Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Komunikasi antarbudaya terjadi ketika dua atau lebih orang dengan latar
belakang budaya yang berbeda berinteraksi. Proses ini jarang berjalan dengan lancar
dan tanpa masalah. Dalam kebanyakan situasi, para pelaku interaksi antarbudaya tidak
menggunakan bahasa yang sama, tetapi bahasa dapat dipelajari dan masalah komunikasi
yang lebih besar terjadi dalam area baik verbal maupun nonverbal. Khususnya,
komunikasi nonverbal sangat rumit, multidimensional, dan biasanya merupakan proses
yang spontan.

Orang-orang tidak sadar akan sebagian besar perilaku non-verbalnya sendiri,


yang dilakukan tanpa berpikir, spontan, dan tidak sadar. Kita biasanya tidak menyadari
perilaku kita sendiri, maka sangat sulit untuk menandai dan menguasai baik perilaku
verbal maupun perilaku non-verbal dalam budaya lain. Kadangkadang kita merasa tidak
nyaman dalam budaya lain karena kita merasa bahwa ada sesuatu yang salah.
Khususnya, perilaku nonverbal jarang menjadi fenomena yang disadari, dapat sangat
sulit bagi kita untuk mengetahui dengan pasti mengapa kita merasa tidak nyaman.

Pentingnya komunikasi antarbudaya dikarenakan interaksi sosial keseharian kita


itu adalah sesuatu yang tak dapat ditolak. Di dalam percakapan biasa antara dua orang
terjadi sekitar 35% komponen verbal sedangkan 65% lagi terjadi dalam komponen
nonverbal. Namun demikian, studi sistematis tentang komuniksi nonverbal telah lama
diabaikan. Studi komunikasi secara tradisional menekankan pada penggunaan bahasa itu
sendiri tanpa mencakup bentukbentuk komuniksi yang lain. Sepertinya telah ada
semacam praduga yang tidak beralasan mengenai bidang tersebut. Misalnya,
kebanyakan program-program pengajaran bahasa asing se-ring mengabaikan perilaku
komunikasi nonverbal.
Dewasa ini, pengetahuan mengenai kebudayaan-kebudayaan asing, baik itu
melalui kontak langsung maupun tidak langsung melalui media massa merupakan
pengalaman umum yang semakin banyak. Namun demikian, ketidaktahuan umum akan
adanya perbedaanperbedaan antara perilaku komunikasi nonverbal mereka sendiri
dengan perilaku nonverbal kebudayaan asing telah membaut orang awam berpikiran
bah-wa gerakan-gerakan tangan dan ekspresi wajah adalah sesuatu yang universal.

Pada kenyataannya, hanya sedikit saja yang mempunyai makna universal khu-
sus-nya adalah tertawa, tersenyum, tanda marah, dan menangis. Karena itulah, orang
cenderung beranggapan bahwa bila mereka berada dalam suatu kebudayaan yang
berbeda di mana mereka tidak mengerti bahasanya mereka mengira bisa aman dengan
sekedar mengetahui gerakan-gerakan manual. Namun, karena manusia memiliki
pengalaman hidup yang berbeda di dalam kebudayaan yang berbeda, ia akan
menginterpretasikan secara berbeda pula tanda-tanda dan simbol-simbol yang sama.

1.2.Rumusan Masalah

Bagaimana Pengaruh Budaya pada Konteks Ruang Lingkup Bisnis?

1.3.Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penelitian dari rumusan masalah tersebut adalah :

1. Mengetahui dan Memahami Budaya dan Konteks


2. Mengetahui dan Memahami Komunikasi Antarbudaya dalam Konteks Bisnis
3. Mengetahui dan Memahami Etika Komunikasi Bisnis Antarbudaya
4. Mengetahui dan Memahami Budaya dalam Konteks Bisnis Multikultural
5. Mengetahui dan Memahami Manajemen Antarbudaya
6. Mengetahui dan Memahami Negoisasi Bisnis Antarbudaya
7. Mengetahui dan Memahami Persepsi atau Negoisasi Antar Budaya yang
Berbeda
8. Mengetahui dan Memahami Manajamen Konflik Antarbudaya
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Budaya dan Konteks

Komunikasi tidak terjadi dalam ruang hampa. Semua interaksi manusia


dipengaruhi oleh keadaan budaya, sosial, dan fisik. Keadaan ini disebut dengan konteks
komunikasi. Apa yang hendak kami nyataka di sini adalah bahwa budaya anda
menentapkan perilaku komunikasi yang pantas dalam konteks sosial dan fisik
yangberagam berdasarkan peraturan yag ada. Tiga asumsi dasar mengenai komunikasi
manusia yang secara langusng diterapkan ke dalam ruang lingkup (Samovar, 2010: 343-
346):

a. Komunikasi Diatur Oleh Peraturan

Sadar atau tidak sadar, manusai berharap bahwa interaksi mereka akan
mengikuti peraturan yang tepat dan secara budaya ditentukan oleh peraturan-peraturan
yang mengatakan kepada kedua belah pihak perilaku apa yang tepat dalam situasi
tertentu. Morreale, Spitzberg, dan Barge menyatakan bahwa ada sejumlah peraturan
yang mengatur persahabatan (secara emosi mempercayai orang lain dibandingkan
menyimpan rahasia) dan konfilik (menaikan nada suara dengan tidak menunjukan emosi
apa pun). Apa yang menarik dari pertauran budaya adalah bahwa mereka, seperti
budaya yang lain, dipelajari dan dipertahankan.

b. Konteks Membantu Menetapkan Peraturan Komunikasi

Seperti yang dinyataan oleh Shimanoff dalam karyanya, peraturan merupakan


“ketentuan yang mengindikasi perilaku apa yan diwajibkan disukai atau dilarang dalam
kontes tertentu. Dalam wawancara kerja anda mungkin mneggunakan kata-kata yang
formal dan hormat seperti ”pak” atau “bu” ketika menjawab calona atasan anda.
Namun, dalam pertandingan sepak bola atau bola basket, bahasa yang anda gunakan
mungkin sedikit formal menggunakan bhasa gaul da kata-kata yang bersifat mengina
tim lawan.
c. Peraturan Komunikasi Secara Budaya Berbeda

Asumsi ketiga adalah bahwa peraturan dapat ditentukan dapat ditentukan oleh
kelompok yang khusus (jabatan tangan kelompok persaudaraan atau kata sandi rahasia),
komunitas (bahasa geng dan “tanda-tanda”) atau budaya. Kita mulai menyatakan bahwa
walaupun budaya memiliki banyak ruang lingkup sosial (Sekolah, pertemuan, bisnis,
rumah sakitdan lain sebagainya), anggota budaya tersebut kadang menaati peraturan
yang berbeda ketika berinteraksi dalam lingkungan tersebut. Di turki misalanya, rekan
anda asal Turki akan bersikeras membayar semua biaya jamuan. Orang Turki terkenal
dengan kerahmahtamahannya, dan mereka tidak akan mengizinkan anda membayar
makanan. Di Amerika Serikat dimana peraturan jmauan bisnis sangat berbeda, biaya
makan atau hibura kadang dibagi.

2.2.Menilai Suatu Konteks

Terlepas dari konteks atau budayanya, anda akan menemukan peraturan


komunikasi yang menyangkut (Samovar, 2010: 346-351) :

a. Keformalan dan Ketidakformalan

Ketidakformalan: Di Amerika Serikat, ketidakformalan kadang


dimanifestasikan dalam berbagai cara. Misalnya, terlepas dari posisi sosial mereka,
kebanyak orang Amrika aka langsung menggunakan nma depan mereka ketika bertemu
orang asing. Bahkan, sapaan sederhana “Hi” dapat dianggap sebgai gambaran
ketidakformalan orang Amerika. Althen menyimpulkan bagaimana ketidakformalan ini
biasanya tercermin dalam budaya Amerika Serikat: ungkapan idiomatic dan bahasa gaul
sangat bebas digunaan dalam hampir semua kesempatan, kata-kata formal hanya
digunakan pada acara umum dan situasi yang cukup formal. Orang-orag dari setiap jenis
kehidupan dapat dilihat di depan umum mengenakan celana jin, sandal atau pakaian
yang tidak formal lainnya. Orang-orang duduk selonjoran di kursi atau bersandar pada
dinding atau perabot ketika mereka berbicara, dibandingkan dengan berdiri atau duduk
tegak. Ketidakformalan dan keterbukaan yang diunjukan oleh masyarakat Amerika
Serikat dapat menjadi suber kebingungan dan keslaahphaman bagi orang yang berasal
dari budaya yang lebih formal.

