Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN PRAKTIKUM TEKNOLOGI PENGOLAHAN DAGING DAN

IKAN
Produk Olahan Ikan

Kelompok 7A
Gia Alif Aprilianti 240210140017
Alna Aisiyah S 240210140019
Firna Apriliani Shafira 240210140022
Ira Rahmawati H 240210140023
Rafi Farhan A 240210140045

UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PANGAN
JATINANGOR
2017
I. PEMBAHASAN
1.1 Abon Ikan
Ikan merupakan bahan pangan bergizi tinggi, namun cepat mengalami
proses pembusukan. Pengolahan ikan menjadi produk olahan merupakan salah satu
alternatif untuk memperpanjang masa simpan dengan penambahan bahan-bahan
kimia dan bumbu-bumbu. Salah satu produk olahan ikan adalah abon ikan.
Abon adalah suatu jenis makanan kering berbentuk khas, dibuat dari daging,
direbus, disayat-sayat, dibumbui, digoreng, dan dipres (BSN, 1995). Menurut
Suryani (2007), abon ikan adalah jenis makanan awetan dan terbuat dari ikan laut,
diberi bumbu, serta diolah dengan cara perebusan dan penggorengan. Abon ikan
mempunyai tekstur lembut, rasa gurih, aroma khas, dan mempunyai daya simpan
relatif lama. Karyono dan Wachid (1982) menyatakan bahwa abon ikan adalah
produk olahan hasil perikanan, dibuat dari daging ikan, melalui kombinasi dari
proses penggilingan, penggorengan, pengeringan dengan cara menggoreng, serta
penambahan bahan pembantu dan bahan penyedap terhadap daging ikan. Setiap
tahap dalam pembuatan abon harus diperhatikan. Selain itu, formulasi dalam
pembuatan abon harus tepat agar dihasilkan abon sesuai standar dan berkualitas
baik.
Prinsip pembuatan abon yaitu pengukusan daging ikan, penyeratan,
pencampuran bumbu, gula merah, garam, dan penggorengan dalam minyak sampai
kering. Menurut Sulthoniyah (2013), prinsip pengolahan abon merupakan suatu
proses pengawetan yaitu kombinasi antara pengukusan dan penggorengan dengan
menambahkan bumbu-bumbu. Selain itu, proses pembuatan abon merupakan
proses pengurangan kadar air dalam daging untuk memperpanjang proses
penyimpanan. Berikut merupakan prosedur pembuatan abon ikan :
Gambar 1. Diagram Alir Pembuatan Abon Ikan
(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2017)

Praktikum kali ini diawali dengan pembuatan suwiran daging. Sebanyak


500 gram daging ikan tuna fillet dipotong. Ikan yang digunakan untuk pembuatan
abon harus memiliki serat yang kasar dan tidak mengandung banyak duri (Leksono
dan Syahrul, 2001). Daging ikan dicuci dengan air mengalir hingga bersih,
kemudian dikukus selama 10 menit. Pengukusan daging pada pembuatan abon
berfungsi untuk melunakkan jaringan agar tekstur menjadi lebih empuk dan mudah
dicabik-cabik menjadi serat-serat halus. Pengukusan terlalu lama akan merusak
protein daging dan daging ikan menjadi hancur sehingga sulit untuk dilakukan
penyeratan. Suhu pengukusan tidak boleh terlalu tinggi. Suhu tinggi akan
menyebabkan penurunan mutu kenampakan dan tekstur bahan (Fachruddin, 1997).
Daging kemudian ditiriskan dan ditumbuk untuk memudahkan proses penyeratan.
Penumbukan tidak boleh terlalu keras karena dapat menghancurkan daging ikan.
Daging ikan kemudian dicabik-cabik menjadi serat-serat halus menggunakan
garpu.
Proses kedua yaitu pembuatan bumbu abon. Bumbu ini berfungsi untuk
memberi cita rasa pada abon. Semua bumbu seperti dalam gambar 1 dihaluskan,
kemudian ditumis hingga harum. Setelah harum, daun salam dan sereh dimasukkan.
Bumbu dalam pembuatan abon ini memiliki fungsi masing-masing, yaitu sebagai
berikut :
Bawang merah berfungsi sebagai bahan pengawet makanan dan memiliki aroma
kuat yang berasal dari kandungan volatile dan sulfur.
Bawang putih terutama digunakan untuk menambah flavor, sehingga produk
akhir mempunyai flavor menarik. Selain sebagai bumbu, bawang putih juga
dapat digunakan sebagai bahan pengawet produk (Wills, 1956).
Kemiri dimanfaatkan sebagai sumber minyak dan rempah-rempah.
Ketumbar dimanfaatkan karena beraroma tajam sehingga akan menghasilkan
aroma abon menjadi lebih nyata.
Garam berfungsi sebagai pengawet, penambah cita rasa dan untuk memperbaiki
penampilan tekstur (Assadad dan Bagus, 2011).
Lengkuas digunakan untuk memberikan aroma khas. Selain itu, lengkuas juga
berfungsi untuk menurunkan pH sehingga dapat menghambat pertumbuhan
mikroba pembusuk (Ulfa, 2012).
Gula merah berfungsi sebagai bahan pemanis dan sebagai pemberi warna
kecoklatan pada bumbu akibat reaksi karamelisasi. Peningkatan suhu dalam
pembuatan abon akan menyebabkan sukrosa pecah menjadi fruktosa dan
glukosa, kemudian akan bereaksi dengan asam amino (protein) daging
membentuk warna coklat pada abon.
Proses ketiga yaitu pembuatan abon. Pembuatan abon dimulai dengan
menambahkan santan kental ke dalam wajan, kemudian ditambahkan suwiran
daging dan bumbu abon. Peran santan sangat penting baik sebagai sumber gizi,
pemberi aroma, cita rasa, flavor, dan perbaikan tekstur bahan pangan hasil olahan.
Santan mengandung senyawa nonylmethylketon dan jika diberi suhu tinggi akan
bersifat volatil dan menimbulkan aroma harum dan khas.
Pemanasan dilakukan 2 kali sambil diaduk hingga campuran kering.
Pemanasan pertama dilakukan dengan prinsip pan frying yaitu proses
penggorengan bahan dengan menggunakan sedikit minyak dengan suhu permukaan
dapat mencapai lebih dari 100oC (Dewi, et al., 2011). Pemanasan kedua dilakukan
dalam cukup banyak minyak hingga campuran suwiran daging dan bumbu
terendam dalam minyak (deep frying). Penggorengan dilakukan sampai campuran
kering dan berwarna kecoklatan. Setelah itu, abon ditiriskan dan dihilangkan sisa
minyaknya dengan cara dipress karena sisa minyak akan menyebabkan ketengikan
pada abon. Abon ikan disajikan, kemudian diamati sifat organoleptik abon berupa
warna, aroma, tekstur, dan rasa.
Tabel 1. Sifat Organoleptik Abon Ikan
Warna Aroma Tekstur Rasa Gambar
Coklat Santan Berpasir, sedikit Asin,
sedikit putih lunak gurih
santan

(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2017)

Warna abon ikan pada praktikum yaitu coklat sedikit putih. Warna putih ini
berasal dari warna asli daging ikan dan akibat terlalu banyak penambahan santan.
Warna coklat pada abon disebabkan oleh reaksi browning akibat pengolahan oleh
panas. Ketaren (1986), menjelaskan bahwa permukaan lapisan luar akan berwarna
coklat keemasan akibat penggorengan. Warna pada permukaan bahan pangan
tergantung dari lama dan suhu menggoreng, serta komposisi kimia pada permukaan
luar dari bahan pangan tersebut. Warna abon sedikit putih disebabkan karena proses
penggorengan belum cukup untuk menghasilkan warna abon secara umum yaitu
berwarna coklat tua. Abon ikan memiliki aroma santan yang dominan karena
penambahan santan yang terlalu banyak. Hal ini disebabkan karena terjadi
kesalahan dalam urutan tahapan saat proses pencampuran antara daging, bumbu,
dan santan.
Abon ikan memiliki tekstur berpasir dan lunak. Tekstur berpasir terjadi
karena proses penggorengan dan penambahan minyak sehingga terasa kering ketika
dicicip. Tekstur lunak disebabkan karena proses penggorengan belum cukup untuk
membuat tekstur abon menjadi lebih kering. Rasa abon daging ikan pada praktikum
yaitu asin dan gurih santan. Rasa gurih disebabkan oleh penambahan minyak.
Minyak dalam proses penggorengan dapat memberikan rasa gurih serta
memperbaiki tekstur dan penampakan bahan pangan (Dewi dan Hidajati, 2012).
Selain itu, santan juga akan menambah rasa gurih karena kandungan lemak pada
santan cukup tinggi. Rasa asin disebabkan karena penambahan garam sebagai salah
satu bahan pemberi cita rasa. Standar Industri Indonesia No. 0368-80 menetapkan
syarat mutu untuk abon yaitu harus memiliki warna, aroma, dan rasa khas. Selain
itu, menurut SNI 01-3707-1995 mengenai syarat mutu abon disebutkan bahwa abon
harus memiliki bentuk, bau, rasa, dan warna normal. Berdasarkan hasil
pengamatan, abon hasil praktikum kali ini sudah memenuhi syarat mutu SNI dan
SII. Namun, berdasarkan warna abon ini kurang coklat karena proses penggorengan
belum cukup. Berdasarkan kenampakan, abon ini sudah membentuk serat-serat
halus seperti abon secara umum.

