Hubungan Indonesia dengan Negara-Negara Pasifik: Dinamika dan Arti
Pentingnya bagi Indonesia
Dari segi geografis dan sosial budaya, Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Negara ini juga memiliki posisi geografis yang unik sekaligus menjadikannya strategis. Hal ini dapat dilihat dari letak Indonesia yang berada di antara dua samudera dan dua benua sekaligus memiliki perairan yang menjadi salah satu urat nadi perdagangan internasional. Posisi ini menempatkan Indonesia berbatasan laut dan darat secara langsung dengan sepuluh negara di kawasan. Keadaan ini menjadikan Indonesia rentan terhadap sengketa perbatasan dan ancaman keamanan yang menyebabkan instabilitas dalam negeri dan di kawasan. Setelah membahas mengenai hubungan Indonesia dan kepentingan strategisnya dengan ASEAN, pada kesempatan kali ini penulis akan menjelaskan hubungan Indonesia dan kepentingan strategisnya dengan negara-negara Pasifik Regional Pasifik tentunya salah satu regional yang terdekat dan tidak kalah pentingnya dengan ASEAN. Seperti yang telah diketahui bahwa ASEAN dan wilayah Pasifik merupakan lingkaran konsentris terdalam dalam politik luar negeri Indonesia (Setiawan, 2012). Hal tersebut mengindikasikan bahwa wilayah Pasifik bersifat cukup strategis dalam kaitannya dengan politik luar negeri yang dijalankan Indonesia. Dengan adanya faktor jarak yang sangat dekat dapat diketahui bahwa Indonesia ingin menjaga hubungannya dengan negara-negara di regional Pasifik untuk menjaga kestabilan regional. Untuk mencapai tujuan tersebut, Indonesia akan/sudah memiliki program seperti (1) meningkatkan hubungan non-politik, sekaligus mendorong peningkatan people to people interaction (link) sebagai landasan strategis dalam hubungan baik pada masa mendatang, dan (2) meningkatkan peran dan kepemimpinan Indonesia dalam berbagai kerjasama bilateral dan regional untuk mendukung kersama multilateral (Kementrian Luar Negeri, t.t). Selain itu Indonesia juga mencoba menjaga hubungan dengan negara-negara di regional Pasifik dengan menjadi mitra dialog di PIF (Pacific Islands Forum). PIF memiliki 16 negara anggota antara lain Australia, Cook Islands, Federate States of Micronesia, Fiji, Kiribati, Marshall Islands, Nauru, Niue, Palau, Papua Nugini, Samoa, Selandia Baru, Solomon Islands, Tonga, Tuvalu, dan Vanuatu. Awalnya PIF berdiri dengan nama SPF (South Pacific Forum) pada tahun 1971. Sejak tahun 1989 PFD (Pacific Forum Dialogue) merupakan pertemuan rutin PIF dengan negara-negara mitra dialog dan organisasi-organisasi yang sudah dipilih. Sejak Indonesia bergabung sebagai negara mitra dialog PIF, Indonesia tidak pernah absen dalam pertemuan PFD (Kementrian Luar Negeri, t.t). Bergabungnya Indonesia dengan PIF bukan tanpa tujuan. Tujuan Indonesia antara lain meliputi (1) keikutsertaan Indonesia dalam PIF merupakan bagian dari upaya untuk mereposisi kebijakan luar negeri RI yang selama ini lebih memberi penekanan kepada negara-negara ASEAN dan negara Barat, menuju look east policy, (2) kehadiran Indonesia dalam PFD, merupakan bagian dari upaya untuk medekatakan diri dengan negara-negara di kawasan Pasifik, dan (3) keikutsertaan Indonesia sebagai mitra dialog PIF dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan citra Indonesia di dunia internasional sekaligus dapat dimanfaatkan untuk menggalang dukungan terhadap Indonesia dalam forum internasional (Kementrian Luar Negeri, t.t). Dari perspektif regional, Menlu Ali Alatas pada waktu beliau menjabat menyatakan bahwa kepentingan Indonesia adalah menjaga kestabilan kawasan