Keformalan: Formalitas juga merupakan bukti dari bagaimana cara memanggil


seseorang dalam suatu budyaa. Jika anda tidak mengetahui perbedaanya, maka akan
menyebabkan maslaah. Masyarakat Jerman, misalnya memanggil orang lain dan
memperlakukan diri mereka sendiri dengan cara yang snagat formal yang dianggap
sebagai hal yang ekstrem oleh orang Amerika. Bangsa Jepang menggunakan formalitas
sebagai cangkang untuk menjaga jarak dengan seseorang sambil memutuskan apakah ia
menginginkan suatu hubungan dengan orang tersebut. Sekali cangkang itu ditembus,
bagaimanapun, bangsa Jepang akan menjadi snagat mengasihi, murah hati, dan
kelemahan pribadi bukanlah suatu masalah.

b. Ketegasan dan Keharmonisan Interpersonal

Ketegasan : Tradisi perilaku yang berisfat langsung, tegas, dan agresif di antara
orang Amerika tidak terjadi begitu saja. Suatu budaya yang memiliki sejarah panjang
dalam menghargai ketidakcocokan, individulisme, kompetisi, kebebasan dalam
bereskpresi, dan bhakan beberapa bentuk pemberontakan mendorong perilaku asertif.
Alasan masyarakat Amerika mnghargai komunikasi asertif, menurut Nadler, Nadler,
dan Broome jelas: “Masyarakat Amerika Utara diharapkan untuk memperjuangkan hak-
hak mereka.

Keharmonisan Interpersonal : Di antara budaya Asia Timur Laut dan Asia


Tenggara, perjanjian yang menguntungkan, kesetiaan dan kewajiban timbale balik
merupakan hal yang penting untuk suatu hubungan yang harmonis.dalam budaya
Filipina, seperti yang kita sebutkan dalam contoh mengenai perawat, sangat menghargai
nilai kerharmonisan interpersonal. Orang Filipina memiliki dua istila yang menyatakan
konsep keharmonisan: amor propio dan pakikisama. amor propiodi diterjemahkan
dalam bahasa inggris sebagai “keharmonisan” serta merujuk pada rasa harga diri dan
penghargaan diri, dalam berinteraksi dengan orang lain. Hal ini diperlakukan sebagai
seseorang dibandingkan sebagai suatu objek. Mereka melihat sifat kasar dan terbuka
sebagai ciri orang yang tidak brbudaya. Sebaliknyamereka menghargai pakikisma atau
hubungan interpersonal yang mulus.

Dengan alasan yang berbeda dari yang ditemukan dalam budaya Asia, orang
Meksiko juga menghargai hubungan interpersonal yang mulus dan mendorong perilaku
yang sopan. Dalam konteks bisnis, pandangan mengenai hubungan yang harmonis,
menurut Kras, “ menuntut postur tubuh yang menghormati, dan kadang-kadang, terlihat
merendahkan diri (Samovar, 2010: 348).

c. Hubungan Status

Menggunakan skala klasifikasi yng luas, suatu budaya secara umum dapat
dikelompokkan sebagai Egalitarian, dengan sedikit perhatian terhadap perbedaan sosial,
atau Hierarkis, menekankan pada status atau tingkatan.

Egalitarian: Aliran egalitarian memfasilitasi dan mendorong keterbukaan di


anatar pelaku komunikasi, menekankan interaksi informal antara bawahan dan atasan,
dan mengurangi ekspetasi akan rasa hormat dan formalitas. Status sseorang biasanya
dieroleh melalui usaha seseorang, melalui usaha seseorang, seperti kesuksesan dalam
bisnis ata mencapai tingkatantertinggi jaln yang terbuka bagi semua orang. Hal ini
menciptakan suatu lingkungan obilitas sosial dengan mendorong bahwa setiap orang
meiliki ksempatan unutk meningkatkan status sosialnya. Amerika Serikat, Australia,
Israel, dan Selandia Baru dianggap sebagai budaya egalitarian. Banyak orang Amerika
Serikat yang tidak peduli dengan perbedaan status sosial dan kekuasaan. Hal ini sebagia
karen awarisan budaya Amerika Serikat, ketika penduduk mula-mula dipaksa untuk
bekerja keras supaya dapat bertahan hidup.

Hierarkis: Dalam budaya ini, status biasanya ditentukan oleh


kelahiran,pengangkatan atau usia. Seperti yang ditulis dalam bab 3, ajaran Confusius
berperan penting dalam tradisi hierarkis di beberapa negra Asia. Espresi hierarkis sosial
aliran Confusius dapat dlilihat di Cina, Jepang, Korea, Taiwan, Vietnam, dan Singapura.
Jaran Confusius menyediakan struktur sosial yang spesifik dan hierarkis dan berisi
petunjuk mengenai hubungan antara senior dan junior. Variasi penggunaan bhasa di
antara orang-orang dari budaya hierarkis tidak hanya di Asia saja. Misalnya spnyol,
Meksiko dan banyakk dari negara bebahasa Spanyol, kata informal tu (kamu) digunakan
di antara keluarga, teman, dan rekan kerja yang dekat, namun ketika berhubungan
dengan orang ynag hubungannya tidak dekat, kata usted yang formal yang digunakan.
Kemampuan berkomunikasi dengan seseorang di manapun di seluruh dunia tanpa
menyadari status memiliki arti khusus dalam budaya dan organisasi bisnis dengan
hierarki yang jelas, karena perwakilan senior enggan untuk berbaur dengan mereka yang
lebih junior dari mereka.

2.3.Etika Komunikasi Bisnis Lintas Budaya

Kemajuan teknologi komunikasi tidak otomatis membuat komunikasi tatap-


muka tidak penting. Kita bisa berkomunikasi lewat telepon genggam, e-mail,
melakukan teleconferencing, namun kita tetap merasa perlu berkomunikasi tatap-muka,
karena bentuk komunikasi inilah yang paling sempurna, yang memungkinkan kita
memupuk keakraban dan kehangatan sesama kita. Mereka yang bekerja dalam
organisasi percaya bahwa penggantian percakapan tatap-muka dengan surat elektronik
atau pertemuan lewat video, dapat menambah perasaan terasing, tidak puas, terkucil,
atau perasaan bahwa “tempat ini benar-benar tanpa sentuhan pribadi” (Mulyana, 1999:
3).

Karena itu, pada era perdagangan bebas abad ke-21, para pebisnis tetap merasa
perlu bertemu dan berunding secara tatap muka, meskipun mereka juga menggunakan
peralatan komunikasi yang canggih (Mulyana, 1999:3). Ribuan perusahaan sekarang ini
beroperasi secara internasional dan multinasional. Interaksi antara ekspatriat dan orang
lokal kini menjadi fenomena sehari-hari, namun tidak dengan sendirinya berjalan mulus.

Inti dari kegagalan bisnis dalam era global adalah kesulitan-kesulitan memahami
etika komunikasi yang harus dihadapi para pebisnis yang terlibat, yang diakibatkan
perbedaan dalam ekspektasi budaya masing-masing pebisnis. Perilaku manusia memang
tidak bersifat acak. Semakin kita mengenal budaya orang lain, semakin terampilah kita
memperkirakan ekspektasi orang itu dan memenuhi ekspektasinya tersebut. Ekspektasi
ini dan cara kita memenuhinya didasarkan pada penglaman-pengalaman kita
sebelumnya yang belajar mengenal dan memahami budaya orang lain.