1.2 Nugget Ikan


Ikan merupakan hasil laut yang mudah dijumpai dengan harga yang cukup
terjangkau. Salah satu produk olahan ikan yang beredar dipasar ialah nugget.
Nugget merupakan produk ready to cook yang merupakan jenis olahan daging
restrukturisasi daging yang digiling dan di bumbui, kemudian diselimuti oleh
perekat tepung, pelumuran tepung roti, lalu dibekukan untuk mempertahankan
mutunya selama penyimpanan dan di goreng hingga matang (Tanoto dalam
Rossuartini, 2005). Nugget ikan merupakan salah satu produk hasil teknologi
pengolahan ikan yang memiliki nilai gizi baik serta harga yang terjangkau bila
dibandingkan dengan produk olahan ikan lainnya. Kandungan gizi nugget ikan
terdiri dari protein, lemak, karbohidrat, dan mineral.
Produk nugget yang dibuat yaitu dengan menggunakan daging ikan mujair,
yang dimana nugget ini merupakan suatu produk olahan daging berbentuk emulsi,
yaitu emulsi minyak di dalam air, seperti halnya produk sosis dan bakso. Nugget
dibuat dari daging giling yang diberi bumbu, dicampur bahan pengisi, kemudian
dicetak menjadi bentuk tertentu, dikukus, dipotong dan diselimuti perekat tepung
(batter) dan dilumuri tepung roti (breading). Selanjutnya digoreng setengah matang
dan dibekukan untuk mempertahankan mutunya selama penyimpanan (Made
Astawan, 2008 dalam Fitriasari (2010) dan pembentukan tekstur (Francis F. J., 2000
dalam Suharyono A. S. dan Susilawati, 2006).
Pembuatan nugget ikan mujair ini menggunakan daging ikan mujair sebagai
bahan utama. Pemilihn ikan mujair sebagai bahan baku pembuatan nugget ikan
karena kandungan protein dan asam lemak omega-3 tidak kalah tinggi dengan ikan
tenggiri, selain itu warna dagingnya yang putih juga akan berpengaruh pada daya
tarik nugget ikan itu sendiri. Bahan lain yang diperlukan dalam pembuatan produk
nugget ikan adalah bahan pengisi yang berfungsi sebagai penstabil emulsi,
meningkatkan daya ikat air, memperkecil penyusutan, menambahkan berat produk
dan menekan biaya (Usmiati dan Priyanti, 2012). Bahan pengisi merupakan fraksi
bukan daging yang biasa ditambahkan dalam pembuatan gel (Winarno dan Rahayu,
1994), biasanya memiliki kandungan karbohidrat tinggi, namun kandungan
proteinnya rendah (Rosyidi et al., 2008). Bahan pengisi yang biasa dipakai dalam
pembuatan nugget adalah roti tawar dan tepung tapioka karena murah dan mudah
diperoleh. Widyastuti (1998) menyatakan bahwa dalam pembuatan makanan,
tepung tapioka berfungsi sebagai bahan pengental (penstabil) dan pembentuk
tekstur. Berikut prosedur pembuatan nugget ikan yang dilakukan :

Gambar 2. Diagram Alir Pengolahan Nugget Ikan


(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2017)
Daging ikan seberat 100 gram dibersihkan bagian dalamnya dan dicuci
terlebih dahulu agar bersih dari kotoran yang masih menempel, pencucian
dilakukan dengan menambah garam untuk mengurangi aroma amis dari ikan
mujair. Tahap selanjutnya ikan dilakukan pengukusan selama 10 menit, hal ini
bertujuan untuk memudahkan saat pengambilan duri halus yang berada pada daging
ikan. Daging ikan kemudian digiling dan ditambahkan garam. Penambahan garam
saat penggilingan berguna untuk meningkatkan kerekatan pasta ikan, karena jika
dilakukan pada akhir penggilingan sifat kerekatan pasta ikan akan menurun
(Fitrisari, 2010). Tahapan selanjutnya yaitu ditambahkan bawang bombay, bawang
putih, dan telur, dan merica yang telah dihaluskan. Penambahan bumbu bumbu
tersebut berguna sebagai penambah rasa nugget.
Menurut Fitriasari (2010), telur memiliki sifat dapat mengikat udara
sehingga jika digunakan dalam jumlah banyak akan diperoleh produk yang lebih
mengembang. Putih telur dapat ditambahkan dalam jumlah secukupnya (sedikit)
untuk menghasilkan adonan yang lebih kompak hal ini dimanfaatkan pada proses
pemaniran. Penggunaan kuning telur tanpa putih telur akan menghasilkan produk
yang lembut tetapi strukturnya tidak sebaik jika digunakan telur utuh. Telur
membentuk warna, aroma, kelembutan dan berfungsi sebagai emulsifier alami.
Telur juga berfungsi membentuk struktur dan kekokohan. Di samping itu, telur juga
menambah nilai gizi pada produk akhir karena mengandung protein, lemak dan
mineral.
Bawang bombay, bawang putih, garam dan merica berfungsi sebagai bahan
pembantu dalam pembuatan nugget yang sengaja ditambahkan dengan tujuan untuk
meningkatkan konsistensi, nilai gizi, cita rasa, mengendalikan keasaman dan
kebasaan, serta untuk menetapkan bentuk dan rupa (Winarno, 1997).
Bahan kemudian ditambahkan bahan pengisi berupa tepung terigu dan
tepung roti. Bahan pengisi pada pembuatan nugget berguna untuk memperbaiki cita
rasa, meningkatkan daya ikat air, menurunkan penyusutan akibat pemasakan,
memberi warna yang terang, membentuk tekstur yang padat, menghemat biaya
produksi dan memperbaiki elastisitas produk (Tanikawa, 1998 dalam Suharyono A.
S. dan Susilawati, 2006). Bahan pengikat dan bahan pengisi dibedakan berdasarkan
kadar proteinnya. Bahan pengikat mengandung protein lebih tinggi daripada bahan
pengisi. Di samping itu, bahan pengisi umumnya hanya terdiri dari karbohidrat
(pati) saja. Bahan pengikat juga mampu mengemulsi lemak dan mengikat air,
sedangkan bahan pengisi hanya mampu mengikat air saja (Koswara, 1992).
Adonan selanjutnya langsung dibentuk dan diletakkan dalam loyang dan
dilanjutkan dengan pengukusan. Pengukusan dapat menginduksi protein sehingga
mengalami denaturasi yang menyebabkan strukturnya membuka dan
mengembalikan sebagian lipatannya membentuk jaringan yang berbeda dengan
struktur protein semula, yaitu jaringan tiga dimensi (Oakenfull, 1987 dalam
Fitriasari, 2010). Selain itu pengukusan dilakukan supaya adonan bagian dalam
nugget matang sempurna saat digoreng nantinya. Selain itu pengukusan yang
merupakan blansing dengan metode uap juga berfungsi untuk membunuh
mikroorganisme patogen dan membuat umur simpan nugget tersebut menjadi lebih
panjang, pada proses ini akan membuat granula pati pada adonan mengalami
gelatinisasi atau pengembangan sehingga tidak dapat kembali seperti semula, yang
mempengaruhi tekstur nugget yang dibuat tersebut.
Selanjutnya nugget yang telah dikukus kemudian di coating dengan
menggunakan 3 pelapis yang secara berturut-turut yakni tepung tapioka, telur dan
tepung panir. Coating untuk melindungi produk nugget dari dehidrasi selama
pemasakan dan penyimpanan. Tepung tapioka sebagai pelapis karena memiliki
kemampuan menyerap air, dalam suhu panas akan terbentuk gel sehingga dapat
digunakan untuk memperbaiki tekstur nugget (Mc William, 1997 dalam Fitriasari,
2010). Peran telur dalam tahap coating sama halnya pada adonan yaitu sebagai
pengikat antara tepung tapioka dan tepung panir yang membuat kesan renyah pada
nugget. Tepung panir atau tepung roti yang digunakan harus segar, berbau khas roti,
tidak berbau tengik atau asam, warnanya cemerlang, serpihan rata, tidak berjamur
dan tidak mengandung benda asing (BSN, 2002). Sehingga nugget yang dihasilkan
yaitu sesuai syarat mutunya dan berikut ini merupakan hasil pengamatan nugget
yang dibuat.
Tabel 2. Hasil Pengamatan Nugget Ikan
Kriteria Sebelum Penggorengan Setelah Penggorengan
Luar : kuning, pucat Luar : kuning kecoklatan
Warna
Dalam : putih Dalam : putih
Aroma Bombay, amis ikan Khas ikan
Tekstur Kenyal, empuk Cukup kenyal, dan empuk
Rasa Pedas + bombay Asin, sedikit pedas dan rasa ikan

Gambar

(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2017)