Pasifik selatan dari ancaman yang mungkin timbul dari kehadiran kedua super power di kawasan tersebut. Kestabilan tersebut penting bagi Indonesia yang sedang membangun karena diperlukannya kondisi lingkungan yang aman dan stabil. Selain itu kegiatan diplomasi Indonesia di kawasan Pasifik Selatan juga ingin menunjukkan keeksistensiannya dalam berperan menangani masalah-masalah regional di kawasan tersebut. Sebagai salah satu negara di kawasan Asia Pasifik maka Indonesia beserta negara-negara lainnya merasa bertanggung jawab dalam permasalahan di kawasan tersebut. Pertanggungjawaban tersebut dituangkan dalam kerangka persahabatan dan kerja sama untuk pembangunan ekonomi, sosial dan budaya untuk menciptakan stabilitas dan perdamaian di kawasan Pasifik (Usman, 1994:194-197). Selanjutnya penulis akan menjelaskan dinamika hubungan Indonesia dengan negara- negara Pasifik seperti Australia, Selandia Baru, Papua Nugini, dan Oseania. Hubungan Indonesia dengan Australia sejak awal hingga sekarang dapat dikatakan fluktuatif. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh banyaknya kejadian yang membuat hubungan Indonesia dengan Australia tensinya naik turun. Sewaktu-waktu bersahabat namun sewaktu-waktu pula kedua negara ini bagaikan sepasang rival yang saling bersiteru. Pada awalnya hubungan Jakarta-Canberra cenderung baik. Australia bersama beberapa negara Barat simpatik terhadap perjuangan Indonesia dalam mencapai kemerdekaan. Namun keadaan tersebut tidak berlangsung lama ketika Jakarta menjalankan politik luar negeri yang militan. Kampanye Indonesia untuk membebaskan Irian Barat menyebabkan ketegangan antara Jakarta dan Canberra. Hal tersebut disebabkan karena Canberra khawatir mengenai keamanan Papua Nugini dimana pada saat itu merupakan wilayah Australia. Namun hubungan Jakarta- Canberra kembali membaik ketika Soekarno lengser dan digantikan oleh Soeharto (Suryadinata, 1998:115). Pada awal pemerintahan Soeharto, hubungan Indonesia- Australia cenderung baik hingga ketika adanya isu Timor Timur, hubungan kedua negara ini pun kembali memburuk. Australia sebenarnya tidak keberatan jika wilayah Timor Timur diintegrasikan secara damai ke dalam wilayah Indonesia, namun ketika Indonesia menduduki Timor Timur dengan kekerasan, masayrakat Australia menolak cara tersebut. Hal tersebut diperparah dengan meninggalnya 5 jurnalis Australia yang sedang bertugas di wilayah tersebut (Suryadinata, 1998:1116). Tidak hanya itu, kejadian-kejadian yang berbau permusuhan pun semakin terlihat setelahnya terutama dam isu Timor Timur ini. Terobosan penting dalam hubungan antara Jakarta-Canberra terjadi ketika Menlu dari kedua negara menandatangani Perjanjian Celah Timor pada bulan Desember 1989. Persetujuan tersebut memberikan izin kepada kedua negara untuk melakukan eksplorasi dan menggalih Celah Timor yang kaya akan minyak, dan menangguhkan suatu penyelesaian atas masalah perbatasan yang saling tumpang tindih (Suryadinata, 1998:121). Persoalan Timor Timur yang tidak pernah padam semakin menambah benih nonpersahabatan antara Indonesia dan Australia. Isu Timor-Timur muncul kembali ketika terjadi pembantaian di wilayah tersebut pada November 1991. Hal tersebut mengundang aksi keras warga dunia khususnya Australia dan membuat hubungan kedua negara ini semakin tegang. Namun Menlu baru Australia pada saat itu Paul Keating mencoba memperbaiki hubungan yang memburuk tersebut. Usaha Keating pun membuahkan hasil dengan ditandatanganinya suatu perjanjian keamanan dengan Indonesia dan sepakat bahwa kedua negara akan berkonsultasi