Antroplog Edward T. Hall (1973) berpendapat bahwa budaya adalah komunikasi


dan komunikasi adalah budaya. Dengan kata lain, “tak mungkin memikirkan komunikasi
tanpa memikirkan konteks dan makna kulturalnya” (Mulyana, 2015: 4). Harus diakui
bahwa budaya menentukan cara kita berkomunikasi. Implisit dalam komunikasi tersebut
juga adalah etika komunikasi bisnis yang harus dipenuhi ketika pebisnis berkomunikasi
dengan pebisnis lainnya dari budaya yang berbeda.

Budaya-budaya bisnis yang berbeda menyarankan etika berbicara dan etika


perilaku non-verbal yang berbeda pula. Misalnya, berbohong untuk menjaga harmoni
hubungan sosial lebih dapat diterima dalam budaya Timur daripada keterusterangan
dalam budaya Barat yang sering “menyinggung perasaan.” Dengan kata lain, apa yang
dianggap kebohongan dalam budaya Barat mungkin dianggap sopan santun dalam
budaya Timur.

Berbagai aspek etika komunikasi bisnis, seperti bagaimana kita memanggil


nama, berkenalan, menyapa, berjanji, melakukan presentasi, melakukan negoisasi,
melakukan kontrak, semua itu terikat budaya. Jadi, tidak ada etika komunikasi bisnis
yang universal.

2.4.Komunikasi Antarbudaya dalam Konteks Bisnis


a. Ruang Lingkup Bisnis Internasional

Perpindahan dari masyarakat agraris ke masyarakat industry dalam pertengahan


abad ke-19, mengembangkan dan mempercepat perdagangan lintas budaya. Meskipun
Krisis Global dan Perang Dunia ke-2 memperlambat perdagangan di seluruh dunia,
ketika satu dari hal ini berakhir, globalisasipun semakin berkembang. Sistem
transportasi, teknologi komunikasi, dan distribusi produk semakin maju telah membawa
apa yang disebut oleh Cairncross “kematian jarak” dengan berkurangnya atau hilangnya
halangan waktu dan tempat (Samovar, 2010: 355).
Pentingnya batasan negara telah berkurang dalam masa yang ditandai oleh
perusahaan internasional, merger, perjanjian lisensi, investasi modal asing, dan produksi
lepas pantai. Hal ini mengakibat ketergantungan ekonomi antar negara, karena
globalisasi adalah ketergantungan dibandingkan dominasi, merupakan kata kunci dalam
berbisnis.

Ketergantungan internasional dalam abad ini tidak terbatas pada perdagangan


dan barang jadi. Semua perubahan antarbudaya dalam area bisnis yang telah kita bahas
menciptakan lingkungan dimana “berbisnis” membutuhkan orang dari budaya yang
berbeda untuk bekerjasama. Globalisasi mempengaruhi seseorang dari satu budaya
bekerja tidak hanya dengan, namun juga dengan, orang dari budaya lain.

2.5.Komunikasi Dalam Konteks Bisnis Multikultural

a. Protokol Bisnis

Karena protokol bisnis melibatkan bentuk perayaan, etiket, dan kode perilaku
yang benar, penting untuk mengerti peraturan tersebut dalam transaksi bisnis. Ada
beberapa variasi protokol bisnis yang akan dibahas, yaitu sebagai berikut :

1. Hubungan Awal

Cara menetapkan hubungan awal dapat meliputi dari mengirimkan e-mail,


membuat panggilan telepon, menulis surat formal atau menggunakan seorang perantara.
Di mana prosedur ini berkaitan dengan budaya orang yang berhubungan dengan anda.
Jika anda gagal mengikuti protokol yang benar dan melanggar peraturan budaya
tersebut, anda tidak akan berhasil melakukan urusan bisnis dengan negara yang berbeda
tersebut.

Kita mulai dari Jepang, cara paling efektif membangun hubungan bisnis di
Jepang adalah melalui pertemuan tatap mata yang formal dengan tujuan
memperkenalkan suatu produk. Masyarakat India juga memiliki perilaku yang sama
mengenai pertemuan pertama, karena India merupakan budaya yang berdasarkan
hubungan, dan oleh karena itu, interaksi yang pertama kadang “melalui rekan bisnis”.
Dalam budaya Amerika Latin, disarankan menggunakkan persona bien colocada lokal
(orang yang berhubungan baik) untuk memperkenalkan atau menghubungi Anda.

Jika dengan orang Amerika, umumnya melakukan hubungan awal dengan


mereka hanya melalui panggilan “cold call” (panggilan telepon yang dilakukan tenaga
penjual kepada calon klien yang tidak dikenalnya). Namun, dalam budaya Mesir justru
menggunakan perantara yang terpercaya untuk melakukan suatu hubungan awal. Jika
Anda ingin membuat janji bertemu di Mesir, Anda harus mengirimkan surat perkenalan
kepada contact person Mesir yang dapat memfasilitasi suatu pertemuan.

Di Afrika memakai jasa perantara juga penting. Richmond dan Gestrin


(Samovar, 2010: 361) menyatakan bahwa perantara dapat membukakan pintu,
memastikan kunjungan Anda diterima dengan hangat, dan menilai prospek proposal
yang anda rencanakan.

Cina juga merupakan salah satu contoh yang menggunakan jasa perantara.
Seperti yang dituliskan oleh Zinzius (Samovar, 2010: 361), “Tidak akan mungkin
terjadi di Cina tanpa jasa perantara”. Orang Cina sangat bergantung pada hubungan
interpersonal yang disebut dengan guanxi, dibangun dan dipertahankan melalui
kewajiban timbal balik yang dimulai dengan keluarga dan teman dan berkembang pada
rekan organisasi.

2. Cara Menyapa

Amerika Serikat. Ketika suatu pertemuan ditentukan, paling penting untuk


membiasakan diri untuk menggunakan cara menyapa dalam budaya tuan rumah. Orang
Amerika cenderung informal dan bersahabat, salah satu bentuknya ialah mengucapkan
“Hi” kepada orang Asing. Dalam banyak negara di dunia, mengatakan “hi” pada orang
asing tidak biasa terjadi. Di Amerika Serikat, baik laki-laki maupun perempuan berjabat
tangan ketika bertemu maupun berpisah. Nama pertama bisanya digunakan ketika
memanggil orang yang lebih senior atau dalam situasi formal.

Cina. Komunitas bisnis Cina lebih formal dibandingkan Amerika Serikat, dan
orang Cina selalu menyapa orang yang lebih senior dahulu. Mereka juga menggunakan
gelar yang sangat jelas menggambarkan bagaimana budaya ini menekankan hierarki.
Orang Cina menempatkan nama keluarganya terlebih dahulu dan disusul dengan nama
yang diberikan. Misalnya, nama Wang Jintao, Wang adalah nama keluarga, dan Jintao
adalah nama yang diberikan, sehingga dalam bahasa inggris nama yang tepat adalah
“Mr.Wang”. Banyak orang barat yang tidak tahu akan hal ini dan salah memanggil
nama pertama rekannya. Orang Cina juga mengadopsi jabat tangan dalam pertemuan
pertama dan berikutnya. Ada gerakan non-verbal orang Cina yang berbeda dengan
orang Barat. Misalnya, anggukan kepala digunakan oleh orang Cina untuk menghargai
si pembicara, bukan untuk menyetujui apa yang dikatakan. Kontak mata langsung juga
harus dihindari, meskipun di Barat Anda diharapkan untuk mempertahankan kontak
mata selama diskusi, orang Cina menganggap itu kasar dan tidak menghargai (Samovar,
2010: 363).

India. Di India dan budaya Hindu lainnya, sapaan sosial yang umum adalah
Namaste, dimana seseorang menekan kedua belah tangan ke dada, seperti ketika berdo
dan sedikit membungkuk ke arah orang lain. Karena orang India sangat menghargai
nilai hubungan, jarak hubungan juga bagian dari perilaku.