Berdasarkan hasil pengamatan diatas yaitu menunjukkan bahwa nugget


sebelum penggorengan memiliki warna bagian luar kuning pucat yang berasal dari
warna lapisan terluar yaitu tepung panir dan bagian dalam yang berwarna putih dari
adonan dan daging ikan yang telah dikukus. Aroma nugget masih berbau amis ikan
dan juga aroma bombay, dengan tekstur kenyal dan rasa pedas merica dan rasa khas
bombay. Setelah dilakukan penggorengan, warna nugget mengalami perubahan
menjadi lebih kuning kecoklatan. Hal ini karena proses penggorengan dengan
menggunakan minyak goreng yang dimana minyak goreng mengandung pigmen
karotenioda yang memberikan warna kuning pada minyak. Aroma nugget lebih
dominan aroma minyak goreng dan sedikit aroma ikan, sedangkan aroma bombay
menjadi berkurang dan bahkan sudah tidak terdeteksi dikarenakan aroma bawang
memiliki volatilitas yang tinggi sehingga menguap dengan tekstur yang cukup
kenyal. Tekstur nugget dipengaruhi kadar air dan protein bahan dasar. Semakin
tinggi kadar air dan protein maka tekstur nugget akan semakin kompak dan lunak
(tidak keras). Menurut Fardiaz, dkk. (1992) dalam Fitriasari (2010), air merupakan
komponen penting dalam bahan pangan karena air dapat mempengaruhi
kenampakan, tekstur serta cita rasa makanan. Rasa yang dihasilkan nugget ikan
yaitu asin dan sedikit pedas serta sedikit rasa ikan. Rasa asin dan pedas pada nugget
dihasilkan karena penambahan garam dan merica yang terlalu banyak.
Mutu olahan nugget ikan yang baik adalah ketika tekstur nugget ikan yang
dihasilkan adalah kenyal, rasa olahan nugget ikan tersebut gurih dan renyah karena
adanya proses penambahan tepung roti yang memberikan kerenyahan produk,
aromanya menunjukkan khas ikan serta berwarna kecoklatan setelah digoreng.
Persyaratan mutu nugget diatur dalam SNI 01-6683-2002. Berdasarkan hasil
pengamatan yang hanya mengamati dari aspek organoleptik saja dapat disimpulkan
bahwa nugget yang dibuat telah sesuai dengan SNI 01-6683-2002 dimana aroma,
rasa dan kekenyalan yang normal.
1.3 Bandeng Presto
Produk olahan hasil ikan yang dibuat adalah berasal dari ikan bandeng. Ikan
bandeng ini mempunyai ciri-ciri morfologi bentuk tubuh langsing mirip terpedo,
dengan moncong agak runcing, ekor bercabang dan sisiknya halus. Warnanya putih
gemerlapan seperti perak pada tubuh bagian bawah dan agak gelap pada
punggungnya (Mudjiman, 1998). Ikan bandeng merupakan suatu komoditas
perikanan yang memiliki rasa cukup enak dan gurih sehingga banyak digemari
masyarakat. Selain itu, harganya juga terjangkau oleh segala lapisan masyarakat.
Ikan bandeng digolongkan sebagai ikan berprotein tinggi dan berkadar lemak
rendah.
Bandeng presto adalah salah satu bentuk olahan ikan dengan prinsip
pemanasan bertekanan tinggi yang di campur atau dilumuri dengan bumbu-bumbu
sehingga tulang menjadi lunak (SNI No: 4106.1-2006). Berikut ini adalah diagram
alir pembuatannya:
Ikan Bandeng 578 gr

Penyiangan (ikan dibelah dari anus hingga


insang)

Pencucian

Pelumburan bumbu (15 gr garam, 12 gr


bawang merah, 6 gr bawang putih, 3 gr jahe,
5 gr kunyit, 7 gr lengkuas, 2 gr ketumbar, 3 gr
kemiri, 1,2 gr asam tanpa biji)

Penyusunan ikan secara selang - seling

Daun jeruk Pemasakan t: 1-1,5 jam


purut, garam
dan daun salam
Pendinginan T: ruang

Pengemasan

Gambar 3. Diagram Alir Pengolahan Bandeng Presto


(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2017)
Pengolahan ikan bandeng presto ini dimulai dengan penyiangan pada ikan
yaitu dengan membelah ikan dari mulai anus hingga insang ikan, kemudian dibuang
bagian insang dan isi perut ikan bandeng. Hal ini dilakukan agar kepala tidak
kempes setelah direbus. Isi perut dan kotoran-kotoran lainnya ditampung dalam
ember kecil. Penyiangan dilakukan agar proses pembusukan dapat diperlambat
karena isi perut merupakan sumber kontaminasi bakteri patogen. Menurut Siregar
(1995), pembelahan model ini dimaksudkan agar setelah isi perut dibuang, perutnya
tidak tampak terlalu kempes serta bekas sobekannya tetap utuh dan teratur rapi
sehingga ikan seolah tampak utuh tanpa sobekan. Lalu dilakukan pencucian dan
pelumuran bumbu dengan menghaluskan bawang merah, bawang putih, kemiri,
ketumbar, jahe, lengkuas, kunyit, garam dan asam tanpa biji dengan menggunakan
cobek dan dilarutkan dengan air. Pencucian pada ikan bandeng bertujuan agar
kotoran, darah, dan lendir yang menempel pada permukaan tubuh ikan hilang.
Menurut Irawan (1997), tujuan pencucian jugabertujuan untuk membebaskan ikan
dari bakteri pembusuk. Ikan yang sudah disiangi harus dicuci sampai bersih karena
sisa lendir maupun kotoran lain yang ada pada ikan dapat
mempercepat proses pembusukan Kemudian ikan bandeng dilumuri dengan bumbu
yang sudah dihaluskan dan disusun secara selang seling pada alas daun pisang dan
ditutup juga dengan daun pisang. Penyusunan ikan secara selang seling ini
ditambahkan dedaunan seperti daun jeruk purut dan daun salam agar tercipta bau
yang khas dan harum. Perlakuan selang seling itu dimaksudkan agar ikan teratur
rapi sehingga panci dapat menampung ikan lebih banyak dan mengurangi
kerusakan fisik ikan. Penggunaan daun pisang sebagai alas agar ketika dipresto,
bertujuan agar daging ikan tidak menempel. Kemudian disiapkan alat presto yang
akan digunakan, ditunggu hingga air yang ada dipresto mendidih, kemudian
dimasukkan ikan kedalam panci presto. Dilakukan pemasakan ikan bandeng
dengan panci presto selama 1,5 jam, dilakukan pendinginan dan pengemasan
dengan plastik PE (polyethylene). Penggunaan plastik polyethylene sudah benar
karena polyethylene bersifat tahan panas, penahan air yang baik selain juga murah
(Buckle et al., 1987). Ikan didinginkan dengan cara diangin-anginkan pada suhu
ruangan. Berikut ini adalah hasil pengamatannya:
Tabel 3. Hasil Pengamatan Ikan Bandeng Presto
Produk Warna Rasa Aroma Tekstur Gambar
Bandeng Putih Hambar Rempah Lunak
Presto Kekuningan

(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2017)

Berdasarkan hasil pengamatan, bandeng memiliki daging berwarna putih


kekuningan. Warna putih ini disebabkan oleh warna asli dari daging ikan sendiri
yang tidak memiliki banyak kandungan myoglobin seperti daging merah pada sapi.
Perbedaan utama antara daging putih dan daging merah adalah kandungan
pigmennya, dimana myoglobin menjadi pigmen utama yang terdapat pada daging
merah (Winarno, 1984). Warna kekuningan dihasilkan karena adanya penambahan
kunyit saat proses pelumuran bumbu. Kunir atau kunyit (Curcuma domestica Val.)
termasuk salah satu tanaman rempah dan obat asli dari wilayah Asia Tenggara.
Kunyit merupakan jenis temu-temuan yang mengandung zat aktif seperti minyak
atsiri dan senyawa kurkumin. Kandungan bahan kimia yang sangat berguna adalah
curcumin yaitu diarilhatanoid yang memberi warna kuning. Selain itu kandungan
kimianya adalah tumeron, zingiberen. (Bintang dan Nataamijaya, 2005).
Bandeng memiliki rasa yang hambar serta aroma rempah. Rasa hambar ini
dihasilkan karena penggunaan garam yang kurang saat dilakukan pelumuran bumbu
dan tidak ditambahkan lagi ketika ikan dimasak dengan panci presto. Garam adalah
senyawa ionik yang terdiri dari ion positif dan ion negatif, sehingga membentuk
senyawa netral. Garam terbentuk dari hasil reaksi asam dan basa. Garam dapur
merupakan sejenis mineral yang lazim digunakan oleh manusia, memiliki bentuk
kristal putih dan seringkali dihasilkan dari air laut. Biasanya garam dapur secara
umum adalah natrium chlorida. Garam berasal dari asam kuat dan basa kuat bersifat
netra (Teguh, 2008).
Aroma yang dihasilkan adalah aroma rempah dikarenakan banyak rempah
rempah yang dihaluskan untuk membubui ikan bandeng dan daun salam serta
daun jeruk purut yang ditambahkan utuh ketika pemasakan. Rempah yang
ditambahkan adalah sebagai berikut. Daun salam berupa warna kecoklatan, bau
aromatik lemah, rasa kelat. Daun tunggal bertangkai pendek, panjang tangkai daun
5-10 mm. helai daun berbentuk jorong memanjang, panjang 7-15 cm; ujung daun
dan pangkal daun meruncing, tepi rata; permukaan atas berwarna cokelat kehijauan,
licin, mengkilat; permukaan bawah berwarna coklat tua; tulang daun menyirip, 6
dan menonjol pada permukaan bawah dan tulang cabang halus (Depnear, 2000).
Kemiri (Aleurites moluccana) merupakan salah satu tanaman tahunan yang
termasuk dalam famili Euphorbiaceae (jarak-jarakan). Daunnya selalu hijau
sepanjang tahun dan menghasilkan buah kemiri yang merupakan bagian tanaman
yang bernilai ekonomis. Daging buahnya kaku dan mengandung 1-2 biji yang
diselimuti oleh kulit biji yang keras. (Sunanto, 1994). Lengkuas adalah rumpun
yang rapat. Batangnya tegak, tersusun oleh pelepah-pelepah daun yang bersatu
membentuk batang semu, berwarna hijau agak keputih-putihan. Batang muda
keluar sebagai tunas dari pangkal batang tua. Daun tunggal, berwarna hijau,
bertangkai pendek, tersusun berseling. (Sinaga, 2009). Bawang Merah (Allium cepa
L. Kelompok Aggregatum) adalah sejenis tanaman yang menjadi bumbu berbagai
masakan Asia Tenggara dan dunia. Bagian yang paling banyak dimanfaatkan
adalah umbi, meskipun beberapa tradisi kuliner juga menggunakan daun serta
tangkai bunganya sebagai bumbu penyedap masakan. Bawang merah mengandung
vitamin C, kalium, serat, dan asam folat. Bawang putih biasanya digunakan sebagai
bumbu yang mana dihacurkan terlebih dahulu dengan dikeprek sebelum dirajang
halus dan ditumis (Brewster, 1994). Jahe (Zingiber officinale), adalah tanaman
rimpang yang sangat populer sebagai rempah-rempah dan bahan obat. Rimpangnya
berbentuk jemari yang menggembung di ruas-ruas tengah. Rasa dominan pedas
disebabkan senyawa keton bernama zingeron (Harmono, 2005).
Selain itu bandeng presto memiliki tekstur yang lunak. Tekstur lunak
dihasilkan dari proses pengolahan yang dilakukan dengan menggunakan suhu
tinggi menggunakan panci presto. Presto merupakan sebuah peralatan memasak
yang dapat membuat masakan menjadi lebih cepat matang. Presto juga digunakan
utuk membuat daging dan tulang yang kecil menjadi empuk dan dapat dikonsumsi,
hal ini seperti yang dikemukakan oleh Cahyo (2007:24), Pada perebusan
menggunakan presto dilakukan dengan menggunakan tekanan tinggi sehingga
tulang-tulang kecil seperti pada Bandeng dapat menjadi lunak dan bisa
dikonsumsi. Selain itu panci presto juga menggunakan tutup yang rapat sehingga
uap air tidak dapat keluar. Proses pengolahan bandeng duri lunak dengan uap air
panas bertekanan tinggi menyebabkan tulang dan duri menjadi lunak. Selain itu uap
air panas yang bertekanan tinggi ini sekaligus berfungsi menghentikan aktifitas
mikroorganisme pembusuk ikan, kerasnya tulang ikan disebabkan adanya bahan
organik dan anorganik pada tulang. Bahan anorganik meliputi unsur-unsur kalsium,
phosphor, magnesium, khlor dan flour sedangkan bahan organik adalah serabut-
serabut kolagen. Tulang menjadi rapuh dan mudah hancur bila bahan organik yang
terkandung di dalamnya larut (Soesetiadi, 1977).
Proses pembuatan bandeng duri lunak dan kualitas sangat di pengaruhi oleh
lamanya waktu yang diperlukan untuk memasak, dapat mempengaruhi baik dari
cita rasa, tekstur maupun warna (Wibowo, 1996). Pada praktiknya pembuatan
bandeng presto merupakan salah satu bentuk pengolahan ikan untuk pengawetan
dan daya simpan yang lebih lama serta menambah cita rasa agar menarik para
konsumen selain itu sebagai bentuk dari diversifikasi pangan khususnya
pengolahan ikan. Pengolahan ikan bandeng relatif murah, mudah dilakukan dan
menggunakan bahan dan alat-alat yang cukup sederhana.

