Anda di halaman 1dari 35

I.

HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN


1.1 Pempek
Pempek adalah produk pangan yang dapat digolongkan sebagai gel ikan.
Menurut Sugito dan Ari (2006), pempek merupakan produk hasil olahan daging ikan
yang berbentuk sejenis gel protein yang homogen, berwarna putih, bertekstur kenyal,
dan elastis. Secara umum, ikan yang digunakan dalam pembuatan pempek yaitu
berwarna putih seperti daging ikan tenggiri yang dapat menghasilkan cita rasa, aroma,
dan warna yang menarik pada produk akhir (Railia, 2013).
Pempek merupakan produk hasil olahan ikan yang terbuat dari adonan ikan
dan tepung tapioka lalu diuleni menggunakan air es untuk membuat tekstur pempek
lebih kenyal lalu direbus, namun proses perebusan menyebabkan pempek mudah
berlendir dan tidak tahan lama (Winarno, 1993). Perbandingan ikan, air, tepung
tapioka, dan garam sangat berpengaruh terhadap nilai gizi, rasa, warna, kekenyalan,
serta karakteristik lain. Penggunaan ikan juga akan mempengaruhi cita rasa dan
aroma dari pempek yang dihasilkan (Made, 2013). Prosedur yang dilakukan dalam
pembuatan pempek adalah sebagai berikut :
Ikan tenggiri dicuci terlebih dahulu menggunakan air mengalir dan bersih.
Pencucian bertujuan untuk menghilangkan kotoran berupa darah dan kotoran lain
yang dapat menimbulkan bau dan warna yang tidak diinginkan pada produk akhir.
Ikan kemudian digiling dengan penambahan es batu dan dicampurkan dengan bahan-
bahan yang sudah disediakan, seperti garam, telur, gula, bawang putih, dan tepung
sagu. Menurut Kramlich et al. (1973), penambahan es batu bertujuan untuk
memudahkan ekstraksi protein serabut otot, membantu pembentukan emulsi, dan
mempertahankan suhu daging ikan agar tetap rendah selama penggilingan dan
pembuatan adonan. Penambahan garam dimaksudkan untuk menghambat
pertumbuhan mikroba, memberi flavor dari bahan-bahan yang digunakan, serta
sebagai pengikat (Hui, 1992). Garam juga berfungsi sebagai pengawet karena mampu
menarik air keluar dari jaringan. Penambahan bawang putih berguna sebagai bumbu
penyedap dan pemberi aroma. Tepung sagu ditambahkan untuk meningkatkan
kelembutan, memudahkan penanganan, memperbaiki tekstur, dan membantu
pengembangan pada pori (Suyanti, 2008). Tepung sagu berfungsi sebagai daya ikat
yang tinggi sehingga dapat mengurangi penyusutan saat pengolahan dan membentuk
struktur yang kuat. Selain itu, tepung sagu juga dapat meningkatkan volume,
membentuk daya emulsi protein ikan, dan memperbaiki warna produk (Margono dkk,
2009).

Ikan tenggiri 500


gram

Air bersih Pencucian Air kotor

Penggilingan

Ikan giling
Garam halus
Telur
Gula
Bawang
Pencampuran
putih
Tepung
sagu Pengulenan hingga
kalis

Pembentukan

Perebusan hingga
Air + minyak matang

Minyak Penggorengan

Pempek

Gambar 1. Diagram Alir Proses Pembuatan Pempek


(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2017)

Perebusan dilakukan dengan menggunakan air dan minyak. Fungsi


penambahan minyak ini agar pada saat pempek direbus, pempek tidak lengket atau
menempel dengan pempek yang lain. Proses perebusan bertujuan agar pati
mengalami proses gelatinisasi sehingga granula pati mengembang.. Pengembangan
granula pati ini disebabkan oleh molekul-molekul air melakukan penetrasi ke dalam
granula dan terperangkap dalam susunan molekul-molekul amilosa dan amilopektin
(Margono dkk, 2009).
Tabel 1. Hasil Pengamatan Pembuatan Pempek
Warna Aroma Tekstur Rasa
-Sebelum digoreng: Sebelum digoreng :
Putih kekuningan keras
Gurih khas ikan Gurih
-Setelah digoreng : Setelah digoreng :
Coklat muda Keras agak kenyal
(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2017)

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa warna yang dihasilkan dari pempek


sebelum digoreng yaitu putih kekuningan, sedangkan setelah digoreng warna berubah
menjadi coklat muda. Menurut Fellows (1992), perubahan warna dapat ditentukan
oleh penambahan bahan kimia dan perombakan enzim menjadi pigmen, perubahan
dari pigmen brown oleh aktivitas proteolitik dan produksi pigmen oleh
mikroorganisme. Warna pada pempek dapat berasal dari bahan utama yaitu daging
ikan, bahan pengisi dan bahan pengikat serta bahan-bahan lain yang ditambahkan
(Soeparno, 1994).
Aroma yang dihasilkan yaitu gurih khas ikan. Aroma pempek dapat
dipengaruhi oleh jenis, lama, dan temperatur pemasakan. Selain itu, aroma pempek
juga dapat dipengaruhi oleh bahan-bahan yang ditambahkan selama pembuatan dan
pemasakan produk (Winarno, 1997).
Tekstur yang dihasilkan dari pempek yang sudah digoreng yaitu keras agak
kenyal. Tekstur dari suatu produk seringkali ditentukan oleh kandungan air dan
lemak, serta tipe dan jumlah struktur karbohidrat dan protein. Perubahan tekstur
diakibatkan oleh kehilangan air atau lemak, pembentukan atau kerusakan dari emulsi,
hidrolisis dari polimer karbohidrat, serta koagulasi atau hidrolisis protein (Fellows,
1992).
Rasa yang dihasilkan dari pempek yang sudah digoreng yaitu gurih. Rasa
gurih ini disebabkan oleh penambahan garam dan bumbu-bumbu lain serta rasa gurih
dari daging ikan tenggiri. Faktor yang mempengaruhi rasa yaitu senyawa kimia, suhu,
konsentrasi dan interaksi dengan komponen rasa yang lain (Winarno, 2002).

1.2 Otak-otak
Otak-otak merupakan produk emulsi yang memiliki tekstur kompak, elastis,
kenyal, tidak lembek, tidak basah berair, tidak rapuh, dan tidak terdapat serat daging
(Wibowo, 1995 dalam Padli, 2015). Bahan untuk pembuatan otak-otak yaitu ikan
tenggiri. Ikan tenggiri digunakan karena memiliki daging berwarna putih dan kenyal,
serta dan tidak memiliki banyak duri.
Prinsip pembuatan otak-otak yaitu pengukusan atau perebusan. Praktikum kali
ini dilakukan pengukusan pada otak-otak. Praktikum dimulai dengan memisahkan
ikan dari bagian kulit, duri, serta bagian-bagian yang tidak digunakan sehingga
dihasilkan fillet ikan tenggiri sebanyak 300 gram. Daging ikan dicuci dengan air
mengalir. Proses pencucian bertujuan untuk menghilangkan kotoran, sisa darah, atau
lendir yang menempel pada ikan. Pencucian dengan air bersih dapat mengurangi
jumlah bakteri yang ada (Hadiwiyoto, 1993). Proses ketiga adalah penggilingan
dengan ditambahkan es batu 20%. Tujuan dari proses ini adalah untuk melunakkan
jaringan ikan. Proses penggilingan akan menghasilkan panas sehingga digunakan es
untuk mempertahankan agar suhu tetap dingin agar protein yang ada pada ikan tidak
terdenaturasi. Wibowo (2006) menjelaskan bahwa penggunaan es sangat penting
dalam pembentukan tekstur, selain itu suhu dapat dipertahankan agar tetap rendah
sehingga protein pada daging ikan tidak terdenaturasi akibat panas dari mesin
penggiling. Es yang seringkali digunakan yaitu sebanyak 10-15% dari berat daging
atau 30% dari berat daging (Wibowo, 2006). Penggilingan lebih dibutuhkan untuk
ikan dengan tekstur daging yang kasar.
Faktor penting dalam pembuatan otak-otak adalah pada proses pengadonan.
Bahan-bahan yang dicampurkan pada proses ini harus berurutan. Bumbu seperti
bawang putih, bawang merah, gula, dan garam dihaluskan menggunakan blender,
pada wadah berbeda putih telur dikocok, lalu ditambahkan dengan santan 10%. Putih
telur berfungsi sebagai bahan pengikat adonan dan pemberi tekstur kompak pada
otak-otak. Penambahan santan berfungsi untuk meningkatkan citarasa dan juga
memberikan mouthfeel yang lembut (Putra, dkk., 2015).
Bumbu yang sudah dihaluskan dicampur dengan campuran putih telur dan
santan, lalu dikocok. Fillet ikan dimasukkan ke dalam baskom, kemudian
dicampurankan dengan bumbu dan diaduk dengan tangan. Tepung sagu ditambahkan
sedikit demi sedikit pada adonan sambil diaduk hingga kalis. Daun pisang untuk
pembungkus otak-otak dilalukan pada api kecil. Adonan dibentuk menggunakan
tangan yang telah dioleskan dengan minyak goreng agar tidak lengket. Otak-otak
dikukus selama 35 menit sampai dihasilkan tekstur otak-otak yang kenyal.
Bahan pendukung dalam pembuatan otak-otak memiliki fungsi masing-
masing. Garam berfungsi sebagai pemberi cita rasa (Winarno dkk., 1982). Pemberian
garam pada bahan pangan juga dapat berfungsi sebagai penghambat pertumbuhan
bakteri pembusuk dan patogen, karena garam mempunyai sifat-sifat antimikroba
(Rahayu dkk., 1992). Pemberian gula dapat mempengaruhi cita rasa seperti memberi
rasa manis, kelezatan, aroma, dan tekstur (Buckle dkk., 1987). Gula dapat
mengurangi rasa asin yang berlebihan dari proses penggaraman, gula juga dapat
memberikan rasa lembut pada produk. Proses ini dapat terjadi karena gula dapat
mengurangi efek pengerasan yang disebabkan oleh garam dimana gula tersebut dapat
mencegah penguapan air (Desrosier, 1977 dalam Muryanita, 1991). Bawang merah
sebagai penyedap rasa dan dapat menimbulkan aroma yang khas karena kandungan
minyak atsiri yang bersifat volatil (Hasrayanti, 2013). Penambahan tepung sagu
bertujuan untuk menambah elastisitas dari produk. Pati sagu mengandung 27%
amilosa dan 37% amilopektin sehingga dapat mempengaruhi tekstur dari produk
(Afrianti, 2011). Sama seperti bawang merah, bawang putih juga berfungsi sebagai
pemberi aroma. Menurut Palungkun dan Budiarti (1992), bau yang kuat pada bawang
putih berasal dari minyak volatil yang mengandung komponen sulfur setelah
mengalami pemotongan atau perusakan jaringan. Bawang putih memiliki senyawa
allicin sebagai pemberi aroma dan merupakan salah satu zat aktif yang bersifat anti
bakteri.
Berikut ini merupakan diagram alir dari proses pembuatan otak-otak ikan.

