Anda di halaman 1dari 27

REFERAT

TUBERKULOSIS RESISTEN OBAT

Pembimbing :

dr. Luluk Adipratikto, Sp.P

Penyusun :

Antonius

11-2012-203

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

Rumah Sakit Mardi Rahayu

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

2014
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena
terselesaikannya referat yang berjudul “Tuberkulosis Resisten Obat”. Referat ini disusun
sebagai sarana diskusi dan pembelajaran, serta diajukan guna memenuhi persyaratan
penilaian di Kepaniteraan Klinik Penyakit Dalam di Rumah Sakit Mardi Rahayu, Kudus.
Penghargaan dan rasa terima kasih disampaikan kepada dr. Luluk Adipratikto,
Sp.P yang telah memberikan dorongan,bimbingan dan pengarahan dalam pembuatan
referat ini. Penyusun juga ingin mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah
membantu baik secara langsung maupun tidak langsung dalam menyelesaikan referat ini.
Penyusun menyadari bahwa dalam penyusunan referat ini masih jauh dari
sempurna, baik mengenai isi, susunan bahasa, maupun kadar ilmiahnya. Hal ini
disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan dan pengalaman dari penyusun dalam
mengerjakan penyusunan referat ini. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran
yang bersifat membangun demi kesempurnaan referat ini. Semoga referat ini memberikan
informasi bagi masyarakat dan bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan bagi
kita semua.

Kudus, April 2014

Penyusun

1
DAFTAR ISI

Kata Pengantar 1

Pendahuluan 3

Epidemiologi 4

Faktor-Faktor Penyebab Resistensi 4

Mekanisme Resistensi 6

Diagnosis 9

Tatalaksana Medikamentosa 11

Pengobatan TB-MDR Pada Keadaan Khusus 18

Penelitian Obat TB-MDR Terbaru 21

Hasil Pengobatan TB-MDR 22

Tatalaksana Pembedahan 23

Pencegahan 23

Prognosis 24

Kesimpulan 25

Daftar Pustaka 26

2
TUBERKULOSIS RESISTEN OBAT
I. PENDAHULUAN
Kebal obat atau resistensi terhadap obat berarti kuman TB (Mycobacterium
tuberculosis) tidak dapat lagi dibunuh oleh OAT yang dipakai saat ini. Resistensi ini
dimulai dari yang sederhana yaitu mono resistan sampai dengan Multi Drug Resistant
(MDR) dan eXtensively Drug Resistant (XDR). Terdapat lima jenis kategori resistensi
terhadap OAT, yaitu:
A. Mono resisten : Resistensi terhadap salah satu OAT, misalnya resistan terhadap
INH saja, atau rifampisin saja, dll.
B. Poli resisten : Resistensi terhadap lebih dari satu OAT, selain isoniazid (H)
bersama rifampisin (R), misalnya resistensi terhadap H-E atau R-E, atau H-E-S,
dll.
C. Multi drug resistant (MDR) : Resistan terhadap sekurang-kurangnya isoniazid
(H) dan rifampicin (R), secara bersamaan dengan atau tanpa OAT lini pertama
yang lain, misalnya : HR, HRE, HRES.
D. Extensively drug resistant (XDR) : TB MDR disertai resistensi terhadap salah
satu obat golongan fluorokuinolon dan salah satu dari OAT injeksi lini kedua
(Capreomisin, Kanamisin, dan Amikasin).
E. Total Drug Resistance (TDR) : Resisten baik dengan lini pertama maupun lini
kedua. Pada kondisi ini tidak ada lagi obat yang bisa dipakai. 1,2

Secara umum resistensi terhadap OAT dibagi menjadi tiga :

A. Resistensi primer : Resistensi yang terjadi M. tuberculosis terhadap OAT,


dimana penderita tidak memiliki riwayat pengobatan OAT atau telah mendapat
pengobatan OAT, namun kurang dari 1 bulan.
B. Resistensi sekunder : Pasien telah mempunyai riwayat pengobatan OAT minimal
1 bulan.
C. Resistensi inisial : Bila tidak diketahui pasti apakah pasien sudah ada riwayat
pengobatan OAT sebelumnya atau belum pernah.1

3
II. EPIDEMIOLOGI
Pada tahun 2010 WHO menyatakan insidens TB-MDR meningkat secara bertahap
merata 2% pertahun. Enam negara dengan kekerapan TB-MDR tinggi di dunia adalah
Estonia, Kazakhstan, Latvia, Lithunia, bagian dari federasi Rusia dan Uzbekistan. Saat ini
menurut WHO Indonesia menduduki peringkat ke 8 dari 27 negara dengan jumlah kasus
MDR. Beban TB-MDR di 27 negara ini menyumbang 85% dari beban TB-MDR global.2
Survei resistensi OAT di provinsi Jawa Tengah menunjukkan bahwa angka TB
MDR pada pasien yang belum pernah mendapat pengobatan OAT sebelumnya sekitar 2
% dan sekitar 16 % bagi yang pernah mendapatkan pengobatan OAT sebelumnya. Faktor
utama penyebab terjadinya resistensi kuman terhadap OAT adalah ulah manusia, baik
penyedia layanan, pasien, maupun program/sistem layanan kesehatan yang berakibat
terhadap tatalaksana pengobatan pasien TB yang tidak sesuai dengan standar dan mutu
yang ditetapkan.2

III. FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB RESISTENSI


Kegagalan pada pengobatan TB resisten obat akan menyebabkan lebih banyak
OAT yang resisten terhadap kuman Mycobacterium tuberculosis. Kegagalan ini bukan
hanya merugikan pasien tetapi juga meningkatkan penularan pada masyarakat. TB
resisten obat pada dasarnya adalah suatu fenomena buatan manusia, sebagai akibat dari
pengobatan pasien TB yang tidak adekuat yang menyebabkan terjadinya penularan dari
pasien TB-MDR ke orang lain.

