Penggilingan
Ikan giling
Garam halus
Telur
Gula
Bawang
Pencampuran
putih
Tepung
sagu Pengulenan hingga
kalis
Pembentukan
Perebusan hingga
Air + minyak matang
Minyak Penggorengan
Pempek
1.2 Otak-otak
Otak-otak merupakan produk emulsi yang memiliki tekstur kompak, elastis,
kenyal, tidak lembek, tidak basah berair, tidak rapuh, dan tidak terdapat serat daging
(Wibowo, 1995 dalam Padli, 2015). Bahan untuk pembuatan otak-otak yaitu ikan
tenggiri. Ikan tenggiri digunakan karena memiliki daging berwarna putih dan kenyal,
serta dan tidak memiliki banyak duri.
Prinsip pembuatan otak-otak yaitu pengukusan atau perebusan. Praktikum kali
ini dilakukan pengukusan pada otak-otak. Praktikum dimulai dengan memisahkan
ikan dari bagian kulit, duri, serta bagian-bagian yang tidak digunakan sehingga
dihasilkan fillet ikan tenggiri sebanyak 300 gram. Daging ikan dicuci dengan air
mengalir. Proses pencucian bertujuan untuk menghilangkan kotoran, sisa darah, atau
lendir yang menempel pada ikan. Pencucian dengan air bersih dapat mengurangi
jumlah bakteri yang ada (Hadiwiyoto, 1993). Proses ketiga adalah penggilingan
dengan ditambahkan es batu 20%. Tujuan dari proses ini adalah untuk melunakkan
jaringan ikan. Proses penggilingan akan menghasilkan panas sehingga digunakan es
untuk mempertahankan agar suhu tetap dingin agar protein yang ada pada ikan tidak
terdenaturasi. Wibowo (2006) menjelaskan bahwa penggunaan es sangat penting
dalam pembentukan tekstur, selain itu suhu dapat dipertahankan agar tetap rendah
sehingga protein pada daging ikan tidak terdenaturasi akibat panas dari mesin
penggiling. Es yang seringkali digunakan yaitu sebanyak 10-15% dari berat daging
atau 30% dari berat daging (Wibowo, 2006). Penggilingan lebih dibutuhkan untuk
ikan dengan tekstur daging yang kasar.
Faktor penting dalam pembuatan otak-otak adalah pada proses pengadonan.
Bahan-bahan yang dicampurkan pada proses ini harus berurutan. Bumbu seperti
bawang putih, bawang merah, gula, dan garam dihaluskan menggunakan blender,
pada wadah berbeda putih telur dikocok, lalu ditambahkan dengan santan 10%. Putih
telur berfungsi sebagai bahan pengikat adonan dan pemberi tekstur kompak pada
otak-otak. Penambahan santan berfungsi untuk meningkatkan citarasa dan juga
memberikan mouthfeel yang lembut (Putra, dkk., 2015).
Bumbu yang sudah dihaluskan dicampur dengan campuran putih telur dan
santan, lalu dikocok. Fillet ikan dimasukkan ke dalam baskom, kemudian
dicampurankan dengan bumbu dan diaduk dengan tangan. Tepung sagu ditambahkan
sedikit demi sedikit pada adonan sambil diaduk hingga kalis. Daun pisang untuk
pembungkus otak-otak dilalukan pada api kecil. Adonan dibentuk menggunakan
tangan yang telah dioleskan dengan minyak goreng agar tidak lengket. Otak-otak
dikukus selama 35 menit sampai dihasilkan tekstur otak-otak yang kenyal.
Bahan pendukung dalam pembuatan otak-otak memiliki fungsi masing-
masing. Garam berfungsi sebagai pemberi cita rasa (Winarno dkk., 1982). Pemberian
garam pada bahan pangan juga dapat berfungsi sebagai penghambat pertumbuhan
bakteri pembusuk dan patogen, karena garam mempunyai sifat-sifat antimikroba
(Rahayu dkk., 1992). Pemberian gula dapat mempengaruhi cita rasa seperti memberi
rasa manis, kelezatan, aroma, dan tekstur (Buckle dkk., 1987). Gula dapat
mengurangi rasa asin yang berlebihan dari proses penggaraman, gula juga dapat
memberikan rasa lembut pada produk. Proses ini dapat terjadi karena gula dapat
mengurangi efek pengerasan yang disebabkan oleh garam dimana gula tersebut dapat
mencegah penguapan air (Desrosier, 1977 dalam Muryanita, 1991). Bawang merah
sebagai penyedap rasa dan dapat menimbulkan aroma yang khas karena kandungan
minyak atsiri yang bersifat volatil (Hasrayanti, 2013). Penambahan tepung sagu
bertujuan untuk menambah elastisitas dari produk. Pati sagu mengandung 27%
amilosa dan 37% amilopektin sehingga dapat mempengaruhi tekstur dari produk
(Afrianti, 2011). Sama seperti bawang merah, bawang putih juga berfungsi sebagai
pemberi aroma. Menurut Palungkun dan Budiarti (1992), bau yang kuat pada bawang
putih berasal dari minyak volatil yang mengandung komponen sulfur setelah
mengalami pemotongan atau perusakan jaringan. Bawang putih memiliki senyawa
allicin sebagai pemberi aroma dan merupakan salah satu zat aktif yang bersifat anti
bakteri.