1.4 Pempek
Pempek merupakan produk hasil olahan ikan yang terbuat dari adonan ikan
dan tepung tapioka lalu diuleni menggunakan air es untuk membuat tekstur pempek
lebih kenyal lalu direbus, namun proses perebusan menyebabkan pempek mudah
berlendir dan tidak tahan lama (Winarno, 1993).
Prosedur yang dilakukan pada pembuatan pempek ini yaitu ikan tenggiri
dicuci ini bertujuan untuk menghilangkan kotoran berupa darah dan kotoran lain
yang dapat menimbulkan bau dan warna yang tidak diinginkan pada produk akhir.
Selanjutnya ikan digiling dengan penambahan es batu dan dicampurkan dengan
bahan-bahan yang sudah disediakan, antaranya garam, telur, gula, bawang putih,
dan tepung sagu. Menurut Kramlich et al (1973) penambahan es batu bertujuan
untuk memudahkan ekstraksi protein serabut otot, membantu pembentukan emulsi
dan mempertahankan suhu daging ikan agar tetap rendah selama penggilingan dan
pembuatan adonan. Penambahan garam bertujuan untuk membentuk larutan garam
yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba, memberi flavor dari bahan-bahan
yang digunakan, serta berfungsi sebagai pengikat (Hui, 1992). Tepung sagu
berfungsi sebagai daya ikat yang tinggi sehingga dapat mengurangi penyusutan saat
pengolahan dan membentuk struktur yang kuat. Setelah semua bahan-bahan
tercampur dan adonan sudah dibentuk tahap selanjutnya yaitu perebusan. Proses
perebusan bertujuan agar pati mengalami proses gelatinisasi sehingga granula pati
mengembang dan protein terdenaturasi. Pengembangan granula pati ini disebabkan
oleh molekul-molekul air melakukan penetrasi ke dalam granula dan terperangkap
dalam susunan molekul-molekul amilosa dan amilopektin. Berikut merupakan tabel
hasil pengamatan pembuatan pempek :
Tabel 4. Hasil Pengamatan Pembuatan Pempek
Warna Aroma Tekstur Rasa Gambar
Sebelum Gurih khas ikan Sebelum digoreng: Gurih
digoreng: keras
Putih kekuningan
Setelah digoreng:
Setelah digoreng: Keras agak kenyal
Cokelat muda
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2017)

Menurut Fellows (1992), perubahan warna dapat ditentukan oleh


penambahan bahan kimia dan perombakan enzim menjadi pigmen, perubahan dari
pigmen brown oleh aktivitas proteolitik dan produksi pigmen oleh mikroorganisme.
Warna pada pempek dapat berasal dari bahan utamanya yaitu daging ikan, bahan
pengisi dan bahan pengikat serta bahan-bahan yang ditambahkan (Soeparno, 1994).
Aroma yang dihasilkan dari pempek yang dibuat yaitu gurih khas ikan.
Aroma pempek dapat dipengaruhi oleh jenis, lama, dan temperatur
pemasakan, selain itu aroma pempek juga dapat dipengaruhi oleh bahan-bahan yang
ditambahkan selama pembuatan dan pemasakan produk terutama bumbunya.
Perubahan tekstur diakibatkan oleh kehilangan air atau lemak, pembentukan
atau kerusakan dari emulsi, hidrolisis dari polimer karbohidrat, koagulasi atau
hidrolisis protein (Fellows, 1992). Rasa yang dihasilkan dari pempek yang sudah
digoreng yaitu gurih. Rasa gurih ini disebabkan oleh penambahan garam dan
bumbu-bumbu lainnya serta rasa gurih dari daging ikan tenggirinya sendiri. Faktor
yang mempengaruhi rasa yaitu senyawa kimia, suhu, konsentrasi dan interaksi
dengan komponen rasa yang lain (Winarno, 2002).
1.5 Otak - Otak
Otak-otak merupakan produk emulsi yang memiliki tekstur kompak, elastis,
kenyal, tidak lembek, tidak basah berair, tidak rapuh dan tidak terdapat serat daging
(Wibowo, 1995 dikutip Padli, 2015).
Prosedur pembuatan otak-otak dilakukan dengan dua cara, yaitu
pengukusan dan perebusan. Prosedur yang digunakan pada praktikum ini adalah
pengukusan. Proses pembuatan otak-otak saat praktikum dimulai dengan sampel
yang difillet atau dipisahkan dari bagian kulit, duri, serta bagian-bagian yang tidak
penting. Proses selanjutnya adalah sampel ditimbang sesuai yang diinginkan, saat
praktikum berat ikan tenggiri yang digunakan sebanyak 300 gram, setelah itu dicuci
dengan air. Proses pencucian pada bahan makanan bertujuan untuk menghilangkan
kotoran yang menempel pada bahan baku, bekas darah maupun lendir. Pencucian
dengan air bersih dapat mengurangi jumlah bakteri yang ada (Hadiwiyoto, 1993).
Proses ketiga adalah penggilingan dengan adanya es batu 20%, tujuan dari proses
ini adalah melunakkan jaringan ikan dan proses penggilingan akan menghasilkan
panas, adanya penambahan es untuk mempertahankan agar suhu tetap dingin agar
protein yang ada pada ikan tidak terdenaturasi. Menurut Wibowo (2006)
menjelaskan bahwa penggunaan es sangat penting dalam pembentukan tekstur dan
suhu dapat dipertahankan tetap rendah sehingga protein daging ikan tidak
terdenaturasi akibat gerakan mesin penggiling dan es juga dapat meningkatkan
rendemennya. Es yang biasa digunakan sebanyak 10-15% dari berat daging atau
bahkan 30% dari berat daging (Wibowo, 2006). Penggilingan sebenarnya
dibutuhkan untuk ikan yang memiliki tekstur daging yang kasar, akan tetapi pada
praktikum digunakan ikan tenggiri yang memiliki tekstur daging yang halus.
Bumbu yang sudah dihaluskan dicampur dengan campuran putih telur dan
santan, lalu dikocok. Ikan yang sudah difillet dimasukkan dalam baskom, campuran
bumbu dimasukkan pula pada baskom lalu diaduk dengan tangan. Tepung sagu
ditambahkan sedikit demi sedikit pada adonan. Adona diaduk sampai kalis dan tidak
ada gumpalan dari tepung sagu. Proses selanjutnya, daun pisang dilakukan pelayuan
dengan api kecil untuk sebagai kemasan dari otak-otak. Otak-otak biasanya identik
dengan daun pisang yang menjadi kunci kelezatannya, karena bau khasnya menyatu
dengan bahan-bahan lain saat dibakar (Karim, dkk., 2013). Air mendidih disiapkan
untuk proses pengukusan. Adonan dicetak menggunakan tangan yang sebelumnya
diolesin minyak goreng agar tidak lengket saat dilakukan pencetakan. Otak-otak
dikukus selama 35 menit sampai tekstur otak-otak yang dihasilkan kenyal. Otak-
otak ikan siap dikonsumsi. Berikut ini merupakan diagram alir dari proses
pembuatan otak-otak ikan. Berikut merupakan tabel hasil pembuatan otak-otak :
Tabel 5. Hasil Pengamatan Organoleptik Otak - Otak
Produk Warna Aroma Tekstur Rasa Gambar
Otak-otak Putih Ikan Kenyal Setelah
Kekuningan tenggiri, dikukus:
khas agak
bumbu hambar

