Referat TB Resisten Obat Antonius
Referat TB Resisten Obat Antonius
Pembimbing :
Penyusun :
Antonius
11-2012-203
2014
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena
terselesaikannya referat yang berjudul “Tuberkulosis Resisten Obat”. Referat ini disusun
sebagai sarana diskusi dan pembelajaran, serta diajukan guna memenuhi persyaratan
penilaian di Kepaniteraan Klinik Penyakit Dalam di Rumah Sakit Mardi Rahayu, Kudus.
Penghargaan dan rasa terima kasih disampaikan kepada dr. Luluk Adipratikto,
Sp.P yang telah memberikan dorongan,bimbingan dan pengarahan dalam pembuatan
referat ini. Penyusun juga ingin mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah
membantu baik secara langsung maupun tidak langsung dalam menyelesaikan referat ini.
Penyusun menyadari bahwa dalam penyusunan referat ini masih jauh dari
sempurna, baik mengenai isi, susunan bahasa, maupun kadar ilmiahnya. Hal ini
disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan dan pengalaman dari penyusun dalam
mengerjakan penyusunan referat ini. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran
yang bersifat membangun demi kesempurnaan referat ini. Semoga referat ini memberikan
informasi bagi masyarakat dan bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan bagi
kita semua.
Penyusun
1
DAFTAR ISI
Kata Pengantar 1
Pendahuluan 3
Epidemiologi 4
Mekanisme Resistensi 6
Diagnosis 9
Tatalaksana Medikamentosa 11
Tatalaksana Pembedahan 23
Pencegahan 23
Prognosis 24
Kesimpulan 25
Daftar Pustaka 26
2
TUBERKULOSIS RESISTEN OBAT
I. PENDAHULUAN
Kebal obat atau resistensi terhadap obat berarti kuman TB (Mycobacterium
tuberculosis) tidak dapat lagi dibunuh oleh OAT yang dipakai saat ini. Resistensi ini
dimulai dari yang sederhana yaitu mono resistan sampai dengan Multi Drug Resistant
(MDR) dan eXtensively Drug Resistant (XDR). Terdapat lima jenis kategori resistensi
terhadap OAT, yaitu:
A. Mono resisten : Resistensi terhadap salah satu OAT, misalnya resistan terhadap
INH saja, atau rifampisin saja, dll.
B. Poli resisten : Resistensi terhadap lebih dari satu OAT, selain isoniazid (H)
bersama rifampisin (R), misalnya resistensi terhadap H-E atau R-E, atau H-E-S,
dll.
C. Multi drug resistant (MDR) : Resistan terhadap sekurang-kurangnya isoniazid
(H) dan rifampicin (R), secara bersamaan dengan atau tanpa OAT lini pertama
yang lain, misalnya : HR, HRE, HRES.
D. Extensively drug resistant (XDR) : TB MDR disertai resistensi terhadap salah
satu obat golongan fluorokuinolon dan salah satu dari OAT injeksi lini kedua
(Capreomisin, Kanamisin, dan Amikasin).
