Anda di halaman 1dari 8

BAB I

Pertanyaan :

Dalam perkembamgan ilmu mantiq coba jelaskan bagaimana perkembangan ilmu mantiq
pada zaman yunani?

Jawab :

Sebagaimana ilmu lainnya, pada Zaman Yunani pemikiran ttg logikapun berawal, semenjak
zaman Kuno Yunani orangnya pun telah mengusahakan tentang logika artificialis, adapun
pemikiran tentang mantiq / logika pada waktu itu adalah:

a. Zaman Sophistika (abad ke 5 SM) telah tercatat dan menalarkan hukum berpikir yang
bertujuan awalnya hanya untuk mencari kebenaran, tetapi bergeser diplesetkan dalam
pengertian politis, yaitu ingin mencari kemenangan dalam sebuah perselisihan.
Contoh:
Bentuk pemikiran yang diusahakan masa lalu hanyalah pada permainan kata-kata demi
kemenangan dalam perselisihan
- Barangsiapa yang lupa itu bodoh
- Barangsiapa yang banyak belajar, banyaklah tahunya dan banyaklah lupanya
- Maka orang yang banyak belajar akan makin bodoh

b. Socrates, Plato dan Aristoteles


Permainan kata kaum shopistika menimbulkan reaksi dikalangan filsuf, dengan diawali
Socrates (469 – 399 sm) membangun logika dalam arti yang benar sebagai kritik terhadap
kaum shopistika.
Usaha Socrates dilanjutkan oleh muridnya Plato (427 – 347 sm) berlanjut ke Aristoteles
dan berhasil menyusun logika yang hingga saat ini dipakai dalam ilmu pengetahuan.
Selanjutnya disebut Logika Aristoteles yang buah pikirannya disebut Organon yang
berarti alat untuk mencapai pengetahuan yang benar.
- Posisi Aristoteles sebagai guru Alexander (putra raja Macedonia, Philip) dan guru
filsafat di sekolah yang didirikannya di Athena, the Lyceum, menjadikan
pemikirannya banyak dikenal di tengah-tengah masyarakat Yunani.
- Logika Aristoteles mendapatkan tempat yang sangat prestis khususnya dalam dunia
pengetahuan. Logika Aristoteles telah mampu merapikan ‘muntahan ide’ Plato yang
terabadikan dalam “dialog”nya. Pemikirannya mampu menghegemoni rasionalitas
bangsa Yunani, bahkan seolah-olah menutup bayang-banyang dua filsuf besar
sebelumya, Socrates dan Plato.
- Masyarakat Yunani menganggap Aristoteles sebagai Tuhan dan Dewa rasionalitas.
Jargon rasionalitasnya mampu meluluhkan ilmuwan pada zamannya demi
mengungkap hakekat sebuah kebenaran. Rasionalitas dalam ilmu akan selalu
diagungkan seperti halnya demokrasi dalam politik.
c. Logika Aristoteles
Perumusan logika oleh Aristoteles sebagai dasar ilmu pengetahuan secara epistemologi
bertujuan untuk mengetahui dan mengenal cara manusia mencapai pengetahuan tentang
kenyataan alam semesta -baik sepenuhnya atau tidak- serta mengungkap kebenaran. Akal
menjadi sebuah neraca, karena akallah yang paling relevan untuk membedakan antara
manusia dengan segala potensi yang dimilikinya dari makhluk lain.

Aristoteles mengenalkan logika sebagai ilmu (logica scientica), logika disebut analitica,
yang meneliti berbagai argumentasi berdasarkan proposisiyang benar sedangkan
dialektika meneliti argumen yang proposisinya masih diragukan kebenarannya. Inti logika
Aristotels adalah silogisme. Buku Aristotels to Oraganon (alat):

- Categoriae tentang pengertian.


- De interpretatiae tentang keputusan.
- Analytica Posteriora tentang pembuktian
- Analytica Priora tentang silogisma
- Topica tentang argumentasi dan metode berdebat
- De sophisticis elenchis tentang kesesatan
d. Pelopor Logika
- Plato (427SM – 347SM).
- Theophrastus (370SM – 288SM), mengembangkan logika Aristoteles
- Zeno (334SM – 226SM) mengenalkan istilah logika.
- Galenus (130 – 210) dan Sextus Empiricus (200) dua orang dokter medis
mengembangkan logika menggunakan metode geometri dan mengenalkan
sistematisasi logika.
- Porohyus (232 – 305) membuat pengantar pada Categoriae.
- Boethius (480 – 524) menerjemahkan Eisagoge Porphyrius dalam bahasa Latin dan
mengomentari.
- Johanes Damascenus (674 – 749) menerbitkan Fons Scienteae.