Berikut ini merupakan diagram alir dari proses pembuatan otak-otak ikan.
1.3 Nugget
Ikan mujair biasanya diolah hanya dengan cara digoreng, dikukus atau di
bakar, dengan ditambahkan bumbu -bumbu yang bertujuan untuk menutupi flavor
tanah yang ada pada daging mujair. Pemanfaatan daging ikan mujair menjadi produk
nugget merupakan salah satu cara diverifikasi produk pangan dan menambah
keragaman produk nugget. Pengolahan daging ikan mujair menjadi nugget akan
memberi kepraktisan pada konsumen dalam mengkonsumsi daging ikan mujair siap
saji. Dalam pembuatan nugget ditambahkan bumbu-bumbu yang dapat menutupi
flavor tanah dari daging mujair, sehingga produk nugget lebih mudah diterima oleh
konsumen.
Nugget merupakan salah satu produk olahan daging ikan yang menggunakan
metode restuctured meat dengan memanfaatkan potongan-potongan daging yang
berukuran relatif kecil dan tidak beraturan untuk dilekatkan kembali menjadi produk
yang berukuran lebih besar dan kompak (Amertaningtyaset al.,2000). Kualitas fish
nugget dapat dikatakan baik apabila dapat membentuk tekstur daging yang kompak.
Tujuan dari praktikum ini yaitu dapat mengolah berbagai macam olahan
makanan denga berbahan dasar ikan. Praktikum kali ini menggunakan metode
eksperimental dikarenakan percobaan yang dilakukan selama praktikum dilakukan
penambahan bahan-bahan dalam pembuatan salami dengan takaran dan perlakuan-
perlakuan tertentu. Bahan-bahan yang digunakan dalam pebuatan nugget ikan ini
yaitu ikan mujair, bawang bombay, bawang putih, merica, teung tapioka, tepung
terigu, teoung roti dan telur. Alat-alat yang digunakan yaitu timbangan, pisau,
baskom plastik, talenan, grinder, pendingin atau kulkas, wajan dan kompor.
Menurut Maghfiroh (2000), nugget merupakan produk olahan daging yang
pada umumnya terbuar dari daging giling berrbentuk segiempat serta dilapisi dengan
tepung berbumbu. Sedangkan, ,menurut Saleh (2002) nugget merupakan makanan
yang berasal dari olahan daging giling yang dikonsumsi melewati proses
penggorengan rendaman (deep fat frying). Pembutan nugget kali ini deigunakan ikan
mujair yang digiling atau dihaluskan. Berikut ini cara pembuatan nugget ikan mujair.
Prinsip pembuatan nugget mencakup lima tahap, yaitu penggilingan yang
disertai oleh pencampuran bumbu, es dan bahan tambahan, pengukusan dan
pencetakan, pelapisan perekat tepung dan pelumuran tepung roti, penggorengan awal
(pre-frying) dan pembekuan (Aswar, 2005). Pada pembuatan nugget ikan kali ini
tidak dilakukan penambahan es batu, dikarenakan dalam penghancuran atau
penghalusan ikan dilakukan secara maunuatl tidak menggunakan mesin penggiling.
Bahan pengisi dalam pembuatan nugget ikan ini digunakan tepung terigu.
Bahan pengisi merupakan sumber pati yang ditambahkan dalam produk
restrukturisasi untuk menambah bobot produk dengan mensubstitusi sebagian daging
sehingga biaya dapat ditekan (Rahayu, 2007). . Bahan pengisi yang umum digunakan
pada pembuatan nugget adalah tepung (Afrisanti, 2010).
Pembuatan nugget memerlukan bahan pembantu yaitu garam, bawang putih
dan merica (Aswar, 2005). Garam merupakan komponen bahan makanan yang
ditambahkan dan digunakan sebagai penegas cita rasa dan bahan pengawet.
Penggunaan garam tidak boleh terlalu banyak karena akan menyebabkan terjadinya
penggumpalan (salting out) dan rasa produk menjadi asin. Konsentrasi garam yang
ditambahkan biasanya berkisar 2 sampai 3% dari berat daging yang digunakan
(Aswar, 2005).