Jepang. Ritual sapaan yang umum di Jepang adalah membungkuk. Membungkuk


adalah hal yang berhubunga langsung dengan status dan urutan. Bagi orang Jepang
perilaku yang tepat untuk menyapa orang lain adalah membungkuk, terutama kepada
orang yang lebih tua dan orang yang punya kedudukan lebih tinggi, yang berstatus
rendah membungkuk terlebih dahulu, kalau statusnya sama membungkuk dengan
kedalaman yang sama. Makin rendah status atau jabatan, makin rendah dan makin lama
bungkukkannya. Sering bungkukkan hanya satu atau dua detik dengan sudut 15 derajat.
Kepada atasan bawahan bisa membungkuk 30 derajat selama 2 atau 3 detik 9 (Mulyana,
2015:9).

Selain untuk menyapa, membungkuk juga dilakukan orang Jepang saat mereka
akan memberi hadiah, mengucapkan selamat atau simpati, memohon atau meminta
maaf, menyatakan setuju atau memberi tanda menutup pembicaraan atau berpisah.
Berdasarkan suatu survey, pebisnis Jepang membungkuk 200-300 kali sehari,
sedangkan escalator girl sebuah department store membungkuk 2000-3000 kali sehari
(Holroyd dan Coates, 1999:113-114; Feraro,2002: 77-78 dalam Mulyana, 2015).

Protokol penting yang lain dalam menyapa pebisnis Jepang adalah saling
bertukar kartu nama. Cara bertukar kartu nama dapat memberikan indikasi bagi pebisnis
Jepang apakah mitra komunikasinya layak dijadikan mitra bisnis atau tidak. Seorang
pebisnis asing yang begitu menerima kartu nama (meishi) dari pebisnis Jepang lalu
memasukkannya ke saku atau dompetnya atau tanpa memperhatikannya terlebih dahulu
hampir dipastikan takkan dikontak lagi oleh orang Jepang itu untuk merencanakan
kerjasama pada masa mendatang (Mulyana, 2015:6).

Jika orang Jepang memberikan kartu namanya kepada Anda, terimalah kartu
nama itu dengan kedua tangan Anda, perhatikan dengan seksama, bagi komentar, dan
setelah itu simpanlah dengan hati-hati meishi itu disebuah tempat khusus, tidak
memasukkannya di dompet yang akan Anda duduki. Bagi orang Jepang duduk di atas
identitasnya adalah penghinaan (Mulyana, 2015:6).

Arab. Diperikirakan, ada 30 cara bersapa orang Arab yang berbeda, berdasarkan
situasi dan hubungan yang dapat menjadi bagian dari sapaan. Ada formula dalam
menyapa di pagi dan malam hari, pertemuan setelah lama berpisah, pertemuan untuk
pertama kalinya, dan untuk menyambut seseorang yang baru saja berpergian. Berbagai
sapaan ini melibatkan berbagai jabatan tangan serta, bagi laki-laki, memeluk dan
mencium kedua pipi. Gelar sangat penting bagi orang Arab dan selalu digunakan dalam
konteks bisnis.

Meksiko. Cara menyapa orang Meksiko adalah melalui jabatan tangan. Orang
Meksiko juga kadang berjabat tangan ketika berpisah. Gelar sangat penting di Meksiko,
terutama dalam bisni, menggunakan gelar akan menolong Anda memperoleh rasa
hormat dari rekan dan bawahan asal Meksiko.

3. Penampilan Pribadi

Penampilan pribadi penting dan berhubungan dengan protokol. Amerika


Serikat merupakan budaya yang informal. Ketidakformalan direfleksikan oleh
kebijaksanaan “casual Friday” yang digunakan organisasi di Amerika Serikat untuk
mengizinkan karyawan berpakaian santai. Organisasi “dot-com” di Lembah Silikon
dikenal dengan gaya berpakaian yang sangat informal dan pebisnis muda kadang
berbisnis hanya dengan menggunakan kaos Polo dan celana jin.

Berbeda halnya dengan Jepang, di Jepang setelan hitam merupakan seragam


yang standar bagi karyawan di Jepang. Di Jepang busana sangat menentukan
penerimaan diri di perusahaan. Khusus untuk busana, warna merah dan kuning tidak
dapat diterima disuatu perusahaan. Model tertentu setelan jas hitam, kemeja putih, dasi
bergaris hitam atau biru tua dan putih, gaya rambut mengikuti potongan rambut salary
man hair style atau sararimang hea sutairu. Pemakaian cairan rambut harus
diperhatikan agar tidak menyebarkan bau yang tajam, aksesoris tidak boleh bermerek.
Bila junior memakasi aksesoris yang bermerek terkenal akan membuat senior merasa
direndahkan (dalam Dance Wamafma, 2012). Pebisnis Jerman juga berpakaian secara
konservatif; setelan hitam dan kemeja putih merupakan pakaian standar (Samovar,
2010: 365). Meksiko merupakan negara lain di mana berpakaian dengan pantas
termasuk dalam konteks bisnis. Sebenarnya di Meksiko kesuksesan dihubungkan
dengan penampilan.

Pakaian profesional penting dalam acara perkumpulan bisnis formal di negara-


negara Asia. Pebisnis wanita Barat yang bekerja dalam negara Islam atau dengan rekan
Muslim, harus berpakaian secara konservatif dan sederhana dengan garis leher yang
tinggi, lengan panjang, dan rok melewati lutut. Celana tidak dianjurkan untuk dipakai.

4. Pemberian Hadiah

Di Amerika Serikat memberikan atau membayar uang sebelumnya dianggap


sebagai bentuk penyuapan. Sehingga dilarang oleh “Foreign Corrupt Pratice Act” yang
menetapkan bahwa menyuap pemerintah untuk memperoleh atau mempertahankan
bisnis adalah melanggar hukum. Cina juga telah membentuk undang-undang yang
menetapkan hadiah lebih dari 180 dolar AS adalah sebagai suapan. Terlepas dari semua
itu, pertukaran hadiah tetap dianggap sebagai protokol bisnis yang umum, namun
perwakilan bisnis internasional harus memahami antara apa yang dianggap hadiah dan
suap.

Di Jepang pemberian hadiah merupakan suatu ritual. Menyimpan hadiah dan


membukanya lain kali adalah peraturan di Thailand. Pemberian hadiah di Jepang
adalah salah satu bentuk dari formalitas, yang diberi dan diterima dengan kedua tangan.
Di Meksiko dan Cina pemberian hadiah merupakan bagian dari hubungan bisnis.

Di Jepang pemberian bunga putih tidak diberikan sebagai hadiah karena


biasanya diasosiasikan dengan pemakaman, demikian halnya dengan bunga krisan di
Italia. Minum beralkohol juga tidak diberikan pada negara0negara Muslim. Sebagai
tambahan, jangan pernah memberi hadiah menggunakan tangan kiri kepada Muslim.
Dresser menyatakan memberikan hadiah jam di Jepang sama halnya dengan “aku harap
kamu meninggal” (Samovar, 2010: 367). Ketika angka 13 merupakan angka sial di
Amerika, hadiah dengan angka 4 justru hal yang tidak pantas dalam budaya Jepang
karena pelafalan angka empat dan mati di Jepang adalah sama.

5. Topik Percakapan yang Tabu

Bagi orang Amerika topik basa-basi yang paling popular adalah masalah cuaca
atau komentar seputar lingkungan fisik sekitar, seperti pengaturan ruang rapat atau
beberapa aspek dari suatu bangunan. Pertanyaan pribadi tidak dianggap sebagai hal
yang tabu dalam konteks bisnis, misalkan “Apa yang anda kerjakan?”, “Sudah berapa
lama anda bekerja di perusahaan ini?”, semua topic ini dianggap terlalu pribadi dalam
banyak budaya.

Dalam hal mempertanyakan “bagaimana keadaan keluargamu?”, pertanyaan


seperti itu tidak pantas di Arab Saudi. Menyangkut Afrika Selatan, Martin dan Chaney
mengatakan bawa anda seharusnya menghindari pertanyaan pribadi, seperti status
pernikahan, juga hindari pertanyaan mengenai perbedaan etnis atau politik (Samovar,
2010: 368).