Lima Celah Penyebab Terjadinya TB-MDR (“SPIGOTS” ) :

A. Pemberian terapi TB yang tidak adekuat akan menyebabkan mutan resisten. Hal
ini amat ditakuti karena dapat terjadi resisten terhadap OAT lini pertama
B. Masa infeksius yang terlalu panjang akibat keterlambatan diagnosis akan
menyebabkan penyebaran galur resitensi obat. Penyebaran ini tidak hanya pada
pasien di rumah sakit tetapi juga pada petugas rumah sakit, asrama, penjara dan
keluarga pasien

4
C. Pasien dengan TB-MDR diterapi dengan OAT jangka pendek akan tidak sembuh
dan akan menyebarkan kuman. Pengobatan TB-MDR sulit diobati serta
memerlukan pengobatan jangka panjang dengan biaya mahal
D. Pasien dengan OAT yang resisten terhadap kuman tuberkulosis yang mendapat
pengobatan jangka pendek dengan monoterapi akan menyebabkan bertambah
banyak OAT yang resisten (’’The amplifier effect”). Hal ini menyebabkan seleksi
mutasiresisten karena penambahan obat yang tidak multipel dan tidak efektif
E. HIV akan mempercepat terjadinya terinfeksi TB mejadi sakit TB dan akan
memperpanjang periode infeksious.1

Sedangkan menurut Aditama dkk ada beberapa hal penyebab terjadinya resistensi
terhadap OAT, yaitu:
A. Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan tuberculosis.
B. Penggunaan paduan obat yang tidak adekuat, yaitu jenis obatnya yang kurang atau
di lingkungan tersebut telah terdapat resistensi terhadap obat yang digunakan,
misalnya memberikan rifampisin dan INH saja pada daerah dengan resistensi
terhadap kedua obat tersebut.
C. Pemberian obat yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan dua atau tiga minggu
lalu berhenti, setelah dua bulan berhenti kemudian bepindah dokter mendapat
obat kembali selama dua atau tiga bulan lalu berhenti lagi, demikian seterusnya.
D. Fenomena “addition syndrome” yaitu suatu obat ditambahkan dalam suatu paduan
pengobatan yang tidak berhasil. Bila kegagalan itu terjadi karena kuman TB telah
resisten pada paduan yang pertama, maka “penambahan” (addition) satu macam
obat hanya akan menambah panjangnya daftar obat yang resisten saja.
E. Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak dilakukan secara baik
sehingga mengganggu bioavailabilitas obat.
F. Penyediaan obat yang tidak reguler, kadang-kadang terhenti pengirimannya
sampai berbulan-bulan.3,4

5
IV. MEKANISME RESISTENSI
Secara mikrobiologi resistensi disebabkan oleh mutasi genetik, dan hal ini
membuat obat tidak efektif melawan basil mutan. Mutasi terjadi spontan dan berdiri
sendiri menghasilkan resistensi OAT. Sewaktu terapi OAT diberikan galur
Mycobacterium tuberculosis wild type tidak terpajan. Diantara populasi Mycobacterium
tuberculosis wild type ditemukan sebagian kecil mutasi resisten OAT. Resisten lebih dari
satu OAT jarang disebabkan genetik dan biasanya merupakan hasil penggunaan obat
yang tidak adekuat. Populasi galur Mycobacterium tuberculosis resisten mutan dalam
jumlah kecil dapat dengan mudah diobati, tetapi terapi OAT yang tidak adekuat
menyebabkan proliferasi dan meningkatkan populasi galur resisten obat. Kemoterapi
jangka pendek pasien resistensi obat menyebabkan galur lebih resisten terhadap obat
yang digunakan atau sebagai efek penguat resistensi. Sebelum penggunaan OAT
sebaiknya dipastikan Mycobacterium tuberculosis sensitif terhadap OAT yang akan
diberikan. Penularan galur resisten obat pada populasi juga merupakan sumber kasus
resistensi obat baru.4

A. Mekanisme Resistensi Terhadap INH


Isoniazid merupakan hidrasilasi dari asam isonikotinik, molekul yang larut
air sehingga mudah untuk masuk ke dalam sel. Mekanisme kerja obat ini dengan
menghambat sintesis dinding sel asam mikolik (struktur bahan yang sangat
penting pada dinding sel mykobakterium) melalui jalur yang tergantung dengan
oksigen seperti reaksi katalase peroksidase.
Mutan Mycobacterium tuberculosis yang resisten isoniazid terjadi secara
spontan dengan kecepatan 1 dalam 105-106 organisme. Mekanisme resistensi
isoniazid diperkirakan oleh adanya asam amino yang mengubah gen katalase
peroksidase (katG) atau promotor pada lokus 2 gen yang dikenal sebagai inhA.
Mutasi missense atau delesi katG berkaitan dengan berkurangnya aktivitas
katalase dan peroksidase.4

6
B. Mekanisme Resistensi Terhadap Rifampisin
Rifampisin merupakan turunan semisintetik dari Streptomyces
mediterranei, yang bekerja sebagai bakterisid intraseluler maupun ekstraseluler.
Obat ini menghambat sintesis RNA dengan mengikat atau menghambat secara
khusus RNA polimerase yang tergantung DNA.
Rifampisin berperan aktif invitro pada kokus gram positif dan gram
negatif, Mycobacterium, chlamydia, dan poxvirus. Resistensi mutannya tinggi,
biasanya pada semua populasi miikobakterium terjadi pada frekuensi 1: 107 atau
lebih. Resistensi terhadap rifampisin ini disebabkan oleh adanya permeabilitas
barier atau adanya mutasi dari RNA polymerase tergantung DNA.
Rifampisin mengahambat RNA polimerase tergantung DNA dari
mikobakterium, dan menghambat sintesis RNA bakteri yaitu pada formasi rantai
(chain formation) tidak pada perpanjangan rantai (chain elongation), tetapi RNA
polymerase manusia tidak terganggu.
Resistensi rifampisin berkembang karena terjadinya mutasi kromosom
dengan frekuensi tinggi dengan kecepatan mutasi tinggi yaitu 10-7 sampai 10-3,
dengan akibat terjadinya perubahan pada RNA polimerase. Resistensi terjadi pada
gen untuk beta subunit dari RNA polimerase dengan akibat terjadinya perubahan
pada tempat ikatan obat tersebut.4

C. Mekanisme Resistensi Terhadap Pirazinamid


Pirazinamid merupakan turunan asam nikotinik yang berperan penting
sebagai bakterisid jangka pendek terhadap terapi tuberkulosis. Obat ini bekerja
efektif terhadap bakteri tuberkulosis secara invitro pada pH asam (pH 5,0-5,5).
Pada keadaan pH netral, pirazinamid tidak berefek atau hanya sedikit berefek.
Obat ini merupakan bakterisid yang memetabolisme secara lambat organisme
yang berada dalam suasana asam pada fagosit atau granuloma kaseosa. Obat
tersebut akan diubah oleh basil tuberkel menjadi bentuk yang aktif asam
pirazinoat.
Mekanisme resistensi pirazinamid berkaitan dengan hilangnya aktivitas
pirazinamidase sehingga pirazinamid tidak banyak yang diubah menjadi asam