Pemakaian bumbu dapat memperbaiki rasa dan aroma produk yang
dihasilkan. Bawang putih dan bawang bombay berfungsi sebagai penambah aroma
serta untuk meningkatkan citarasa produk. Bawang putih merupakan bahan alami
yang ditambahkan ke dalam bahan makanan guna meningkatkan selera makan serta
untuk meningkatkan daya awet bahan makanan (bersifat fungistotik dan fungisidal).
Bau yang khas dari bawang putih berasal dari minyak volatil yang mengandung
komponen sulfur (Palungkun et al, 1992).
Merica atau lada (Paperningrum) sering ditambahkan dalam bahan pangan.
Tujuan penambahan merica adalah sebagai penyedap masakan dan memperpanjang
daya awet makanan. Merica sangat digemari karena memiliki dua sifat penting yaitu
rasa pedas dan aroma khas. Rasa pedas merica disebabkan oleh adanya zat piperin
dan piperanin, serta chavicia yang merupakan persenyawaan dari piperin dengan
alkaloida (Rismunandar, 2003).
Pembuatan nugget ikan pun dilakukan proses pengukusan menyebabkan
terjadinya pengembangan granula– granula pati yang disebut gelatinisasi. Gelatinisasi
merupakan peristiwa pengembangan granula pati sehingga granula tersebut tidak
dapat kembali seperti keadaan semula (Winarno, 1997). Mekanisasi gelatinisasi,
diawali oleh granula pati akan menyerap air yang memecah kristal amilosa dan
memutuskan ikatan–ikatan struktur heliks dari molekul tersebut. Penambahan air dan
pemanasan akan menyebabkan amilosa berdifusi keluar granula, sehingga granula
tersebut hanya mengandung sebagian amilopektin dan akan pecah membentuk suatu
matriks dengan amilosa yang disebut gel (Winarno, 1997). Setelah dilakukan
pengukusan nugget sudah dapat di coating menggunakan tepung roti dan dapat
digoreng. Berikut ini hasil pengamatan yang nugget ikan yan g telah dilakukan.
Tabel 3. Hasil Pengamatan Nugget Ikan Mujair
Produk Warna Aroma Tekstur Rasa Gambar
Sebelum
Sebelum
digoreng:
digoreng:
kuning Asin sedikit
Nugget Empuk
Setelah khas Ikan pedas dan
Ikan Setelah
digoreng: khas ikan
digoreng:
kuning
empuk
kecoklatan
(Sumber: Dokumentasi pribadi, 2017)
1.4 Kerupuk
Kerupuk ikan tenggiri yang dihasilkan melalui proses pengukusan memiliki sifat
organoleptik sebagai berikut :
Tabel 4. Hasil Pengamatan Sifat Organoleptik Kerupuk Ikan Tenggiri
Perlakuan Warna Rasa Aroma Tekstur Gambar
Sebelum
Ketebalan 0,1 –
digoreng : abu-
0,3 cm : cukup
abu Hambar, Ikan
Pengukusan renyah
Setelah tepung tenggiri
Ketebalan 0,5 –
digoreng : abu
0,7 cm : alot
kekuningan
(Sumber : Dokumentasi pribadi, 2017)
Kriteria mutu kerupuk ditinjau dari aspek sifat fisik meliputi warna, aroma,
rasa dan tekstur. Kerupuk yang baik yaitu harus sesuai dengan syarat mutu kerupuk
ikan dari SNI 01-2713-1992 dimana kerupuk yang baik memiliki warna kuning
kecokelatan. Warna kerupuk dipengaruhi oleh warna tepung yang digunakan. Aroma
kerupuk didapat dari bahan yang digunakan, yang memberikan aroma tersendiri.
Untuk kerupuk ikan aroma yang baik memiliki aroma khas kerupuk ikan. Rasa
kerupuk yang baik adalah gurih dan sesuai dengan bahan yang
digunakan dalam pembuatan kerupuk. Rasa kerupuk ikan yang baik memiliki rasa
khas kerupuk ikan (bahan dasar). Tekstur kerupuk yang baik adalah kerenyahan yang
baik, volume mengembang yang baik dan penampakan menarik (BSN, 1992).
Berdasarkan hasil pengamatan (tabel 1), kerupuk ikan tenggiri yang dihasilkan
yaitu memiliki warna abu-abu (sebelum digoreng) dan abu kuning kecoklatan (setelah
digoreng), dan beraroma ikan tenggiri, namun sifat organoleptik kerupuk ikan
tenggiri yang tidak sesuai dengan standar dari segi rasa yaitu hambar yang
diakibatkan kurangnya penambahan rempah, dan dominan rasa tepung, dengan
tekstur pada ketebalan 0,1 – 0,3 cm cukup renyah, namun pada ketebalan 0,5 – 0,7
cm alot dan secara keseluruhan kurang mengembang.