E. Total Drug Resistance (TDR) : Resisten baik dengan lini pertama maupun lini
kedua. Pada kondisi ini tidak ada lagi obat yang bisa dipakai. 1,2
3
II. EPIDEMIOLOGI
Pada tahun 2010 WHO menyatakan insidens TB-MDR meningkat secara bertahap
merata 2% pertahun. Enam negara dengan kekerapan TB-MDR tinggi di dunia adalah
Estonia, Kazakhstan, Latvia, Lithunia, bagian dari federasi Rusia dan Uzbekistan. Saat ini
menurut WHO Indonesia menduduki peringkat ke 8 dari 27 negara dengan jumlah kasus
MDR. Beban TB-MDR di 27 negara ini menyumbang 85% dari beban TB-MDR global.2
Survei resistensi OAT di provinsi Jawa Tengah menunjukkan bahwa angka TB
MDR pada pasien yang belum pernah mendapat pengobatan OAT sebelumnya sekitar 2
% dan sekitar 16 % bagi yang pernah mendapatkan pengobatan OAT sebelumnya. Faktor
utama penyebab terjadinya resistensi kuman terhadap OAT adalah ulah manusia, baik
penyedia layanan, pasien, maupun program/sistem layanan kesehatan yang berakibat
terhadap tatalaksana pengobatan pasien TB yang tidak sesuai dengan standar dan mutu
yang ditetapkan.2
A. Pemberian terapi TB yang tidak adekuat akan menyebabkan mutan resisten. Hal
ini amat ditakuti karena dapat terjadi resisten terhadap OAT lini pertama
B. Masa infeksius yang terlalu panjang akibat keterlambatan diagnosis akan
menyebabkan penyebaran galur resitensi obat. Penyebaran ini tidak hanya pada
pasien di rumah sakit tetapi juga pada petugas rumah sakit, asrama, penjara dan
keluarga pasien
4
C. Pasien dengan TB-MDR diterapi dengan OAT jangka pendek akan tidak sembuh
dan akan menyebarkan kuman. Pengobatan TB-MDR sulit diobati serta
memerlukan pengobatan jangka panjang dengan biaya mahal
D. Pasien dengan OAT yang resisten terhadap kuman tuberkulosis yang mendapat
pengobatan jangka pendek dengan monoterapi akan menyebabkan bertambah
banyak OAT yang resisten (’’The amplifier effect”). Hal ini menyebabkan seleksi
mutasiresisten karena penambahan obat yang tidak multipel dan tidak efektif
E. HIV akan mempercepat terjadinya terinfeksi TB mejadi sakit TB dan akan
memperpanjang periode infeksious.1
Sedangkan menurut Aditama dkk ada beberapa hal penyebab terjadinya resistensi
terhadap OAT, yaitu:
A. Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan tuberculosis.
B. Penggunaan paduan obat yang tidak adekuat, yaitu jenis obatnya yang kurang atau
di lingkungan tersebut telah terdapat resistensi terhadap obat yang digunakan,
misalnya memberikan rifampisin dan INH saja pada daerah dengan resistensi
terhadap kedua obat tersebut.
C. Pemberian obat yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan dua atau tiga minggu
lalu berhenti, setelah dua bulan berhenti kemudian bepindah dokter mendapat
obat kembali selama dua atau tiga bulan lalu berhenti lagi, demikian seterusnya.
D. Fenomena “addition syndrome” yaitu suatu obat ditambahkan dalam suatu paduan
pengobatan yang tidak berhasil. Bila kegagalan itu terjadi karena kuman TB telah
resisten pada paduan yang pertama, maka “penambahan” (addition) satu macam
obat hanya akan menambah panjangnya daftar obat yang resisten saja.
E. Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak dilakukan secara baik
sehingga mengganggu bioavailabilitas obat.
F. Penyediaan obat yang tidak reguler, kadang-kadang terhenti pengirimannya
sampai berbulan-bulan.3,4
5
IV. MEKANISME RESISTENSI
Secara mikrobiologi resistensi disebabkan oleh mutasi genetik, dan hal ini
membuat obat tidak efektif melawan basil mutan. Mutasi terjadi spontan dan berdiri
sendiri menghasilkan resistensi OAT. Sewaktu terapi OAT diberikan galur
Mycobacterium tuberculosis wild type tidak terpajan. Diantara populasi Mycobacterium
tuberculosis wild type ditemukan sebagian kecil mutasi resisten OAT. Resisten lebih dari
satu OAT jarang disebabkan genetik dan biasanya merupakan hasil penggunaan obat
yang tidak adekuat. Populasi galur Mycobacterium tuberculosis resisten mutan dalam
jumlah kecil dapat dengan mudah diobati, tetapi terapi OAT yang tidak adekuat
menyebabkan proliferasi dan meningkatkan populasi galur resisten obat. Kemoterapi
jangka pendek pasien resistensi obat menyebabkan galur lebih resisten terhadap obat
yang digunakan atau sebagai efek penguat resistensi. Sebelum penggunaan OAT
sebaiknya dipastikan Mycobacterium tuberculosis sensitif terhadap OAT yang akan
diberikan. Penularan galur resisten obat pada populasi juga merupakan sumber kasus
resistensi obat baru.4
6
B. Mekanisme Resistensi Terhadap Rifampisin
Rifampisin merupakan turunan semisintetik dari Streptomyces
mediterranei, yang bekerja sebagai bakterisid intraseluler maupun ekstraseluler.