7
pirazinoat. Kebanyakan kasus resistensi pirazinamide ini berkaitan dengan mutasi
pada gen pncA, yang menyandikan pirazinamidase.4

D. Mekanisme Resistensi Terhadap Etambutol


Etambutol merupakan turunan ethylenediamine yang larut air dan aktif
hanya pada mycobakteria. Etambutol ini bekerja sebagai bakteriostatik pada dosis
standar. Mekanisme utamanya dengan menghambat enzim arabinosyltransferase
yang memperantarai polymerisasi arabinose menjadi arabinogalactan yang berada
di dalam dinding sel.
Resistensi etambutol pd Mycobacterium tuberculosis paling sering
berkaitan dengan mutasi missense pada gen embB yang menjadi sandi untuk
arabinosyltransferase. Mutasi ini telah ditemukan pada 70% strain yang resisten
dan keterlibatan pengganti asam amino pada posisi 306 atau 406 pada sekitar 90%
kasus.4

E. Mekanisme Resistensi Terhadap Streptomisin


Streptomisin merupakan golongan aminoglikosida yang diisolasi dari
Streptomyces griseus. Obat ini bekerja dengan menghambat sintesis protein
dengan menganggu fungsi ribosomal.
Pada 2/3 strain Mycobacterium tuberculosis yang resisten terhadap
streptomysin telah diidentifikasi oleh karena adanya mutasi pada satu dari dua
target yaitu pada gen 16S rRNA (rrs) atau gen yang menyandikan protein
ribosomal S12 (rpsl). Kedua target diyakini terlibat pada ikatan streptomisin
ribosomal. Mutasi yang utama terjadi pada rpsl. Mutasi pada rpsl telah
diindetifikasi sebanyak 50% isolat yang resisten terhadap streptomysin dan mutasi
pada rrs sebanyak 20%. Pada sepertiga yang lainnya tidak ditemukan adanya
mutasi. Frekuensi resistensi mutan terjadi pada 1 dari 105 sampai 107 organisme.
Strain Mycobacterium tuberculosis yang resisten terhadap streptomysin tidak
mengalami resistensi silang terhadap capreomysin maupun amikasin.4

8
V. DIAGNOSIS
Diagnosis TB-MDR dipastikan berdasarkan uji kepekaan. Semua Pasien yang
dicurigai TB-MDR diperiksa dahaknya untuk selanjutnya dilakukan pemeriksaan biakan
dan uji kepekaan. Jika hasil uji kepekaaan terdapat Mycobacterium tuberculosis yang
rrsisten minmal terhadap rifampisi dan INH maka dapat ditegakkan diagnosis TB-MDR.
Pasien yang dicurigai kemungkinan TB-MDR adalah :
A. Kasus TB paru dengan gagal pengobatan pada kategori 2. Dibuktikan dengan
rekam medis sebelumnya dan riwayat penyakit dahulu
B. Pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan dahak tetap positif setelah sisipan
dengan kategori 2
C. Pasien TB yang pernah diobati di fasilitas non DOTS, termasuk yang mendapat
OAT lini kedua seperti kuinolon dan kanamisin
D. Pasien TB paru yang gagal pengobatan kategori 1
E. Pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan dahak tetap positif setelah sisipan
dengan kategori 1
F. TB paru kasus kambuh
G. Pasien TB yang kembali setelah lalai/default pada pengobatan kategori 1 dan atau
kategori 2
H. Suspek TB dengan keluhan, yang tinggal dekat dengan pasien TB-MDR
konfirmasi, termasuk petugas kesehatan yang bertugas dibangsal TB-MDR
I. TB-HIV.1,4

Diagnosis TB-MDR tergantung pada pengumpulan dan proses kultur spesimen


yang adekuat dan harus dilakukan sebelum terapi diberikan. Jika pasien tidak dapat
mengeluarkan sputum dilakukan induksi sputum dan jika tetap tidak bisa, dilakukan
bronkoskopi. Tes sensitivitas terhadap obat lini pertama dan kedua harus dilakukan pada
laboratorium rujukan yang memadai.4

Beberapa metode telah digunakan untuk deteksi resistensi obat pada TB. Deteksi
resistensi obat di masa lalu yang disebut dengan metode konvensional berdasarkan
deteksi pertumbuhan M.tuberculosis. Akibat sulitnya beberapa metode ini dan

9
membutuhkan waktu yang lama untuk mendapatkan hasilnya, maka belakangan ini
diusulkanlah teknologi baru. Yang termasuk metode terbaru ini adalah metode fenotipik
dan genotipik. Pada banyak kasus, metode genotipik khususnya telah mendeteksi
resistensi rifampisin, sejak saat itu metode ini dipertimbangkan sebagai petanda TB-MDR
khususnya pada suasana dengan prevalensi TB-MDR yang tinggi. Sementara metode
fenotipik, di lain sisi merupakan metode yang lebih sederhana dan lebih mudah
diimplementasikan pada laboratorium mikrobakteriologi klinik secara rutin.4,5

Tabel 1. Pemeriksaan mkrobiologik untuk konfirmasi TB-MDR Syahrini

Metode Fenotipik Metode Fenotipik Baru Metode Genotipik


Konvensional
1. Metode proporsional 1. Metode phage-based 1. Rangkaian DNA
2. Metode rasio resistensi 2. Metode kolorimetri 2. Teknik hybridisasi
3. Metode konsenstrasi 3. The nitrate reductase fase Agar
absolut assay 3. Teknik real-time
4. Metode radiometri 4. The microscopic PCR
BACTEC observation broth-drug 4. Microarrays
5. Tabung indicator susceptibility assay
pertumbuhan mikobakterial 5. Metode agar thin-layer

Penentuan TB-MDR harus dilakukan dengan tepat dan sudah tentu akan lebih
bermanfaat jika hasil pemeriksaan juga cepat. Namun sayangnya sampai saat ini
laboratorium yang telah tersertifikasi secara internasional sangat terbatas. Untuk uji
kepekaan OAT lini pertama, laboratorium yang sudah tersertifikasi secara internasional di
Indonesia adalah Laboratorium : Mikrobiologi FKUI, Rumah Sakit Persahabatan, Balai
Pengujian Laboratorium Kesehatan Bandung, Balai Besar Laboartorium Kesehatan
Surabaya dan Laboratorium NECHRI Makasar. Sedangkan untuk OAT lini kedua adalah
Laboratorium Mikrobiologi FKUI untuk ofloksasin, kanamisin dan amikasin serta Rumah
Sakit Persahabatan untuk ofloksasin dan kanamisin.5