2.6.Manajemen Antarbudaya
Manajer yang bekerja dengan budaya yang berbeda harus mengembangkan
teknik yang inovatif serta secara budaya pantas untuk memotivasi karyawannya. Bagi
seorang manajer Internasional, kekompleksan tugas dipersulit oleh pengaruh budaya.
Hal ini karena budaya memiliki pandangan berbeda mengenai teknik manajemen yang
baik dan buruk.

Menurut Early dan Ang, “pemahaman mengenai perbedaan budaya ini akan
meningkatkan kemampuan Anda untuk memenuhi berbagai tuntutan sebagai manajer
Internasional.” Dua perbedaan utama yang dinyatakan oleh Early and Ang berhubungan
dengan (1) kepemimpinan manajerial, dan (2) bagaimana manajer menghadapi proses
pengambilan keputusan dalam organisasi (Samovar, 2010: 369).

a. Gaya Kepemimpinan

AMERIKA SERIKAT

Manajer Amerika Serikat memiliki gaya yang menekankan “doing” (tindakan)


dibandingkan “being” (ada), individualisme dibandingkan kolektivitas, dan jarak
kekuasaan yang dekat dibandingkan dengan jarak kekuasaan yang jauh. Sebagai
tambahan, penelitian pada manajer di Amerika Serikat membuktikan bahwa mereka
menghargai prestasi dan inisiatif pribadi, tindakan serta akibat dan berusaha mengurangi
perbedaan status. Manajer menginspirasi “karyawan dengan menjanjikan promosi,
kenaikan gaji, bonus, dan bentuk lain dari pengakuan publik”.

JEPANG

Pengamatan sederhana menunjukkan bahwa budaya Jepang secara tradisional


berorientasi pada kelompok dan perhatian terhadap seseorang dihindari. Karakteristik
dari gaya manajemen Jepang menjunjung tinggi nilai yang ditempatkan pada karyawan
yang terintegrasi secara harmonis dalam suatu organisasi yang dianggap sebagai
keluarga besar.

Aspek pentingnya dari gaya manajemen khas Jepang dapat ditemukan dalam
ungkapan, “setiap orang adalah junior ataupun senior”. Seperti yang dinyatakan
sebelumnya, Jepang disamping merupakan budaya kolektif juga merupakan budaya
hierarkis. Jadi, ketika manajer menekankan prestaso kelompok, ia juga berusaha
mendapatkan rasa hormat.

KOREA DAN CINA

Budaya Asia lainnya yang memiliki gaya manajemn yang menekankan


keharmonisan kelompok pada saat yang sama jiha menekankan bahawa setiap orang
dalam perusahaan harus mengetahui tempatnya. Di Korea misalnya, atasan Korea
merupakan raja perusahaannya, karyawan memperlakukannya dengan hormat.
Hubungan kekuasaan juga merupakan penentu utama interaksi sosial di Cina-baik di
luar maupun di dalam konteks bisnis. Senioritas merupakan sumber kekuasaan utama.
Senioritas berasal dari usia dan lamanya seseorang bekerja di organisasi tersebut.

MEKSIKO

Eksekutif asal Meksiko sangat menghargai otoritas. Ditanamkan dalam diri


mereka untuk menerima otoritas tertinggi dalam diri orangtua dan kadang kala, orang
yang lebih tua. Sebagai akibatnya, eksekutif muda tidak pernah mempertanyakan atau
berkomentar terhadap keputusan yang diambil oleh superior mereka, bahkan ketika
mereka benar-benar tidak menyetujuinya (Smovar, 2010:371).

Budaya Meksiko cenderung menerima jarak kekuasaan yang besar. Yaitu, secara
umum, orang Meksiko percaya bahwa setiap orang memiliki tempat dalam urutan
ketidaksetaraan. Atasan dan bawahan msing-masing memandang yang lainnya sebagai
orang yang berbeda. Bawahan percaya bahwa atasan mereka tidak mudah ditemi dan
atasan memiliki hak istimewa yang merupakan hak bawaan.

b. Gaya Pengambilan Keputusan

Setiap manajer, terlepas dari budayanya, harus mengambil keputusan penting.


Adler, mengutip ahli teori organisasi yang terkenal Herbert Simon, menuliskan,
“pengambilan keputusan peranan utama manajer” (Samovar, 1010: 373). Pengambilan
keputusan dapat terjadi dalam konteks yang sangat berbeda seperti manajemen
personalia, perkembangan, produk baru, perluasan pasar, inisiatif penjualan, serta
penerimaan atau penolakan proposal, dan lain sebagainya.

Keputusan pada umumnya dibuat oleh sekelompok eksekutif yang di anggap


memiliki tanggung jawab penuh dalam mengambil keputusan atas perusahaan. Prosedur
ini merupakan akibad dari warisan dari budaya Amerika yang menekankan aliran
egalitarianisme, kebebasan, individualisme, perubahan yang sering terjadi, dan kemauan
menghadapi konflik. Dalam perusahaan Amerika Serikat, otoritas untuk membuat
keputusan penting dalam tangan individual dari tingkat atas memungkinkan proses yang
cepat ketika di perlukan, dan kadang di amanatkan penelitian (seperti analisi pasar dan
survei lingkung) telah dilakukan. Manajer di perusahaan Arab dan Nigeria, sama halnya
dengan di Amerika Serikat, juga menerapkan pengambilan kekuasaan oleh mereka yang
memiliki posisi yang tinggi.

Jepang merupakan contoh yang tepat dari budaya dimana proses pengambilan
keputusan oleh kelompok lebih disukai dibandingkan dengan pendekatan pribadi.
Orientasi kelompok yang kuat dan penekanan pada stabilitas sosial merupakan perhatian
yang menonjol dalam pengambilan keputusan berdasarkan kosensus di Jepang. Berbeda
dengan model top-down Amerika, pengambilan keputusan dalam perusahaan jepang
yang besar biasanya dimulai dengan manager tingkat menengah dan mengikuti prosedur
bottom-Up yang dikenal sebagai ringi seido.

2.7.Negosiasi Bisnis AntarBudaya

Mengingat bahwa negosiasi merupakan hal yang penting dalam semua merger
internasional, joint venture ekpor dan impor, perjanjian hak paten, dan setiap usaha
komersial lintas budaya. baik negosiasi domistik maupun internasional melibatkan
perwakilan dari organisasi yang berbeda bekerja untuk mencapai keputusan yang saling
menguntungkan, dimana dalam waktu yang sama untuk mengurangi perbedaan,
kesalahpahaman, dan konflik. Untuk mencapai tujuan ini, mereka mengandalkan
komunikasi, peranan komunikasi begitu penting, sehingga Drake menyebut sebagai
“Negosiasi hidup-darah,” dan hal tersebut biasa dilewatkan dalam studi mengenai
negosiasi.
2.8.Persepsi Atau Negosiasi Yang Berbeda

Budaya berperan penting ketika perwakilan dari latar belakang budaya yang
berbeda berkumpiul untuk berusaha mencapai kesepakatan yangt menguntungkan kedua
belah pihak. Tantangan ini timbul karena pesertya negosiasi lintas budaya dipengaruhi
oleh gaya menawar di negara masing-masing. Gaya ini kadang merupakan hasil dari
warisan budaya yang berbeda, perbedaan arti dari kepercayaan, pandangan berbeda dari
protokol, perilaku yang bervariasi menegnai mengambil resiko dan persepsi mengenai
waktu yang berbeda. Bahkan perilaku suatu budaya terhadap formalitas dan ketidak
formalan dapat ditemukan dalam suatu rapat bisnis.

Pandangan Amerika Serikat dapat dengan mudah menciptakan masalah ketika


pebisnis Amerika bernegosiasi dengan anggota budaya kolektif. Misalnya, negosiator
asal Jepang dan Cina memiliki pandangan jangka panjang mengenai spekulasi bisnis.
Tujuan utama mereka adalah untuk membangun hubungan, menetapkan tingkat
keprcayaan, dan menentukan keinginan untuk memasuki asosiasi dengan organisasi
yang lain. Filosofi yang tidak bertentangan dalam budaya ini lebih kolektif dan berfokus
pada kepentingan bersama, menigkatkan pandangan “menang-menang” hal ini
bertentangan dengan pandangan Amerika yang lebih agresiif dalam “bisnis adalah
bisnis”. Pandangan Asia dan Meksiko dab tidak agresif juga bertentangan dengan
ditemukan di Timur Tengah. Disini, seseorang negosiator harus kuat dan dinamis
namun juga dilihat sebagai seseorang yang tulus dan terikat pada kepercayaan. Seperti
yang dikatakan oleh Hooker, di Timur Tengah, “negosiasi merupakan kemampuan yang
sama dengan level bedah otak.”

a. Pemilihan Negosiator

Amerika Serikat merupakan egalitarian yang kuat, sehinghga masyarakat


Amerika rentan memilih anggota berdasarkan kemampuan manajerial yang telah
terbukti, kompetitif, dan kemapuan verbal, dengan sedikit perhatian terhadap posisi
mereka dalam periusahaan. Mereka dipilih bukan karena status mereka, namun juga
karena keefisienan dan bahkan kemampuan persuasif mereka. Kemampuan mereka
untuk “mencapai tujuan denganj mengeluarkan sedikit waktiu dan uang” juga
dipertimbangkan. Usia negosiator dapat menjadi suatu faktor. Orang Cina dan Korea,
sebagian karena pengaruh sikat Confusius terhadap yang lebih tua, biasanya
mengirimkan anggota perusahaan yang lebih tua untuk memimpin tim negosisasi.
Namun dalam masyarakat Barat, terutasma di Amerika Serikat, usia hanyalah isu yang
kecil dibandingkan dengan pengalaamn atau kompetensi.

Negosiator Cina biasanya berusia sekitar 50 tahun, mungkin mengalami masalah


melihat apakah tim Amerika Serikat memiliki kredibilitas atau komponen. Di Jepang
menurut Nishiyama, “merupakan penghinaan bagi orang Jepang, jika manajer Amerika
yasng muda dan junior dikirimkan untuk mewakili perusahaan mereka di Jepang, bnegit
juga dengan Malaysia, dimana menurut Gannon, “Orang Malaysia sering mengutus
orang yang lebih senior atau lebih tua yang akan berbicara terlebih dahulu dalam sebuah
rapat.

b. Etika Bisnis Dan Negosiasi

Budaya membentuk etika seseorang, baik dalam tingkat pribadi maupun


nasional. Sebagian bagian dari merencanakan negosiasi komersial, penting bagi anada
untuk memahami etika bisnis dalam budaya tuan rumah. Walaupun relativitas etika
lintas budaya ini menyebabkan ambiguitas, tetap imperatif bahwa usaha internasional
menghindari orang-orang sukse, di semua biaya, pelaku melanggar etika, baik milik
mereka maupun milik bisnis mereka. Bertindak menurut etika dan dengan inergritas
tidak hanya merupakan hal yang tepat untuk dilakukan, namun juga baik untul bisnis
dan perjalanan karier seseorang.

Budaya memiliki kepribadian yang sangat berbeda ketika terlibab dalam


negosiasi antarbudaya. Ada perbedaan yang menyangkut:

1. Bersifat langsung dan tidak langsung saat berbicara


2. Menghormati usia atau menghargai orang muda
3. Bersifat formal dan informal
4. Bekerja dengan lambat atau cepat
5. Mendoring keharmonisan kelompok atau sifat asertif seseorang
6. Bekerja secara kolektif atau sendiri
c. Berpartisipasi Dalam Negosiasi Bisnis Antarbudaya
Menurut Cellich dan Jain, komunikasi antar dua negosiatior cenderung lebih
sulit dan kompleks ketika hal tersebut melibatkan orang dari lingkungan budaya yang
beragam dibandingkan ketika hal tersebut hanya melibatkan orang dengan latar
belakang yang sama. Kesulitan yang umum dapat dilihat dalam gaya komunikasi yang
tidak sama. Secara khusus ada lima gaya yang dapat menimbulkan maslah:

1. Formalitas dan Status

Seperti yang dinyatakan oleh Trompenaars dan Hampden-Turner, “banyak


kesepakatan hilang,karena wakil tidak dianggap memiliki statsu tinggi.” Negosiator dari
Amerika Serikat, sebuah budaya yang sangat informal, cenderung menghindari
penggunaan gelar dan cepat menggunakan nama depan setelah diperkenalkan diawal
rapat negosiasi.

2. Kecepatan dan Kesabaran

Kecepatan suatu negosiasi terjadi berbeda secara budaya dan harus dipahami
oleh semua orang yang akan berbisnis dalam lingkungan anatar budaya. Di Amerika
Serikat orang-orang mulai memepercayai moto, “ia yang terburu-buru akan
kehilangan”. Oleh karena itu, seperti yang dinyatakan oleh Ferraro, “Pebisnis Amerika
Serikat telah dikritik, karena cepatnya mereka dalam berbisnis.

Keinginan Barat untuk menjalankan negosiasi dengan cepat bukan lah


pendekatan yang popiler bagi orang Cina dan Jepang. Bahkan, ada pepatah Asia yang
mengatakan, “Dengan waktu dan kesabaran, daunkertas akan menjadi gaun sutera”.
Seperti yang di tuliskan oleh Shi dan Wright, “Negosiasi bisnis di Cina membutuhkan
kesabaran dan keuletan.”

3. Gambaran Emosi

Pernyataan emosi oleh negosiator bisnis dapat juga mempengaruhi hasil dari
suatu transaksi bisnis. Misalnya, perwakilan bisnis Barat kadang menganggap rekan
Asia mereka “tidak terduga” karena mereka kurang bersemangat dan tidak menyatakan
emosi di meja perundingan. Di Amerika Serikat, adalah normal dan diharapkan bagi
orang untuk menggunakan sejumlah perilaku non-verbal untuk mengiungkapkan
perasaan mereka. Budaya Amerika mengajarkan bahwa bagian interaksi sosial yang
alami untuk mernyatakan rasa senang, rasa tidak senang, rasa marah atau emosi lainya
melalui tanda-tanda non verbal. Pada bangsa Cina, Jepang, Korea, dan Filipina,
bagimanapun, ungkapan emosi di anggap merusakan kerhaminisan dan dindari sedapat
mungkin.

4. Bentuk Komunikasi Langsung dan Tidak Langsung

Gaya komunikasi verbal seorang negosiator, terutama ketika diterapkan pada


penggunaan bahasa langsung dan tidak langsung,dapatjuga merupakan sumber kesulitan
dalam bisnis internasitonal. Seperti yang kita nyatakan sebelumnya, perwakilan dari
budaya kolektif seperti cina, Jepang, Korea, dan Indonesia menghargai nilai untuk
mempertahankan hubungan yang positif dengan rekan negosiasinya. Untuk memenuhi
hal ini, mereka bergantung pada gaya komunikasi tidak langsung. Dalam budaya Timur
Tengah, anda akan menemukan pendekatan yang lebih langsung dari penggunaan
bahasa dibandingkan apa yang telah kita jelaskan dengan menrujuk pada budaya Asia
dan Asia Tenggara.