Gambar 2. Diagram Alir Proses Pembuatan Otak-Otak Ikan


(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2017)

Tabel 2. Hasil Pengamatan Organoleptik Otak-Otak


Produk Warna Aroma Tekstur Rasa Gambar
Ikan Setelah
Putih tenggiri, dikukus :
Otak-otak Kenyal
Kekuningan khas agak
bumbu hambar
(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2017)

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa warna otak-otak adalah putih


kekuningan. Warna putih kekuningan disebabkan bahan baku yang digunakan adalah
ikan tenggiri yang memiliki warna putih. Warna pada makanan dapat disebabkan oleh
pigmen alami pada bahan, pengaruh panas karena keberadaan gula, terjadi reaksi
Maillard, dan terdapat pencampuran bahan lain (Winarno, 1997 dalam Nurjanah,
dkk., 2005).
Aroma khas ikan tenggiri dihasilkan karena jumlah ikan yang ditambahkan
lebih banyak dibandingkan jumlah bahan tambahan lain, sedangkan aroma lain
dihasilkan dari penambahan bumbu-bumbu seperti bawang putih yang memiliki
senyawa volatil berupa komponen sulfur (Matz, 1976). Selain iti, bawang merah juga
mempunyai aroma yang kuat (Wibowo, 2006).
Tekstur kenyal disebabkan oleh pati dari tepung sagu yang mengalami
gelatinisasi selama proses pengukusan. Pembentukan tekstur kenyal disebabkan oleh
peranan amilopektin yang mempunyai sifat sangat jernih, pasta dari amilopektin pada
suhu normal tidak mudah menggumpal dan kembali menjadi keras, memiliki daya
perekat yang tinggi. Daging ikan yang berwarna putih memiliki kandungan protein
yang lebih baik. Kualitas dan kandungan protein ikan dapat mempengaruhi tingkat
kekenyalan otak-otak (Suzuki, 1981 dalam Padli, 2015).
Rasa otak-otak dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu penambahan bumbu
seperti garam, bawang putih, bawang merah, merica, gula, dan santan. Rasa hambar
terjadi karena konsentrasi bumbu yang ditambahkan kurang sebanding dengan jumlah
bahan baku yang digunakan.

1.3 Nugget
Ikan mujair biasanya diolah hanya dengan cara digoreng, dikukus atau di
bakar, dengan ditambahkan bumbu -bumbu yang bertujuan untuk menutupi flavor
tanah yang ada pada daging mujair. Pemanfaatan daging ikan mujair menjadi produk
nugget merupakan salah satu cara diverifikasi produk pangan dan menambah
keragaman produk nugget. Pengolahan daging ikan mujair menjadi nugget akan
memberi kepraktisan pada konsumen dalam mengkonsumsi daging ikan mujair siap
saji. Dalam pembuatan nugget ditambahkan bumbu-bumbu yang dapat menutupi
flavor tanah dari daging mujair, sehingga produk nugget lebih mudah diterima oleh
konsumen.
Nugget merupakan salah satu produk olahan daging ikan yang menggunakan
metode restuctured meat dengan memanfaatkan potongan-potongan daging yang
berukuran relatif kecil dan tidak beraturan untuk dilekatkan kembali menjadi produk
yang berukuran lebih besar dan kompak (Amertaningtyaset al.,2000). Kualitas fish
nugget dapat dikatakan baik apabila dapat membentuk tekstur daging yang kompak.
Tujuan dari praktikum ini yaitu dapat mengolah berbagai macam olahan
makanan denga berbahan dasar ikan. Praktikum kali ini menggunakan metode
eksperimental dikarenakan percobaan yang dilakukan selama praktikum dilakukan
penambahan bahan-bahan dalam pembuatan salami dengan takaran dan perlakuan-
perlakuan tertentu. Bahan-bahan yang digunakan dalam pebuatan nugget ikan ini
yaitu ikan mujair, bawang bombay, bawang putih, merica, teung tapioka, tepung
terigu, teoung roti dan telur. Alat-alat yang digunakan yaitu timbangan, pisau,
baskom plastik, talenan, grinder, pendingin atau kulkas, wajan dan kompor.
Menurut Maghfiroh (2000), nugget merupakan produk olahan daging yang
pada umumnya terbuar dari daging giling berrbentuk segiempat serta dilapisi dengan
tepung berbumbu. Sedangkan, ,menurut Saleh (2002) nugget merupakan makanan
yang berasal dari olahan daging giling yang dikonsumsi melewati proses
penggorengan rendaman (deep fat frying). Pembutan nugget kali ini deigunakan ikan
mujair yang digiling atau dihaluskan. Berikut ini cara pembuatan nugget ikan mujair.
Prinsip pembuatan nugget mencakup lima tahap, yaitu penggilingan yang
disertai oleh pencampuran bumbu, es dan bahan tambahan, pengukusan dan
pencetakan, pelapisan perekat tepung dan pelumuran tepung roti, penggorengan awal
(pre-frying) dan pembekuan (Aswar, 2005). Pada pembuatan nugget ikan kali ini
tidak dilakukan penambahan es batu, dikarenakan dalam penghancuran atau
penghalusan ikan dilakukan secara maunuatl tidak menggunakan mesin penggiling.
Bahan pengisi dalam pembuatan nugget ikan ini digunakan tepung terigu.
Bahan pengisi merupakan sumber pati yang ditambahkan dalam produk
restrukturisasi untuk menambah bobot produk dengan mensubstitusi sebagian daging
sehingga biaya dapat ditekan (Rahayu, 2007). . Bahan pengisi yang umum digunakan
pada pembuatan nugget adalah tepung (Afrisanti, 2010).
Pembuatan nugget memerlukan bahan pembantu yaitu garam, bawang putih
dan merica (Aswar, 2005). Garam merupakan komponen bahan makanan yang
ditambahkan dan digunakan sebagai penegas cita rasa dan bahan pengawet.
Penggunaan garam tidak boleh terlalu banyak karena akan menyebabkan terjadinya
penggumpalan (salting out) dan rasa produk menjadi asin. Konsentrasi garam yang
ditambahkan biasanya berkisar 2 sampai 3% dari berat daging yang digunakan
(Aswar, 2005).
Pemakaian bumbu dapat memperbaiki rasa dan aroma produk yang
dihasilkan. Bawang putih dan bawang bombay berfungsi sebagai penambah aroma
serta untuk meningkatkan citarasa produk. Bawang putih merupakan bahan alami
yang ditambahkan ke dalam bahan makanan guna meningkatkan selera makan serta
untuk meningkatkan daya awet bahan makanan (bersifat fungistotik dan fungisidal).
Bau yang khas dari bawang putih berasal dari minyak volatil yang mengandung
komponen sulfur (Palungkun et al, 1992).
Merica atau lada (Paperningrum) sering ditambahkan dalam bahan pangan.
Tujuan penambahan merica adalah sebagai penyedap masakan dan memperpanjang
daya awet makanan. Merica sangat digemari karena memiliki dua sifat penting yaitu
rasa pedas dan aroma khas. Rasa pedas merica disebabkan oleh adanya zat piperin
dan piperanin, serta chavicia yang merupakan persenyawaan dari piperin dengan
alkaloida (Rismunandar, 2003).
Pembuatan nugget ikan pun dilakukan proses pengukusan menyebabkan
terjadinya pengembangan granula– granula pati yang disebut gelatinisasi. Gelatinisasi
merupakan peristiwa pengembangan granula pati sehingga granula tersebut tidak
dapat kembali seperti keadaan semula (Winarno, 1997). Mekanisasi gelatinisasi,
diawali oleh granula pati akan menyerap air yang memecah kristal amilosa dan
memutuskan ikatan–ikatan struktur heliks dari molekul tersebut. Penambahan air dan
pemanasan akan menyebabkan amilosa berdifusi keluar granula, sehingga granula
tersebut hanya mengandung sebagian amilopektin dan akan pecah membentuk suatu
matriks dengan amilosa yang disebut gel (Winarno, 1997). Setelah dilakukan
pengukusan nugget sudah dapat di coating menggunakan tepung roti dan dapat
digoreng. Berikut ini hasil pengamatan yang nugget ikan yan g telah dilakukan.
Tabel 3. Hasil Pengamatan Nugget Ikan Mujair
Produk Warna Aroma Tekstur Rasa Gambar
Sebelum
Sebelum
digoreng:
digoreng:
kuning Asin sedikit
Nugget Empuk
Setelah khas Ikan pedas dan
Ikan Setelah
digoreng: khas ikan
digoreng:
kuning
empuk
kecoklatan
(Sumber: Dokumentasi pribadi, 2017)