10
VI. TATALAKSANA MEDIKAMENTOSA
Idealnya regimen pengobatan kasus TB dengan resistensi obat disusun
berdasarkan hasil in vitro drug susceptibility (DST) yang dilakukan pada masing-masing
pasien. Namun yang menjadi kendala adalah hasil pemeriksaan ini baru dapat diperoleh
dalam 1-2 bulan. Oleh karena itu pada beberapa kondisi berikut ini antara lain pasien
dengan riwayat gagal pengobatan sebelumnya, pasien yang sebelumnya pernah mendapat
terapi OAT, pasien yang ada kontak dengan kasus TB resisten OAT dan pasien yang lahir
dan tinggal pada daerah endemis TB, resistensi obat harus di antisipasi dan terapi harus
dimulai tanpa menunggu hasil DST.

A. Strategi Pengobatan TB-MDR


1. Pengobatan standar
Data drugs resistancy survey (DRS) dari populasi pasien yang
representatif digunakan sebagai dasar regimen pengobatan karena tidak
tersedianya hasil uji kepekaan individual. Seluruh pasien akan mendapatkan
regimen pengobatan yang sama. Pasien yang dicurigai TB-MDR sebaiknya
dikonfirmasi dengan uji kepekaan
2. Pengobatan empiris
Setiap regimen pengobatan dibuat berdasarkan riwayat pengobatan TB
pasien sebelumnya dan data hasil uji kepekaan populasi representatif.
Biasanya regimen empiris akan disesuaikan setelah ada hasil uji kepekaan
individual.
3. Pengobatan individual
Regimen pengobatan berdasarkan riwayat pengobatan TB sebelumnya dan
hasil uji kepekaan.
Tabel 2. Golongan dan jenis OAT 2
Golongan dan Jenis Obat
Golongan-1 Obat  Isoniazid (H)  Pyrazinamide (Z)
Lini Pertama  Ethambutol (E)  Rifampicin (R)
 Streptomycin (S)

11
Golongan-2 / Obat  Kanamycin (Km)  Amikacin (Am)
suntik/ Suntikan lini  Capreomycin (Cm)
kedua
Golongan-3 /  Ofloxacin (Ofx)  Moxifloxacin (Mfx)
Golongan  Levofloxacin (Lfx)
Floroquinolone
Golongan-4 / Obat  Ethionamide (Eto)  Para amino salisilat
bakteriostatik lini  Prothionamide (PAS)
kedua (Pto)  Terizidone (Trd)
 Cycloserine (Cs)
Golongan-5 / Obat  Clofazimine (Cfz)  Thioacetazone (Thz)
yang belum terbukti  Linezolid (Lzd)  Clarithromycin (Clr)
efikasinya dan tidak  Amoxilin-  Imipenem (Ipm)
direkomendasikan Clavulanate (Amx-
oleh WHO Clv)

B. Prinsip Pengobatan TB-MDR


Secara umum, prinsip pengobatan TB resisten obat, khususnya TB dengan
MDR adalah sebagai berikut:
1. Pengobatan menggunakan minimal 4 macam OAT yang masih efektif.
2. Jangan menggunakan obat yang kemungkinan menimbulkan resistan
silang (cross-resistance)
3. Membatasi pengunaan obat yang tidak aman
4. Gunakan obat dari golongan/kelompok 1 - 5 secara hirarkis sesuai
potensinya. Penggunaan OAT golongan 5 harus didasarkan pada
pertimbangan khusus dari Tim Ahli Klinis (TAK) dan disesuaikan dengan
kondisi program.
5. Paduan pengobatan ini diberikan dalam dua tahap yaitu tahap awal dan
tahap lanjutan. Tahap awal adalah tahap pemberian suntikan dengan lama
minimal 6 bulan atau 4 bulan setelah terjadi konversi biakan.
6. Lama pengobatan minimal adalah 18 bulan setelah konversi biakan

12
7. Dikatakan konversi bila hasil pemeriksaan biakan 2 kali berurutan dengan
jarak pemeriksaan 30 hari.
8. Pemberian obat selama periode pengobatan tahap awal dan tahaplanjutan
menganut prinsip DOT = Directly/Daily Observed Treatment,dengan PMO
diutamakan adalah tenaga kesehatan atau kaderkesehatan.6

C. Paduan Obat TB-MDR


Paduan obat TB-MDR yang diberikan kepada semua pasien TB-MDR
(standardized treatment) adalah : 2,6,7
6Z-E-Kn-Lfx-Eto-Cs/18Z-E-Lfx-Eto-Cs

Z: Pirazinamid, E: Etambutol, Kn: Kanamisin, Lfx: Levofloksasin, Eto:


Etionamid, Cs: Sikloserin
Etambutol tidak diberikan bila terbukti resisten.

Paduan ini hanya diberikan pada pasien yang sudah terbukti TB-MDR,
Paduan obat standard diatas harus disesuaikan kembali berdasarkan keadaan
dibawah ini:

1. Hasil uji kepekaan OAT lini kedua menunjukkan resisten terhadap salah
satu obat diatas. Etambutol dan pirazinamid tetap digunakan
2. Ada riwayat penggunaan salah satu obat tersebut di atas sebelumnya
sehingga dicurigai ada resistensi, misalnya : pasien sudah pernah mendapat
kuinolon untuk pengobatan TB sebelumnya, maka dipakai levofloksasin
dosis tinggi. Apabila sudah terbukti resisten terhadap levofloksasin
regimen pengobatan ditambah PAS, atas pertimbangan dan persetujuan
dari tim ahli klinis
3. Terjadi efek samping yang berat akibat salah satu obat yang sudah dapat
diidentifikasi sebagi penyebabnya
4. Terjadi perburukan keadaan klinis, sebelum maupun setelah konversi
biakan. Hal-hal yang harus diperhatikan adalah kondisi umum, batuk,
produksi dahak, demam, penurunan berat badan.2,6