Obat ini menghambat sintesis RNA dengan mengikat atau menghambat secara
khusus RNA polimerase yang tergantung DNA.
Rifampisin berperan aktif invitro pada kokus gram positif dan gram
negatif, Mycobacterium, chlamydia, dan poxvirus. Resistensi mutannya tinggi,
biasanya pada semua populasi miikobakterium terjadi pada frekuensi 1: 107 atau
lebih. Resistensi terhadap rifampisin ini disebabkan oleh adanya permeabilitas
barier atau adanya mutasi dari RNA polymerase tergantung DNA.
Rifampisin mengahambat RNA polimerase tergantung DNA dari
mikobakterium, dan menghambat sintesis RNA bakteri yaitu pada formasi rantai
(chain formation) tidak pada perpanjangan rantai (chain elongation), tetapi RNA
polymerase manusia tidak terganggu.
Resistensi rifampisin berkembang karena terjadinya mutasi kromosom
dengan frekuensi tinggi dengan kecepatan mutasi tinggi yaitu 10-7 sampai 10-3,
dengan akibat terjadinya perubahan pada RNA polimerase. Resistensi terjadi pada
gen untuk beta subunit dari RNA polimerase dengan akibat terjadinya perubahan
pada tempat ikatan obat tersebut.4
7
pirazinoat. Kebanyakan kasus resistensi pirazinamide ini berkaitan dengan mutasi
pada gen pncA, yang menyandikan pirazinamidase.4
8
V. DIAGNOSIS
Diagnosis TB-MDR dipastikan berdasarkan uji kepekaan. Semua Pasien yang
dicurigai TB-MDR diperiksa dahaknya untuk selanjutnya dilakukan pemeriksaan biakan
dan uji kepekaan. Jika hasil uji kepekaaan terdapat Mycobacterium tuberculosis yang
rrsisten minmal terhadap rifampisi dan INH maka dapat ditegakkan diagnosis TB-MDR.
Pasien yang dicurigai kemungkinan TB-MDR adalah :
A. Kasus TB paru dengan gagal pengobatan pada kategori 2. Dibuktikan dengan
rekam medis sebelumnya dan riwayat penyakit dahulu
B. Pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan dahak tetap positif setelah sisipan
dengan kategori 2
C. Pasien TB yang pernah diobati di fasilitas non DOTS, termasuk yang mendapat
OAT lini kedua seperti kuinolon dan kanamisin
D. Pasien TB paru yang gagal pengobatan kategori 1
E. Pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan dahak tetap positif setelah sisipan
dengan kategori 1
F. TB paru kasus kambuh
G. Pasien TB yang kembali setelah lalai/default pada pengobatan kategori 1 dan atau
kategori 2
H. Suspek TB dengan keluhan, yang tinggal dekat dengan pasien TB-MDR
konfirmasi, termasuk petugas kesehatan yang bertugas dibangsal TB-MDR
I. TB-HIV.1,4
Beberapa metode telah digunakan untuk deteksi resistensi obat pada TB. Deteksi
resistensi obat di masa lalu yang disebut dengan metode konvensional berdasarkan
deteksi pertumbuhan M.tuberculosis. Akibat sulitnya beberapa metode ini dan
9
membutuhkan waktu yang lama untuk mendapatkan hasilnya, maka belakangan ini
diusulkanlah teknologi baru. Yang termasuk metode terbaru ini adalah metode fenotipik
dan genotipik. Pada banyak kasus, metode genotipik khususnya telah mendeteksi
resistensi rifampisin, sejak saat itu metode ini dipertimbangkan sebagai petanda TB-MDR
khususnya pada suasana dengan prevalensi TB-MDR yang tinggi. Sementara metode
fenotipik, di lain sisi merupakan metode yang lebih sederhana dan lebih mudah
diimplementasikan pada laboratorium mikrobakteriologi klinik secara rutin.4,5