BAB II

Pertanyaan :

Para ahli mantiq membagi ilu menjadi 5 tingkatan salah satunya adalah Dzan, bagaimana
cara mengetahui bahwa ilmu tersebut terdapat pada tingkata dzan??

Jawaban:

Apa bila sesuatu yang dilihat, diketahui, diyakini, atau di duga oleh orang tersebut tidak
sesuai dengan kenyataan, misalnya ternyata paham bahwa manusia, maka penemuan orang
tersebut disebut ilmu (buah pikiran) yang salah atau ilmu zhann (dugaan yang keliru) (ilmun
zhanni ghoiru muthabiq lil waqi’) Oleh sebab itu keyakinan orang – orang tertentu bahwa
bumi datar, tidak bulat adalah pengetahuan yang bersifat salah.
BAB III

Pertanyaan:

Secara keilmuan apa yg membedakan antara Tashawwur dan Tasdhiq ??

Jawaban:

Tashawwur

Tashawwur, yaitu memahami sesuatu tanpa mengenaka (meletakkan) sesuatu (sifat) yang
lain kepadanya, seperti memahami kata Husein, manusia,kerbau, rumah, gunung dan
sebagainya. Tashawwur juga bisa diartikan dengan mengetahui hakikat-hakikat objek tunggal
dengan tidak menyertakan penetapan kepadanya atau meniadakan penetapan drinya.

Tasdhiq

Tashdiq yaitu memahami atau mengetahui kenyataan kenisbatan, hubungan antara dua kata,
ada atau tidak ada kenyataan itu, seperti pemahaman bahwa air laut asin, langit tidak dibawah
kita. Misalnya lagi ketika kita memahami Husein sebagaimana adanya, tanpa menetapkan
sesuatu yang lain kepadanya maka ilmu mengenai Husein itu masih dalam tahap Tashawwur.
Tetapi ketika seseorang mengatakan Husein sakit berarti kita memahaminya dengan
menetapkan (meletakkan) sifat sakit pada Husein, maka pemahaman tersebut sudah
berpindah dari Tasawwur kepada Tashdiq. Untuk dapat sampai pada tashdiq (memahami
nisbat) harus lebih dahulu tashawwur (memahami atau menemukan arti mufrad), jadi
tashawwur harus ditemukan terlebih dahulu. Pemahaman terhadap Tashawwur ini sebagai
dasar pemahaman terhadap Tashdiq jika pemahaman terhadap lafazh (tashawwur) benar,
maka pemahaman (temuan pikiran) terhadap tashdiq juga benar atau mendekati benar.

BAB IV

Pertanyaan :

Bagaimanakah proses berfikir Ad Dalalat dalam pendekatan ilmu Psikologi?

Jawaban:

Proses Berfikir

1. Pembentukan pengertian. Artinya dari suatu masalah,fikiran kita membuang ciri”


tambahan, sehingga tinggal ciri-ciri yang tipis (yg tidak boleh tidak ada ) pada masalah
itu. Misalnya, aku menangkap apa arti 'aku','mobil','membeli' dsb. Mengerti kenyataan
(misalnya aku menangkap apa itu mobil ) dan membentuk pengertian” atas dasar
pengetahuan keindraan dg melihat fisik mobil dll.
2. Pembentukan pendapat dan keputusan. Artinya fikiran kita menggabungkan atau
menceraikan beberapa pengertian, yg menjadi tanda khas dari masalah itu. Menyatakan
hubungan yg ada antara pengertian” yg telah ditangkap itu, dengan mengatakan bahwa
masalah itu 'demikian‘ (S=P) atau memisahkan / memungkiri dg mengatakan 'ini
tidaklah demikian' (S#P). Misalnya, mobil itu mahal, mobil itu tidak murah. Pernyataan
ini disebut putusan, dan biasanya dlm bentuk kalimat berita.
3. Pembentukan kesimpulan. Artinya fikiran kita menarik keputusan dari keputusan-
keputusan yg lain. Menghubungkan berbgai hal yg diketahui sedemikian rupa sehingga
kita sampai pd kesimpulan. Jalan fikiran seperti ini tidak perlu diucapkan dg kata-kata,
namun dipikirkan dalam batin. Tetapi dalam berfikir itu, kita mesti mempergunakan
kata-kata ( pengertian-pengertian atau konsep ). dan apabila ingin disampaikan dg orang
lain (komunikasi), isi pikiran itu harus dikatakan atau dilahirkan dlm kata” (bahasa),
istilah (term) atau yang lain.