13
D. Dosis Obat TB-MDR
Tabel 3. Perhitungan dosis OAT 6
OAT Berat Badan
< 33 kg 33-50 kg 51-70 kg >70 kg
Pirazinamid 30-40 mg/kg/hari 1000-1750 1750-2000 2000-2500
mg mg mg
Etambutol 15-20 mg/kg/hari 500-750 mg 1000 mg 1000-1500
mg
Kanamisin 15-20 mg/kg/hari 500-750 mg 1000 mg 1000 mg
Kapreomisin 15-20mg/kg/hari 500-750 mg 1000 mg 1000 mg
Levofloksasin 750 mg per hari 750 mg 750 mg 750-1000 mg
Sikloserin 15-20 mg/kg/hari 500 mg 750 mg 750-1000 mg
Etionamid 15-20 mg/kg/hari 500 mg 750 mg 750-1000 mg
PAS 150 mg/kg/hari 8g 8g 8g

Tabel 4. Sediaan OAT 4

OAT Sediaan
Pirazinamid Tablet 500 mg
Etambutol Tablet 250 mg, 500 mg
Kanamisin Inject 500 mg/2ml, 1 gr/3ml
Kapreomisin Inject 1 gr/vial
Levofloksasin Tablet 250 mg, 500 mg, 750 mg
Sikloserin Kapsul 250 mg
Etionamid Tablet 250 mg
PAS Granules 4 gr

E. Pengobatan Ajuvan Pada TB-MDR


1. Pemberian tambahan zat gizi

14
 Pengobatan TB-MDR pada pasien dengan status gizi kurang akan
lebih berhasil bila diberi tambahan zat gizi protein, vit dan mineral (vit
A, Zn, Fe, Ca, dll).
 Pemberian mineral tidak boleh bersamaan dengan fluorokuinolon
karena akan mengganggu absorbsi obat, berikan masing-masing
dengan jarak minimal 4 jam. 6
2. Kortikosteroid
 Kortikosteroid diberikan pada pasien TB MDR dengan gangguan
respirasi berat, gangguan susunan saraf pusat atau perikarditis.
Prednison digunakan 1 mg/kg dan diturunkan (tappering off) apabila
digunakan dalam jangka waktu lama. Kortikosteroid juga digunakan
pada pasien dengan penyakit obstruksi kronik eksaserbasi. 6

F. Resistensi Silang
Pada pengobatan TB-MDR harus dipertimbangkan resistensi silang dalam
memilih jenis OAT yaitu suatu resistensi terhadap suatu antibiotik dapat
menyebabkan resisten terhadap semua derivatnya. Tidak efektif memberikan
OAT dari golongan yang sama atau paduan OAT yang berpotensi terjadi
resistensi silang.
1. Tionamid dan Tiosetason
Etionamid adalah golongan tionamid yang dapat menginduksi
terjadinya resistensi silang dengan proteonamid karena satu golongan.
Sering ditemukan resistensi silang antara tionamid dengan tiosetason, galur
yang biasanya resisten dengan tiosetason biasanya masih sensitif dengan
etionamid dan proteonamid. Galur yang resisten terhadap etionamaid dan
proteonamid biasanya juga resisten terhadap tiosetason pada lebih dari
70% kasus.

2. Aminoglikosid
Galur yang resisten terhadap streptomisin biasanya sensitif
terhadap kanamisin dan amikasin. Galur yang resisten terhadap kanamisin
dapat menyebabkan resisten silang terhadap amikasin. Galur yang resisten
15
terhadap kanamisisn dan amikasin juga menimbulkan resisten terhadap
steptomisin. Galur yang resisten terhadap streptomisin, kanamisin,
amikasin biasanya masih sensitif terhadap kapreomisin.

Kesimpulan :

 Resistensi terhadap streptomisin gunakan kanamisin atau amikasin


 Resisten terhadap kanamisin atau amikain gunakan kapreomisin
3. Fluorokuinolon
Ofloksasin dan siprofloksasin dapat menginduksi terjadinya
resistensi silang untuk semua fluorokuinolon. Itulah sebabnya penggunaan
ofloksasin harus hati-hati karena beberapa kuinolon yang lebih aktif
(levofloksasin dan moksifloksasin) dapat menggantiakn ofloksasin di masa
datang.

4. Sikloserin dan Terizidon


Terdapat resistensi silang antara dua macam obat ini. Tidak
terdapat resistensi silang dengan obat golongan lain.

G. Fase-Fase Pengobatan TB-MDR


1. Fase Pengobatan Intensif
Fase intensif adalah fase pengobatan dengan menggunakan obat
injeksi (kanamisin atau kapreomisin) yang digunakan sekurang-kurangnya
selama 6 bulan atau 4 bulan setelah terjadi konversi biakan. 6

a. Fase rawat inap di RS 2-4 minggu


Pada fase ini pengobatan dimulai dan pasien diamati untuk:

 Menilai keadaan pasien secara cermat


 Tatalaksana secepat mungkin bila terjadi efek samping
 Melakukan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) yang
intensif. 6
Dokter menentukan kelayakan pasien untuk rawat jalan berdasarkan:

 Tidak ditemukan efek samping


16
 Pasien sudah mengetahui cara minum obat dan suntikan sesuai
dengan pedoman pengobatan TB MDR. 6
b. Fase rawat jalan
Selama fase intensif baik obat injeksi dan obat minum diberikan oleh
petugas kesehatan dengan disaksikan PMO kepada pasien. Pada fase
rawat jalan ini obat oral ditelan di rumah pasien hanya pada libur. 6

2. Fase Pengobatan Lanjutan


a. Fase setelah pengobatan injeksi dihentikan
b. Fase lanjutan minimum 18 bulan setelah konversi biakan
c. Pasien yang memilih menjalani pengobatan di RS Rujukan TB MDR
mengambil obat setiap minggu dan berkonsultasi dengan dokter setiap 1
bulan. 6

H. Pemantauan dan Hasil Pengobatan


Pasien harus dipantau secara ketat untuk menilai respons terhadap
pengobatan dan mengidentifikasi efek samping pengobatan. Gejala klasik TB –
batuk, berdahak, demam dan BB menurun – umumnya membaik dalam beberapa
bulan pertama pengobatan. Penilaian respons pengobatan adalah konversi dahak
dan biakan. Hasil uji kepekaan TB MDR dapat diperoleh setelah 2 bulan.
Pemeriksaan dahak dan biakan dilakukan setiap bulan pada fase intensif dan
setiap 2 bulan pada fase lanjutan. Evaluasi pada pasien TB MDR adalah:
1. Penilaian klinis termasuk berat badan
2. Penilaian segera bila ada efek samping
3. Pemeriksaan dahak setiap bulan pada fase intensif dan setiap 2 bulan pada
fase lanjutan
4. Pemeriksaan biakan setiap bulan pada fase intensif sampai konversi biakan
5. Uji kepekaan obat sebelum pengobatan dan pada kasus kecurigaan akan
kegagalan pengobatan
6. Periksa kadar kalium dan kreatinin sepanjang pasien mendapat suntikan
(Kanamisin dan Kapreomisin)