Berdasarkan hasil pengamatn dihasilkan nugget ikan mujair dengan warna


kuning sebelum digoreng dan kuning kecoklatan setelah digoreng. Warna kuning
sebelum digoreng adalah warna bawaan dari tepung panir atau tepung roti yang
digunakan. Sedangkan, menurutwarna kuning kecoklatan setelah dilakukan
penggorengan Ketaren (1986) prubahan warna menjadi kecoklatan atau keemasan
disebabkan oleh reaksi pencoklatan (Maillard), Reaksi Maillard terjadi antara
protein, asam amino, dan amin dengan gula aldehida dan keton, yang merupakan
penyebab terjadinya pencoklatan selama pemanasan atau penyimpanan dalam waktu
yang lama pada bahan pangan berprotein.
Aroma yang dihasilkan oleh nugget ikan yaitu aroma khas ikan, aroma ini
berasal dari ikan yang digunakan dikarenakan aroma ikan yang cukup tajam. Tekstur
yang dimiliki oleh nugget ikan yaitu empuk sebelum dan sesudah penggorengan.
Tekstur yang diperoleh disebabkan oleh fomulasi anatra bahan dasar dan bahan
pengisi. Fungsi lain dari bahan pengisi adalah membantu meningkatkan volume
produk. Menurut Winarno (1997) pati terdiri atas dua fraksi yang dapat terpisah
dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak terlarut disebut
amilopektin. Fraksi amilosa berperan penting dalam stabilitas gel, karena sifat hidrasi
amilosa dalam pati yang dapat mengikat molekul air dan kemudian membentuk
massa yang elastis atau pun empuk. Rasa yang dihasilkan oleh nugget ikan mujair
yaitu sedikit pedas dan rasa khas ikan. Rasa sedikit pedas dapat terjadi dikarenakan
penambahan merica yang terlalu banyak.

1.4 Kerupuk
Kerupuk ikan tenggiri yang dihasilkan melalui proses pengukusan memiliki sifat
organoleptik sebagai berikut :
Tabel 4. Hasil Pengamatan Sifat Organoleptik Kerupuk Ikan Tenggiri
Perlakuan Warna Rasa Aroma Tekstur Gambar
Sebelum
Ketebalan 0,1 –
digoreng : abu-
0,3 cm : cukup
abu Hambar, Ikan
Pengukusan renyah
Setelah tepung tenggiri
Ketebalan 0,5 –
digoreng : abu
0,7 cm : alot
kekuningan
(Sumber : Dokumentasi pribadi, 2017)

Kriteria mutu kerupuk ditinjau dari aspek sifat fisik meliputi warna, aroma,
rasa dan tekstur. Kerupuk yang baik yaitu harus sesuai dengan syarat mutu kerupuk
ikan dari SNI 01-2713-1992 dimana kerupuk yang baik memiliki warna kuning
kecokelatan. Warna kerupuk dipengaruhi oleh warna tepung yang digunakan. Aroma
kerupuk didapat dari bahan yang digunakan, yang memberikan aroma tersendiri.
Untuk kerupuk ikan aroma yang baik memiliki aroma khas kerupuk ikan. Rasa
kerupuk yang baik adalah gurih dan sesuai dengan bahan yang
digunakan dalam pembuatan kerupuk. Rasa kerupuk ikan yang baik memiliki rasa
khas kerupuk ikan (bahan dasar). Tekstur kerupuk yang baik adalah kerenyahan yang
baik, volume mengembang yang baik dan penampakan menarik (BSN, 1992).
Berdasarkan hasil pengamatan (tabel 1), kerupuk ikan tenggiri yang dihasilkan
yaitu memiliki warna abu-abu (sebelum digoreng) dan abu kuning kecoklatan (setelah
digoreng), dan beraroma ikan tenggiri, namun sifat organoleptik kerupuk ikan
tenggiri yang tidak sesuai dengan standar dari segi rasa yaitu hambar yang
diakibatkan kurangnya penambahan rempah, dan dominan rasa tepung, dengan
tekstur pada ketebalan 0,1 – 0,3 cm cukup renyah, namun pada ketebalan 0,5 – 0,7
cm alot dan secara keseluruhan kurang mengembang.
Warna kerupuk ikan tenggiri dipengaruhi oleh warna tepung sagu dan bahan
dasarnya yaitu ikan tenggiri. Aroma kerupuk sangat dipengaruhi oleh aroma ikan
tenggiri yang cukup kuat, namun dari segi rasa kerupuk ikan tenggiri tersebut yaitu
hambar dan dominan rasa tepungnya. Hal ini disebabkan karena presentase tepung
sagu yang ditambahkan berlebihan dan kualitas tepung sagunya juga mempengaruhi
sedangkan dari segi tekstur sangat dipengaruhi oleh tingkat ketebalan kerupuk karena
semakin tebal kerupuk semakin lama untuk kering sehingga saat digoreng menjadi
alot dan tidak mekar atau mengembang seperti pada kerupuk umumnya selain karena
faktor pengirisan tekstur juga dipengaruhi oleh lama pengukusan dan bahan-bahan
yang ditambahkan seperti tepung sagu, telur, dan air.
Menurut Ratnawati (2013), warna kerupuk tidak putih jika tepung yang
digunakan tidak berwarna putih. Tekstur kerupuk menjadi kasar jika tepung yang
digunakan tidak halus atau butirannya kasar dan adanya benda-benda asing seperti
kerikil. Soda kue dapat mempengaruhi pengembangan kerupuk, serta membuat
tekstur kerupuk menjadi lebih renyah. Apabila soda kue yang dipergunakan melebihi
dari takaran, maka akan mengakibatkan rasa kerupuk menjadi pahit, teksturnya keras.
Jika dalam pengirisannya terlalu tebal maka tekstur kerupuk akan menjadi keras. Jika
terlalu tipis maka tekstur kerupuk manjadi cepat pecah. Hal ini sesuai dengan
pendapat Ratnawati (2013), dimana adonan yang diiris terlalu tebal akan
membutuhkan waktu pengeringan yang lama selain itu pada waktu digoreng kerupuk
tidak akan mengembang secara maksimal sedangkan adonan yang diiris terlalu tipis
ketika kondisi kerupuk sudah kering akan mudah patah.
Kualitas kerupuk menurut Lies (2005), dipengaruhi oleh beberapa faktor antara
lain : bahan baku, jumlah penggunaan bumbu, lama pengukusan, pengirisan, lama
pengeringan penggorengan dan pengemasan kerupuk. Bahan-bahan lain yang
ditambahkan diantaranya yaitu bumbu seperti gula, garam, dan merica, tepung sagu
sebagai pengikat dan memperbaiki tekstur, air, telur, dan soda kue.
Telur yang ditambahkan pada pembuatan kerupuk ikan tenggiri dimaksudkan
untuk meningkatkan gizi, rasa, dan bersifat sebagai pengemulsi serta pangikat
komponen-komponen adonan. Telur juga berperan sebagai pengikat udara dan
menahannya sebagai gelembung. Penggunaan telur pada penggunaan kerupuk ikan
tenggiri akan mempengaruhi kemekaran kerupuk ikan tenggiri pada waktu digoreng
(Suman, 1983 dalam Subekti, 1998). Lecithine yang terkandung dalam telur akan
membantu memperlemas gluten tepung sagu. Sehingga produk kerupuk dari bahan
baku tepung sagu ini akan bersifat lebih halus, renyah serta berwarna seragam
kekuning-kuningan (Koswara, 2009).
Pemberian gula, merica dan garam dalam pembuatan kerupuk ikan tenggiri
terutama berperan sebagai penambah cita rasa dan pengawet, sedangkan bumbu dapat
meningkatkan aroma dan citarasa kerupuk. Bumbu lain yang dapat digunakan antara
lain bawang merah, bawang putih, ketumbar dan sebagainya tergantung dari citarasa
yang diinginkan (Astawan dan Astawan, 1988). Penambahan gula dan garam dapat
menambah umur simpan kerupuk. Karena kerupuk yang dibuat tidak menggunakan
bahan pengawet maka gula dan garamlah yang akan digunakan sebagi pengawet.
Bumbu yang digunakan sangatlah sederhana, tidak menggunakan bawang putih,
bawang merah, atau rempah yang kuat karena ingin menampilkan cita rasa khas ikan
tenggiri, tanpa ada aroma dan rasa lain yang lebih dominan. Fungsi utama air adalah
sebagai pembantu dalam pembentukan gluten pada tepung, melarutkan gula, garam
serta bahan-bahan lainnya agar bisa bercampur (Suzuki, 1981 dalam Subekti, 1998).
Karena rempah tidak banyak ditambahkan dengan tujuan rasa ikan tenggiri yang akan
dominan membuat rasa hambar dan tepung menjadi lebih dominan pada kerupuk ikan
tenggiri yang dihasilkan.
Suhu yang digunakan dalam pengukusan yaitu 1000C selama ±30 menit.
Apabila pengukusan terlalu lama atau terlalu cepat maka kualitas yang dihasilkan
tidak maksimal, misalnya bila pengukusan terlalu cepat maka pada tengah adonan
akan kelihatan putih karena belum matang, sehingga pada waktu digoreng
kerupuk tidak mengembang. Apabila pengukusan terlalu lama adonan akan
lembek sehingga akan mempengaruhi proses pengirisan (Ratnawati, 2013).
Granula pati sagu mempunyai daya mengembang yang tinggi yaitu 97 persen.
Hal ini diperlukan pada tahap pengembangan kerupuk. Jadi tepung sagu merupakan
bahan baku kerupuk yang potensial. Mutu kerupuk yang dihasilkan seperti volume
pengembangan, kerenyahan dan tingkat kesukaan konsumen terhadap rasa
dipengaruhi oleh mutu tepung yang memenuhi persyaratan organoleptik, seperti
penampakan putih, kering, bersih dan tidak berbau asam (Koswara, 2009). Sehingga
disimpulkan bahwa tekstur kerupuk ikan tenggiri sepenuhnya disebabkan oleh faktor
pengovenan yang kurang maksimal sehingga kerupuk yang dihasilkan tidak kering
(kadar air masih tinggi) dan tidak mekar atau mengembang. Menurut Koswara
(2009), untuk mendapatkan pengembangan volume kerupuk yang maksimum kadar
air yang terikat harus menyebar merata. Hal ini dapat dilakukan dengan
menghomogenkan adonan sehingga proses gelatinisasi terjadi secara sempurna dan
kandungan air tersebar secara merata (Koswara, 2009).
Pengembangan kerupuk merupakan proses ekspansi tiba-tiba dari uap air dalam
struktur adonan sehingga diperoleh produk yang volumenya mengembang dan porus.
Pada dasarnya kerupuk mentah diproduksi dengan gelatinisasi pati adonan pada tahap
pengukusan, selanjutnya adonan dicetak dan dikeringkan. Pada proses penggorengan
akan terjadi penguapan air yang terikat dalam gel pati akibat peningkatan suhu dan
dihasilkan tekanan uap yang mendesak gel pati sehingga terjadi pengembangan dan
sekaligus terbentuk rongga-rongga udara pada kerupuk yang telah digoreng
(Koswara, 2009).
Faktor keberhasilan dalam pembuatan kerupuk adalah dari tekstur atau
kerenyahannya dimana menurut Muliawan (1991), salah satu parameter mutu
kerupuk goreng adalah volume pengembangan sedangkan volume pengembangan
dipengaruhi oleh kadar air kerupuk mentah dan suhu penggorengan. Makin banyak
penambahan bahan bukan pati, makin kecil pengembangan kerupuk pada saat
penggorengan, dan pengembangan menentukan kerenyahannya (Haryadi et al., 1989
dalam Subekti, 1998). Kerenyahan kerupuk ikan tenggiri sangat ditentukan oleh
kadar airnya. Semakin banyak mengandung air, kerupuk ikan tenggiri akan semakin
kurang renyah (Wahyono dan Marzuki, 1996 dalam Subekti, 1998). Menurut
Muliawan (1991), kadar air yang terikat dalam kerupuk sebelum digoreng sangat
menentukan volume pengembangan kerupuk matang. Jumlah uap air yang terdapat
dalam bahan pangan ditentukan oleh lamanya pengeringan, suhu penggorengan,
kecepatan aliran udara, kondisi bahan dan cara penumpukan serta penambahan air
sewaktu pembuatan adonan pada proses gelatinisasi. Demikian pula jika prosentase
kandungan tepung lebih banyak disbanding ikan tenggirinya, maka daya kembang
kerupuk akan semakin berkurang. Sebaliknya bila perbandingan tepung dengan ikan
tenggiri seimbang maka daya kembang kerupuk akan semakin besar (Wahyono dan
Marzuki, 1996).