(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2017)

Warna putih kekuningan dari otak-otak disebabkan bahan baku yang


digunakan adalah ikan tenggiri yang memiliki warna putih. Warna pada makanan
dapat disebabkan oleh beberapa sumber diantaranya adanya pigmen, pengaruh
panas pada gula, adanya reaksi antara gula dan asam amino (Maillard), dan adanya
pencampuran bahan lain (Winarno, 1997 dikutip Nurjanah, dkk., 2005). Rasa yang
ditimbulkan dapat disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya penambahan
bumbu seperti garam, bawang putih, bawang merah, merica, gula, dan santan. Rasa
hambar pada produk otak-otak hasil praktikum ini dapat disebabkan karena
konsentrasi bumbu yang ditambahkan kurang sebanding dengan jumlah bahan baku
yang digunakan, yaitu sebanyak 300 gram ikan tenggiri fillet.
Aroma yang timbul pada produk otak-otak ini adalah khas ikan tenggiri,
dapat disebabkan karena jumlah ikan yang ditambahkan lebih banyak dibandingkan
jumlah bahan tambahan lain. Selain itu, aroma yang muncul disebabkan oleh
bumbu-bumbu seperti bawang putih yang memberikan aroma dan bau yang kuat
berasal dari minyak volatil yang mengandung komponen sulfur (Matz, 1976).
Bawang merah juga mempunyai aroma yang kuat dari minyal volatil (Wibowo,
2006).
Tekstur otak-otak kenyal, hal in disebabkan pati dari tepung sagu yang
mengalami gelatinisasi selama proses pengukusan sehingga membuat tekstur
menjadi liat dan kenyal (Putra dkk, 2015). Menurut Tjokroadikoesoemo dan
Subiyanto (1986) menjelaskan bahwa pembentukan tekstur yang kenyal pada otak-
otak ikan disebabkan oleh peranan amilopektin yang mempunyai sifat sangat jernih,
pasta dari amilopektin pada suhu normal tidak mudah menggumpal dan kembali
menjadi keras, memiliki daya perekat yang tinggi. Daging ikan yang berwarna putih
memiliki kandungan protein yang lebih baik. Kualitas dan kandungan protein ikan
dapat berpengaruh terhadap tingkat kekenyalan otak-otak (Suzuki, 1981 dikutip
Padli, 2015).

1.6 Kerupuk Ikan


Pengolahan kerupuk ikan tenggiri dilakukan dengan prosedur seperti pada
gambar 1. Pengolahan kerupuk ikan tenggiri ini diawali dengan filleting ikan
tenggiri, kemudian ikan tenggiri dihancurkan menggunakan food processor. Ikan
yang telah hancur kemudian dicampur dengan gula, garam, merica dan air sesuai
dengan persentase yang ditambahkan. Penggunaan gula, garam dan merica
bertujuan untuk menambah citarasa kerupuk, sedangkan tujuan penambahan air
ialah agar mempermudah proses pencampuran. Setelah itu, dilakukan proses
pencampuran kedua secara berturut-turut yakni tepung sagu, telur dan soda kue.
Tepung sagu berperan sebagai penyedia sakarida bagi proses pengolahan kerupuk
dimana sakarida dalam tepung sagu akan berinteraksi dengan soda kue untuk
menghasilkan kerupuk yang mengembang saat digoreng. Hal tersebut sesuai
dengan pernyataan Huwae (2014) bahwa sagu memiliki pati yang tinggi bahkan
melebihi beras yakni 80,35 85,90%. Soda kue akan membuat produk
mengembang karena adanya reaksi antara soda kue dan protein dan pati dalam
tepung sagu dan ikan tenggiri sehingga dihasilkanlah gas karbondioksida. Adapun
peran telur sebagai pengikat (binding agent) bahan-bahan yang telah dicampurkan
karena telur memiliki gugus reaktif asam amino yang terkandung dalam putih telur
sehingga molekul air akan terikat (Koswara et al., 2001).
Daging Ikan

Tenggiri

Filleting

10% gula, 3% Penghancuran


garam, 1%
merica, 25%
air Pencampuran 1

600 g tepung Pencampuran 2


sagu, 4 telur,
1% soda kue Pembentukan ke dalam plastik
tahan panas

Perebusan / pengukusan T=100C,


t=30

Pendiaman 1 malam

Pemotongan

Pengeringan oven T=100C t = 2 jam

Penggorengan

Kerupuk Ikan
Tenggiri

Gambar 4. Diagram Alir Pengolahan Kerupuk Ikan Tenggiri


(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2017)

Variasi perlakuan yang diberikan pada pengolahan kerupuk ikan tenggiri ini
ialah pengukusan dan perebusan. Pengukusan adonan kerupuk dilakukan untuk
mengurangi kadar air adonan seperti pernyataan Fellows (1992) bahwa perlakuan
tersebut menyebabkan kadar air awal bahan rendah sebelum dikeringkan.
Sedangkan perebusan diduga tidak akan menurunkan kadar air adonan sehingga
diamati perbedaan dari kedua perlakuan tersebut. Adapun adonan yang telah
dikukus atau direbus kemudian didiamkan selama 1 malam agar adonan kaku
(Winarno, 1984). Selama pendiaman, adonan akan mengalami retrogradasi atau
pemkristalan amilosa dalam adonan (Winarno, 1997). Sehingga mengkristalnya
amilosa membuat adonan menjadi kaku dan mudah untuk dipotong atau diiris.
Beberapa kerupuk yakni kerupuk hasil pengukusan dipotong dengan ukuran 0,1
0,3 mm dan 0,5 0,7 mm karena ingin diketahuinya pengaruh ketebalan terhadap
organoleptik kerupuk. Kemudian adonan dipotong tipis dan dikeringkan
menggunakan oven selama 2 jam dalam suhu 100C. Potongan kerupuk yang telah
dikeringkan kemudian digoreng untuk diamati organoleptiknya. Berikut merupakan
hasil pengamatan kerupuk ikan tenggiri yang telah dibuat.
Tabel 6. Hasil Pengamatan Kerupuk Ikan Tenggiri
Perlakuan Warna Rasa Aroma Tekstur Gambar
Sebelum
Ketebalan 0,1
digoreng :
0,3 mm : cukup
abu-abu Hambar, Ikan
Pengukusan renyah
Setelah tepung tenggiri
Ketebalan 0,5
digoreng : abu
0,7 mm : alot
kekuningan
(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2017)

Berdasarkan hasil pengamatan, kerupuk hasil pengukusan dan perebusan


tidak memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Warna kerupuk sama-sama abu
kekuningan setelah digoreng dimana hal tersebut disebabkan oleh pengaruh pigmen
karotenoida yang ada pada minyak goreng, dimana menurut Nelson et al., (1982)
bahwa produk lipid yang berasal dari nabati memiliki pigmen -karoten atau
provitamin A. Rasa kerupuk pun sama-sama hambar tetapi aroma tetap khas seperti
ikan tenggiri. Kemudian kedua perlakuan pun menyebabkan kerupuk yang
dihasilkan bertekstur alot dan tidak renyah.
Alotnya tekstur kerupuk diduga sebagai akibat dari kadar air kerupuk yang
masih belum rendah. Analisis kadar air kerupuk tidak dilakukan sehingga tidak
dapat diketahui pasti jumlah kadar air kerupuk, sedangkan menurut SNI 0272-1990
(1990) bahwa kadar air kerupuk tidak lebih dari 12%. Disamping itu, proses
pengeringan pun sangat berkaitan erat dengan jumlah kadar air kerupuk yang
dihasilkan. Pengeringan dilakukan dengan menggunakan oven pada suhu 100C
selama 2 jam. Karena tekstur kerupuk yang tidak renyah, maka diduga pengeringan
dengan suhu dan waktu tersebut tidak berhasil menurunkan kadar air kerupuk
hingga dibawah 12%. Sehingga suhu pengeringan dan waktu pengeringan perlu
dipertimbangkan kembali agar dihasilkan kerupuk yang renyah. Lubis (2003)
menyatakan bahwa suhu pengeringan yang baik untuk menghasilkan produk
kerupuk yang baik dari segi rasa, kerenyahan, maupun volume pengembangan,
selain perbandingannya yang tepat, yaitu pada suhu 75C dengan menggunakan alat
pengering buatan Tunnel dryer dengan lama pengeringan 4 jam. Selain itu, adapun
literatur menurut Dewi (2003) bahwa pengeringan kerupuk ikan patin dapat
dilakukan selama 4 jam pada suhu 65C, dan hal tersebut diperkirakan sama dengan
pengeringan kerupuk ikan tenggiri.
Selain itu, rasa kerupuk yang hambar menyebabkan kerupuk tidak begitu
enak dan hal tersebut disebabkan oleh persentase bahan khususnya bahan yang
berperan sebagai penegas citarasa masih kurang. Bahan yang berperan sebagai
penegas rasa ialah garam dan merica yang hanya ditambahkan masing-masing 1%.
Oleh karena itu, persentase penambahan garam dan merica pada pembuatan
kerupuk ikan tenggiri perlu ditambahkan lagi. Berdasarkan hasil pengamatan
tersebut pun dapat dikatakan bahwa keberhasilan pengolahan kerupuk ikan tenggiri
sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti persentase bahan yang digunakan,
suhu dan waktu pengeringan.

