n.Vidianus, dan sinus cavernosus
d. Inferior: nasofaring
Komplek Ostio Meatal (KOM)
• Ostium sinus maksila
• Ostium sinus frontal
• Prosesus unsinatus
• Bula etmoid
• Konka medius
1. Sinus Sfenoid : Ostium dimuka dan tengah drainage mudah
2. Sinus Frontal : Ostium di bawah drainage mudah
3. Sinus Etmoid : Ada 2 ostium aterior & posterior, banyak cellulae drainage susah
4. Sinus Maksila :
a. Ostium tinggi dekat atap, kecil, tertutup konka media drainage susah
b. Sekret dari sinus ethmoid dan frontal dapat masuk ke dalam sinus maksila
5. Epitel merupakan: “ciliated pseudo stratified columnar epithelium”
a. Mengandung sel goblet serta kelenjar serus dan mukus
b. Silia berjumlah 25-100/sel dan selalu mengadakan gerakan (“stroke”) ke arah belakang (koana)
untuk mendorong selimut lendir ke nasofaring 1.300 gerakan/menit)
6. Aliran darah:
a. Dinding lateral: a. Etmoidalis anterior, a. Etmoidalis posterior dan a. Sfenopalatina
b. Septum nasi: a. Etmoidalis anterior dan posterior, a. Nasopalatina, a. Palatina mayor dan a.
Labial superior
7. Persarafan:
a. Cab dari n. oftalmikus dan n. Maksilaris ( cab. Trigeminus)
8. Aliran Getah baning:
a. Bag anterior ke kel submaksila
b. Bag posterior ke kel retrofaring dan servikal profunda
Fisiologi Hidung
• Aliran udara dlm rongga hidung mempengaruhi fungsi hidung
• Internal nasal valve: bagian tersempit rongga hidung yg menghambat 50% aliran udara inspirasi.
a. Batas; medial: anterosuperior septum nasi dan lateral: upper lateral cartilage
b. Berbentuk triangular dengan luas 20-40 mm2
• Nasal resistance ditimbulkan oleh efek Venturi dan adanya nasal cycle
A. Fungsi Pernapasan
1. Mengatur banyaknya udara yg masuk :
a. Disesuaikan dg kebutuhan
b. Konka nasi dapat membesar & mengecil melebarkan & menyempitkan rongga hidung
2. Menyiapkan udara :
a. Menyaring: vibrise & selimut lendir
b. Membasahi: dengan penguapan sekret hidung kelembaban udara + 80%
c. Memanasi: Transfer panas dari darah ke udara di dalam rongga hidung (konka), udara
dingin berubah → 36-370C
3. Menghangatkan dan melembabkan
a. Udara secara cepat dipanaskan dari anterior sampai ke posterior
b. Total pemanasan saat meninggalkan nasofaring mencapai 80C
c. Udara juga dilembabkan → Dari vestibulum nasi - glotis udara dilembabkan 40 - 98 %
SHAFA – THT
4.Desinfeksi:
a. Kuman ditangkap oleh lendir
b. Dibunuh dengan enzim lisozim
c. Suasana asam mematikan kuman
d. Selimut lendir didorong ke belakang oleh silia epitel mukosa ke nasofaring, ditelan
e. Fagosit, limfosit, histiosit di jar submukosa
B. Fungsi Pembauan
1. Udara inspirasi masuk ke rongga hidung
2. Menuju atap bersentuhan sehingga dengan daerah pembauan (regio olfaktoria)
a. Merangsang reseptor di ujung syaraf, n. Olfaktorius pusat penghidu.
b. Area pembauan: superior septum, bagian superior konka superior dan bagian superior
konka media
3. Bila terjadi buntu hidung (udim, polip, tumor) terjadi hiposmia/anosmia
4. Perjalanan N. oflaktorius
Akson (ujung proksimal sel olfaktori → fila olfaktori (filamen) → melalui lamina kribrosa →
bulbus olfaktori → traktus olfaktorius → berjalan sepanjang lobus frontal → korteks piriformis
→ komisura anterior, nukleus kaudatus, komisura olfaktorius dan limbus anterior kapsul
internus
C. Fungsi Resonansi Suara
1. Getaran yang dihasilkan pita suara menimbulkan resonansi pada rongga sinus → suara merdu
2. Bila buntu hidung terjadi bindeng/sengau
D. Fungsi Drainase dan Ventilasi Sinus Paranasal
Gangguan fungsi → Rinosinusitis

Pemeriksaan Fisik
A. Rinoskopi Anterior (RA)
1. Menggunakan lampu kepala dan spekulum hidung
2. Melihat rongga hidung (lapang/sempit), konka nasi (besar, udim, hiperemi/pucat), septum nasi
(deviasi), meatus nasi medius (sekret, polip)
3. Memeriksa fenomena palatum mole
B. Rinoskopi Posterior (RP)
1. Melihat bagian belakang rongga hidung dan nasofaring melalui cermin kecil.
2. Cermin kecil bertangkai diletakkan di orofaring dengan permukaan menghadap ke atas, sinar
lampu kepala di arahkan ke cermin, posisi diubah-ubah.
3. Dilihat : dinding nasofaring, tuba Eustakhius, torus tubarius dan koana
C. Transiluminasi
1. Dilakukan di kamar gelap
2. Lampu bertangkai dimasukkan ke dalam rongga mulut, sinar lampu akan menembus rongga
sinus maksila, terlihat di pipi, bandingkan kanan dan kiri.
3. Sinus yang terisi cairan tampak suram/gelap
4. Bermakna bila ada perbedaan kanan & kiri

SHAFA – THT
(3) Rinitis Akut, Rinitis Kronik (RA,RV), Polip Hidung
Dr. Diar Mia Ardani

Pendahuluan Rinitis
• Keradangan mukosa rongga hidung
• Klasifikasi :
a. alergi atau non alergi
b. infeksi atau non infeksi
c. Intermiten atau persisten
• Sering multi-faktor
A. Penyebab Rinitis
1. Faktor Mekanis
a. Deviasi septum
b. Polip hidung
c. Tumor rongga hidung, sinus, nasofaring
d. Kelainan bawaan (atresi koana)
e. Adenoid hipertropi
f. Benda asing
2. Penyakit Infeksi
a. Rinitis akut (virus)
b. Sinusitis (bakterial)
c. Rinitis spesifik (tuberkulosis, lepra, sifilis)
d. Rinitis difteri
e. Rinitis karena jamur
f. Ozaena
3. Penyebab Lain
a. Rinitis medikamentosa (tetes hidung)
b. Rinitis medikamentosa sistemik (mis. : obat kardiovaskular, psikotropika, anti hamil )
c. Granuloma (Wegener, mid-line granulome)
d. Kehamilan (hormonal)
B. Diagnosa Rinitis
1. Anamnesis yang lengkap dan cermat
2. Pemeriksaan Telinga, Hidung dan Tenggorok yang seksama
3. Pemeriksaan tambahan / penunjang
4. Tes alergi

SHAFA – THT
C. Akibat pada
1. Mata
Penyempitan ostium duktus nasolakrimalis → Penyaluran air mata ke rongga hidung terganggu
→ Epifora (mata berkaca-kaca)
2. Sinus paranasal
a. Ostium menyempit → Gangguan drainage dan ventilasi → Penyerapan oksigen oleh
mukosa → Tekanan rongga sinus menurun → vakum sinus (rasa nyeri) → Sinusitis
b. Rinolalia Oklusa (suara bindeng), kesulitan mengucapkan suara hidung (ggn resonansi)
3. Telinga
a. Penyempitan ostium tuba Eustakhius → Oklusi tuba → tekanan dlm kavum timpani
menurun → Tinitus / grebeg-grebeg
b. Transudasi → OM efusi/OM serosa (OME/OMS)
c. Infiltrasi kuman → OMA(OMPA)
4. Rongga mulut
a. Obstruksi hidung bilateral → pernapasan mulut → Mulut kering → Faringitis (batuk, sakit
tenggorok)
b. Penguapan saliva → endapan mineral pada gigi → karang gigi
5. Kualitas hidup
a. Hidung buntu → sulit tidur → terjadi “Obstructive Sleep Apnea” (OSA)
b. Sulit konsentrasi, iritable, mudah marah, gangguan aktifitas sehari-hari → Aproseksia
nasalis.
c. Pada anak tampak bodoh, mulut terbuka, lamban, (“fasies adenoid”)

Rinitis Infeksi
A. Rinitis Akut (Common Cold, Coryza, Selesma)
1. Infeksi mukosa hidung (bagian dari URI)
2. Penyebab utama : Virus (adenovirus, rinovirus, virus influenza, dsb)
3. Keradangan dapat mencapai sinus paranasal (Rinosinusitis akut viral)
4. Gejala : bersin, rinorea, hidung buntu → febris, ingus mengental → mukus → mukopurulen →
krusta
5. Sembuh dalam 5-7 hari (self limited disease)
6. Predisposisi : kelelahan, kedinginan
7. Terapi :
a. Istrahat, makanan/minuman hangat.
b. Tidak memerlukan terapi antibiotik.
c. Terapi simtomatik:analgesik/antipiretik, dekongestan oral/topikal
d. Mulai pengobatan pada awal sakit.
8. Komplikasi :
a. Onfeksi bakterial : sinusitis, otitis media supuratif/purulen akut (OMSA/OMPA)
b. Ekstensi infeksi (faringitis, laringitis, bronkitis)
B. Rinitis Difteri (Difteri Hidung)
1. Radang akut spesifik pada kavum nasi oleh kuman Corynebacterium Diphtheri
2. Jarang dijumpai, biasanya pada anak
3. Keluhan : pilek campur darah, panas, malaise
4. Kondisi anak baik, jarang ada komplikasi
5. RA : mukosa hidung nekrosis, ditutupi sekret kental sanguinus.
6. Tanda khas : pseudomembran melekat erat pd mukosa, di lepas mudah berdarah.
7. Diagnosis pasti dengan pemeriksaan kuman
8. Terapi : Isolasi, penisilin, ADS

SHAFA – THT
Rinitis Non Infeksi
A. Rinitis Hiperemika (Rinitis Medikamentosa)
1. Faktor penyebab :
a. Rinitis akut berulang
b. Pemakaian obat antihipertensi gol reserpin
c. Rebound effect ok pemakaian TH lama gol epedrin
2. Gejala : Buntu hidung memberat, mula-mula posisi berbaring, susah tidur
3. Pemeriksaan : Mukosa udim, hiperemi, konka hipertrofi
4. Pengobatan :
a. Hindari faktor penyebab
b. Stop tetes hidung
c. Melonggarkan kavum nasi : kaustik, konkotomi
B. Rinitis Vasomotor
1. Faktor penyebab :
a. Sensitif thdp trauma fisik (udara dingin, kelembaban ).
Perub udara dingin sbg trauma fisik
• plasma sel limposit melepaskan mediator vasoaktif amin
• vasodilatasi peningk permeabilitas pmbl darah kapiler
• udim dan sekresi kelenjar seromucinus
b. Psikis : banyak pd orang psikis labil.
2. Gejala :
a. Buntu hidung, Pilek encer, bersin
b. Sering bersamaan dgn rinitis alergi
3. Pemeriksaan :
a. Mukosa udim dan hiperemi, sekret serous atau seromukus.
b. Kadar Eosinofil normal.
4. Pengobatan :
a. Hindari hawa dingin, mandi air hangat
b. Outdoor training
c. Obat simptomatis : dekongestan oral / TH
d. Buntu hidung lama & berat : kaustik / konkotomi
C. Rinitis Alergi
• Merupakan reaksi alergi / hipersensitivitas
• Tipe I dari Gell & Coomb yg diperantarai Ig E dgn mukosa hidung sbg organ sasaran utama
• Keluhan klinis : muncul akibat paparan alergen (timbul waktu membersihkan tempat tidur,
menyapu lantai, membongkar tumpukan buku dll).
• Riwayat alergi di organ lain (asma, urtikaria)
• Riwayat alergi dalam keluarga
1. ALERGEN, masuk melalui :
a. Inhalan : debu rumah, tungau/mite, jamur, kapuk
b. Ingestan : susu sapi, telur, ikan laut, coklat dll
c. Injektan : sengatan lebah/ nyamuk, obat suntik
d. Kontaktan : perhiasan, kosmetik
2. Gejala :
a. Bersin berulang > 5x, pilek encer bening spt air,
b. Buntu hidung, gatal hidung / mata
c. Timbul setelah kontak / terpapar alergen
3. Pemeriksaan :
Mukosa udim, pucat / kebiruan, sekret serous
4. Pemeriksaan Penunjang :
a. Uji kulit Prick positif
b. Kadar eosinofil sekret hidung meningkat 25%
SHAFA – THT
c. Kadar Ig E meningkat
5. Pengobatan :
a. Avoidance / menghindari alergen
b. Olah raga teratur ( out-door training )
c. Pola hidup sehat ( hindari stres, diet seimbang )
d. Antihistamin, dekongestan, stabilisator sel mast
e. Immunoterapi
D. Polip Hidung
1. Penderita :
a. Dewasa muda, laki-laki>wanita
b. Umumnya bilateral, dapat unilateral
2. Anamnesis : Buntu hidung kronik memberat, pilek, ingus tidak berbau, sering ada faktor alergi.
3. Rinoskopi anterior : Masa polip bening licin di meatus nasi medius, dapat memenuhi rongga
hidung
4. Pemeriksaan tambahan : naso-endoskopi, radiologi ( foto Waters )
5. Pengobatan : operasi polip ekstraksi
6. Komplikasi : sinusitis paranasal, OMSA / OMS