Warna kerupuk ikan tenggiri dipengaruhi oleh warna tepung sagu dan bahan
dasarnya yaitu ikan tenggiri. Aroma kerupuk sangat dipengaruhi oleh aroma ikan
tenggiri yang cukup kuat, namun dari segi rasa kerupuk ikan tenggiri tersebut yaitu
hambar dan dominan rasa tepungnya. Hal ini disebabkan karena presentase tepung
sagu yang ditambahkan berlebihan dan kualitas tepung sagunya juga mempengaruhi
sedangkan dari segi tekstur sangat dipengaruhi oleh tingkat ketebalan kerupuk karena
semakin tebal kerupuk semakin lama untuk kering sehingga saat digoreng menjadi
alot dan tidak mekar atau mengembang seperti pada kerupuk umumnya selain karena
faktor pengirisan tekstur juga dipengaruhi oleh lama pengukusan dan bahan-bahan
yang ditambahkan seperti tepung sagu, telur, dan air.
Menurut Ratnawati (2013), warna kerupuk tidak putih jika tepung yang
digunakan tidak berwarna putih. Tekstur kerupuk menjadi kasar jika tepung yang
digunakan tidak halus atau butirannya kasar dan adanya benda-benda asing seperti
kerikil. Soda kue dapat mempengaruhi pengembangan kerupuk, serta membuat
tekstur kerupuk menjadi lebih renyah. Apabila soda kue yang dipergunakan melebihi
dari takaran, maka akan mengakibatkan rasa kerupuk menjadi pahit, teksturnya keras.
Jika dalam pengirisannya terlalu tebal maka tekstur kerupuk akan menjadi keras. Jika
terlalu tipis maka tekstur kerupuk manjadi cepat pecah. Hal ini sesuai dengan
pendapat Ratnawati (2013), dimana adonan yang diiris terlalu tebal akan
membutuhkan waktu pengeringan yang lama selain itu pada waktu digoreng kerupuk
tidak akan mengembang secara maksimal sedangkan adonan yang diiris terlalu tipis
ketika kondisi kerupuk sudah kering akan mudah patah.
Kualitas kerupuk menurut Lies (2005), dipengaruhi oleh beberapa faktor antara
lain : bahan baku, jumlah penggunaan bumbu, lama pengukusan, pengirisan, lama
pengeringan penggorengan dan pengemasan kerupuk. Bahan-bahan lain yang
ditambahkan diantaranya yaitu bumbu seperti gula, garam, dan merica, tepung sagu
sebagai pengikat dan memperbaiki tekstur, air, telur, dan soda kue.
Telur yang ditambahkan pada pembuatan kerupuk ikan tenggiri dimaksudkan
untuk meningkatkan gizi, rasa, dan bersifat sebagai pengemulsi serta pangikat
komponen-komponen adonan. Telur juga berperan sebagai pengikat udara dan
menahannya sebagai gelembung. Penggunaan telur pada penggunaan kerupuk ikan
tenggiri akan mempengaruhi kemekaran kerupuk ikan tenggiri pada waktu digoreng
(Suman, 1983 dalam Subekti, 1998). Lecithine yang terkandung dalam telur akan
membantu memperlemas gluten tepung sagu. Sehingga produk kerupuk dari bahan
baku tepung sagu ini akan bersifat lebih halus, renyah serta berwarna seragam
kekuning-kuningan (Koswara, 2009).
Pemberian gula, merica dan garam dalam pembuatan kerupuk ikan tenggiri
terutama berperan sebagai penambah cita rasa dan pengawet, sedangkan bumbu dapat
meningkatkan aroma dan citarasa kerupuk. Bumbu lain yang dapat digunakan antara
lain bawang merah, bawang putih, ketumbar dan sebagainya tergantung dari citarasa
yang diinginkan (Astawan dan Astawan, 1988). Penambahan gula dan garam dapat
menambah umur simpan kerupuk. Karena kerupuk yang dibuat tidak menggunakan
bahan pengawet maka gula dan garamlah yang akan digunakan sebagi pengawet.
Bumbu yang digunakan sangatlah sederhana, tidak menggunakan bawang putih,
bawang merah, atau rempah yang kuat karena ingin menampilkan cita rasa khas ikan
tenggiri, tanpa ada aroma dan rasa lain yang lebih dominan. Fungsi utama air adalah
sebagai pembantu dalam pembentukan gluten pada tepung, melarutkan gula, garam
serta bahan-bahan lainnya agar bisa bercampur (Suzuki, 1981 dalam Subekti, 1998).
Karena rempah tidak banyak ditambahkan dengan tujuan rasa ikan tenggiri yang akan
dominan membuat rasa hambar dan tepung menjadi lebih dominan pada kerupuk ikan
tenggiri yang dihasilkan.
Suhu yang digunakan dalam pengukusan yaitu 1000C selama ±30 menit.