1.7 Bakso Ikan


Daging merupakan semua jaringan hewan dan semua produk hasil
pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak
menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya. Daging dapat diolah
dengan cara dimasak, digoreng, dipanggang, disate, diasap, atau diolah menjadi
produk lain yang menarik, antara lain daging korned, sosis, dendeng dan bakso
(Soeparno, 2005).
Praktikum kali ini dilakukan mengenai pembuatan produk olahan pangan
dengan bahan baku berupa ikan yang diolah menjadi bakso. Ikan yang digunakan
untuk pembuatan bakso ikan tersebut yaitu ikan tenggiri. Pengolahan ikan tenggiri
di Indonesia sudah cukup banyak dilakukan seperti bakso ikan (hiwan), pempek,
dan otak-otak. Bakso ikan (hiwan), pempek, dan otak-otak merupakan produk
emulsi yang memiliki tekstur kompak, elastis, kenyal, tidak lembek, tidak basah
berair, tidak rapuh dan tidak terdapat serat daging (Wibowo,1999). Berikut
merupakan diagram proses pembuatan bakso ikan.

Daging ikan tenggiri 300 g

Penghancuran kasar

Penggiliangan dan pencampuran


(es 60 g, tepung tapioka 60 g, telur 40 g, dan
bumbu : bawang merah 7,5 g, bawang putih 9 g,
garam 3 g, merica bubuk 1,5 g)

Panaskan 1 L air hingga mendidih

Pembentukan bulatan bakso


(dalam panci berisi air telah mendidih)

Perebusan T = 40oC 70oC 10

Rebus hingga matang T = 100oC 15

Pendinginan dan penyimpanan

Gambar 5. Diagram Alir Pembuatan Bakso Ikan


(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2017)

Tujuan pengecilan ukuran daging adalah mencacah dan meningkatkan


keseragaman ukuran serabut otot dan jaringan ikat schingga distribusinya dapat
merata. Selain itu emulsi yang terbentuk akan lebih stabil (Purnomo, 1990).
Sedangkan pemasakan berpengaruh pada keempukan dan kekenyalan bakso,
dimana protein akan mengalami denaturasi dan molekul - molekulnya
mengembang. Kondisi tersebut mengakibatkan gugus reaktif pada rantai
polipeptida terbuka dan selanjutnya akan terjadi pengikatan kembali pada gugus
reaktif yang sama atau berdekatan (Winarno, 1988).
Ikatan saling silang antara pati dan protein merupaka ikatan ionik dan
kovalen sehingga membentuk tekstur yang kuat, sedangkan gelatinisasi pati tanpa
adanya protein membentuk jembatan hidrogen yang lebih ikatannya lebih lemah
dan berakibat pda tekstur yang lebih lunak (Hardoko, 1994). Berikut merupakan
tabel hasil pengamatan karakteristik bakso ikan.
Tabel 7. Hasil Pengamatan Pembuatan Bakso Ikan
Karakteristik Bakso daging ikan
Warna Putih
Aroma Gurih khas ikan
Tekstur Kenyal dan lembut
Rasa Gurih, ikan

Gambar

(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2017)

Berdasarkan tabel hasil pengamatan bakso ikan hasil praktikum diatas


didapat bakso dengan warna yang putih, memiliki aroma gurih khas ikan, dengan
tekstur kenyal dan lembut, dan rasanya gurih dan rasa ikan tenggiri. Tekstur yang
kenyal dan lembut tersebut menurut Farhan (2008), menyatakan bahwa tekstur dan
keempukan pada daging bakso dipengaruhi oleh kandungan airnya. Penambahan
air pada adonan bakso diberikan dalam bentuk es batu atau air es supaya suhu
adonan selama penggilingan tetap rendah. Dalam adonan, air berfungsi untuk
melarutkan garam dan menyebarkannya secara merata keseluruh bagian masa
daging, memudahkan ekstraksi protein dan membantu pembentukan emulsi lemak.
Kekenyalan bakso berhubungan dengan kekuatan gel yang terbentuk akibat
pemanasan pada saat proses pembuatan bakso ikan. Menurut Indrarmono (1987),
gelatinisasi pada bakso terdiri dari gelatinisasi pati dan gelatinisasi protein, tetapi
gelatinisasi pati lebih dominan mempengaruhi kekenyalan bakso. Proses
gelatinisasi melibatkan pengikatan air oleh jaringan yang dibentuk rantai molekul
pati atau protein. Bentuknya matriks 3 dimensi, dan protein myofibril yang ada
pada daging ikan dan memegang peran penting dalam pembentukkan matriks
dengan adanya ikatan silang dengan pati pada tepung tapioka sehingga membentuk
jembatan disulfida, yang sangat berperan dalam proses pembentukkan gel, akan
membentuk tekstur produk dan matriks yang kokoh sehingga menghasilkan produk
bakso ikan yang kenyal (Astuti, 2009).
Warna putih pada bakso daging ikan dapat diakibatkan oleh proses
pemanasan dan pengaruh dari warna daging ikan itu sendiri. Aktin dan miosin
berperan penting dalam pembuatan bakso. Aktin dan miosin merupakan protein
yang bersifat larut dalam garam. Fungsi protein dalam bakso adalah sebagai
pengikat campuran daging dan emulsifier (Winarno dan Rahayu, 1994). Faktor lain
yang mempengaruhi warna diantaranya adalah perebusan adonan bakso. Perebusan
mengakibatkan warna bakso menjadi lebih cerah. Menurut (Elviera, 1988), pada
saat pemasakan warna produk pangan atau bahan pangan dapat mengalami
perubahan, misalnya lebih cerah.
Rasa dan aroma gurih pada bakso ikan dapat dipengaruhi oleh penggunaan
bumbu pada proses pembuatan adonan bakso ikan. Garam berfungsi sebagai
pemberi cita rasa, sebagai pengawet dan memberikan kesan kenyal dalam
pengolahan daging bakso. Pemakaian garam dalam pembuatan bakso berkisar
antara 3 5 persen dari berat daging. Selain garam yang berperan terhadap citarasa
yaitu bumbu seperti bawang putih, bawang merah, dan merica bubuk. Bumbu
merupakan salah satu faktor yang mendukung keberhasilan pembuatan bakso dan
berfungsi memperbaiki atau memodifikasi rasa serta daya simpan produk olahan
daging. Penambahan bumbu ini berfungsi untuk meningkatkan nilai cita rasa dan
aroma pada bakso (Cross dan Overby, 1988).

1.8 Surimi
Proses pembuatan surimi terdiri dari beberapa tahapan. Berikut merupakan
diagram alir proses pembuatan surimi dan hasil pengamatan produk olahan surimi
yang tersaji dalam bentuk tabel 8.
Ikan Nila

Dicuci Bersih

Penyiangan dan Pemfiletan

Penimbangan

Es batu Penggilingan hingga halus

Perendaman dengan air dingin (3:1) t = 10


air dingin Menit

Pemerasan dengan kain saring

Larutan Perendaman dalam larutan garam (3:1) t =


garam 0,3% 10 Menit

Pemerasan dengan kain saring

Pengemasan dengan plastik PE

Pembekuan T = < -33C

Surimi

Gambar 6. Diagram Alir Pengolahan Surimi


(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2017)

Tabel 8. Hasil Pengamatan Olahan Ikan menjadi Surimi


No Parameter Deskripsi
1 Warna Putih
2 Aroma Khas ikan
3 Tekstur Lunak, sedikit kenyal
4 Gambar

(Sumber: Dokumentasi Pribadi,2017)