Benda Asing Rongga Hidung


A. Sering pd anak balita
B. Biji-bijian, kertas, plastik, hewan, dsb
C. BA lalat bertelur di hidung → larva → myasis
D. Gejala khas : hidung berbau (fetor nasi), unilateral, bila lama ingus bercampur darah
E. DD : sinusitis
F. Terapi :
a. Ekstraksi dengan kait/forsep
b. Bila sulit, perlu bius total

SHAFA – THT
(4) Rinosinusitis
Dr. Diar Mia Ardani
A. Batasan
Proses radang pada mukosa hidung dan sinus paranasal
B. Klasifikasi
1. Berdasar waktu:
a. Akut : berlangsung 4 – 8 minggu
b. Subakut : berlangsung 8 - 12 minggu
c. Kronis : berlangsung > 12 minggu
2. Berdasar asal penyebab:
a. Rinogen : berasal dari rongga hidung
b. Dentogen : berasal dari gigi
C. Patofisiologi

Rinosinusitis Akut Bakterial (RSAB)


A. Patofisiologi

B. Bakteriologi
1. Kuman paling sering ditemukan adalah : S. pneumoniae, H. influenzae, dan M. catarrhalis
2. Kuman lainnya (jarang) : S. aureus, S. pyogenes, dan kuman anaerob
3. Di luar negeri 40% H. influenzae menghasilkan enzim betalaktamase
C. Terapi Medikamentosa
1. Memperbaiki drainase/ventilasi: Dekongestan dan Mukolitik
2. Membunuh kuman: (Antibiotik)
3. Simtomatik: (Analgesik/antipiretik)
4. Irigasi Sinus (untuk sinus maksila)
D. Antibiotik
1. Lini Pertama : Amoksisilin atau Kotrimoksazol/Makrolid
2. Lini Kedua : Amoksisilin+Klavulanat, Makrolid
3. Lini Ketiga : Sefalosporin III, Makrolid
E. Gejala Tanda
1. Pilek > 7 – 10 hari
2. Ingus purulen (kental kekuningan)
3. Nyeri di pipi/dahi/hidung, hidung buntu
4. RA : mukosa udim, mukopus di meatus nasi medius
5. Trans-iluminasi (pada sinus maksila dan frontal)
6. X-Foto : Waters / CT Scan
F. CT Scan : Sinusitis Maksila (M) dan Etmoid (E) kiri
SHAFA – THT
Rinosinusitis Kronik
A. Faktor Penyebab:
1. Pengobatan RSA tidak adekuat
2. Kelainan di kompleks ostio-meatal (deviasi septum, polip nasi, konka bulosa, dll.)
3. Latar belakang alergi (80% RSK dewasa, ok alergi), dapat terjadi RSK alergi jamur
4. Dentogenik (pada sinus maksila) : kerusakan pada gigi (P1 – M3)
B. Rinosinusitis Kronik
1. Sinusitis Berlangsung > 12 Mgg
2. Gejala Tidak Jelas : Nyeri Tidak Jelas, Febris Tidak Ada, Buntu Hidung Tidak Menonjol
3. Rinore Dengan Ingus Kental
4. Rinosinusitis Dentogenik : Gejala Utama Ingus Berbau Busuk
C. Penatalaksanaan
1. Medikamentosa tidak efektif
2. Menghilangkan penyebab:
a. Gangguan komplek ostio-meatal diperbaiki
b. Untuk sin. Maksila → obati kerusakan gigi
3. BSEF (bedah sinus endoskopi fungsional)
4. Untuk Sin. Maksila : irigasi sinus, operasi Caldwell-Luc
D. Komplikasi
1. Lokal : Mucocele, osteomyelitis
2. Orbita : Selulitis orbita, Abses orbita
3. Intrakranial : Meningitis, Abses Subdural-Epidural-Otak, Trombosis Sinus Kavernosus.

Sinusitis Maksila Dentogenik


A. Pendahuluan
1. Infeksi mukosa sinus maksila yang berasal dari penyakit gigi
2. Kerusakan pada gigi ( P1 – M3 ) atas : karies, abses periapikal, kista gigi yang terinfeksi,
gangren, pulpitis, pasca cabut gigi, dll
B. Patofisiologi Asal Dentogen

C. Gejala :
1. Keluhan utama : hidung berbau busuk (foetor nasi)
2. Pilek kental kuning kehijauan dan berbau busuk
3. Pada stadium awal blm didptkan buntu hidung
4. Demam dan sakit kepala umumnya tidak ada
D. Pemeriksaan :
1. RA : pus di meatus medius
2. Foto Waters : Perselubungan / air fluid level
E. Pengobatan :
1. Antibiotika yg efektif thd kuman anaerob ( mis: klindamisin ) selama 7 – 10 hari Tidak perlu
dekongestan
2. Gigi sbg sumber infeksi harus diterapi
3. Stadium lanjut ( kronik ) : irigasi sinus maksila utk mempercepat penyembuhan. Irigasi dapat
diulang setiap minggu sampai bersih

SHAFA – THT
(5) Karsinoma Nasofaring dan Tumor Sinonasal
Dr. Rizka Fathoni Perdana
Karsinoma Nasofaring
A. Perlu diketahui oleh Dokter Umum, oleh karena :
1. Sering dijumpai di Indonesia
2. Tumor ganas terbanyak di bidang THT
3. Sebagian besar awalnya datang pd dokter umum
4. Sebagian besar datang sdh dlm kondisi stadium lanjut (95%)
B. Anatomi
1. Nasofaring = rinofaring = epifaring
2. Ruang yg terletak langsung di bwh tengkorak, di belakang kavum nasi, di atas palatum
a. Anterior : koane / nares posterior
b. Posterior : setinggi kolumna vertebra c1-2
c. Inferior : dinding atas palatum mole
d. Superior : basis kranii (os occipital & sfenoid)
e. Lateral : fossa Rosenmülleri kanan & kiri
3. Fossa Rossenmülleri – resesus faringealis
4. Epitel peralihan
5. Foramen laserum
6. Aliran limfe tdk mengindahkan garis tengah tubuh → metastasis ke leher kontralateral
7. Tumor ganas nasofaring (TGN) adalah keganasan yang berasal dari epitel mukosa, jaringan
penyangga / lunak atau kelenjar yang terdapat pada nasofaring
: =2:1
Umur rata-rata = 30 – 50 th
C. Etiologi
1. Virus Epstein Barr (EBV)
2. Bahan karsinogenik (nitrosamin, dll)
3. Genetik (ras → HLA)
4. Lain2 : Iritasi menahun, asap, panas, pedas, radang kronis (nasofaringitis kr), sosial-ekonomi
D. Lokalisasi
1. Fosa Rosenmülleri (>>>)
2. Sekitar tuba Eustachius
3. Dinding belakang nasofaring
4. Atap nasofaring
E. Klasifikasi Karsinoma Nasofaring
1. Menurut WHO 1997 :
a. Karsinoma sel skuamosa dg pembentukan bahan tanduk
WHO tipe 1 (diferensiasi baik, sedang dan jelek)
b. Karsinoma sel skuamosa tanpa pembentukan bahan tanduk
WHO tipe 2
c. Karsinoma tanpa diferensiasi (undifferentiated Ca)
WHO tipe 3 (karsinoma sel transisional & limfoepitelial)
2. Berdasarkan Patologi Anatomi
Keganasan di nasofaring dapat berupa :
a. Karsinoma nasofaring
b. Adenosarkoma
c. Karsinoma adenokistik (= silindroma)
Jenis yang lain :
a. melanoma maligna
b. limfoma maligna
3. Bentuk & cara tumbuh:
Endofitik (>>), ulseratif, eksofitik
SHAFA – THT
F. Anamnesis dan Gejala Klinik
1. Gejala dini:
a. Telinga : mendenging/grebek2 (tinitus), pendengaran menurun, otalgi
b. Hidung : pilek lama, ingus/dahak campur darah, buntu hidung
2. Gejala lanjut:
a. Ekspansif:
Ke depan : menutup koane → buntu hidung ke bawah → mendesak palatum →
“bombans” palatum mole
b. Infiltratif:
Ke atas : melalui foramen laserum ke endokranium → sindroma petrosfenoidal, gejala :
▪ Sakit kepala
▪ Paresis n. Vi (m. Rektus lateralis) → strabismus, diplopi
▪ Paresis n. V & cabang2nya → trigeminal neuralgi
▪ Paresis n. Iii, iv → ptosis & oftalmoplegi
Ke samping : lewat foramen jugulare, spatium parafaring → sindroma parotidean, gejala:
▪ Parese n. Ix, x → sulit menelan, regurgitasi, bindeng
▪ Paresis n.xi → kelemahan otot bahu/leher
▪ Paresis N. XII → deviasi lidah, ggn menelan
G. Pemeriksaan Neuralgia
Menentukan adanya paresis / paralisis, N. I – XII, (kanan, kiri, atau keduanya)  G. Intrakranial
H. Pemeriksaan Lokal Nasofaring
R.A. , R.P. , Nasofaringoskopi (+ biopsi)
I. Pemeriksaan Leher
1. Paling sering metastasis → ke kel GB servikalis profunda laterokranialis
Lokasi :
a. kaudal dari ujung mastoid
b. dorsal dari angulus mandibula
c. medial dari m. sternokleidomastoideus
2. Tumor leher (65-85%) Keluhan tersering pdrt datang berobat ke dokter
J. Sign & Symptoms
1. Ear : Hearing loss, Otitis media, Tinnitus
2. Nose : Epistaxis, Discharge, Obstruction, Anosmia
3. Speech : Hyponasal, Palatal peresis
4. Miscellaneous : Cranial nerve deficits (V), Horner’s Syndrome
K. Waspada bila dijumpai 3 Gejala
1. Tumor leher- Gejala telinga - Gejala hidung
2. Tumor leher - Gejala intracranial - Gejala hidung
3. Gejala intracranial - Gejala telinga - Gejala hidung
L. Pemeriksaan Radiologis
1. Tujuan menentukan:
a. Lokasi, besar / luas tumor primer
b. invasi tumor ke organ sekitar
c. adanya destruksi tulang dasar tengkorak
d. metastasis ke KB leher
e. metastasis jauh
f. stadium tumor
2. Foto tengkorak (AP, lateral, dasar tengkorak, Water’s)
3. CT scan / MRI
4. Foto torak (PA) → metastasis ke paru?
5. USG abdomen → metastasis ke hepar?
6. Bone Scintigraphy → metastasis ke tulang?