Apabila pengukusan terlalu lama atau terlalu cepat maka kualitas yang dihasilkan
tidak maksimal, misalnya bila pengukusan terlalu cepat maka pada tengah adonan
akan kelihatan putih karena belum matang, sehingga pada waktu digoreng
kerupuk tidak mengembang. Apabila pengukusan terlalu lama adonan akan
lembek sehingga akan mempengaruhi proses pengirisan (Ratnawati, 2013).
Granula pati sagu mempunyai daya mengembang yang tinggi yaitu 97 persen.
Hal ini diperlukan pada tahap pengembangan kerupuk. Jadi tepung sagu merupakan
bahan baku kerupuk yang potensial. Mutu kerupuk yang dihasilkan seperti volume
pengembangan, kerenyahan dan tingkat kesukaan konsumen terhadap rasa
dipengaruhi oleh mutu tepung yang memenuhi persyaratan organoleptik, seperti
penampakan putih, kering, bersih dan tidak berbau asam (Koswara, 2009). Sehingga
disimpulkan bahwa tekstur kerupuk ikan tenggiri sepenuhnya disebabkan oleh faktor
pengovenan yang kurang maksimal sehingga kerupuk yang dihasilkan tidak kering
(kadar air masih tinggi) dan tidak mekar atau mengembang. Menurut Koswara
(2009), untuk mendapatkan pengembangan volume kerupuk yang maksimum kadar
air yang terikat harus menyebar merata. Hal ini dapat dilakukan dengan
menghomogenkan adonan sehingga proses gelatinisasi terjadi secara sempurna dan
kandungan air tersebar secara merata (Koswara, 2009).
Pengembangan kerupuk merupakan proses ekspansi tiba-tiba dari uap air dalam
struktur adonan sehingga diperoleh produk yang volumenya mengembang dan porus.
Pada dasarnya kerupuk mentah diproduksi dengan gelatinisasi pati adonan pada tahap
pengukusan, selanjutnya adonan dicetak dan dikeringkan. Pada proses penggorengan
akan terjadi penguapan air yang terikat dalam gel pati akibat peningkatan suhu dan
dihasilkan tekanan uap yang mendesak gel pati sehingga terjadi pengembangan dan
sekaligus terbentuk rongga-rongga udara pada kerupuk yang telah digoreng
(Koswara, 2009).
Faktor keberhasilan dalam pembuatan kerupuk adalah dari tekstur atau
kerenyahannya dimana menurut Muliawan (1991), salah satu parameter mutu
kerupuk goreng adalah volume pengembangan sedangkan volume pengembangan
dipengaruhi oleh kadar air kerupuk mentah dan suhu penggorengan. Makin banyak
penambahan bahan bukan pati, makin kecil pengembangan kerupuk pada saat
penggorengan, dan pengembangan menentukan kerenyahannya (Haryadi et al., 1989
dalam Subekti, 1998). Kerenyahan kerupuk ikan tenggiri sangat ditentukan oleh
kadar airnya. Semakin banyak mengandung air, kerupuk ikan tenggiri akan semakin
kurang renyah (Wahyono dan Marzuki, 1996 dalam Subekti, 1998). Menurut
Muliawan (1991), kadar air yang terikat dalam kerupuk sebelum digoreng sangat
menentukan volume pengembangan kerupuk matang. Jumlah uap air yang terdapat
dalam bahan pangan ditentukan oleh lamanya pengeringan, suhu penggorengan,
kecepatan aliran udara, kondisi bahan dan cara penumpukan serta penambahan air
sewaktu pembuatan adonan pada proses gelatinisasi. Demikian pula jika prosentase
kandungan tepung lebih banyak disbanding ikan tenggirinya, maka daya kembang
kerupuk akan semakin berkurang. Sebaliknya bila perbandingan tepung dengan ikan
tenggiri seimbang maka daya kembang kerupuk akan semakin besar (Wahyono dan
Marzuki, 1996).
1.5 Bakso
Definisi bakso ikan menurut SNI 01-3819-1995 adalah produk
makanan berbentuk bulatan atau lain, yang diperoleh dari campuran daging ikan (kad
ar daging ikan tidak kurang dari 50%) dan pati atau serealia dengan atau
tanpa penambahan makanan yang diizinkan. Adapun jenis ikan yang banyak
digunakan seperti tenggiri, tuna, kakap, kerapu, dan lain sebagainya. Ikan yang
digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan bakso ikan dipilih dari jenis yang
memiliki kadar gizi dan kelezatan yang tinggi, tidak terlalu amis, dan benar-benar
masih segar.