Berdasarkan hasil pengamatan menunjukan bahwa surimi yang dihasilkan


pada saat praktikum memilki karakteristik warna putih, aroma khas ikan, dan
tekstur lunak sedikit kenyal. Karakteristik kesegaran bahan baku surimi SNI (01-
26941-1992) secara organoleptik yaitu:
- Rupa dan warna: bersih, warna daging spesifik jenis ikan
- Aroma: segar spesifik ikan
- Daging: elastis, padat dan kompak
Hasil pengamatan menunjukan bahwa surimi yang dibuat pada saat
praktikum memiliki kualitas yang baik sesuai dengan literatur. Warna putih berasal
dari warna daging ikan nila itu sendiri. Kekuatan surimi beku dinilai dari kekuatan
gelnya dan warna dari surimi tersebut. Surimi yang baik adalah yang berwarna putih
kuat dan dapat membentuk gel (Winarno, 1990). Hal ini menunjukan bahwa surimi
yang dihasilkan memliki kualitas warna yang baik. Menurut Mitchell (1985)
terdapat dua unsur utama yang harus diperhatikan untuk menghasilkan surimi
berkualitas baik yaitu bahan baku berasal dari daging berwarna putih dan berkadar
lemak rendah dengan tingkat kesegaran tinggi. Selain itu faktor biologis seperti fase
bertelur, musim dan ukuran juga dapat mempengaruhi kualitas surimi yang
dihasilkan.
Aroma yang dihasilkan yaitu khas ikan. Aroma khas ikan ini masih kuat
dikarenakan surimi tidak mengalami proses pemanasan melainkan hanya pencucian
sehingga aroma amis khas ikan masih menyengat. Selama proses pembuatan surimi
faktor utama yang perlu diperhatikan adalah suhu air pencuci dan penggilingan
daging. Jumlah protein larut air yang hilang selama pencucian tergantung pada suhu
air pencuci yang akan berpengaruh terhadap kekuatan gel. Suhu air yang lebih
tinggi akan lebih banyak melarutkan protein larut air. Kekuatan gel terbaik
diperoleh jika hancuran daging ikan dicuci dengan air bersuhu 10-15C (Lee, 1992).
Proses pencucian surimi dilakukan dengan cara mencampur air dan daging lumat
kemudian digerakkan secara mekanis. Jumlah air yang digunakan dan banyaknya
siklus pencucian ditentukan oleh jenis ikan dan mutu surimi yang diinginkan. Pada
umumnya pencucian surimi dilakukan sebanyak 3-4 kali selama 10 menit dengan
perbandingan air ikan yaitu 3: 1 atau 4: 1. Pada beberapa ikan, pada pencucian
terakhir biasanya ditambahkan garam (0.2%) dalam air pencucian (Hall dan
Ahmad, 1992). Proses pencucian yang dilakukan pada pembuatan surimi pada
dasarnya dilakukan untuk meningkatkan sifat elastik daging ikan, tetapi perlu juga
diperhatikan pengaruhnya terhadap nilai gizi ikan secara keseluruhan kadar air,
pengawasan suhu pembekuan dan penyimpanan serta kondisi penanganan dan
distribusi (Fitrial, 2000).
Tekstur yang dihasilkan yaitu lunak dan sedikit kenyal. Jenis ikan yang ideal
untuk surimi adalah yang mempunyai kemampuan pembentukan gel yang baik,
karena akan berpengaruh terhadap elastisitas produk, sehingga kesegaran ikan
merupakan syarat utama (BBPMHP, 1987). Secara teknis semua jenis ikan dapat
dibuat surimi. Daging ikan mempunyai kemampuan untuk membentuk gel secara
sempurna sehingga dapat menghasilkan tekstur yang elastis, rasa enak dan
penampakan putih (Miyake, Hirasawa and Miyanabe, 1985). Kekuatan gel terbaik
diperoleh jika hancuran daging ikan dicuci dengan air bersuhu 10-15C (Lee, 1992).
Apabila mutu kesegaran ikan telah menurun akan dihasilkan surimi dengan tekstur
yang berelatisitas rendah. Tetapi untuk ikan yang memang memiliki elastisitas
kurang baik dapat ditingkatkan elastisitasnya dengan menambahkan daging ikan
dari spesies lain, gula, pati dan protein nabati. Sebagai contoh cumi-cumi telah
banyak digunakan untuk memperbaiki tekstur surimi.
Hal ini menunjukan bahwa tekstur surimi yang dilakukan saat praktikum
telah mendekati hasil literatur yang ada yaitu lunak dan sedikit kenyal. Mutu surimi
yang baik ditentukan oleh kemampuan surimi tersebut membentuk gel.
Kemampuan membentuk gel ini berpengaruh terhadap elastisitas dari produk
lanjutan olahan surimi. Pembentukan gel dari protein myofibril adalah sifat dasar
dari pengembangan produk menuntut kekuatan gel atau elastisitas sebagai atribut
utamanya. Pembentukan gel pada surimi terjadi dalam dua tahap. Tahap pertama
adalah denaturasi protein dan tahap kedua adalah terjadi agregasi protein
membentuk struktur tiga dimensi. Terdapat empat tipe ikatan utama yang
berkontribusi terhadap pembentukan struktur jaringan selama proses gelasi dari
pasta surimi, yaitu ikatan garam, ikatan hydrogen, ikatan disulfide dan ikatan
hidrofobik. Interaksi hidrofobik terjadi ketika suhu naik dan ikatan hidrogen
menjadi tidak stabil (Niwa, 1992). Pembentukan interaksi hidrofobik diketahui
sebagai akibat keberadaan beberap poliol dan asam amino seperti gliserin, sukrosa,
sorbitol, asam glutamate dan lisin. Interaksi hidrofobik berfungsi melepaskan
energi bebas yang dapat menstabilkan protein (Park, 2000). Proses gelasi juga dapat
dibagi menjadi tiga bagian yang diawali dengan proses denaturasi utuh dari bentuk
terlipat menjadi tidak terlipat. Tahap pertama adalah pembentukkan turbiditas yang
terjadi pada 3-10 menit pemanasan pertama. Pada tahap ini terjadi interaksi
hidrofobik (Hudson, 1992). Ketika suhu naik, maka ikatan hydrogen menjdi tidak
stabil dan interaksi hidrofobik akan berlangsung lebih kuat. Tahap kedua adalah
oksidasi sulfihidril.akhir Pada tahap ini, pasta surimi akan mengeras, dimana ikatan
intermolekul disulfide (S-S) terbentuk melalui oksidasi dari dua residu sistein.
Tahap ketiga adalah tahap peningkatan elastisitas gel yang terjadi selama
pendinginan. Peningkatan elastisitas ini terjadi karena pembentukan ikatan
hidrogen kembali, yang menyebabkan peningkatan terhadap kekerasan gel
(Hudson, 1992). Pembentukan gel ikan terjadi pada saat penggilingan daging
mentah dengan penambahan garam (Santoso, 2009). Aktomiosin (myosin dan
aktin) sebagai komponen yang paling penting dalam pembentukan gel akan larut
dalam larutan garam, membentuk sol (disperse partikel padat dlam medium cair)
yang sangat lengket. Bila sol dipanaskan akan terbentuk gel dengan konstruksi
seperti jala dan memberikan sifat elastis pada daging ikan. Sifat elastis ini disebut
ashi atau suwari. Kekuatan ashi merupakan nilai mutu dari produk gel ikan
(Santoso, 2009).
Nilai pH ikan sangat mempengaruhi elastisitas produk yang dihasilkan.
Sebaiknya dipilih ikan yang ber-pH 6,0 - 7.0. Lebih baik jika digunakan ikan
berkadar lemak rendah. Jika digunakan ikan kadar berlemak tinggi, misalnya
lemuru maka lemak harus dikeluakan lebih dahulu karena akan mempengaruhi daya
gelatinisasi, selain itu dapat menimbulkan ketengikan jika tidak ditambah
antioksidan. Faktor penting yang mempengaruhi proses pembuatan surimi menurut
Lee (1984) yaitu cara penyiangan, besarnya partikel daging lumat, kualitas air, suhu
ikan, peralatan yang digunakan, dan cara pencucian.
II. KESIMPULAN
2.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari praktikum pengolahan produk ikan kali ini adalah:
1. Berdasarkan hasil pengamatan, kerupuk ikan tenggiri berwarna abu
kekuningan, rasa yang hambar seperti tepung, aroma yang khas ikan
tenggiri dan tekstur yang alot atau tidak renyah.
2. Bakso ikan hasil praktikum menghasilkan bakso dengan warna yang putih,
memiliki aroma gurih khas ikan, dengan tekstur kenyal dan lembut, dan
rasanya gurih dan rasa ikan tenggiri.
3. Berdasarkan hasil pengamatan menunjukan bahwa surimi yang dihasilkan
pada saat praktikum memilki karakteristik warna putih, aroma khas ikan,
dan tekstur lunak sedikit kenyal.
4. Berdasarkan hasil pengamatan warna pempek adalah cokelat muda, aroma
yang dihasilkan dari pempek yang dibuat yaitu gurih khas ikan, rasa yang
dihasilkan dari pempek yang sudah digoreng yaitu gurih dan teksturnya
keras agak kenyal.
5. Berdasarkan hasil pengamatan, warna otak otak adalah putih kekuningan,
aroma yang timbul pada produk otak-otak ini adalah khas ikan tenggiri,
teksturnya kenyal dan rasanya agak hambar.
6. Berdasarkan hasil pengamatan, bandeng presto memiliki warna putih
kekuningan, rasa yang hambar, aroma rempah rempah dan bertekstur
lunak.
7. Berdasarkan hasil pengamatan, warna abon adalah coklat sedikit putih,
beraroma santan, bertekstur pasir sedikit lunak dan memiliki rasa asin, gurih
dan santan
8. Berdasarkan hasil pengamatan, warna nugget mengalami perubahan
menjadi lebih kuning kecoklatan, aroma nugget sedikit aroma ikan, tekstur
nugget setelah penggorengan masih tetap empuk dengan rasa asin dan
sedikit pedas dan sedikit rasa ikan.
2.2 Saran
Adapun saran untuk praktikum pengolahan produk ikan kali ini adalah:
1. Praktikkan harus lebih teliti dalam melakukan prosedur praktikum dan
harus runut dalam pelaksanannya.
2. Praktikkan harus lebih steril dalam melaksanakan praktikum
DAFTAR PUSTAKA

Afrisanti, D.W. 2010. Kualitas Kimia dan Organoleptik Nugget Daging Kelinci
dengan Penambahan Tepung Tempe. Skripsi. Universitas Sebelas Maret,
Surakarta.
Afrisanti, D.W. 2010. Kualitas Kimia dan Organoleptik Nugget Daging Kelinci
dengan Penambahan Tepung Tempe. Skripsi. Universitas Sebelas Maret,
Surakarta.
Assadad, L. dan Bagus, B. U. 2011. Pemanfaatan Garam dalam Industri Pengolahan
Produk Perikanan. Squavalen Vol. 6, No.1
Astawan, M. 2004. Bandeng Presto. Makanan Masa Mendatang.
http:www.Kompas.com/kesehatan/news/0305/01/104518.htm.