SHAFA – THT
M. Diagnosis
1. Diagnosis klinik
a. umur (biasanya usia tua > 40 th)
b. gejala klinis → dini / lanjut
c. pemeriksaan lokal → tumor di nasofaring
d. radiologis → mass di nasofaring
2. Diagnosis histopatologis (Dx pasti)
Biopsi nasofaring → sel ganas + (WHO tipe 1,2 / 3)
3. Diagnosis serologis : IgA anti VCA, IgA anti EA
N. Diagnosis Banding
1. Angiofibroma Nasofaring Juvenilis
2. Angiofibroma Nasofaring
3. Adenoid Persisten
4. TBC Nasofaring
O. Terapi
1. Radioterapi → dosis : 6600 – 7000 rad
2. Sitostatika (neoajuvan, konkuren, ajuvan kemoterapi) → mis.: cisplatin, carboplatin, 5 – FU,
bleomisin, paclitaxel, docetaxel
P. Prognosis
1. Stadium dini → 5 ysr: 70 – 80 %
2. Stadium lanjut → 5 ysr : 15 - 25%
Tumor Hidung dan Sinus Paranasal
A. Pendahuluan
1. Tumor jinak dan tumor ganas hidung & sinus paranasal jarang tjd, tetapi perlu diketahui utk:
a. Membedakan tumor jinak atau ganas
b. Mengenali gejala dini tumor ganas → dirujuk ke dokter THT
2. Tumor jinak pada hidung & sinus paranasal
a. Osteoma
b. Kista rahang
c. Ossifying fibroma (fibrous dysplasia)
d. Papilloma
e. Hemangioma
3. Tumor ganas pada hidung & sinus paranasal
Dari Epitel: Dari Mesenkhim:
a. Squamous Cell Carcinoma a. Osteo Sarcoma
b. Adeno Carcinoma b. Chondro Sarcoma
c. Adeno Cystic Carcinoma c. Lymphoma Maligna
d. Undifferentiated Carcinoma
B. Osteoma
1. Proliferasi tulang padat pada sinus Frontalis dan sinus Ethmoidalis
2. Sefalgia, sinusitis berulang, rasa tertekan pada orbita
3. Dx: X-foto
4. Tx: observasi - operasi
C. Ossifying Fibroma
1. Penonjolan unilateral tulang wajah
2. Berasal dari periosteum atau periodontal membran
3. Anak atau dewasa (usia 20-40 th)
4. Wanita > pria
5. Mandibula > maksila
6. Dx: X-foto
7. Tx: operasi untuk kosmetik

SHAFA – THT
D. Fibrous dysplasia
1. Mrp defek perkembangan atau metaplasia fibro-oseus
2. Banyak pd dekade I
3. Perempuan > Laki-laki
4. Maksila > mandibula
5. Dx: X-foto
6. Tx: operasi
E. Kista dentigerus/folikuler
1. Kista otontogenik
2. Unilokuler, mahkota tempat asal kelainan yg belum mengalami erupsi menghadap ke kista
3. Sebab: akumulasi cairan diantara reduksi enamel epitel dan enamel permukaan gigi
4. Klinis: benjolan pd mandibula/maksila
5. Dx: X-foto (AP/lat, panoramik, Eisler, Water’s)
6. Tx: operasi (ekskokleasi)
F. Kista Radikuler
1. Kista odontogenik berasal dari inflamasi yang disebabkan berasal dari karies akibat
rangsangan kronik, terbentuk granuloma di tulang rahang sekitar akar gigi yg kmd mengalami
nekrosis di bag sentral shg tjd kista infeksi unilokuler
2. Kista menghadap ke akar gigi (srg di premolar & molar)
3. Dx: X-foto
4. Tx: operasi
G. Papilloma (Inverted papilloma)
1. Adalah suatu tumor berasal dari membran “schneiderian”,
2. Secara histopatologis, adalah proliferasi epitel permukaan yang berlebih dan invaginasi ke
dalam stroma.
H. Faktor penyebab :
1. Tidak diketahui dengan jelas,
2. Diduga radang menahun, infeksi virus dan bahan karsinogen.
3. Bisa metaplasi dari polip, biasanya unilateral.
4. Transformasi inverted papiloma ke arah ganas.
I. Keluhan dan tanda klinis
1. Keluhan sering buntu hidung unilateral.
2. Pilek epistaksis , nyeri kepala, epifora, dan gangguan pendengaran.
3. Pemeriksaan fisik didapat massa seperti polip berwarna merah muda, abu – abu.
4. Berasal dari dinding lateral kavum nasi, konka media, dapat meluas ke sinus.
5. bila lanjut bisa mendesak ke daerah muka, proptosis atau diformitas muka.
J. Pemeriksaan tambahan
Paling baik CT-Scan.
K. Pengobatan :
1. Operasi harus seluas mungkin dengan pendekatan terbaik berupa rinotomi lateral.
2. Radioterapi masih berdebatan, karena tidak efektif dan bisa menyebabkan perubahan
menjadi keganasan.
Tumor Ganas Hidung dan Sinus Paranasal
A. Pendahuluan
1. Semua jenis tumor ganas penanganannya sama
2. 3% tumor ganas daerah kepala & leher
3. Peringkat no. 2/3 di bidang THT
4. Letak tumor & kemungkinan perluasannya:
a. Sinus maksilaris : 60% d. Vestibulum nasi : 4%
b. Rongga hidung : 20% e. Sinus frontalis & sfenoid : 1%
c. Sinus etmoidalis : 15%
5. Laki-laki : wanita = 2 : 1

SHAFA – THT
B. Etiologi:
1. Pasti ???
2. Kelainan/kerusakan konstitusi genetik
3. Karsinogenik kimiawi
Kerusakan gen yg mengatur pertumbuhan & diferensiasi sel (proto-onkogen → onkogen)
a. Langsung (direct acting carcinogen) : Gas mustard
b. Tak langsung (pro carcinogen) : Ion radium, isopropil alkohol
4. Lingkungan hidup (85% kanker ok/ pengaruh lingkungan hidup)
Terutama pd industri/pabrik: kayu, nikel (debu nikel), krom, sepatu, arloji, batere, pemutih,
gelas, bahan penyamak kulit
C. Letak Tumor dan Prognosisnya

D. Gejala
1. Gejala tumor ganas pd hidung & sinus 3. Gejala perluasan tumor ke jaringan
paranasal. Untuk waktu agak lama tanpa sekitarnya
keluhan sehingga diagnosis dini sulit a. Sefalgi → perluasan ke intra kranial
2. Gejala awal yg perlu diperhatikan b. Gangguan gerakan bola mata
a. Usia lanjut c. Pendesakan bola mata
b. Obstruksi nasi unilateral d. Pembengkakan daerah medial
c. Rinore unilateral canthus, palpebra, pipi, palatum
d. Epistaksis unilateral dan alveolar
e. Foetor nasi e. Gigi rahang atas goyang
f. Hipoestesi cabang N. Trigeminus f. Pembesaran limfonodi regional
g. Rasa tertekan wajah & kepala
E. Diagnosa
1. Anamnesis 5. X-foto (Water’s, skull lateral, Rheeze), CT
2. Pemeriksaan THT scan, MRI
3. Endoskopi 6. Konsultasi dg ahli penyakit mata & saraf
4. Biopsi → diagnosis pasti 7. Dicari metastasis jauh
8. Sistem TNM
Klasifikasi TNM
A. Klasifikasinya :
T1 : tumor pada sinus maksilaris (antrum)
T2 : infrastruktur, palatum durum, hidung
T3 : etmoid, dinding posterior sinus maksilaris, dasar orbita, pipi (bukal)
T4 : rongga orbita & struktur lain di sekitarnya
B. Diagnosis banding
1. Infeksi sinus paranasalis dan komplikasinya
2. Tumor jinak rongga hidung dan sinus paranasal
C. Terapi (tergantung jenis, lokalisasi & perluasan)
1. Operasi :
a. Rinotomi lateral, c. Maksilektomi total,
b. Maksilektomi parsial, d. Maksilektomi total + eksenterasi bulbi
2. Radiasi : Post operasi 6000 Rad sebagai paliatif
3. Kemoterapi
D. Dengan terapi yg tepat 5 ysr → 30-40%

SHAFA – THT
(6), (7) Trauma Wajah dan Maksilofasial
Dr. Diar Mia Ardani

Trauma Muka (Maksilofasial)


A. Terbagi atas 3 :
1. 1/3 atas : Tlg.frontal
2. 1/3 tengah : Tlg.hidung-septum, Maksila, Orbita-lantai, Zigoma, Pros. alveolaris
3. 1/3 bawah : Mandibula
B. Tipe Fraktur
1. Tertutup, terbuka
2. Komunitip,“ greenstick “
3. Depressed, displaced / undisplaced
C. Lokasi Fraktur
1. Single
2. Multiple

Trauma Hidung
A. Hidung
1. Bagian paling menonjol pada wajah
2. Cedera wajah → fraktur hidung (nasal fractures), terjadi karena 2 aspek
a. Gangguan kosmetik
b. Gangguan fungsi hidung
3. Trauma nasi dapat terjadi:
a. Saat bayi lahir
b. Akibat kecelakaan (jatuh, perkelahian, KLL, dll)
4. Anatomi hidung :
a. Hidung bagian luar dan dalam
b. Hidung terdiri dari
▪ Jaringan Lunak : kulit, sub kutan, otot, mukosa, pembulah darah, syaraf
▪ Jaringan Keras : Tulang, tulang rawan

B. Tulang dan Tulang Rawan Hidung


1. Os nasal
2. Prosesus frontalis os maksila
3. Kartilago lateral (superior dan inferior)
4. Tulang & tlg rawan yang membentuk
5. Septum nasi (os vomer, lamina perpendikularis os etmoid, kartilago kuadrangularis)
SHAFA – THT
C. Akibat Trauma Hidung, dapat terjadi
1. Lesi kulit luar & jar. lunak
2. Kerobekan (laserasi) mukosa
3. Fraktur os nasal, tulang & tlg rawan penyangga hidung (bone and cartilage nasal framework)
4. Dapat disertai fraktur tlg disekitar hidung (tlg etmoid, frontal, rima orbita, os lakrimal, dasar
orbita (blow out fracture)
5. Klinis : epistaksis, deformitas hidung (nose displacement to the left)
D. Akibat trauma yang mengenai hidung tergantung:
1. Arah trauma
a. Trauma dari lateral → depresi os nasal ipsilateral dan fraktur os nasal kontralateral
b. Trauma dari frontal → akibat lebih hebat
2. Kekuatan trauma
a. Kekuatan trauma → makin kuat trauma dampaknya makin hebat
b. Berdasarkan dampak yang terjadi fraktur nasi terbagi menjadi 3 tingkat:
▪ Tingkat 1: os nasal depresi, melebar dan menumpang di atas prosesus frontalis
maksila. Fraktur septum nasi, fragmen tumpang tindih.
▪ Tingkat 2: fraktur prosesus frontalis maksila, dislokasi fragmen ke lateral sehingga
hidung menjadi datar. Fraktur septum lebih hebat.
▪ Tingkat 3: Kerusakan paling hebat. Idem tingkat 2, disertai prosesus frontalis os
maksila masuk ke dalam sinus maksila, dislokasi selule etmoid anterior, fraktur os
lakrimal. Kadang-kadang terjadi fraktur atap kavum nasi (rinore serebro spinal)

▪ Trauma dari arah frontal (ringan, sedang berat ) dan dampaknya


▪ Trauma dari lateral (ringan, sedang, berat) dan dampaknya
E. Diagnosis yang dapat ditegakkan
1. Anamnesis
a. Apakah ada trauma ? (macam trauma, arah & kapan terjadi)
b. Perlu ditanyakan :
▪ Epistaksis
▪ Buntu hidung (obstruksi nasi)
▪ Hiposmia / anosmia
2. Pemeriksaan:
a. Inspeksi : deformitas hidung, asimetri
b. Palpasi : nyeri tekan, krepitasi, mobilitas, bagian tlg yang menonjol
c. Pemeriksaan rongga hidung
RA X-foto:
▪ darah di kavum nasi ▪ sebagai pelengkap dalam menegakkan Dx
▪ dislokasi/ fraktur septum nasi, (47% garis fraktur os nasal tidak tampak)
rangka hidung ? → kavum nasi ▪ rutin untuk kasus berat
jadi sempit
▪ robekan mukosa ? hematoma
septum nasi?