Penentuan TB-MDR harus dilakukan dengan tepat dan sudah tentu akan lebih
bermanfaat jika hasil pemeriksaan juga cepat. Namun sayangnya sampai saat ini
laboratorium yang telah tersertifikasi secara internasional sangat terbatas. Untuk uji
kepekaan OAT lini pertama, laboratorium yang sudah tersertifikasi secara internasional di
Indonesia adalah Laboratorium : Mikrobiologi FKUI, Rumah Sakit Persahabatan, Balai
Pengujian Laboratorium Kesehatan Bandung, Balai Besar Laboartorium Kesehatan
Surabaya dan Laboratorium NECHRI Makasar. Sedangkan untuk OAT lini kedua adalah
Laboratorium Mikrobiologi FKUI untuk ofloksasin, kanamisin dan amikasin serta Rumah
Sakit Persahabatan untuk ofloksasin dan kanamisin.5
10
VI. TATALAKSANA MEDIKAMENTOSA
Idealnya regimen pengobatan kasus TB dengan resistensi obat disusun
berdasarkan hasil in vitro drug susceptibility (DST) yang dilakukan pada masing-masing
pasien. Namun yang menjadi kendala adalah hasil pemeriksaan ini baru dapat diperoleh
dalam 1-2 bulan. Oleh karena itu pada beberapa kondisi berikut ini antara lain pasien
dengan riwayat gagal pengobatan sebelumnya, pasien yang sebelumnya pernah mendapat
terapi OAT, pasien yang ada kontak dengan kasus TB resisten OAT dan pasien yang lahir
dan tinggal pada daerah endemis TB, resistensi obat harus di antisipasi dan terapi harus
dimulai tanpa menunggu hasil DST.
11
Golongan-2 / Obat Kanamycin (Km) Amikacin (Am)
suntik/ Suntikan lini Capreomycin (Cm)
kedua
Golongan-3 / Ofloxacin (Ofx) Moxifloxacin (Mfx)
Golongan Levofloxacin (Lfx)
Floroquinolone
Golongan-4 / Obat Ethionamide (Eto) Para amino salisilat
bakteriostatik lini Prothionamide (PAS)
kedua (Pto) Terizidone (Trd)
Cycloserine (Cs)
Golongan-5 / Obat Clofazimine (Cfz) Thioacetazone (Thz)
yang belum terbukti Linezolid (Lzd) Clarithromycin (Clr)
efikasinya dan tidak Amoxilin- Imipenem (Ipm)
direkomendasikan Clavulanate (Amx-
oleh WHO Clv)
12
7. Dikatakan konversi bila hasil pemeriksaan biakan 2 kali berurutan dengan
jarak pemeriksaan 30 hari.
8. Pemberian obat selama periode pengobatan tahap awal dan tahaplanjutan
menganut prinsip DOT = Directly/Daily Observed Treatment,dengan PMO
diutamakan adalah tenaga kesehatan atau kaderkesehatan.6
Paduan ini hanya diberikan pada pasien yang sudah terbukti TB-MDR,
Paduan obat standard diatas harus disesuaikan kembali berdasarkan keadaan
dibawah ini:
1. Hasil uji kepekaan OAT lini kedua menunjukkan resisten terhadap salah
satu obat diatas. Etambutol dan pirazinamid tetap digunakan
2. Ada riwayat penggunaan salah satu obat tersebut di atas sebelumnya
sehingga dicurigai ada resistensi, misalnya : pasien sudah pernah mendapat
kuinolon untuk pengobatan TB sebelumnya, maka dipakai levofloksasin
dosis tinggi. Apabila sudah terbukti resisten terhadap levofloksasin
regimen pengobatan ditambah PAS, atas pertimbangan dan persetujuan
dari tim ahli klinis
3. Terjadi efek samping yang berat akibat salah satu obat yang sudah dapat
diidentifikasi sebagi penyebabnya
4. Terjadi perburukan keadaan klinis, sebelum maupun setelah konversi
biakan. Hal-hal yang harus diperhatikan adalah kondisi umum, batuk,
produksi dahak, demam, penurunan berat badan.2,6