17
7. Pemeriksaan TSH dilakukan setiap 6 bulan dan jika ada tanda-tanda
hipotiroid.6

I. Konversi Dahak
Definisi konversi dahak : pemeriksaan dahak dan biakan 2 kali berurutan
dengan jarak pemeriksaan 30 hari menunjukkan hasil negatif. `Tanggal set
pertama dari sediaan apus dahak dan kultur yang negatif digunakan sebagai
tanggal konversi (dan tanggal ini digunakan untuk menentukan lamanya
pengobatan fase intensif dan lama pengobatan). 6

J. Penyelesaian Pengobatan Fase Intensif

1. Lama pemberian suntikan atau fase intensif di tentukan oleh hasil konversi
kultur.
2. Anjuran minimal untuk obat suntikan harus dilanjutkan paling kurang 6 bulan
dan sekurang-kurangnya 4 bulan setelah pasien menjadi negatif dan tetap
negatif untuk pemeriksaan dahak dan kultur. 6

K. Lama Pengobatan

1. Lama pengobatan yang dianjurkan ditentukan oleh konversi dahak dan kultur.
2. Anjuran minimal adalah pengobatan harus berlangsung sekurangkurangnya
18 bulan setelah konversi kultur sampai ada bukti-bukti lain untuk
memperpendek lama pengobatan. 6

VII. PENGOBATAN TB-MDR PADA KEADAAN KHUSUS

A. Pengobatan TB-MDR pada wanita usia subur


1. Semua pasien wanita usia subur harus didahului pemeriksaan kehamilan.
2. Pemakaian kontrasepsi dianjurkan bagi semua wanita usia produktif yang
akan mendapat pengobatan TB-MDR. 2,6

18
B. Pengobatan TB-MDR pada ibu hamil
1. Kehamilan bukan kontraindikasi untuk pengobatan TB-MDR tetapi
sampai saat ini keamanannya belum diketahui.
2. Pasien hamil tidak disertakan pada uji pendahuluan ini.
3. Sebagian besar efek teratogenik terjadi pada trimester pertama sehingga
pengobatan bisa ditangguhkan sampai trimester kedua. 2,6

C. Pengobatan TB-MDR pada ibu menyusui


1. Ibu yang sedang menyusui dan mendapat pengobatan TB-MDR harus
mendapat pengobatan penuh.
2. Sebagian besar OAT akan ditemukan kadarnya dalam ASI dengan
konsentrasi yang lebih kecil.
3. Jika ibu dengan BTA positif, pisahkan bayinya beberapa waktu sampai
BTA nya menjadi negatif atau ibu menggunakan masker N-95. 2,6

D. Pengobatan TB-MDR pada pasien yang sedang memakai kontrasepsi hormon


1. Tidak ada kontraindikasi untuk menggunakan kontrasepsi oral dengan
rejimen yang tidak mengandung rifampisin.
2. Seorang wanita yang mendapat kontrasepsi oral sementara mendapat
pengobatan dengan rifampisin bisa memilih salah satu metode berikut:
gunakan kontrasepsi oral yang mengandung dosis estrogen yang lebih
besar (50 μg) atau menggunakan kontrasepsi bentuk lain. 2,6

E. Pengobatan pasien TB-MDR dengan diabetes mellitus


1. Diabetes mellitus bisa memperkuat efek samping OAT, terutama
gangguan ginjal dan neuropati perifer.
2. Obat-obatan hypoglycaemi oral tidak merupakan kontraindikasi selama
pengobatan TB-MDR, tetapi mungkin memerlukan dosis yang lebih tinggi
sehingga perlu penanganan khusus.
3. Penggunaan etionamid lebih sulit penanganannya.

19
4. Kadar Kalium dan kreatinin harus dipantau, setiap minggu selama bulan
pertama dan selanjutnya sekurang-kurangnya sekali sebulan. 2,6

F. Pengobatan pasien TB-MDR dengan gangguan ginjal


1. Pemberian OAT lini kedua pada pasien dengan gangguan ginjal harus
dilakukan dengan hati-hati
2. Kadar Kalium dan kreatinin harus dipantau, setiap minggu selama bulan
pertama dan selanjutnya sekurang-kurangnya sekali sebulan
3. Pemberian obat, dosis dan atau interval antar dosis harus disesuaikan
dengan tabel diatas (jika terjadi gangguan ginjal). 2,6

G. Pengobatan pasien TB-MDR dengan gangguan hati


1. OAT lini kedua kurang toksis terhadap hati dibanding OAT lini pertama.
2. Pasien dengan riwayat penyakit hati bisa mendapat pengobatan TB MDR
jika tidak ada bukti klinis penyakit hati kronis, karier virus hepatitis,
riwayat akut hepatitis dahulu atau pemakaian alkohol berlebihan.
3. Reaksi hepatotoksis lebih sering terjadi pada pasien diatas sehingga harus
lebih diawasi.
4. Pasien dengan penyakit hati kronik tidak boleh diberikan Pirazinamid
5. Pemantauan kadar enzim secara ketat dianjurkan dan jika kadar enzim
meningkat, OAT harus dihentikan dan dilaporkan kepada tim penasehat
terapi.
6. Jika diperlukan, untuk mengobati pasien TB MDR selama hepatitis akut,
kombinasi empat OAT yang tidak hepatotoksis merupakan pilihan yang
paling aman. 2,6

H. Pengobatan pasien TB MDR dengan gangguan kejang-kejang (epilepsi)


1. Tentukan apakah gangguan kejang terkendali atau telah menelan obat anti
kejang.
2. Jika kejangnya tidak terkendali, pengobatan atau penyesuaian pengobatan
anti kejang diperlukan sebelum mulai pengobatan.
3. Bila tidak terkendali tidak masuk dalam proyek ini.