Pemilihan daging ikan kerapu karena memiliki nilai ekonomis yang tinggi
dikarenakan ikan ini memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi. Menurut Mukadar
(2007) kandungan gizi ikan kerapu memiliki kandungan energi 92 kkl; protein
19,8%; kalsium 27%; air 79,2%; lemak 1,02% dan kolesterol 37%. Proses pembuatan
bakso ikan pada dasarnya sama saja dengan pembuatan bakso daging hanya berbeda
pada bahan baku utama yaitu daging ikan sehingga dapat mempengaruhi organoleptik
yang dihasilkan. Penggilingan daging ikan ditambahkan es batu, Winarno dan
Rahayu (1994) proses penggilingan daging perlu ditambahdengan es sebanyak 29 %
dari berat daging untuk mempertahankan suhu rendah akibat gesekan mesin giling
(chopper), serta untuk menghasilkan emulsi yang baik. Pencampuran adonan
dipertahankan suhunya untuk mempertahankan stabilitas adonan, maka suhu adonan
tidak melebihi 20 oC. Pada waktu pembuatan adonan, suhu adonan dapat mencapai
lebih dari 20 oC karena gesekan antara daging dengan alat penghalus daging (cutter,
mixer, alat pengemulsi lemak) yang mengakibatkan terhambatnya ekstraksi protein
serabut otot sehingga terjadi koagulasi protein (Pisula, 1984). Setelah adonan
terbentuk kemudian dilakukan pemanasan. Adapun diagram alir pembuatan bakso
ikan sebagai berikut :
Ikan kerapu
Cetak bakso
Pemasakan
Masukkan kedalam air hangat 70oC
1 L air
Gambar
1.7 Surimi
Produk perikanan memiliki sumber nutrisi yang sangat dibutuhkan oleh tubuh
terutama kandungan protein dan asam lemak tak jenuhnya. Mengkonsumsi produk
perikanan diharapkan memenuhi kebutuhan protein masyarakat. Produk perikanan
termasuk highly perishable food dikarenakan komposisi biokimiawinya. Kandungan
pada tubuh ikan yang didominasi oleh air, protein dan lemak menjadikan produk
perikanan cepat busuk atau mudah rusak setelah dipanen maupun ditangkap. Selain
faktor dari dalam tersebut, faktor luar seperti temperatur, ketersediaan oksigen,
cahaya, peralatan yang kurang saniter dan higienis, kesalahan penanganan bahan
baku dan lain sebagainya juga dapat mempengaruhi daya awet dan kesegaran produk.
Penanganan terhadap ikan segar perlu dilakukan agar ikan dapat disimpan
dalam jangka waktu yang lebih panjang sehingga ikan dapat tetap dapat dikonsumsi
secara praktis jika sewaktu-waktu diinginkan. Salah satu penanganan ikan ini dapat
dilakukan dengan cara pengolahan. Praktikum yang dilakukan kali ini adalgolaha
ikakn menjadi produk ikan setengah jadi yaitu surimi. Surimi merupakan istilah
dalam bahasa jepang untuk daging lumat dan jaringan yang akan dicuci. Surimi juga
dapat disebut sebagai olahan daging cincang yang telah mengalami beberapa kali
proses pencucian yang dimaksudkan untuk menghilangkan komponen yang larut air
seperti protein, sarkoplasma, darah dan enzim (Abdurachman, 1987; Uju, 2006, dan
Mahawanich, 2008).
Surimi yang baik adalah surimi yang memiliki warna putih, rasa yang baik
(khas ikan), dan kemampuan gel yang kuat. Surimi yang baik biasanya terbuat dari
bahan baku yang segar. Bahan baku yang digunakan untuk pembuatan surimi
biasanya merupakan bahan baku yang kurang memiliki nilai ekonomis tetapi tersedia
dalam jumlah yang banyak (Lanier, 1992). Surimi adalah protein myofibril yang
stabil yang terdapat dari daging ikan yang telah dipisahlan dari tulang dan kulitnya
kemudian digiling, setelah itu mengalami pencucian serta pencampuran dengan
cryoprotectant. Surimi juga merupakan produk antara yang dapat digunakan untuk
variasi produk lainnya seperti kamaboko, chikuwa, dan beberapa produk tradisional
lainnya. Sebelum tahun 1960, surimi disimpan dan digunakan dalam beberapa hari
saja, hal ini dikarenakan surimi hanya dapat disimpan pada suhu dingin pada lemari
es. Pada waktu itu proses pendinginan beku akan menyebabkan protein dalam daging
ikan akan keluar dan akan mengalami denaturasi pada akhirnya (Park, 2000).
Pada praktikum kali ini alat yang digunakan adalah pisau, meat chopper,
neraca massa, plastic PE lima buah, dan kain blacu. Bahan yang digunakan adalah 5
buah ikan nila segar ukuran sedang, garam dapur 100 gram untuk membuat larutan
garam 0,3%, air 600 ml, es batu 600 gram, dan air dingin 600 gram. Metode yang
digunakan adalah metode eksperimental dengan dilakukannya pembuatan produk
surimi oleh praktikan secara langsung serta mengamati hasil dari surimi yang telah
dibuat.