1.5 Bakso
Definisi bakso ikan menurut SNI 01-3819-1995 adalah produk
makanan berbentuk bulatan atau lain, yang diperoleh dari campuran daging ikan (kad
ar daging ikan tidak kurang dari 50%) dan pati atau serealia dengan atau
tanpa penambahan makanan yang diizinkan. Adapun jenis ikan yang banyak
digunakan seperti tenggiri, tuna, kakap, kerapu, dan lain sebagainya. Ikan yang
digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan bakso ikan dipilih dari jenis yang
memiliki kadar gizi dan kelezatan yang tinggi, tidak terlalu amis, dan benar-benar
masih segar.
Pemilihan daging ikan kerapu karena memiliki nilai ekonomis yang tinggi
dikarenakan ikan ini memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi. Menurut Mukadar
(2007) kandungan gizi ikan kerapu memiliki kandungan energi 92 kkl; protein
19,8%; kalsium 27%; air 79,2%; lemak 1,02% dan kolesterol 37%. Proses pembuatan
bakso ikan pada dasarnya sama saja dengan pembuatan bakso daging hanya berbeda
pada bahan baku utama yaitu daging ikan sehingga dapat mempengaruhi organoleptik
yang dihasilkan. Penggilingan daging ikan ditambahkan es batu, Winarno dan
Rahayu (1994) proses penggilingan daging perlu ditambahdengan es sebanyak 29 %
dari berat daging untuk mempertahankan suhu rendah akibat gesekan mesin giling
(chopper), serta untuk menghasilkan emulsi yang baik. Pencampuran adonan
dipertahankan suhunya untuk mempertahankan stabilitas adonan, maka suhu adonan
tidak melebihi 20 oC. Pada waktu pembuatan adonan, suhu adonan dapat mencapai
lebih dari 20 oC karena gesekan antara daging dengan alat penghalus daging (cutter,
mixer, alat pengemulsi lemak) yang mengakibatkan terhambatnya ekstraksi protein
serabut otot sehingga terjadi koagulasi protein (Pisula, 1984). Setelah adonan
terbentuk kemudian dilakukan pemanasan. Adapun diagram alir pembuatan bakso
ikan sebagai berikut :

Ikan kerapu

Diambil bagian daging

Masukkan kedalam food processor

Tambahkan garam, Penggilingan dan pencampuran hingga


bumbu,es, dan lembut dan halus
tepung tapioka

Cetak bakso

Pemasakan
Masukkan kedalam air hangat 70oC
1 L air

Angkat sampai mengapung

Rebus hingga matang 100oC selama 15 menit

Pendinginan dan penyimpanan

Gambar 3. Diagram alir pembuatan bakso ikan


(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2017)
Penerapan prosedur diatas dengan praktikum sama. Pengaruh pemasakan ini
terhadap adonan bakso adalah terbentuknya struktur produk yang kompak. Berikut
merupakan hasil pengamatan pada baso ikan.
Tabel 5. Hasil Pengamatan Bakso Ikan.
Karakteristik Hasil
Rasa Ikan
Aroma Daging ikan
Tekstur Kenyal
Warna Putih agak abu

Gambar

(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2017)

Karakteristik organoleptik yang dihasilkan dipengaruhi oleh pemanasan.