20
4. Jika ada sebab lain yang menyebabkan kejang, kejangnya harus diatasi.
5. sikloserin harus dihindarkan pada pasien dengan gangguan kejang yang
aktif dan tidak cukup terkontrol dengan pengobatan dengan gangguan
psikiatris. 2,6

VIII. PENELITIAN OBAT TB-MDR TERBARU


Bedaquiline merupakan obat anti-TB terbaru setelah rifampisin diperkenalkan
pada tahun 1970. Bedaquiline bekerja dengan menghambat enzim bakteri yang penting
untuk kehidupan bakteri. Dr. Edward Cox MPH, direktur dari Office of Antimicrobial
Products in the FDA's Center for Drug Evaluation and Research mengatakan bahwa
MDR-TB merupakan salah satu ancaman serius terhadap kesehatan masyarakat dan
bedaquline merupakan salah satu pilihan terapi pada saat pasien sudah tidak memiliki
pilihan terapi lagi. Namun, karena pemberian terapi menggunakan bedaquiline memiliki
beberapa risiko, seperti risiko pemanjangan interval QT, hepatotoksisitas, dan bahkan
kematian. Oleh karena itu, dokter hendaknya menggunakan obat ini dengan tepat dan
berhati-hati dan hanya pada pasien yang tidak memiliki pilihan terapi lagi. Indikasi yang
diberikan untuk bedaquiline ini adalah sebagai terapi TB paru yang disebabkan oleh
MDR Mycobacterium tuberculosis pada pasien dewasa, dan pemberiannya haris
dilakukan dengan pengamatan yang ketat.8,9

Efektivitas bedaquiline untuk MDRTB ini berdasarkan data dari 2 penelitian yang
melibatkan 440 pasien dengan MDR-TB, yaitu TB yang resisten terhadap rifampin dan
isoniazid. Dalam penelitian acak terkontrol, bedaquiline menghasilkan konversi kultur
yang lebih cepat 33% (bermakna) dalam 24 minggu, yang terjadi pada kurang lebih 79%
pasien yang diterapi dengan bedaquiline, baik dalam penelitian kontrol plasebo dan
penelitian terbuka yang dilakukan. Masalah mengenai keamanan obat yang dikhawatirkan
adalah peningkatan risiko pemanjangan interval QT, hepatotoksisitas, dan jumlah
kematian pasien yang lebih banyak pada pasien yang diterapi dengan bedaquiline
dibandingkan dengan kelompok plasebo. Namun walau demikian, jumlah pasien yang
meninggal sedikit, dan paling tidak 50% pasien yang meninggal disebabkan karena TB
itu sendiri, namun perbedaan tersebut bermakna antara kelompok terapi bedaquiline
dengan plasebo (12,7% vs 2,5%). 8,9

21
Pemasaran bedaquiline akan disertai dengan box waring yang mengingatkan para
ahli kesehatan untuk berhati-hati memberikan bedaquiline karena dapat menyebabkan
pemanjangan interval QT dan risiko kematian pada pasien yang diterapi dengan
bedaquiline. Guideline terbaru merekomendasikan dosis 400 mg per oral sekali sehari
selama 2 minggu, diikuti dengan 200 mg 3 kali seminggu selama 22 minggu, diberikan
per oral bersama dengan makanan. 8,9

IX. HASIL PENGOBATAN TB-MDR


A. Sembuh : Pasien yang telah menyelesaikan pengobatan sesuai protokol program
dan telah mengalami sekurang-kurangnya 5 kultur negatif berturut-turut dari
sampel dahak yang diambil berselang 30 hari dalam 12 bulan terakhir pengobatan.
Jika hanya satu kultur positif dilaporkan selama waktu tersebut, dan bersamaan
waktu tidak ada bukti klinis memburuknya keadaan pasien, pasien masih dianggap
sembuh, asalkan kultur yang positif tersebut diikuti dengan paling kurang 3 hasil
kultur negatif berturut-turut yang diambil sampelnya berselang sekurangnya 30
hari.
B. Pengobatan lengkap : Pasien yang telah menyelesaikan pengobatan sesuai
protokol program tetapi tidak memenuhi definisi sembuh karena tidak ada hasil
pemeriksaan bakteriologis.
C. Meninggal : Pasien meninggal karena sebab apapun selama masa pengobatan TB
MDR.
D. Gagal : Pengobatan dianggap gagal jika 2 atau lebih dari 5 kultur yang dicatat
dalam 12 bulan terakhir masa pengobatan adalah positif, atau jika salah satu dari 3
kultur terakhir hasilnya positif. Pengobatan juga dapat dikatakan gagal apabila tim
ahli klinis memutuskan untuk menghentikan pengobatan secara dini karena
perburukan respons klinis, radiologis atau efek samping.
E. Lalai/Defaulted : Pasien yang pengobatannya terputus selama berturut-turut dua
bulan atau lebih dengan alasan apapun tanpa persetujuan medic.
F. Pindah : Pasien yang pindah ke unit pencatatan dan pelaporan lain dan hasil
pengobatan tidak diketahui. 6

22
X. TATALAKSANA PEMBEDAHAN
Berbagai prosedur pembedahan dilakukan terhadap pasien TB-MDR, mulai dari
reseksi segmental sampai pleuro-pneumoectomy. Berdasarkan pengalaman yang ada,
tindakan operasi pada penderita TB-MDR dengan mortalitas rendah (<3%). Tetapi angka
komplikasi yang terjadi cukup tinggi dimana fistula bronkopleural dan empiema yang
menjadi komplikasi utama. Lebih dari 90 persen pasien pemeriksaan sputumnya menjadi
negatif setelah dilakukan tindakan operasi. Pembedahan reseksional saat ini
direkomendasikan pada penderita TB-MDR yang diterapi dengan obat-obatan cukup
jelek. Indikasi pembedahan yaitu:
1. Kultur sputum positif yang menetap meskipun sudah diterapi dengan obat yang
cukup banyak; dan atau
2. Adanya resistensi obat yang luas yang dikaitkan dengan kegagalan terapi atau
bertambahnya resistensi; dan atau
3. Adanya kavitas lokal, nekrosis/destruksi pada sebuah lobus atau sebagian paru
yang disetujui untuk dilakukannya operasi tanpa adanya insufisiensi respiratori
dan atau hipertensi pulmonal yang berat.