Ikan Nila
Pencucian
Pemfilletan ikan
Daging ikan Nila
Penimabangan
rendemen
Penimbangan
rendemen
Surimi
Ikan Nila hanya diambil bagian dagingnya saja, tanpa kulit, sisik, duri,
maupun jeroannya. Daging ikan kemuadian digiling atau dihaluskan menggunakan
meat chopper. Selama proses penggilingan daging ikan, ditambahkan es batu halus ke
dalam daging ikan agar terhindar dari denaturasi protein yang dapat disebabkan oleh
gesrakan alat yang dihasilkan. Kemudian daging surimi dilakukan pencucian atau
perendaman. Pencucian merupakan tahap paling penting dalam pembuatan surimi
agar dapat dihasilkan surimi dengan kualitas yang baik. Proses pencucian bertujuan
untuk menghilangkan protein sarkoplasma, darah, lemak dan kandungan nitrogen
lainnya dari daging ikan sehingga dihasilkan surimi tanpa bau, rasa dan warna serta
memiliki kekutan gel yang baik (Mahawanich, 2008). Proses pencucian surimi
dilakukan dengan cara mencampur air dan daging lumat kemudian digerakkan secara
mekanis. Pada praktikum kali ini pencucian dilakukan dengan perendaman dengan air
dingin dengan perbandingan daging ikan dan air 1:3 selama 10 menit. Pada tahap
perendaman akhir, air rendaman ditambahkan garam sebanyak 0,3%.Proses
pencucian yang dilakukan pada pembuatan surimi pada dasarnya dilakukan untuk
meningkatkan sifat elastik daging ikan, tetapi perlu juga diperhatikan pengaruhnya
terhadap nilai gizi ikan secara keseluruhan kadar air, pengawasan suhu pembekuan
dan penyimpanan serta kondisi penanganan dan distribusi (Fitrial, 2000).
Penentuan mutunya dilakukan dengan mengukur kekuatan gel dan penilaian
organoleptik yaitu uji lipat dan uji gigit (Tan et al., 1987). Salah satu cara yang
digunakan untuk mempertahankan mutu surimi adalah penanganan bahan baku yang
segar. Menurut Somjit et al., 2005, apabila terpaksa harus menunggu, maka bahan
baku harus disimpan dengan es atau air dingin (0-50C), kondisi saniter dan higienis.
Karakteristik kesegaran bahan baku yang digunakan untuk membuat surimi secara
organoleptik, memenuhi syarat sebagai berikut: Rupa dan warna (bersih, warna
daging spesifik daging ikan); Aroma (segar, spesifik jenis); Daging (elastis, padat dan
kompak); Rasa (netral agak manis). Berikut merupakan hasil pengamatan surimi yang
telah dibuat:
Tabel 7. Hasil Pengamatan Organoleptik surimi
Kondisi Warna Aroma Tekstur Rasa
Sebelum Lunak, sedikit
Khas Ikan -
didinginkan Putih kekuningan kenyal
Putih (agak
Setelah Sedikit aroma
kekuningan dari Kenyal, Padat Tawar
digoreng ikan
minyak)
(Sumber. Dokumentasi pribadi, 2017)
Achyadi. N,S. 2001. Pengaruh Tekanan Dan Lama Pemasakan Pada Pembuatan Ikan
Mas Presto. Prosiding Seminar Nasional PATPI. Semarang.
Afrisanti, D.W. 2010. Kualitas Kimia dan Organoleptik Nugget Daging Kelinci
dengan Penambahan Tepung Tempe. Skripsi. Program Studi Peternakan.
Fakultas Pertanian. Universitas Sebelas Maret, Surakarta
Amertaningtyas, D , 2000. Kualitas Nuggets Daging Ayam Broiler dan Ayam Petelur
Afkir Dengan Menggunakan Tapioka dan Tapioka Modifikasi Serta Lama
Pengukusan Yang Berbeda. Tesis. Program Pasca Sarjana . UB, Malang.
Astawan, M.W. dan Astawan, M. 1988. Teknologi Pengolahan Pangan Hewani Tepat
Guna. Akademika Pressindo, Jakarta.
Astawan, M. 2004. Tetap Sehat dengan Produk Makanan Olahan. Tiga Serangkai.
Solo.
Aswar. 2005. Pembuatan Fish Nugget dari Ikan Nila Merah (Oreochromis Sp.).
Skripsi. Teknologi Hasil Perikanan. Fakultas Perikana. Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Badan Standarisasi Nasional. 1992. Mutu dan Cara Uji Kerupuk. SNI 01-2713-1992,
Jakarta
Badan Standardisasi Nasional. 1995. Standar Nasional Indonesia. SNI 01-3819-1995.