5. Bukti dan Kebenaran

Interprestasi budaya terhadap suatu bukti dan kebenaran dapat berbeda. Untuk
menjadi negosiator Yang sukses penting untuk mengetahui perbedaan ini sebelum anda
memulai proses penawaran. Banyak orang Amerika yang cenderung bergantung pada
observasi objektif untuk menyatakan fakta. Kebenaran merupakan sesuatu yang dapat
diuji. Statistik dan pengetahuan empiris merupakan hal yang penting. Keinginan untuk
bergantung pada fakta juga merupakan bagian dari gaya negosiasi yang diterapkan oleh
eksekutif dari jerman, Swedia, dan Inggris.

d. Mengembangkan Kemampuan Negosiasi Antarbudaya

Bagaimana mempertajam kemampuan komunikasi anda ketika duduk di meja


perundingan dengan orang dari budaya yang berbenda dari anda:

1. Bersiaplah, pelajarilah semua hal yang anda dapat pelajari mengenai budaya
tuan rumah sebelum negosiasi dimulai.
2. Kembangkan sensitifitas terhadap penggunaan waktu. Belajar untuk beradaptasi
pada negosiasi yang lebih lambat dari yang biasa anda lakukan jika anda berasal
dari budaya dominan Amerika Serikat.
3. Dengarkan dengan seksama, bagian dari konsentrasi adalah dengan belajar untuk
tetap nyaman terhadapkeheningan dan menyadari bahwa sikap diam juga
merupakan bentuk komunikasi.
4. Belajarlah untuk menoleransi ambiguitas, banyak hubungan antarbudaya
ditandai dengan kebingung dan pencarian makna.
5. Cobalah untuk menempatkan persetujuan. Karena kedua pihak dalam negosiasi
ingin memperoleh sesuatu, maka merupakan hal yang sederhana untuk
memisahkan area persetujuan. Jika kedua belah pihak dapat melihat area ini,
semuanya akan memperoleh keuntungan.

2.9.Manajemen Konflik Antarbudaya

Konflik merupakan aspek yang tidak dapat dihindari dalam sebuah hubugan.
Jika diatur dengan tidak tepat konflik dapat mengarah pada masalah yang tidak dapat
diperbaiki-pemisahan atau perceraian dalam tahap interpersonal, perang dalam skala
nasional atau kehilangan kesempatan dalam bisnis. Dengan merujuk konflik dan
komunikasi, Papper menuliskan, “Komunikasi merupakan karakter konflik yang
dominan, karena fungsi sebagai alat penyebar konflik dan sumber dari manajemen
konflik”. Jadi, budaya menentukan bagaimana konflik dilihat dan diatur, Bisnis lintas
budaya, ditandai oleh nilai, idealisme, kepercayaan, dan perilaku peserta yang berbeda
menjadi media perselisihan.

Konflik : Perspektif Amerika

Pertentangan institusional mengenai budaya individualistis, seperti Amerika


Serikat memunculkan metode yang cukup berbeda dari menghadapi konflik. Di
Amerika Serikat, “Orang berorientasi pada tujuan pribadi untuk sukses, mereka merasa
bahwa hubungan dan keanggotaan kelompok menghalagi pencapaian tujuan ini”.
Karena dorongan yang kuat untuk menyatakan ketertarikan pribadi, masalah bisnis, baik
masalah dalam organisasi atau transaksi lintas budaya, kadang menghasilkan konflik
pribadi. Menurut Beamer dan Varner, konflik dalam kontak bisnis ini biasanya timbul
dari 5 area pertentangan berikut :
1. Ketidaksetujuan terhadap tugas (apa)
2. Ketidaksetujuan terhadap proses (bagaimana)
3. Ketidaksetujuan tergadap alokasi sumber (dengan apa)
4. Ketidaksetujuan terhadap tujuan (mengapa)
5. Ketidaksetujuan terhadap kekuasaan (bagaimana)

Dalam menghadapi area konflik ini, orang Amerika memiliki konflik yang unik.
Ada literatur tambahan yang mengindikasikan bahwa orang amerika memiliki empat
pendekatan dasar dalam menghadapi konflik, yaitu :

1. Menghindar

Menghindar, juga dikenal sebagai penyangkalan atau penarikan diri, merupakan


strategi yang berdasarkan asumsi bahwa konflik akan hilang jika diacuhkan.
Menghindari konflik dapat secara mental (diam atau tidak terlibat dalam interkasi) atau
fisik (menarik diri dari lingkungan konflik). Kadang ketika kita menghindar, situasi
yang mengciptakan konflik menjadi meningkat, karena kedua belah pihak memikirkan
apa yang terjadi. Walaupun orang amerika sering menggunakan teknik menghindar ini,
hal ini bukanlah yang populer. Banyak orang amerika yang tidak menyukai masalah
yang tidak selesai dan memiliki kebutuhan untuk “mengatakan pendapat mereka” dan
“menyelesaikan masalah”. Jadi, di Amerika serikat dan budaya individualistis lainnya,
penarikan diri “jarang menjadi solusi yang memuaskan dan berlangsung lama”.

2. Akomodasi

Salah satu bentuk mengatasi konflik yang erat hubungannya dengan


menghindar. Perbedaanya adalah bahwa dalam akomodasi, seseorang berusaha
menyenangkan orang lain. Menurit Schmidt dan rekannya, “Orang yang mencari
koneksi, memiliki kebutuhan afiliasi, dan peduli mengenai hubungan kadang lebih
menyukai pendekatan akomodasi terhadap konflik”. Dalam banyak kesempatan,
tindakan ini “dapat menimbulkan keadaan yang tidak mengenakkan dan hubungan yang
tegang yang ditandai dengan pendekatan yang lemah serta pengorbanan diri dan bahkan
tawa gugup”. Tindakan ini menandakan “saya tidak peduli apa yang anda kerjakan”
menunjukkan kelemahan orang lain. Orang-orang dalam meja perundingan, baik rekan
maupun bukan, tidak menyukai pendekatan ini, karena hasil yang tidak baik akan
muncul jika hanya satu perspektig saja yang dibahas.

3. Kompetisi

Dalam arena bisnis kompetisi digunakan dalam manajemen konflik di Amerika


Serikat. Beamer dan Varner mendiskusikan masalah dari pendekatan “bagaimana harus
menang” ketika diterapkan dalam budaya kolektif yang menekankan keharmonisan
kelompok diatas kesuksesan pribadi.

Seperti yang dituliskan oleh Morreale, Spitzberg, dan Barge, “Kompromi untuk
mengambil jalan tengah, dengan masing-masing pihak setuju atau suatu konsensi”.
Dalam pendekatan ini, orang-orang biasanya menyerah atau “menukar” sesutu dalam
rangka mengatasi konflik. Strategi didasarkan atas kepercayaan bahwa lebih baik
memperoleh sesuatu dibandingkan tidak sama sekali. Dalam konteks bisnis, kompromi
merupakan pendekatan yang kadang ditandai oleh kata-kata klise seperti “mari
hilangkan perbedaan” atau “sesuatu lebih dari tidak ada sama sekali”.

4. Kolaborasi

Kolaborasi adalah pandangan bahwa semua berhak berkerja sama untuk


memecahkan masalah. DeFleur dan rekannya menjelaskan kolaborasi sebagai usaha
untuk mempertahankan hubungan yang produktif yang akan mengatasi ketidaksetujuan
ketika bekerjasama untuk mencapai tujuan tertentu. Dengan menggunakan cara yang
kreatif, tujuan dan kebutuhan setiap orang dapat tercapai. Metode ini merupakan yang
paling populer di Amerika Utara di mana kedua belah pihak tetap menjaga tujuan
mereka dan pada saat yang sama tetap bekerja sama.

Konflik : Perspektif Internasional

Walaupun konflik merupakan bagian dari setiap askpek konteks bisnis, setiap
cara budaya melihat dan menghadapi konflik menunjukkan sistem nilainya. Di Timur
Tengah, orang melihat konflik sebagai cara hidup yang alami. Orang-orang diharapkan
untuk memiliki perasaan tersebut dengan cara yang hidup dan bertentangan. Orang
Yunani juga memiliki pendekatan yang ekspresif terhadap konflik dan bangga terhadap
tradisi lama mereka mengenai argumentasi dan debat. Seperti yang dinyatakan oleh
Broome, bagi orang Yunani, “tantangan, pemghinaan, dan serangan dalam batasan yang
pantas, hampir sama dengan berbicara”

Secara umum, budaya kolektif tidak suka akan konflik yang terbuka dan
langsung yang dianggap sebagai ancaman dalam keserasian dan stabilitas organisasi dan
hubungan antara anggota kelompok tersebut. Bagi orang jepang, konflik dianggap hal
yang memalukan dan membingungka, karena masalah berpotensi mengacaukan sosial.
Perusahaan milik jepang juga menggunakan diskusi dalam kelompok kecil dan
menggunakan perantara yang terpercaya untuk mengatasi konflik. Kritik, sumber
pertentanga, dan konflik potensial, dinyatakan secara tidak langsung, pasif, akomodatif,
karena konflik menimbulkan potensi untuk kehilangan muka, orang jepang suka diam
atau menggunakan perilaku non-verbal untuk menyatakan ketidaksetujuan bahkan
dalam pertemuan bisnis dengan anggota budaya lain.