BAB VI

Pertanyaan:

Dalam macam-macam kullyatu khams terdapat 2 macam Kulli yaitu: Lafaz Kulli Dzati dan
Lafaz Kulli Irdi, coba jelaskan pemahaman seperti apa sehingga 2 cabang dari kully khams
tersebut di katakan berbeda?

Jawaban:

Lafaz Kulli Dzati.

Lafaz kulli dzati adalah lafaz yang menunjukkan kepada mahiyah (hakekat) sepenuhnya, dan
kepada nya diajuka pertanyaan ” apa dia”.

1. Jins / jenis.

Jins atau jenis adalah lafaz kulli yang maa shadaqnya terdiri dari substansi-substansi
(hakikat) yang berbeda, atu lafaz kulli yang dibawahnya trdapat lafaz-lafaz kulli yang
mempunyai makna yang lebih khusus. Dengan kata lian jenis adalah term yang
menyatakan hakikat suatu barang tetapi sebagian saja, belum melukiskan hakikat yang
sempurna. Contoh: kerbau, kuda, gajah, kera dan burung adalah berbeda tetapi
kesemuanya mempunyai sifat persamaaan yang tidak bisa dilepaskan dari masing-masing
nama itu, yaitu sifat kebinatangan.Jadi kata binatang adalah jenis.

Dalam buku Al-Sullam al-Munawraq terdapat petunjuk bahwa jins (jenis) adalah: Jauhar,
Jism, Nami, hayawan, Nau’, adalah insan, hindun, zaid, mustafa. Jins (jenis) terbagi
kepada 3 bagian:

2. Jenis Ali atau ba’id, jenis tinggi.


Jenis Ali atau ba’id, jenis tinggi yaitu jenis yang tidak ada lapisan di at asnya, hanya ada
lapisan-lapisan jenis di bawahnya. Contoh: jauhar, di atas lafaz kulli jauhar tidak ada lagi
jenis, tetapi dibawahnya terdapat beberapa jenis, yaitu jims, hayawan.
3. Jenis wasath/mutawasith atau jenis antara.
Jenis wasath/mutawasith atau jenis antara yaitu lafaz kulli yang di atas nya terdapat jenis
dan di bawah nya terdapat jenis. Contoh: tubuh yang berkembang.
4. Jenis Safil/jenis rendah.
Jenis Safil/jenis rendah yaitu lafaz kulli yang tidak ada jenis di bawah nya, tetapi di atas
nya terdapat beberapa jenis.
a. Nau’/ species.
Nau’ menurut bahasa adalah macam(jenis).Secara mantiki lafaz kulli yang
mashadaqnya terdiri dari hakekat-hakekat yang sama. Nau’/ species adalah lafaz kulli
yang mempunyai cakupan terbatas, yaitu afrad yang bersamaan hakikat nya.seperti
lafaz insani yang mashadaqnya: ali, Mustafa, dan amin. Nau’ juga terbagi kepada 2
macam:
1) Haqiqi, yaitu lafaz kulli yang berada d bawah jenis, sedangka mashadaqnya
merupakan hakikat yang sama.
2) Idhafi, yaitu lafaz kulli yang berada di bawah jenis, baik hakikat nya sama
maupun tidak. Nau’ idhafi terbagi 3, yaitu:
a) Safil adalah lafaz kulli yang tidak ada lagi di bawahnya kecuali substansi jus’i
nya. Contoh: insan. Lafazh insan tidak lagi nau’ di bawah nya. Yang ada di
bawah nya hanya juzi’ nya, yaitu: ahmad, ali, maimun, dll.
b) Mutawassith adalah lafaz kulli yang di bawah nya terdapat nau’ dan itu atas nya
terdapat nau’. Contoh: hayawan dan Al-nami. Di atas hayawn ada nau’, yaitu al-
nami dan di bawah nya ada nau’, yaitu al-insan.demikian juga dengan al-
nami.diatasnya ada nau, yaitu jism dan di bawah nya ada pula nau’, yaitu al-
hayawan.
c) ‘Ali adalah lafaz yang tidak ada lagi di atasa nya kecuali jins ’ali.contoh: al-
jism.lafaz al-jism tidak ada lagi di atas nya kecuali jins ’ali yaitu al-jauhar.
d) Fashl/differentia (sifat pembeda) adalah term yang membedakan satu hakikat
dengan hakikat yang lain yang sama-sama terikat dalam satu jenis. Contoh:
manusia adalah binatang. Binatang adalah jenis, manusia adalah spesia dari
binatang, yang membedakan manusia dari binatang (kuda, kerbau, kucing)
adalah sifat berfikir. Sifat berfikir inilah yang dinamakan dengan
fashl/differentia. Fashl terbagi 2 macam:
 Fashl qarib.Fashl qarib adalah ciri yang membedakan sesuatu dari sesuatu
yang menyamainya dalam jenis yang dekat.contoh: dapat berfikir, adalah
fashl qarib bagi manusia yang membedakan nya dari yang menyamainya
dalam satu jenis yaitu hayawan.Fashl ba’id.
 Fashl ba’id adalah ciri yang membedakan sesuatu dari sesuatu yang
menyamainya dalam jenisnya yang jauh (bai’id) contoh: merasakan
(perasaan) adalah fashl ba’id bagi manusia yang mebedakan nya dari hewan.