13
D. Dosis Obat TB-MDR
Tabel 3. Perhitungan dosis OAT 6
OAT Berat Badan
< 33 kg 33-50 kg 51-70 kg >70 kg
Pirazinamid 30-40 mg/kg/hari 1000-1750 1750-2000 2000-2500
mg mg mg
Etambutol 15-20 mg/kg/hari 500-750 mg 1000 mg 1000-1500
mg
Kanamisin 15-20 mg/kg/hari 500-750 mg 1000 mg 1000 mg
Kapreomisin 15-20mg/kg/hari 500-750 mg 1000 mg 1000 mg
Levofloksasin 750 mg per hari 750 mg 750 mg 750-1000 mg
Sikloserin 15-20 mg/kg/hari 500 mg 750 mg 750-1000 mg
Etionamid 15-20 mg/kg/hari 500 mg 750 mg 750-1000 mg
PAS 150 mg/kg/hari 8g 8g 8g
OAT Sediaan
Pirazinamid Tablet 500 mg
Etambutol Tablet 250 mg, 500 mg
Kanamisin Inject 500 mg/2ml, 1 gr/3ml
Kapreomisin Inject 1 gr/vial
Levofloksasin Tablet 250 mg, 500 mg, 750 mg
Sikloserin Kapsul 250 mg
Etionamid Tablet 250 mg
PAS Granules 4 gr
14
Pengobatan TB-MDR pada pasien dengan status gizi kurang akan
lebih berhasil bila diberi tambahan zat gizi protein, vit dan mineral (vit
A, Zn, Fe, Ca, dll).
Pemberian mineral tidak boleh bersamaan dengan fluorokuinolon
karena akan mengganggu absorbsi obat, berikan masing-masing
dengan jarak minimal 4 jam. 6
2. Kortikosteroid
Kortikosteroid diberikan pada pasien TB MDR dengan gangguan
respirasi berat, gangguan susunan saraf pusat atau perikarditis.
Prednison digunakan 1 mg/kg dan diturunkan (tappering off) apabila
digunakan dalam jangka waktu lama. Kortikosteroid juga digunakan
pada pasien dengan penyakit obstruksi kronik eksaserbasi. 6
F. Resistensi Silang
Pada pengobatan TB-MDR harus dipertimbangkan resistensi silang dalam
memilih jenis OAT yaitu suatu resistensi terhadap suatu antibiotik dapat
menyebabkan resisten terhadap semua derivatnya. Tidak efektif memberikan
OAT dari golongan yang sama atau paduan OAT yang berpotensi terjadi
resistensi silang.
1. Tionamid dan Tiosetason
Etionamid adalah golongan tionamid yang dapat menginduksi
terjadinya resistensi silang dengan proteonamid karena satu golongan.
Sering ditemukan resistensi silang antara tionamid dengan tiosetason, galur
yang biasanya resisten dengan tiosetason biasanya masih sensitif dengan
etionamid dan proteonamid. Galur yang resisten terhadap etionamaid dan
proteonamid biasanya juga resisten terhadap tiosetason pada lebih dari
70% kasus.
2. Aminoglikosid
Galur yang resisten terhadap streptomisin biasanya sensitif
terhadap kanamisin dan amikasin. Galur yang resisten terhadap kanamisin
dapat menyebabkan resisten silang terhadap amikasin. Galur yang resisten
15
terhadap kanamisisn dan amikasin juga menimbulkan resisten terhadap
steptomisin. Galur yang resisten terhadap streptomisin, kanamisin,
amikasin biasanya masih sensitif terhadap kapreomisin.
Kesimpulan :
17
7. Pemeriksaan TSH dilakukan setiap 6 bulan dan jika ada tanda-tanda
hipotiroid.6
I. Konversi Dahak
Definisi konversi dahak : pemeriksaan dahak dan biakan 2 kali berurutan
dengan jarak pemeriksaan 30 hari menunjukkan hasil negatif. `Tanggal set
pertama dari sediaan apus dahak dan kultur yang negatif digunakan sebagai
tanggal konversi (dan tanggal ini digunakan untuk menentukan lamanya
pengobatan fase intensif dan lama pengobatan). 6
1. Lama pemberian suntikan atau fase intensif di tentukan oleh hasil konversi
kultur.