Badan Standardisasi Nasional. 2002. Nugget. SNI 01 - 6683 - 2002. Badan


Standardisasi Nasional, Jakarta.
Badan Standardisasi Nasional. 2006. Standar Nasional Idonesia No. 4106.1-2006
Bandeng
Badan Standarisasi Nasional. 1995. Standar Mutu Abon. SNI 01-3707-1995,
Jakarta
Bintang, I.A.K dan A.G. Nataamijaya. 2005. Pengaruh penambahan tepung kunyit
(Curcuma domestica Val.) dalam ransum broiler.
http://peternakan.litbang.deptan.go.id/fullteks/semnas/pro05-103.pdf. (13
Juni 2017).

BPPMHP (Balai Bimbingan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan). 2001.


Instruksi kerja Pengujian contoh Hasil Perikanan. Laboratorium
Kriteria BPPMHP. Jakarta. Depertemen Kelautan dan Perikanan.
Brewster, 1994. Budidaya Bawang Putih dan Khasiatnya. Jakarta : Penerbit
Agromedia Pustaka.

Buckle, K. A., R. A. Edwards, G. H. Fleet, dan M. Wootton. 1987. Ilmu pangan.


Penerjemah: Hari Purnomo dan Adiono. Penerbit Universitas Indonesia
(UI-Press), Jakarta.

Cahyono, M dan S. Yuwono, 2014. Pengaruh Proporsi Santan Dan Lama


Pemanasan Terhadap Sifat Fisika Kimia Dan Organoleptik Bumbu Gado-
Gado Instan. Jurnal Pangan Dan Agroindustri Vol. 3 No 3 P.1095-1106, Juli
2014. Universitas Brawijaya, Malang
Depnear, 2000. Pemanfaatan Daun Salam. UB. Malang

Dewi, E. N., R. Ibrahim, dan N. Yuaniva. 2011. Daya Simpan Abon Ikan Nila
Merah (Oreochromis niloticus T.) yang Diproses dengan Metoda
Penggorengan Berbeda. Jurnal Saintek Perikanan. 6(1): 6-12
Fachrudin, L. 1997. Membuat Aneka Abon. Kanisius, Yogyakarta
Fellows, P. J. 1992. Food Processing Technology; Principles and Practice. Ellis
Horwood Limited, England.

Fitrial, Y. 2000. Pengaruh konsentrasi tepung tapioka, suh dan lama perebusan
terhadap mutu gel daging ikan cucut ayam (Carcharinus limbatus) (tesis).
Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. 143 pp.
Fitriasari, R.M. 2010. Skripsi : Kajian Penggunaan Tempe Koro Benguk (Mucuna
pruriens) dan Tempe Koro Pedang (Canavalia ensiformis) dengan
Perlakuan Variasi Pengecilan Ukuran (Pengirisan dan Penggilingan)
Terhadap Karakteristik Kimia dan Sensoris Nugget Tempe Koro. Fakultas
Pertanian. Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Hall GM, Ahmad NH. 1992. Surimiand mince product. Di dalam: Hall GM, editor:
Fish Processing Technology. New York: VCH publisher, Inc.
Harmono, STP dan Drs Agus Andoko, 2005. Budidaya dan Peluang Bisnis Jahe.
Jakarta : Penerbit Agromedia Pustaka.

Hudson BJF, 1992. Biochemistry of Foods Proteins. London: Elsevier Applied Sci.
Hui, F. H. 1992. Encyclopedia of Food Science and Technology. John Willy and
Sons, Inc. USA.

Irawan, A. 1997. Pengawetan Ikan dan Hasil Perikanan. Penerbit Aneka. Solo.

Karim, Mutemainna., Susilowati, A. dan Asnidar, 2013. Tingkat Kesukaan


Konsumen Terhadap Otak-Otak dengan Bahan Baku Ikan Berbeda. Jurnal
Balik Diwa Sains dan Teknologi, 4 (1), Makassar.

Karyono dan Wachid. 1982. Petunjuk Praktek Penanganan dan Pengolahan Ikan.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta
Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Universitas
Indonesia, Jakarta
Koswara, S. 1992. Teknologi Pengolahan Kedelai Menjadikan Makanan Bermutu.
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Kramlich, W. E., A. M. Pearson, dan F.W. Tauber. 1973. Processed meats.
Westport Connecticut, The AVI Publishing Company, Inc.

Lee CM, WU MC, Okada M. 1992. Ingredent and Formulation technology for
surimibased product. Di dalam: Lanier TC, Lee CM (editor). Surimi
Technology. New York: Marcell Dekker.
Leksono, T dan Syahrul. 2001. Studi Mutu dan Penerimaan Konsumen terhadap
Abon Ikan. Available at www.unri.ac.id. (Diakses tanggal 10 Juni 2017)
Matz, S. A. 1976. Snack Food Technology. The AVI Publ. Co. Inc. Wesport.
Connecticut.

Mitchell, C. 1986. Surimi the American Experience. Technology of Surimi


Manufacturing. Info Fish Marketing Digest No. 5: 20 24.
Miyake, Y., Y. Hirasawa and M. Miyanabe. 1985. Technology of Manufacturing.
Info Fish Marketing Digest No. 5: 29 32.
Mudjiman, A. 1998. Makan Ikan. Jakarta : Penerbit PT. Penebar. Swadaya, hlm 14-
17, 49-51. Presto Bagian I. Jakarta.

Niwa E. 1992. Chemistry of surimi gelation. Di dalam: Lanier TC, Lee CM, editor).
Di dalam: Lanier TC, Lee CM, (editor). Surimi Technologhy. New
York: Marcell Dekker, inc.
Nurjanah, R. R. Nitibaskara, dan E. Madiah. 2005. Pengaruh Penambahan Bahan
Pengikat terhadap Karakteristik Fisik Otak-Otak Ikan Sapu-Sapu. Buletin
Teknologi Hasil Perikan, Vol. VIII, Nomor 1.

Okada M. 1992. History of surimi technology in Japan. Di dalam: Lanier TC dan


Lee CM, editor. Surimi Technology. New York: Marcel Dekker, Inc.
Padli, U. 2015. Profil Peurunan Mutu Otak-Otak Ikan Tenggiri (Scomberomorus
Commersonii) pada Berbagai Suhu Penyimpanan. Skripsi. Universitas
Hasanuddin, Makasar.

Park JW dan Morissey, T. 2000. Manufacturing of Surimi from Light Muscle Fish.
Di dalam: Park JW, editor. Surimi and Surimi Seafood. New York:
Marcel Dekker, Inc. p. 23-58.
Putra D. A. P. T. W. Agustini, dan I. Wijayanti. 2015. Pengaruh penambahan
karagenan sebagai stabilizer terhadap karakteristik otak-otak ikan kurisi
(Nemipterus nematophorus). Jurnal Pengolahan dan Bioteknologi Hasil Ikan.
4(2) : 1-10.

Rossuartini. 2005. Proses Pengolahan Daging Kelinci Menjadi Produk Nugget.


Balai Penelitian Ternak, Bogor.
Rosyidi, D., A.S. Widati dan J. Prakoso. 2008. Pengaruh Penggunaan Rumput Laut
Terhadap Kualitas Fisik dan Organoleptik Chicken Nugget. Jurnal Ilmu dan
Teknologi Hasil Ternak 3(10): 43-51. Fakultas Peternakan Universitas
Brawijaya, Malang.
Santoso, J. 2009. Perubahan karakter surimi selama penyimpanan beku. Food
Review Indonesia. IV (8): 36-40.
Saparinto, Cahyo. 2007. Membuat aneka olahan bandeng. Penebar Swadaya.
Jakarta.

Sinaga 2009. Pemanfaatan Tanaman lengkuas. IPB, Bogor.


Siregar, S. H. 1995. Isolasi dan Seleksi Mikrob Tanah yang Menguntungkan serta
Pengaruhnya Terhadap Tanaman Kangkung (Ipomoea raptans Poir).

Soeparno. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. UGM Press, Yogyakarta.


Soesetiadi, 1977. Proses Pengolahan Bandeng Duri Lunak. ). UI Press. Jakarta.

Sulthoniyah, S. T. M. 2013. Pengaruh Suhu Pengukusan Terhadap Kandungan Gizi


dan Organoleptik Abon Ikan Gabus (Ophiocephalus striatus). Student
Journal Vol 1 No 1 : 33-45. Universitas Brawijaya, Malang
Sunanto, 1994 Budidaya Tanaman Kemiri. IPB. Bogor.

Suryani. 2007. Membuat Aneka Abon. Penebar Swadaya, Jakarta


Teguh Sugiyarto. 2008. Ilmu Pengetahuan Alam 1 untuk SMP/ MTs Kelas VII.
Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional.

Ulfa, M. 2012. Abon Ikan Bandeng (Chanos chanos). Jurusan Perikanan Fakultas
Pertanian, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Jurnal Abon Ikan Vol 1
No.03 : 34-37
Wibowo, 1996. Faktor Mempengaruhi Kualitas Bandeng Presto. Pusat Riset
Pengolahan Produk Dan Sosial Ekonomi Kelautan Dan Perikanan Badan
Riset Kelautan Dan Perikanan Departemen Kelautan Dan Perikanan.
Jakarta.

Wibowo. 2006. Pembuatan Bakso Ikan dan Daging. Penebar Swadaya, Jakarta.

Wills, E. D. 1956. Enzyme Inhibition by Active Principle of Garlic. Biochemistry,


62 (2) : 514-519
Winarno F G. 1984. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia, Jakarta.

Winarno, F. G. 1993. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.

Winarno, F. G. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.

Winarno, F. G., 1990. Protein, Sumber dan Peranannya. Penerbit Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai