Anda di halaman 1dari 7

Identifikasi Mobile Men with Money (3M) sebagai Bentuk Pencegahan

HIV/AIDS di Kota Denpasar, Provinsi Bali

Pendahuluan
Memperoleh informasi mengenai penyakit human immunodeficiency virus
infection/acquired immune deficiency syndrome (HIV/AIDS) saat ini telah dipermudah
dengan adanya berbagai kanal informasi yang memuat detil terkait pengertian, gejala,
serta metode pencegahan pun penanganan penyakit tersebut. Penyebaran informasi
yang luas terkait HIV/AIDS disebabkan ia merupakan salah satu penyakit mematikan
yang hingga saat ini masih belum ditemukan obat penyembuhan, alih-alih hanya dapat
dikendalikan pertumbuhan virusnya dengan konsumsi obat-obatan antiretroviral
(ARV) terhadap mereka yang telah terdiagnosa mengidap penyakit ini. Tidak hanya
menjadi perhatian dari institusi-institusi kesehatan global maupun negara-negara lain,
HIV/AIDS telah menjadi penyakit yang memiliki pertumbuhan pesat di Indonesia.
Menurut data dari International Labour Organization, penderita HIV/AIDS di
Indonesia per tahun 2013 meningkat sebanyak 48% yakni terdapat 640.000 penderita
HIV/AIDS, belum termasuk mereka yang enggan menjalani pemeriksaan dan terdata
oleh statistik yang ada (ILO, 2013). Sedangkan, Kementerian Kesehatan merekam
angka yang tidak kalah memprihatinkan pada tahun 2014 yakni sebanyak 9.976
penderita HIV/AIDS di Indonesia telah meninggal per September 2014 (Rappler,
2016). Melalui institusi ini, pemerintah Indonesia mengakui bahwa tingginya angka
penderita HIV/AIDS tidak lain disebabkan oleh kecenderungan seks yang tidak aman
atau tanpa menggunakan kondom yakni hanya 13% proporsi masyarakat yang
menggunakan kondom ketika melakukan hubungan seks dengan pasangan di luar
suami atau istri mereka.
Rencana aksi pemerintah untuk mencegah penyebaran HIV/AIDS yang selama
ini diprioritaskan oleh pemerintah sebagian besar menyasar atau menargetkan pekerja
seks komersial, mereka yang memiliki orientasi seksual gay, waria, dan LSL lainnya
(GWL), maupun pemakai aktif narkotika dan psikotropika/zat terlarang lainnya
(NAPZA) (Komisi Penanggulangan HIV/AIDS Nasional, 2015). Merujuk dari temuan
International Labor Organization, pemerintah Indonesia masih luput untuk
mengidentifikasi kelompok kunci lain dalam mencegah penyebaran HIV/AIDS di
Indonesia. Kelompok ini merupakan kelompok pekerja yang aktif bepergian dan
umumnya datang dari kelas menengah ke atas sehingga memiliki kondisi finansial yang
cukup untuk mengakses jasa seks komersial maupun potensi lain yang dapat
berkontribusi dalam penyebaran virus secara vertikal. Kelompok ini kemudian dikenal
dengan istilah mobile men with money (3M), yang mana merujuk pada pengertian yang
telah disebutkan sebelumnya. Identifikasi terhadap kelompok ini dianggap penting oleh
ILO untuk memetakan kerentanan penularan secara vertikal di luar kelompok-
kelompok rentan lainnya (ILO, 2013).
Berbicara mengenai mobilitas 3M tidak dapat terlepas dari daerah dengan
kontribusi pasien yang tidak sedikit. Dari 34 provinsi di Indonesia, provinsi Bali
merupakan salah satu daerah yang berkontribusi tidak sedikit perihal jumlah penderita
HIV/AIDS. Setidaknya sebanyak 3.699 kasus HIV/AIDS per 2014 ditemukan di Bali
(Umar, 2014). Persebaran penderita HIV/AIDS dengan jumlah terbesar ditemukan di
Kota Denpasar yakni sebanyak 1.876 orang penderita HIV/AIDS dengan proporsi
1.065 orang pria dan 811 orang perempuan pengidap HIV/AIDS (Kompas, 2014).
Tulisan ini akan memfokuskan pada potensi pencegahan konkret terhadap kelompok
3M di Denpasar melalui pemetaan awal dan pembentukan pokja pekerja sesuai dengan
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No.68 Tahun
2004 (Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia, 2004).
Definisi Umum dan Situasi Kelompok Mobile Men with Money (3M) di Kota
Denpasar, Provinsi Bali
Mobile Men with Money (3M) merupakan kategorisasi kelompok yang baru
saja dimasukkan sebagai mereka yang paling beresiko dan krusial dalam hal diskursus
pencegahan penyebaran penyakit HIV. Mereka yang dapat dimasukkan ke dalam
klasifikasi ini ialah pebisnis, pekerja industri, maupun buruh yang mengkondisikan
mereka dengan situasi mobilitas yang tinggi. Fenomena ini telah mendapat perhatian
tinggi oleh praktisi-praktisi kesehatan yang mengkonsentrasikan studinya mengenai
pencegahan HIV/AIDS di Tiongkok. Menurut praktisi-praktisi Tiongkok, mereka yang
masuk dalam kategori 3M seringkali bersedia membayar lebih sampai 60% lebih tinggi
dari bayaran umum pekerja seks komersial hanya jika mereka melakukan hubungan
seks tanpa menggunakan proteksi seperti kondom (China Daily, 2005). Akibat
prevalensi fenomena ini, setiap tahunnya terdapat peningkatan sebanyak 60-70 kasus
baru di Shanghai, Tiongkok akibat perilaku seks yang tidak aman.
Tidak hanya di Tiongkok, namun prevalensi HIV/AIDS yang terindikasi dari
adanya kelompok 3M. Hal ini juga sempat digaungkan oleh mantan Gubernur Jakarta
Djarot Saidul Hidayat pada September lalu di hadapan Komisi Pemberantasan AIDS
Nasional. Ia menekankan bahwa fokus pencegahan HIV/AIDS tidak harus dipusatkan
pada kelompok pekerja seks komersial maupun perempuan saja, melainkan diperlukan
adanya identifikasi yang jelas terkait jumlah pria maupun kecenderungan aktivitas seks
mereka ketika mengunjungi tempat-tempat prostitusi. Ini berpengaruh terhadap
penyebaran pandemik pada populasi umum seperti istri mereka, pun terhadap anak-
anak dalam kandungan.
Strategi Pengendalian HIV/AIDS di Denpasar dalam Menyikapi
Kelompok Mobile Men with Money (3M)
Pemerintah Daerah Provinsi Bali (Pemda Bali) dapat dikatakan sebagai salah
satu institusi yang telah meletakkan konsentrasinya untuk mengentaskan kasus
HIV/AIDS sejak tahun 2006 melalui Peraturan Daerah No. 3 Tahun 2006 (Perda
3/2006) yang menegaskan mengenai promosi, pencegahan, konseling dan tes sukarela
rahasia, pengobatan, serta perawatan dan dukungan. Pemprov Bali bahkan telah
menyediakan berbagai sarana prasarana yang meliputi pendukung pengobatan,
pengadaan obat antiretroviral (ARV), serta obat infeksi oportunistik dan IMS (Lestari,
2013). Pemerintah juga telah berupaya mencanangkan “Gerakan Penanggulangan HIV
dan AIDS” pada kelompok-kelompok beresiko tinggi melalui beberapa metode.
Pertama, materi penggunaan kondom pada aktivitas seks beresiko serta mendorong
gerakan untuk memutus ketergantungan terhadap penggunaan narkoba suntik secara
berkala. Kedua, melakukan pelayanan pasien konseling sebanyak 5.802 kasus dalam
rentang 2004-2010 di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah berbasis pelayanan
sosial. Ketiga, mengintensifkan pengobatan ARV di rumah sakit yang sama. Terakhir,
adanya sosialisasi prevention of mother to child transmission (PMTCT) di sejumlah
puskesmas di Denpasar dengan sasaran 240 ribu ibu hamil sejak tahun 2009 (Lestari,
2013).
Dari serangkaian strategi yang dicanangkan oleh Pemerintah Provinsi Daerah
Bali ini, terdapat beberapa kendala yang dihadapi oleh tenaga medis maupun otoritas
pemerintah yang bergerak dalam bidang kesehatan ini sendiri. Pertama, masih adanya
stigma, diskriminasi, dan penolakan terhadap orang dengan HIV/AIDS (ODHA) yang
menyebabkan pemetaan sumber penyebaran penyakit sulit dilakukan pada mereka
yange enggan untuk melakukan cek kesehatan ataupun didata oleh otoritas yang ada.
Kedua, pembiayaan daerah yang kecil dan tidak terdistribusi dengan rapi terhadap
kebutuhan pencegahan maupun penanggulangan HIV/AIDS. Terakhir, adanya
pemetaan informasi yang terbatas dan belum melibatkan Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) yang telah terlebih dahulu menaruh perhatian terhadap kasus-kasus
HIV/AIDS di Denpasar. Ini menyebabkan kesenjangan pengetahuan yang tinggi antara
otoritas daerah bertanggungjawab terhadap penanganan dan pencegahan kesehatan,
awak medis, serta mereka yang terjangkit oleh HIV/AIDS.
Menurut penulis, kendala-kendala ini disinyalir berpusat pada kurang tepatnya
desentralisasi atau distribusi tugas yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Bali
terhadap Pemerintah Kota Denpasar dengan tingkat prevalensi yang tinggi untuk
memetakan akar pangkal penyebaran HIV/AIDS. Merujuk pada kondisi ini, seringkali
upaya untuk menyikapi penyebaran penyakit terfokus pada bagaimana menanggulangi
mereka yang telah terjangkit tanpa mengimplementasikan Rencana Aksi Nasional
2015-2019 untuk mencegah penyebaran penyakit HIV/AIDS itu sendiri. Melihat kritik
yang menyasar mengenai kurangnya pemetaan informasi pasien diikuti dengan
ketidaktepatan desentralisasi otoritas, hal yang dilakukan sebagian besar hanya
berfokus pada pekerja seks komersial dan mereka yang berstatus WGL, tanpa
mempertimbangkan keberadaan 3M sebagai salah satu kelompok usia penting dalam
penyebaran HIV/AIDS.
Menyikapi kritik ini, menurur penulis sebagai langkah jangka panjang dengan
angka pengidap HIV/AIDS yang tinggi, Pemerintah Kota Denpasar, termasuk
Pemerintah Provinsi Daerah Bali dapat menelusuri pemetaan statistik pekerja yang
menjadi pengakses rutin pekerja seks komersial dan berkontribusi terhadap penularan
penyakit HIV/AIDS secara vertikal. Beberapa pusat data informasi yang dapat diakses
bersumber dari hasil penelitian yang sedikit banyak telah dilakukan oleh Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) berfokus di persebaran HIV/AIDS di Kota Denpasar
seperti CARE Xtreme, Addict+, Indonesia HIV/AIDS Prevention and Care Project –
Bali (IHPCP Bali).

Sebagai langkah lebih konkret, Pemerintah Kota Denpasar juga dapat


merefleksikan diri dengan menerapkan salah satu poin dalam Rencana Aksi Nasional
(Renaksi) 2015-2019 dalam mencegah penyebaran HIV/AIDS yakni dengan
mendirikan dan mengefektifkan Pokja Tempat Kerja seperti strategi yang dilaksanakan
oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah dengan melaksanakan beberapa hal berikut
di satuan kerja untuk mengantisipasi penyebaran yang dibawa oleh mereka yang
teridentifikasi dalam kelompok 3M. Langkah yang dapat diambil ialah melakukan
konseling dan tes HIV sukarela di tempat kerja yang terbagi menjadi dua misi yakni
dilakukan secara sukarela ataupun atas inisiatif pemberi pelayanan kesehatan (KTIP).
Prosedur teknis pelaksanaan sebaiknya mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan
No. 74 Tahun 2014 dengan standar yang diperkenalkan terlebih dahulu kepada tenaga
medis di Kota Denpasar maupun aparatur terkait di Pemerintah Kota Denpasar (Pemkot
Denpasar). Sesuai dengan table di atas, alur yang dapat diterapkan dan ditranslasikan
ke dalam kebijakan Pemerintah Kota Denpasar terkait pencegahan kelompok 3M
sebagai fokus baru kelompok rentan HIV/AIDS sesuai dengan yang telah diterapkan
oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah di lingkungan kerja terbagi menjadi
edukasi, cek kondisi atau status penderita, serta penandatanganan informed consent
untuk ditangani lebih lanjut, pun menghentikan penyebaran virus dengan melakukan
aktivitas seksual konkuren lebih lanjut.
Penutup
Tingginya prevalensi pengidap penyakit HIV/AIDS di Kota Denpasar telah
menjadi perhatian tersendiri bagi Pemerintah Provinsi Bali dengan serangkaian strategi
yang telah diupayakan ke beberapa kelompok rentan seperti pekerja seks komersial
serta mereka yang masuk dalam kelompok gay, waria dan ketertarikan seksual non-
heteroseksual lainnya. Terdapat satu kategorisasi yang luput dari pemetaan pencegahan
yang diterapkan oleh Pemerintah Provinsi Bali dan Pemerintah Kota Denpasar yakni
mengidentifikasi kelompok mobile men with money (3M) sebagai pengakses jasa seks
komersial di Denpasar yang dapat membawa penyebaran virus pada pandemik umum.
Hal ini dapat disikapi lebih lanjut dengan memperkenalkan sistem Pokja Tempat Kerja
yang berfungsi sebagai basis edukasi, konselor, dan penanganan bagi kelompok ini.
Tantangan berikutnya ialah seberapa jauh kemudian Pokja Tempat Kerja ini dapat
efektif yang mana membutuhkan kajian awal mengenai stakeholders yang tepat dalam
pengelolaannya, pun sektor industri mana yang diprioritaskan di Denpasar yang
pekerja di dalamnya diidentifikasi dalam kategori 3M tersebut. Untuk memastikan
langkah ini dapat berjalan jangka panjang, diperlukan sosialisasi strategi baru ini ke
dalam Rencana Aksi Pemerintah Kota Denpasar terhadap sasaran kelompok baru yakni
pria-pria yang dapat dikategorikan dalam kelompok 3M.
Daftar Pustaka:
Aggleton, Peter. 2013. Mobile men with money: HIV prevention and the erasure of
difference. Diakses dalam
[http://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/17441692.2014.889736] pada 5
November 2019
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No. 68 Tahun
2014. Diakses dalam [http://data.unaids.org/topics/partnership-
menus/indonesia_hiv-workplace_id.pdf] pada tanggal 4 November 2019
Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. 2015. Strategi dan Rencana Aksi Nasional
2015-2019: Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia. Diakses dalam
[http://siha.depkes.go.id/portal/files_upload/SRAN_2015_2019_FINAL.pdf]
pada tanggal 6 November 2019
Lestari, Tri Rini Puji. 2013. Kebijakan Pengendalian HIV/AIDS di Denpasar. Diakses
dalam [https://media.neliti.com/media/publications/39480-ID-kebijakan-
pengendalian-hivaids-di-denpasar.pdf] pada tanggal 5 November 2019
Rappler. 2016. Mengurangi Penyebaran HIV/AIDS oleh 3M. Diakses dalam
[https://www.rappler.com/indonesia/ayo-indonesia/sayaberani/152693-
mengurangi-penyebaran-hiv-aids-3m] pada tanggal 4 November 2019
The Jakarta Post. 2017. HIV Aids Prevention Should Also Focus on Men, Not Just
Sexual Workers: Djarot. Diakses dalam
[http://www.thejakartapost.com/news/2017/09/20/hivaids-prevention-should-
also-focus-on-men-not-just-sex-workers-djarot.html] pada tanggal 4 November
2019

Anda mungkin juga menyukai