Pengolahan daging yang disertai pemanasan akan menyebabkan perubahan dalam
penampakan, flavor, tekstur dan kandungan nutrien. Perubahan drastis selama
perebusan seperti pengkerutan dan pengerasan jaringan disebabkan oleh perubahan
protein otot. Pemanasan sampai 40oC tidak memberikan pengaruh yang berarti pada
sifat mekanik daging. Pemanasan dibawah 60 oC secara perlahan dimana kolagen
dapat menyusut, tidak meningkatan keempukan. Pada suhu yang lebih tinggi dapat
terjadi koagulasi yang hebat sehingga kehilangan berat yang mencolok (Schmidt
1988 dikutip Ariffianto, 2010). Pengolahan dengan panas mengakibatkan kehilangan
beberapa zat gizi. Semua perlakuan pemanasan harus dioptimasi untuk
mempertahankan nilai gizi dan mutu produk serta menghancurkan mikroba (Buckle
et al. 1987 dikutip Ariffianto, 2010)
Berdasarkan hasil pengamatan dihasilkan rasa dan aroma ikan. Hal ini
dipengaruhi karena perbandingan daging ikan yang digunakan lebih banyak
dibanding dengan yang lain sehingga menghasilkan rasa yang menonjol pada ikan.
Adapun fungsi-fungsi penambahan bahan-bahan yang lainnya. Menurut Putri (2001)
dikutip dikutip Ariffianto, (2010), bahan pengisi yang biasa digunakan pada
pembuatan bakso bukan tepung berprotein melainkan tepung berpati, misalnya
tepung pati singkong (tapioka) dan tepung pati aren. Bahan-bahan tersebut memiliki
kadar karbohidrat yang tinggi, sedangkan kadar proteinnya rendah. Garam berfungsi
sebagai pemberi rasa, pelarut protein dan pengawet (Wibowo 1999 dikutip Ariffianto,
2010). Garam selain berfungsi untuk memberikan flavor, juga berfungsi terutama
untuk melarutkan protein myosin yang berperan sebagai emulsifier utama dan
meningkatkan daya ikat air (Forrest et al. 1975 dikutip Ariffianto, 2010). Gula lebih
banyak berperan memberikan citarasa dari pada mengawetkan produk. Meskipun
demikian pemakaian gula akan menyebabkan bakteri-bakteri asam berkembang
terutama bakteri-bakteri yang dapat memfermentasi gula menjadi asam dan alkohol.
Dengan timbulnya asam dan alkohol diharapkan akan dapat memperbaiki citarasa
produk (Hadiwiyoto, 1993). Bawang merah dan bawang putih sebagai bumbu yang
menambah citarasa serta nilai gizi, dan penambahan lada adalah sebagai pemberi
aroma sedap, menambah kelezatan, dan memperpanjang daya awet makanan (Sarpian
1999 dikutip Ariffianto, 2010).
Tekstur yang dihasilkan kenyal. Komponen daging yang berperan besar dalam
pembentukan tekstur dalam pembuatan bakso adalah protein. Fungsi protein disini
sebagai pengikat lumatan daging selama pemasakan sehingga membentuk struktur
kompak, selain itu juga berfungsi sebagai emulsifier (Winarno dan Rahayu 1994)
serta berperan terhadap daya penahanan air daging, dimana protein akan membentuk
jaringan yang rigid selama pemasakan yang mampu menahan air di dalam jaringan
tersebut (Hadiwiyoto, 1993). Menurut Pearson dan Tauber (1984), kondisi tekstur
dan keempukan produk akhir dari produk emulsi daging dipengaruhi oleh kandungan
air yang ditambahkan. Forrest et al. (1975) dikutip Ariffianto (2010) menyatakan
bahwa fungsi penambahan es pada pembuatan produk daging seperti bakso adalah
untuk mempertahankan suhu daging agar tetap rendah selama penggilingan daging
dan pembuatan adonan (emulsifikasi).
Warna yang dihasilkan putih sedikit abu, hal ini karena warna daging pada
ikan kerapu putih sehingga mempengaruhi hasil bakso. Hal ini terjadi karena
penggunaan tepung tapioka dan ikan yang digunakan. Menurut Aprilianingtyas
(2009), komposisi zat gizi tepung tapioka cukup baik sehingga mengurangi kerusakan
,juga digunakan sebagai bahan bantu pewarna putih. Menurut Junaidi dalam Irene
Yulientin (2006), daging putih yang memiliki kandungan myoglobin rendah
mengakibatkan warna produk yang makin terang. Sedangkan warna daging merah
mendominasi warna produk gelap atau tidak cemerlang.

1.6 Bandeng Presto


Ikan bandeng merupakan salah satu komoditas yang sangat mudah
mengalami kerusakan menurut Botta dan Shahidi (1994) sehingga sangat diperlukan
proses pengolahan sekaligus pengawetan untuk meningkatkan umur simpan dari
ikan bandeng tersebut. Mudahnya ikan bandeng mengalami kebusukan dapat
diakibatkan oleh kandungan gizi pada ikan bandeng yang cukup lengkap. Ikan
bandeng memiliki kandungan gizi yang sangat baik dan digolongkan sebagai ikan
berprotein tinggi dan berlemak rendah. Adapun nilai gizi ikan bandeng per 100
gram berat ikan mengandung 129 kkal energi, 20 gram protein, 2,8 gram lemak, 150
gram fosfor, 20 gram kalsium, 2 mg zat besi, 50 SI vitamin A, 0,05 gram vitamin B1
dan 74 gram air (Saparinto, 2007).
Salah satu pengolahan dan pengawetan ikan segar adalah mengubah ikan
segar tersebut menjadi suatu produk baik produk setengah jadi maupun produk yang
siap dikonsumsi. Pengolahan ikan segar seperti ikan bandeng dapat dilakukan
dengan mengubahnya menjadi bandeng presto atau bandeng duri lunak.
Bandeng presto menurut SNI No: 4106.1-2006 adalah produk olahan hasil
perikanan dengan bahan baku ikan utuh yang mengalami perlakuan sebagai berikut:
penerimaan bahan baku, sortasi, penyiangan, pencucian, perendaman,
pembungkusan, pengukusan, pendinginan, pengepakan, pengemasan, penandaan,
dan penyimpanan. Bandeng duri lunak merupakan salah satu jenis diversifikasi
pengolahan hasil perikanan terutama sebagai modifikasi pemindangan yang
memiliki kelebihan yaitu tulang dan duri dari ekor sampai kepala lunak sehingga
dapat dimakan tanpa menimbulkan gangguan duri pada mulut (Arifudin, 1988).
Pengolahan bandeng duri lunak atau bandeng presto dapat dilakukan dengan
du acara yakni cara tradisional dan cara modern. Cara tradisional dilakukan dengan
menggunakan prinsip pemindangan. Dalam proses pemindangan, ikan diawetkan
dengan cara mengukus atau merebusnya dalam lingkungan bergaram dan
bertekanan normal, dengan tujuan menghambat aktivitas atau membunuh bakteri
pembusuk maupun aktivitas enzim (Afrianto dan Liviawaty, 1989) sedangkan cara
modern dilakukan menggunakan autoclave untuk memasak.
Praktikum kali ini menggunakan ikan bandeng sebagai bahan utamanya. Baha
lain yang digunakan adalah air, asam jawa, bawang merah, bawang putih, garam,
kemiri, kunyit, ketumbar,jahe, daun salam, daun jeruk purut, dan lengkuas. Alat yang
digunakan pada praktikum kali ini berupa baskom, daun pisang, mutu, coet, pressure
cooker, piring, pisau tajam (stainless steel), sendok, dan talenan.
Praktikum kali ini menggunakan metode eksperimental dikarenakan
percobaan selama penambahan bahan-bahan pembuatan bandeng presto dengan
takaran tertentu serta suhu pressure cooker tertentu.
Pembuatan bandeng presto terdiri atas tiga tahapan utama yakni pengirisan,
pelumuran bumbu, dan pemasakan menggunakan pressure cooker. Ketiga proses
tersebut dikombinasikan dan menghasilkan bandeng presto yang memiliki umur
simpan yang lebih lama dari ikan bandeng segar.
Tahap penyiangan merupakan salah satu tahapan persiapan bahan. Tahapan
ini dilakukan agar didapatkan ikan bandeng yang sudah bersih dari jeroan-jeroannya.
Hal ini dikarenakan, jeroan pada ikan bandeng dapat mengganggu cita rasa dan aroma
yang dihasilkan setelah proses pemasakan menggunakan pressure cooker. Tahap
penyiangan juga bertujuan untuk memperlambar proses pembusukan karena isi perut
ikan bandeng telah dibuang. Isi perut ikan bandeng merupakan sumber kontaminasi
bakteri patogen. Siregar (1995) menyatakan bahwa pembelahan dengan penyiangan
atau pembelahan dari anus hingga mendekati insang dimaksudkan agar setelah isi
perut dibuang, perutnya tidak tampak terlalu kempes serta bekas sobekan tetap utuh
dan teratur rapi sehingga ikan seolah tampak utuh tanpa sobekan.
Tahap pelumuran bumbu bertujuan untuk memberikan cita rasa, aroma, dan
zat pengawet alami sehingga dihasilkan bandeng presto yang sesuai. Devina (2015)
menyatakan bahwa tujuan pemberian bumbu berperan sebagai pemberi cita rasa,
bakterostatik, dan germisidal yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri serta
khamir sehingga mampu memperpanjang umur simpan bandeng presto. Bumbu yang
dihaluskan terdiri atas garam, bawang merah, bawang putih, kunyit, jahe, lengkuas,
ketumbar, kemiri, dan asam jawa.
Tahap penyusunan ikan bandeng secara selang seling pada pressure cooker
dilakukan agar panas dan tekanan yang terdapat pada ikan dapat merata secara
sempurna. Penyusunan ikan dilakukan diatas daun pisang yang berfungsi sebagai alas
dan dalam air pada pressure cooker ditambahkan daun salam serta jeruk purut yang
berperan sebagai antimikroba. Selain itu, pada tahap ini dilakukan juga penambahan
garam guna menambah cita rasa dan sebagai pengikat air sehingga bandeng yang
telah dipresto tidak terlalu lembek akibat kadar air yang tinggi. Selain itu, menurut
Wahyuningsih (2002) penambahan garam akan menghambat atau menghentikan
sama sekali aktivitas enzim dan bakteri yang berperan dalam proses penurunan mutu
ikan.
Tahapan pemasakan dilakukan selama 1-1,5 jam menggunakan pressure
cooker. Pressure cooker akan melunakkan duri ikan bandeng akibat adanya uap
panas bertekanan tinggi. Uap panas yang bertekanan tinggi juga berfungsi untuk
menghentikan aktivitas mikroorganisme pembusuk dan melunakan kerasnya tulang
ikan. Tulang ikan menjadi lunak, rapuh, dan mudah hancur akibat senyawa organik
pada tulang ikan yakni serabut-serabut kolagen menjadi larut (Soesetiadi, 1977).
Suhu yang digunakan pada pressure cooker sekitar (115 - 121°C), dengan tekanan 1
atmosfr. Tahap terakhir dari pembuatan bandeng presto adalah tahap pendinginan dan
tahap pengemasan. Tahap pendinginan dilakukan untuk menghindari terbentuknya
uap air pada bahan pengemas. Bahan kemasan yang biasa digunakan untuk
mengemas bandeng presto adalah kemasan plastik.
Tabel 6. Hasil Pengamatan Organoleptik Bandeng Presto
Produk Warna Aroma Tekstur Rasa Gambar

Bandeng Putih Rempah-


Lunak Hambar
Presto kekuningan rempah

(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2017)


Hasil pengamatan pada Tabel 1, menunjukkan bahwa bandeng presto atau
bandeng duri lunak yang dibuat berwarna putih kekuningan, beraroma rempah-
rempah, bertekstur lunak, dan bercita rasa hambar. Terdapatnya warna kuning pada
bandeng presto dihasilkan oleh pigmen alami pada kunyit yakni pigmen curcumin.
Pigmen curcumin tidak larut dalam air sehingga saat pemasakan dan terbentuk uap air
tidak melarutkan pigmen curcumin sehingga warna kuning tetap dihasilkan (Sukarti
dan Mardawati, 2008).
Aroma rempah-rempah didapatkan karena adanya pelumuran bumbu-bumbu
sebelum dimasukkan ke dalam pressure cooker. Aroma rempah-rempah tersebut
merupakan hasil akumulasi aroma dari bawang putih, bawang merah, kunyit,
lengkuas, jahe, ketumbar, kemiri, dan asam jawa serta aroma dari daun salam dan
daun jeruk purut.
Tekstur yang lunak dihasilkan akibat pengaruh pemanasan menggunakan suhu
tinggi dan tekanan yang mencapai 1-2 atmosfer. Pemasakan presto dengan
menggunakan uap bertekanan tinggi akan dapat melunakkan duri sehingga duri ikan
akan menjadi rapuh dan mudah hancur, namun bentuk ikan masih seperti aslinya
(Achyadi, 2001).
Cita rasa yang dihasilkan dari bandeng presto adalah hambar. Hal ini dapat
disebabkan karena tidak direndamnya dalam larutan bumbu tetapi hanya dilumuri
saja. Perendaman dalam larutan bumbu dapat menyebabkan penyerapan cita rasa
berjalan secara maksimal. Perendaman dalam larutan bumbu yang lama akan
menyebabkan cita rasa pada ikan bandeng akan semakin terasa dan merata pada
setiap bagian.
Mutu bandeng presto yang dihasilkan cukup sesuai dengan mutu bandeng
presto menurut Saparinto (2007). Perbedaan yang mecolok dari mutu bandeng yang
dihasilkan dengan mutu berdasarkan literatur adalah aspek rasa. Rasa bandeng presto
pada parktikum terasa hambar sedangkan menurut literatur harus memiliki rasa yang
gurih, tidak terlalu asin, dan rasa asin yang merata pada setiap bagian.
Gambar 4. Kriteria Mutu Bandeng Presto Berdasarkan Penilaian Organoleptik
(Sumber: Saparinto, 2007)

1.7 Surimi
Produk perikanan memiliki sumber nutrisi yang sangat dibutuhkan oleh tubuh
terutama kandungan protein dan asam lemak tak jenuhnya. Mengkonsumsi produk
perikanan diharapkan memenuhi kebutuhan protein masyarakat. Produk perikanan
termasuk highly perishable food dikarenakan komposisi biokimiawinya. Kandungan
pada tubuh ikan yang didominasi oleh air, protein dan lemak menjadikan produk
perikanan cepat busuk atau mudah rusak setelah dipanen maupun ditangkap. Selain
faktor dari dalam tersebut, faktor luar seperti temperatur, ketersediaan oksigen,
cahaya, peralatan yang kurang saniter dan higienis, kesalahan penanganan bahan
baku dan lain sebagainya juga dapat mempengaruhi daya awet dan kesegaran produk.
Penanganan terhadap ikan segar perlu dilakukan agar ikan dapat disimpan
dalam jangka waktu yang lebih panjang sehingga ikan dapat tetap dapat dikonsumsi
secara praktis jika sewaktu-waktu diinginkan. Salah satu penanganan ikan ini dapat
dilakukan dengan cara pengolahan. Praktikum yang dilakukan kali ini adalgolaha
ikakn menjadi produk ikan setengah jadi yaitu surimi. Surimi merupakan istilah
dalam bahasa jepang untuk daging lumat dan jaringan yang akan dicuci. Surimi juga
dapat disebut sebagai olahan daging cincang yang telah mengalami beberapa kali
proses pencucian yang dimaksudkan untuk menghilangkan komponen yang larut air
seperti protein, sarkoplasma, darah dan enzim (Abdurachman, 1987; Uju, 2006, dan
Mahawanich, 2008).
Surimi yang baik adalah surimi yang memiliki warna putih, rasa yang baik
(khas ikan), dan kemampuan gel yang kuat. Surimi yang baik biasanya terbuat dari
bahan baku yang segar. Bahan baku yang digunakan untuk pembuatan surimi
biasanya merupakan bahan baku yang kurang memiliki nilai ekonomis tetapi tersedia
dalam jumlah yang banyak (Lanier, 1992). Surimi adalah protein myofibril yang
stabil yang terdapat dari daging ikan yang telah dipisahlan dari tulang dan kulitnya
kemudian digiling, setelah itu mengalami pencucian serta pencampuran dengan
cryoprotectant. Surimi juga merupakan produk antara yang dapat digunakan untuk
variasi produk lainnya seperti kamaboko, chikuwa, dan beberapa produk tradisional
lainnya. Sebelum tahun 1960, surimi disimpan dan digunakan dalam beberapa hari
saja, hal ini dikarenakan surimi hanya dapat disimpan pada suhu dingin pada lemari
es. Pada waktu itu proses pendinginan beku akan menyebabkan protein dalam daging
ikan akan keluar dan akan mengalami denaturasi pada akhirnya (Park, 2000).
Pada praktikum kali ini alat yang digunakan adalah pisau, meat chopper,
neraca massa, plastic PE lima buah, dan kain blacu. Bahan yang digunakan adalah 5
buah ikan nila segar ukuran sedang, garam dapur 100 gram untuk membuat larutan
garam 0,3%, air 600 ml, es batu 600 gram, dan air dingin 600 gram. Metode yang
digunakan adalah metode eksperimental dengan dilakukannya pembuatan produk
surimi oleh praktikan secara langsung serta mengamati hasil dari surimi yang telah
dibuat.
Ikan Nila
Pencucian
Pemfilletan ikan
Daging ikan Nila
Penimabangan

Penggilingan daging hingga halus


Perendaman dengan air dingin selama 10
menit
Peras dengan kain belacu

rendemen

Penimbangan

rendam dalam larutan garam selama 10 menit

peras dengan kain belacu

rendemen

Pengemasan dalam plastik PE

Pembekuan dalam freezer T= -37

Surimi

Gambar 4. Diagram Alir Pembuatan Surimi


(Sumber : Dokumentasi pribadi, 2017)

Ikan Nila hanya diambil bagian dagingnya saja, tanpa kulit, sisik, duri,
maupun jeroannya. Daging ikan kemuadian digiling atau dihaluskan menggunakan
meat chopper. Selama proses penggilingan daging ikan, ditambahkan es batu halus ke
dalam daging ikan agar terhindar dari denaturasi protein yang dapat disebabkan oleh
gesrakan alat yang dihasilkan. Kemudian daging surimi dilakukan pencucian atau
perendaman. Pencucian merupakan tahap paling penting dalam pembuatan surimi
agar dapat dihasilkan surimi dengan kualitas yang baik. Proses pencucian bertujuan
untuk menghilangkan protein sarkoplasma, darah, lemak dan kandungan nitrogen
lainnya dari daging ikan sehingga dihasilkan surimi tanpa bau, rasa dan warna serta
memiliki kekutan gel yang baik (Mahawanich, 2008). Proses pencucian surimi
dilakukan dengan cara mencampur air dan daging lumat kemudian digerakkan secara
mekanis. Pada praktikum kali ini pencucian dilakukan dengan perendaman dengan air
dingin dengan perbandingan daging ikan dan air 1:3 selama 10 menit. Pada tahap
perendaman akhir, air rendaman ditambahkan garam sebanyak 0,3%.Proses
pencucian yang dilakukan pada pembuatan surimi pada dasarnya dilakukan untuk
meningkatkan sifat elastik daging ikan, tetapi perlu juga diperhatikan pengaruhnya
terhadap nilai gizi ikan secara keseluruhan kadar air, pengawasan suhu pembekuan
dan penyimpanan serta kondisi penanganan dan distribusi (Fitrial, 2000).
Penentuan mutunya dilakukan dengan mengukur kekuatan gel dan penilaian
organoleptik yaitu uji lipat dan uji gigit (Tan et al., 1987). Salah satu cara yang
digunakan untuk mempertahankan mutu surimi adalah penanganan bahan baku yang
segar. Menurut Somjit et al., 2005, apabila terpaksa harus menunggu, maka bahan
baku harus disimpan dengan es atau air dingin (0-50C), kondisi saniter dan higienis.
Karakteristik kesegaran bahan baku yang digunakan untuk membuat surimi secara
organoleptik, memenuhi syarat sebagai berikut: Rupa dan warna (bersih, warna
daging spesifik daging ikan); Aroma (segar, spesifik jenis); Daging (elastis, padat dan
kompak); Rasa (netral agak manis). Berikut merupakan hasil pengamatan surimi yang
telah dibuat:
Tabel 7. Hasil Pengamatan Organoleptik surimi
Kondisi Warna Aroma Tekstur Rasa
Sebelum Lunak, sedikit
Khas Ikan -
didinginkan Putih kekuningan kenyal
Putih (agak
Setelah Sedikit aroma
kekuningan dari Kenyal, Padat Tawar
digoreng ikan
minyak)
(Sumber. Dokumentasi pribadi, 2017)

Berdasarkan hasil pengamatan di atas, didapatkan bahwa surimi yang


dihasilkan berwarna putih, aroma khas khas ikan, serta tekstur yang lunak namun
sedikit kenyal. Warna surimi yang dihasilkan berwarna putih. Warna putih ini berasal
dari warna ikan nila itu sendiri yang memang berwarna putih. ikan nila lebih banyak
memilki daging putih yaitu sebesar 24.23% daripada daging merah yang hanya ada
sekitar 2.92%. Hal ini menandakan bahwa ikan nila memilki kadar protein yang lebih
tinggi dan kadar lemak lebih rendah (Stansby dan Olcott 1963, diacu dalam
Trisnawaty 2008. Pada proses pembuatan surimi, hanya daging putih yang digunakan
karena mengandung protein miofibril sehingga tekstur yang daging yang dihasilkan
menjadi lebih kenyal.
Tekstur merupakan atribut utama dalam menentukan karakteristik fungsional
surimi yang berpengaruh terhadap kualitas akhir produk seafood berbasis surimi
(Kim et al., 2005). Kekuatan gel merupakan faktor penting dalam menentukan
kualitas surimi. Sifat-sifat gel surimi ini berkaitan dengan tekstur dan rheologi dari
produk tersebut. Tekstur yang dihasilka dalam praktikum ini adalah lunak dan sedikit
kenyal. Hal ini sesuai dengan pendapat Kanoni (2005), bahwa bahan tambahan garam
dapat membangkitkan rasa dan juga dapat membentuk gel protein dengan baik
bersama fosfat, sehingga produk yang dihasilkan teksturnya menjadi seragam.
Penambahan garam sangat berpengaruh dalam perubahan tekstur karena garam
melarutkan protein yang larut dalam garam. Protein yang larut dalam garam akan
berfungsi sebagai pengemulsi alami dalam pembentukan emulsi.
Aroma yang dihasilkan adalah khas ikan. Hal ini dikarenakan pembuatan
surimi dalam praktikum ini memang berbahan ikan dan tidak menggunakan bahan
campuran atau bahan tambahan, hanya adanya penambahan perendaman dengan air
garam. Oleh karena itu aroma yang dihasilkan pun murni aroma khas ikan yang dapat
dengan jelas tercium aromanya.
II. KESIMPULAN
1. Pempek yang sudah digoreng menghasilkan warna coklat muda yang
menandakan bahwa pempek tersebut sudah matang, beraroma gurih khas ikan
yang disebabkan dari aroma ikan tenggiri, memiliki tekstur keras agak kenyal
setelah digoreng, dan mempunyai rasa gurih yang disebabkan oleh
penambahan garam dan bumbu-bumbu lain serta rasa gurih dari daging ikan
tenggiri.
2. Warna dari otak-otak adalah putih kekuningan, memiliki aroma khas ikan
tenggiri, memiliki tekstur kenyal, dan mempunyai rasa sedikit hambar.
3. Pemanfaatan daging ikan mujair menjadi produk nugget merupakan salah satu
cara diverifikasi produk pangan dan menambah keragaman produk nugget.
4. Nugget ikan mujair dengan karakteristik warna kuning sebelum digoreng dan
kuning kecoklatan setelah digoreng, aroma ikan, tekstur yang empuk dan rasa
yang sedikit pedas dengan rasa khas ikan.
5. Kerupuk ikan tenggiri yang dihasilkan yaitu memiliki warna abu-abu
(sebelum digoreng) dan abu kuning kecoklatan (setelah digoreng), dan
beraroma ikan tenggiri, namun sifat organoleptik kerupuk ikan tenggiri yang
tidak sesuai dengan standar dari segi rasa yaitu hambar yang diakibatkan
kurangnya penambahan rempah, dan dominan rasa tepung.
6. Salah satu parameter mutu kerupuk adalah volume pengembangan yang
dipengaruhi oleh kadar air kerupuk mentah, sumber pati yang digunakan,
ketebalan kerupuk, homogenitas adonan, lama pengukusan, dan faktor
penggorengan.
7. Karakteristik bakso ikan yang dihasilkan adalah rasa dan aroma ikan, tekstur
kenyal, warna putih sedikit abu.
8. Bandeng presto atau bandeng duri lunak yang dibuat berwarna putih
kekuningan akibat adanya pigmen curcumin yang berasal dari kunyit.
9. Bandeng presto beraroma rempah-rempah akibat dilakukan pelumuran bumbu
halus yang telah diencerkan menggunakan air.
10. Tekstur lunak pada bandeng presto diakibatkan oleh pemasakan menggunakan
uap air bertekanan tinggi sedangkan cita rasa hambar yang hambar
diakibatkan oleh kurang lamanya pelumuran atau perendaman oleh larutan
bumbu.
11. Pembuatan surimi dilakukan dengan proses pengambilan daging ikan,
penghncuran daging, perendaman dalam esbatu, air dingin, dan air garam, dan
kemudian pemerasan hingga dihasilkan rendemennya saja dan kemudian
dikemas dengan platik PE.
12. Surimi yang dihasilkan berwarna putih, aroma khas khas ikan, serta tekstur
yang lunak namun sedikit kenyal. Proses perendaman atau pencucian sangat
menentukan karakteristik surimi yang dihasilkan.
DAFTAR PUSTAKA

Abdulrahman, 1987. Teknologi Pengolahan Surimi. Balai Bimbingan dan Pengujian


Mutu Hasil Perikanan. Jakarta.

Achyadi. N,S. 2001. Pengaruh Tekanan Dan Lama Pemasakan Pada Pembuatan Ikan
Mas Presto. Prosiding Seminar Nasional PATPI. Semarang.

Afrianti, M. 2011. Penambahan Tepung Sagu dengan Konsentrasi yang Berbeda


terhadap Mutu Bakso Daging Kelinci. Skripsi. Universitas Islam Negeri Sultan
Syarif Kasim Riau, Pekanbaru

Afrianto dan Liviawati. 1989. Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Kanisius.


Yogyakarta.

Afrisanti, D.W. 2010. Kualitas Kimia dan Organoleptik Nugget Daging Kelinci
dengan Penambahan Tepung Tempe. Skripsi. Program Studi Peternakan.
Fakultas Pertanian. Universitas Sebelas Maret, Surakarta

Amertaningtyas, D , 2000. Kualitas Nuggets Daging Ayam Broiler dan Ayam Petelur
Afkir Dengan Menggunakan Tapioka dan Tapioka Modifikasi Serta Lama
Pengukusan Yang Berbeda. Tesis. Program Pasca Sarjana . UB, Malang.

Ariffianto, 2010. Karakteristik Bakso Ikan Nila dengan Penambahan Karaginan


Semimurni. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Arifudin, R. 1988. Bandeng Presto dalam Kumpulan Hasil Penelitian Teknologi


Pasca Panen Perikanan. BPTP. Jakarta.

Aprilianingtyas, Yunita. 2009. Pengembangan Produk Empek-Empek Palembang


dengan Penambahan Sayuran Bayam dan Wortel sebagai Sumber Serat
Pangan.Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Astawan, M.W. dan Astawan, M. 1988. Teknologi Pengolahan Pangan Hewani Tepat
Guna. Akademika Pressindo, Jakarta.

Astawan, M. 2004. Tetap Sehat dengan Produk Makanan Olahan. Tiga Serangkai.
Solo.

Aswar. 2005. Pembuatan Fish Nugget dari Ikan Nila Merah (Oreochromis Sp.).
Skripsi. Teknologi Hasil Perikanan. Fakultas Perikana. Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Badan Standarisasi Nasional. 1992. Mutu dan Cara Uji Kerupuk. SNI 01-2713-1992,
Jakarta
Badan Standardisasi Nasional. 1995. Standar Nasional Indonesia. SNI 01-3819-1995.
Bakso Ikan. Jakarta

Badan Standardisasi Nasional. 2006. SNI 4106.1-2006: Bandeng Presto Bagian I.


Jakarta.

Botta, J. R. dan F. Shasidi. 1994. Seafoods: Chemistry, Processing Technology and


Quality. Blackie Academic and Proffesional. Glasgow.

Buckle, K. A., Edward, G. H. Fleet dan Wotton. 1987. Ilmu Pangan. Penerjemah H.
Purnomo dan Adiono. UI-Press, Jakarta

Devina, Dea. 2015. Proses Pengolahan Ikan Bandeng Duri Lunak (Presto) Di PT.
Bandeng Juwana-Elrina Semarang. Laporan Kerja Praktek. Program Studi
Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Katolik
Soegijapranata. Semarang.

Fitrial, Y. 2000. Pengaruh konsentrasi tepung tapioka, suh dan lama perebusan
terhadap mutu gel daging ikan cucut ayam (Carcharinus limbatus) (tesis).
Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. 143 pp.

Fellows, P. J. 1992. Food Processing Technology; Principles and Practice. Ellis


Horwood Limited, England

Ghufran, M. H. 2010. Pemeliharaan Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscogutattus)


di Keramba Jaring Apung. Akademia. Jakarta.

Hadiwiyoto, S. 1993. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. Liberty, Yogyakarta

Hasrayanti. 2013. Studi Pembuatan Bumbu Inti Cabai (Capsicum sp.) dalam Bentuk
Bubuk. Skripsi. Universitas Hasanuddin, Makassar

Hui, F. H. 1992. Encyclopedia of Food Science and Technology. John Willy and
Sons, Inc. USA

Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Cetakan ke VI.
2001. Universita Indonesia Press, Jakarta.

Koswara, Sutrisno. 2009. Pengolahan Aneka Kerupuk. Available At


Ebookpangan.com (Diakses pada Tanggal 11 Juni 2017)

Kramlich, W. E., A. M. Pearson, dan F.W. Tauber. 1973. Processed meats. Westport
Connecticut, The AVI Publishing Company, Inc.

Lanier TC. 1992. Measurement of surimi composition and fuctional properties. Di


dalam: Lanier TC, Lee CM, (editor). Surimi Technology. New York : Marcel.
Lies, Suprapti. 2005. Kerupuk Udang Sidoharjo. Kanisius, Yogyakarta.

Made. 2013. Pempek. Available at web.ipb.ac.id. (Diakses tanggal 8 Juni 2017)

Maghfiroh, I. 2000. Pengaruh penambahan bahan pengikat terhadap karaktristik


nugget dari ikan patin (Pangasius hypothalamus). Skripsi. Program Studi
Teknologi Hasil Perikanan. Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor,
Bogor.

Margono, T. D., Suryati, S., Hartinah. 2009. Pengolahan Tepung Tapioka. Available
at www.iptek.net.id. (Diakses tanggal 8 Juni 2017)

Matz, S. A. 1976. Snack Food Technology. The AVI Publ. Co. Inc. Wesport.
Connecticut

Mukadar, N. 2007. Analisis Kadar Protein Pada Ikan Kerapu Macan. Skripsi Jurusan
Kimia FKIP Universitas Darussalam. Ambon

Muliawan, D. 1991. Pengaruh Berbagai Tingkat Kadar Air terhadap Pengembangan


Kerupuk Sagu Goreng. Skripsi. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi. Fakultas
Teknologi Pertanian IPB, Bogor.

Muryanita. 1991. Mempelajari Pengaruh Pengemasan terhadap Perubahan Mutu


Dendeng Ikan Nila Merah (Oreochromis sp.) Selama Penyimpanan. Skripsi,
IPB, Bogor

Nurjanah, R. R. Nitibaskara, dan E. Madiah. 2005. Pengaruh Penambahan Bahan


Pengikat terhadap Karakteristik Fisik Otak-Otak Ikan Sapu-Sapu. Buletin
Teknologi Hasil Perikanan, Vol. VIII, Nomor 1

Padli, U. 2015. Profil Peurunan Mutu Otak-Otak Ikan Tenggiri (Scomberomorus


Commersonii) pada Berbagai Suhu Penyimpanan. Skripsi. Universitas
Hasanuddin, Makasar

Palungkun, R. dan A. Budiarti. 1992. Bawang Putih Dataran Rendah. Penebar


Swadaya, Jakarta

Pearson AM, Tauber FW. 1984. Processed Meats. Westport, Connecticut : The Avi
Publishing Co. Inc.

Pisula. 1984. Meat Processing. FAO Rome. Italy

Putra D. A. P. T. W. Agustini, dan I. Wijayanti. 2015. Pengaruh Penambahan


Karagenan sebagai Stabilizer terhadap Karakteristik Otak-otak Ikan Kurisi
(Nemipterus nematophorus). Jurnal Pengolahan dan Bioteknologi Hasil Ikan. 4
(2) : 1-10
Putri DE. 2001. Pengaruh pemanasan pada penangkapan ikan sapu-Sapu
(Hypostomus sp) terhadap mutu fisik bakso ikan yang dihasilkan. skripsi.
Institut Pertanian Bogor. Bogor

Rahayu, W. P., S. Maamoen, Suliantari, dan S. Fardiaz. 1992. Teknologi Fermentasi


Produk Perikanan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, IPB, Bogor

Rahayu, R.Y. 2007. Komposisi Kimia Rabbit Nugget dengan Komposisi Filler
Tepung Tapioka yang Berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan Universitas
Gajah Mada, Yogyakarta.

Railia, K. 2013. Difusivitas Panas dan Umur Simpan Pempek Lenjer. Jurnal
Keteknikan Pertanian. 27 (2) : 131-141

Ratnawati, Rose. 2013. Eksperimen Pembuatan kerupuk Rasa Ikan Banyar dengan
Bahan Dasar Tepung Komposit Mocaf dan Tapioka. Skripsi. Jurusan
Teknologi Jasa dan Produksi. Fakultas Teknik Universitas Negeri Semarang,
Semarang.

Rismunandar, M., N. Riski. 2003. Lada Budidaya dan Tata Niaga. Penebar Swadaya,
Jakarta.

Saparinto, Cahyo. 2007. Membuat aneka olahan bandeng. Penebar Swadaya. Jakarta.

Siregar, A.1995. Ikan Asin. Kanisius. Jakarta.

Soeparno. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. UGM Press, Yogyakarta

Soesetiadi. 1977. Taksonomi dan Kunci Indentifikasi Ikan, jilid I-II. Edisi II. Bina
Cipta Bogor. Bogor.

Subekti, E.I. 1998. Optimasi Perencanaan Produksi Industri Kerupuk Udang/Ikan di


Perusahaan Kerupuk Indrasari, Indramayu, Jawa Barat. Skripsi. Jurusan
Teknologi Pangan dan Gizi. Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Bogor.

Sukarti, Tati dan Efri Mardawati. 2008. Bahan Ajar Bahan Tambahan Pangan.
Universitas Padjadajaran, Jurusan Teknologi Industri Pangan, Fakultas
Teknologi Industri Pertanian, Jatinangor. Sumedang.

Sugito dan Ari Hayati. 2006. Penambahan Daging Ikan Gabus dan Aplikasi
Pembekuan pada Pembuatan Pempek Gluten. Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian
Indonesia Vol.8 No.2 : 147-151

Suyanti. 2008. Membuat Mie Sehat. Penebar Swadaya, Jakarta


Tan, S.M., Fujiwara, T., Kuang, H.K., Hase gawa, H. 1987. Handbook on the
Processing of Frozen Surimi and Fish Jelly Product in Southeast Asia.
Singapore: MFRD-SEAFDEC.

Wahyuningsih S, 2002. Penggunaan Natrium Benzoate Dan Kalium Sorbat Pada


Pengawetan Bandeng (Chanos chanos) Presto. Skripsi. Institut Pertanian
Bogor. Bogor.

Wibowo. 2006. Pembuatan Bakso Ikan dan Daging. Penebar Swadaya, Jakarta

Winarno, F. G., S. Fardiaz, dan D. Fardiaz. 1982. Pengantar Teknologi Pangan. PT.
Gramedia, Jakarta

Winarno, F. G. 1993. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Winarno FG, Rahayu TS. 1994. Bahan Tambahan Untuk Makanan dan Kontaminan.
Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.

Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Winarno, F. G. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Yulientin, Irene. 2006. Penambahan Nilai Chicken Carcass Meat (CCM) Melalui
Pengembangan Produk Baru Perkedel Ayam Berkalsium di PT. Chareon
Pokphand Indonesia-Chicken Processing Plant, Cikande-Serang. Skripsi.
Institut Pertanian Bogor. Bogor
Nama Asisten : Siti Hanifah Nurjanah
Tanggal Praktikum : 31 Mei 2017
Tanggal Pegumpulan : 14 Juni 2017

LAPORAN PRAKTIKUM
TEKNOLOGI PENGOLAHAN DAGING DAN IKAN

Disusun oleh :

Anita Wilatika P. 240210140008


Dwi Putri A. 240210140009
Mutia Aryanti T. 240210140010
Dewintha Syandi K. 240210140011
Ihsan Maulana D. 240210140020

UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PANGAN
JATINANGOR
2017

Anda mungkin juga menyukai