2. Anjuran minimal untuk obat suntikan harus dilanjutkan paling kurang 6 bulan
dan sekurang-kurangnya 4 bulan setelah pasien menjadi negatif dan tetap
negatif untuk pemeriksaan dahak dan kultur. 6
K. Lama Pengobatan
1. Lama pengobatan yang dianjurkan ditentukan oleh konversi dahak dan kultur.
2. Anjuran minimal adalah pengobatan harus berlangsung sekurangkurangnya
18 bulan setelah konversi kultur sampai ada bukti-bukti lain untuk
memperpendek lama pengobatan. 6
18
B. Pengobatan TB-MDR pada ibu hamil
1. Kehamilan bukan kontraindikasi untuk pengobatan TB-MDR tetapi
sampai saat ini keamanannya belum diketahui.
2. Pasien hamil tidak disertakan pada uji pendahuluan ini.
3. Sebagian besar efek teratogenik terjadi pada trimester pertama sehingga
pengobatan bisa ditangguhkan sampai trimester kedua. 2,6
19
4. Kadar Kalium dan kreatinin harus dipantau, setiap minggu selama bulan
pertama dan selanjutnya sekurang-kurangnya sekali sebulan. 2,6
20
4. Jika ada sebab lain yang menyebabkan kejang, kejangnya harus diatasi.
5. sikloserin harus dihindarkan pada pasien dengan gangguan kejang yang
aktif dan tidak cukup terkontrol dengan pengobatan dengan gangguan
psikiatris. 2,6
Efektivitas bedaquiline untuk MDRTB ini berdasarkan data dari 2 penelitian yang
melibatkan 440 pasien dengan MDR-TB, yaitu TB yang resisten terhadap rifampin dan
isoniazid. Dalam penelitian acak terkontrol, bedaquiline menghasilkan konversi kultur
yang lebih cepat 33% (bermakna) dalam 24 minggu, yang terjadi pada kurang lebih 79%
pasien yang diterapi dengan bedaquiline, baik dalam penelitian kontrol plasebo dan
penelitian terbuka yang dilakukan. Masalah mengenai keamanan obat yang dikhawatirkan
adalah peningkatan risiko pemanjangan interval QT, hepatotoksisitas, dan jumlah
kematian pasien yang lebih banyak pada pasien yang diterapi dengan bedaquiline
dibandingkan dengan kelompok plasebo. Namun walau demikian, jumlah pasien yang
meninggal sedikit, dan paling tidak 50% pasien yang meninggal disebabkan karena TB
itu sendiri, namun perbedaan tersebut bermakna antara kelompok terapi bedaquiline
dengan plasebo (12,7% vs 2,5%). 8,9
21
Pemasaran bedaquiline akan disertai dengan box waring yang mengingatkan para
ahli kesehatan untuk berhati-hati memberikan bedaquiline karena dapat menyebabkan
pemanjangan interval QT dan risiko kematian pada pasien yang diterapi dengan
bedaquiline. Guideline terbaru merekomendasikan dosis 400 mg per oral sekali sehari
selama 2 minggu, diikuti dengan 200 mg 3 kali seminggu selama 22 minggu, diberikan
per oral bersama dengan makanan. 8,9
22
X. TATALAKSANA PEMBEDAHAN
Berbagai prosedur pembedahan dilakukan terhadap pasien TB-MDR, mulai dari
reseksi segmental sampai pleuro-pneumoectomy. Berdasarkan pengalaman yang ada,
tindakan operasi pada penderita TB-MDR dengan mortalitas rendah (<3%). Tetapi angka
komplikasi yang terjadi cukup tinggi dimana fistula bronkopleural dan empiema yang
menjadi komplikasi utama. Lebih dari 90 persen pasien pemeriksaan sputumnya menjadi
negatif setelah dilakukan tindakan operasi. Pembedahan reseksional saat ini
direkomendasikan pada penderita TB-MDR yang diterapi dengan obat-obatan cukup
jelek. Indikasi pembedahan yaitu:
1. Kultur sputum positif yang menetap meskipun sudah diterapi dengan obat yang
cukup banyak; dan atau
2. Adanya resistensi obat yang luas yang dikaitkan dengan kegagalan terapi atau
bertambahnya resistensi; dan atau
3. Adanya kavitas lokal, nekrosis/destruksi pada sebuah lobus atau sebagian paru
yang disetujui untuk dilakukannya operasi tanpa adanya insufisiensi respiratori
dan atau hipertensi pulmonal yang berat.