SHAFA – THT
F. Terapi
1. Tujuan :
a. mengembalikan penampilan (apprearance)
b. mengembalikan patensi rongga hidung
c. mengembalikan septum nasi di garis tengah
d. mempertahankan integritas katup hidung
e. mencegah stenosis, perforasi septum, retraksi kolumela, dan hidung pelana
2. Prinsip Terapi : Reposisi Tertutup dan Reposisi Terbuka
Reposisi Tertutup (Closed Reduction)
a. Indikasi : fraktur os nasal simpel (80% kasus)
b. Reposisi secepat mungkin (3 jam), dengan anestesi lokal
c. Fraktur kurang dari 1-2 hari → udem belum muncul / hebat → reposisi mudah
d. Bila udem hebat → reposisi dapat di tunda 3-7 hari
e. Alat yang digunakan :
▪ Walsham forceps, Asch forceps
▪ Boies nasal fracture elevator
▪ Spekulum hidung (Hartman, Killian), pinset bayonet
f. Cara Reposisi
▪ Anestesi lokal (sol tetrakain efedrin 1%, / xylocain 10% spray), atau anestesi umum
▪ Elevator tumpul dimasukkan kavum nasi
▪ Os nasalis diangkat, dikembalikan ke tempatnya dengan tangan kanan
▪ Ibu jari tangan kiri mengadakan kontrol supaya bentuk hidung simetris dengan
menekan os nasal kontra lateral
▪ Dorsum nasi yang ambles (“depressed”) oleh karena fraktur septum nasi →
diangkat keatas dengan menggunakan Asch forceps
▪ Dgn cara ini → septum nasi menjadi lurus, posisi dorsum nasi kembali spt semula
(normal) dan kavum nasi lapang
▪ Selanjutnya di pasang tampon hidung (boorzalf, kloramfenikol / gentamisin) → utk
fiksasi interna (imobilisasi) dan menghentikan epistaksis
▪ Tampon dilepas hari ke 3 – 5
▪ Fiksasi eksterna dgn gips bentuk kupu (dilepas setelah 7-14 hari)
Reposisi Terbuka (Open Reduction)
a. Insisi Interkartilago dan Reposisi Fraktur Os Nasal & Septum
b. Deviasi piramid hidung yg beratFraktur os nasal berat atau fraktur terbuka → reduksi,
reposisi fraktur, penjahitan luka, imobilisasi / fiksasi eksternal dengan anestesi umum
c. Indikasi :
▪ Fraktur > 3 mgg
▪ Reposisi tertutup kurang baik
▪ Fraktur depresi yg displaced, dan displacement
▪ Tlg septum bertumpuk
▪ Fraktur ekstensif
d. Teknik : setelah anestesi umum, dilakukan :
▪ Reduksi, reposisi dan fiksasi fragmen tulang dengan kawat (wiring) atau mini plate
▪ Penjahitan luka di kulit / jaringan lunak
▪ Pemasangan tampon hidung (fiksasi interna) dan fiksasi eksterna dengan gips kupu
e. Fiksasi Os Nasal :
▪ Kawat
▪ Miniplate (tebal 1 mm & 0,8 mm)
▪ Microplate (tebal 0,5 mm)
f. Reseksi septum submukosa
g. Septoplasti dan Septorinoplasti
h. Osteotomi : Medial Paramedial Lateral Transversal

SHAFA - THT
G. Penutup
1. Trauma nasi → frontal, lateral
2. Dampaknya → tergantung arah dan kekuatan trauma
3. Bersifat gawat darurat
4. Terapi : reposisi tertutup / terbuka
5. Trauma baru (ringan, sedang) → reposisi tertutup dgn anestesi lokal
6. Trauma hebat atau lama → reduksi, reposisi terbuka & imobilisasi dgn anestesi umum

Trauma Maksilofasial
A. Fraktur Maksilofasial
1. Prinsip : Reposisi, Fiksasi, Imobilisasi, Rehabilitasi
2. Tujuan Operasi :
▪ Gangguan pergerakan & posisi bola mata
▪ Deformitas muka
▪ Gangguan motorik dan sensorik
▪ Maloklusi gigi
▪ Buntu hidung
▪ Gangguan drainase sinus paranasal
B. Fraktur Zigoma
Reposisi Tehnik Gillies
1. Sering fraktur depresi pada arkus zigoma, sutura fronto zigomaticus atau tonjolan malar
2. Fraktur stabil → Reposisi tertutup
3. Fraktur tidak stabil → Reposisi terbuka
4. Fiksasi dg kawat - Alat pengungkit Bristow
5. Fiksasi dg miniplate →Tipis, kuat & stabil
C. Fraktur Maksila
1. Tipe fraktur : Le Fort I, II, III
2. Prinsip Penanganan Fraktur Maksila
a. Reposisi (reduksi) fragmen tulang
b. Fiksasi dg Arch bar (dental arch bar), metal atau acrylic splints (mis. cash silver alloy cap
splint).
c. Penggantungan dengan menggunakan kawat :
Le Fort I, II Le Fort III
Ke arkus zigomatikus os frontalis Ke prosesus zigomaticus
▪ Circumzygomatic wiring, ▪ Frontomaxillary suspension atau
▪ Zygomaticomaxillary suspension atau ▪ Frontocircumferential wiring
▪ Zyggomaticocircumferential wiring suspension)
suspension
a. Reposisi - Rowe`s forceps a. Imobilisasi dg Arch bar (fiksasi
b. Tahapan : intermaksilaris).
Pasang Arch bar b. Tahapan:
Penggantungan Fiksasi fragmen tulang maksila
Pengikatan kawat pada arch bar Fiksasi dengan miniplate
intermaksila Insisi sublabial, teknik degloving
D. Fraktur Alveolus
Fiksasi dengan metal splint , atau circumferential wiring
E. Fraktur Mandibula
1. Daerah mandibla : simpisis, pros. Alveolaris, korpus, angulus, ramus, pros.koronoid,
pros.kondiloid
2. Distorsi fragmen tulang oleh kontraksi otot
3. Operasi fraktur :
a. Reposisi tertutup
b. Reposisi terbuka : Intra oral dan Ekstra oral

SHAFA - THT
4. Fiksasi dengan kawat (interosseous wiring)
a. Pasang arch bar
b. Tulang di bor, pasang kawat, kmd diikat
c. Cara :
▪ Ikat transversal
▪ Ikat menyilang ( X)
▪ Modifikasi Brons
5. Fiksasi intermaksila dengan karet
6. Fiksasi fragmen tulang mandibula dengan plat dan sekrup
Tahapan :
a. Insisi kulit
b. Reduksi dengan alat the roller-compression pliers
c. Tlg diratakan dng bor
d. Pasang plat & sekrup
7. Pemasangan Plat (konvensional) → Intraoral dan Ekstraoral / External
8. s
F. AO Plate
1. Tebal 2,7 & 2 mm:
a. Stainless steel
b. Vitallium
c. Titanium
2. Tepi lobang mengkerucut :
a. Lobang bulat (DCP)
b. Lobang lonjong (EDCP)
3. Efek kompresi tulang
4. Implan untuk rekonstruksi mandibula
5. Sangat kuat & stabilitas tinggi
6. Titanium-Coated Hollow screw
G. Mini Plate
1. Tipis ( 1mm & 0,8 mm) , sangat kuat :
a. Stainlessteel
b. Vitalium
c. Titanium
2. Pemasangan intra oral (atau ekstra oral)
3. Dapat digunakan untuk fraktur dimana saja
4. Keuntungannya :
a. Dapat dibengkokkan sesuai bentuk permukaan tulang (malleable)
b. Pemasangannya mudah
c. Fiksasi lebih stabil
d. Aman
e. Kosmetik lebih baik (tidak menonjol oleh karena plat sangat tipis)
f. Tidak perlu pemasangan arch bar (fiksasi intermaksila) pada fraktur maksila dan
mandibula

SHAFA - THT
Epistaksis
A. Pendahuluan
1. Sinonim: Bloody nose = Nosebleed = Nasal hemorrhage
2. Definisi: Epistaksis berasal dari kata epitazein yang berarti terus-menerus menetes.
3. Perdarahan kavum nasi
4. Bukan penyakit, tetapi gejala
5. Emergency
6. Mengenai semua umur, jenis kelamin
7. Tahun 1996:
a. 0,15% penderita THT yg datang ke IRD
b. Sebagian perlu MRS.
B. Aliran darah ke hidung
1. A karotis interna
2. A karotis eksterna

C. Penyebab Lokal
1. Idiopatik
2. Trauma : korek hidung, bersin terlalu keras, olahraga/ KLL, tindakan dokter
3. Radang
4. Tumor
D. Penyebab Umum
1. Penyakit darah
2. Penyakit pembuluh darah
3. Tekanan udara rendah
4. Penyakit infeksi-febris
5. Tekanan vena tinggi
6. Gangguan hormonal
E. Lokalisasi dan Asal Pendarahan
1. Lokalisasi : tidak mudah ditentukan terutama bila perdarahan profus.
2. Asal Perdarahan:
a. Anterior Kavum Nasi:
▪ 80% penyebab
▪ Area Little/ Plexus Kiesselbach
b. Posterior Kavum Nasi:
▪ hipertensi
▪ Ca nasofaring
▪ Angiofibroma nasofaring juvenilis
c. Septum Nasi Superior
F. Terapi (Kerja secara berurutan)
1. Sisi hidung : bersihkan bekuan darah, asal perdarahan terlihat, tidak menghalangi
vasokonstriksi
2. Digital pressure → Jepit ala nasi 5-15 menit
3. Vasokonstriktor: sol tetrakain/ lidokain -efedrin 1%
4. Kaustik : TCA (50%)- Ag NO3
SHAFA - THT
5. Tampon
a. salep antibiotika (boorzalf, kloramfenikol, gentamisin)
b. spongostan, merocel, surgicel
c. balon (Epistat, Foley catheter)
6. Tampon Belloque
7. Ligasi arteri : a. maksilaris interna, a. etmoidalis ant. a karotis eksterna
8. Embolisasi
G. Perhatikan Keadaan Umum Penderita
1. Pasang infus, transfusi darah, pemberian antibiotika
2. Lakukan anamnesis:
a. Riwayat perdarahan sebelumnya
b. Lokalisasi perdarahan
c. Aliran darah → ke depan atau ke belakang
d. Lama perdarahan/ frekuensinya
e. Kecenderungan perdarahan
f. Riwayat gangguan perdarahan dlm keluarga
g. Penyakit yang sedang diderita
h. Trauma yang mendahului
i. Obat-obatan yang seringkali diminum.
Deviasio Septi, Hematoma & Abses Septi
A. Septum Devisiasi
1. Penyebab :
a. Beda kecepatan tumbuh tulang & tulang rawan
b. Trauma :
▪ trauma lahir ( 60% )
▪ kecelakaan waktu bermain, olah raga,
▪ kecelakaan lalu lintas
2. Gejala
a. Sebagian besar ( 80% ) orang dewasa memiliki septum yang tidak lurus, tetapi tidak
menimbulkan gangguan baik pada fungsi hidung
▪ Buntu hidung unilateral, kadang hilang timbul
▪ Hiposmia / anosmia dan sefalgi
b. Buntu hidung kadang tidak dirasakan, oleh karena :
▪ Proses kronik
▪ Adaptasi / dpt bernapas lewat lubang hidung kontra lateral
c. Buntu hidung lebih nyata bila :
▪ Hipertrofi kompensata pd konka inferior atau konka media
▪ Disertai rinitis alergi / non alergi
d. Epistaksis
▪ Terutama bila deviasi septum bentuk krista atau spina
e. Rasa nyeri :
▪ Septum yang bengkok → menusuk konka inferior atau media
▪ Rasa nyeri dpt menjalar ke mata / dahi (impaction syndrome atau anterior
ethmoidal nerve synd.)
▪ Nyeri dapat hilang timbul
f. OM Serosa
▪ Gangguan turbulensi udara pernapasan di daerah nasofaring → kerusakan mukosa
sekitar tuba Eustachius.
3. Septum deviasi → dapat :
a. Di bagian tulang rawan, tulang keras septum atau keduanya
b. Disertai dengan dislokasi bagian bawah tulang rawan septum
c. Bermacam bentuk : krista, spina, seperti huruf S, dll

SHAFA - THT
4. Macam-macam bentuk Septum Deviasi

5.Komplikasi
a. Gangguan oksigenasi dan drainase sinus paranasales dan kavum timpani → sinusitis dan
otitis media
b. OPERASI : dorsum nasi turun → saddle nose
6. Terapi
Tergantung berat ringannya deviasi dan akibatnya.
a. Obstruksi nasi RINGAN → kauterisasi konka inferior
b. Obstruksi nasi BERAT → operasi pelurusan septum nasi :
▪ Septoplasti
▪ Reseksi submukosa ( Killian, Cottle )
B. Hematoma dan Abses Septi Nasi
1. Pendahuluan
a. Hematom septi nasi : perdarahan terletak di daerah subperikondrium, jarang pada
subperiosteum
b. Terbanyak akibat trauma
c. Bila mengalami infeksi sekunder → ABSES septi
d. Infeksi terjadi saat terjadi luka ( trauma ) / akibat alat insisi yang tidak steril
2. Gejala
a. Anamnesis :
▪ Hidung terkena trauma → obstruksi nasi progresif, nyeri hidung, kadang disertai
epistaksis.
▪ Bila ABSES → buntu hidung unilateral → berubah bilateral, nyeri hidung >, sefalgi,
febris
b. Pemeriksaan
▪ Inspeksi → bagian luar ( aspek nasi ) hiperemi, udim, kulit mengkilat
▪ Rinoskopi anterior bengkak di septum nasi, unilat. >>, merah tua kebiruan
▪ Kapas ditetesi sol. Tetrakain efedrin 1% → tidak mengecil, permukaan licin / elastis
(kenyal) / nyeri tekan
▪ pungsi percobaan → darah / pus
3. Terapi :
a. Insisi & pemasangan drain pd bagian antero-inferior (steril) → pasang tampon (2-3 hari)
b. Tampon diganti tiap hari
c. Antibiotika, analgetik
4. Komplikasi / prognosis :
a. Bila tidak di insisi ( terapi konservatif saja ) → darah mengalami organisasi / fibrosis →
septum nasi tebal → obstruksi nasi permanen
b. Bila terjadi nekrosis tulang rawan → perforasi septum atau lorgnet nose (hidung pesek)
c. Hematom + infeksi sekunder → abses septi nasi
d. Trombosis sinus kavernosus
5. Hematom Septi Nasi - Abses Septi Nasi

SHAFA - THT
(8) Anatomi dan Fisiologi Faring, Tonsil dan Laring
Dr. Rizka Fathoni Perdana

Anatomi Faring
A. Jika mulut dibuka :
1. Ismus fausium : batas faring & kavum oris
Arkus palatoglosus/anterior ~ m. palatoglosus
Arkus palatofaring/posterior ~ m. palatofaring
di antara ke-2 arkus : cekungan (fossa tonsilaris) → tempat tonsil palatina
2. Radiks lingua : di dasar
3. Palatum mole : melekat pd dsr tengkorak
B. Faring :
1. Bentukan kerucut : dari dasar tengkorak → tepi bwh kartilago krikoid.
2. Panjang 12 cm
3. Bagian dorsal: basis kranii → VC6
C. Faring terbagi atas 3 bagian

SHAFA - THT
D. Ring Waldeyer
Fungsi Ring Waldeyer
1. Pertahanan terhadap kuman patogen
2. Penghasil antibodi spesifik (Ig)
3. Penghasil limfosit
4. Berperan terhadap proses imunologis
E. Proses Menelan
Faring : proses menelan & pernapasan
persimpangan jalan → oro & laringofaring
1. Fase Oral ~ volunter
a. Mak/min dibawa dari rongga mulut ke faring
b. Dasar mulut, os hioid, laring → ditarik ke atas & depan ~ kontraksi m. Milohioid
c. Ujung lidah menekan palatum durum
d. Gerakan lidah dari anterior ke posterior ~ kontraksi m. stiloglosus & palatoglosus → ismus
fausium menyempit, mak terdorong ke orofaring
2. Fase Faringeal ~ involunter
a. Laring telah diangkat & ditarik ke anterior → laring tertutup epiglotis
b. Palatum mole bergerak ke atas, menutup hub. nasofaring & orofaring ~ m. tensor palatini
& m. levator veli palatini
3. Fase Esofageal ~ involunter
a. Makanan dalam esofagus
b. Mengikuti gerak peristaltik → lambung

Anatomi Tonsil
1. Terletak di fosa tonsilaris, di orofaring
2. Anterior : m.palatoglosus (plika anterior)
Posterior : m.palatofaringeus (plika posterior)
Kedua otot bergabung di palatum mole
3. Jaringan limfoid seperti buah kenari, dibungkus kapsul jar. fibrus warna putih (fasia faringeal)
4. Terdiri dari folikel dan kanalikuli(saluran)
5. Bermuara di ostium ( kripta)
6. Permukaan tonsil dilapisi epitel skuamus berlapis, 8 – 20 kripta
7. Dinding lateral : melekat longgar pd m.konstriktor faringeus superior

Anatomi Laring

SHAFA - THT
A. Struktur Rangka Laring
1. Os hioid
2. Kartilago tiroid
3. Kartilago krikoid
4. Kartilago epiglotis
5. Kartilago aritenoid
B. Ligamen & Membran
1. Membran tirohioid
2. Ligamen hioepiglotik
3. Membran krikotiroid
C. Bagian-bagian :
1. Korda Vokalis 7. Fosa Piriformis
2. Plika Ventrikularis 8. Kartilago Aritenoid
3. Epiglotis 9. Dinding Belakang Faring
4. Komisura Anterior 10. Radiks Linguae
5. Komisura Posterior 11. Sinus Morgagni
6. Plika Ariepiglotika 12. Konus Elastikus
D. Bagian tulang rawan :
1. Kartilago Tiroid 3. Kartilago Epiglotis
2. Kartilago Krikoid 4. Kartilago Aritenoid
E. Muskulus :
1. Muskulus ekstrinsik
2. Muskulus intrinsik
gol. adduktor (5 pasang) → menggerakkan KV ke medial
a. 1. mm. krikoaritenoid lateral (d/s)
b. 2. mm. tireoaritenoid (d/s) = m. vokalis
c. 3. mm. krikotiroid
d. 4. mm. interaritenoid obligus (2 bersilang)
e. 5. mm. interaritenoid transversus (tunggal)
gol. abduktor (sepasang) → menggerakkan KV ke lateral
F. Inervasi :
1. Sangat kompleks baik segi anatomi/fisiologi
2. Sepasang N. laringeus superior & inferior ~ cab. N. X
3. Segi Anatomi : N. laringeus inferior sinistra lebih panjang (membelok di aorta sebelum naik
ke atas) → mudah mendpt gangg :
a. Cor pulmonale
b. Cor bovinum
c. Pericarditis
4. Segi Fisiologi :
a. N. laringeus sup : motorik & sensorik (penting)
b. N. laringeus inf : motorik (fx adduksi & abduksi)
G. Fisiologi Laring
1. Organ penghasil suara
2. Proteksi jalan napas
3. Respirasi
4. Proses bicara (fonasi)
5. Proses Batuk
6. Syarat suara nyaring :
a. Anatomi korda vokalis normal
b. Fisiologi harus normal : KV dpt bergerak ke medial/KV dpt merapat di median
c. Arus udara yg cukup kuat dari paru

SHAFA - THT
(9), (10) Aphtae, Faringitis, Adenoiditis, Tonsilitis, Difteri
Dr. Diar Mia Ardani

A. Tonsilitis Akut
1. Definisi : Infeksi akut jaringan tonsil
2. Etiologi : Virus (tersering), H. Influenzae, Strep. beta-hemolitikus (30 – 40%)
3. Insiden : Anak 5 – 10 tahun (sering) dan Dewasa
4. Patologi : Radang jaringan limfoid (folikel), Udim, Eksudat → detritus
Detritus?Beslag? : epitel, lekosit, bakteri
5. Gejala klinis :
a. Tenggorok rasa kering
b. Nyeri telan hebat – mendadak
c. Anak tidak mau makan
d. “Referred pain“
e. Panas tinggi → anak kejang
f. Sakit kepala
g. Mual/muntah/nyeri perut(Strep. beta-hemolitikus)
6. Pemeriksaan :
a. “Plummy voice“
b. “Foetor ex ore“
c. Ptialismus
d. Tonsil udim, hiperemi, detritus
e. Ismus fausium menyempit
f. Palatum mole, arkus ant./post. → udim, hiperemi
g. Kelenjar limfe membesar – nyeri tekan
7. Diagnosa banding : Difteri Tonsil → pseudomembrane, Bull neck
8. Penyulit :
Lokal Sistemik (Strep. beta-hemolitikus)
a. Peritonsilitis (infiltrat peritonsil) a. Glomerulonefritis akut
b. Abses peritonsil b. Penyakit jantung rematik
c. Abses parafaring c. Endokarditis bakterial sub akut
9. Pengobatan
a. Istirahat
b. Makan lunak
c. Minum hangat
d. Analgesik / Antipiretik (asetosal, parasetamol → 3 – 4 x 500 mg)
Antibiotika
Berat : PP 2x0.6 – 1.2 juta IU/hr im → Fenoksimetil pen. 4x500mg/hr selama 10 hari
Ringan : Fenoksimetil penisilin 7.5 – 12.5 mg/kgbb/hari 4x sehari selama 10 hari
10. Bila terjadi komplikasi :
a. Abses peritonsil → pungsi – insisi
b. SistemiAbses parafaring → pungsi – insisi
c. k → tonsil sbg fokal infeksi → indikasi tonsilektomi
11. Edukasi
a. Mencegah penularan
▪ tdk bergantian alat makan / minum
▪ tutup mulut / hidung bila batuk / bersin
b. Meningkatkan kondisi badan
▪ olah raga teratur
▪ makanan bergizi
c. Meningkatkan daya tahan lokal
▪ menghindari iritan
SHAFA - THT
B. Tonsilitis Kronik
1. Definisi : Infeksi kronik jaringan tonsil → kelanjutan dari infeksi akut berulang tonsil atau
infeksi sub klinis
2. Hipertrofi folikel → tonsil membesar
Pada anak → sering disertai hipertrofi adenoid → adenotonsilitis kronik
3. Gejala klinis : Keluhan penderita
a. Nyeri telan ringan → hebat ( eksaserbasi akut )
b. Rasa mengganjal
c. “ foetor ex ore “
d. Buntu hidung ( ngorok ) → adenoid membesar
e. “ adenoid face “
f. Gangguan pendengaran ( adenoid membesar )
4. Gejala klinis : Pemeriksaan
a. Tonsil membesar
b. Tonsil hiperemi
c. Kripta melebar → detritus (+) atau bila ditekan
d. Arkus ant. & post. Hiperemi
e. “ adenoid face “
f. Fenomena palatum mole tdk ada
5. Penyulit :
a. Sama dengan tonsilitis akut
b. Adenotonsilitis kronik : OMS, Sinusitis paranasal kronik, Bronkitis kronik
6. Pengobatan :
a. Serangan akut → sama dengan tonsilitis akut
b. Tonsilektomi / adenotonsilektomi → bila serangan >4 kali dalam satu tahun
7. Edukasi
a. Sama dengan tonsilitis akut
b. Bila kambuh >4 kali dalam satu tahun → operasi → 1 bulan bebas panas
▪ Mencegah perluasan infeksi
▪ Mencegah komplikasi perdarahan

C. Adenoiditis Akut
1. Definisi : Radang dari adenoid pada bayi – anak <12 tahun
2. Gejala klinis : Keluhan ( dari ibunya )
a. Panas tinggi → konvulsi
b. Buntu hidung → bayi tdk dapat menyusu → gelisah,
lapar, berat badan menurun
3. Gejala klinis : Pemeriksaan (dikerjakan pd anak besar &
kooperatif)
a. RA : adenoid udim, hiperemi, sekret , fenomena
palatum mole 
b. RP : adenoid hiperemi
c. Biasanya bersamaan dng tonsilitis akut
4. Terapi : Antibiotika & Simtomatis
5. Komplikasi :
a. Melalui tuba eustakius → kavum timpani → OMA
b. Ke bawah → laring, trakeitis, bronkitis, bronkopnemoni

D. Adenoiditis Kronik
1. Etiologi :
a. Post nasal drip → sekret kavum nasi jatuh ke belakang
b. Sekret berasal dari : sinus maksilaris & ethmoid

SHAFA - THT
2. Gejala klinis :
Disebabkan oleh hipertrofi adenoid → buntu hidung
Akibatnya :
a. Rinolalia oklusa (bindeng) krn koane e. Sefalgi
tertutup f. Pilek dan batuk
b. Mulut terbuka utk bernapas g. Nafsu makan menurun
c. Muka terkesan bodoh(adenoid face) h. Oklusio tuba
d. Aproseksia nasalis
3. Terapi :
a. Adenoidektomi ( ADE )
b. Bila disertai tonsilektomi ( TE ) → adenotonsilektomi ( ATE )

E. Faringitis Akut
1. Definisi : Infeksi akut pada mukosa faring dan jar. limfoid faring
2. Etiologi :
a. Virus : rhinovirus, coronavirus, enterovirus, adenovirus, virus influenza A & B,
parainfluenza, respiratory syncytial virus (RSV),
b. Bakteri : streptokokus beta hemolitikus grup A, B, C dan G, stafilokokus, hemofilus,
neisseria sp, korine bakterium sp, dll.
3. Sering ber = infeksi akut sal. nafas atas : rinitis akut, nasofaringitis, tonsilitis akut
4. Penyebaran : Droplet infection
5. Gambaran klinik :
a. Dapat didahului rinitis akut, konyungtivitis, malaise, panas badan, dan nyeri kepala.
b. Nyeri tenggorok yg memberat saat menelan yg dapat menjalar ke telinga
c. Mukosa faring : hiperemi, udim, t.u. Jar. Limfoid : tampak garis2 mukopus, kd2 tampak
pustular follicles
d. Dapat terjadi limpadenopati klj. Leher
e. Bila menyebar ke laring : suara parau, batuk2
6. Terapi
a. Umumnya dapat sembuh sendiri (self limiting dis.) dan tidak perlu obat anti virus
b. Obat simtomatis : bedrest, analgetik-antipiretik
c. Antibiotik : bila ada komplikasi infeksi bakteri
7. Komplikasi
a. Lokal : sinusitis, otitis media, laringitis,trakeo bronkitis, pneumonia
b. General :meningitis, ensefalitis, miokarditis

F. Faringitis Kronik
Infeksi atau inflamasi yg berlangsung lama dari mukosa faring
Dibagi : non spesifik dan spesifik
Faringitis Kronik Non Spesifik
1. Etiologi :
Beberapa sumber infeksi yg dicurigai berhubungan dengan faringitis kronik non spesifik :
sinusitis kronik, gingivitis, bronkiektasis, bronkitis kronis, karies gigi, iritasi dari rokok atau asap
industri
2. Gambaran Klinis :
a. Rasa tidak enak yg lama di tenggorok
b. Nyeri saat menelan
c. Kadang-kadang ada rasa sakit di telinga
3. Lokal : Gb.an pulau2 jar. limfe pd dind. belakang faring mengalami pembesaran & kemerahan
4. Terapi :
a. Bila ada penyebab yg dicurigai : dihindari / diobati
b. Dapat dicoba diberi obat kumur

SHAFA - THT
Faringitis Kronik Spesifik
1. Etiologi : Sifilis, tuberkulosis, toxoplasmosis, lepra, skleroma, jamur
2. Gambaran Klinis : Gejala tergantung penyebab
a. Sifilis : dimulai dgn papula yg kmd pecah → yg tdk nyeri
b. Tuberkulosis : lesi multipel yg sangat nyeri
3. Diagnosis : Tergantung penyebab
a. Pemeriksaan Spirochaeta dengan dark field illumination microscopy,
b. Pemeriksaan serologi VDRL,
c. Pemeriksaan mikrobiologi / patologi thd Mikobakterium tuberkulosis & foto toraks u/ TBC
faring
4. Terapi : Tergantung penyebab
Benzathine penicillin, Obat2 anti TBC, Dsb.

G. Tonsilofaringitis Difteri
1. Definisi
a. Infeksi akut mukosa faring yg spesifik ok kuman difteri. Biasanya juga mengenai tonsil →
difteri faring dan tonsil (TONSILOFARINGITIS DIFTERI).
b. Juga dpt terjadi pd hidung, laring
2. Etiologi : Corynebacterium diphtheriae (gram positif)
a. Di negara maju dimana program imunisasi sudah sangat baik : jarang didapatkan
b. Di USA 200 – 300 kasus / tahun
3. Dapat menyebar cepat di tempat : penduduk terlalu padat & kurangnya pelayanan kesehata
4. Gambaran klinik :
a. Malaise, panas badan subfebril, sakit kepala
b. Lokal : membrana/beslag keabu2an pada : tonsil, faring dan uvula
c. Serviko limfadenopati : regio jugulo digastrik (=bull neck)
d. Membrana dapat menyebar ke laring → obstruksi laring
e. Berat ringannya bervariasi : mulai carrier yg asimtomatik sampai dapat menimbulkan
kematian dalam waktu yg pendek. Tergantung imunitas px dan virulensi kuman
f. Lokasi primer di samping di faring / tonsil dapat terjadi di laring atau hidung
5. DD : Tonsilitis oleh karena streptokokus, mononukleosis
6. Komplikasi :
a. Sistemik ok penyebaran eksotoksin
b. Dapat terjadi kematian : Toxaemia →
▪ Miokarditis
▪ Defek konduksi pd jantung
▪ Aritmia → kegagalan sirkulasi akut
▪ Trombositopenia
c. Neurologi :
▪ 3-6 minggu ssd onset difteri
▪ Paralisa : pal molle, diafragma, otot2 mata, kadang2 sindr. Guillain-Barre
7. Terapi :
Px diisolasi scr ketat sp kead akut dilampaui & biakan (-)
a. Tx didasarkan gambaran klinik
▪ Difteri ringan (mata, hidung, kulit) : ADS20.000 IU im
▪ Difteri sedang (tonsil, faring, laring) : ADS 40.000 – 60.000 IU iv, secara tetesan
▪ Difteri berat (dg penyulit) : ADS 100.000 IU iv dg tetesan
b. Penisilin prokain 600.000 – 1.2 juta IU/24 jam, im 1-2 x sehari, selama 10 hari → Bila alergi
thd Penisilin, dpt digunakan Eritromisin 50 mg/kgbb/24 jam (maks 1 gram) oral, 3-4 x
sehari, selama 10 hari.
c. Bila carrier : TONSILEKTOMI (4-6 mgg stlh sembuh)
d. Imunisasi : penting

SHAFA - THT
(11) Abses Peritonsil dan Retrofaring
Dr. Diar Mia Ardani
Abses Peritonsil
A. Patofisiologi
1. Pada tonsilitis akut kuman menembus kapsul tonsil → radang pada jaringan ikat peritonsil →
infiltrat → supurasi → abses peritonsil
2. Biasanya unilateral, banyak pada orang dewasa
B. Gambaran Klinik
1. Nyeri tenggorok hebat unilateral, spontan & menelan
2. Nyeri telinga, rinolalia, minum keluar lewat hidung
3. Trismus, ptialismus
4. Lidah kotor, foetor ex ore
5. Pembesaran kelj. leher, nyeri tekan, kadang tortikolis
6. Tonsil udim, hiperemi, terdorong ke medial-bawah
7. Palatum mole bombans, uvula terdorong ke sisi sehat
8. Diagnosis pasti → pungsi pd tempat bombans. Bila pus (+) → abses, bila darah (+) → infiltrat
C. Penyulit
1. Penjalaran abses → abses parafaring → mediastinitis
2. Udim menjalar ke bawah → udim laring → obstruksi
3. Aspirasi pus, sepsis
D. Terapi
1. Bila infiltrat, terapi seperti tonsilitis akut
2. Bila abses → insisi (tanpa anestesi)
3. Dapat diberikan antibiotik seperti pada tonsilitis akut
4. 4-6 minggu setelah sembuh → tonsilektomi
E. Insisi Abses Peritonsil
1. Indikasi: Abses peritonsil 2. Alat:
a. Unilateral a. Jarum injeksi no. 18 dan spuit
b. Bombans palatum mole, hiperemi b. Pisau bentuk melengkung, tajam, pean
c. Tonsil terdorong ke arah medial, atau kocher
depan, bawah c. Air hangat untuk berkumur
d. Trismus, rinolalia aperta d. Mouth gag, alat penghisap (bila ada)
3. Pelaksanaan: Di poliklinik, tidak masuk rumah sakit, penderita posisi duduk
4. Cara:
a. Buka mulut (spontan atau dengan alat)
b. Pungsi dengan jarum, arah lurus kebelakang, di tempat yang paling bombans. Sedot
nanah sebanyak-banyaknya.
c. Insisi di bekas pungsi, atau di titik pertemuan antara garis horisontal yang melewati dasar
uvula dengan garis vertikal lewat ujung bawah arkus anterior. Arah pisau tegak lurus ke
belakang, jangan terlalu dalam.
d. Membuka lubang insisi dengan pean/kocher → nanah keluar → diludahkan/disedot
dengan alat penghisap
e. Kumur-kumur sampai bersih
5. Penilaian:
Berhasil, jika: Nanah tidak keluar:
a. Nanah mengalir keluar a. Tempat pungsi/insisi tidak tepat
b. Nyeri banyak berkurang b. Insisi kurang dalam
c. Trismus/rinolalia berkurang c. Masih stadium infiltrat
6. Terapi yang diberikan: Antibiotika & Analgetika
7. Follow up:
a. Setiap hari, buka lubang insisi → diulang setiap hari sampai nanah habis
b. Perhatikan pernafasan, jika sesak berat → trakeotomi

SHAFA - THT
8. Cara 2:
a. Hanya dilakukan tindakan pungsi, tanpa insisi, diulang setiap hari
b. Setiap kali nanah disedot sampai habis, dengan tempat pungsi dapat lebih dari satu
tempat (pole atas-tengah dan pole bawah)

Abses Retrofaring
Aliran limfe: tons. Palatina/lidah, sinus paranasal, tuba
Insiden: bayi & anak < 5 tahun
Dikenal 2 jenis: akut dan kronik (TBC)
A. Etiologi: Streptokokus
B. Pembuluh limfe retrofaring dari: Tonsil palatina, Tonsil lingualis, Adenoid, Kavum nasi – sinus
paranasalis, Tuba Eustachius – kavum timpani
C. Penyebab:
1. Infeksi jalan nafas atas: Morbili, Skarlatina, Influenza, Faringitis akut
2. Trauma: Duri ikan/korpus alienum, Tindakan dokter
D. Lokalisasi: epifaring, mesofaring, hipofaring
E. Klinis:
1. Subyektif: febris, nyeri menelan – tak mau makan, gelisah, buntu hidung
2. Obyektif: kepala hiperekstensi, kelj. leher >>, otot leher kaku, bengkak leher unilateral,kepala
sukar digerakkan
3. Lokal: benjolan pada dinding belakang faring, uvula udim hebat-terdorong ke depan, fluktuasi
F. DD: Aneurisma → pulsasi, Malformasi korpus vertebra
G. Terapi: Insisi, Simtomatis, Antibiotika
H. Terapi Antibiotika
1. Infeksi polimikrobial
a. Aerobic Strep, anaerob
b. Ceftriakson + metronidazole (RSUD Dr. Soetomo)
2. Beta-Lactam resistensi : Ampicillin + sulbactam
3. Alternatif : clindamycin
4. Kultur & sensitivitas (gold standar)
I. Komplikasi:
1. Bawah → perilaringitis, peritrakeitis, mediastinitis
2. Lateral → spatium parafaring → abses laring → obstruksi rima glotis
3. Pecah → aspirasi
4. Trombosis vena leher
5. Sepsis
J. Langkah Insisi Retrofaring
1. Mengatur posisi
a. Trendelenburg, kepala melewati pinggir meja terkulai ke bawah
b. Agar pus nanti mengalir ke nasofaring, tidak ke laring
2. Pungsi
a. Spuit dengan jarum besar
b. Ambil sebanyak-banyaknya kalau tdk ada alat penghisap/zuiger
c. Utk memastikan diagnosis
3. Insisi
a. Tanpa anestesi
b. Pisau lurus
c. Tempat yang paling bombans
d. Arah cranio-caudal
e. Pus dihisap dengan alat penghisap
4. Penderita di MRS kan
Lubang insisi dibuka setiap hari, sampai tdk ada lagi pus yg keluar

SHAFA - THT
(11) Infeksi Leher Bagian Dalam
Dr. Diar Mia Ardani

A. Pendahuluan
1. THT:
a. Infeksi → infeksi leher bagian dalam
b. Paling sering: infeksi r. submandibuler
c. Infeksi → berkembang ke r. leher lain/komplikasi → † (kematian)
2. Pre era antibiotika:
Penyebab infeksi: tonsil, faring > gigi
3. Era antibiotika:
Penyebab infeksi: gigi > tonsil, faring
4. Pengobatan antibiotika:
a. Bukan sebagai pengganti, tindakan pembedahan
b. Penanganan meningkat → memahami anatomi r. leher
B. Anatomi
Klinis penting
Pembagian disesuaikan dengan hubungan pada os Hioid
1. R. sepanjang leher
a. R. retrofaring
b. R. prevertebralis
c. ‘Danger Space’
2. R. di atas tulang Hioid
a. R. Sub Mandibularis
▪ R. Sub Lingualis
▪ R. Sub Maksilaris
- Sub Mentalis (sentral)
- Sub Maksilaris (lateral)
b. R. Faringo Maksilaris
c. R. Mastikator
d. R. Temporalis
e. R. Parotis
f. R. Peritonsilaris
3. R. di bawah tulang Hioid
R. Viseralis anterior
C. Bakteriologi
Kuman bermacam-macam:
1. Aerob : Streptokokus, Stafilokokus, Difteroid, Neisseria, Klebsiela, Hemofilus
2. Anaerob : Bacteroides, Pepto Streptokokus * Sering berasal dari infeksi gigi
Apabila pada waktu pembedahan/drainase bau busuk ingat kuman anaerob
D. Diagnosis
1. Kadang-kadang sukar ok/ R/ antibiotika sebelumnya. Tanda-tanda lokal/sistemik sering kabur
2. Gejala: panas, rasa sakit, pembengkakan
3. X-foto:
a. Leher AP/lateral: benda asing, deviasi trakea, udara subkutan, udim jaringan lunak
b. Torak: pneumotorak, udim paru, pneumo mediastinum
a. CT scan:
▪ Hasil lebih baik dari pada tomogram.
▪ Dapat membantu membedakan: selulitis atau abses
▪ Struktur tampak lebih jelas:, Dinding abses, Udim jaringan, Kistik
b. MRI: Dapat membedakan jaringan normal/keradangan
c. USG: Membantu aspirasi dg jarum/pembedahan

SHAFA - THT
E. Penatalaksanaan
1. Perhatian pada jalan pernafasan, kalau perlu trakeotomi/krikotirotomi
2. Terapi terhadap infeksi/pencegahan komplikasi
3. Kultur darah/pus
4. Antibiotika parenteral
5. Pembedahan/drainase
6. Apabila abses (+):
a. Diduga terdapat komplikasi
b. Perbaikan → setelah pemberian antibiotika 48 jam
F. Komplikasi
1. Akibat infeksi
a. Erosi A. Karotis
b. Trombosis V. Jugularis Interna
Gejala: panas meningkat, bengkak pada m. sternokleidomastoideus
c. Mediastinitis, sesak nafas, panas, sakit dada
d. Aspirasi (ruptur spontan)
e. Sepsis
2. Akibat pembedahan: Kerusakan struktur neuro muskuler, Infeksi luka, Sepsis, Jaringan parut,
Aspirasi (ruptur ok/ alat-alat)

Infeksi Leher Bagian Dalam yang Spesifik


A. R. Submandibularis
1. Anatomi, terdiri: R. sub lingualis & R. sub maksilaris (bawah)
Kedua ruangan berhubungan secara langsung melalui tepi posterior m. Milohioid
2. Patologi: 80% ok/ infeksi gigi
a. Premolar → ggn pd r. Sub lingualis
b. Molar → ggn pd r. Sub maksilaris
Dapat pula ok/ inf. fokal dasar mulut, dasar lidah, tonsila lingualis, batu dari kelj. ludah
3. Klinis:
a. Infeksi ruang sub maksilaris saja : Kulit tampak bengkak & Dasar mulut normal
b. Penyebab dari gigi: bengkak dasar mulut, sub lingual/sub mental → R/ tidak adekuat →
LUDWIG’S ANGINA : dasar mulut bengkak >> & kemerahan jar. Supra hioid
4. Gejala:
a. Bengkak sub maksilaris
b. Keluhan: rasa sakit >>, ptialismus, trismus, disfagia, kesukaran bernapas
5. Terapi: Antibiotika, juga kuman anaerob, Trakeotomi, Drainase
6. Komplikasi:
a. Infeksi → R. faringo maksilaris → mediastinum
b. Obstruksi jalan napas
B. R. Faringomaksilaris
1. Anatomi:
a. Anatomi anterior & posterior
b. Ruangan ini penting secara klinis berbentuk kerucut terbalik
c. Dasar pada dasar tengkorak
d. Apeks pada os Hioid
2. Patologi:
a. Merupakan ruang yg paling sering terinfeksi pada infeksi leher dalam
b. Sumber infeksi: faring, tonsil, adenoid.
c. Kadang-kadang ok/ ruptur bagian medial dr. R. parotis
3. Klinis:
a. Bagian anterior: trismus (+), tonsil terdorong ke medial, parotis bengkak
b. Bagian posterior: trismus (-), bengkak posterior tonsilar pilar, dinding faringlat. posterior

SHAFA - THT
(12) Ameloblastoma
Dr. Diar Mia Ardani

A. Pendahuluan
1. Tumor jinak yg tumbuh dr sisa epitel paradental
2. Bentuknya padat/kistik, sering tumbuh pd mandibula daerah molar atau premolar dan kadang
pd maksila
3. Tumor membentuk rongga dan merusak jaringan sekitarnya, akhirnya hanya diliputi oleh
selapis dinding tipis yg berkrepitasi bila ditekan
4. Awalnya padat ttp dg degenerasi kistik menyebabkan menjadi lbh lunak
5. Terdiri dari kelompok epitel yang tumbuh berkelompok atau massa yang berasal dari email
embrional
6. Dapat tumbuh menjadi ganas meskipun jarang
B. Penyebab
Etiologi pasti ?, Diduga :
1. Iritasi dental sewaktu tumbuh
2. Injuri pd mulut dan rahang
3. Infeksi, inflamasi
4. Kurang protein dan mineral
5. Penyebab jadi ganas ?
C. Gejala
1. Tumor tumbuh lambat cenderung tumbuh terus dan akan kambuh bl pengangkatan tidak
sempurna.
2. Pembesaran rahang bawah secara pelan2, nyeri ringan pd keadaan lanjut
3. Benjolan di daerah mandibula
D. Patofisiologi
Sel malassez inaktif → trauma pascapencabutan → ekspresi berlebihan protein anti-apoptosis →
sel malassez aktif → proliferasi abnormal → penghancuran jaringantulang → ameloblastoma
E. Tipe Ameloblastoma
Secara klinis untuk tujuan perawatan ameloblastoma dibagi 3, yaitu:

1. Tipe solid atau multikistik


a. Terjadi pada usia dekade 3-7
b. Tidak ada predileksi jenis kelamin yg signifikan
c. 85% terjadi di mandibula dan 15% terjadi dimaksila
d. Pembengkakan atau ekspansi rahang lambat.
e. Asimptomatik , rasa sakit dan parastesia jarang terjadi bahkan pada tumor yang besar
f. Gamb.histologis: bervariasi → folikular,pleksiform dan sel granular
g. Tumbuh invasif secara lokal
h. Indikasi untuk perawatan radikal → reseksi mandibula
i. Rekurensi 50%
2. Tipe unikistik
Pada pasien muda, 50% pasien pada dekade kedua.
a. >90% pada mandibula
b. umumnyamembentuk kista dentigerous secaraklinis maupun secara radiografis
c. Sulit didiagnosakarena kebanyakanameloblastoma memiliki komponen kista.
d. Umumnya menyerang bagian posterior.
e. Kurang agresif
f. Indikasi untuk perawatan radikal → osteotomiperiferal
SHAFA - THT
3. Tipe ekstraosseus atau periferal
a. Terjadi pada gingiva atau mukosa alveolar
b. Umumnyatidak sakit, kaku, pertumbuhan eksofitik halus atau granular.
c. Terjadi pada usia 9-92 tahun
d. Terjadi pada mandibula, dari bagian ramus anteriormandibula sampai foramen
mandibula
e. Bersifat jinak, tidak mengalami rekurensi setelah eksisi
f. Indikasi untuk perawatan eksisi lokal dengan mengikutsertakan sebagian kecil dari
margin jaringan yang normal
F. Insiden
1. Pria = wnita
2. Sering pd usia 30 th
3. Predileksi molar ke3 bawah
4. Semua ras
G. Diagnosa Banding
1. Odontoma keras :
a. Berasal dr gigi : email, dentin dan cemen
b. Tumbuh ekpansi langsung
2. Kista dentigerus
3. Osteosarkoma :
a. Tumor dr sel tulang
b. Didptkan tanda2 keganasan
H. Diagnosis
1. Ax dan Dp
2. X-foto polos, CT scan, MRI
I. Terapi
1. Perawatan konservatif (rekurensi 55-90%)
a. Enukleasi, kuret
b. Indikasi: penderita usia muda danameloblastoma unikistik
2. Perawatan radikal
a. Reseksi segmental, hemimandibulektomi,reseksi marginal (reseksi enblok)
b. Indikasi: ameloblastoma tipe solid dengantipe yang tidak jelas, lesi dengan gambaransoap
bubble, lesi yang tidak efektif denganpenatalaksanaan konservatif danameloblastoma
ukuran besar
J. Prognosis
Prognosis BURUK
1. Rekurensi tinggi
2. Terapi Konservatif : 55-90%
3. Terapi Radikal : 4,5%

SHAFA - THT
(12) Kista Dentigerus
Dr. Diar Mia Ardani

A. Kista Dentigerus/Folikuler
1. Kista Odontogenik
2. Unilokuler, mahkota tempat asal kelainan yang belum mengalami erupsi menghadap ke kista
3. Sebab : akumulasi cairan diantara reduksi enamel epitel dan enamel permukaan gigi
4. Klinis : benjolan pada mandibula atau maksila
5. Dx : X-Foto (AP/lat, panoramik, Eisler, Water’s)
6. Tx : Operasi (ekskokleasi)
B. Kista Radikuler
1. Kista Odontogenik → berasal dari inflamasi yang disebabkan karies akibat rangsangan kronik,
terbentuk granuloma di tulang rahang sekitar akar gigi yang kemudian mengalami nekrosis di
bagian sentral → sehingga terjadi kista infeksi unilokuler
2. Kista menghadap ke akar gigi (sering di premolar dan molar)
3. Dx : X-Foto
4. Tx : Operasi
C. Trauma Maksilofasial
1. Diagnosis cepat dan tepat
2. Penatalaksanaan simultan (multi disiplin)
3. Prinsip dasar penanganan pertama pada semua trauma di ruang rawat darurat :
4. Advanced Trauma Life Support (ATLS) : Primary survey (penyelamatan primer A,B,C,D,E),
Secondary survey (penyelamatan sekunder), dan Terapi Definitif
D. Fraktur Zygomaticomaxillary
1. Gejala Klinis
a. Edema, Hematoma f. Pipi Datar
b. Laserasi, vulnus g. Maloklusi
c. Perdarahan h. Parese N. Fasialis
d. Epistaksis i. Krepitasi atau Diskontinuitas tulang muka
e. Deformitas muka
2. Penanggulangan
a. Reduksi tidak langsung melalui sulkus ginggivobukal
b. Reduksi terbuka menggunakan miniplate
c. Indikasi Operasi : anastesi, trismus, diplopia, deformitas pipi (pipi datar)
E. Fraktur Arkus Zigoma
1. Tidak sulit untuk dikenali
2. Rasa nyeri waktu bicara atau mengunyah
3. Trismus → perubahan letak arkus zigoma
4. Terhadap prosessus koronoid dan otot temporal
5. Reduksi
a. Fraktur arkus zigoma → ditandai dengan perubahan tempat dari arkus → ditanggulani
dengan elevasi arkus zigoma tersebut
b. Pada tindakan reduksi, kdang-kadang diperlukan reduksi terbuka → dipasang kawat
baja atau mini plate pada arkus yang patah
F. Fraktur Tuang Maksila
1. Pada fraktur ini sering terjadi edem faring → perlu trakeastomi
2. Perdarahan hebat berasal dari arteri maksilaris interna atau arteri etmoidalis anterior
3. Indikasi Rekonstruksi Maksila
a. Wajah Asimetris
b. Gangguan fungsi pengunyahan
c. Gangguan fungsi pernafasan
d. Gangguan fungsi penglihatan

SHAFA - THT
4. Klasifikasi
a. Fraktur maksila Le Fort I
b. Fraktur maksila Le Fort II
c. Fraktur maksila Le Fort III
5. Penatalaksanaan
a. Penanggulangan fraktur maksila ditekankan agar rahang atas bawah dapat menutup
b. Dilakukan fiksasi intermaksilar sehingga oklusi gigi menjadi sempurna
▪ Pendekatan dengan melalui insisi ginggivobukal
▪ Maloklusi diatasi dengan melakukan fiksasi maksila dan mandibula dnegan
interdental wiring
G. Fraktur Tulang Mandibula
1. Paling sering terjadi oleh karena mandibula terpisah dari kranium
2. Reposisi
a. Perhatikan otot-otot yang berinsersi
b. Efek kosmetik yang baik, pertumbuhan gigi, proses mengunyah dan menelan yang baik
3. Penatalaksanaan
Pemeriksaan : foto polos posisi anteroposterior, lateral, Towne, lateral oblik kiri dan kanan
4. Tujuan Rekonstruksi, memperbaiki :
a. Oklusi gigi
b. Fungsi mengunyah dan menelan
c. Efek kosmetik
5. Penggunaan miniplate atau microplate dengan screw makin populer, mulai tahun 1970
6. Bersifat lebih stabil, tidak ada reaksi jaringan, digunakna lama, lebih mudah dikerjakan
H. Trauma Wajah

SHAFA - THT
(13) Benda Asing Esofagus
Dr. Rizka Fathoni Perdana

A. Pendahuluan
1. Terhentinya benda / makanan dalam esofagus
2. Dapat pada anak dan dewasa
3. Macam benda asing :
a. Anak : uang logam (tersering), mainan, baterai, dll
b. Dewasa : tulang + daging, gigi palsu, dll
B. Predisposisi
1. Dental : Pemakai gigi palsu (kepekaan menurun)
2. Anatomis : Molar & Kelainan esofagus : striktur, tumor, akalasia
3. Kebiasaan : memegang dengan gigi
4. Naluriah : anak < 3 tahun, memasukkan sesuatu ke dalam mulut
5. Kelalaian : meletakkan sesuatu sembarangan
6. Pemakai gigi palsu : fiksasi kurang baik
7. Psikiatri : sering pada remaja dan dewasa
8. Makanan atau benda ukuran besar masuk esofagus
C. Insiden
Di RSUD Dr. Soetomo (2000-2010) :
1. 580 esofagoskopi + ekstraksi BAE
2. Laki-laki : perempuan = 3 : 2
3. Usia : 0 – 5 tahun : 32 % , 5 – 10 tahun : 20 %
4. Termuda : 15 hari – anting emas
5. Tertua : 81 th - kikil
D. Jenis Benda Asing
1. Jenis benda asing : makanan, atau bukan makanan
2. Makanan : tulang + daging (18,5 %), kikil dll
3. Bukan Makanan
a. Uang logam (50,46%) → tersering
b. Gigi palsu
c. Baterai kanzing → paling bahaya
4. Jenis Benda Asing menurut Usia
a. Anak : Uang logam (tersering) & mainan, baterai, dll
b. Dewasa : Tulang + daging (tersering) & gigi palsu, dll
E. Patogenesis
1. Benda atau makanna terhenti di esofagus :
a. Terlalu besar bagi lumen esofagus
b. Ada bagian yang tajam dan menancap
2. Lokasi berhentinga benda asing :
a. Penyempitan fisiologis (just below) 90 %
b. Penyempitan anatomis pada :
▪ Krikofaring (70%)
▪ Persilangan aorta atau bronkus (15%)
▪ Esofagus distal (15%)
F. Diagnosis
1. Gejala klinis tergantung :
a. Ukuran / bentuk / lokasi benda asing
b. Ada / tidaknya komplikasi
2. Anamnesis :
a. Tertelan sesuatu c. Sakit / sulit menelan
b. Rasa ngganjel stlh makan sesuatu d. Muntah bila makan / minum

SHAFA - THT
G. Pemeriksaan
1. Tes minum : Obstruksi total (muntah), sebagian (minum sedikit)
2. Hipersaliva
3. Sesak, bila benda asing menekan trakea
4. Gejala paru, bila aspirasi olek karena overflow dari esofagus
H. Pemeriksaan Penunjang
1. Benda asing radio-opaque
a. Anak : foto leher – toraks – abdomen
b. Dewasa : foto leher PA atau lateral
2. Benda asing non radio-opaque : foto esofagus dengan barium + kapas
3. Diduga ada perforasi : foto esofagus dengan kontras yang dapat diserap
4. Esofagoskopi Diagnostik
I. Diagnosis Banding
Faringitis akut dan esofagitis
J. Komplikasi
1. Dehidrasi
2. Lesi esofagus
3. Perforasi esofagus : mediastinitis dan fistula aortoenterik → angka moralitas tinggi
4. Aspirasi
K. Penatalaksanaan
1. Segera infus
2. Kirim ke RS untuk esofagoskopi dan ekstraksi
3. Esofagoskopi dilakukan segera pada :
a. Benda asing yang tajam
b. Benda asing baterai
4. Jangan dorong dengan sonde lambung oleh karena :
a. Bentuk atau banyak benda asing ?
b. Ada atau tidak kelainan anatomis esofagus ?
L. Pencegahan
1. Anak di didik untuk hanya memasukkan makanan ke dalam mulut
2. Jangan meletakkan sesuatu sembarangan
3. Jangan makan makanan keras bila gigi tak lengkap
4. Jangan menggigit benda-benda yang bukan makanna seperti peniti, dll.
5. Pemakaian gigi palsu yang baik dan benar

SHAFA - THT
(14) Benda Asing Laring - Trakea - Bronkus
Dr. Rizka Fathoni Perdana

A. Pendahuluan
1. Terdapatnya benda atau bahan yang normalnya tidak ada di trakea – bronkus
2. Jenis benda asing :
a. Eksogen : dari luar tubuh → kacang, kecik, dll
b. Endogen : dari dalam tubuh → darah, pus, sekret kental, dll
B. Predisposisi
1. Pada anak
a. Dental : molar belum tumbuh
b. Fisiologis : fungsi menelan belum sempurna
c. Kebiasaan : makan sambil tertawa, teriak
d. Kelalaian : memberi makanan yang keras
2. Pada dewasa
a. Kebiasaan : memegang dengan gigi
b. Kelalaian : gigi palsu tidak dilepas waktu tidur
Makanan atau benda berada dalam mulut
C. Patogenesis

D. Jenis Benda Asing


1. Organik → kacang, kecik
Iritasi mukosa (24 jam) : Edema, Sekret purulen
2. Non Organik → Logam atau plastik
a. Obstruksi parsial
b. Dapat ditoleransi lebih lama
c. Iritasi lebih ringan
d. Diagnosisi lebih mudah
E. Diagnosis
1. Anamnesis
a. Batuk
▪ Setelah / sedang makan sesuatu
▪ Mendadak, bertubi-tubi
▪ Sampai biru, oleh karena obstruksi dan tak sempat inspirasi
▪ Merupakan reflek → watch dog reflex
▪ Benda asing dapat pindah tempat → masuk bronkus → fase tenang/tidak batuk
▪ Anamnesis batuk selalu ada
b. Sesak Napas inspirator
c. Suara parau → b.a. di pita suara / subglotik

SHAFA - THT
2. Pemeriksaan
Tergantung pada : besar/kecil benda asing dan tempat
a. Inspeksi :
▪ Stridor inspirasi
▪ Retraksi : supraklavikula, suprasternal, interkostal, epigastrium
▪ Gerak dada pada pernapasan sisi sakit <
▪ Parau bila benda asing pada : pita suara dan subglotik
b. Palpasi : gerak dada pada pernapasan sisi sakit
c. Perkusi : suara napas pada sisi sakit <
d. Auskultasi : bila baru : normal, bila lama : ronki (+)
Benda asing pada :
▪ Bronkus : suata napas D tidak sama dengan S
▪ Trakea : suara napas D = S
F. Pemeriksaan Penunjang
Foto Toraks :
1. Hanya pada kasus tertentu
2. Benda asing radio-opaque
G. Diagnosis Banding
1. Laringo-trakea-bronkitis akut
2. Asma bronkial
H. Penatalaksanaan
1. Segera kirim ke RS
a. Untuk ekstraksi benda asing / bronkoskopi
b. Kirim dengan ambulans + oksigen
c. Tidak mungkin kirim : Trakeotomi dan Heimlich Maneuver
2. BA Jalan napas → kasus gawat darurat
Walaupun saat itu tidak sesak (fase tenang) oleh karena benda asing dapat pindah tempat →
obstruksi jalan napas
I. Heimlich Maneuver
1. Hanya pada obstruksi laring yang total
2. Dasar : Dorongan → Elevasi diafragma tiba-tiba → Ekspulsi udara dari paru (tidal volume +
expiratory reserve) yang cepat dan kuat → Mendorong benda asing keluar
3. Cara Melakukan :
a. Melakukan pendorongan pada abdomen di bawah xyfoid, sedikit di atas umbilicus ke arah
atas dengan cepat
b. Penderita berdiri : dengan kepalan tangan kanan, sisi ibu jari & jari telunjuk menempel
pada abdomen
c. Penderita berbaring : dengan pangkal telapak tangan
d. Penderita anak : dengan ujung jari telunjuk + jari tengah
J. Komplikasi
1. Obstruksi total laring – trakea
2. Atelektase oleh karena obstruksi total
3. Emfisema → udara masuk tapi tak dapat keluar yaitu, bila : edema (+) tumpukan sekret (+)
oleh karena waktu :
a. Inspirasi lumen bronkus melebar
b. Ekspirasi lumen bronkus mengecil
4. Bronkitis
K. Pencegahan
1. Jangan biarkan anak memasukkan mainan atau barang kecil kedalam mulut
2. Jangan biarkan anak makan sambil bergurau atau berlari
3. Jangan beri makanan keras pada anak dengan geraham yang belum lengkap

SHAFA - THT

Anda mungkin juga menyukai