secara teratur mengenai masalah keamanan bersama dan untuk mendorong kerja sama keamanan pada tanggal 18 Desember 1995. Hal tersebut merupakan pertama kalinya Indonesia mengikat diri dalam perjanjian keamanan dengan negara asing. Perjanjian tersebut tidak sekedar mengenai politik dan pertahanan saja, namun ekonomi juga, sebab melalui kerja sama keamanan ini terdapat imbas kerjasama pengembangan teknologi untuk kepentingan sipil dan militer. Bagi Australia, perjanjian keamanan ini mengandung arti khusus bagi pemerintah dan rakyat Australia. Indonesia dipandang sebagai negara tetangga terdekat yang selama ini ditakuti mengingat sejak awal 1990an pada era Perang Dingin, Australia masih memandang bahwa Indonesia adalah negara terpenting di Asia Tenggara. Australia ingin mengikatkan diri dengan keamanan regional ASEAN melalui Indonesia (Bhakti, 1997:45-47). Namun menurut Bhakti (1997) penandatanganan perjanjian ini merupakan pertanda terjadinya evolusi di arah kebijakan politik luar negeri Indonesia yang bebas-aktif. Pada era reformasi momentum yang paling krusial yang berhubungan dengan dinamika hubungan Indonesia-Australia adalah peristiwa bom Bali dan penyadapan Australia terhadap Indonesia. Dengan adanya tragedi bom tersebut membuat hubungan Indonesia-Australia lebih kooperatif terutama mengenai isu terorisme. Tragedi bom Bali juga adalah salah satu titik balik dari hubungan diplomatik kedua negara setelah bencana Tsunami di Aceh. Peristiwa tersebut mengubah kebijakan John Howard saat itu dalam soal dinamika bilateral yang sempat tidak harmonis setelah peristiwa lepasnya Timor Leste dari Indonesia. Adanya hubungan baik tersebut dilatarbelakangi oleh kesamaan kepentingan, yakni memberantas terorisme (ABC Radio Australia, 2012). Hubungan love-hate antara Indonesia dan Australia pun kembali muncul yakni ketika terjadi kasus penyadapan yang dilakukan oleh Australia kepada Indonesia. Kasus penyadapan ini dianggap lebih sensitif dan berdampak politik yang signifikan karena mencederai keyakinan pemerintahan Indonesia di bawah Presiden SBY mengenai pandangan politik luar negeri Indonesia “a thousand friends zero enemy”. Peristiwa tersebut berujung pada penarikan sementara Duta Besar Indonesia untuk Australia (Prabaningtyas, 2013). Indonesia dan Selandia Baru memiliki hubungan bilateral yang baik. Hubungan baik kedua negara tidak terlepas dari nilai-nilai yang dimiliki kedua negara tersebut seperti pemajuan demokrasi, penghormatan terhadap HAM dan saling menghormati kedaulatan dan keutuhan wilayah serta tidak mencampuri masalah dalam negeri masing-masing (Kementrian Luar Negeri, t.t). Pada tahun 2010, Indonesia dan Selandia Baru mengadakan pertemuan JMC (Joint Ministerial Commission) di Jakarta. Dalam pertemuan tersebut kedua negara membahas hal-hal penting yang terait dengan kerjasama bilateral dalam bidang politik dan keamanan, perdagangan, investasi dan ekonomi, kemitraan pembangunan, isu regional, keadaan ekonomi global, perubahan iklim, dan sertifikasi halal bagi produk ekspor. Impor Selandia Baru dari Indonesia masih didominasi oleh minyak bumi dan produk turunannya, batubara serta produk kertas. Sedangkan, ekspor Selandia Baru ke Indonesia masih didominasi oleh dairy products dan daging. Hubungan bilateral Selandia Baru – Indonesia dalam bidang sosial budaya dan pariwisata meliputi diselenggarakannya pertemuan- pertemuan seperti Third Asia-Pacific Regional Interfaith Dialogue, Alliance of Civilization High Level Symposium, dan Moslem Youth Leaders Exchange Program (Kementrian Luar