Hal tersebut dilakukan setelah minimum tiga bulan terapi intensif dengan regimen
obat-obatan, dimana diharapkan status sputum menjadi negative jika memungkinkan.
Dengan tindakan operasi ketahanan hidup jangka panjang dapat diperbaiki daripada
meneruskan terapi obat-obatan saja. Walaupun begitu, pemakaian obat-obatan tetap
dilanjutkan setelah operasi dilakukan, selama 12-24 bulan, sebaliknya ketahanan hidup
yang jelek mungkin saja terjadi.3
XI. PENCEGAHAN
A. Pencegahan Terjadinya Resistensi Obat
WHO merekomendasikan strategi DOTS dalam penatalaksanaan kasus TB,
selain relatif tidak mahal dan mudah, strategi ini dianggap dapat menurunkan risiko
terjadinya kasus resistensi obat terhadap TB. Pencegahanan yang terbaik adalah
dengan standarisasi pemberian regimen yang efektif, penerapan strategi DOTS dan
23
pemakaian obat FDC adalah yang sangat tepat untuk mencegah terjadinya resistensi
OAT.
Pencegahan terjadinya MDR TB dapat dimulai sejak awal penanganan kasus
baru TB antara lain : pengobatan secara pasti terhadap kasus BTA positif pada
pertama kali, penyembuhan secara komplit kasih kambuh, penyediaan suatu
pedoman terapi terhadap TB, penjaminan ketersediaan OAT adalah hal yang penting,
pengawasan terhadap pengobatan, dan adanya OAT secara gratis. Jangan pernah
memberikan terapi tunggal pada kasus TB. Peranan pemerintah dalam hal dukungan
kelangsungan program dan ketersediaan dana untunk penanggulangan TB (DOTS).
Dasar pengobatan TB oleh klinisi berdasarkan pedoman terapi sesuai “evidence
based” dan tes kepekaan kuman.2
XII. PROGNOSIS
Ada beberapa hal yang dapat menjadi petanda untuk mengetahui prognosis pada
penderita TB-MDR. Dari beberapa studi yang ada menyebutkan bahwa adanya
24
keterlibatan ekstrapulmoner, usia tua, malnutris, infeksi HIV, riwayat mengunakan OAT
dengan jumlah cukup banyak sebelumnya, terapi yang tidak adekuat (<2 macam obat
yang aktif) dapat menjadi petanda prognosis buruk pada penderita tersebut. 4
XIII. KESIMPULAN
Prevalensi kasus TB dengan resistensi OAT terutama TB-MDR terus meningkat.
Faktor penyebab terbanyak adalah akibat pengobatan TB yang tidak adekuat dan
penularan dari pasien TB-MDR. Oleh karena itu pada setiap pasien harus dilakukan
penilaian resiko kemungkinan terjadinya resistensi OAT. Selanjutnya terapi empiris harus
segera diberikan pada pasien dengan resiko tinggi resistensi OAT, terutama pada pasien
dengan keadaan penyakit yang berat. Pemilihan regimen OAT yang tepat sangat
diperlukan untuk keberhasilan pengobatan dan mencegah bertambah banyaknya kasus
TB-MDR maupun TB-XDR dan TB-TDR.
Terapi yang dianjurkan dengan memberikan 4 sampai 6 macam obat. Pilihan obat
yang diberikan yaitu obat lini pertama yang masih sensitif disertai obat lini kedua
berdasarkan aktivitas intrinsik terhadap kuman Mycobacterium tuberculosis. Pembedahan
perlu dipertimbangkan bila setelah 3 bulan terapi OAT tidak terjadi konversi negatif
sputum. Pemberian nutrisi yang baik dapat membantu keberhasilan terapi.
Konsep ”Direcly Observed Treatment Short Course” (DOTS) merupakan salah
satu upaya penting dalam menjamin keteraturan berobat penderita dan menaggulangi
masalah tuberkulosis khususnya TB-MDR. Perkembangan obat baru mungkin juga
diperlukan untuk menanggulangi hal ini.
25
DAFTAR PUSTAKA
26