Pandangan bangsa jepang mengenai konflik juga ditemukan di antara orang


Cina, dimana keharmonisan sosial merupakan hal yang penting. Walaupun orang cina
merupakan negosiator yang handal dan kadang sulit untuk ditawar, namun mereka
berusaha untuk menghindari konflik langsung, suatu tindakan terhadap konflik yang
langsung berhubungan dengan filosofi Confusius. Jadi, orang Cina merasa lebih nyaman
menghindar atau berkompromi sebagai taktik untuk menghadapi konflik. Orang Asia-
Amerika yang menganut nilai tradisional Asia cenderung menghindar ketika
menghadapi konflik. Mereka kadang menggunakan “sikap diam” sebagai gaya konflik
berkonteks tinggi yang kuat.

Budaya Latin juga memandang dan menghadapi konflik dengan cara yang
menunjukkan nilai budaya mereka. Karena budaya Brazil menghargai persahabatan baik
dalam interaksi pribadi maupun bisnis, konflik dianggap sebagai hal yang harus
dihindari. Dalam konteks bisnis misalnya, protokol membutuhkan orang-orang saling
merasa nyaman, dan konflik interpersonal akan mengganggu kenyamanan tersebut.
Orang Meksiko merupakan kelompok lain yang tidak menikmati konfrotansi langsung.
Bagi mereka, “menghindari konflik kadang lebih disukai dibandingkan konfrontasi
langsung dalam menghadapi isu konflik”. Beberapa budaya Eropa dan Skandinavia juga
menghadapi konflik dengan cara yang tidak sama dengan yang ditemukan di Amerika
Serikat. Walaupun keharmonisan interpersonal bukanlah merupakan faktor pendorong,
jerman tidak terlibat dalam konflik langsung. Bagi orang Prancis, kehilangan kontrol
dan terlibat dalam konflik sosial merupakan “tanda kelemahan”. Orang swedia juga
mencoba menghindari konflik dalam konteks bisnis. Terlepas dari motivasi yang
digunakan untuk menghindari suatu konflik, satu hal yang jelas sekarang tidak semua
budaya menghadapi konflik dengan cara yang sama.

Mengatasi Konflik Antarbudaya

Memandang dan mengatasi konflik berakar dalam budaya. Namun, beberapa


kemampuan untuk menghadapi konflik dapat digunakan terlepas dari dengan budaya
mana anda berinteraksi.

1. Identifikasi Isu yang Mengakibatkan Masalah

Apakah suatu konflik mengenai kepribadian, poin khusus dalam kontrak atau
kesalahpahaman verbal, anda perlu menemukan apa yang menjadi inti permasalahan.

2. Jaga Pikiran Anda untuk Tetap Terbuka

“Berpikiran secara terbuka” ketikaterlibat dalam konflik memudahkan anda


dalam menghadapi konflik. Ketika kita berbica mengenai pikiran terbuka, kita tidak
sedang memberikan persetujuan buta kepada argumen orang lain dan mengabaikan
prinsip anda. Pandangan untuk mau menerima pandangan orang lain sebelum
melakukan penilaian dinyatakan oleh Roy dan Oludaja, “Dekati konflik dengan
ketebukaan. Kenali bahwa ada banyak hal yang perlu dipelajari melalui peserta yang
lain sebagai orang dan cara pandang mengenai posisi mereka”.

3. Jangan Terburu-buru

Tidak terburu-buru dalam menyelesaikan masalah ketika berinterkasi dengan


anggota kolektif. Singkatnya, harus belajar untuk memperlambat seluruh proses
negosiasi ketika konflik timbul. Seperti yang dinyatakan oleh Ting-Toomey,
“Sensitiflah terhadap pentingnya pengamatan yang tenang dan hat-hati”

4. Jagalah Konflik Agar Berpusat Pada Ide Bukan Pada Orangnya

Pentingnya untuk memisahkan suatu masalah dengan seseorang. Hal ini menjaga
negosiasi berfokus untuk menyelesaikan masalah yang menimbulkan konflik
dibandingkan melibatkan kedua belah pihak mempertahankan ego masing-masing.

5. Mengembangkan Teknik Untuk Menghindari Konflik

Ada sejumlah teknik yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah sebelum
masalah tersebut menjadi tidak dapat di atasi, yaitu :

a. Belajar menggunakan prominal kolektif dapat menolong menghindari konflik.


Walaupun kadang anda harus merujuk seseorang dengan nama, ketika anda
dengan sekumpulan orang, cobalah untuk menggunakan prominal kolektif
sebagai cara memusatkan isi permasalahan dibandingkan pada orang nya.
b. Ulangi komentar orang lain seobjektif munfkin, sehingga dapat menentukan
apakah anda mendengarkan apa yang mereka maksudkan.
c. Cobalah untuk menyatakan sebanyak mungkin poin persetujuan. Kadang
persetujuan dapat lebih banyak dari perbedaan, sehingga konflikpun dapat
dihindari.
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

1. Budaya dan komunikasi begitu berhubungan, sehingga mudah untuk memahami

bahwa budaya sebagai komunikasi dan komunikasi sebagai budaya

2. Budaya memberitahukan anggotanya apa yang diharapkan dalam hidup, dan

dengan demikian mengurangi kebingungan dan membantu untuk memprediksi

masa depan

3. Elemen utama budaya adalah sejarah, agama, nilai, organisasi sosial, dan bahasa

4. Budaya merupakan perilaku yang dibagikan dan dipelajari yang mendukung

kelangsungan hidup individual dan sosial, adaptasi dan pertumbuhan dan

perkembangan

5. Persepsi diartikan sebagai “proses seleksi, organisasi, dan interpretasi data dari

alat indra dalam suata cara yang memungkinkan kita untuk membuat dunia ini

masuk akal.”

6. Persepsi merupakan mekanisme dasar yang anda gunakan untuk

mengambangkan cara pandang anda

7. Kepercayaan adalah pendirian seseorang tentang kebenaran sesuatu dengan atau

tanpa bukti

8. Nilai merupakan perilaku yang bertahan lama mengenai kepercayaan apa yang

lebih disukai
9. Taksonomi pola budaya digunakan untuk menggambarkan kepercayaan dan nilai

dominan dari suatu budaya

10. Pola budaya dominan di Amerika meliputi individualisme, kesamaan

kesempatan, pemerolehan materi, ilmu pengetahuan dan teknologi,

perkembangan dan perubahan, bekerja dan bermain, dan sifat kompetitif


DAFTAR PUSTAKA

Mulyana, Deddy. Rakhmat, Jalaludin. 2006. KOMUNIKASI ANTARBUDAYA (Panduan

Berkomunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya). Bandung: PT REMAJA

ROSDAKARYA.

Mulyana, Deddy. 2015. KOMUNIKASI LINTAS BUDAYA. Bandung: PT REMAJA

ROSDAKARYA.

Mulyana, Deddy. 1999. NUANSA-NUANSA KOMUNIKASI (Meneropong Politik dan

Budaya Komunikasi Masyarakat Kontemporer). Bandung: PT REMAJA

ROSDAKARYA.

Samovar, Larry.A, Richard E. Porter, Edwin R. McDaniel, 2010. KOMUNIKASI

LINTAS BUDAYA Edisi 7 diterjemahnkan Indri Margaretha Sidabalok. Jakarta :

Salemba Humanika.

Wamafm, Dance. 2012. BUDAYA DALAM BISNIS JEPANG (Survey Terhadap Budaya

Jepang pada Perusahaan Jepang di Indonesia). Fakultas Sastra Universitas Kristen

Maranatha, Bandung.

Anda mungkin juga menyukai