Lafaz Kkulli Irdi.

Lafaz kulli irdi ini terbagi 2 macam yaitu:

1. irdhi khas.
irdhi khas adalah sifat tambahan yang hanya berlaku satu dzat tertentu atau term yang
menyamakan sifat hakikat dari suatu spesia sebagai akibat dari sifat pembeda yang
dimilikinya.Contoh: sifat pembeda yang dimiliki manusia adalah berfikir.dari sifat berfikir
ini timbul sifat khusus, seperti: kawin, membentuk pemerintah, adanya peradaban,
pakaian, dan mengembangkan kebudayaan.
Irdhi khas (sifat khusus) adalah sifat atau sejumlah sifat yang dimiliki secra khusus oleh
hakekat-hakekat (mahiyah)yang sama.bariyah, bakar, usman, mustafa adalah hakekat-
hakekat mahiyah yang sama.contoh:mampu berbahasa/belajar satu bahasa/beberapa
bahasa.adalah irdhi khas (sifat khusus) bagi manusia.

2. irdhi ’am.
Irdhi ’am adalah sifat tambahan yang dapat ditemukan pada beberapa zat atau
golongan.contoh: sifat melihat pada manusia.meliahat ini juga dimiliki oleh.

BAB VII
Bagaimana suatu ungkapan atau pemaman bisa di katakan Ta’rif??
Jawab:
Dalam suatu pemahaman bisa dikatan Ta’rif atau Ta’rif menjadi benar dan dapat
diterima, jika syarat-syaratnya terpenuhi, antara lain:
1) Ta’rif harus jami’ mani’ (muththarid mun’akis). Secara lughawi, jami’ berarti
mengumpulkan dan mani’ adalah melarang. Dalam ilmu mantik, jami’ berarti
mengumpulkan semua satuan yang dita’rifkan ke dalam ta’rif. Sedangkan mani’
berarti melarang masuk segala satuan hakekat lain dari yang dita’rifkan ke dalam
ta’rif tersebut. Oleh Karena itu, ta’rif tidak boleh lebih umum atau lebih khusus dari
yang dita’rifkan.
Contoh:
Manusia adalah hewan yang berakal.
2) Ta’rif harus lebih jelas dari yang dita’rifkan (an yakuna audlah min al-mu’raf).
3) Ta’rif harus sama pengertiannya dengan yang dita’rifkan. Karena itulah ta’rif
tidak dianggap benar dan tidak bisa diterima sebagai ta’rif (definisi), jika keadaannya
tidak sama dengan yang didefinisikan.
4) Ta’rif tidak berputar-putar. Maksudnya jangan sampai terjadi ta’rif dijelaskan
oleh yang dita’rifi (an yakuna khaliyan min al-dawar).
5) Ta’rif bebas dari penggunaan kata majazi dan kata yang mngandung banyak
makna (an yakuna khaliyan min al-majaz wa al-musytarakat).

BAB VIII

Pertanyaan: Dari sudut kebahasaan, qismah itu artinya pembagian. Dalam sebuah pembagian,
sudah pasti di sana ada yang dibagi, bagian-bagian yang terbagi dari apa yang dibagi, dan
dasar pembagian itu sendiri. misalnya, Konsep ilmu oleh ilmuan mantiq terbagi menjadi dua
bagian, yaitu tashawwur dan tashdiq, Pertanyaannya: Mengapa ia hanya terbagi dua? Apa
yang menjadi dasar pembagiannya? Dari uraian di sana kita tahu bahwa yang menjadi dasar
itu ialah ada atau tidak adanya penghukuman. Ilmu yang tidak disertai penghukuman
disebut tashawwur, sedangkan yang mengandung unsur penghukuman dikenal dengan
istilah tashdiq.!!!
Jawaban: dalam contoh tersebut, ilmu itu disebut sebagai maqsam, karena dia yang
dibagi. Tashawwur dan tashdiq itu qism (jamaknya aqsam), karena dia menjadi bagian
dari maqsam, yang dalam hal ini adalah ilmu. Apabila tashawwur dikaitkan dengan tashdiq,
maka ketika itu ia disebut sebagai qasim. Lalu, ada atau tidak adanya penghukuman disebut
sebagai asas al-Taqsim, karena dia yang menjadi dasar pembagian. Dan pembagiannya itu
sendiri diistilahkan dengan qismah, atau taqsim.

Dari sini, qismah atau taqsim itu bisa kita artikan sebagai “proses membelah, membagi, dan
menganalisis sesuatu kedalam bagian-bagian tertentu yang berbeda satu sama lain”. Dengan
ungkapan yang lebih jelas, qismah itu adalah pembagian. Atau proses membagi sesuatu, yang
dari proses pembagian itu akan melahirkan bagian-bagian tertentu, dan masing-masing dari
bagian tersebut berbeda satu sama lain.

Dalam qismah ini, sekali lagi, ada yang disebut sebagai maqsam, yaitu yang
dibagi. Qismsebagai bagian yang yang dibagi. Bentuk jamaknya aqsam, yakni bagian-
bagian. Asas al-Taqsim yang menjadi dasar pembagian. Lalu ada istilah qasim, yaitu ketika
bagian-bagian tersebut dinisbatkan pada bagian yang lain. Dan terakhir
ialah qismah atau taqsim itu sendiri, yang artinya ialah pembagian.

BAB IX

Pertanyaaan:

Bagaimana praktek Qodhiyyah dalam Konsep berfikir?

Jawaban:

Isi qadhiyah adalah merupakan kabar (berita) maka nama lain untuk qadhiyah adalah
khabar. Setiap qadhiyah (khabar) selalu mengundang kemungkinan benar atau salah.
Qadhiyah itu benar jika kebetulan isinya sesuai dengan kenyataan (muthabiq li al-waqi).
Sebaliknya, qadhiyah itu salah (tidak benar). Jika isinya tidak sesuai dengan kenyataan
(ghairu muthabiq li al-waqi). Semua qadhiyah demikian halnya, yaitu bisa benar dan bisa
pula salah. Jika ada qadhiyah yang isinya pasti benar, atau tidak mungkin salah, maka
kepastian kebenarannya itu tidak disebabkan oleh qadhiyah itu sendiri, melainkan oleh
kebenaran yang mengatakannya. Qadhiyah-qadhiyah berupa firman Allah di dalam al-Quran
yang mengandung isi pasti kebenarannya, bukanlah kebenarannya itu karena qadhiyah-nya,
tetapi karena kemahabenaran Allah yang memfirmankannya. Sebaliknya jika ada qadhiyah
yang hanya mungkin salah, atau tidak mungkin dibenarkan isinya, maka yang salah dalam hal
itu bukan qadhiyah-nya melainkan yang mengatakannya. Isi Qadhiyah itu dikatakan bohong,
bukan karena qadhiyah itu sendiri,, tetapi karena yang mengatakannya adalah pembohong.
Itulah sebabnya mengapa suatu qadhiyah selalu dikatakan mungkin benar dan mungkin pula
salah di dalam dirinya.

Manusia sebagai makhluk yang berfikir selalu berusaha untuk mencari keadilan,
kemantaban hati dan kebenaran. Dalam usahanya tersebut manusia akan menilai,
membandingkan dan menghukumi sesuatu dengan sesuatu yang lain. Contoh : seseorang
yang mengatakan “Dosen itu sangat dermawan”. Secara tidak langsung orang tersebut
pernah melihat dosen yang pelit, kemudian kedua Dosen tersebut dibandingkan. Hasil dari
penilaian dan pembandingan tersebut disebut tasdiq (pernyataan atau pengakuan benar).Atas
dasar itu, tashdiq berkaitan dengan dua hal: maudhu' dan mahmul, Gabungan dari maudhu’
dan mahmul disebut qadhiyyah (proposisi)

Anda mungkin juga menyukai