Hal tersebut dilakukan setelah minimum tiga bulan terapi intensif dengan regimen
obat-obatan, dimana diharapkan status sputum menjadi negative jika memungkinkan.
Dengan tindakan operasi ketahanan hidup jangka panjang dapat diperbaiki daripada
meneruskan terapi obat-obatan saja. Walaupun begitu, pemakaian obat-obatan tetap
dilanjutkan setelah operasi dilakukan, selama 12-24 bulan, sebaliknya ketahanan hidup
yang jelek mungkin saja terjadi.3

XI. PENCEGAHAN
A. Pencegahan Terjadinya Resistensi Obat
WHO merekomendasikan strategi DOTS dalam penatalaksanaan kasus TB,
selain relatif tidak mahal dan mudah, strategi ini dianggap dapat menurunkan risiko
terjadinya kasus resistensi obat terhadap TB. Pencegahanan yang terbaik adalah
dengan standarisasi pemberian regimen yang efektif, penerapan strategi DOTS dan

23
pemakaian obat FDC adalah yang sangat tepat untuk mencegah terjadinya resistensi
OAT.
Pencegahan terjadinya MDR TB dapat dimulai sejak awal penanganan kasus
baru TB antara lain : pengobatan secara pasti terhadap kasus BTA positif pada
pertama kali, penyembuhan secara komplit kasih kambuh, penyediaan suatu
pedoman terapi terhadap TB, penjaminan ketersediaan OAT adalah hal yang penting,
pengawasan terhadap pengobatan, dan adanya OAT secara gratis. Jangan pernah
memberikan terapi tunggal pada kasus TB. Peranan pemerintah dalam hal dukungan
kelangsungan program dan ketersediaan dana untunk penanggulangan TB (DOTS).
Dasar pengobatan TB oleh klinisi berdasarkan pedoman terapi sesuai “evidence
based” dan tes kepekaan kuman.2

B. Strategi DOTS Plus


Penerapan strategi DOTS plus mempergunakan kerangka yang sama dengan
strategi DOTS, dimana setiap komponen yang ada lebih ditekankan kepada
penanganan MDR TB. Strategi DOTSPlus juga sama terdiri dari 5 komponen kunci:
1. Komitmen politis yang berkesinambungan untuk masalah MDR
2. Strategi penemuan kasus secara rasional yang akurat dan tepat waktu
menggunakan pemeriksaan hapusan dahak secara mikroskopis ,biakan dan uji
kepekaan yang terjamin mutunya.
3. Pengobatan standar dengan menggunakan OAT lini kedua ,dengan
pengawasan yang ketat (Direct Observed Treatment/DOT).
4. Jaminan ketersediaan OAT lini kedua yang bermutu
5. Sistem pencatatan dan pelaporan yang baku. Setiap komponen dalam
penanganan TB-MDR lebih kompleks dan membutuhkan biaya lebih banyak
dibandingkan dengan pasien TB bukan MDR Pelaksanaan program DOTS
plus akan memperkuat Program Penanggulangan TB Nasional.6

XII. PROGNOSIS
Ada beberapa hal yang dapat menjadi petanda untuk mengetahui prognosis pada
penderita TB-MDR. Dari beberapa studi yang ada menyebutkan bahwa adanya

24
keterlibatan ekstrapulmoner, usia tua, malnutris, infeksi HIV, riwayat mengunakan OAT
dengan jumlah cukup banyak sebelumnya, terapi yang tidak adekuat (<2 macam obat
yang aktif) dapat menjadi petanda prognosis buruk pada penderita tersebut. 4

XIII. KESIMPULAN
Prevalensi kasus TB dengan resistensi OAT terutama TB-MDR terus meningkat.
Faktor penyebab terbanyak adalah akibat pengobatan TB yang tidak adekuat dan
penularan dari pasien TB-MDR. Oleh karena itu pada setiap pasien harus dilakukan
penilaian resiko kemungkinan terjadinya resistensi OAT. Selanjutnya terapi empiris harus
segera diberikan pada pasien dengan resiko tinggi resistensi OAT, terutama pada pasien
dengan keadaan penyakit yang berat. Pemilihan regimen OAT yang tepat sangat
diperlukan untuk keberhasilan pengobatan dan mencegah bertambah banyaknya kasus
TB-MDR maupun TB-XDR dan TB-TDR.
Terapi yang dianjurkan dengan memberikan 4 sampai 6 macam obat. Pilihan obat
yang diberikan yaitu obat lini pertama yang masih sensitif disertai obat lini kedua
berdasarkan aktivitas intrinsik terhadap kuman Mycobacterium tuberculosis. Pembedahan
perlu dipertimbangkan bila setelah 3 bulan terapi OAT tidak terjadi konversi negatif
sputum. Pemberian nutrisi yang baik dapat membantu keberhasilan terapi.
Konsep ”Direcly Observed Treatment Short Course” (DOTS) merupakan salah
satu upaya penting dalam menjamin keteraturan berobat penderita dan menaggulangi
masalah tuberkulosis khususnya TB-MDR. Perkembangan obat baru mungkin juga
diperlukan untuk menanggulangi hal ini.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Soepandi PZ. Diagnosis dan faktor yang mempengaruhi terjadinya tb-mdr.


Departemen Pulmonologi & Ilmu kedokteran Respirasi FKUI-RS Persahabatan,
Jakarta. 2010. Diunduh dari http://ppti.files.wordpress.com/2010/01/makalah-dr-
priyanti-diagnosis-dan-faktor-yg-mempengaruhi-tb-mdr.pdf pada tanggal 10 April
2014.
2. Kementrian Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Dan
Penyehatan Lingkungan. Pedoman nasional pengendalian tuberkulosis. 2011.
3. Aditama TY, dkk. Tuberkulosis : pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di
indonesia. PERPARI. Jakarta. 2006.
4. Syahrini H. Tuberkulosis paru resistensi ganda. Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSUP Adam Malik Medan FK USU. 2008. Diunduh dari
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789 /3375/1/08E00731.pdf pada tanggal
10 April 2014.
5. Sjahrurachman Agus. Diagnosis ” multi drug resistant mycobacterium “ tuberculosis.
Departemen Mikrobiologi FKUI. Diunduh dari http://ppti.info/arsipppti/makalah-
prof-agus-Sjahrurrahman-diagnosis-mdr-e28093xdr-tb.pdf pada tanggal 10 April
2014.
6. Nawas Arifin. Penatalaksanaan tb mdr dan strategi dots plus. Diunduh dari
http://ppti.info/arsipppti/makalah-dr-marifin-nawas- penatalaksanaan-tbmdrdan-
strategi-dots-plus.pdf pada tanggal 10 April 2014.
7. World Health Organization. Guideline for the programmatic management of drug
resistant tuberculosis. 2011 Update.
8. Tucker ME. FDA approves bedaquiline for resistant tb treatment. Diunduh dari
http://www.medscape.com/viewarticle/776901 pada tanggal 12 April 2014.
9. Barclay L. MDR TB: CDC issues guidelines for use of new drug. Diunduh dari
http://www.medscape.com/viewarticle/813151 pada tanggal 12 April 2014.

26

Anda mungkin juga menyukai