Bakso Ikan. Jakarta
Buckle, K. A., Edward, G. H. Fleet dan Wotton. 1987. Ilmu Pangan. Penerjemah H.
Purnomo dan Adiono. UI-Press, Jakarta
Devina, Dea. 2015. Proses Pengolahan Ikan Bandeng Duri Lunak (Presto) Di PT.
Bandeng Juwana-Elrina Semarang. Laporan Kerja Praktek. Program Studi
Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Katolik
Soegijapranata. Semarang.
Fitrial, Y. 2000. Pengaruh konsentrasi tepung tapioka, suh dan lama perebusan
terhadap mutu gel daging ikan cucut ayam (Carcharinus limbatus) (tesis).
Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. 143 pp.
Hasrayanti. 2013. Studi Pembuatan Bumbu Inti Cabai (Capsicum sp.) dalam Bentuk
Bubuk. Skripsi. Universitas Hasanuddin, Makassar
Hui, F. H. 1992. Encyclopedia of Food Science and Technology. John Willy and
Sons, Inc. USA
Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Cetakan ke VI.
2001. Universita Indonesia Press, Jakarta.
Kramlich, W. E., A. M. Pearson, dan F.W. Tauber. 1973. Processed meats. Westport
Connecticut, The AVI Publishing Company, Inc.
Margono, T. D., Suryati, S., Hartinah. 2009. Pengolahan Tepung Tapioka. Available
at www.iptek.net.id. (Diakses tanggal 8 Juni 2017)
Matz, S. A. 1976. Snack Food Technology. The AVI Publ. Co. Inc. Wesport.
Connecticut
Mukadar, N. 2007. Analisis Kadar Protein Pada Ikan Kerapu Macan. Skripsi Jurusan
Kimia FKIP Universitas Darussalam. Ambon
Pearson AM, Tauber FW. 1984. Processed Meats. Westport, Connecticut : The Avi
Publishing Co. Inc.
Rahayu, R.Y. 2007. Komposisi Kimia Rabbit Nugget dengan Komposisi Filler
Tepung Tapioka yang Berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan Universitas
Gajah Mada, Yogyakarta.
Railia, K. 2013. Difusivitas Panas dan Umur Simpan Pempek Lenjer. Jurnal
Keteknikan Pertanian. 27 (2) : 131-141
Ratnawati, Rose. 2013. Eksperimen Pembuatan kerupuk Rasa Ikan Banyar dengan
Bahan Dasar Tepung Komposit Mocaf dan Tapioka. Skripsi. Jurusan
Teknologi Jasa dan Produksi. Fakultas Teknik Universitas Negeri Semarang,
Semarang.
Rismunandar, M., N. Riski. 2003. Lada Budidaya dan Tata Niaga. Penebar Swadaya,
Jakarta.
Saparinto, Cahyo. 2007. Membuat aneka olahan bandeng. Penebar Swadaya. Jakarta.
Soesetiadi. 1977. Taksonomi dan Kunci Indentifikasi Ikan, jilid I-II. Edisi II. Bina
Cipta Bogor. Bogor.
Sukarti, Tati dan Efri Mardawati. 2008. Bahan Ajar Bahan Tambahan Pangan.
Universitas Padjadajaran, Jurusan Teknologi Industri Pangan, Fakultas
Teknologi Industri Pertanian, Jatinangor. Sumedang.
Sugito dan Ari Hayati. 2006. Penambahan Daging Ikan Gabus dan Aplikasi
Pembekuan pada Pembuatan Pempek Gluten. Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian
Indonesia Vol.8 No.2 : 147-151
Wibowo. 2006. Pembuatan Bakso Ikan dan Daging. Penebar Swadaya, Jakarta
Winarno, F. G., S. Fardiaz, dan D. Fardiaz. 1982. Pengantar Teknologi Pangan. PT.
Gramedia, Jakarta
Winarno, F. G. 1993. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Winarno FG, Rahayu TS. 1994. Bahan Tambahan Untuk Makanan dan Kontaminan.
Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.
Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Winarno, F. G. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Yulientin, Irene. 2006. Penambahan Nilai Chicken Carcass Meat (CCM) Melalui
Pengembangan Produk Baru Perkedel Ayam Berkalsium di PT. Chareon
Pokphand Indonesia-Chicken Processing Plant, Cikande-Serang. Skripsi.
Institut Pertanian Bogor. Bogor
Nama Asisten : Siti Hanifah Nurjanah
Tanggal Praktikum : 31 Mei 2017
Tanggal Pegumpulan : 14 Juni 2017
LAPORAN PRAKTIKUM
TEKNOLOGI PENGOLAHAN DAGING DAN IKAN
Disusun oleh :
UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PANGAN
JATINANGOR
2017