Negeri, t.t). Hubungan Indonesia dengan Papua Nugini banyak didominasi oleh masalah perbatasan kedua negara. Pada awalnya hubungan kedua negara ini tidak terlepas dari hubungan Indonesia dengan Australia mengingat Papua Nugini dulunya merupakan wilayah Australia. Indonesia dan Papua Nugini mulai menjalin hubungan konsuler pada tahun 1973 dan kemudian ditingkatkan menjadi hubungan diplomatik segera setelah Papua Nugini mendapatkan kemerdekaan dari Australia pada tanggal 16 September 1975. Pemerintah Indonesia sangat menaruh perhatian terhadap negara tersebut, sebagian karena Gerakan Papua Merdeka (OPM). Pakta mengenai pertahanan ditandantangai pada tahun 1979. Namun ketegangan tetap muncul dalam soal para penyebrang perbatasan. Pada bulan Maret 1984 muncul konfrontasi antara Jakarta-Port Moresby karena terjadi pelanggaran perbatasan Indonesia. Port Moresby pun mengecam tindakan Indonesia yang melaksanakan latihan militer di wilayah perbatasan tanpa memberitahu pemerintah Papua Nugini. Hal tersebut mengundang aksi pemulangan atase militer Indonesia. Meskipun terjadi ketegangan, namun tetap terjalin perundingan hingga akhirnya tercipta perjanjian yang paling penting yakni Perjanjian Status Angkatan Perang (SOFA). Adanya SOFA memungkinkan Papua Nugini untuk berkonsentrasi pada isu-isu dalam negeri termasuk penyelesaian masalah separatisme di Pulau Bougenville. Dari pihak Indonesia perjanjian ini juga penting karena dapat meningkatkan kemungkinan Papua Nugini memberikan hak bagi Indonesia untuk mengejar jejak OPM yang melewati perbatasan (Suryadinata, 1998:124-126). Selanjutnya adalah hubungan Indonesia dengan negara-negara Oseania, dalam hal ini penulis hanya membatasi pada tiga negara yakni Fiji, Kaledonia Baru, dan Vanuatu. Perhatian Indonesia terhadap Fiji mulai tampak setelah kudeta tidak berdarah yang dilakukan oleh Kolonel Sitiveni Rabuka, Panglima Angkatan Bersenjata Kerajaan Fiji pada thun 1987. Sejak pembukaan KBRI Suva, Pemerintah Fiji berupaya serius memajukan hubungan bilateral dengan Indonesia. Hal ini terlihat dari interaksi dengan pejabat pemerintahan dan anggota parlemen serta kalangan akademisi dan masyarakat. Pemerintah Fiji selalu mendukung integritas NKRI dalam setiap agenda pertemuan Pasific Islands Forum (PIF) yang membahas mengenai masalah Papua dan mendukung penuh dalam keikutsertaan RI sebagai mitra wicara PIF (Usman, 1994, 202:204). Hubungan Indonesia dengan Kaledonia Baru pada awalnya berisi dukungan dari Indonesia bersama dengan negara ASEAN lainnya dalam tuntutan kemerdekaan Kaledonia Baru oleh Front Pembebasan Nasional Sosialis Kanak. Pelaksanaan politik dan hubungan luar negeri RI di kawasan Pasifik Selatan antara lain menjadikan Kaledonia Baru sebagai pintu terdepan bagi pelaksanaan hubungan luar negeri RI dengan negara-negara kawasan Pasifik Selatan (Usman, 1994:204-205). Sementara itu hubungan Indonesia dengan Vanuatu bisa dikatakan tidak bersahabat. Hal tersebut dapat dilihat dari apa yang dilakukan Vanuatu kepada Indonesia. Diantaranya adalah Vanuatu pernah menolak mengakui Irian Jaya sebagai bagian dari wilayah Indonesia dan karena itu Vanuatu mendukung gerakan OPM. Selain itu Vanuatu juga mendukung gerakan Fretilin di Timor Timur. Namun sikap Indonesia terhadap aksi-aksi tidak bersahabat Vanuatu tersebut dibalas dengan sikap menahan diri. Karena dengan adanya sikap yang sama-sama melawan justru nantinya akan berakibat pada hubungan yang tidak baik. Adanya komunikasi dan pendekatan terhadap Vanuatu berarti penting bagi pengubahan pemikiran negatifnya terhadap Indonesia dan juga agar citra Indonesia kembali membaik di mata negara-negara Pasifik Selatan (Usman, 1994:206-207). Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa wilayah Pasifik merupakan wilayah yang cukup strategis dalam kaitannya dengan politik luar negeri yang dijalankan Indonesia mengingat Pasifik merupakan salah satu lingkaran konsentris PLN RI terdalam. Kepentingan Indonesia utama secara umum terkait hubungannya dengan negara- negara Pasifik adalah menjaga kestabilan regional wilayah Pasifik. Strategi yang diterapkan Indonesia dalam kaitannya dengan politik luar negeri di wilayah tersebut adalah meningkatkan kerjasama, mendorong peningkatan people to people interaction, dan meningkatkan peran beserta kepemimpinan Indonesia. Hubungan yang paling menarik adalah hubungan Indonesia-Australia karena bersifat love-hate relationship. Sementara hubungannya dengan negara-negara lainnya di wilayah Pasifik relatif baik-baik saja meskipun pasti ada ketegangan yang terjadi namun hal tersebut tidak berpengaruh besar terhadap Indonesia. Penulis beropini dengan berakhirnya Perang Dingin tidak lantas membuat wilayah Pasifik tidak menjadi arena persaingan bagi negara-negara besar. Pada era ini mungkin tidak ada lagi perseteruan antara Amerika Serikat dan Uni Soviet, namun tidak mennutup kemungkinan terdapat rivalitas antara Cina dan Amerika Serikat yang nantinya akan merusak stabilitas regional wilayah Pasifik. Selain itu isu yang-isu yang dapat mengganggu kestabilan tersebut dapat lahir dari sumber-sumber konflik berupa kerawanan ekonomi, masalah etnis, dan dekolonisasi. Oleh karena itu Indonesia harus melakukan diplomasi secara lebih efektif lagi dan harus mengembangkan secara lebih luas program bantuan teknik dan kerja sama ekonomi yang dibutuhkan oleh negara- negara Pasifik khususnya di bagian Selatan. Referensi: Bhakti, Ikrar Nusa. 1997. Indonesia dan Stabilitas Regional, dalam Bhakti, Ikrar Nusa, 1997. Isu-Isu Strategis dalam Politik Luar Negeri. Jakarta: Pusat Penelitian Pengembangan Politik Kewilayahan LIPI, hlm. 27-51. Prabaningtyas, Rizka F. 2013. Indonesia-Australia: Menguji Persahabatan di Tengah Konflik Penyadapan. Yogyakarta. Departemen Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada. Setiawan, Asep. 2012. Politik Luar Negeri Indonesia. Yogyakarta: LeutikaPrio. Suryadinata, Leo, 1998. Hubungan Indonesia dengan Australia dan Papua New Guinea: Isu Keamanan dan Budaya, dalam Politik Luar Negeri Indonesia di Bawah Soeharto, [terj.], Jakarta, LP3ES, hlm. 115-127. Usman, Asnani, 1994, Indonesia dan Pasifik Selatan, dalam Bantarto Bandoro [ed], Hubungan Luar Negeri Indonesia Selama Orde Baru. Jakarta, CSIS, hlm. 187- 215 ABC Radio Australia. 2012. Tragedi Bom Bali Perkuat Hubungan Australia dan Indonesia [online], dalam: http://www.radioaustralia.net.au/indonesian/radio/onairhighlights/tragedi-bom-bali- perkuat-hubungan-australia-dan-indonesia/1029646 [diakses pada 26 November 2014]. Kementerian Luar Negeri. t.t. Pacific Island Forum [online], dalam: http://www.kemlu.go.id/Pages/IFPDisplay.aspx?Name=RegionalCooperation&IDP=1 2&P=Regional&l=id [diakses pada 25 November 2014]. ____________________________________. Program, Arah Kebijakan dan Strategi Kementerian Luar Negeri [online], dalam: http://www.kemlu.go.id/Pages/Polugri.aspx?IDP=11&l=id [diakses pada 25 November 2014]. ____________________________________. Selandia Baru [online], dalam: http://www.kemlu.go.id/Pages/IFPDisplay.aspx?Name=BilateralCooperation&IDP=76 &P=Bilateral&l=id [diakses pada 25 November 2014].